Anda di halaman 1dari 34

Tinjauan Pustaka

GANGGUAN GERAK PADA ANAK

Oleh
Ni Putu Witari
Pembimbing
Dr. I.G.A. Endah Ardjana SpKJ (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA


RSUP SANGLAH DENPASAR
AGUSTUS 2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya lah,
tinjauan pustaka yang berjudul Gangguan Gerak pada Anak ini dapat diselesaikan.
Adapun tinjauan pustaka ini merupakan salah satu tugas yang harus diselesaikan
dalam rangka mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Peyakit
Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK
UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada :
1.

Dr. Nyoman Ratep Sp.KJ (K), sebagai Kepala Bagian Lab/SMF Ilmu
Kedokteran Jiwa FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

2.

Dr. Nyoman Hanati Sp.KJ (K), sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Kedokteran Jiwa FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

3.

Dr. I.G.A. Endah Ardjana Sp.KJ (K), sebagai pembimbing dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini.

4.

Rekan-rekan residen di Lab/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNUD/RSUP


Sanglah Denpasar.
Akhir kata saya menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih kurang

sempurna, sehingga masih memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para
senior. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Penyusun

Ni Putu Witari

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................

BAB II GANGGUAN GERAK PADA ANAK.................................................

2.1 Sistem Ekstrapiramidal.................................................................. 3


2.1.1 Lintasan-lintasan lingkaran...................................................

2.1.2 Lintasan subkortikospinal.....................................................

2.2 Gerak Involunter pada Anak.......................................................... 11


2.2.1 Tik......................................................................................... 11
2.2.2 Distonia................................................................................. 19
2.2.3 Balismus................................................................................ 22
2.2.4 Korea..................................................................................... 24
2.2.5 Atetosis.................................................................................. 26
2.2.6 Tremor................................................................................... 27
Bab III RINGKASAN....................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 29

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam susunan saraf pusat ada dua sistem yang berperan dalam fungsi motorik
yaitu sistem piramidal dan ekstrapiramidal. Gerakan diprakarsai oleh sistem
piramidal yang menghasikan gerakan fasik yaitu gerakan yang halus, jitu dan
tangkas. Sedangkan sistem ekstrapiramidal menghasilkan gerakan tonik yang
bersifat masal. Agar gerakan tangkas dapat berlangsung, otot-otot perlu memiliki
tonus yang memadai (bukan hipo/hipertonus). Tonus yang memadai terjadi bila
penghantaran impuls umpan balik (feedback) dan impuls-impuls pra kontrol
berlangsung

dengan

sempurna.

Hal

itu

dapat

terwujud

bila

susunan

ekstrapiramidal berfungsi dengan baik.. Sistem piramidal dalam melaksanakan


fungsinya selalu bekerjasama dengan sistem ekstrapiramidal (Ngoerah, 1991;
Mardjono, 1981).
Gangguan sistem piramidal memberikan gejala kelemahan. Sistem piramidal
adalah serabut saraf yang menghantarkan impuls motorik dari korteks motorik ke
nuklei motorik di batang otak dan kornu anterior medula spinalis. Sistem ini lewat
di

piramis

medula

oblongata.

Gangguan

sistem

ekstrapiramidal

dapat

bermanifestasi sebagai gejala hipokinetik atau hiperkinetik yaitu berbagai gerak


involunter. Sistem ekstrapiramidal terdiri dari korteks serebri bagian premotorik
dimana terdapat area 4S, 6 dan 8, ganglia basalis yaitu nukeus kaudatus, putamen
dan globus palidus, inti-inti di diensefalon seperti substansia nigra, nukleus ruber,
korpus subtalamikus, nukleus ventrolateralis dan center median talamus,

serebelum beserta inti-intinya, inti-inti di batang otak seperti kolikulus superior,


nukleus vestibularis, oliva inferior, formasio retikularis, lintasan-lintasan
lingkaran serta lintasan-lintasan subkortikospinal (Noback & Demarest, 1981;
Ngoerah, 1991).
Gerak involunter sebagai gejala gangguan sistem ekstrapiramidal merupakan
gejala kelepasan (release phenomenon) yaitu fungsi bagian-bagian yang luput dari
kerusakan yang fungsinya menjadi abnormal karena terlepas dari pengaruh
bagian-bagian yang mengalami kerusakan.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang gerak involunter pada anak. Gerak
involunter ialah gerak yang tidak bertujuan, bangkit secara spontan dan tidak
dapat dikendalikan oleh kemauan.

