Anda di halaman 1dari 53

REFERAT

Tumor Colon

DOKTER PEMBIMBING
dr. Santi Andiani, Sp.B

DISUSUN OLEH
Tri Kartika Utomo
030.10.271

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
PERIODE JANUARI MARET 2015

REFERAT
Tumor Colon

DOKTER PEMBIMBING
dr. Santi Andiani, Sp.B

DISUSUN OLEH
Tri Kartika Utomo
030.10.271

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
PERIODE JANUARI MARET 2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
Referat dengan judul Tumor Colon. Referat ini diajukan dalam rangka
melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Budhi Asih periode 5 Januari 2015 14 Maret 2015 dan juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi penulis serta pembaca mengenai Tumor Colon. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan
kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada dr. Santi
Andiani, Sp.B, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit
Umum Darerah Budhi Asih.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari semua pihak agar
case report ini dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi semua pihak yang
membacanya. Penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila masih banyak
kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini.
Jakarta, Januari 2015
Penulis

DAFTAR ISI

COVER LUAR

COVER DALAM

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA......................................................
1
Embriologi & Anatomi.......................................................

4
5
7
7

Fisiologi Kolon..

13

Tumor Kolon.

16

Patogenesis....

18

Diagnosis 25

Diagnosis Banding....

41

Penatalaksanaan

42

Prognosis 48

Komplikasi

10

Pencegahan. 49

49

BAB III KESIMPULAN. 52


DAFTAR PUSTAKA................................................................................
53

BAB I
PENDAHULUAN
4

Tumor usus halus jarang terjadi, sebaliknya tumor usus besar atau rectum
relative umum. Di Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ
visceral dan 20% dari kematian karena penyakit kanker adalah akibat kanker
kolorektal. Karsinoma kolorektal sering dijumpai pada dekade 6 dan 7,
merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian. Kejadian karsinoma
kolorektal pada usia muda tidak banyak dijumpai.
Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang,
didapatkan bahwa kasus karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita
selama 5 tahun, terdiri dari penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita
(14,26%).
Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%),
rekto sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%),
kolon tranversum (6%),flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum
(12%),appendix (2%).
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di
Asia, banyak terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan
makanan. Beberapa faktor antara lain lingkungan, genetik dan immunologi
merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan
karsinogen, bakteri dan virus.
Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker
cecum dan kolon asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan
kanker rekto sigmoid dapat menyumbat lumen atau berdarah.
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah
dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat
pasien dapat diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera

Pemeriksaan radiologi untuk memeriksa adanya tumor kalon yaitu dengan


Ultrasonografi (USG), CT-Scan dan MRI, Foto Polos Abdomen Colon in Loop,
dan Kolonoskopi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.

Embriologi dan Anatomi 1,2


I.1

Embriologi
Embriologi traktus gastrointestinal (GI) dimulai pada minggu ke-empat
masa gestasi. Usus primitif terbentuk dari lapisan endoderm dan dibagi menjadi
tiga segmen: foregut, midgut, dan hindgut. Midgut dan hindgut nanti akan
membentuk kolon, rektum, dan anus.
Midgut akan membentuk usus halus, kolon asenden, dan kolon
transversum proksimal, dan menerima suplai darah dari arteri mesenterika
superior. Saat minggu ke-enam masa gestasi, midgut bergerak menuju keluar
kavitas abdomen, dan berputar 270 berlawanan arah jarum jam disekitar arteri
mesenterika superior dan akhirnya akan menempati tempat terakhirnya, yaitu di
dalam kavitas abdomen pada minggu kesepuluh masa gestasi.
Hindgut akan berkembang menjadi kolon transversus distalis, kolon
desenden, rektum, dan anus proksimal, semuanya menerima suplai darah dari
arteri mesenterika inferior. Saat minggu keenam masa gestasi, bagian ujung distal
hindgut (kloaka) terbagi menjadi septum urorektal pada sinus urogenital dan
rektum.
Bagian distal kanalis analis terbentuk dari ektoderm dan mendapat suplai
darah dari arteri pudenda interna.

Gambar 1. Pada minggu ketiga masa gestasi, usus primitif terbagi menjadi tiga bagian, foregut (F)
pada bagian kepala, hindgut (H) pada bagian ekor, dan midgut (M) diantara hindgut dan foregut.
Tahap perkembangan midgut: herniasi fisiologis (B), kembali ke abdomen (C), fiksasi (D). Pada
minggu keenam masa gestasi, septum urogenital bermigrasi kea arah kaudal (E) dan memisahkan
traktus urogenital dan intestinal (F, G). (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th
ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 2.)
I.2

Anatomi
Kolon berjalan sepanjang katup ileosekal sampai ke anus. Secara
anatomis, dibagi menjadi kolon, rektum, dan kanalis analis. Dinding dari kolon
dan rektum terdiri dari lima lapisan: mukosa, submukosa, otot sirkular dalam, otot
longitudinal luar, dan tunika serosa. Pada kolon, otot longitudinal luarnya terbagi
menjadi tiga taeniae coli, yang bertemu dengan apendiks pada ujung proksimal
dan rektum pada bagian distal. Pada rektum distal, lapisan otot polos dalam saling
menggabung sehingga membentuk sfingter anus internal pada minggu ke duabelas
masa gestasi. Kolon intraperitoneal dan sepertiga proksimal rektum terlapisi oleh
serosa; sedangkan bagian tengah dan bawah rektum kurang mengandung serosa.
8

