Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Skleroderma merupakan penyakit kronik yang penyebabnya belum diketahui dimana

menyerang pembuluh darah kecil dan jaringan ikat (Abul, 2004) Skleroderma dibagi dalam dua
bentuk, bentuk pertama dinamakan skleroderma sirkumskripta atau dengan nama lain morphea
atau skleroderma lokalisata, dan skleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik. Pada
skleroderma sistemik terjadi penebalan dan indurasi kulit yang difus dan diikuti dengan fibrosis
serta terjadi obliterasi pembuluh darah dari organ dalam. Tidak seperti pada sklerosis sistemik,
gambaran klinis morphea tidak dijumpai sklerodaktili, Raynaud phenomenon dan keterlibatan
organ dalam. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan gambaran inflamasi yang
menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang menyeluruh pada
mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses fibrosis.
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras kulit
berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin
berhubungan dengan timbulnya scleroderma.
Walaupun insidennya jarang, studi epidemiologi memberi kesan bahwa 0,9-5,7% pasien
dengan morfea berkembang menjadi skleroderma sistemik . Morfea sendiri adalah suatu penyakit
yang jinak dan self-limited. Namun dapat menyebabkan morbiditas khususnya pada anak-anak di
masa pertumbuhan. Mulai dari kontraktur sendi, manifestasi neurologi dan oftalmologi, sampai
depresi dan ansietas dapat terjadi akibat penyakit ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah skleroderma berasal dari kata Yunani, skleros (keras atau berindurasi) dan derma
(kulit). Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan mengenai
pembuluh darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma ditandai oleh adanya fibrosis dan
obliterasi pembuluh darah kulit, paru, pencernaan, ginjal dan jantung.
2.2 Epidemiologi
Skleroderma adalah penyakit sporadis dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan
menyerang semua ras. Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio pada tahun
1973 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan skleroderma
dengan fenomena Raynaud pertamakali dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865.
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ
viseral. Pada tahun 1945 Goetz mengusulkan istilah progressive systemic sclerosis yang
menggambarkan lesi yang luas baik di kulit maupun di organ viseral.
Skleroderma lokal relatif jarang didapat. Wanita tiga kali lebih sering terserang dari pada
laki-laki. Penderita kulit putih lebih sering daripada kulit hitam. Penderita berumur antara 20-50
tahun. Pernah dilaporkan penderita anak berumur 15 bulan. Pada skleroderma linier, serangan
berlangsung pada umur yang lebih muda, dua dekade pertama kehidupan. Pada scleroderma
sistemik, wanita empat kali lebih banyak terserang daripada laki-laki. Penderita kulit hitam lebih

banyak dari pada penderita kulit putih. Sebagian besar penderita mendapat serangan antara umur
30-50 tahun .
2.3 Etiologi
Etiologi belum diketahui secara pasti diduga beberapa faktor dapat mempengaruhi
skleroderma antara lain:
a. Faktor Genetik
Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan hukum Mendelian.
Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan kekerapan yang berbeda. Sekitar 1,6% pasien
skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang menunjukkan pentingnya faktor genetik.
Resiko penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid
arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik
saat ini difokuskan pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan
regulasi imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang
lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah dilaporkan
pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE), endothelin 1, nitric oxide
synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor
kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha),
growth factors dan reseptornya (connective tissue growth factor [CTGF] and transforming
growth factor beta [TGF-beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and
SPARC).
b. Faktor Lingkungan
Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan pentingnya
faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama virus, paparan toksin

lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat mencetuskan skleroderma.
Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan antibodi terhadap human
cytomegalovirus (hCMV)

dan antitopoisomerase I autoantibodies yang dapat memicu

terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit. Hal ini terjadi melalui proses mimikri
molekuler antara hCMV dengan host. Penelitian lain menunjukkan implikasi infeksi hCMV
pada vaskulopati allograft pada transplantasi organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan
pembentukan neointima vaskuler, proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif. hCMV
dapat secara langsung menginduksi produksi CTGF pada fibroblast yang terinfeksi sehingga
hipotesis tentang peran hCMV terhadap kejadian skleroderma adalah rasional. Infeksi Human
parvovirus B19 juga diperkirakan berhubungan dengan kejadian Skleroderma. Beberapa
peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada pekerja yang terpapar
silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan dengan skleroderma adalah
polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).
Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian skleroderma adalah bleomycin, pentazocine,
cocaine dan penekan nafsu makan (terutama derivat fenfluramine) yang berhubungan dengan
kejadian hipertensi pulmonal.
2.4 Patogenesa
Patogenesis skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon imun seluler dan
humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas, perubahan fungsi sel endotel
dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi dini dari skleroderma berupa fenomena
Raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran klinis lain muncul. Terjadi proses yang
kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi, amplifikasi dan perbaikan jaringan.
Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap scleroderma, akan
menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi dan terjadinya autoimunitas.

Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel fibroblast teraktifasi dan berdifernsiasi
secara terus menerus, menghasilkan fibrogenesis yang patologis dan kerusakan jaringan yang
ireversibel.

Gambar 1. Skema pathogenesis kompleks Sklerosis Sistemik (Mayes, 2008).

2.4.1 Vaskulopati
Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting dalam
implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit ditandai dengan
perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya reversibel, terjadi akibat
perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan kurangnya produksi neuropeptida seperti
calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris dan peningkatan sensitifitas reseptor
alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler. Pada fenomena Raynaud primer gejala klinis
relatif lebih ringan dan tidak progresif seperti halnya Skleroderma yang mengakibatkan
perubahan morfologi dan fungsi sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan cedera endotel.
Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas endothelium-derived
factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide, prostacyclin) dan vasokonstriksi (endothelin1). Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah mikro sehingga diapedesis leukosit
transendotelial meningkat, aktifasi kaskade koagulasi dan fibrinolitik serta agregasi trombosit.
Proses ini menyebabkan terjadinya trombosis. Sel Endotel menunjukkan peningkatan ekspresi

molekul adhesi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) serta molekul adhesi permukaan
lainnya.
Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan bahkan pembuluh darah
besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot polos mengalami proliferasi,
membran basal menebal, reduplikasi serta terjadi perkembangan fibrosis adventitia. Oklusi
lumen vaskuler progresif akibat hipertrofi tunika intima dan media serta fibrosis adventitia,
ditambah dengan kerusakan persisten sel endotel dan apoptosis sehingga menjadi suatu lingkaran
setan. Angiogrom tangan dan ginjal pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan hilangnya
gambaran vaskuler.
Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan vasokonstriktor
(tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan vaskuler ini kemudian
diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat iskemia berhubungan dengan
terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut
melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya, proses revaskularisasi yang seharusnya
mempertahankan aliran darah pada jaringan yang iskemik tampaknya gagal pada Skleroderma.
Kegagalan vaskulogenesis terjadi dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang tinggi seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah progenitor sel
CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi jumlahnya menurun
secara bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian in vitro menunjukkan diferensiasinya menjadi sel
endotel matur terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif dan kegagalan perbaikan
pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.
2.4.2

Autoimunitas Seluler dan Humoral

Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan terakumulasi
di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang menginfiltrasi,

mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR serta menampakkan
restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai respon terhadap antigen
yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga meningkatkan reseptor kemokin dan
mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin yang berfungsi meningkatkan kemampuan
untuk mengikat endotel dan fibroblast.
Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang memfasilitasi
diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan respon Th2 terpolarisasi
dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat menginduksi TGF-beta
yang merupakan modulator regulasi imun dan akumulasi matriks. TGF-beta dapat menginduksi
produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena mempunyai aktifitas autokrin/parakrin untuk
mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain.
Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial menunjukkan
pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 serta
penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang sintesis kolagen
dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan memblok aktivasi
fibroblast yang dimediasi sitokin.
Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi ini
spesifisitasnya tinggi terhadap skleroderma dan menunjukkan hubungan yang kuat dengan
fenotif penyakit individual dan haplotipe HLA yang dibedakan secara genetik. Kadar
autoantibodi berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas
penyakit. Autoantibodi spesifik Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein
mitosis seperti topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang
antigen permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma
dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap fibroblast, sel

endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin
mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan.
Berbagai mekanisme potensial telah diajukan dengan memperhitungkan peran pembentukan
autoantibodi pada Skleroderma. Menurut salah satu teori, pada pasien sklerodema self-antigen
spesifik dapat membuat perubahan struktural melalui celah proteolitik,