BAB II
GANGGUAN GERAK PADA ANAK

Gangguan gerak bukan merupakan diagnosis tapi dapat merupakan tanda dari
kelainan neurologi atau non neurologi. Diagnosis gangguan gerak ditegakkan
berdasarkan manifestasi klinis.
Sistem ekstrapiramidal memberikan landasan

tonus yang memadai agar

gerakan berlangsung jitu dan tangkas melalui penghantaran impuls umpan balik
(feedback) dan impuls pra kontrol yang sempurna. Sistem piramidal dalam
melaksanakan fungsinya selalu bekerjasama dengan sistem ekstrapiramidal.
Dalam bab

ini akan diuraikan tentang sistem ekstrapiramidal yang berperan

dalam timbulnya gangguan gerak involunter dan berbagai gerak involunter yang
sering dijumpai pada anak.

2.1 Sistem Ekstrapiramidal


Sistem ekstrapiramidal adalah suatu sistem fungsional yang terdiri dari inti-inti,
lintasan-lintasan lingkaran dan lintasan subkortikospinal. Sistem ekstrapiramidal
tediri atas bangunan-bangunan yang terletak jauh satu dengan yang lain. Adapun
bagian-bagian susunan saraf pusat yang tercakup dalam susunan ekstrapiramidal
adalah korteks serebri bagian premotorik dimana terdapat area 4S, 6 dan 8,
ganglia basalis yaitu nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus, inti-inti di
diensefalon seperti substansia nigra, nukleus ruber, korpus subtalamikus, nukleus
ventrolateralis dan center median talamus, serebelum beserta inti-intinya, inti-

inti di batang otak seperti kolikulus superior, nukleus vestibularis, oliva inferior,
formasio

retikularis,

lintasan-lintasan

lingkaran

serta

lintasan-lintasan

subkortikospinal (Noback & Demarest, 1981; Baehr & Frotscher, 2005).


Gerakan tangkas dihasilkan oleh kerja sama yang terintegrasi antara sistem
piramidal dan ekstrapiramidal. Fungsi sistem ekstrapiramidal adalah mengadakan
persiapan bagi setiap gerakan volunter. Persiapan ini berupa pembagian tonus
kepada otot-otot skeletal baik yang akan melakukan gerakan maupun yang harus
memelihara sikap yang sesuai dengan gerakan yang akan diwujudkan. Impuls
yang dihasilkan oleh sistem ektrapiramidal diserahterimakan kepada korteks
piramidal dan ekstrapiramidal, merupakan perintah untuk menggalakkan motor
neuron alfa dan gama. Motor neuron alfa menerima impuls piramidalis dan
digariskan untuk membangkitkan kontraksi otot skeletal ekstrafusal. Motor
neuron gama menerima impuls yang berasal dari korteks ekstrapiramidalis.
Pengiriman impuls tersebut dilakukan oleh jaras multisinaptik yang dikenal
sebagai traktus frontopontin dan temporopontin. Melalui inti-inti di pons impuls
ekstrapiramidalis itu dikirim ke motor neuron gama melalui serabut-serabut
subkortikospinalis. Setibanya impuls ekstrapiramidalis di motor neuron gama,
terjadilah eksitasi/ inhibisi motor neuron gama yang menimbulkan kontraksi otototot intrafusal yang menentukan tonus suatu otot skeletal (Asbury, 1992; Noback
& Demarest, 1981).
Impuls ekstrapiramidalis yang tidak sempurna merupakan impuls pencetus
gerakan involunter. Fenomen dimana suatu impuls abnormal dihasilkan oleh
karena suatu inti yang merupakan salah satu mata rantai sistem perakitan, tidak

bekerja dengan baik, dikenal sebagai fenomena release. Dalam konteks


release itu dicerminkan suatu produk yang cacat karena hilangnya kelola timbalbalik dalam sistema perakitan. Semua gerakan involuntar dapat dianggap sebagai
hasil gangguan di salah satu inti susunan ekstrapiramidalis (Mardjono & Sidharta,
1981; Sukardi, 1984).