I.2.1

Posisi Kolon
Kolon mulai berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan
sepanjang 3 sampai 5 kaki sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat
ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli membentuk otot polos longitudinal luar
rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang paling lebar (7,5 8,5 cm) dan
mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat sekum menjadi rentan
terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon asenden bagian
posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan
anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. White line of Toldt
merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian
yang halus ini membuat pembedah sebagai panduan untuk memobilisasi kolon
dan mesenterium dari retroperitoneum.
Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon
asenden (panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon
transversum intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan
ligamentum gastrokolika dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel
pada ujung anterior/superior kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan
gambaran seperti segitiga pada kolon tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi.
Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon
transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura
kolika dan limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan
tebal, yang akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden
umumnya menempel pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon
dengan panjang yang bervariasi (15 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang
sempit namun mempunyai pergerakan yang luas. Meskipun kolon sigmoid
terletak pada kuadran kiri bawah, akbiat mobilitasnya yang hebat dapat berpindah
ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini menjelaskan mengapa volvulus umum
ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa penyakit yang mengenai kolon
sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai gejala nyeri pada kuadran
kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid membuat bagian ini
sangat rentan terhadap obstruksi.

I.2.2

Suplai Vaskular Kolon


Suplai arteri pada kolon mempunyai banyak variasi (gambar 2).
Singkatnya, arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri ileokolika
(sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah ke ileus
terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai
darah ke kolon asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai kolon
tranversum. Arteri mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi arteri
kolika sinistra yang menyuplai kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid,
yang menyuplai kolon sigmoid, dan arteri rektal superior yang menyuplai
rektum proksimal.

Pengecualian pada vena mesenterika inferior, vena-vena pada kolon


mempunyai terminologi yang sama seperti arteri. Vena mesenterika inferior
berjalan naik pada retroperitoneum melewati muskulus psoas dan berjalan
posterior ke pancreas untuk bergabung dengan vena splenika. Pada kolektomi,
vena ini di gerakkan secara independen dan di ligasi pada ujung inferior pankreas.
Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke vena mesenterika
10

superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta.
Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar
rektum terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju
vena splenika.

.
Gambar 2. Drainase vena pada kolon. Dan rektum (Sumber: Gordon PH, Nivatvongs S [eds]:
Principles and Practice of Surgery for the Colon, Rectum, and Anus, 2nd ed. St. Louis, Quality
Medical Publishing, 1999, p 30)

Drainase limfatik juga dinamakan sesuai dengan arterinya. Drainase


lmimfatik bermulai dari jaringan-jaringan limfatik dari muskularis mukosa.
Pembuluh limfa dan limfonodusnya dinamakan sesuai dengan arteri regional yang
ada. Limfonodus epikolik ditemukan pada dinding usus dan pada epiploika.
Nodus yang berdekatan pada arteri disebut limfonodus parakolika. Limfonodus
intermediet terletak pada cabang utama pembuluh darah besar; limfonodus primer
rerletak pada arteri mesenterika superior atau inferior.
11

Gambar 3. Drainasi limfatik pada kolon (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th
ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 21)

I.2.3

Suplai Saraf Kolon


Kolon terinervasi oleh saraf simpatis (inhibisi) dan saraf parasimpatis
(eksitasi/stimulasi), yang keduanya berjalan paralel dengan arteri. Saraf simpatis
muncul dari T6 T12 dan preganglion lumbal splanchnikus L1 L3. Inervasi
parasimpatis pada bagian kanan dan kolon transversum dan berasal dari nervus
vagus dextra (N. X). Sedangkan inervasi parasimpatik untuk kolon bagian kiri
bermulai dari nervi erigentes S2 S4. Nervus preganglion parasimpatis bergabung
dengan nervus postganglion simpatis yang muncul pada akhir foramina sakralis.
Serat-serat saraf ini, melalui pleksus pelvis, mengelilingi dan menginervasi
prostat, uretra, vesika semilunaris, vesika urinaria, dan otot dasar panggul. Diseksi
rektal dapat mengganggu pleksus pelvis dan subdivisinya, menyebabkan disfungsi
neurogenik vesika urinaria dan seksual (sebanyak 45% kasus). Derajat dan tipe
disfungsi tergantung pada derajat keparahan cedera neurologinya. Ligasi arteri

12

mesenterika inferior yang menyuplai nervus hipogastrium menyebabkan disfungsi


saraf simpatis yang dicirikan sebagai ejakulasi retrograde dan disfungsi vesika
urinaria. Cedera pada saraf simpatis dan parasimpatis akan menghasilkan
impotensi dan atonia vesika urinaria.

II.

