Anda di halaman 1dari 5

Adab Berwudhu & Bersuci

Adab Dalam Berwudhu Dan Bersuci

Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a berkata:

“Adab paling awal yang dibutuhkan dalam bab wudhu dan bersuci adalah mencarl
ilmunya dan mempelajarinya, mengetahui tentang fardlu dan yang sunnah-sunnahnya,
apa yang dianjurkan dan yang dimakruhkan, apa yang diperintahkan dan yang
dianjurkan untuk memperoleh keutamaan”.

Tentu saja untuk mengetahui dan memahaminya secara rinci tidak mungkin kecuali
dengan ilmu dan bertanya, membahas dan memiliki perhatian yang serius, sehingga ia
bisa melakukan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dengan cara lebih berhati-hati
mengikuti yang paling baik dan paling sempurna, menghilangkan hal-hal yang bisa
saling mencela, tidak mengingkari secara hati nurani terhadap orang yang tidak
menggunakan cara yang lebih berhati-hati dan yang paling baik. Sebab Aliah tetap
senang biia keringanan-keringanan hukum (rukhshah)-Nya dilakukan sebagaimana Dia
mencintai bila hukum-hukum asal (azimah-Nya) tetap dilakukan secara normal.
Sementara itu, manusia yang iain memiliki kesibukan dan sebab-sebab yang harus
dikerjaka dan diberi perhatian. Sehingga apabiia mereka menggunakan keringanan dan
mengambil kelonggaran mereka pun tetap dimaafkan.

Adapun kaum Sufi dan orang-orang yang meninggalkan sebab akibat dunia, keluar dari
segaja kesibukan serta mencurahkan dirinya untuk beribadah dan berzuhud, (karena
bimbingan tertentu dari Mursyidnya, pent) maka tidak ada alasan bagi mereka untuk
meninggalkan hal yang paling baik, paling bersih dan memperhatikan bagian-bagian
anggota wudhu secara sempurna dan maksimal, berpegang teguh pada tindakan yang
paling berhati-hati dan paling sempurna dalam bersuci dan soal kebersihan.

Barangsiapa tidak memiliki kesibukan selain itu, maka ia wajib curahkan segala
kemampuan untuk melakukannya sesuai dengan kemampuannya. Sebab Allah swt.
berfirman, “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian
(semaksimal kalian).” (Q.s. at-Taghaabun:16).

Saya melihat sejumlah manusia yang selalu memperbarui wudhunya setiap kali shalat.
Mereka segera berwudhu sebelum masuk waktu shalat, sehingga setelah selesai
berwudhu mereka langsung shalat.
Diantara adab mereka adalah selalu berada dalam kondisi suci jika dalam perjalanan.
Sebab yang menjadi landasan dasarnya karena mereka tidak tahu kapan kematian
datang menjemput.

Firman Allah swt., “Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat
mengundurkannya sesaat pun dan juga tidak dapat memajukannya.“ (Q.s. al-A’raf. 34).
Sehingga mereka berharap, ketika ajal menjemputnya secara mendadak, mereka
tinggalkan dunia ini dalam keadaan suci.
Saya pernah mendengar al-Hushri r.a, berkata, Kadang saya pernah bangun tidur di
suatu malam, lalu saya tidak tidur kembali kecuali setelah memperbarui wudhuku.”

www.tris.co.nr 1
Adab Berwudhu & Bersuci

Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a berkata: Sebab ia tidur dalam keadaan suci. Ketika ia
bangun tidur dan wudhunya telah batal maka ia segera memperbaruinya. Ia telah latih
untuk tidak tidur kecuali dalam keadaan suci.

Ada salah seorang syeikh yang masyhur dan terpandang selalu merasakan was-was
ketika sedang berwudhu, sehingga ‘banyak menuangkan air saat berwudhu. Kemudian
saya mendengarnya berkata, “Suatu malan aku memperbarui wudhuku untuk shalat
Isya’. Aku menuangkan air ke bagian tubuhku sehingga menghabiskan separo malam.
Namun hatiku belum juga yakin dan rasa was-was tidak juga hilang. Kemudian aku
menangis dan berkata, ‘Wahai Tuhanku, ampunilah aku.’ Ialu aku mendengar bisikan
suara, “Wahai fulan, ampunan itu diberi jika ilmu digunakan!.”

