Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN TUTORIAL

BLOK TRAUMATOLOGI SKENARIO 2


NYERI PINGGANG DAN TIDAK BISA KENCING

KELOMPOK A10
MAHIRA BAYU ADIFTA

G0012125

PRISMA PUTRA G. A.

G0012165

GREGORIUS YOGA PANJI

G0012087

NADITA GITA O.

G0012145

AGYA GHILMAN FAZA

G0012009

SHANTI PROBOSIWI

G0012209

NILUH AYU ANISSA H.

G0012149

ROSA RIRIS S.

G0012193

NADIA NURFAUZIAH

G0012143

YUNINDRA KEN S.

G0012237

KARTIKA YULIANA P.

G0012103

SALSHA AMALIA

G0012203
Tutor:

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN
NYERI PINGGANG DAN TIDAK BISA KENCING
Dokter IGD menerima pasien rujukan dari puskesmas, pasien seorang
laki laki, berusia 35 tahun. Sekitar 6 jam sebelumnya, pasien mengendarai sepeda
motor sambil bertelepon. Saat ada becak yang menyebrang jalan, karena kaget,
saat kecepatan tinggi, pasien menabrak pohon karena bermaksud menghindari
becak. Pasien terbentur setang motor pada pinggang kanan, lalu jatuh ke tanah
dengan panggul membentur batu besar. Pasien sadar, tampak pucat, mengeluh
nyeri pada pinggang dan perut bagian bawah, dan tidak bisa kencing. Namun
dokter tetap tidak melakukan kateterisasi.
Dari pemeriksaan dokter IGD didapatkan kesadaran GCS 15, pupil
isokhor, refleks cahaya (+/+), lateralisasi (-), jalan nafas bebas. Didapatkan vital
sign: Nadi 120x/menit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36 C, akral dingin dan
lembab, RR 24x/menit.
Terdapat jejas pada regio lumbal dekstra, nyeri ketok costovertebral (+),
keluar darah dari orificium urethra externum, serta terdapat hematom pada regio
perineum. Dari pemeriksaan rectal toucher didapatkan prostat melayang. Dalam
pemeriksaan stabilitas pelvis, tes kompresi (+), tes distraksi (+).
Dokter melengkapi pemeriksaan penunjang kemudian mengkonsulkan
pasien pada dokter spesialis yang berkaitan untuk menangani kasus ini.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jumps
a. Langkah I : Klarifikasi Istilah
Dalam skenario kali ini kami mengklarifikasikan istilah sebagai berikut :
1. Tes kompresi dan tes distraksi : pemeriksaan pelvis dengan cara
mendorong dan menarik pelvis.
2. Tes Kompresi : salah satu tes stabilitas pelvis yang dilakukan dengan
menekan bagian lateral pelvis pasien saat pasien tidur dalam posisi
miring.
3. Tes Disktraksi : salah satu tes stabilitas pelvis yang dilakukan dengan
menekan pelvis pada bagian depan dalam posisi pasien terlentang.
4. Prostat melayang : suatu kondisi dimana prostat tampak melayang
ketika pemeriksaan.
b. Langkah II : Menentukan / mendefinisikan permasalahan
Permasalahan yang ditemui dalam skenario ini adalah :
1. Apa hubungan waktu penangannan pasien (6 jam) dengan kondisi
pasien?
2. Hubungan kejadian kecelakaan yang dialami pasien dengan keluhan
nyeri pinggang, tidak bisa kencing dan nyeri perut bagian bawah?
3. Mengapa dokter tidak melakukan kateterisasi?
4. Mengapa puskesmas perlu melakukan rujukan ke IGD?
5. Organ apa sajakah yang berpeluang mengalami trauma pada daerah
yang mengalami jejas?
6. Bagaimana interpretasi GCS, pupil, dan vital sign?
7. Bagaimana interpretasi p(x) fisik pada pasien?
8. Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan dalam kasus ini?

9. Apa dokter spesialis yang berkaitan untuk menangani kasus ini?


Tatacara konsultasinya?
10. Penatalaksanaan awal di puskesmas dan IGD dan penatalaksanaan
lanjutan?
11. Diagnosis kerja dan komplikasi, jelaskan!
c. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan
sementara mengenai permasalahan
1.

Apa hubungan waktu penanganan pasien (6 jam) dengan


kondisi pasien?
Jawab:
Derajat syok
Kriteri Kehilangan
Keterangan
a
darah
Pre syok 10 15% TD Sistole 90
(750 ml)
100mmHg. Tubuh
masih
bisa
mengkompensasi.
Syok
1 1,2 liter
TD sistole 80 90
Ringan
mmHg.
Takikardi
>100x/menit. Tubuh
masih
bisa
mengkompensasi.
Syok
1,5 1,75 TD Sistole 70 -80
Sedang liter
mmHg.
Takikardi
>100x/menit.
Reversibel.
Syok
1,75 2,25 TD Sistole 0 40
berat.
liter
mmHg.
Takikardi/tidak
teraba. Irreversibel.
Pembuluh
darah
mulai kolaps.

Gejala
Pusing,
ringan

takikardi

Gelisah,
keringat
dingin,
haus,
diuresis berkurang.
Gelisah,
pucat,
dingin, oligouria.
Pucat, sudah mulai
muncul
sianotik,
dingin,
takipnea,
anuria.

Tabel 01. Derajat Syok

Pada skenario :
Pasien mengalami syok ringan, dikarenakan tekanan darah systole
pasien hanya 90 mmHg dan takikardi yang mencapai 120x/menit. Pada

pasien dengan fraktur pelvis, darah yang hilang bisa mencapai 1 6


liter, sedangkan pasien mendapat pertolongan setelah 6 jam, maka
pasien tersebut berpeluang masuk menjadi pasien syok karena
perdarahan oleh sebab fraktur pelvis. Golden periode untuk penanganan
perdarahanya yaitu antara 6 8 jam untuk mencegah terjadinya syok
akibat kehilangan banyak darah.
2.

Hubungan kejadian kecelakaan yang dialami pasien dengan


keluhan nyeri pinggang, tidak bisa kencing dan nyeri perut bagian
bawah?
Jawab:
Penyebab retensi urin atara lain:
-

Supra vesikal : kerusakan pada pusat miksi di medullaspinalis.

Vesikal : kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni


pada pasien DM atau penyakit neurologis, divertikel yang besar.

Intravesikal : pembesaran prostat, batu ginjal dan tumor.

kecemasan, kelainan patologi uretra, trauma.

obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik, preparat


antidepressant antipsikotik, antihistamin dan lain lain.

