Tumor Colon
DOKTER PEMBIMBING
dr. Santi Andiani, Sp.B
DISUSUN OLEH
Tri Kartika Utomo
030.10.271
REFERAT
Tumor Colon
DOKTER PEMBIMBING
dr. Santi Andiani, Sp.B
DISUSUN OLEH
Tri Kartika Utomo
030.10.271
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
Referat dengan judul Tumor Colon. Referat ini diajukan dalam rangka
melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Budhi Asih periode 5 Januari 2015 14 Maret 2015 dan juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi penulis serta pembaca mengenai Tumor Colon. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan
kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada dr. Santi
Andiani, Sp.B, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit
Umum Darerah Budhi Asih.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari semua pihak agar
case report ini dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi semua pihak yang
membacanya. Penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila masih banyak
kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini.
Jakarta, Januari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
COVER LUAR
COVER DALAM
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA......................................................
1
Embriologi & Anatomi.......................................................
4
5
7
7
Fisiologi Kolon..
13
Tumor Kolon.
16
Patogenesis....
18
Diagnosis 25
Diagnosis Banding....
41
Penatalaksanaan
42
Prognosis 48
Komplikasi
10
Pencegahan. 49
49
BAB I
PENDAHULUAN
4
Tumor usus halus jarang terjadi, sebaliknya tumor usus besar atau rectum
relative umum. Di Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ
visceral dan 20% dari kematian karena penyakit kanker adalah akibat kanker
kolorektal. Karsinoma kolorektal sering dijumpai pada dekade 6 dan 7,
merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian. Kejadian karsinoma
kolorektal pada usia muda tidak banyak dijumpai.
Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang,
didapatkan bahwa kasus karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita
selama 5 tahun, terdiri dari penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita
(14,26%).
Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%),
rekto sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%),
kolon tranversum (6%),flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum
(12%),appendix (2%).
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di
Asia, banyak terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan
makanan. Beberapa faktor antara lain lingkungan, genetik dan immunologi
merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan
karsinogen, bakteri dan virus.
Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker
cecum dan kolon asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan
kanker rekto sigmoid dapat menyumbat lumen atau berdarah.
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah
dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat
pasien dapat diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Embriologi
Embriologi traktus gastrointestinal (GI) dimulai pada minggu ke-empat
masa gestasi. Usus primitif terbentuk dari lapisan endoderm dan dibagi menjadi
tiga segmen: foregut, midgut, dan hindgut. Midgut dan hindgut nanti akan
membentuk kolon, rektum, dan anus.
Midgut akan membentuk usus halus, kolon asenden, dan kolon
transversum proksimal, dan menerima suplai darah dari arteri mesenterika
superior. Saat minggu ke-enam masa gestasi, midgut bergerak menuju keluar
kavitas abdomen, dan berputar 270 berlawanan arah jarum jam disekitar arteri
mesenterika superior dan akhirnya akan menempati tempat terakhirnya, yaitu di
dalam kavitas abdomen pada minggu kesepuluh masa gestasi.
Hindgut akan berkembang menjadi kolon transversus distalis, kolon
desenden, rektum, dan anus proksimal, semuanya menerima suplai darah dari
arteri mesenterika inferior. Saat minggu keenam masa gestasi, bagian ujung distal
hindgut (kloaka) terbagi menjadi septum urorektal pada sinus urogenital dan
rektum.
Bagian distal kanalis analis terbentuk dari ektoderm dan mendapat suplai
darah dari arteri pudenda interna.
Gambar 1. Pada minggu ketiga masa gestasi, usus primitif terbagi menjadi tiga bagian, foregut (F)
pada bagian kepala, hindgut (H) pada bagian ekor, dan midgut (M) diantara hindgut dan foregut.
Tahap perkembangan midgut: herniasi fisiologis (B), kembali ke abdomen (C), fiksasi (D). Pada
minggu keenam masa gestasi, septum urogenital bermigrasi kea arah kaudal (E) dan memisahkan
traktus urogenital dan intestinal (F, G). (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th
ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 2.)