Fisiologi Kolon 1,2


Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien,
sedangkan dimana fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan nutrien
tergantung pada koloni flora normal, motilitas usus, dan absorpsi dan ekskresi
mukosa.
II.1

Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh
tercampu oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian
besar nutrien, dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen.
Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus
akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan
energi terlalu banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora
normal yang ada. Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri
sebanyak 1011 sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak
adalah bakteri anaerob dengan spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides (1011
sampai 1012 organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri spesies yang
paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL). Flora normal ini berguna untuk
memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai andil dalam metabolism
bilirubin, asam empedu, estrogen, dan kolesterol, dan juga vitamin K. Flora
normal juga berguna untuk menekan jumlah bakteri patogen, seperti Clostridium
difficile. Jumlah bakteri yang tinggi dapat menyebabkan sepsis pada pasien
dengan keadaan umum yang buruk dan dapat menyebabkan sepsis inta-abdomen,
abses, dan infeksi pada luka post-operasi kolektomi.

13

II.2

Urea Recycling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia
dan sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal
bakteri pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling
umum adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan kembali urea
nitrogen yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain barrier dan
menyebabkan gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma
hepatik.

II.3

Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk
kedalam kolon perharinya mencapai 1000 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon
hanya sekitar 100 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi,
yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses
hanya tersisa 25 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, nbutirat akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena
sel mamalia tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada
bakteri lumen untuk memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya nbutirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang
menyebabkan kurangnya absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon
menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari
ileus

terminalis,

sehingga

membuat

kolon

menjadi

bagian

sirkulasi

enterohepatika. Ketika absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas,


bakteri akan mengkonjugasi asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi akan
mengganggu absorpsi natrium dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris
atau diare koleretik. Diare sekretoris dapat dilihat saat setelah hemikolektomi
sebagai fenomena transien dan lebih permanen reseksi ileus ekstensif.
II.4

Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon
dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan
14

rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan
sekum sebagai segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon
bagian kiri merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit
pada kolon diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai
kolon melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai
kolon akan membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika
(Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.
Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah
kanan, gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd
sehingga isi dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi
dari lumen usus terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisahpisah menjadi globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic,
merupakan gabungan antara gerakan retropulsif dan tonis.

15

III.

Tumor Colon
3.1 Definisi
Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di
dalam permukaan usus besar atau rektum (Boyle & Langman, 2000 : 805).
Karsinoma

kolon adalah pertumbuhan sel yang bersifat ganas yang

tumbuh pada kolon dan menginvasi jaringan sekitarnya (Tambayong, 2000 : 143).
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
karsinoma kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan
merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (usus besar).
3.2

Insidens 1
Adenokarsinoma kolon dan rektum merupakan keganasan yang paling
umum ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan
lebih dari 52.000 pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker
kolorektal menjadi pembunuh kedua pada penyakit kanker di Amerika. (American
Cancer Society, 2009). Insidensinya terbagi rata antara pria dan wanita dan tetap
berada pada angka yang konstan selama 20 tahun terakhir. Deteksi dini dengan
pengembangan peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu
untuk mortalitas kanker kolorektal dala beberapa tahun terakhir.

3.3

Epidemiologi (Faktor Risiko) 3


Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektar
merupakan hal yang penting untuk menentukan program screening dan surveilans
pada populasi dengan faktor risiko.

a. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan
insidens yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini
dijadikan dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala
yang asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia,
maka jika ada gejala seperti perubahan keadaan usus, perdarahan rektum, melena,
16

anemia tanpa sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka diperlukan
pemeriksaan yang lebih mendetail.
b. Faktor Herediter
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat
keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian
yang lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis
dini. Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan
pemeriksaan ini, seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang
ada suspek keluarga yang dulunya terkena kanker kolorektal.
c. Faktor Diet dan Lingkungan
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi dengan
faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga terdapat
sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker.
Diet yang tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid
meningkatkan risiko kanker kolorktal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat
(minyak zaitun, minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan
risiko. Pada penelitian dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik
langsung terhadap mukosa kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan
perubahan maligna. Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat
lebih protektif. Intake kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan
fenol dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi dasar
preventif primer untuk mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur
diet dan gaya hidup. (Janne PA, 2000 dan Calle EE, 2003).
d. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk terkena
kanker kolorektal (Eaden JA, 2001). Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa
inflamasi kornis akan membuat perubahan struktur pada mukosa kolon menjadi
struktur maligna dan hal ini juga dipengaruhi dengan derajat berat inflamasinya.
Pada ulseratif pankolitis, risiko terkena kanker meningkat sebanyak 2% setelah 10
tahun, 8% setelah 20 tahun, dan 18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah
sinistra tanpa alasan yang jelas mempunyai risiko yang relatif rendah. Akibatnya,
pasien dengan kolitis direkomendasikan agar diperiksa kolonoskopi dengan

17

biopsy mukosa acak 8 tahun setelah terdiagnosis pankolitis dan 12 15 tahun


kemudian pada pasien dengan pankolitis sinistra.
e. Faktor Risiko Lain
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama ketika
merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga mempunyai
peningkatan faktor risiko adenoma maupun karsinoma (Woodhouse CR, 2002).
Akromegali, dimana terjadi peningkatan growth hormone dan insulin-like growth
factor I, juga menambah faktor risiko.
IV.

