Skenario 5
Seorang anak berusia 10 tahun datang berobat dengan keluhan batuk, serak, dan sakit saat
menelan, setelah dilakukan pemeriksaan, anak tersebut didiagnosa menderita radang pada
pharynx (pharyngitis).
Istilah yang tidak diketahui
Pharyngitis : peradangan pada pharynx
Pendahuluan
Respirasi adalah keseluruhan proses yang melaksanakan pemindahan pasif O 2 dari
atmosfer ke jaringan untuk menunjang metabolisme sel, serta pemindahan pasif terusmenerus CO2 yang dihasilkan oleh metabolisme dari jaringan ke atmosfer. Sistem pernapasan
berperan dalam homeostasis dengan mempertukarkan O2 dan CO2 antara atmosfer dan darah.
Darah mengangkut O2 dan CO2 antara sistem pernapasan dan jaringan. Fungsi utama respirasi
(pernapasan) adalah memperoleh O2 untuk digunakan sel tubuh dan untuk mengeluarkan CO2
yang diproduksi oleh sel.1 Pertukaran gas dari udara ke paru, diperantarai oleh saluran
pernapasan yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu saluran pernapasan bagian atas atau jalan
napas dan saluran pernapasan bagian bawah.
Berdasarkan skenario yang didapat, yaitu mengenai seorang anak dengan keluhan
batuk, serak dan sakit saat menelan, maka pada makalah ini akan dibahas mengenai struktur
sistem respiratorius bagian konduksi serta mekanisme pernapasan.
Tulang hidung, tulang ini membentuk jembatan dan bagian superior kedua sisi
hidung. Vomer dan lempeng perpendicular tulang etmoid membentuk bagian
posterior septum nasal. Lantai rongga nasal adalah palatum keras yang terbentuk
dari tulang maksila dan palatinum. Langit-langit rongga nasal pada sisi medial
terbentuk dari lempeng kribriform tulang ethmoid, pada sisi anterior dari tulang
frontal dan nasal, dan pada sisi posterior dari tulang sphenoid. Terdapat juga
konka superior, medial, dan inferior yang menonjol pada sisi medial dinding
lateral rongga nasal. Dibawahnya ada meatus superior, medial, dan inferior yang
2.
terdapat tonsil.
Laringofaring, faring ini mengelilingi mulut esofagus dan laring, yang merupakan
pubertas.
Kartilago krikoid, cincin anterior yang lebih kecil dan lebih tebal, terletak di
jaringan lunak.
4. Trakea (pipa udara) dan bronkus, tuba yang terletak di atas permukaan anterior
esofagus. Tuba ini merentang dari laring pada area vertebra serviks keenam sampai
area vertebra toraks kelima tempatnya membelah menjadi dua bronkus, yaitu bronkus
dekstra dan bronkus sinistra. Bronkus akan bercabang menjadi bronkiolus.
Bronkiolus dibedakan menjadi dua, yaitu bronkiolus terminalis dan brinkiolus
respiratorik. Bronkiolus bercabang lagi menjadi alveolus.3 Trakea dan bronkus besar
adalah tabung yang cukup kaku tak berotot yang dikelilingi oleh serangkaian cincin
tulang rawan yang mencegah saluran ini menyempit. Bronkiolus yang lebih kecil
tidak memiliki tulang rawan. Dinding saluran ini mengandung otot polos yang disarafi
oleh sistem saraf otonom dan peka terhadap hormon dan bahan kimia lokal tertentu.
Faktor-faktor ini mengatur jumlah udara yang mengalir dari atmosfer ke setiap
kelompok alveolus, dengan mengubah derajat kontraksi otot bronkiolus sehingga
mengubah kaliber saluran terminal.1
Struktur Pelengkap Sistem Pernapasan
Yang digolongkan ke dalam struktur pelengkap sistem pernapasan adalah struktur
penunjang yang diperlukan untuk bekerjanya sistem pernapasan itu sendiri. Struktur
pelengkap tersebut:
1. Dinding Dada atau Dinding Toraks
Otot diafragma.