peningkatan level

ekspresi atau perubahan lokalisasi subseluler sehingga sel tersebut dapat dikenali oleh sistem
imun. Sebagai contoh, sel Tc melepaskan protease granzim B yang merusak autoantigen,
menghasilkan fragmen baru dengan neo-epitop potensial yang merusak toleransi imun.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan fibrosis
pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen presenting
cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi fungsi sel T dan
sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas intrinsik dengan
peningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan menurunkan jumlah sel B
memori serta sel plasma.
2.4.3 Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis
Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang
membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan konsekuensi
dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan penggantian arsitektur
jaringan normal dengan jaringan ikat aseluler yang progresif yang menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas scleroderma.
Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas fungsional
dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh TGF-beta dan
sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan kolagen dan matriks
makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi reseptor permukaan
untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast. Respon fibroblast ini

memfasilitasi perbaikan cedera jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan
fibroblast akan berhenti dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi. Pada respon fibrosis
yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terus-menerus dan makin besar yang menghasilkan
perubahan matriks dan pembentukan jaringan parut. Aktivasi fibroblast yang salah ini serta
akumulasi matriks adalah perubahan patologis utama yang mendasari terjadinya fibrosis pada
scleroderma.
Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum tulang
yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang mengekspresikan CD14
dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth muscle actin-positive fibrocytes
pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta.
Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum tulang,
perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya diferensiasinya menjadi
matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel epitel
menjadi sel mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di paru dan
ginjal serta organ lain.
Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik proses
transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast bertahan di
dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis. Miofibroblast berkontribusi
terhadap pembentukan skar melalui kemampuannya dalam memproduksi kolagen dan TGF-beta,
memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks di sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang
rapat.
Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblast pasien
skleroderma. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler,

ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap
apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler yang
tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop umpan balik negative Smad-7
tampak pada Skleroderma. Protein koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi yang dimediasi
Smad dan merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang memodulasi
fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad, p300 dan protein
seluler lain mempengaruhi progresifitas proses fibrogenik scleroderma dengan cara memodulasi
transkripsi gen.
2.5 Klasifikasi dan gejala klinis
Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu :
1.

Skleroderma Lokal
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized scleroderma), adalah

suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang menyebabkan
penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya tanpa keterlibatan sistemik. Pada
awalnya morfe tampak sebagai plak atau bercak eritematosa yng terkadang tampak menyerupai
jarring (reticulated). Selanjutnya terbentuk plak hipopigmentasi dengan bagian sklerotik pada
bagian tengahnya yang dikelilingi warna kemerahan atau keunguan pada tepinya (fase
inflamatorik). Rasa nyeri dan/atau gatal dapat mendahului lesi kulit. Bagian yang sklerotik
menjadi berwarna putih mengkilat dengan warna hiperpigmentasi di sekitarnya (fase sklerotik).
Setelah berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, plak slerotik akan melunak dan menjadi atrofik
dengan warna hipo atau hiperpigmentasi (fase atrofik). Fase atrofik menyebabkan kulit tampak

berkerut seperti cigarette paper, cliff drop (dermal), atau deep indentions (subkutis atau lebih
dalam).
1) Morfea sirkumkripta
Morfea sirkumkripta berupa satu buah atau beberapa lesi berbentuk bulat atau lonjong
yang mengikuti fase sebagaimana disebutkan di atas. Pada jenis superficial, kelainan
hanya terbatas pada epidermis dan dermis, sedangkan pada jenis dalam, kelainan juga
mencapai jaringan subkutan, fasia, dan otot. Pasien dengan morfea jenis ini sebaiknya
diikuti, karena dapat berkembang menjadi morfea linear atau morfea generalisata.
Atrophoderma of Pasini and Pierini diduga merupakan residua morfea tipe plak. Kelainan
ini berupa lesi berwarna abu-abu kecoklatan, berbentuk lonjong, bulat, atau tidak
beraturan , dengan permukaan yang licin dan atrofik, berbatas tegas. Pada tepi lesi
atrophoderma terdapat clift drop sehingga tampak seperti lesi morfea yang mengalami
bumt-out
2) Morfea generalisata
Ditandai oleh adanya 4 buah lesi atau lebih yang terdapat pada minimal 2 dari 7 lokasi
anatomis yang berbeda. Terdapat tiga jenis morfea generalisata yaitu isomorfik, simetrik,
dan pansklerotik. Berbeda dengan scleroderma sistemik pada morfea generalisata tidak
itemukan akrosklerosis atau sklerodaktili. Lesi sering ditemukan pada batang tubuh dan
menyebar pada daerh akral namun tidak mengenai jari tangan dan kaki. Atrofi otot dapat
ditemukan namun tidak didapat keterlibatan organ dalam.
3) Morfea linear
Jenis ini sering ditemukan pada decade awal kehidupan. Morfea linear biasanya
mengenai daerah ekstremitas dan wajah, namun dapat pula ditemukan di daerah batang
tubuh. Lesi linear multipel tidak jarang ditemukan. Kelainan ini dapat mengenai dermis,
subkutis, otot, dan tulang sehingga menyebabkan deformitas yang bermakna. En coup de
sabre yang berartipotongan pedang, menunjukkan plak atrofikberbentuk pita linier pada