Patogenesis 1,3
IV.1

Defek Genetik
Selama dua dekade terakhir, penelitian ilmiah memfokuskan tentang defek
genetik dan abnormalitas molekular yang berhubungan dengan progresi dan
perkembangan adenoma dan karsinoma kolorektal. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi onkogen (K-ras) dan/atau aktivasi tumor-suppressor genes [APC, DCC
(deleted in colorectal carcinoma), p53]. Karsinoma kolorektal diperkirakan
berkembang dari polip adenoma dengan akumulasi mutasi-mutasi ini (gambar 4).

Gambar 4. Sekuens adenoma-karsinoma pada kanker kolorektal. (Sumber: Ivanovich JL, Read
TE, Ciske DJ, et al: A practical approach to familial and hereditary colorectal cancer. Am J Med
107:68-77, 1999).

18

Defek pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) pertama kali


ditemukan pada pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Dengan
menyelidiki keluarganya, karakteristik mutasi pada gen APC dapat diidentifikasi.
APC gen terdeteksi pada 80% penderita kanker kolorektal. Mutasi gen ini hanya
ditemukan pada adenoma atau karsinoma saja, tetapi tidak pada jaringan
disekitarnya. Hal ini menandakan bahwa mutasinya adalah mutasi somatik.
Karena APC adalah gen penekan tumor, pada kehilangan kedua alelnya dapat
menghilangkan aktifitas penekan tumornya. Mutasi yang terjadi, disebabkan oleh
pembentukan kodon stop yang terlalu awal, yang menghasilkan protein APC yang
terpotong. Pada FAP, tempat mutasi berkaitan dengan gambaran klinis penyakit.
Contohnya, mutasi pada ujung lengan 3 atau 5 menyebabkan pembentukan
bentuk FAP yang lemah, sedangkan pusat mutasi pada gen memperparah
penyakit. Sehingga, pengetahuan tentang mutasi spesifik pada keluarga dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan keputusan klinis.
Inaktifasi hanya pada APC tidak mampu menyebabkan karsinoma. Mutasi
pada APC akan mencetuskan akumulasi kerusakan-kerusakan genetik yang
akhirnya menyebabkan keganasan lewat jalur loss of heterozygosity (LOH).
Mutasi tambahan pada jalur ini termasuk aktivasi K-ras onkogen, dan hilangnya
tumor-suppressor gene DCC dan p53.
K-ras diklasifikasikan sebagai proto-onkogen karena mutasi hanya pada
satu alel saja dapat merusak seluruh siklus sel. Gen K-ras merupakan produk
protein G yang ikut dalam transduksi sinyal intrasel. Ketika K-ras yang aktif
berikatan dengan guanosin triphosphate (GTP); terjadi hidrolisis GTP menjadi
guanine diphosphate (GDP) sehingga menonaktifkan protein G. Mutasi pada Kras akan menyebabkan ketidakmampuan untuk menghidrolisis GTP, sehingga
protein G akan terus tetap aktif. Diperkirakan mekanisme inilah yang
menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkontrol.
Gen
Adenomatous
Polyposis

Coli

Kromosom
5q

Kelas Gen
Tumor

Fungsi
Adhesi
dan

Keterangan
Mutasi
pada

suppressor

komuikasi

FAP, Gardners

interseluler

dan

(APC)

Turcots

syndrome.

19

Deleted

in

18q

Onkogen

Colorectal

Interaksi

dan

adhesi sel

Pertumbuhan
tumor,

Carcinoma

invasi,

dan metastasis

(DCC)
P53

17p

Tumor

Transkripsi

>50%

suppressor

faktor

kolon

untuk

gen

yang

mencegah

kanker

mempunyai
mutasi p53

pertumbuhan
K-ras

12p

Onkogen

tumor
Transduksi

50%

signal

kolon

kanker

mempunyai
hMSH2,

2p

hMLH1,

Mismatch

Memperbaiki

repair

kesalahan

aktivitas K-ras
HNPCC

hPMS1, hPMS2
replikasi DNA
Gen-gen yang Terlibat dalam Kanker Kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)

DCC merupakan tumor-suppressor gene dan jika kehilangan kedua alelnya


akan mernyebabkan degenerasi maligna. Peran produk gen DCC berhubungan
dengan adhesi sel dan interaksi sel dan matriks, yang mungkin penting untuk
mencegah pertumbuhan tumor, invasi, dan metastasis (Jeffrey A., 2000). Fungsi
utamanya nampaknya terletak pada system saraf sentral, yang berfungsi dalam
migrasi dan diferensiasi akson. Observasi tersebut menimbulkan hipotesis bahwa
DCC mungkin terlibat dalam adhesi dan diferensiasi kanker kolorektal, namun
teori ini masih belum di buktikan (53). Mutasi pada DCC terlihat pada 70% kasus
dan mungkin bisa berdampak negatif pada prognosis.
Tumor-suppressor gene p53 berhubungan dengan beberapa keganasan.
Protein p53 nampaknya menjadi fakor determinan yang paling penting dalam
tomorigenesisi

kolorektal.

Kebanyakan

gen

yang

teraktifasi

oleh

P53

dimungkinkan dapat mencegah pertumbuhan. Sehingga, inaktivasi P53 akan


menimbulkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol. Mutasi pada P53 dapat

20

ditemukan pada setengah kanker manusia, membuat gen ini menjadi jalur pusat
biokimia dalam keganasan manusia.