Otot inspirasi tambahan (accessory respiratory muscle) yang sering juga disebut sebagai
otot bantu napas, yaitu:
Muskulus sternokleidomastoideus
hiatus aortikus yang dilalui oleh aorta desenden, vena azigos dan duktus torasikus;
4. Pleura
Pleura dibentuk oleh jaringan yang berasal dari mesodermal. Pembungkus ini dapat
dibedakan menjadi:
pleura. Meskipun sangat tipis, cairan ini telah dapat memisahkan lapisan pleura viseralis
dengan pleura parietalis agar tidak saling bersinggungan atau berlengketan.3
Struktur Mikroskopis
Pada dasarnya dinding saluran napas terdiri atas tunika mukosa, lamina propria,
tunika muskularis, dan kerangka tulang rawan. Makin kecil saluran napas itu, makin tipis
dindingnya. Hanya sampai bronkus, kerangka tulang rawan terlihat, namun sampai yang kecil
pun masih dilengkapi dengan otot polos dan epitel bersilia dan sel goblet. Sel goblet berguna
untuk mensekresi mucus pada saluran pernapasan. Saluran udara yang paling kecil tidak lagi
mengandung sel goblet. Hanya alveolus paru yang dilapisi epitel selapis gepeng.4
Bagian konduksi sistem pernafasan ditunjang oleh tulang rawan hialin. Trakea
dilingkari oleh cincin-cincin tulang rawan hialin berbentuk C. Setelah bercabang menjadi
bronki yang kemudian memasuki paru, cincin hialin diganti oleh lempeng-lempeng tulang
rawan hialin. Saat diameter bronkiolus mengecil, semua lempeng hialin menghilang dari
saluran pernafasan bagian konduksi. Bagian konduksi saluran nafas yang terkecil adalah
bronkiolus terminalis.5
Mukosa trakea dilapisi oleh epitel bertingkat silindris bersilia bersel goblet. Dalam
lamina propria terdapat kelenjar campur. Bagian trachea yang mengandung tulang rawan
disebut pars kertilaginea trachea. Celah pada huruf C ini ditutup oleh jaringan ikat dengan
kerangka jaringan otot polos. Bagian ini disebut pars membranasea trachea. Di sekeliling
trachea, meliputi bagian luar trachea baik pars kartilaginea maupun pars membranasea
terdapat selubung jaringan ikat jarang yang disebut tunika adventisia.
Bronkus intrapulmonal memiliki mukosa saluran napas yang tidak rata, berkelokkelok dan dilapisi epitel bertingkat silindris bersilia bersel goblet. Dalam lamina propria
terdapat berkas otot polos yang tersusun melingkar. Di bawah lapisan otot polos dapat
ditemukan penggalan tulang hialin. Di antara penggalan tulang rawan tersebut, di bawah
berkas otot polos, terlihat kelenjar campur. Permukaan luar dindingnya yaitu tunika
adventisia merupakan jaringan ikat jarang.
Mukosa pada bronkiolus juga sering tampak bergelombang. Pada bronkiolus yang
besar, epitelnya selapis torak bersilia bersel goblet. Sementara pada bronkiolus yang kecil,
epitelnya lebih rendah, epitel selapis kubis tak bersilia. Perubahan jenis epitel itu terjadi
berangsur-angsur, semakin ke arah distal, dari bronkiolus besar ke bronkiolus kecil, epitel
makin rendah, terlihat epitel tak bersilia. Sel goblet makin jarang, sampai akhirnya tak
ditemukan lagi pada daerah yang epitelnya selapis kubis tak bersilia. Dalam lamina propria
tidak lagi terdapat kelenjar maupun penggalan tulang rawan. Berkas serat otot polos pun
semakin ke distal semakin tipis, sehingga sulit dikenali. Bronkiolus yang paling kecil akan
menyalurkan udara ke dalam suatu lobulus disebut bronkiolus terminalis yang menyalurkan
udara pernapasan ke asinus, yaitu suatu unit struktural paru.4
Pada bronkioli terminalis juga terdapat sel kuboid tanpa silia yang disebut sel clara. 5
Bronkiolus terminalis hanya dapat dipelajari pada bronkiolus yang terpotong memanjang
karena pendeknya saluran ini.4
Bagian superior atau atap rongga hidung mengandung epitel yang yang sangat khusus
untuk mendeteksi dan meneruskan bebauan. Epitel ini adalah epitel olfaktoris yang terdiri
atas tiga jenis sel, yaitu sel penyokong (sustentakular), sel basal, dan sel olfaktoris. Sel
olfaktoris adalah neuron bipolar sensoris yang berakhir pada permukaan epitel olfaktori
sebagai bulbus olfaktoris kecil. Di dalam jaringan ikat di bawah epitel olfaktoris terdapat N.
olfaktoris (gabungan akson tak bermielin dan akson reseptor lain pada lamina propria) dan
kelenjar olfaktoris. Sel olfaktorius terletak diantara sel basal dan sel penyokong. Sel
sustentakuler atau sel penyokong merupakan sel silindris dengan inti lonjong dan ada granula
kuning kecoklatan pada sitoplasmanya. Sel basa berbentuk segitiga dengan inti lonjong,
merupakan sel cadangan yang membentuk sel penyokong dan menjadi sel olfaktorius.