dahi yang meluas ke daerah scalp, alis, hidung, dan bibir. Sindrom parry-rhomberg
meliputi epilepsy, aksoftalmus, alopesia, dan progressive facial hemiatrophy, yaitu atrofi
unilateral progresif lambat, yang dapat mengenai kulit, jaringan lunak, otot dan/atau
tulang. Jika mengenai ekstremitas bawah, dapat ditemukan spina bifida, gangguan
perkembangan tungkai, herniatrofi, atau kontraktur fleksi.
4) Deep morphea
Deep morphea meliputi dermis dalam, jaringan subkutis, fasia, dan otot. Lesi berupa plak
berbatas difus yang simetris. Kulit teraba menebal dan melekat pada fasia serta otot di
bawahnya. Tanda groove dapat ditemukan pada tendon dan ligament.

2. Sklerosis sistemik
Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan
penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal yang luas terutama
paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan
gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang

menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses fibrosis.
Adanya gambaran skleroderma, membedakan sklerosis sistemik dari penyakit jaringan ikat lain
(Gabrielli et al., 2009).
Manifestasi klinis scleroderma sitemik bergantung pada perluasan dan stadium penyakit
pada diffuse cutneous scleroderma terjadi pengerasan kulit yang progresif. Selain itu ditemukan
fenomena Raynaud yang terjadi dalam satu tahun setelah kulit mulai mengeras. Kelainan
biasanya mengenai batang tubuh, wajah, lengan atas, dan tungkai atas. Selain itu dapat
ditemukan anti-Scl 70 atau antibody anti RNAPIII. Selanjutnya dapat terjadi fibrosis paru,
keterlibatan jantung dan gangguan ginjal. Pada limited cutaneous scleroderma terdapat
pengerasan kulit pada daerah ekstremitas yang terletak jauh dari sendi lutut dan siku termasuk
wajah. Pada tipe ini biasanya pasien sudah lama mengalami fenomena Raynaud. Antibody anticentromere dan hipertensi arteri pulmonal dapat ditemukan. Kalsinosis, fenomena Raynaud,
dismotilitas esophagus, sklerodaktili dan telengiaktasis (CERST) merupakan bagian dari
kelainan ini.
a. Vaskulopati
Fenomena Raynaud biasanya mengawali kelainan ini, yaitu pda >90% pasien.
Fenomena Raynaud adalah serangan vasospasme berulang pada arteriol atau arteri
kecil di jari tangan dan jari kaki yang bisanya disebabkan oleh stimulus suhu
dingin atau stimulus lain, misalnya stress emosional. Secara klinis fenomena
Raynaud berupa warna pucat atau iskemia yang muncul tiba-tiba dan terasa nyeri
pada satu atau beberapa jari tangan atau jari kaki yang diikuti hyperemia reaktif
setelah dihangatkan.
b. Kulit
Keterlibatan kulit termasuk tanda cardinal scleroderma dan biasanya muncul pertama
kali pada jari tangan dan jari kaki. Seiring berjalannya waktu, akan terjadi edema non

pitting pada jari tangan (puffy fingers), tangan dan ekstremitas. Selanjutnya akan terjadi
peningkatan indurasi dan penebalan kulit (sklerodactily). Sendi tangan lebih sering
terkena, dapat terjadi resorbsi dan pemendekan phalang serta penyempitan rongga antar
sendi. Bergantung pada lokasi penebalan kulit dapat terjadi keterbatasan gerak sendi
atau gerak pernafasan, pada wajah dapat ditemukan teleangeaktaksis, hidung yang
berbentuk seperti paruh dan berkurangnya arpertura mulut (microstomy). Selain itu
terdapat galur radial di sekitar mulut dan tidak ada ekspresi wajah. Pada kulit dapat pula
ditemukan warna hipo dan hiperpigmentasi (salt and papper), kerontokkan rambut serta
hilangnya kelenjar keringat (hipo/anhidrosis).
c. Jantung dan paru
Dapat ditemukan fibrosis paru dan jantung serta hipertensi arteri pulmonalis. Secara
klinis ditemukan sesak naafas, batuk non produktif, gangguan kapasitas difusi dan
sianosis. Skleroris jantung dapat menyebabkan gangguan konduksi yang menyebabkan
aritmia.
d. Saluran cerna
Keterlibatan esophagus ditemukan >90% dengan klinis disfagia dan refluks esofagitis.
Atonia usus halus dapat menyebabkan konstipasi, malabsobsi dan diare.
e. Ginjal
Muncul pada 5-10% pasien scleroderma yang dapat menyebabkan hipertensi yang
diikuti gagal ginjal akut.
Tabel 1. Perbedaan antara sklerosis sitemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa
Sklerosis Sistemik Terbatas versus Sklerosis Sistemik Difusa
Tampilan
Sklerosis Sistemik Terbatas
Sklerosis Sistemik Difus
Kulit
yang Terbatas pada jari, lengan Difus: jari-jari, ekstremitas,
terlibat

