Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

VARISELA
Lilis Sulistiawati, S.Ked
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Raden Mattaher Jambi
Fakultas Kedokteran Universitas Jambi

BAB I
PENDAHULUAN
Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer menular, disebabkan oleh
Varicella Zooster Virus (VZV), yang menyerang kulit dan mukosa, dan ditandai
dengan adanya vesikel-vesikel. Di negara barat kejadian varisela terutama
meningkat pada musim dingin dan awal musim semi, sedangkan di Indonesia virus
menyerang pada musim peralihan antara musim panas ke musim hujan atau
sebaliknya. Namun, varisela dapat menjadi penyakit musiman jika terjadi penularan
dari seorang penderita yang tinggal di populasi padat, ataupun menyebar di dalam
satu sekolah.1,2
Varisela terutama menyerang anak-anak dibawah 10 tahun terbanyak usia 5-9
tahun. Varisela merupakan penyakit yang sangat menular, 75 % anak terjangkit
setelah terjadi penularan. Varisela menular melalui sekret saluran pernapasan,
percikan ludah, terjadi kontak dengan lesi cairan vesikel, pustula, dan secara
transplasental. Individu dengan zooster juga dapat menyebarkan varisela. Masa
inkubasi 11-21 hari. Pasien menjadi sangat infektif sekitar 24 48 jam sebelum lesi
kulit timbul sampai lesi menjadi krusta biasanya sekitar 5 hari.1,2
Varicella Zooster Virus masuk melalui saluran pernapasan atas, atau setelah
penderita berkontak dengan lesi kulit, selama masa inkubasinya terjadi viremia
primer. Infeksi mula-mula terjadi pada selaput lendir saluran pernapasan atas
kemudian menyebar dan terjadi viremia primer. Pada viremia primer ini virus
menyebar melalui peredaran darah dan sistem limfa.2
1

Manifestasi klinis varisela terdiri atas 2 stadium yaitu stadium prodormal dan
stadium erupsi. Pada stadium prodormal, individu akan merasakan demam yang
tidak terlalu tinggi selama 1-3 hari, mengigil, nyeri kepala, anoreksia, dan malaise.
Kemudian menyusul stadium erupsi, timbul ruam-ruam kulit dew drops on rose
petals tersebar pada wajah, leher, kulit kepala dan secara cepat akan terdapat
dibadan dan ekstremitas. Penyebarannya bersifat sentrifugal (dari pusat). Makula
kemudian berubah menjadi papula, vesikel, pustula, dan krusta. Erupsi ini disertai
rasa gatal. Perubahan ini hanya berlangsung dalam 8-12 jam, sehingga varisela
secara khas dalam perjalanan penyakitnya didapatkan bentuk papula, vesikel, dan
krusta dalam waktu yang bersamaan, ini disebut polimorf.1,2
Pengobatan bisa diberikan bersifat simtomatik dengan antipiretik dan
analgesik, untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedative. Dapat pula
diberikan antivirus, dan jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik oral
maupun topikal.1
Komplikasi varisela antara lain infeksi sekunder, acute postinfectious
cerebellar ataxia, ensefalitis, pneumonia dan sindrom reye.3 Dengan perawatan
yang teliti dan memperhatikan higiene memberikan prognosis yang baik.1
Berikut dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis varisela pada seorang
perempuan berumur 25 tahun yang berobat ke poli klinik kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1

2.2

Identitas Pasien
Tanggal

: 11 Februari 2015

Nama

: Wiwik Yoeningsih

Umur

: 25 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: RT 29, Talang Bakung

Suku/Bangsa

: Jawa / Indonesia

Agama

: Islam

Status Perkawinan

: Belum menikah

Pekerjaan saat ini

: Karyawan ketring

Jam : 11.00 WIB

Anamnesis : Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 11 Februari 2015

Keluhan Utama
Timbul bintil-bintil kemerahan berisi cairan dan gatal di leher bagian depan,
punggung, perut, dan wajah sejak semalam.
Keluhan Tambahan :

Demam sejak kemarin.


Rasa pedih.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengatakan bahwa sejak semalam ada bintil kemerahan berisi cairan
dan gatal pada leher bagian depan, kemudian pagi harinya bintil kemerahan mulai
dirasakan menyebar kebagian punggung belakang, perut, dan wajah. Sehari
sebelumnya pasien mengeluhkan demam, sakit kepala, lemas dan telah minum obat
parasetamol yang dibelinya di apotik.
Pasien membenarkan jika ada keluarga yaitu ibu pasien yang sebelumnya
menderita cacar, namun cacar yang diderita oleh ibu pasien yaitu berupa cacar api
(Herpes zooster) dan sekarang si ibu telah sembuh.