Gambar 4. Epitel olfaktorius
Mukosa olfaktoris terdapat pada permukaan konka superior, yaitu salah satu sekat
bertulang dalam rongga hidung. Epitel respirasi di dalam rongga hidung adalah epitel
bertingkat semu silindris bersilia dan bersel goblet. Epitel olfaktoris dikhususkan untuk
menerima rangsang tbau yang terdiri dari epitel bertingkat semu silindris tinggi tanpa sel
goblet. Epitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, pada kedua sisi septum, dan di
dalam konka nasal superior. Di bawah lamina propia terdapat kelenjar Bowman yang
menghasilkan sekret serosa, berbeda dengan sekret campur mukosa dan serosa yang
dihasilkan kelenjar di bagian lain rongga hidung.
untuk menahan dinding thoraks dan paru saling berdekatan, juga meregangkan paru untuk
mengisi rongga thoraks yang lebih besar, yaitu
1. Daya kohesif cairan intrapleura
Molekul air dalam cairan intrapleura menahan tarikan yang memisahkan mereka
karena molekul ini bersifat polar dan saling tarik. Daya rekat yang terbentuk di cairan
intrapleura cenderung menahan kedua permukaan pleura menyatu. Karena itu, cairan
intrapleura dapat dianggap sebagai lem antara bagian dalam dinding thoraks dan
paru.
2. Gradien tekanan transmural (trans: melintasi, mural: dinding)
Tekanan intra-alveolus lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga tekanan yang
menekan dinding paru lebih besar daripada tekanan yang mendorong ke dalam.
Perbedaan netto tekanan ke arah luar ini disebut gradien tekanan transmural yang
mendorong paru keluar, meregangkan sehingga paru selalu dipaksa mengembang
untuk mengisi rongga thoraks.
Tekanan intrapleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer karena baik dinding
thoraks maupun paru tidak berada pada posisi alaminya ketika keduanya saling menempel,
maka keduanya secara terus-menerus berusaha untuk kembali ke posisi awal mereka. Paru
yang teregang memiliki kecenderungan tertarik ke dalam menjauhi dinding thoraks
sedangkan dinding thoraks yang tertekan cenderung bergerak keluar menjauhi paru. Namun
gradien tekanan transmural dan daya rekat cairan intrapleura mencegah kedua struktur ini
saling menjauh kecuali untuk jarak yang sangat kecil. Penurunan kecil tekanan intrapleura di
bawah tekanan atmosfer juga disebabkan oleh pengembangan ruang vakum kecil yang tidak
ditempati oleh cairan intrapleura yang berada di rongga pleura.
Tekanan intra-alveolus dapat diubah dengan mengubah volume paru. Oleh karena itu,
ekspansi paru tidak disebabkan oleh udara masuk ke dalam paru, tetapi karena turunnya
tekanan intra-alveolus. Hukum Boyle mengatakan bahwa pada suhu konstan, tekanan yang
ditimbulkan oleh suatu gas berbanding terbalik dengan volume gas. Maka saat volume gas
dalam paru meningkat, tekanan yang ditimbulkan oleh gas akan menurun.
Perubahan volume paru disebabkan secara tidak langsung oleh aktivitas otot
pernapasan. Otot-otot tersebut mengubah volume rongga thoraks, sehingga ada perubahan
yang terjadi pada volume paru karena dinding thoraks dan dinding paru berhubungan melalui
daya rekan cairan intrapleura dan gradien tekanan transmural.1
Inspirasi & Ekspirasi
Sebelum inspirasi dimulai, otot-otot pernapasan berada dalam keadaan lemas, tidak
ada udara yang mengalir, dan tekanan intra-alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Otot
inspirasi utama-otot yang berkontraksi untuk melakukan inspirasi sewaktu bernapas tenangadalah diafragma dan otot interkostal eksternal. Inspirasi merupakan proses aktif. Kontraksi
otot-otot inspirasi akan meningkatkan volume intratorakal.
diafragma, suatu lembaran otot rangka yang membentuk lantai rongga thoraks dan disarafi
oleh saraf frenikus. Diafragma dalam keadaan melemas berbentuk kubah yang menonjol ke
atas ke dalam rongga thoraks. Ketika berkontraksi (pada stimulasi oleh saraf frenikus),
diafragma turun dan memperbesar volume rongga thoraks dengan meningkatkan ukuran
vertikal (atas ke bawah). Dinding abdomen, jika melemas, menonjol keluar sewaktu inspirasi
karena diafragma yang turun akan menekan isi abdomen ke bawah dan ke depan. 75%
pembesaran rongga thoraks dilakukan oleh kontraksi diafragma.