Abu Nashr adalah Abu Abdillah ar-Rudzbari rahimahullah - berkata: Dikatakan bahwa
syetan selalu ingin mengambil bagiannya dari seluruh amal (kegiatan) anak cucu Adam.
ia tidak peduli apakah dengan mengambil bagian itu menyebabkan anak cucu Adam
bertambah banyak melakukan yang diperintah atau malah berkurang.
Disebutkan dari Ibnu al-Kurraini, salah seorang guru al-Junaid bahwa suatu malam ia
pernah junub. Ia mengenakan pakaian bertambal yang kasar dan tebal, dimana pakaian
ini satu-satunya pakaian yang paling berharga ketika di sisi Ja’far al-Khuldi. Kemudian di
malam hari ia pergi menuju pinggir sungai. Sementara cuaca pada malam itu sangat
dingin, sehingga nafsunya mogok untuk mencebur ke dalam air karena sangat dingin.
Namun akhirnya ia menceburkan diri ke dalam air dengan pakaian tebal yang ia
kenakan tersebut. ia terus berendam di dalam air beberapa lama ia berkata, ‘Aku berniat
untuk tidak melepaskan baju ini dari tubuhku sehingga ia kering.” Ternyata baju tebal
yang ia kenakan itu tidak kering selama sebulan penuh. Apa yang ia lakukan adalah
sebagai pelajaran dan melatih diri (nafsu)nya, karena ia mogok ketika mau menjalankan
apa yang diperintah Allah untuk mandi junub.
Sahl bin Abdullah - rahimahullah - menganjurkan para sahabatnya untuk banyak minurn
air dan tidak banyak menumpah air di atas tanah. Ia berkata, “Sesungguhnya air itu
memiliki kehidupan. Ia akan mati ketika ditumpahkan di atas tanah.” Katanya, dengan
banyak minum air akan melemah nafsu, mamatikan kesenangan nafsu dan
mematahkan kekuatnya.

Abu Amr Muhammad bin Ibrahim az-Zujaji pernah bermukim di Mekkah dalam waktu
beberapa tahun, di mana tempat bermukim berada di perbatasan dengan tanah halal.
Setiap ingin buang hajat ia keluar dari perbatasan tanah haram sejauh satu farsakh ( 8
km-an), sebagaimana cerita yang saya terima ia tak pernah buang hajat di tanah haram
selama 30 tahun.

Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash - r.a, ketika hendak masuk di daerah pedalaman ia
selalu membawa tempat air (dari kulit) yang diisi air. la hanya minum sedikit dari
persedian air tersebut, karena ia mempersiapkannya untuk berwudhu.
lebih mengutamakan bisa berwudhu dengan air daripada Minumnya. meskipun sangat
haus.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - r.a - berkata: Aku melihat sekelompok orang Sufi berjalan
di tepi sungai. Sementara mereka tidak bisa meninggalkan tempat air dari kulit atau
kendi berisikan air. Hal ini dilakukan agar ketika mereka keburu ingin kencing dan tidak
memungkinkannya duduk di tepi sungai dalam kondisi aurat terbuka dan bisa dilihat oleh
orang, maka dengan persiapan air yang ada di kendi atau tempat dari kulit mereka akan
mudah mencari tempat yang sepi, sehingga, tindakan itu bisa lebih melindungi diri
www.tris.co.nr 2
Adab Berwudhu & Bersuci

mereka.
Merekajuga sangat tidak suka memijit-mijit kemaluannya saat tak mampu menahan
buang air kecil. Sebab akan bisa mengendorkan otot-otot yang berfungsi menahan
kencing. jika sering dipijit maka akan tidak mampu menahan air kencing, dan
mengakibatkan sering buang air kecil dalam kadar sedikit (beser).
Mereka juga tidak suka menahan kencing kecuali memang dalam kondisi sulit mencari
air dan sangat terpaksa. Saya lebih suka mengenakan celana ketimbang mengenakan
sarung setelah bersuci. Sementara sarung lebih gampang dilepas ketika mau lakukan
apa saja.
Mereka juga menghindari mengenakan apa saja yang dilubangi dengan bulu babi, baik
itu sedikit atau banyak, kering atau basah. oleh karenanya mereka lebih suka memakai
sandal.