Penerapan pada skenario:


Nyeri pinggang bisa terjadi karena berbagai macam faktor. Dalam
skenario ini, nyeri pinggang dapat terjadi akibat benturan keras antara
pinggang kanan pasien dengan stang motor sehingga menimbulkan
trauma.
Pasien mengeluh tidak bisa kencing bisa diakibatkan karena adanya
trauma pada urethra pasien karena ditemukan darah yang keluar pada
orificium urethra externum, atau terjadi obstruksi urethra akibat prostat
yang melayang.
Nyeri pada perut karena retensi urin yang terjadi pada pasien.
Distensi yang berlebihan pada vesika urinaria dapat menyebabkan
nyeri.
3.

Mengapa dokter tidak melakukan kateterisasi?

Jawab:
Kontraindikasi

pemasangan

kateter

adalah

urethral

injury.

Biasanya ditemukan pada pasien dengan trauma atau fraktur pada pelvis
yang ditandai dengan adanya perdarahan pad meatus urethra, perineal
hematoma, dan prostat yang melayang. Jika dicurigai ada trauma pada
urethra perlu dilakukan urethroghrapy sebelum dilakukan kateterisasi.
Selain itu pada pasien dengan striktur urethra, pasca pembedahan
urethra atau vesica urinaria, serta pada pasien yang tidak kooperatif
juga tidak disarankan untuk dilakukan pemasangan kateter.
Pada skenario:
Hasil pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya darah yang
keluar dari orificium urethra externum, hematom pada regio perineum,
serta dari pemeriksaan rectal toucher didapatkan prostat melayang. Dari
hasil tersebut dicurigai pasien mengalami trauma pada urethra yang
merupakan salah satu kontraindikasi pemasangan kateter sehingga
dokter tidak melakukannya.
4.

Mengapa puskesmas perlu melakukan rujukan ke IGD?


Berdasar yang telah kita bahas pada no.1, pasien mendapat
pertolongan setelah 6 jam, sedangkan dari hasil pemeriksaan awal
diperkirakan pasien mengalami fraktur pelvis disertai komplikasi
perdarahan. Dalam kondisi ini pasien di khawatirkan akan terjadi syok
maka rencana penatalaksanaan yang disusun termasuk resusitasi cairan
atau transfusi, selain itu kondisi fraktur yang di alami (fraktur pelvis)
harus segera mendapat penanganan sehingga perdarahan segera bisa
teratasi.

5.

Organ apa sajakah yang berpeluang mengalami trauma pada


daerah yang mengalami jejas?
Jawab:

Anatomi abdomen dan pelvis


Rongga abdomen dibagi menjadi sembilan regio, yaitu:
Regio

Organ didalamnya

Hypochondriaca dextra
Epigastrica
Hypochondriaca
sinistra
Lumbalis dextra
Umbilicus
Lumbalis sinistra
Illiaca dextra
Hypogastrica
Illiaca dextra

Hepar, esophagus, kantung empedu.


Gaster pars pylorica, corpus pancreas,
duodenum pars cranialis.
Lien, cauda pancreas, gaster pars
corpus dan pars fundus.
Colon ascenden, ren dextra.
Jejunum, ileum, colon tranversum,
omentum.
Ren sinistra, colon descenden.
Caecum, ovarium, tuba valopi dextra
(wanita), appendix vermiformis.
Vesika urinaria, uterus (wanita),
urethra, prostat (pria).
Colon sigmoid, ovarium (wanita).

Tabel 02. Regio abdomen

Penerapan pada skenario:


Pasien terbentur setang motor pada pinggang kanan dan
perut bagian bawah, yaitu regio lumbalis dextra dan hypogastrica.
Organ yang kemungkinan terkena trauma jika dilihat dari regionya
adalah colon ascenden dan ren dextra pada regio lumbalis dextra
serta vesika urinaria, prostat dan urethra pada regio hypogastrica.
Hal ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan fisik pasien yang
ditemukan adanya jejas pada regio lumbal dekstra, nyeri ketok
costovertebral, keluar darah dari orificium urethra externum,
hematom pada regio perineum serta prostat melayang.
Selain itu, benturan yang keras yang terjadi ketika pasien
jatuh ke tanah dengan panggul membentur batu besar dapat
mengakibatkan terjadinya fraktur pada pelvis dikarenakan dalam
pemeriksaan stabilitas pelvis didapatkan hasil tes kompresi (+), tes
distraksi (+).

6.

Bagaimana interpretasi GCS, pupil, dan vital sign?


Jawab:
Indikator
GCS

Normal
15

Pada
skenario
15

Interpretasi
Pasien
dalam
keadaan
compos mentis. Tidak ada
cedera kepala atau cedera

Pupil

Isokhor

Isokhor

(+/+)

(+/+)

(-)

(-)

120 / 80
mmHg

90/60
mmHg

Nadi

70
80x/menit

120
x/menit

Suhu

36,6C
37,2C
16
20x/menit

36C

Reflek
cahaya
Lateralisasi
Tekanan
Darah

RR

24x/menit

kepala ringan.
Normal, tidak ada cedera
kepala yang mengakibatkan
rusaknya jaras neural mata.
Normal, tidak ada cedera
kepala yang mengakibatkan
rusaknya jaras neural mata.
Normal,
tidak
ada
perdarahan intrakranial.
Hipotensi, yang mungkin
terjadi
akibat
pasien
kehilangan banyak darah.
Tanda dari pre syok
hipovolemik.
Takikardi.
Merupakan
mekanisme
kompensasi
akibat
hipotensi
yang
dialami pasien. Tanda dari
pre syok.hipovolemik.
Normal.
Pasien
tidak
mengalami demam.
Takipnea. Pernafasan lebih
dari normal.

Tabel 03. Interpretasi GCS, pupil, dan vital sign

7.

Bagaimana interpretasi p(x) fisik pada pasien?