Dua set otot interkostal terletak antara iga-iga (inter artinya "di antara"; kosta artinya
"iga"). Otot intercostal eksternal terletak di atas otot interkostal internal. Kontraksi
interkostal eksternal, yang serat-seratnya berjalan ke dan depan antara dua iga yang
berdekatan, memperbesar rongga toraks dalam dimensi lateral (sisi ke sisi) dan
anteroposterior (depan ke belakang). Ketika berkontraksi, interkostal eksternal mengangkat
iga dan selanjutnya sternum ke atas dan ke depan, memperbesar bagian atas rongga thoraks.
Saraf interkostal mengaktifkan otot-otot interkostal ini.1
Pada saat kelahiran, jaringan paru dikembangkan sehingga teregang, dan pada akhir
ekspirasi tenang, kecenderungan daya rekoil jaringan paru untuk menjauhi dinding dada
diimbangi oleh daya rekoil dinding dada ke arah yang berlawanan. Apabila dinding dada
dibuka, paru akan kolaps; dan apabila paru kehilangan elastisitasnya, dada akan mengembang
menyerupai bentuk gentong (barrel shaped).6
Selama pernapasan tenang, ekspirasi normalnya merupakan suatu proses pasif, karena
dicapai oleh recoil elastik paru ketika otot-otot inspirasi melemas, tanpa memerlukan
kontraksi otot atau pengeluran energi. Namun, pada awal ekspirasi, masih terdapat kontraksi
ringan otot inspirasi. Kontraksi ini berfungsi sebagai peredam daya rekoil paru dan
memperlambat ekspirasi. Sebaliknya, inspirasi selalu aktif karena ditimbulkan hanya oleh
kontraksi otot inspirasi dengan menggunakan energi. Ekspirasi dapat menjadi aktif untuk
mengosongkan paru secara lebih tuntas dan lebih cepat daripada yang dicapai selama
pernapasan tenang, misalnya sewaktu pernapasan dalam ketika olahraga. Tekanan intraalveolus harus lebih ditingkatkan di atas tekanan atmosfer daripada yang dicapai oleh
relaksasi biasa otot inspirasi dan recoil elastik paru. Untuk menghasilkan ekspirasi paksa
atau aktif tersebut, otot-otot ekspirasi harus lebih berkontraksi untuk mengurangi volume
rongga thoraks dan paru. Otot ekspirasi yang paling penting adalah otot dinding abdomen.
Sewaktu otot abdomen berkontraksi terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen yang
menimbulkan gaya ke atas pada diafragma, mendorongnya semakin ke atas ke dalam rongga
thoraks daripada posisi lemasnya sehingga ukuran vertikal rongga thoraks menjadi semakin
kecil. Otot ekspirasi lain adalah otot interkostal internal, yang kontraksinya menarik iga
turun dan masuk, mendatarkan dinding dada dan semakin mengurangi ukuran rongga thoraks.
Hal ini berlawanan dengan otot interkostal eksternal.
Sewaktu kontraksi aktif otot ekspirasi semakin mengurangi volume rongga thoraks,
volume paru juga menjadi semakin berkurang karena paru tidak harus teregang lebih banyak
untuk mengisi rongga thoraks yang lebih kecil. Sementara tekanan intra-alveolus lebih
meningkat sewaktu udara di paru tertampung di dalam volume yang lebih kecil. Perbedaan
antara tekanan intra-alveolus dan atmosfer kini menjadi lebih besar daripada ketika ekspirasi
pasif sehingga lebih banyak udara keluar menuruni gradient tekanan sebelum tercapai
keseimbangan.1
Pada awal inspirasi, terjadi kontraksi otot-otot abductor laring (m. cricoarytaenoideus
posterior) yang akan memisahkan pita usara dan membuka glottis. Selama menelan atau
sewaktu tersedak, secara refleks terjadi kontraksi otot-otot tersebut yang menutup glottis dan
mencegah aspirasi makanan, cairan atau bahan muntah ke dalam paru. Otot laring dipersarafi
oleh n.vagus.