Karena pasien merasa takut terhadap keluhan tersebut menyebar semakin


luas, maka pasien akhirnya memutuskan untuk berobat ke poli kulit dan kelamin
RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 11 Februari 2015.
Riwayat Penyakit Dahulu
-

Riwayat mengeluhkan keluhan yang sama disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


2 minggu yang lalu ibu pasien mengalami keluhan bintil-bintil merah
berisi cairan bergerombol di leher sebelah kanan, pasien mengaku ada kontak
dengan sang ibu dan sempat memegang bintil-bintil merah yang berisi cairan
tersebut karena pasien yang merawatnya.

2.3

Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Status Generalis


Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda Vital
Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 80x/menit

Pernafasan

: 18x/menit

Suhu

: 37,3oC

Kepala
Bentuk

: Normochepal

Mata

: Conjugtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor,

Diameter 3mm/3mm, udem palpebra -/-, mata merah -/-.


Hidung

: Lapang, deviasi septum (-), konka hiperemis (-), sekret

bening (-), pernafasan cuping hidung (-).


Mulut
Telinga

: Bibir kering (-), dinding faring hiperemis (-)


: Normal, tanda radang (-)

Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-), Peningkatan JVP (-),

lesi kulit (+)


Thoraks

Inspeksi

: Bentuk normal, gerak nafas kedua dada Simetris, lesi kulit

(-)
Palpasi

: Vokal fremitus (+/+) simetris

Perkusi

: Sonor dikedua paru

Auskultasi

Jantung

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru

: SN vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Abdomen

Inspeksi

: Datar, lesi kulit (+)

Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Ekstremitas Superior

: akral hangat, oedem (-), sianosis (-)

Ekstermitas Inferior

: akral hangat, oedem (-), sianosis (-)

Genitalia

: tidak dilakukan pemeriksaan secara langsung

2.3.2 Status Dermatologis

Gambar 1: Regio Frontalis


Regio Frontalis:
-

Papul, 0,3 cm, soliter, milliar dengan batas eritematous

vesikel nonhemoragik, soliter, milliar dengan batas


eritematous

Gambar 2: Regio servikal anterior

Regio servikal anterior


-

Papul, 0,2 cm, diskret, milliar dengan batas eritematous

Gambar 3. Regio abdomen


Regio abdomen
-

Papul, 0,2 cm, diskret, milliar dengan batas eritematous

Gambar 4: Regio vertebra


Regio vertebra
-

Papul, 0,2 cm, diskret, milliar dengan batas eritematous


2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

2.5 Resume
Seorang perempuan usia 25 tahun, bertempat tinggal di RT 29 Talang
Bakung, datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi dengan
bintil-bintil kemerahan berisi cairan dan gatal di leher bagian depan, punggung,
perut, dan wajah sejak semalam.
Pasien mengatakan bahwa sejak semalam ada bintil kemerahan berisi cairan
dan gatal pada leher bagian depan, kemudian pagi harinya bintil kemerahan mulai
dirasakan menyebar kebagian punggung belakang, perut, dan wajah. Sehari
sebelumnya pasien mengeluhkan demam, sakit kepala, lemas dan telah minum obat
parasetamol yang dibelinya di apotik. Pasien membenarkan jika ada keluarga yaitu
ibu pasien yang sebelumnya menderita cacar, namun cacar yang diderita oleh ibu
pasien yaitu berupa cacar api (herpes zooster) dan sekarang si ibu telah sembuh.
Karena pasien merasa takut terhadap keluhan tersebut menyebar semakin
luas, maka pasien akhirnya memutuskan untuk berobat ke poli kulit dan kelamin
RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 11 Februari 2015.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Status
dermatologis yang didapati pada regio frontalis yaitu papul, 0,3 cm, soliter, milliar
dengan batas eritematous, vesikel nonhemoragik. Regio servikal anterior didapatkan
papul, 0,2 cm, diskret, milliar dengan batas eritematous. Regio abdomen
didapatkan papul, 0,2 cm, diskret, milliar dengan batas eritematous. Dan pada regio
vertebra didapatkan papul, 0,2 cm, diskret, milliar dengan batas eritematous.
2.6 Diagnosis Banding

Varicella Zoster (chicken pox)

Herpes Zooster

Variola (small pox)

2.7 Diagnosis Kerja


Varisela
2.8 PENATALAKSANAAN

Preventif
-

Menjelaskan kepada pasien agar jangan mengaruk dan memecahkan bintilbintil tersebut karena dapat menimbulkan bekas luka garukan di kulit.