Jawab:
Ditemukan jejas pada regio lumbal dextra merupakan bukti bahwa
terjadi benturan di area tersebut.
Nyeri ketok Costovertebral pada skenario didapatkan hasil (+) /
pasien merasa nyeri saat diketok, yang menandakan adanya trauma
atau peradangan pada ginjal.
Macam macam trauma ginjal :
a. Kontusio : 80% trauma ginjal, terjadi perdarahan di parenkim
ginjalnya tanpa ada kerusakan kapsul, kematian jaringan, maupun
kerusakan kaliks.
b. Laserasi : Ada robekan di parenkim, mulai dari kapsul sampai
masuk ke pelvio kaliksnya, disertai hematuria.

c. Cedera pedikal : Cedera pada arteri, vena utama ginjal, cabang


segmentalnya.
Keluar darah dari Orificium Urethra Externum disebabkan ada
trauma di urethra. Bisa berupa trauma urethra anterior, maupun
posterior. Perlu dibedakan dengan hematuria dimana hematuria adalah
keluarnya urin yang tercampur dengan darah.
Hematoma pada regio perineum disebabkan karena ruptur urethra
anterior. Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah
yang keluar dari uretra akan tertampung pada fasia Buck, dan secara
klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fascia
Buck juga ikut robek, ekstravasasi darah hanya akan dibatasi oleh fasia
Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding
abdomen. Robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu
sehingga disebut Butterfly Hematoma yaitu daerah memar atau
hematom pada penis dan skrotum.
Perbedaan trauma urethra anterior dan posterior*:
Anterior
Bloody discharge
Retensio Urine
Hematome/jejas

Posterior
Bloody discharge
Retensio urine
Floating Prostat

peritoneal/urin infiltrate
*Trias ruptur uretra (anterior/posterior)
Prostat melayang pada pemeriksaan rectal toucher disebabkan oleh
ligamentum puboprostaticum yang menyangganya terlepas akibat
trauma yang terjadi sehingga prostat terangkat ke arah cranial dan
melayang diantara hematoma yang terjadi.
Tes kompresi dan tes distraksi (+) pada pemeriksaan stabilitas
pelvis dapat menjadi sebuah indikasi adanya trauma pada pelvis. Tes
kompresi dilakukan dengan menekan bagian lateral pelvis pasien saat
pasien tidur dalam posisi miring. Tes distraksi dilakukan dengan
menekan pelvis pada bagian depan dalam posisi pasien terlentang.

Tidak bisa kencing pada pasien disebabkan karena ada trauma pada
urethra. Produksi urin tetap ada sehingga urin tertampung di vesika
urinaria dan tidak bisa keluar. Pasien mengeluh nyeri perut bagian
bawah akibat distensi berlebihan dari vesika urinaria.
8.

Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan dalam kasus ini?


Berdasarkan keluhan, regio jejas, dan pemeriksaan yang telah
dilakukan, pasien dicurigai mengalami trauma pelvis, ruptur ren, dan
ruptur urethra. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mengetahui
diagnosis pasti pada pasien sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan
yang tepat.
Ruptur Ren
Pemeriksaan laboratorium
Urinalisa, darah rutin dan kreatinin merupakan pemeriksaan
laboratorium yang penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan dasar
untuk mengetahui adanya cedera pada ginjal. Hematuria mikroskopis
pada pasien trauma dapat didefinisikan sebagai adanya >5 sel darah
merah per-lapang pandang besar, sementara pada gross hematuria telah
dapat dilihat langsung pada urin.
Hematuria merupaka poin diagnostik penting untuk trauma ginjal.
Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah
suatu trauma minor ataukah mayor. Beratnya hematuria tidak
berkorelasi lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma
ginjal yang berat, seperti; robeknya ureteropelvic junction, trauma
pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan
hematuria.
Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan akan
transfusi darah merupakan tanda kehilangan darah yang banyak, dan
respon terhadap resusistasi akan menjadi pertimbangan dalam

pengambillan keputusan. Peningkatan kreatinin dapat sebagai tanda


patologis pada ginjal.
Pemeriksaan radiologis
Indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma
ginjal antara lain adalah gross hematuri, hematuri mikroskopik yang
disertai shok, atau adanya trauma multi organ.
Ultrasonografi Abdomen
USG merupakan modalitas pencitraan yang populer untuk penilaian
awal suatu trauma abdomen. USG dapat dilakukan dengan cepat, tidak
invasif, biaya murah, dan dapat menilai adannya cairan bebas tanpa
paparan radiasi atau zat kontras. Namun penggunaan USG pada trauma
ginjal cukup banyak dipertanyakan, disamping pemakaiannya sangat
bergantung pada operator.
USG dapat mendeteksi adanya laserasi pada ginjal, namun tidak
mampu secara tepat memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang
terjadi, dan tidak mampu menampilkan data yang mendukung untuk
menilai ekskresi ginjal dan ada tidaknya kebocoran urin. USG doppler
dapat digunakan untuk menilai aliran darah yang menuju ke ginjal.
USG dapat digunakan untuk mengevaluasi resolusi urinoma dan
hematom retroperitoneal pada kasus pasien trauma ginjal yang stabil.
USG juga dapat digunakan pada pasien yang hamil dan berguna untuk
follow-up rutin dalam menilai lesi parenkim atau hematom pada pasien
yang dirawat di ruang intensive care unit (ICU). Kesimpulannya, USG
berguna pada saat triase pasien dengan trauma tumpul abdomen dan
membantu untuk menentukan modalitas diagnostik yang lebih agresif.
USG abdomen tidak memberikan data yang akurat untuk menilai
derajat trauma ginjal.
One shot-Intraoperative Intraveous Pyelography

Kontras disuntikkan selama resusitasi, dilakukan pengambilan foto 1x


pada 10 menit setelah penyuntikan. Pemeriksaan akan memberikan
informasi untuk tindakan laparotomi segera dan data mengenai normal
atau tidaknya fungsi ginjal kontralateral. Pemeriksaan IVP dapat
menghindari eksplorasi ginjal yang tidak perlu.
Computed Tomography
CT scan merupakan standar baku pemeriksaan radiologi pada pasien
trauma ginjal dengan hemodinamik stabil. Pada banyak penelitian CT
scan lebih unggul dibandingkan pencitraan lain seperti IVP, USG atau
angiografi. CT scan lebih akurat untuk menilai lokasi trauma,
mendeteksi

kontusio

dengan

jelas,

memberikan

gambaran

retroperitoneum dan hematom, dan secara simultan memberikan


gambaran abdomen dan pelvis. CT scan juga memberikan keunggulan
dalam gambaran detail anatomi, yang mencakup; laserasi ginjal, ada
tidaknya trauma penyerta, dan gambaran ginjal kontralateral. Luasnya
hematom yang tampak pada CT scan dapat dijadikan dasar evaluasi
pada kasus trauma tumpul dan penentuan terapi lebih lanjut.
Magnetic Resonance Imaging
Walaupun MRI tidak banyak digunakan pada sebagian besar kasus
trauma ginjal, namun beberapa penelitian telah menunjukkan beberapa
manfaat MRI. MRI (1,0 tesla) dapat dengan akurat mangambarkan
hematom perirenal, viabilitas fragmen ginjal, dan mendeteksi kelainan
ginjal sebelumnya, namun gagal memvisualisasikan ekstravasasi urin
pada pemeriksaan awal. Namun demikian MRI bukan pilihan
diagnostik pertama pada pasien trauma karena waktu pemeriksaannya
yang lama dan biayanya yang mahal.
Angiografi