2.1.1 Lintasan-lintasan lingkaran


Lintasan lingkaran pertama. Lintasan lingkaran ini adalah lintasan lingkaran
yang melalui serebelum (Ngoerah, 1991; Noback & Demarest 1981):
1.

Lintasan lingkaran ini mulai di area 4 dan 6 traktus frontopontin Arnold


nukleus pontis serabut-serabut pontoserebelar korteks serebeli
nukleus dentatus traktur dentatorubrotalamikus VL korteks serebri
area 4 dan 6

2.

Lintasan lingkaran ini mulai di area 4 S dan 8 zona inserta pars


parvoselularis nukleus ruber traktus sentralis tegmenti oliva inferior
serabut-serabut olivoserebelaris korteks serebeli nukleus dentatus
traktus dentatorubrotalamikus VL korteks serebri area 4 dan 6.
Serebelum

menerima

impuls-impuls

proprioseptif

melalui

traktus

spinoserebelaris ventral dan dorsal. Impuls proprioseptif ini diintegrasikan dengan


impuls ekstrapiramidal yang sampai ke serebelum melalui nuklei pontis dan oliva
inferior. Impuls yang telah diolah oleh serebelum kemudian dipancarkan melalui
traktus dentatorubrotalamikus ke nukleus ventrolateralis talami untuk selanjutnya
ke korteks serebri area 4 dan 6. Impuls ini melaksanakan pra kontrol terhadap

gerakan-gerakan yang kemudian akan terjadi. Bila ada sebuah impuls dicetuskan
pada korteks serebri yang ditujukan pada otot skeletal, maka pada saat itu juga
korteks serebri memberitahu tentang hal itu kepada serebelum dan ia dapat
mengadakan pra-kontrol terhadap gerakan yang akan terjadi. Begitu gerakan otot
menjadi kenyataan, maka segera impuls-impuls proprioseptif dihantarkan ke
korteks serebelum melalui jaras spinoserebelaris. Melalui brakhium konjungtivum
impuls yang dicetuskan oleh inti dentatus atas rangsangan impuls dari korteks
serebelum, disampaikan kepada nukleus ventrolateralis talami. Atas kedatangan
impuls itu, nukleus ventrolateralis talami memancarkan impuls ke korteks
piramidalis dan ekstrapiramidalis. Impuls tersebutlah yang menjalankan peranan
prakontrol terhadap gerakan yang akan terjadi. Impuls tersebut membawa warta
untuk diadakannya gerakan-gerakan sekutu yang sesuai dengan gerakan yang
kemudian akan terjadi.
Bila mekanisme feed back ini terganggu maka akan dapat muncul gangguan
gerakan yang berupa ataksia, dismetri dan tremor sewaktu bergerak (intension
tremor).

Gambar 1 : Lintasan lingkaran pertama (Ngoerah, 1991)

10

Gambar 2 : Lintasan lingkaran pertama (Mardjono M, Sidharta,1981)

Lintasan lingkaran kedua. Lintasan lingkaran kedua adalah suatu lintasan


lingkaran yang melalui substansia nigra. Lintasan ini mulai di korteks serebri area
6 substansia nigra striatum dan globus palidus nukleus ventrolateralis
talami area 4 dan 6. Impuls ekstrapiramidal ini mempunyai pengaruh inhibisi
terhadap korteks motorik piramidal dan ekstrapiramidal itu sendiri (Ngoerah,
1991; Noback & Demarest, 1981).
Bila ada kerusakan pada substansia nigra, seperti misalnya pada Penyakit
Parkinson, maka pengaruh tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik. Serabutserabut

nigrostriatal

dan

nigropalidal

menggunakan

dopamin

sebagai

neurotransmitter. Kerusakan pada substansia nigra akan menimbulkan suatu


striatal dopamine deficiency syndrome, suatu keadaan yang khas pada Penyakit
Parkinson, gejala yang tampak adalah tremor sewaktu istirahat (resting tremor).