Secara umum, otot polos pada dinding bronkus membantu pernapasan. Selama
inspirasi bronkus akan dilatasi, sebaliknya selama ekspirasi erjadi konstriksi bronkus. Dilatasi
disebabkan oleh rangsan simpatis dan konstriksi oleh rangsang parasimpatis.
Volume Paru
Jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap inspirasi (atau jumlah udara yang
keluar dari paru setiap ekspirasi) dinamakan volume alun napas (tidal volume/TV). Jumlah
udara yang masih dapat masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal, setelah inspirasi biasa
disebut volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume/IRV). Jumlah udara yang
dapat dikeluarkan secara aktif dari dalam paru melalui kontraksi otot ekpsirasi, setelah
ekspirasi biasa disebut volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume/ERV), dan
udara yang masih tertinggal di dalam paru setelah ekspirasi maksimal disebut volume residu
(residual volume/RV). Ruang di dalam saluran napas yang berisi udara yang tidak ikut serta
dalam proses pertukaran gas dengan darah dalam kapiler paru disebut ruang rugi
pernapasan / ruang rugi anatomik. Sementara ruang rugi alveolus adalah udara yang
berada dalam alveolus namun tidak ikut serta dalam pertukaran gas.
ke
dalamnya. Pertukaran gas di tingkat kapiler paru dan kapiler jaringan berlangsung secara
difusi pasif sederhana O2 dan CO2 menuruni gradien tekanan parsial (perbedaan tekanan
parsial antara darah kapiler dan struktur sekitar).
Tekanan parsial adalah tekanan yang ditimbulkan secara independent oleh masingmasing gas dalam suatu campuran gas. Semakin besar tekanan parsial suatu gas dalam cairan,
semakin banyak gas tersebut larut. Pertukaran oksigen dan CO 2 menembus kapiler paru dan
kapiler sistemik akibat gradient tekanan parsial. Pertukaran ini membentuk suatu sirkulasi
pernapasan. Sirkulasi ini diawali dengan inspirasi, masuknya O2 dari udara atmosfer ke dalam
alveolus, menuruni gradien tekanannya. PO2 alveolus tetap relatif tinggi dan PCO2 alveolus
relatif tetap rendah karena sebagian dari udara alveolus ditukar dengan udara atmosfer baru
setiap kali bernapas. Sebaliknya, darah vena sistemik yang masuk ke paru relatif rendah
dalam O2 dan tinggi dalam CO2 karena telah menyerahkan O2 dan menyerap CO2 di tingkat
kapiler sistemik. Hal ini menciptakan gradien tekanan parsial antara udara alveolus dan darah
kapiler paru yang memicu difusi pasif O2 ke dalam darah dan CO2 keluar darah sampai
tekanan parsial darah dan alveolus setara. Karena itu darah yang meninggalkan paru relatif
mengandung O2 tinggi dan CO2 rendah. Darah ini disalurkan ke jaringan dengan kandungan
gas darah yang sama ketika darah tersebut meninggalkan paru.
Tekanan parsial O2 relatif rendah dan CO2 relatif tinggi di sel jaringan yang
mengonsumsi O2 dan memproduksi CO2. Akibatnya, gradien tekanan parsial untuk
pertukaran gas di tingkat jaringan mendorong perpindahan pasif O 2 keluar darah menuju sel
untuk menunjang kebutuhan metabolik sel-sel tersebut dan juga mendorong pemindahan
secara simultan CO2 ke dalam darah. Setelah mengalami keseimbangan dengan sel-sel
jaringan, darah yang meninggalkan jaringan relatif mengandung O 2 rendah dan CO2 yang
tinggi. Darah ini kemudian kembali ke paru untuk kembali diisi oleh O 2 dan dikeluarkan CO2
nya. Selain gradien tekanan parsial, kecepatan difusi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Luas permukaan
Semakin luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas, maka semakin tinggi juga
laju difusi gas. Dalam keadaan istirahat, sebagian dari kapiler paru biasanya tertutup,
karena tekanan sirkulasi paru yang rendah, tidak dapat menjadga semua kapiler tetap
terbuka. Selama olahraga, saat tekanan darah paru meningkat karena bertambahnya curah
jantung, banyak dari kapiler paru yang semula tertutup mejadi terbuka. Hal ini
meningkatkan luas permukaan darah yang tersedia untuk pertukaran. Pada emfisema, luas
permukaan berkurang karena banyak dinding alveolus yang lenyap.