I.2
Anatomi
Kolon berjalan sepanjang katup ileosekal sampai ke anus. Secara
anatomis, dibagi menjadi kolon, rektum, dan kanalis analis. Dinding dari kolon
dan rektum terdiri dari lima lapisan: mukosa, submukosa, otot sirkular dalam, otot
longitudinal luar, dan tunika serosa. Pada kolon, otot longitudinal luarnya terbagi
menjadi tiga taeniae coli, yang bertemu dengan apendiks pada ujung proksimal
dan rektum pada bagian distal. Pada rektum distal, lapisan otot polos dalam saling
menggabung sehingga membentuk sfingter anus internal pada minggu ke duabelas
masa gestasi. Kolon intraperitoneal dan sepertiga proksimal rektum terlapisi oleh
serosa; sedangkan bagian tengah dan bawah rektum kurang mengandung serosa.
8
I.2.1
Posisi Kolon
Kolon mulai berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan
sepanjang 3 sampai 5 kaki sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat
ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli membentuk otot polos longitudinal luar
rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang paling lebar (7,5 8,5 cm) dan
mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat sekum menjadi rentan
terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon asenden bagian
posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan
anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. White line of Toldt
merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian
yang halus ini membuat pembedah sebagai panduan untuk memobilisasi kolon
dan mesenterium dari retroperitoneum.
Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon
asenden (panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon
transversum intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan
ligamentum gastrokolika dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel
pada ujung anterior/superior kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan
gambaran seperti segitiga pada kolon tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi.
Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon
transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura
kolika dan limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan
tebal, yang akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden
umumnya menempel pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon
dengan panjang yang bervariasi (15 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang
sempit namun mempunyai pergerakan yang luas. Meskipun kolon sigmoid
terletak pada kuadran kiri bawah, akbiat mobilitasnya yang hebat dapat berpindah
ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini menjelaskan mengapa volvulus umum
ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa penyakit yang mengenai kolon
sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai gejala nyeri pada kuadran
kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid membuat bagian ini
sangat rentan terhadap obstruksi.
I.2.2
superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta.
Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar
rektum terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju
vena splenika.
.
Gambar 2. Drainase vena pada kolon. Dan rektum (Sumber: Gordon PH, Nivatvongs S [eds]:
Principles and Practice of Surgery for the Colon, Rectum, and Anus, 2nd ed. St. Louis, Quality
Medical Publishing, 1999, p 30)
Gambar 3. Drainasi limfatik pada kolon (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th
ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 21)
I.2.3
12
II.
Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh
tercampu oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian
besar nutrien, dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen.
Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus
akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan
energi terlalu banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora
normal yang ada. Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri
sebanyak 1011 sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak
adalah bakteri anaerob dengan spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides (1011
sampai 1012 organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri spesies yang
paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL). Flora normal ini berguna untuk
memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai andil dalam metabolism
bilirubin, asam empedu, estrogen, dan kolesterol, dan juga vitamin K. Flora
normal juga berguna untuk menekan jumlah bakteri patogen, seperti Clostridium
difficile. Jumlah bakteri yang tinggi dapat menyebabkan sepsis pada pasien
dengan keadaan umum yang buruk dan dapat menyebabkan sepsis inta-abdomen,
abses, dan infeksi pada luka post-operasi kolektomi.
13
II.2
Urea Recycling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia
dan sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal
bakteri pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling
umum adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan kembali urea
nitrogen yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain barrier dan
menyebabkan gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma
hepatik.
II.3
Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk
kedalam kolon perharinya mencapai 1000 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon
hanya sekitar 100 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi,
yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses
hanya tersisa 25 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, nbutirat akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena
sel mamalia tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada
bakteri lumen untuk memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya nbutirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang
menyebabkan kurangnya absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon
menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari
ileus
terminalis,
sehingga
membuat
kolon
menjadi
bagian
sirkulasi
Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon
dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan
14
rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan
sekum sebagai segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon
bagian kiri merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit
pada kolon diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai
kolon melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai
kolon akan membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika
(Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.
Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah
kanan, gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd
sehingga isi dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi
dari lumen usus terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisahpisah menjadi globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic,
merupakan gabungan antara gerakan retropulsif dan tonis.
15
III.
Tumor Colon
3.1 Definisi
Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di
dalam permukaan usus besar atau rektum (Boyle & Langman, 2000 : 805).
Karsinoma
tumbuh pada kolon dan menginvasi jaringan sekitarnya (Tambayong, 2000 : 143).
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
karsinoma kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan
merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (usus besar).
3.2
Insidens 1
Adenokarsinoma kolon dan rektum merupakan keganasan yang paling
umum ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan
lebih dari 52.000 pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker
kolorektal menjadi pembunuh kedua pada penyakit kanker di Amerika. (American
Cancer Society, 2009). Insidensinya terbagi rata antara pria dan wanita dan tetap
berada pada angka yang konstan selama 20 tahun terakhir. Deteksi dini dengan
pengembangan peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu
untuk mortalitas kanker kolorektal dala beberapa tahun terakhir.
3.3
a. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan
insidens yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini
dijadikan dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala
yang asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia,
maka jika ada gejala seperti perubahan keadaan usus, perdarahan rektum, melena,
16
anemia tanpa sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka diperlukan
pemeriksaan yang lebih mendetail.
b. Faktor Herediter
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat
keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian
yang lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis
dini. Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan
pemeriksaan ini, seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang
ada suspek keluarga yang dulunya terkena kanker kolorektal.
c. Faktor Diet dan Lingkungan
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi dengan
faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga terdapat
sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker.
Diet yang tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid
meningkatkan risiko kanker kolorktal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat
(minyak zaitun, minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan
risiko. Pada penelitian dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik
langsung terhadap mukosa kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan
perubahan maligna. Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat
lebih protektif. Intake kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan
fenol dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi dasar
preventif primer untuk mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur
diet dan gaya hidup. (Janne PA, 2000 dan Calle EE, 2003).
d. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk terkena
kanker kolorektal (Eaden JA, 2001). Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa
inflamasi kornis akan membuat perubahan struktur pada mukosa kolon menjadi
struktur maligna dan hal ini juga dipengaruhi dengan derajat berat inflamasinya.
Pada ulseratif pankolitis, risiko terkena kanker meningkat sebanyak 2% setelah 10
tahun, 8% setelah 20 tahun, dan 18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah
sinistra tanpa alasan yang jelas mempunyai risiko yang relatif rendah. Akibatnya,
pasien dengan kolitis direkomendasikan agar diperiksa kolonoskopi dengan
17
Patogenesis 1,3
IV.1
Defek Genetik
Selama dua dekade terakhir, penelitian ilmiah memfokuskan tentang defek
genetik dan abnormalitas molekular yang berhubungan dengan progresi dan
perkembangan adenoma dan karsinoma kolorektal. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi onkogen (K-ras) dan/atau aktivasi tumor-suppressor genes [APC, DCC
(deleted in colorectal carcinoma), p53]. Karsinoma kolorektal diperkirakan
berkembang dari polip adenoma dengan akumulasi mutasi-mutasi ini (gambar 4).
Gambar 4. Sekuens adenoma-karsinoma pada kanker kolorektal. (Sumber: Ivanovich JL, Read
TE, Ciske DJ, et al: A practical approach to familial and hereditary colorectal cancer. Am J Med
107:68-77, 1999).
18
Coli
Kromosom
5q
Kelas Gen
Tumor
Fungsi
Adhesi
dan
Keterangan
Mutasi
pada
suppressor
komuikasi
FAP, Gardners
interseluler
dan
(APC)
Turcots
syndrome.