CT scan telah menggantikan penggunaan angiografi dalam menilai


derajat trauma ginjal, hal ini dikarenakan angiografi kurang spesifik,
waktu pemeriksaan yang lama, dan lebih invasif. Namun demikian,
angiografi lebih spesifik dalam menentukan lokasi pasti dan derajat
trauma vaskular. Angiografi dapat menentukan lacerasi ginjal,
ekstravasasi, dan trauma pedicle.
Indikasi utama angiografi pada trauma ginjal adalah ginjal yang
nonvisual pada pemeriksaan IVP setelah trauma yang berat dan tidak
memiliki fasilitas CT scan. Angiografi juga diindikasikan pada pasien
dengan hemodinamik stabil, untuk menilai trauma pedicle yang tidak
begitu jelas pada CT scan atau pada pasien dengan hematuri yang
persisten.
Ruptur Uretra
Pemeriksaan radiologis
Uretrografi retrograde menjadi pilihan pemeriksaan karena akurat,
sederhana, dan cepat dilakukan pada keadaan trauma. Pemeriksaan
radiologik dengan uretrografi retrograde dapat memberi keterangan
letak dan tipe ruptur uretra. Uretrografi retrograde akan menunjukkan
gambaran ekstravasasi bila terdapat laserasi uretra, sedangkan kontusio
uretra tidak tampak adanya ekstravasasi. Bila tidak tampak adanya
ekstravasasi maka kateter uretra boleh dipasang.
Fraktur Pelvis
Pemeriksaan radiologis
Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan
radiologis dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP. AP Axial
Outlet Projection untuk tulang pelvis anterior/inferior (Taylor
Method), proyeksi ini sangat bagus untuk memperlihatkan pubis
bilateral, ischium pada fraktur pelvis dan displacement dan AP Axial

Inlet Projection Pelvis yang akan memperlihatkan proyeksi axial dari


pelvic ring ( rongga pelvis ) untuk menentukan trauma pelvis pada
posterior displacement rotasi kedalam atau keluar dari pelvis anterior.
Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna
bila keadaan umum memungkinkan.
9.

Apa dokter spesialis yang berkaitan untuk menangani kasus


ini? Tatacara konsultasinya?
Pada kasus skenario dokter IGD melakukan konsultasi kepada
dokter spesialis untuk menangani kasus lebih lanjut. Dokter spesialis
yang berkaitan untuk menangani kasus ini yaitu dokter spesialis bedah
terkait dengan adanya indikasi pasien mengalami ruptur ren dan ruptur
uretra, dokter spesialis urologi terkait dengan indikasi ruptur uretra dan
diperlukan aspirasi suprapubik, serta dokter spesialis orthopedi dan
traumatologi terkait dengan adanya indikasi fraktur pelvis pasien
berkaitan dengan trauma tumpul yang dialaminya.
Standar Operasional Prosedur Konsultasi

Pasien ke Dokter

Spesialis (secara tertulis) :


a. Dokter memberi penjelasan bahwa pasien memerlukan konsultasi
lebih lanjut dengan Dokter Spesialis lainnya.
b. Dokter menanyakan persetujuan pasien untuk konsultasi ke Dokter
Spesialis.
c. Apabila pasien tidak setuju, Dokter melanjutkan perawatan tanpa
konsultasi Dokter Spesialis dan pasien membuat surat pernyataan
tidak setuju di status pasien.
d. Apabila pasien setuju, Dokter mengisi lembar konsultasi kepada
Dokter Spesialis dan memberitahu perawat agar menghubungi
Dokter Spesialis tersebut.
e. Perawat menghubungi Dokter Spesialis yang dimaksud untuk
menentukan waktu konsultasi pasien (kedatangan Dokter Spesialis
untuk memeriksa pasien).

f. Dokter Spesialis yang dimaksud melakukan pemeriksaan dan


memberikan penjelasan pada pasien serta tindakan bila diperlukan.
Yang perlu diperhatikan pada pengisian lembar konsultasi adalah
identitas pasien, keterangan klinik, diagnosis awal dan tatalaksana awal
yang sudah diberikan, yang diisi oleh pihak yang meminta konsultasi.
Kemudian dari pihak Dokter Spesialis yang dimintai konsultasi
menjawab pada lembar konsul tersebut apa yang didapatkan dari
pemeriksaan

pada

pasien

tersebut

dan

apa

saran

tindakan

medik/pengobatan selanjutnya.
10.

Penatalaksanaan

awal

di

puskesmas

dan

IGD

dan

penatalaksanaan lanjutan?
a. Puskesmas
Sebelum melakukan penatalaksanaan awal di puskesmas hal
yang perlu dilakukan

pertama kali adalah

pemeriksaan awal

(Primary Survey dan Adjunct Primary Survey) untuk mengambil


langkah penatalaksanaan yang paling perlu segera dilakukan. Dari
hasil pemeriksaan yang akan di bahas lebih lanjut pada no. 1
langkah VII, hal yang

perlu dilakukan dalam penatalaksanaan

adalah,
A (Airway)

: Pastikan bahwa jalan

nafas tidak terganggu.,

dalam skenario kesadaran pasien compos mentis tampak dari skor


GCS 15. Maka airway tidak terdapat masalah.
B (Breathing) : Pada skenario didapatkan dari pemeriksaan fisik
bahwa breathing sedikit meningkat sebagai kompensasi terhadap
kondisi pasien (Presyok hipovolemik distribusi oksigen yang
menurun). RR 24x/menit.
C (Circulation) : Dari pemeriksaan didapatkan hasil bahwa pasien
dalam keadaan takikardia dengan denyut nadi 120x/menit
(memberikan gambaran behwa kondisi pasien adalah presyok) jika
dikaitkan dengan hasil yang lain seperti, tekanan darah 90/60
mmHg.