2. Ketebalan sawar
Dengan bertambahnya ketebalan, kecepatan pemindahan gas berkurang karena gas
memerlukan waktu lebih lama untuk berdifusi menembus ketebalan yang lebih besar.
3. Koefisien difusi
Kecepatan pemindahan gas berbanding lurus dengan koefisien difusi, suatu konstanta
yang berkaitan dengan kelarutan gas tertentu dalam jaringan pari dan dengan berat
molekulnya. Koefisien difusi untuk CO2 adalah 20 kali O2 karena CO2 jauh lebih mudah
larut dalam jaringan tubuh dibandingan dengan O 2. Maka kecepatan difusi CO2
menembus membran pernapasan 20 kali lebih cepat dibandingkan dengan O2 pada
gradien tekanan parsial yang sama. Namun hal ini menjadikan kecepatan difusi O 2 dan
CO2 seimbang, karena gradien tekanan parsial O2 jauh lebih besar dibandingan dengan
CO2.1
Transpor gas
Oksigen yang diserap oleh darah di paru harus diangkut ke jaringan untuk digunakan oleh sel.
Sebaliknya, CO2 yang diproduksi di tingkat sel harus diangkut ke paru untuk dikeluarkan.
Oksigen terdapat dalam darah dalam dua bentuk:
1. Larut secara fisik
Sangat sedikit O2 yang larut secara fisik dalam cairan plasma karena O2 kurang larut
dalam cairan tubuh. Semakin tinggi Po2, semakin banyak O2 yang larut. Hanya 1,5%
O2 dalam darah yang larut, sisa 98,5%nya diangkut dalam ikatan dengan Hb. O2 yang
berikatan dengan Hb tidak ikut membentuk Po2 darah.
2. Larut secara kimiawi
Hemoglobin adalah suatu molekul protein yang mengandung besi (Fe 2+) dan terdapat
pada eritrosit. Ketika tidak berikatan dengan O2, Hb disebut sebagai hemoglobin
tereduksi / deoksihemoglobin (Hb). Ketika berikatan dengan O2 maka disebut
oksihemoglobin (HbO2). Hemoglobin terdiri dari heme dan globin. Pada seorang
dewasa normal, sebagian globin mengandung dua rantai polipeptida dan dua rantai
. Setiap globin mengandung 4 heme. Gugus heme berikatan dengan residu histidin
dari polipeptida melalui Fe2+. Jadi 1 gugus heme mengikat 1 Fe2+. Fe2+ berikatan
dengan koordinasi dengan 6 buah ligan (penyumbang elektron pada atom pusat) dan
satu tempat kosong Fe2+ diisi oleh molekul O2. Fe2+ dapat berikatan dengan O2 melalui
ikatan yang longgar dan revesibel dengan O2. Maka 1 hemoglobin dapat mengikat 4
O2. Reaksinya: Hb + O2 Hb(O2)4
Hemoglobin dianggap jenuh ketika semua Hb yang ada membawa oksigen secara
maksimal. Persen saturasi hemoglobin (%Hb) adalah suatu ukuran seberapa banyak Hb
yang ada berikatan dengan oksigen. Faktor terpenting yang menentukan % saturasi Hb adalah
Po2 darah, yang berkaitan dengan konsentrasi O 2 yang secara fisik larut dalam darah. Sesuai
dengan hukum aksi massa, ketika Po2 darah meningkat, seperti pada kapiler paru, reaksi
bergerak ke arah sisi kanan persamaan, meningkatkan pembentukan Hb(O2).
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Yesdelita N, Pendit BU, editor. Edisi ke
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. h.496, 502-7, 524-42.
2. Eroschenko VP. Atlas histologi. Edisi ke-9. Jakarta: EGC; 2003. h.231-46.
3. Djojodibroto D. Respirologi. Jakarta: EGC; 2009, h.5-20.
4. Gunawijaya FA, Kartawiguna E. Histologi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2007.
h.160-6.
5. Bloom, Fowcett. Buku ajar histologi. Edisi ke-12. Jakarta: EGC, 2002: 629-48.
6. Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran. Widjajakusumah MD, Irawati D,Siagian M,
Moeloek D, Pendit BU,editor. Edisi ke 20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2003. p.621-54.