Jalur LOH sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)

IV.2

Jalur Genetik
Dua jalur utama inisiasi dan progresi tumor dapat dijelaskan menjadi jalur
Lost of Heterozygosity (LOH) dan replication error (RER). Jalur LOH dicirikan
dengan delesi kromosom dan aneuploiditas tumor dan sedikitnya ada tujuh buah
gen yang terlibat dalam jalur LOH ini. Delapan puluh persen karsinoma muncul
dari mutasi pada jalur LOH. Sisanya yang 20% muncul dari jalur RER, yang
dicirikan dengan kesalahan dalam perbaikan mismatch (kesalahan pasangan) pada
replikasi DNA. Beberapa gen telah terdeteksi dalam kesalahan perbaikan DNA

21

RER, yaitu hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi hanya
pada salah satu gen ini, cukup untuk membuat mutasi sel, yang mungkin dapat
timbul pada proto-onkogen atau tumor suppressor gen. Mismatch ini membuat
terus meningkatnya kesalahan eplikasi, sehingga terjadi instabilitas mikrosatelit
(pertumbuhan sel kanker ditempat lain yang berdekatan) dan malfungsi gen. Jika
telah terbentuk mikrosatelit yang tidakstabil, maka akan mudahnya terjadi
mikrometastasis di tempat lain akibat struktur sel-sel mikrosatelit yang mudah
lepas.

Jalur RER sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)

22

Faktor-faktor molekular yang berhubungan dengan perkembangan keganasan kolorektal. Faktor


Genetik muncul pada saat lahir yang menginisiasi karsinogenesis atau dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yang menyebabkan kerusakan genetik dan karsinogenesis. (Sumber: Allen Jl.
Molecular Biology of colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg
1995;8:181-202)

23

V.

Diagnosis
Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling pentng untuk
kanker

kolon

adalah

pengujian

darah

samar,

enema

barium,

proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan


setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus dari kanker
kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi atau apusan
sitologi.
V.1

Manifestasi Klinis 3
Presentasi timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori
umum: onset gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau
perforasi akut. Presentasi yang paling sering timbul adalah onset gejala kronis
yang asimtomatis (77 92%), diikuti oleh obstruksi (6 - 16%), dan perforasi
dengan peritonitis local atau difus (2 7%).
Gejala
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan
dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi
belahan bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon
transversum), dan arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan
besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi
kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit
kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses
masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan
dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan
pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya

24

ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi.

A. Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan
perubahan pada pola buang air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi
mukus dapat menyebabkan diare. Pasien mungkin memperhatikan perubahan
warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali menyebabkan perdarahan
samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post
menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka
kemungkinan kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus
dilakukan. Karena perdarahan yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat
intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak dapat menyingkirkan
kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya
berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah
buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang
air besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan dengan
buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah penurunan berat badan dan
demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat menjadi
tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang
mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi
dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kanker kolon.

B. Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga
jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan
besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien
dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang

25

membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien


dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar,
kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor
primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga
bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda
pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan
jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama
kali yang muncul dari kanker kolon.
V.2

Pemeriksaan Fisik
Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta
spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis
intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektusm dimana sesuai dengan
posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun
10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah
lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga
Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon
yang tidak dapat begitu saja diabaikan.
rectal toucher untuk menilai :
Tonus sfingter ani

: kuat atau lemah.

Ampula rektum

: kolaps, kembung atau terisi feses

Mukosa

: kasar,berbenjol benjol, kaku

Tumor

: teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari,


mudah berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan
sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.

26

Gambar : pemeriksaan fisik digital rectal examination

a. Stadium
Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang
akan dilakukan, dan perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang
dianggap invasif berarti harus menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang
berada tidak menembus muskularis mukosa tidak dianggap dapat invasif karena
tidak adanya linfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in situ.
Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya
stadium TNM (tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh American
College of Surgeons Commission on Cancer.
Stadium
Stadium 1
Stadium 2
Stadium 3

Kedalaman
T1, T2
T3, T4
Seluruh T

TX

Stadium 4
Seluruh T
tumor primer, tidak dapat dinilai

T0

tidak ada bukti adanya tumor primer

Tis

carcinoma in situ

T1

tumor menginvasi ke submukosa

T2

tumor menginvasi muskularis propria

27

Status Limfonodus
N0
N0
Setiap N (Kecuali

Metastasis Jauh
M0
M0
M0

N0)
Setiap N

M1

T3

tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke perikolika atau ke
perirektal
T4a

perforasi tumor ke peritoneum visceral

T4b

tumor langsung menginvasi langsung struktur lain

NX

limfonodus regional tidak dapat dinilai

N0

tidak ada limfonodus regional yang terkena

N1

mengenai 1-3 limfonodus perirektal atau perikolik

N2

lebih dari 4 limfonodus perirektal atau perikolik terkena

N3

limfonodus regional beserta pembuluh darah besar

MX

adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0

tidak ada metastasis jauh

M1

metastasis jauh

Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC). (Sumber:
Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science
and Business Media LLC, www.springerlink.com).