11

Gambar 3 : Lintasan lingkaran kedua (Mardjono & Sidharta, 1981)

Lintasan lingkaran ketiga. Lintasan lingkaran ini adalah lintasan lingkaran yang
melalui nukleus kaudatus (Ngoerah, 1991; Mardjono & Sidharta, 1981).
Lingkaran ini mulai di korteks serebri area 4s dan area 8 nukleus kaudatus dan
putamen globus palidus ansa lentikularis nukleus ventrolateralis talami
korteks serebri area 4 dan 6

2.1.2 Lintasan subkortikospinal


Lintasan ini meliputi traktus rubrospinal, tektospinal, olivospinal, vestibulospinal
dan retikulospinal. Traktus sentrospinalis (atau lebih tepat traktus gigantospinalis)
membawa impuls piramidalis agar sampai di motor neuron, di kornu anterior.
Impuls ekstrapiramidalis dengan melalui traktus retikulospinalis akan sampai pula

12

pada tempat yang sama, yang dengan tepat oleh Sherrington dinamai the final
common pathway (Ngoerah,1991; Sukardi,1984).
Tugas untuk meneruskan impuls yang sampai pada formasio retikularis ke
motor neuron dibebankan kepada pusat eksitasi di bagian dorsolateral dari batang
otak (mesensefalon, pons, sampai pada pertengahan medula oblongata) dan
kepada pusat inhibisi yang terdapat di bagian medioventral dari medula oblongata.
Pusat eksitasi ini digalakkan oleh impuls dari ARAS, dari nukleus vestibularis dan
dari korteks serebri dengan melalui ganglia basalis. Pusat eksitasi dan pusat
inhibisi

keduanya

memiliki

jaras

retikulospinal

multisinap

yang

menghubungkannya dengan kornu anterior. Jaras-jaras ini berakhir pada sel-sel


interneuron di kornu anterior. Jaras-jaras retikulospinal yang berasal dari pusat
eksitasi ditugaskan untuk menggalakkan alfa dan gama motor neuron di kornu
anterior. Sebaliknya tugas dari jaras retikulospinal yang berasal dari pusat inhibisi
adalah untuk menghambat alfa dan gama motor neuron di kornu anterior.
Walaupun tugasnya berbeda, namun namanya sama yaitu traktus retikulospinal.
Traktus retikulospinal yang berasal dari pusat eksitasi jalannya tidak menyilang,
terletak di funikulus anterior medula spinalis dan berakhir di kornu anterior
ipsilateral. Traktus retikulospinal yang berasal dari pusat inhibisi jalannya
sebagian menyilang dan sebagaian lagi tidak menyilang. Traktus ini terletak di
funikulus lateral medula spinalis dan berakhir di kornu anterior kontralateral.
Keadaan kedua pusat tersebut menentukan tonus otot.
Interneuron yang menerima impuls eksitasi dan inhibisi itu akan
menggalakkan atau menekan aktivitas motor neuron sesuai dengan kegiatan pusat