19
Deleted
in
18q
Onkogen
Colorectal
Interaksi
dan
adhesi sel
Pertumbuhan
tumor,
Carcinoma
invasi,
dan metastasis
(DCC)
P53
17p
Tumor
Transkripsi
>50%
suppressor
faktor
kolon
untuk
gen
yang
mencegah
kanker
mempunyai
mutasi p53
pertumbuhan
K-ras
12p
Onkogen
tumor
Transduksi
50%
signal
kolon
kanker
mempunyai
hMSH2,
2p
hMLH1,
Mismatch
Memperbaiki
repair
kesalahan
aktivitas K-ras
HNPCC
hPMS1, hPMS2
replikasi DNA
Gen-gen yang Terlibat dalam Kanker Kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)
kolorektal.
Kebanyakan
gen
yang
teraktifasi
oleh
P53
20
ditemukan pada setengah kanker manusia, membuat gen ini menjadi jalur pusat
biokimia dalam keganasan manusia.
Jalur LOH sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)
IV.2
Jalur Genetik
Dua jalur utama inisiasi dan progresi tumor dapat dijelaskan menjadi jalur
Lost of Heterozygosity (LOH) dan replication error (RER). Jalur LOH dicirikan
dengan delesi kromosom dan aneuploiditas tumor dan sedikitnya ada tujuh buah
gen yang terlibat dalam jalur LOH ini. Delapan puluh persen karsinoma muncul
dari mutasi pada jalur LOH. Sisanya yang 20% muncul dari jalur RER, yang
dicirikan dengan kesalahan dalam perbaikan mismatch (kesalahan pasangan) pada
replikasi DNA. Beberapa gen telah terdeteksi dalam kesalahan perbaikan DNA
21
RER, yaitu hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi hanya
pada salah satu gen ini, cukup untuk membuat mutasi sel, yang mungkin dapat
timbul pada proto-onkogen atau tumor suppressor gen. Mismatch ini membuat
terus meningkatnya kesalahan eplikasi, sehingga terjadi instabilitas mikrosatelit
(pertumbuhan sel kanker ditempat lain yang berdekatan) dan malfungsi gen. Jika
telah terbentuk mikrosatelit yang tidakstabil, maka akan mudahnya terjadi
mikrometastasis di tempat lain akibat struktur sel-sel mikrosatelit yang mudah
lepas.
Jalur RER sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)
22
23
V.
Diagnosis
Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling pentng untuk
kanker
kolon
adalah
pengujian
darah
samar,
enema
barium,
Manifestasi Klinis 3
Presentasi timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori
umum: onset gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau
perforasi akut. Presentasi yang paling sering timbul adalah onset gejala kronis
yang asimtomatis (77 92%), diikuti oleh obstruksi (6 - 16%), dan perforasi
dengan peritonitis local atau difus (2 7%).
Gejala
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan
dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi
belahan bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon
transversum), dan arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan
besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi
kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit
kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses
masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan
dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan
pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya
24
ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi.
A. Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan
perubahan pada pola buang air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi
mukus dapat menyebabkan diare. Pasien mungkin memperhatikan perubahan
warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali menyebabkan perdarahan
samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post
menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka
kemungkinan kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus
dilakukan. Karena perdarahan yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat
intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak dapat menyingkirkan
kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya
berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah
buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang
air besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan dengan
buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah penurunan berat badan dan
demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat menjadi
tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang
mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi
dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kanker kolon.
B. Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga
jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan
besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien
dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang
25
Pemeriksaan Fisik
Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta
spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis
intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektusm dimana sesuai dengan
posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun
10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah
lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga
Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon
yang tidak dapat begitu saja diabaikan.
rectal toucher untuk menilai :
Tonus sfingter ani
Ampula rektum
Mukosa
Tumor
26
a. Stadium
Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang
akan dilakukan, dan perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang
dianggap invasif berarti harus menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang
berada tidak menembus muskularis mukosa tidak dianggap dapat invasif karena
tidak adanya linfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in situ.
Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya
stadium TNM (tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh American
College of Surgeons Commission on Cancer.
Stadium
Stadium 1
Stadium 2
Stadium 3
Kedalaman
T1, T2
T3, T4
Seluruh T
TX
Stadium 4
Seluruh T
tumor primer, tidak dapat dinilai
T0
Tis
carcinoma in situ
T1
T2
27
Status Limfonodus
N0
N0
Setiap N (Kecuali
Metastasis Jauh
M0
M0
M0
N0)
Setiap N
M1
T3
tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke perikolika atau ke
perirektal
T4a
T4b
NX
N0
N1
N2
N3
MX
M0
M1
metastasis jauh
Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC). (Sumber:
Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science
and Business Media LLC, www.springerlink.com).
V.3
Temuan Laboratorium 3
Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan adanya
anemia. Tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika sudah
terjadi metastasis ke hepar. Jika terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA juga
akan ikut meningkat, namun jika tidak ada metastasis, kadar CEA juga akan ikut
meningkat.
V.4
1.
Pemeriksaan Penunjang
Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna.
28
2.
screening
kanker
kolorektal.
Meningkatnya
nilai
CEA serum,
3.
29
Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak berdarah sama
sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,
manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes
occult blood dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas
dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan
evaluasi lebih lanjut.
4.
Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras
barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada
barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang
dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.
30
Tahap pengosongan
Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa larutan
barium dalam lumen kolon perlu dibuang sebanyak yang dapat dikeluarkan
kembali. Caranya dengan memiringkan penderita ke kiri (left decubitus) dan
menegakkan meja pemeriksaan (upright)
b4
Tahap pengembangan
Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon. Usahakan
jangan sampai terjadi pengembangan yang berlebihan (overdistention) karena
akan timbul hal-hal yang tidak diingini.
32
b.5
Tahap pemotretan
Setelah seluruh kolon mengembang sempurna, maka dilakukan pemotretan
atau eksposun radiografik. Posisi penderita saat pemotretan tergantung pada
bentuk kolonnya atau kelainan yang ditemukan. Hal yang sama juga berlaku
untuk jumlah film yang dipakai.
c. Lama pemeriksaan
Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin lama
pemeriksaan itu berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-kerak barium di
sepanjang kolon makin besar.
d. Alat-alat yang dipakai
Irigator plastic dengan balon dan pompa udara terpasang sangat disukai
untuk dipakai karena sifatnya yang fleksibel sehingga penderita tidak perlu
meninggalkan meja pemeriksaan pada tahap pengosongan.
e. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop
Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
-
33
5.
Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari
pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai
polip premaligna.
Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut
angulasi dari rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen.
Pemeriksaan
ini
dapat
mendeteksi
20-25% dari
kanker kolon.
Rigid
34
seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika digunakan bersama
sama dengan occult blood test.
Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon
dan dapat mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari
kanker kolon dapat terdeteksi dengan menggunakan alat ini. Flexible
sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi terapeutik polipektomi,
kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada ileorektal
anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita
kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible
sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena
meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya
berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.
35
8.
Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%
pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi diagnostik.
36
V.5
Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.
a.
CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon
pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk
mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah
pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %,
dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien. 19
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi
metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.
37
38
c.
39
V.6
Pendekatan Diagnosis 4
Diagnosis Banding
VI.
a.
Ca. rekti 5
Gejala yang umum ditemukan pada ca. rekti mirip dengan kanker kolon,
yaitu: perubahan buang air besar, diare atau konstipasi atau perasaan seperti buang
40
air besar yang tidak lampias, ada darah saat buang air besar (umumnya darah
segar), feses yang lebih kecil dari keadaan normal, adanya perasaan tidak enak di
abdomen seperti kembung, atau terasa penuh, berat badan menurun tanpa sebab
yang jelas, cepat lelah, dan muntah.
Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan rectal toucher, barium enema, dan
fecal occult blood test (FOBT). Untuk FOBT, pemeriksaan ini tidak terlalu
spesifik karena pada kanker kolon juga terdapat perdarahan yang samar.
b.