V.3

Temuan Laboratorium 3
Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan adanya
anemia. Tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika sudah
terjadi metastasis ke hepar. Jika terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA juga
akan ikut meningkat, namun jika tidak ada metastasis, kadar CEA juga akan ikut
meningkat.

V.4

1.

Pemeriksaan Penunjang
Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna.

28

2.

Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening


CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan
sebagai

screening

kanker

kolorektal.

Meningkatnya

nilai

CEA serum,

bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA


berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan
kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum
merupakan faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan
bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes
ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum
operasi sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer
berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif
berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang bermetastase
sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.

3.

Tes Occult Blood


Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi
berwarna biru oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis,
oksidase menjadi sempurna dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi
sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet. Seperti contohnya daging
merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari hal ini. Tes
ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood
mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg
hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai
masalah yang perlu dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk
screening, karena semua sumber perdarahan akan menghasilkan hasil positif.

29

Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak berdarah sama
sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,
manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes
occult blood dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas
dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan
evaluasi lebih lanjut.

4.

Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras
barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada
barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang
dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.

30

Gambar 9 : Gambaran colon in loop


a. Persiapan Penderita dalam Pemeriksaan Colon in Loop
a.1 Mengubah pola makanan penderita
Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, low residue, dan tidak
mengandung lemak. Ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya bongkahanbongkahan tinja yang keras.
a.2 Minum sebanyak-banyaknya
Oleh karena penyerapan air di saluran cernaterbanyak di kolon, maka
pemberian minum ini dapat menjaga tinja agar tetap lembek. Untuk menjaga
kebutuhan kalori dan keseimbangan elektrolit dapat diberikan oral enteral feeding
berupa bubuk yang dilarutkan dalam air.
a.3 Pemberian Pencahar
Apabila kedua hal di atas dijalankan dengan benar, maka pemberian
pencahar hanyalah sebagai pelengkap saja. Pada beberapa keadaan, seperti : orang
tua, rawat baring yang lama, dan sembelit kronis, pencahar ini mutlak diberikan.
Sebaliknya dipilih pencahar yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
-

Melembekkan tinja dan meningkatkan peristaltis

Mempunyai cita rasa yang enak

Mempunyai kemasan yang menarik


31

Umumnya pemakaian pencahar hanyalah bersifat sementara, walaupun


demikian harus tetap diwaspadai terjadinya kebiasaan memakai laxative (laxative
habits). Magnesium sulfat dapat diberikan sebagai alternatif dan memberikan
hasil yang cukup baik dalam 6-8 jam setelah pemakaian.
Pengalaman menunjukkan salah satu kegagalan persiapan disebabkan
keengganan penderita untuk memakan pencahar oleh karena tidak mempunyai
sifat-sifat tadi.
b. Teknik pemeriksaan
b.1 Tahap pengisian
Di sini terjadi pengisian larutan barium ke dalam lumen kolon. Sampai
bagian kolon manakah pengisian tersebut sangat bergantung pada panjang
pendeknya kolon itu sendiri. Umumnya dapat dikatakan cukup bila sudah
mencapai fleksura lienalis atau pertengahan kolon transversum. Bagian kolon
yang belum terisi dapat diisi dengan merubah posisi penderita dari telentang
(supine) menjadi miring kanan (right decubitus)
b.2 Tahap pelapisan
Dengan menunggu 1-2 menit dapat diberikan kesempatan pada larutan
barium untuk melapisi (coating) mukosa kolon.
b.3

Tahap pengosongan
Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa larutan
barium dalam lumen kolon perlu dibuang sebanyak yang dapat dikeluarkan
kembali. Caranya dengan memiringkan penderita ke kiri (left decubitus) dan
menegakkan meja pemeriksaan (upright)

b4

Tahap pengembangan
Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon. Usahakan
jangan sampai terjadi pengembangan yang berlebihan (overdistention) karena
akan timbul hal-hal yang tidak diingini.

32

b.5

Tahap pemotretan
Setelah seluruh kolon mengembang sempurna, maka dilakukan pemotretan
atau eksposun radiografik. Posisi penderita saat pemotretan tergantung pada
bentuk kolonnya atau kelainan yang ditemukan. Hal yang sama juga berlaku
untuk jumlah film yang dipakai.

c. Lama pemeriksaan
Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin lama
pemeriksaan itu berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-kerak barium di
sepanjang kolon makin besar.
d. Alat-alat yang dipakai
Irigator plastic dengan balon dan pompa udara terpasang sangat disukai
untuk dipakai karena sifatnya yang fleksibel sehingga penderita tidak perlu
meninggalkan meja pemeriksaan pada tahap pengosongan.
e. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop
Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
-

Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)


Bentuk klasik tipe ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated) dan
tidak bertangkai (sessile). Dinding kolon seringkali masih baik.

Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)


Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen kolon
sempit dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis Crohn

Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)


Bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon dapat tidak
menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan colitis ulseratif.

33

5.

Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari
pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai
polip premaligna.

Gambar : metode pemeriksaan endoscopy tumor kolon

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan endoskopi


6.

Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut
angulasi dari rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen.
Pemeriksaan

ini

dapat

mendeteksi

20-25% dari

kanker kolon.