Menaburkan bedak pada bintil-bintil.


Jaga kebersihan diri, memotong kuku, tetap mandi walaupun masih banyak

terlihat bintil-bintil. Jangan menggosokkan handuk terlalu kencang.


Pasien dianjurkan untuk istirahat dirumah, mengindari kontak dengan kerabat

selama beberapa hari untuk mencegah penularan.


Makan-makanan bergizi.

Kuratif
Sistemik :

o
-

antiviral acyclovir, 5x 800mg selama 7 hari

analgetik antipiretik paracetamol tab 500 mg, 3x1 jika


demam.
Topikal

Bedak salisil 2%, taburkan 2x/hari pada bintil yang belum pecah.
Asam fusidat 2 kali aplikasi/hari untuk lesi yang sudah pecah.

2.9 Prognosa :
-

Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

2.10

: Bonam
: Bonam
: Bonam

Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan sediaan apus Tzanck. Caranya : membuat sediaan hapus yang

diwarnai dengan Giemsa, bahan diambil dari kerokan dasar vesikel.


BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan varisela, yaitu infeksi akut primer
oleh virus varisela-zooster (VVZ) yang menyerang kulit dan mukosa berupa
9

vesikula, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi
di bagian sentral tubuh.1,4 Dari anamnesis di dapatkan bahwa pasien adalah seorang
perempuan berumur 25 tahun. Berdasarkan kepustakaan yang ada disebutkan bahwa
varisela biasanya terjadi pada anak-anak, namun dapat juga menyerang orang
dewasa. Keluhan utama pada pasien ini adalah timbulnya bintil-bintil kemerahan
berisi cairan dan gatal yang mula-mula di leher bagian depan, dan kemudian
menyebar ke punggung bagian belakang, perut, dan wajah. Dari anamnesis ini
diketahui bahwa penyebaran dari lesi terjadi dari sentral ke perifer, yaitu dari daerah
leher menyebar ke punggung belakang, perut, dan wajah, lesi berbentuk khas seperti
tetesan embun. Hal ini sesuai kepustakaan dimana disebutkan bahwa penyebaran
lesi kulit dari varisela pada umumnya pertama kali di daerah badan kemudian
menyebar secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas, serta lesinya yang khas
seperti tetesan embun (tear drops). Lesi kulit dari varisela dapat juga menyerang
selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas bagian atas.2
Sehari sebelum timbulnya bintil-bintil kemerahan yang berisi cairan dan gatal
tersebut, pasien merasa demam, sakit kepala dan terasa lemas. Berdasarkan
kepustakaan disebutkan bahwa gejala prodromal dari varisela biasanya berupa
demam, nyeri kepala, dan malaise ringan, yang umumnya muncul sebelum pasien
menyadari bila telah timbul erupsi kulit. Masa prodromal ini kemudian disusul oleh
stadium erupsi, yaitu timbul erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam
beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel khas berupa tetesan embun
(tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta.
Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel yang baru sehingga
menimbulkan gambaran polimorfi.4

10

(http://www.indramuhtadi.com/scripts-2014/topik-ke-152-cacar-air-pada-dewasa)

( http://rumahvaksinasi.net/wp-content/uploads/2013/12/cacar-air.jpg )

Dari anamnesis diketahui adanya riwayat kontak dengan pasien cacar api
(herpes zooster), yaitu ibu pasien kurang lebih 2 minggu yang lalu. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan dimana dikatakan bahwa jalur penularan VVZ bisa secara
aerogen, kontak langsung, dan transplasental. Droplet lewat udara memegang
peranan penting dalam mekanisme transmisi, tapi infeksi bisa juga disebabkan
melalui kontak langsung. Krusta varisela tidak infeksius, dan lamanya infektifitas
dari droplet berisi virus cukup terbatas. Manusia merupakan satu-satunya reservoir,
dan tidak ada vektor lain yang berperan dalam jalur penularan.5 Varicella Zooster
Virus dapat menyebabkan varisela dan herpes zoster. Kontak pertama dengan virus
ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu varisela dikatakan infeksi akut
primer sedangkan bila penderita varisela sembuh atau dalam bentuk laten dan
kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah herpes zooster.1,2

11

Penyebaran terjadi secara airborne melalui batuk dan bersin, ataupun kontak
langsung dengan cairan vesikel. Virus ini masuk melalui saluran nafas atas atau
konjungtiva, dengan masa inkubasi 14-16 hari sejak terpapar hingga muncul lesi di
kulit. Individu yang terinfeksi VVZ dikatakan infeksius selama 1-2 hari sebelum
timbul lesi di kulit, kemudian 4-7 hari setelah munculnya lesi kulit hingga lesi kulit
mengering. Infeksi primer dari VVZ ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring.
Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia
yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke
dalam sistem retikuloendotelial, selanjutnya mengadakan replikasi kedua yang sifat
viremianya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan
mukosa.1,2

(http://www.sihatselalu.com.my/2010/01/cacar-air-chicken-pox.html )
Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris dan
ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion
sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut
tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan
berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus.