distal,
lambat

wajah,

progresifitas wajah, badan, progresifitas cepat

Fenomena

Mendahului keterlibatan kulit; Sejalan dengan keterlibatan kulit

Raynaud
Fibrosis

berhubungan dengan iskemia


Mungkin terjadi, moderat

pulmonal
Hipertensi arteri Sering,
pumonal
Krisis

lambat,

terisolasi
renal Sangat jarang

scleroderma
Kalsinosis kutis
Karakteristik

Sering, menonjol
Antisentromer

Sering, awal dan berat

mungkin Dapat

terjadi,

dengan fibrosis pulmonal


15 % terjadi; diawal
Dapat terjadi, ringan
Antitopoisomerase (Scl-70)

autoantibody

berhubungan

C
Gambar 8. (A,B) Keterlibatan kulit tersebar pada sklerosis sintemik, (C.) Amputatum (Denton and Black,
2006).

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Autoantibodi
Autoantibodi yang paling umum ditemukan adalah antinuclear antibody (ANA) yaitu
sebesar 46%-80% dari seluruh pasien, biasanya dengan susunan homogenous
immunofluorescence. Bila meluas, 36%-53% kasus memiliki anti-single stranded DNA
dan/atau antibody antihiston. Umumnya, pasien dengan morfea generalisata memiliki
antibodi positif dengan frekuensi yang lebih tinggi dibanding jenis morfea lainnya, dan
autoantibodi berhubungan dengan presentasi klinis yang lebih berat, jumlah lesi yang lebih
banyak, lesi yang lebih sklerotik, dan durasi klinis yang lebih lama. Pada 95% pasien
sklerosis sistemik didapatkan antibody antinuclear. ANA spesifik terhadap DNA
topoisomerase I (anti topoisomerase, anti Scl-70) didapatkan 20-30%, dan separuhnya
terdapat pada pasien sklerosis sistemik difusa. ANA spesifik yang lain adalah DNA Histon
kompleks, Anti PM-Scl dan anti RNA Polimerase I,II dan III.
b. Pemeriksaan Darah Lengkap
Eosinofilia darah ditemukan pada 6%-50% pasien morfea. Kadar eosinofilia berhubungan
dengan aktivitas penyakit. Penurunan kadar eosinofilia dapat bersamaaan dengan
penurunan aktivitas dari lesi kutaneus dan rasio sedimentasi eritrosit meningkat 25% .
c. Pemeriksaan Imunoglobulin

Imunoglobulin yang meningkat, khususnya kadar serum imunoglobulin G, dihubungkan


dengan penyakit yang aktif dan lebih luas dan kontraktur sendi. Faktor rheumatoid positif
ditemukan pada 26% pasien.
d. Pemeriksaan Fungsi Ginjal, Jantung
2. Pemeriksaan Radiologis
3. Uji fungsi paru
Fibrosis paru dapat menyebabkan penurunan kapasitas difusi vital (penyakit paru restriktif)
4. Pemeriksaan histopatologi