Rigid

proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk digunakan sebagai evaluasi

34

seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika digunakan bersama
sama dengan occult blood test.

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan sigmoidoskopi


7.

Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon
dan dapat mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari
kanker kolon dapat terdeteksi dengan menggunakan alat ini. Flexible
sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi terapeutik polipektomi,
kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada ileorektal
anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita
kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible
sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena
meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya
berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.

35

8.

Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%
pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi diagnostik.

Gambar : Metode pemeriksaan kolonoskopi

36

V.5

Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.

a.

CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon
pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk
mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah
pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %,
dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien. 19
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi
metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.

Gambar 8 : CT scan pelvis menunjukkan adanya tumor kolon yang sudah


metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal

37

38

Gambar 9 : CT scan pelvis yang menunjukkan adanya karsinoma kolon


b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT
scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan
untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.

Gambar : MRI dari karsinoma kolon

c.

Endoskopi UltraSound (EUS)


EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%,
70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal,
kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rektal
examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan
ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah
mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari
kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.

39

V.6

Pendekatan Diagnosis 4

Algoritme diagnosis dan terapeutik kanker kolon.4

Diagnosis Banding

VI.

a.

Ca. rekti 5
Gejala yang umum ditemukan pada ca. rekti mirip dengan kanker kolon,
yaitu: perubahan buang air besar, diare atau konstipasi atau perasaan seperti buang
40

air besar yang tidak lampias, ada darah saat buang air besar (umumnya darah
segar), feses yang lebih kecil dari keadaan normal, adanya perasaan tidak enak di
abdomen seperti kembung, atau terasa penuh, berat badan menurun tanpa sebab
yang jelas, cepat lelah, dan muntah.
Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan rectal toucher, barium enema, dan
fecal occult blood test (FOBT). Untuk FOBT, pemeriksaan ini tidak terlalu
spesifik karena pada kanker kolon juga terdapat perdarahan yang samar.
b.

Hemorrhoid 3
Pada pasien hemoroid, cenderung memiliki gejala yang mirip dengan
karsinoma kolon, kecuali pada hemoroid eksterna yang cenderung mengalami
prolapsus, namun bukan rektum, sehingga dapat dilihat pada saat pemeriksaan
anus. Penderita hemoroid juga dapat ditemukan perdarahan kronis tanpa nyeri
sehingga terjadi anemia. Untuk menyingkirkan diagnosis ini, diperlukan
pemeriksaan rectal toucher, barium enema, atau kolonoskopi.

VII.

Penatalaksanaan 1
Prinsip Reseksi
Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor
primer beserta dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada
kolon bersamaan dengan suplai arteri, panjang kolon yang direseksi bergantung
pada pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker. Setiap jaringan
yang menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus
dilakukan reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi
paliatif menjadi pilihannya.
Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau
adanya riwayat keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa
seluruh kolon berisiko terkena karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan
dipertimbangkan

dilakukan

kolektomi

total

atau

subtotal.

Jika

terjadi

metachronous tumors (tumor kedua daritumor primerkolon) maka dilakukan juga


dengan penatalaksanaan yang sama.
41

Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu menentukan


kualitas reseksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebanyak minimal 12
limfonodus yang terangkat memiliki tingkat kesembuhan yang adekuat. Namun
pada penelitian lain menunjukkan bahwa jumlah limfonodus yang terambil tidak
menentukan tingkat kesembuhan.
Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi tumor
primer tetap dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan agar dilakukan
anastomosis primer jika kolon terlihat sehat, tidak terlibat karsinomatosis, dan
keadaan pasien stabil.

42

43

Gambar panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B. Karsinoma felksura
hepatika. C. Karsinoma kolon transversum. D. Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon
desenden. F. Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).

VII.1

Stadium 0 (Tis, N0, M0)


Polip yang mengandung karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak
berisiko untuk terjadi metastasis limfonodus. Namun adanya high-grade
dysplasia, menaikkan adanya risiko karsinoma invasif di dalam polip. Akibat hal
ini, polip tersebut harus di eksisi seluruhnya dan batas patologik di sekitar polip
harus terbebas dari area displasia. Umumnya polip ini dapat dieksisi dengan
endoskopi. Setelah dibedah, pasien harus tetap di followup dengan endoskopi
untuk meyakinkan bahwa polipnya tidak akan timbul kembali dan tidak
berkembang menjadi karsinoma kolon. Jika polip tidak bias di angkat seluruhnya,
maka dapat direkomendasikan unutuk dilakukan eksisi segmental.

VII.2

Stadium I: Polip Maligna (T1, N0, M0)


Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip
dan risiko timbulnya metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus
tergantung pada kedalaman invasi. Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala
polip tanpa mengenai batangnya memiliki risiko metastasis yang rendah (<1%)
dan dapat direseksi secara endoskopi. Namun, invasi limfovaskular, gambaran
histologi dengan diferensiasi yang luas, atau tumor dalam batas 1 mm dari tempat
reseksi mempunyai faktor risiko rekurensi lokal dan metastasis. Pada keadaan ini
merupakan indikasi dilakukannya kolostomi segmental. Karsinoma invasif yang
muncul dari polip sessile memanjang ke arah submukosa sehingga dapat
dilakukan kolostomi segmental.