13

inhibisi dan eksitasi. Mekanisme yang mendasari pengaruh interneuron terhadap


motor neuron adalah peninggian atau penurunan ambang rangsang pelepasan
muatan listrik motoneuron yang bersangkutan.
Di kornu anterior terdapat tiga macam motor neuron yaitu alfa motor neuron
besar yang mensarafi otot ekstafusal tipe II, alfa motor neuron kecil yang
mensarafi otot ekstrafusal tipe I, dan gama motor neuron yang mensarafi muscle
spindle yang terdiri dari bagian nuclear bag dan nuclear chain. Dengan melalui
ketiga macam motor

neuron tersebut,

impuls

motorik piramidal dan

ekstrapiramidal mengemudikan keseimbangan tonus otot yang diperlukan bagi


setiap gerakan tangkas.
Stimulas pada daerah inhibisi akan menurunkan tonus otot, sebaliknya bila
terjadi destruksi daerah inhibisi atau eferennya akan menyebabkan peningkatan
tonus otot. Dan bila terdapat destruksi daerah eksitasi (fasilitory) atau afferennya
akan menyebabkan penurunan tonus. Atau jika jaras yang menghubungkan
korteks ekstrapiramidal dengan pusat inhibisi terputus, maka pusat eksitasi lebih
aktif, dengan demikian mengakibatkan peninggian tonus.

Gambar 4: Gamma loop (Chusid, Mc. Donald, 1964)

14

2.2 Gerak Involunter pada Anak


Berbagai gerak involunter sering menimbulkan masalah dalam diagnosis dan
pengobatan. Beberapa jenis gerak involunter dapat timbul bersamaan sebagai
suatu sindroma. Keadaan neurologi tertentu dan gejala lain yang menyertai dapat
memberi petunjuk dalam menentukan diagnosis. Deskripsi yang akurat dari
gangguan gerak yang terjadi

sangat penting meliputi onset mulainya, jenis

gerakan, perjalanan gangguan, fokalitas, waktu terjadinya, faktor pencetus,


kemampuan mengontrol atau menekan gangguan, progresi, efeknya terhadap
aktifitas, kesulitan yang menyertai perlu ditanyakan untuk menentukan
kemungkinan penyebab dan penanganannya. Jenis-jenis gerak involunter yang
sering dijumpai dalam praktek adalah tremor, hemibalismus, korea, atetosis,
distonia, mioklonus dan tik.

2.2.1

Tik

Tik adalah gerak motorik atau vokalisasi involunter yang tiba-tiba, berulang,
cepat, tidak berirama dan stereotipik (Lumbantobing, 2005 ; Kaplan & Sadock,
1997). Lebih dari 90% tik bermula di daerah wajah, dapat meluas ke kaudal yaitu
daerah kepala, leher dan bahu serta lengan. Dari tik sederhana dapat menjadi tik
kompleks. Durasinya mulai dari empat minggu sampai lebih dari satu tahun
(Woerkom & Cath, 2008 ; Rothenberger & Banachewski, 2005).
Ciri-ciri tik secara umum ialah bergelombang (menguat dan melemah),
dieksaserbasi oleh stress, rasa cemas dan kelelahan. Tik berkurang bila
beristirahat, relaksasi atau berkonsentrasi. Biasanya tidak didapatkan saat tidur,

15

namun ada didapatkan dengan pemeriksaan polisonogram. (Lumantobing, 2005 ;


Rothenberger & Banachewski, 2005).
Menurut Woerkom dan Cath (2008), tik dapat dieksaserbasi oleh stimulasi
lingkungan, kejadian yang menggairahkan atau mengasyikkan seperti suara yang
keras, film, liburan, pindah sekolah ataupun pindah kota. Serangan tik berat
umumnya terjadi jika pasien menahan tiknya cukup lama.
Ciri penting pada gangguan tik adalah munculnya tik dapat ditekan
sementara. Tik merupakan gangguan gerak involunter yang relatif paling bisa
ditekan, tidak seperti gangguan gerak lainnya. Bahkan dikatakan tik dapat ditekan
untuk waktu yang cukup lama, misalkan jika kondisi sosial tidak memungkinkan
seperti di tempat kerja, sekolah ataupun saat pemeriksaan dokter. Saat sendiri
pasien kemudian melepaskan tiknya. Penekanan tik sering