2.7 Diagnosa
Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan dikonfimasi dengan
biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskripsikan sebagai plak yang terlokalisir, berindurasi dan
hairless atau plak ungu. Pada pemeriksaan fisik, kulit pasien terasa tight, hard, atau
grooved. Morfea dapat muncul sebagai plak yang soliter, linier atau generalisata. Lesi biasanya
berdistribusi pada batang tubuh, namun juga bisa pada ekstremitas, wajah, atau kepala. Walau
beberapa pasien mengeluh gatal, namun plak itu sendiri asimptomatik.
Diagnosis dapat dilihat dari perkembangan plak berinduasi dan band di kulit, dengan atau
tanpa hemiatropi karena tidak mungkin ada di kondisi lain. Jika terdapat batas dengan lilaccoloured, diagnosis makin mudah. Lesi reticulat ungu dengan minimal indurasi dapat mirip
dengan poliartritis nodosa kutaneus. Lesi dapat dimulai dengan vascular blush, dan dapat
dianggap macular vascular naevus. Pada fase akut, harus dibedakan dari scleoderma of Buschke,
tapi pada keadaan ini onsetnya lebih akut, dan lesi dapat diikuti dengan episode infeksius. Lesi
atrophic pigmented mirip dengan lesi dari atrophy of Pierini and Pasini, muncul pada 47%

pasien dalam satu seri. Plak atophic morphoeic dapat disebabkan oleh injeksi vitamin K
intramuscular atau injeksi kortikosteroid subkutaneus.
Pada anak-anak, klinis yang biasanya terlihat adalah kontraktur ekstremitas yang asimetris,
yang berhubungan dengan penebalan fasia dan kulit di dasarnya, dan masalah vaskuler distal
yang dieksaserbasi oleh pembedahan ortopedi, termasuk angioma dan malformasi atriovena. Hal
ini menunjukkan bahwa distibusi lesi mewakili sklerotom, atau area tubuh yang disuplai oleh
nervus sensorik spinal, dan bahwa keterlibatan kulit dan otot muncul pada dermatom dan miotom
yang relevan.
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan biopsi kulit. Pada biopsi kulit, di stadium awal
peradangan, terlihat degenerasi fibril kolagen dan edema yang ditemukan di dermis. Infiltrat
perivaskuler atau difus predominan terdiri dari limfosit walau dapat juga terdapat sel plasma dan
makrofag. Pada stadium sklerotik, dermis menebal dengan kolagen yang padat dan beberapa
fibroblas dengan infiltrat peradangan pada dermis dan subcutis junction. Saat penyakit
berkembang, fibril kolagen dermis ini bercampur dengan pola homogen dan eosinofilik.
Diagnosis Skleroderma ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul
kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan
gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun.
2.8 Diagnosa Banding
a. Diagnosis banding morfea
Pada gambaran klinis skleroderma lokalisata harus dibedakan dengan :
1. Lichen Sclerosus et atrophicus
Tampak plak berwarna putih gading, berbatas jelas, permukaan lesi bisa tampak meninggi
atau sama dengan kulit normal. Pada keadaan lanjut lesi menjadi cekung. Pada pemeriksaan

histopatologi

ditemukan

hiperkeratosis,

atrofi

epidermis,

follicular

plugging

dan

homogenisasi dan kolagen dermis.


2. Lupus eritematosus discoid
Pada gambaran klinis menunjukkan plak eritematous terutama pada wajah dan kulit kepala,
berbatas tegas, berindurasi, skuama yang melekat, berbentuk bulat oval. Pemeriksaan
histopatologi menunjukkan hiperkeratosis ringan, follicular plugging, kerusakan lapisan sel
basal dengan vakuolisasi dan ukuran sel basal yang tidak teratur.
3. Granuloma anulare
Gambaran klinisnya menunjukkan plak berbentuk semisirkuler atau anular berwarna
kecoklatan dengan bagian tengah mengalami regresi. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan
radang kronik dan infiltrasi histiosit dalam dermis bagian superfisial dan tengah dengan
necrobiosis of collagen yang dikelilingi oleh suatu dinding dari palisade histiosit dan
multinucleated giant cells.
b.Diagnosa Banding Skleroderma sistemik
a. Morbus Hansen
Pada Morbus Hansen didapatkan kelainan kulit hipopigmentasi atau eritematus dengan
adanya gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut dapat timbul gejala seperti Fasies
Leonina, penebalan cuping hidung, madarosis dan Gloves and stocking anastesia. Selain itu
juga terdapat kerusakan syaraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan autonomik. Sehingga
dapat muncul hipoestesia, kelemahan otot sampai terjadi amputasi dan lesi yang terserang
tampak lebih kering. Gejala lain adalah pembesaran syaraf tepi terutama dekat dengan
permukaan kulit. Bila terdapat reaksi kusta tipe II dapat diikuti kelainan organ lain.
b. Vitiligo

Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan makula putih yang
meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung melanosit. Makula dapat
hipo atau hiperpigmentasi dengan diameter beberapa millimeter atau sentimeter batas tegas
tanpa perubahan epidermis yang lain. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Daerah
yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama pada jari, periorifisial sekitar
mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Pada area
yang terkena trauma dapat timbul vitiligo.
c. Raynaud disease
Tabel 2. Perbedaan Fenomena Raunaud Primer dan Sklerosis Sistemik
N

Perbedaan

Fenomena Raynaud

Sklerosis Sitemik

o
1.
2.
3.