Dikatakan jika Anda melihat seorang Sufi yang tidak membawa bekal air, maka Anda
perlu tahu, bahwa la berniat meninggalkan shalat dan siap menyingkap aurat, baik itu ia
kehendaki atau tidak.

Saya pernah melihat seseorang yang tinggal di tengah-tengah jamaah para ahli lbadah.
Mereka berkumpul dalam satu rumah. Tapi tak seorang pun dari mereka yang
melihatnya masuk atau keluar dari tempat buang air besar. Ia telah membiasakan dan
melatih dirinya untuk buang air besar atau kecil dalam satu waktu, yaitu ketika ia sedang
sendirian dan sepi tidak ada orang sehingga tidak ada orang yang melihatnya ia masuk
atau keluar dari tempat tersebut.

Saya juga melihat seorang Sufi yang melatih dan membill dirinya untuk tidak kentut
kecuali saat buang air besar di tempat yang sangat terpencil. Sementara ia tinggal di
pedalaman dan tempat sepi. Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash – r.a, pernah keluar
dari Mekkah ke Kufah sendirian. Selama dalam perjalanan ia tidak pernah melakukan
tayamum, karena ia membawa air minum yang kemudian ia gunakan untuk berwudhu.

Sekelompok syeikh Sufi sangat tidak suka masuk tempat pemandian umum kecuali
benar-benar sangat terpaksa. Jika terpaksa harus melakukannya, maka mereka
menunggu sampai sepi tiada orang. Dan jika mereka masuk di tempat pemandian, maka
tidak melepas sarungnya sampai mereka keluar. Mereka tidak memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk melihat.

Mereka selalu meminta agar air selalu didekatkan. Dan jika mereka berada dalam satu
rombongan mereka saling menggosok badan. Jika dalam tempat mandi ada orang lain
maka mereka akan menghadap tembok hingga matanya tidak melihat aurat yang lain.

Kalangan kaum Sufi tidak memperkenankan orang lain masuk bersamanya di tempat
mandi kecuali harus memakai sarung.

Dan di antara hal-hal yang dianjurkan adaah mencabuti bulu ketiak dan mencukur
rambut kemaluan. Sementara orang yang tidak bisa mencukurnya dengan baik
dianjurkan untuk membuat ramuan obat yang bisa menghilangkan bulu dan dilakukan di
tempat yang sepi.

Murid-murid Sahl bin Abdullah, antara yang satu dengan lain saling mencukur atau
memotong rambutnya.

www.tris.co.nr 3
Adab Berwudhu & Bersuci

Saya mendengar Isa al-Qashshar ad-Dinawari - r.a, berkata, “Orang yang pertama kali
memotong kumisku dengan tangannya sendiri adalah asy-Sybli. Saat itu aku menjadi
pembantunya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj- r.a, berkata: Menyisir rambut dengan dibelah di tengah
kepala menjadikan pilihan jamaah kaum Sufi, namun hal itu dimakruhkan untuk para
pemuda. Ini amat baik bagi para syeikh jika mereka melakukannya demi mengikuti
sunnah.

Sebagian syeikh Sufi mengatakan: Anggaplah bahwa kefakiran dari Allah. Lalu apa
hubungannya dengan kekumuhan? Sementara yang paling disenangi kaum Sufi adalah
kebersihan, mencuci pakaian, selalu membiasakan gosok gigi (siwak), mencari air yang
mengalir, lapangan terbuka yang luas, dan yang ada di sudut-sudut kota, suka
menyendiri di tempat (khalwat), mandi setiap hari jumat, baik di musim kemarau di
musim penghujan. Mereka juga menyukai wangi-wangian, dan sebaik-baiknya “minyak
wangi” adalah air yang mengalir. Mereka selalu mandi, memperbarui wudhu dan
menyempurnakannya.