D (Disability) : Dari pemeriksaan kesadaran didapatkan GCS 15,


dan pasien dapat berkomunikasi dengan baik. Maka hal yang perlu
diatasi fokus pada hal yang lain serta menjaga pasien dalam kodisi
sadar stabil dengan mengontrol masalah lain yang bisa menjadi
penyebab berkurangnya kesadaran.
E (Exposure)

: Dengan cara membuka pakaian yang mengganggu

tatalaksana atau memperburuk kondisi pasien. Serta diperlukan


untuk identifikasi jejas yang ada pada bagian tubuh yang tertutup
pakaian.
Dari pemeriksaan yang dilakukan di puskesmas, dapat
dilaporkan hasil bahwa masalah yang didapat adalah:

Terdapat masalah terkait kemampuan berkemih pada


pasien.
Keluhan tidak bisa kencing perlu dikonfirmasi dengan
anamnesis yang adekuat sehingga didapatkan data yang
adekuat untuk menentukan apakah masalah yang dialami
adalah gagal produksi urin atau gangguan pada pengeluaran
urin. Dari hasil pemeriksaan dan anamnesis didapatkan
bahwa jejas hanya terjadi pada regio illiaca dextra
(pinggang) dan juga pelvis (panggul ) disertai nyeri perut
bagian bawah. Maka dapat diperkirakan jejas hanya terjadi
pada ren dextra, dari keluhan nyeri pada perut bawah
diperkirakan karena vesica urinaria yang penuh sehingga
distensi karena di perkirakan ren sinistra masih baik.
Berdasar hal tersebut dapat kita ambil sebuah kesimpulan
awal bahwa pasien mengalami gangguan pengeluaran urin
dari VU, hal ini bisa terjadi oleh sebab ruptur uretra atau
striktur uretra. Penatalaksanaan yang harus diberikan
adalah

pengeluaran urin

dengan cara kateterisasi

suprapubik (sistostomi) karena dicurigai adanya striktur


uertra atau ruptur uretra (kontra indikasi kateterisasi

melalui uretra). Karena sistostomi bukan merupakan


kompetensi dokter umum (puskesmas), maka rujukan
dengan segera adalah langkah yang palik tepat dalam
menyelamatkan pasien dalam kondisi ini.

Fraktur pelvis
Dari pemeriksaan awal yang dilakukan, pasien suspek
fraktur pelvis yang nanti dibuktikan dengan radiologis,
maka sebelum hasil radiologis didapatkan pasien dicurigai
mengalami fraktur pelvis. Penatalaksanaan awal yang bisa
dilakukan di pusksemas untuk menolong fraktur pelvis
adalah

imobilisasi

pelvis

(sheet

Gambar Sheet pelvis.

pelvis).

Setelah fraktur pelvis imobilisasi, segera lakukan rujukan


kepada dokter spesialis orthopedi.

Perdarahan dan Presyok


Untuk mengatasi perdarahan dengan kondisi pasien presyok
dan sangat mungkin menjadi syok, maka penatalaksanaan
yang bisa dilakukan dan harus segera adalah

resusitasi

cairan. Dengan cara memasang i.v line kristaloid dengan


dosis awal pemberian adalah 1000-2000 ml pada dewasa.
b. UGD/ Rumah Sakit
Pada tahap selanjutnya ketika pasien sudah di kirim ke UGD/ RS
beberapa hal yang perlu dilakukan adalah:

Adjunct Primary Survey


Dalam hal ini yang perlu dilakukan di UGD adalah melihat
data diri pasien serta keterangan dari surat pengantar
puskesmas, tekait diagnosis awal serta tindakan yang sudah
di berikan. Selanjutnya dilakukan :
-

Pemeriksaan Radiologis, pemeriksaan ini di tujukan


untuk menegakkan diagnosis fraktur pelvis yang
dicurigai terjadi pada pasien.

Pemeriksaan darah untuk persiapan transfusi jika


diperlukan transfusi darah pada tatalaksana lanjutan.

Single shoot IVP, untuk menilai gangguan pada


saluran kemih pasien yang diduga ada masalah pada
uretra, dan dilanjutkan kateterisasi suprapubic
(sistostomi). Sistostomi dilakukan karena dalam
pemeriksaan didapatkan neyri perut bawah yang
diperkirakan karena pengisian vesica urinaria yang
telah penuh serta kontra indikasi dilakukannya
kateterisasi melalui uretra.

Secondary Survey dan tatalaksaana lanjutan.

Dalam secondary survey hal yang perlu dilakukan adalah


anamnesis terkait kejadian (kecelakaan) dan keluhan lain
untuk menilai ada tidaknya risiko cidera pada regio yang
belum di periksa dengan seksama.. Setelah semua
penatalaksanaan UGD dilakukan selanjutnya konsul kepada
dokter spesialis terkait masalah yang di alami pasien.
11.

Diagnosis kerja dan komplikasi, jelaskan!


a. Fraktur Pelvis
Fraktur pelvis merupakan 5% dari seluruh fraktur, 2/3
fraktur pelvis terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. 10%
diantaranya disertai trauma pada alatalat dalam rongga panggul
seperti uretra, buli buli, rektum serta pembuluh darah.
Mekanisme trauma
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul
karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian.
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:
1.

Kompresi anteroposterior

Hal ini biasanya akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki


dengan kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang
inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai
robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury.
2.

Kompresi lateral

Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami


keretakan. Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena
kecalakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan
ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami
fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakroiliaka
atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi
yang sama.
3.

Trauma vertikal

Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara


vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi
sakroiliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabila
seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai
4.

Trauma kombinasi

Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan


diatas.
Gambaran klinis
Fraktur pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma
yang menekan tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka
serut (degloving), memar, atau hematom di daerah pinggang,
sacrum, pubis, atau perineum. Diagnosis ditegakkan bila
ditemukan nyeri subjektif dan objektif, serta gerakan abnormal
pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan
ke medial secara hati-hati pada kedua spina illiaca anterior
superior, ke medial pada kedua trochanter mayor, ke belakang
pada simphisis pubis, dan ke medial pada kedua crista illiaca.
Apabila pemeriksaan ini menyebabkan nyeri, patut dicurigai
adanya fraktur pelvis. Kemudian dicari adanya gangguan
penyerta lain seperti retensi urine atau hematuria, dan dilakukan
pemeriksaan rectal toucher untuk menilai tulang sacrum dan
tulang pubis. Fraktur pelvis sering merupakan bagian dari salah
satu trauma multipel yang dapat mengenai organ-organ lain
dalam panggul.
Komplikasi
Komplikasi Segera

Trombosis

vena

ilio-femoral,

komplikasi

ini

sering

ditemukan dan sangat berbahaya.

Robekan kandung kemih, robekan dapat terjadi apabila ada


trauma simfisis pubis atau tusukan dari tulang panggul yang
tajam.

Robekan uretra, robekan ini terjadi karena ada trauma


simfisis pubis pada daerah uretra pars membranosa.

Trauma rektum dan vagina.

Trauma

pembuluh

darah

besar

akan

menyebabkan

perdarahan masif sampai syok.

Trauma pada syaraf :


a. Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau pada
saat operasi. Apabila dalam jangka waktu enam minggu
tidak ada perbaikan, sebaiknya lakukan eksplorasi.
b. Lesi pleksus lumbosakralis, biasanya terjadi pada fraktur
sakrum yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Selain itu,
dapat terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai
pusat saraf.