Perempuan: Laki-laki
Umur mulai timbul
Frekuensi
serangan

Primer
20:1
Pubertas
>10x

4:1
>24 thn
5x

4.
5.
6.
7.
8
9

perhari
Faktor Pencetus
Proliferasi intima
Antibodyantinuklear
Antibodi antrisentromer
Antibodi anti Acl-70
Aktivasi trombosit in

Dingin, emosi
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Dingin
Positif
90-95%
50-60%
20-30%
>75%

vivo
1.10 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Umum (KIE)
Memberitahu pasien bahwa pada morfea adalah penyakit yang tidak berbahaya pada
kebanyakan kasus. Perjalanan penyakitnya dapat progresif lambat; namun biasanya
terjadi remisi spontan.

Menjelaskan pada pasien bahwa lesi morfea pada persendian yang membatasi range of
motion (ROM) pasien dapat dipulihkan dengan rehabilitasi.
Memberitahu pasien bahwa perhatian khusus diberikan pada lesi morfea pada
ekstremitas bawah karena pada pasien pediatrik dapat menyebabkan diskrepansi
panjang kaki. Keterlibatan fasial dan konstriksi ekstremitas yang meluas juga
membutuhkan follow-up yang lebih.
Penderita harus dilindungi terhadap kedinginan, bila terdapat fenomena Raynaud.
b. Penatalaksanaan Khusus
Secara umum belum ada pengobatan yang memuaskan untuk scleroderma, baik bentuk
lokal maupun sistemik.
1. Penatalaksanaan Skleroderma Lokalisata/Morphea
Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi inaktif secara spontan dan
pada kasus yang lebih berat dapat menyebabkan fibrosis/sklerosis ireversibel dari kulit dan
jaringan subkutan. Pengobatan ditujukan pada komponen peradangan, pelepasan sitokin, dan
aktivasi dan deposit kolagen. Banyak terapi yang telah digunakan pada pengobatan morfea
dengan keberhasilan yang bervariasi
Pada bentuk lokal dapat dilakukan operasi bedah plastik atau injeksi triamsinolon
acetonid intralesi, dengan dosis 1 mg/lokasi suntikan, maksimal 10 lokasi suntik. Pengobatan
topikal dengan salep kortikosteroid (triamsinolon, betametason dll) dapat mencegah
meluasnya lesi. Perlu emolien dan sunscreen.
Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Beberapa studi telah menunjukkan
perkembangan pada mayoritas pasien morfea menggunakan psoralen dan sinar ultraviolet A,
broad band ultraviolet A (UVA), atau fototerapi UVAI.
Pendekatan praktis: untuk cakupan yang terbatas dengan satu atau sedikit lesi morfea,
dapat menggunakan pengobatan topikal seperti calcipotriene, tacrolimus, retinoids, atau tidak
menggunakan pengobatan sama sekali. Di sisi lain, lesi en coup de sabre dapat menyebabkan

kecacatan yang nyata. Pendekatan pada lesi wajah menggunakan hydroxychloroquine dan
mungkin methotrexate dalam kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg) dari
kortikosteroid sistemik. Pada cakupan yang lebih luas, dapat digunakn fototerapi. Jika
pendekatan tersebut tidak berhasil, atau jika terdapat keterlibatan subkutaneus yang banyak,
pengobatan yang bermanfaat adalah methotrexate. D-penicillamine, cyclosporine, dan agen
immunosuppressive lainnya juga telah digunakan .
Pada kasus pediatrik dengan pertumbuhan yang terganggu dari ekstremitas yang terkena,
intervensi bedah, dan stapling dari lempeng epifisis dari sisi yang normal dapat efektif. Hal
ini akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat, namun berkelanjutan, dari ekstremitas
yang terkena dan dapat menyebabkan tingkat perbedaan ekstremitas yang lebih sedikit.
2. Penatalaksanaan Skleroderma Sistemik
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat. Derajat penyakit
merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan
perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat
tergantung manifestasi organ spesifik.
Pada bentuk yang sistemik adapat digunakan kortikosteroid secara oral : Prednison dosis
awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahan-lahan hingga dosis maintenance 2,5 5 mg/hr.
Bisa diberikan juga vitamin E 200 IU per hari selama 3-6 bulan. Juga bisa digunakan
methyldopa 125-500 mg/hari, dinaikkan secara bertahap dipertahankan 1-3 bulan sampai ada
kemajuan klinis.
Strategi penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan pesat beberapa tahun
terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah ini.
2.10 Komplikasi
Atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering ditemukan pada
skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda), dan dapat menyebabkan gangguan
mobilitas. Kontraktur sering terlihat pada skleroderma linier meliputi ekstremitas dan garis sendi