12

(https://i0.wp.com/static.ddmcdn.com/gif/chicken-pox-2a.gif )
Pada pemeriksaan fisik didapati pada status generalis suhu badan aksiler
37,3C yang menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan sub febris kemudian dari
status dermatologis yang didapati pada leher bagian depan, punggung bagian
belakang, perut, dan wajah pasien tampak vesikel yang seperti tetesan embun dan
papul dengan dasar kemerahan. Jadi terdapat gambaran lesi kulit yang bermacammacam. Hal ini sesuai kepustakaan dikatakan bahwa varisela mempunyai bentuk
vesikel yang khas yaitu seperti tetesan embun (tear drops) dan memiliki gambaran
polimorf.1,2,3
Pasien ini tidak mengalami komplikasi. Ini dilihat dari hasil pemeriksaan fisik
yang meliputi keadaan umum, tanda vital dan pemeriksaan fisik lainnya yang masih
dalam batas normal. Pada orang yang immunocompromised (leukemia, pemberian
kortikosteroid dengan dosis tinggi dan lama, atau pasien AIDS) bila terinfeksi VVZ
maka manifestasi varisela lebih berat (lesi lebih lebar, lebih dalam, berlangsung
lebih lama, dan sering terjadi komplikasi).6 Komplikasi yang dapat terjadi pada
varisela biasanya yaitu :

13

Infeksi sekunder dengan bakteri


Infeksi bakteri sekunder biasanya terjadi akibat stafilokokus. Stafilokokus dapat
muncul sebagai impetigo, selulitis, fasilitis, erisipelas, furunkel, abses, scarlet
fever, atau sepsis.2,4.

Varisela Pneumonia
Varisela Pneumonia terutama terjadi pada penderita immunokompromis dan
kehamilan. Ditandai dengan panas tinggi, batuk, sesak napas, takipneu, rhonki
basah, sianosis, dan hemoptoe terjadi beberapa hari setelah timbulnya ruam.

Reye sindrom
Letargi, mual, dan muntah menetap, anak tampak bingung dan perubahan
sensoris menandakan terjadinya Reye sindrom atau ensefalitis. Reye sindrom
terutama terjadi pada pasien yang menggunakan salisilat, sehingga pada varisela
penggunaan salisilat harus dihindari. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan SGOT, SGPT serta amonia.2,3,4

Ensefalitis
Komplikasi ini tersering karena adanya gangguan imunitas. Dijumpai 1 pada
1000 kasus varisela dan memberikan gejala ataksia serebelar, biasanya timbul
pada hari 3-8 setelah timbulnya ruam. Maguire (1985) melaporkan 1 kasus pada
anak berusia 3 tahun dengan komplikasi ensefalitis menunjukkan gejala susah
tidur, nafsu makan menurun, hiperaktif, iritabel dan sakit kepala. 19 hari setelah
ruam timbul, gerakan korea atetoid lengan dan tungkai. Penderita meninggal
setelah 35 hari perawatan.1
Varisela dapat didiagnosis banding dengan herpes zooster namun karena dari

anamnesis pasien belum pernah mengalami sakit yang sama seperti ini sebelumnya
dan dari pemeriksaan fisik pada status dermatologis ditemukan gambaran lesi kulit
yang polimorf, tidak bergerombol, dan tidak terasa nyeri, maka herpes zooster dapat
dieliminasi sebagai diagnosis banding varisela. Pada herpes zooster, pasien
sebelumnya sudah pernah terpapar dengan VVZ dan gambaran lesi kulit berupa
vesikel yang bergerombol, unilateral sesuai dengan daerah persarafan saraf yang
bersangkutan dan biasanya timbul di daerah thorakal. Pada herpes zooster lesi dalam
satu gerombol sama, sedangkan usia lesi pada satu gerombol dengan gerombol lain
14