Hemorrhoid 3
Pada pasien hemoroid, cenderung memiliki gejala yang mirip dengan
karsinoma kolon, kecuali pada hemoroid eksterna yang cenderung mengalami
prolapsus, namun bukan rektum, sehingga dapat dilihat pada saat pemeriksaan
anus. Penderita hemoroid juga dapat ditemukan perdarahan kronis tanpa nyeri
sehingga terjadi anemia. Untuk menyingkirkan diagnosis ini, diperlukan
pemeriksaan rectal toucher, barium enema, atau kolonoskopi.
VII.
Penatalaksanaan 1
Prinsip Reseksi
Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor
primer beserta dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada
kolon bersamaan dengan suplai arteri, panjang kolon yang direseksi bergantung
pada pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker. Setiap jaringan
yang menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus
dilakukan reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi
paliatif menjadi pilihannya.
Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau
adanya riwayat keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa
seluruh kolon berisiko terkena karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan
dipertimbangkan
dilakukan
kolektomi
total
atau
subtotal.
Jika
terjadi
42
43
Gambar panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B. Karsinoma felksura
hepatika. C. Karsinoma kolon transversum. D. Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon
desenden. F. Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).
VII.1
VII.2
44
Gambar letak karsinoma invasif pada polip yang bertangkai dan polip sessile. (Sumber: Brunicardi
FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs
Principles of Surgery, 9th Edition).
VII.3
VII.4
oxaliplatin,
angiogenesis
inhibitors,
and
imunoterapi
juga
VII.5
VII.6
Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1
5 tiap 4 minggu. Total 6 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu
untuk 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirahat (tidak minum obat).
Total 3 siklus.
Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hariselama 14
hari, 7 hari istirahat. Total 8 siklus.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1; leucovorin 200 mg/m2 IV;
fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2
46
47
Tabel stadium kanker menurut AJCC. (Sumber: Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth
Edition (2002) published by Springer Science and Business Media LLC, www.springerlink.com)
IX.
Komplikasi 1
Komplikasi yang paling timbul pada kanker adalah metastasis kanker ke
organ lain. Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan
20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan
pada pasien ini meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling
sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan
karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani
reseksi (sekitar 1 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%.
X.
Pencegahan
A.
Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat
polip dan menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang
menjalani kolonoskopi polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian
prospektif randomized clinical trial yang menunjukan bahwa sigmoidoskopi
efektif untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal, meskipun penelitian
trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid
dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga
pemeriksaan kolonoskopi harus dilakukan.
48
B.
Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien
yang mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan
mempunyai efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National
Research Council telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982.
Rekomendasi ini diantaranya :
BAB III
KESIMPULAN
50
Diagnosis tumor kolon dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang diantaranya Ultrasonografi (USG), CT-Scan dan MRI,
Foto Polos Abdomen Colon in Loop, dan Kolonoskopi. Di klinik sehari-hari
metode pemeriksaan yang sering dipakai ialah metode Colon in loop. Dimana
pada tumor kolon akan terlihat gambaran penonjolan ke dalam lumen, kerancuan
dinding kolon, dan kekauan dinding kolon. Kontras yang dipakai biasanya yaitu
barium enema dengan lama pemeriksaan lima menit. Metode pemeriksaa yang
lebih canggih dapat dipakai untuk melihat adanya metastasis, misalnya dengan CT
scan.
TINJAUAN PUSTAKA
51
1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB,
Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).
2. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright 2004
Elsevier.
3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000.
Springer.
4. MD Anderson Manual of Medical Oncology. 2007. McGraw-Hill Company.
5. University of California San Francisco. Rectal Cancer Diagnosis: Conditions
and Treatments. UCSF Medical Centre.
http://www.ucsfhealth.org/conditions/rectal_cancer/diagnosis.html
6. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.
7. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.
8. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.
Jakarta : EGC.2000.
9. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.
52