Bukanlah kategori was-was seseorang yang berusaha suci semaksimal mungkin


dengan cara menjauh dan mencari air mengalir meskipun ia tempuh dalam perjalanan
yang jauh. Juga bukanlah termasuk was-was jika seseorang mendapatkan air yang
telah berubah dengan mencari tempat-tempat yang suci, dan menyiramkan air bersih
pada anggota tubuh bagian dalam dan kulit sela-sela anggota tubuh bagian dalam,
bagian-bagian kulit mengkerut, menghirupnya hingga mencapai ujung hidung dan
menuangkan air pada seluruh anggota tubuh, bagian kulit, baik saat berwudlhu atau
mandi dan bersuci lainnya.

Juga tidak masuk dalam kategori was-was yang dilarang orang yang berhati-hati dan
mencari yang paling suci dalam meniti keutamaan. Sebab semua itu masuk dalam
lingkaran firman Allah swt., “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semaksimal
kemampuan kalian.” (Q.s. at-Taghabun: 16).

Sedangkan was-was yang dilarang oleh syariat ialah yang menjadikan Anda keluar dari
ketentuan ilmu. Yaitu jika Anda disibukkan dengan lbadah-lbadah yang bersifat
keutamaan (sunnah) dengan meninggalkan lbadah-lbadah fardlu. Demikian halnya jika
menyalahi aturan keilmuan. Maka batallah shalat seseorang yang berwudhu dengan
hanya satu cibuk, cibuk pula.

Sementara itu tindakan yang benar ialah bila seorang hanya melakukan sesuai dengan
waktu dan kondisi dirinya. Jika ia ingin dapatkan air yang melimpah, maka ia berwudhu
dengan cukup sempurna dengan lebih berhati-hati sehingga hatinya menjadi tenang.
Jika ia tidak mendapatkan air yang cukup, maka sebaliknya ia memperbarui wudhunya
dan bersuci dengan air yang sedikit, sebagaimana diriwayatkan, bahwa sahabat-
sahabat Rasulullah selalu berwudhu dengan air yang tidak bercampur debu.

Syeikh Abu Nashr as-Sarrai - r.a, berkata: Saya pernah melihat seorang Sufi yang di
wajahnya ada luka yang tak kunjung sembuh dalam waktu dua belas tahun, sebab air
selalu membasahi lukanya. Sementara ia tidak pernah meninggalkan memperbarui
wudhunya setiap kali shalat.

www.tris.co.nr 4
Adab Berwudhu & Bersuci

Saya juga melihat seorang Sufi yang kedua matanya selalu meneteskan air.
Keluarganya mendatangkan seorang dokter untuk mengobatinya. Mereka telah
mengeluarkan banyak biaya untuk pengobatannya. Dokter berkata, “Ini bisa sembuh jika
tidak sentuh air air dalam beberapa hari dan hendaknya tidur telentang.” Si Sufi ini tidak
mau melakukan apa yang dianjurkan dokter, memilih lebih baik penglihatannya hilang
daripada diperintahkan meninggalkan wudhu dan bersuci dengan air. Si Sufi ini tidak lain
adalah Abu Abdillah Muhammad ar-Razi al-Muqri’i.

Diriwayatkan, bahwa Ibrahim bin Adham - r.a, punya tugas malam, di mana ia semalam
bangun tujuh kali lebih. Dan setiap kali bangun ia selalu memperbarui wudhunya
kemudian shalat dua rakaat.
Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash wafat di masjid jami’ Rayy saat berada di tengah-
tengah air. Saat itu ia sakit perut, kemudian menceburkan diri ke dalam air dan
memandikan diri dan akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Inilah yang sempat saya ingat saat ini tentang adab kaurn Sufi dalam masalah wudhu
dan bersuci. Semoga Aliah senantiasa memberi taufiq kepada kita.
Amin.
SufiNews.Com - http://www.sufinews.com [ Artikel Tanggal : 12 March 2008 ]

www.tris.co.nr 5

Anda mungkin juga menyukai