berbeda.1 Selain itu juga dapat didiagnosis banding dengan Variola yaitu penyakit
virus yang disertai keadaan umum yang buruk, dapat menyebabkan kematian,
efloresensinya bersifat monomorf terutama di perifer tubuh. Penyebabnya adalah
virus poks (pox virus variolae). Dikenal dua tipe virus yang hampir identik tetapi
menyebabkan dua tipe variola, yaitu variola mayor dan variola minor. Yang
membedakan antara varisela dengan variola yaitu stadium prodromalnya, jika pada
varisela dia berlangsung singkat yaitu 1-2 hari, tapi jika pada variola berlangsung
lama 3-4 hari dan disertai demam tinggi, kemudian jika dilihat dari lesinya, jika
pada varisela bersifat sentral perifer, terutama badan, lebih superfisial, dan bersifat
polimorf, sedangkan pada variola lesinya bersifat perifer sentral, muka, ekstremitas
dalam bersifat monomorf.
Tujuan pengobatan pada pasien ini adalah untuk memperpendek perjalanan
penyakit dan mengurangi gejala klinis yang ada, yaitu dengan pemberian anti virus
yaitu acyclovir 5 x 800 mg/hari selama 7 hari, hal ini dimaksudkan untuk menekan
atau menghambat replikasi dari virus varicella zooster, analgetik dan antipiretik
yaitu parasetamol 3 x 500 mg/hari jika demam, topikal yaitu bedak salisil 2%
diberikan dengan maksud untuk mengurangi gatal yang dirasakan serta
mempertahankan vesikel agar tidak pecah dan asam fusidat 2 kali aplikasi/hari untuk
lesi yang sudah pecah,2,4
Pasien disarankan agar istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi,
menjaga kebersihan tubuh, dan tidak memecahan vesikel. Pasien kemudian
dianjurkan untuk kontrol dipoliklinik kulit dan kelamin 7 hari kemudian. Hal-hal
diatas bertujuan untuk memperbaiki daya tahan tubuh pasien, mencegah terjadinya
infeksi sekunder, mencegah terjadinya komplikasi dan munculnya jaringan parut
serta untuk mengetahui perkembangan penyakitnya.2
Pencegahan terhadap infeksi varisella zooster virus dilakukan dengan
imunisasi aktif atau pasif.
1

Imunisasi aktif
Dilakukan dengan memberikan vaksin varisella yang dilemahkan yang berasal
dari OKA Strain dengan efek imunogenesitas tinggi dan tingkat proteksi cukup
tinggi berkisar 71-100% serta mungkin lebih lama. Dapat diberikan pada anak
15

sehat

ataupun

penderita

leukemia,

imunodefisiensi.

Untuk

penderita

pascakontak dapat diberikan vaksin ini dalam waktu 7 jam dengan maksud
sebagai preventif atau mengurangi gejala penyakit. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,5 mL subkutan. Pemebrian vaksin ini ternyata cukup aman. Dapat
diberikan bersamaan dengan MMR dengan daya protreksi yang sama dan efek
samping hanya berupa rash yang ringan.
2. Imunisasi pasif
Dilakukan dengan memberikan Zoster imun Globulin (ZIG) dan Zoster Imun
Plasma (ZIP). Zoster imun globulin adalah suatu globulin-gamma dengan titer
antibody yang tinggi dan yang didapatkan dari penderita yang telah sembuh dari
infeksi herpes zoster. Dosis zoster imunoglobulin 0,6 Ml/kg BB imtramuskular
diberikan sebanyak 5ml dalam 7 jam setelah kontak. Indikasi pemberian zoster
imunoglobulin adalah:

Neonatus yang lahir dari ibu yang menderita varisella 5 hari sebelum partus
atau hari setelah melahirkan.

Penderita leukimia atau limfoma terinfeksi varisella yang sebelumnya


belim divaksin.

Penderita HIV atau gangguan imunitas lainnya.

Penderita sedang dapat pengobatan imunosupresan seperti kortikosteroid.

Prognosis umumnya baik, bergantung pada kecepatan penanganan dan


kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Pada pasien ini prognosis Quo ad
vitam adalah bonam karena penyakit ini tidak mengancam jiwa, sebab dari
pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi. Prognosis Quo ad
functionam adalah bonam karena fungsi bagian tubuh yang terkena tidak terganggu.
Prognosis Quo ad sanationam adalah bonam karena varisela merupakan penyakit
yang bersifat self-limiting disease dan tidak mengganggu kehidupan sosial penderita,
sebab penanganan yang cepat maka perjalanan penyakit dapat diperpendek.

16

Anda mungkin juga menyukai