berlawanan. Anak-anak sering terkena skleroderma linier dibanding dewasa. Pada kasus yang
berat dan jarang, morfea pansklerotik membutuhkan amputasi pada ekstremitas yang terlibat
karena pertumbuhan yang terganggu. Pasien dengan keterlibatan kraniofasial linier, seperti en
coup de sabre dan hemiatropi fasial, dapat memiliki abnormalitas neurologik, oftalmologik, dan
oral. Kasus berat morfea dikarakterisasi dengan hiper atau hipopigmentasi, kontraktur, dan atropi
jaringan yang mendasari dapat menjadi hancur (Ricard et al., 2006). Komplikasi Skleroderma
sistemik terjadi akibat PAH (pulmonary arterial hypertension), RP (Raynauds phenomenon) dan
SRC (scleroderma renal crisis).
2.11 Prognosis
Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak melibatkan sistemik,
walaupun kadang tumpang tindih dengan penyakit jaringan penghubung lainnya yang pernah
dilaporkan. Kebanyakan kasus adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata untuk umur
rata-rata 3-5 tahun. Beberapa pasien dapat memiliki reaktivasi dari lesi inaktif secara nyata.
Dalam 13% pasien dengan skleroderma linier, satu terlihat berreaktivasi setelah beberapa tahun
remisi. En coup de sabre dapat tidak terdeteksi selama beberapa dekade. Hal ini mungkin karena
morfea menjadi proses kronik dengan kadar rendah dari aktivitas selama beberapa tahun. Sedikit
atropi dengan atau tanpa hiperpigmentasi dapat menjadi satu-satunya gejala penyakit yang
persisten.
Angka harapan hidup lima tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan
hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ
visceral. Pada sklerosis sitemik difus kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung
atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi
pulmonal dan malbsorbsi. Pasien sklerosis sitemik mempunyai resiko yang tinggi untuk
mendapatkan keganasan, terutam karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin Hal ini

turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis sitemik. Satu hal yang unik adalah bahwa
resiko timbulnya adenokarsinoma esophagus sangat rendah walaupun terdapat metaplasi mukosa
esophagus distal (metaplasia Barret). Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor
yang memperburuk prognosis sklerosis sitemik adalah :
Usia lanjut( > 64 tahun)
Penurunan fungsi ginjal (BUN<16 mg/dl)
Anemia (Hb<11 gr/dl)
Penurunan kapasitas difusi CO2 pada paru (<50% prediksi)
Penurunan kadar protein serum total (6 mg/dl)
Penurunan cadangan paru (Kapasitas vital paksa <80% pada Hb >14 gr/dl atau kapasitas vital
paksa < 65 % pada Hb<14 gr/dl) (Setiyohadi, 2006).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan mengenai pembuluh
darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma dibagi dalam dua bentuk, bentuk pertama
dinamakan skleroderma sirkumskripta atau dengan nama lain morphea atau scleroderma
lokalisata, dan scleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik. Karakteristik kliniknya
adalaah adanya indurasi dan penebalan kulit. Deposit jaringan ikat dan obliterasi pembuluh darah
ditemukan dikulit maupun di alat-alat dalam tertentu.
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat. Derajat penyakit
merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan perlunya
terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat tergantung
manifestasi organ spesifik.
Kebanyakan kasus pada morfea adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata untuk
umur rata-rata 3-5 tahun. Sedangkan pada sklerosis sistemik harapan hidup akan makin pendek
dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ visceral.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bernard M. Karnath, MD. Clinical Features of Systemic Sclerosis
2. Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T, 2009, Scleroderma. The New England Journal of
Medicine, Massachusetts Medical Society.
3. Setiyohadi B., 2006, Sklerosis Sistemik, Buku ajar ilmu penyakit dalam, 1239-1244,
Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, Jakarta
4.

Anda mungkin juga menyukai