Komplikasi Lanjut

Pembentukan tulang heterotrofik, biasanya terjadi setelah


trauma jaringan lunak yang hebat atau setelah operasi.
Dalam keadaan ini pasien dapat diberikan indometasin
untuk profilaksis.

Nekrosis avaskular, dapat terjadi pada caput femur beberapa


waktu setelah trauma.

Gangguan pergerakan sendi serta osteoatritis sekunder,


apabila terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak
dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini
menopang berat badan, ketidaksesuaian sendi sehingga
terjadi gangguan pergerakan serta osteoatritis di kemudian
hari.

Skoliosiskompensatoar.

b. Trauma Ginjal
Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung
oleh otot-otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ-

organ intraperitoneal di sebelah anteriornya. Karena itu trauma


ginjal tidak jarang diikuti oleh trauma organ-organ yang
mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada
sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada abdomen
mencederai ginjal. Trauma ginjal dapat menjadi problem akut
yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal
bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif.
Cedera ginjal dapat terjadi secara langsung akibat benturan
yang mengenai daerah pinggang atau tidak langsung yaitu
merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara
tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Goncangan ginjal di
dalam rongga retroperitonium menyebabkan regangan pedikel
ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri
renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan
darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri
renalis beserta cabang-cabangnya.
Klasifikasi
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal,
trauma ginjal dibedakan menjadi cedera minor, cedera mayor,
dan cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian
besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I
dan II), 15% termasuk cedera mayor (derajat III dan IV), dan
1% termasuk cedera pedikel ginjal.
Klasifikasi trauma ginjal :

Grade I, kontusio ginjal; terdapat perdarahan di ginjal tanpa


adanya kerusakan jaringan, kematian jaringan, maupun
kerusakan kaliks. Hematuria dapat mikroskopik atau
makroskopik. Pencitraan normal.

Grade II, hematom subkapsular atau perineal yang tidak


meluas, tanpa adanya kelainan parenkim.

Grade III, laserasi ginjal tidak melebihi 1 cm, tidak


mengenai pelviokaliks, dan tidak terjadi ekstravasasi.

Grade IV, laserasi lebih dari 1 cm dan tidak mengenai


pelviokaliks

atau

ekstravasasi

urine.

Laserasi

yang

mengenai korteks, medulla, dan pelviokaliks.

Grade V, cedera pembuluh darah utama, avulsi pembuluh


darah yang mengakibatkan gangguan perdarahan ginjal,
laserasi luas pada beberapa tempat/ginjal yang terbelah.

Gamb
ar: klasifikasi trauma ginjal
Diagnosis
Kecurigaan terhadap adanya trauma ginjal jika terdapat:

Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah


bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau
didapatkan adanya jejas pada daerah itu.

Hematuria.

Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus


spinosus vertebra.

Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.

Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian


atau kecelakaan lalu lintas.
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal

sangat bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau


tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu
ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas
kerusakan yang terjadi.
Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri
di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat
hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma
mayor atau ruptur pedikel seringkali pasien datang dalam
keadaan syok berat dan terdapat hematom di daerah pinggang
yang makin lama makin membesar.
Komplikasi
Komplikasi awal yang dapat terjadi pada satu bulan
pertama

berupa

perdarahan,

fistula

arteri-vena

renalis,

hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma. Komplikasi lambat


yang terjadi hidronefrosis, pembentukan batu, pyelonefritis akut,
hipertensi, fistula arteri-vena, dan pseudoaneurisma.
Kejadian hipertensi post-trauma sebesar <5%. Hipertensi
dapat terjadi segera sebagai akibat kompresi eksternal oleh
hematom perirenal, atau muncul kemudian akibat kompresi dari
terbentuknya scar. Hipertensi yang dimediasi oleh renin dapat
terjadi sebagai komplikasi jangka panjang, hal ini diakibatkan
trombosis arteri renalis, trombosis arteri segmental, stenosis
arteri

renalis,

dan

fistula

arterivena. Arteriografi

akan

memberikan informasi yang bermanfaat pada kasus hipertensi


post-trauma. Penatalaksanaan hipertensi berupa terapi medical,
eksisi parenkim yang iskemik, rekonstruksi vaskular, atau
bahkan total nefrektomi.

Arteri-vena fistula biasanya muncul kemudian dengan


gejala hematuri, hipertensi, gagal jantung, dan gagal ginjal yang
progresif dan banyak terjadi pada kasus trauma tembus ginjal.
Embolisasi perkutaneus atau stenting arteri renalis mungkin
efektif untuk menangani masalah ini, walaupun kebanyakan
kasus dilakukan operasi terbuka. Pseudoaneurisma merupakan
komplikasi

yang

keberhasilan

jarang.

embolisasi

Beberapa

penulis

melaporkan

untuk

menangani

transkateter

pseudoaneurisma.
c. Trauma Uretra
Berdasarkan anatomi, ruptur uretra dibagi atas ruptur uretra
anterior yang terletak distal diafragma urogenital dan ruptur
uretra posterior yang terletak proksimal diafragma urogenital.
Ruptur Uretra Anterior
Mekanisme trauma
Trauma tumpul atau tembus dapat menyebabkan trauma
uretra anterior. Trauma tumpul adalah diagnosis yang sering
pada segmen uretra pars bulbosa (85%), karena fiksasi uretra
pars bulbosa dibawah dari tulang pubis, tidak seperti uretra pars
pendulosa yang mobile. Trauma tumpul pada uretra pars bulbosa
biasanya disebabkan oleh straddle injury atau trauma pada
daerah perineum. Uretra pars bulbosa terjepit diantara ramus
inferior pubis dan benda tumpul, menyebabkan memar atau
laserasi pada uretra.
Tidak seperti trauma pada uretra pars prostatomembranous,
trauma tumpul uretra anterior jarang berhubungan dengan
trauma

organ

lainnya.

Kenyataannya,

straddle

injury

menimbulkan cedera cukup ringan, membuat pasien tidak


mencari penanganan pada saat kejadian. Pasien biasanya datang
dengan striktur uretra setelah kejadian yang intervalnya bulan
atau tahun.

Klasifikasi
Klasifikasi ruptur uretra anterior dideskripsikan oleh
McAninch dan Armenakas berdasarkan atas gambaran radiologi

Kontusio : Gambaran klinis memberi kesan cedera uretra,


tetapi uretrografi retrograde normal

Incomplete

disruption

Uretrografi

menunjukkan

ekstravasasi, tetapi masih ada kontinuitas uretra sebagian.


Kontras terlihat mengisi uretra proksimal atau vesika
urinaria.

Complete

disruption

Uretrografi

menunjukkan

ekstravasasi dengan tidak ada kontras mengisi uretra


proksimal

atau

vesika

urinaria.