44

Gambar letak karsinoma invasif pada polip yang bertangkai dan polip sessile. (Sumber: Brunicardi
FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs
Principles of Surgery, 9th Edition).

VII.3

Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0)


Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat
disembuhkan dengan reseksi. Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker
setelah dilakukan reseksi, pengobatan kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi
rekurensi kanker ini. Namun sebanyak 46% pasien setelah reseksi komplit
stadium II akan meninggal akibat kanker kolon. Akibat hal tersebut, dilakukanlah
pengobatan ajuvan pada beberapa pasien dengan karsinoma kolon stadium II
(pasien yang masih muda dengan gambaran radiologi dengan displasia yang
tinggi). Data yang ada masih kontroversial apakah dengan terapi ajuvan setelah
bedah mampu meningkatkan survival rate.

VII.4

Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0)


Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis
lokal maupun jauh dan kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5flurouracil (5-FU) dan levamisole mengurangi angka kematian sampai 33%
dengan efek samping yang rendah. Agen kemoteraputik lain seperti capecitabine,
irinotecan,

oxaliplatin,

angiogenesis

menunjukkan efek yang baik.


45

inhibitors,

and

imunoterapi

juga

VII.5

Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1)


Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun,
tidak seperti keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan
terlokalisir, memiliki keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang
paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan 20% diantara pasien yang
memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan pada pasien ini
meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling sering terkena
metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma
kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1
2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%.
Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi; fokus
penatalaksanaan tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer
direkomendasikan agar dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan dan
obstruksi. Namun, bedah abdomen mayor dapat mengurangi efek kemoterapi.
Terlebih lagi, kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang signifikan dan
pengecilan tumor. Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya
dilakukan kemoterapi tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV.

VII.6

Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer Centre


(MDACC) 4
Pasien dengan kanker kolon stadium II dan III mempunyai risiko terkena
mikrometastasis setelah reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah
komplikasi tersebut. Berikut adalah terapi yang umum digunakan pada MDACC
Kemoterapi Ajuvan

Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1
5 tiap 4 minggu. Total 6 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu
untuk 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirahat (tidak minum obat).
Total 3 siklus.
Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hariselama 14
hari, 7 hari istirahat. Total 8 siklus.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1; leucovorin 200 mg/m2 IV;
fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2

46

47

sebanyak 40%. Angka keselamatan selama 5 tahun pada kanker kolorektum


stadium IV menurun drastis sampai 14%.

Tabel stadium kanker menurut AJCC. (Sumber: Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth
Edition (2002) published by Springer Science and Business Media LLC, www.springerlink.com)
IX.

Komplikasi 1
Komplikasi yang paling timbul pada kanker adalah metastasis kanker ke
organ lain. Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan
20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan
pada pasien ini meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling
sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan
karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani
reseksi (sekitar 1 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%.

X.

Pencegahan
A.

Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat
polip dan menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang
menjalani kolonoskopi polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian
prospektif randomized clinical trial yang menunjukan bahwa sigmoidoskopi
efektif untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal, meskipun penelitian
trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid
dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga
pemeriksaan kolonoskopi harus dilakukan.
48

B.

Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien
yang mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan
mempunyai efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National
Research Council telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982.
Rekomendasi ini diantaranya :

1. Menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari total kalori


2. Meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat
3. Membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan
4. Membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet
5. Mengurangi konsumsi alkohol.

C. Non Steroid Anti Inflammation Drug


Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID
sulindac dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan
diameter dari polip bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran
dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat tiga bulan setelah
perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi
formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker
kolorektal, baik pada kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek
protektif ini terlihat membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan
setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun.2
D. Hormon Replacement Therapy (HRT)
Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan
sebanyak 59.002 orang wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara
pemakaian HRT dengan kanker kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT
menunjukkan penurunan risiko untuk menderita kanker kolorektal sebesar 40%,
dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah pemakaian HRT
dihentikan.
49

BAB III
KESIMPULAN

50

Diagnosis tumor kolon dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang diantaranya Ultrasonografi (USG), CT-Scan dan MRI,
Foto Polos Abdomen Colon in Loop, dan Kolonoskopi. Di klinik sehari-hari
metode pemeriksaan yang sering dipakai ialah metode Colon in loop. Dimana
pada tumor kolon akan terlihat gambaran penonjolan ke dalam lumen, kerancuan
dinding kolon, dan kekauan dinding kolon. Kontras yang dipakai biasanya yaitu
barium enema dengan lama pemeriksaan lima menit. Metode pemeriksaa yang
lebih canggih dapat dipakai untuk melihat adanya metastasis, misalnya dengan CT
scan.

TINJAUAN PUSTAKA

51

1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB,
Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).
2. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright 2004
Elsevier.
3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000.
Springer.
4. MD Anderson Manual of Medical Oncology. 2007. McGraw-Hill Company.
5. University of California San Francisco. Rectal Cancer Diagnosis: Conditions
and Treatments. UCSF Medical Centre.
http://www.ucsfhealth.org/conditions/rectal_cancer/diagnosis.html
6. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.
7. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.
8. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.
Jakarta : EGC.2000.
9. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.

52

Anda mungkin juga menyukai