Kontinuitas

uretra

seluruhnya terganggu.
Gambaran Klinis
Pada ruptur uretra anterior terdapat memar atau hematom
pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus
uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi rupture
uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak
terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah
suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan kandung kemih
yang penuh.
Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat
cedera kangkang atau instrumentasi dan darah yang menetes
dari uretra. Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum,
darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia
Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada
penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasai urin dan
darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat
menjalar hingga skrotum atau dinding abdomen. Oleh karena itu
robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga
disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

Ruptur Uretra Posterior


Mekanisme trauma
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar
ruptur pada uretra pars posterior. Gangguan pada uretra terjadi
sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan
pada uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma
tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai
ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada
cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostatomembranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang
berada di dalam cavum pelvis menyebabkan hematoma yang
luas di cavum retzius sehingga jika ligamentum puboprostatikum ikut terobek, prostat akan terangkat ke kranial.
Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya gaya geser
pada prostatomembranosa junction sehingga prostat terlepas
dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya
pergeseran prostat, maka uretra pars membranasea teregang
dengan cepat dan kuat. Uretra posterior difiksasi pada dua
tempat yaitu fiksasi uretra pars membranasea pada ramus
ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars
prostatika ke simphisis oleh ligamentum puboprostatikum.
Klasifikasi
Melalui gambaran uretrografi, derajat trauma uretra
posterior terbagi dalam 3 jenis :
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami
stretching (perengangan). Uretrografi tidak menunjukkan
adanya ekstravasasi dan uretra hanya tampak memanjang
2. Uretra

posterior

terputus

pada

perbatasan

prostat-

membranasea, sedangkan diafragma urogenitalia masih

utuh. Uretrografi menunjukkan ekstravasai kontras yang


masih terbatas di atas diafragma
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars
bulbosa

sebelah

proksimal

ikut

rusak.

Uretrografi

menunjukkan ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah


diafragma sampai ke perineum
Gambaran Klinis
Trias diagnostik dari trauma uretra posterior adalah fraktur
pelvis, darah pada meatus dan urin tidak bisa keluar dari vesica
urinaria. Keluarnya darah dari orificium uretra eksternum
merupakan tanda yang paling penting dari trauma uretra.
Adanya darah pada orificium uretra eksternum mengindikasikan
pentingnya uretrografi untuk menegakkan diagnosis.
Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada
pelvis dengan pengeseran prostat ke superior. Bagaimanapun
pemeriksaan rektum dapat diinprestasikan salah, karena
hematoma pelvis bisa mirip denagan prostat pada palpasi.
Pergeseran prostat ke superior tidak ditemukan jika ligament
puboprostikum tetap

utuh. Disrupsi

parsial dari uretra

membranasea tidak disertai oleh pergeseran prostat.


Prostat

dan

buli-buli

terpisah

dengan

uretra

pars

membranasea dan terdorong ke atas oleh penyebaran dari


hematoma pada pelvis. High riding prostat merupakan tanda
klasik yang biasa ditemukan pada ruptur uretra posterior.
Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur pelvis kadangkadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang
ukurannya kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan
sebagai prostat yang normal mungkin adalah hematoma pada
pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada
tidaknya jejas pada rektal yang dapat dihubungkan dengan

fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari pemeriksa


menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi yang diperiksa.
Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra adalah infeksi,
hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis.
Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur
uretra. Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin merupakan
komplikasi ruptur uretra posterior paling berat. Striktur yang
mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50%
dari kasus. Jika dilakukan sistotomi suprapubik, dengan
pendekatan delayed repair maka insidens striktur dapat
dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah
primary repair, rata-rata sekitar 50%. Hal ini dapat dikurangi
hingga 30-35% dengan drainase suprapubik pada rekontruksi
uretra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin
<2 % biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang
berat dan cedera nervus S2-4.
d. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3
Waktu pertolongan Pasien Trauma

Mekanisme trauma
Topografi Organ

Diagnosis Awal
Penanganan di Puskesmas

Penatalaksanaan Awal
Mekanisme Rujukan

Penatalaksanaan Lanjutan

Penanganan di IGD Rumah Diagnosis


Sakit
dan Komplikasi
Mekanisme Rujukan

Diagram 1. Inventarisasi Permasalahan

Primary Survey

Primary Adjunct Survey Secondary Survey

Diagnosis

Fraktur Pelvis

Trauma Ginjal

Trauma Urethra

Diagram 2. Alur Diagnosis

Konsultasi dan Rujuk Dokter Spesialis


e. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran (LO)
Tujuan penulisan pada skenario kali ini adalah :
1.
Menjelaskan Penatalaksanaan
primary survey, adjunct primary survey, secondary
survey yang didapat dari skenario.
2.

Menjelaskan tatalaksana dari trauma urogenital, yaitu trauma ginjal


dan trauma urethra.

3.

Menjelaskan tatalaksana dari fraktur pelvis.

4.

Menjelaskan komplikasi yang mungkin terjadi.

f. Langkah VI : Mengumpulkan Informasi


Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok secara
individu
g. Langkah VII : Laporan dan Pembahasan Tujuan Pembelajaran (LO)
Informasi yang telah kami peroleh antara lain :
1.

Primary survey : ABCDE


A (Airway)
Pemeriksaan untuk menilai jalan napas pasien, dalam skenario
pasien sadar penuh dibuktikan dengan GCS 15, dari pemeriksaan jalan
napas bersih.

B (Breathing)
Pada skenario pasien sadar, dapat bernafas mandiri, maka tidak ada
masalah dengan breathing.
C (Circulation)
Pada pemeriksaan yang dilakukan didapatkan hasil bahwa :
o Nadi : 120x/menit (takikardia)
o Tekanan darah : 90/60 mmHg (Hipotensi).
o RR: 24x/menit (Normal).
o Suhu Tubuh 36oC (normal)
Dari data pemeriksaan diatas pasien dicurigai presyok dan sangat
mungkin masuk menjadi syok sehingga perlu dilakukan tatalaksana
yang cepat dan tepat.
D (Disability)
Pada pemeriksaan didapatkan hasil:

GCS : 15 (Compos mentis)

Pupil ishokor ( Normal).

Lateralisasi (-) Normal

Reflek Cahaya (+/+) Normal pada kedua sisi.


Kesimpulan awal pasien tidak mengalamai trauma kepala, namun
kecurigaan ini harus tetap di pertahankan jika dalam anamnesis di
dapatkan data yang menguatkan risiko terjadinya trauma kepala sampai
di buktikan bahwa tidak ada trauma kepada.
E (Exposure)
Pasien di curigai terjadi trauma tumpul akibat kecelakaan yang
dialami, maka ekposure bertujuan untuk mencari lokasi jejas pada
tubuh pasien serta melakukan pemeriksaan pada regio yang dikeluhkan
pasien. Kondisikan pasien dalam keadaan paling nyaman serta lepas
pakaian untuk melakukan pemeriksaan jejas dan pemeriksaan status
lokalis.

2.

Adjunct primary survey

a. Periksa vital sign: nadi, tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi napas.
b. Pasang EKG
Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus
dicurigai adanya hipoksia dan hipoperfusi. Hipotermia dapat
menampakkan gambaran disritmia.
c. Pasang kateter uretra
Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi
pemasangan kateter urine.
d. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium
e. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
o Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral,
menggunakan mesin x-ray portabel dan atau FAST bila terdapat
kecurigaan trauma abdomen.
o Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai
menghambat proses resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat
dilakukan pada saat secondary survey.
3.

Secondary Survey
a. Anamnesis
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan

fisik

pada

secondary

survey

meliputi

pemeriksaan tingkat kesadaran, pupil, kepala, maksilofasial, leher,


toraks, abdomen/pinggang, pelvis, medula spinalis, kolumna
vertebralis, ekstremitas. Masing-masing aspek dilakukan identifikasi
trauma terlebih dahulu, kemudian penilaian dengan pemeriksaan fisik,

selanjutnya temuan klinis dari pemeriksaan fisik dikonfirmasi dengan


pemeriksaan lanjutan sesuai dengan aspek.
4.

Tatalaksana dan komplikasi yang mungkin terjadi


a. Inform consent perlu dilakukan karena pasien dalam keadaan sadar.
b. Fraktur Pelvis
Immobilisasi pasien merupakan tatalaksana awal dalam
kasus dengan kecurigaan fraktur pelvis. Setelah itu melakukan
konsultasi dan rujukan kepada dokter spesialis orthopedi dan
traumatologi untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
c. Trauma uretra
Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi. Pasien dengan kontusio
atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan
alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada
ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus
dilakukan dengan lubrikan yang adekuat.
Bila

ruptur

uretra

posterior

tidak

disertai

cedera

intraabdomen dan organ lain, cukup dilakukan sistotomi. Reparasi


uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis
ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu.
Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan.
Kateter uretra harus dihindari.
1) Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk
drainase urin. Insisi midline pada abdomen bagian bawah dibuat
untuk menghindari pendarahan yang banyak pada pelvis. Buli-buli
harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi untuk laserasi dan
jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat
diabsorpsi dan pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin.
Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3 bulan. Pada

pemasangan ini prostat serta buli-buli akan kembali secara


perlahan ke posisi anatominya. Bila disertai cedera organ lain
sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari kemudian,
sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading).
2) Delayed urethral reconstruction
Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan
dalam 3 bulan, diduga pada saat ini tidak ada abses pelvis atau
bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstruksi, dilakukan
kombinasi sistogram dan uretrogram untuk menentukan panjang
sebenarnya dari striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2 cm
dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang dipilih
adalah single-stage reconstruction pada ruptur uretra dengan
eksisi langsung pada daerah striktur dan anastomosis uretra pars
bulbosa ke apeks prostat lalu dipasang kateter uretra ukuran 16 F
melalui

sistotomi

suprapubik.

Kira-kira

bulan

setelah

rekonstuksi, kateter uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan


sistogram, jika sistogram memperlihatkan uretra utuh dan tidak ada
ekstravasasi, kateter suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada
ekstravasasi atau striktur, kateter suprapubik harus dipertahankan.
Uretrogram dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk melihat
perkembangan striktur.
3) Immediate urethral realignment
Ahli bedah akan langsung memperbaiki uretra. Perdarahan dan
hematoma sekitar ruptur merupakan masalah teknis. Timbulnya
striktur, impotensi, dan inkotinensia lebih tinggi dari immediate
cystotomy dan delayed reconstruction.
d. Trauma ginjal
Satu jam pertama setelah trauma merupakan masa
terpenting dan membutuhkan penilaian yang cepat serta melakukan
resusistasi.Tujuan utama dari manajemen pasien trauma ginjal
adalah meminimalisir morbiditas dan mengamankan fungsi ginjal.

Oleh karena itu eksplorasi ginjal harus dipastikan dengan sangat


selektif. Derajat trauma ginjal, kondisi pasien secara keseluruhan,
dan kebutuhan akan transfusi merupakan faktor prognosis untuk
nefrektomi dan hasil akhir secara keseluruhan.
Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan oleh
pendarahan ginjal merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya
eksplorasi ginjal, baik pada trauma tumpul maupun trauma tembus.
Indikasi lain untuk dilakukannya eksplorasi adalah hematom
perirenal yang pulsatile dan ekspanding (berdenyut dan meluas).
Pada situasi ini one shot-IVP dapat memberikan informasi yang
bermanfaat. Visualisasi yang tidak baik pada ginjal yang
mengalami trauma termasuk indikasi eksplorasi. Pasien trauma
ginjal grade 5 juga merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya
eksplorasi.

Algoritma Tatalaksana Trauma Tumpul Ginjal

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil diskusi yang telah kami lakukan, didapatkan kesimpulan pada
skenario ini pasien mengalami trauma tumpul abdomen berupa ruptur ren serta
fraktur pelvis yang mengakibatkan ruptur urethra pars posterior, keadaan tersebut
mengakibatkan perdarahan hingga syok hipovolemik.

BAB IV
SARAN

Pelaksanaan tutorial berjalan dengan cukup baik, namun diharapkan peran serta
mahasiswa lebih aktif lagi sehingga semua learning objectives dapat diselesaikan
dengan baik

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committee on Trauma. 2008. Advanced Trauma
Life Support Eight Edition. Indonesia: Ikabi.
Bontrager, Kenneth L. 2001. Textbook of Radiographic Positioning and Related
Anatomy Fifth Edition. Saint Louis: Mosby.
Odle,

Teresa.

2007.

Blunt

Abdominal

Trauma.

Available

from

http://www.emedicine.com (Diakses Mei 2015)


Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi Edisi 3. Malang: CV Sagung
Seto.
Purwadianto, Agus. 2013. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan Praktis
Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher.
Reksoprodjo S, et al. 2004. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: FK UI.
Salomone, Joseph. 2007. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency
Medicine, Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City
School of Medicine. Available from http://www.emedicine.com (Diakses
Mei 2015)
Sjamsuhidajat R, Jong WM. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzane. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC.


Smith,

Kevin

et

al.

2009.

Trauma

Urethral.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/451797-media (Diakses Mei 2015)

Anda mungkin juga menyukai