menyebabkan

meningkatnya dorongan untuk melakukan dan dorongan itu secara lambat


menguat dan kemudian muncullah tik dengan intensitas lebih kuat yang ada
kalanya tidak dapat ditahan oleh penderita. Hal tersebut dijumpai pada pasien usia
lebih dari sepuluh tahun (Rothenberger & Banachewski, 2005; Woerkom & Cath,
2008).
Pasien sering merasa aktif terlibat dalam munculnya tik. Meskipun pasien
tidak mampu menekan secara permanen tiknya, mereka sering merasa terlibat
secara sadar dan melakukan tik karena dorongan besar dari dalam diri mereka
untuk melakukannya. Persepsi subyektif seperti ini membedakannya dari
gangguan gerak lain. Pada tik kronik, sensori premonitorik ini kurang disadari dan
tik muncul sebagai aktifitas otomatis (Woerkom & Cath, 2008).

16

Tik dijumpai lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Insiden pada
anak usia sekolah dasar sekitar 10% sedangkan pada remaja dijumpai pada 418%. Tendensi untuk remisi spontan pada tik sederhana/multipel (terjadi setelah
bertahun-tahun) adalah 50-70%, sedangkan untuk Taurette Syndrome sebesar 340% (Rothenberger & Banachewski, 2005).
Sedangkan menurut Woerkom dan Cath (2008) tik dominan terjadi pada anak
usia sekolah dan merupakan gangguan gerak tersering pada anak. Delapan hingga
10% anak-anak usia sekolah di Belanda mengalami tik semasa periode sekolah
dasarnya dengan 2-5% diantaranya mengalami tik kronik. Pada sebagian besar
kasus, tik akan menghilang dua tahun setelah onset. Mereka juga mendapatkan
prevalensi gangguan tik kronik di kalangan anak usia sekolah di Swedia sebesar
0,5-0,8%, sedangkan prevalensi gangguan Tourette sebesar 0,15-1,1%.
Tik motorik dan vokal dibagi menjadi tik yang sederhana dan kompleks. Tik
motorik sederhana adalah tik yang terdiri dari kontraksi cepat dan berulang dari
kelompok otot yang secara fungsional serupa. Tik motorik sederhana dapat berupa
kedipan mata, sentakan leher, mengangkat bahu dan seringai wajah. Tik vokal
sederhana yang sering adalah batuk, mendengus, berdehem (Kaplan & Sadock,
1997).
Tik motorik kompleks tampaknya lebih bertujuan dan ritualistik dibandingkan
tik motorik sederhana. Bentuk tik motorik kompleks yang sering adalah perilaku
berdandan, membaui benda, meloncat, kebiasaan menyentuh, ekopraksia (meniru
perilaku yang diamati) dan kopropraksia (menunjukkan gaya yang cabul) (Kaplan
& Sadock, 1997).

17

Bentuk tik vokal (suara) atau tik fonik juga beragam. Tik vokal sederhana
yang sering berupa batuk, melenguh, mendehem, menyalak. Tik vokal dapat pula
berbentuk kata atau frase misalnya sialan, bengkok, dosa lu, kamu haram
dan lain-lain. Tik motorik dapat bercampur dengan tik vokal (Lumantobing,
2005).
Tik vokal kompleks berupa mengulang kata atau frase diluar konteks,
koprolalia (pemakaian kata atau frase yang cabul), palilalia (pengulangan satu
kata yang diucapkan sendiri) dan ekolalia (pengulangan kata terakhir yang
didengar dari ucapan orang lain) (Kaplan & Sadock, 1997).
Selain klasifikasi menurut tipe dan kompleksitasnya, terisolasi atau
multipelnya tik, ada komorbiditas gangguan yang perlu diperhatikan. Berikut
diuraikan klasifikasi gangguan tik meurut DSM IV (Kaplan & Sadock, 1997) :
Kriteria diagnosis untuk Gangguan Tourette:
1.

Baik tik motorik multipel dan satu atau lebih tik vokal telah ditemukan pada
suatu saat selama penyakit, walaupun tidak selalu bersamaan. (Tik adalah
gerakan motorik atau vokalisasi yang tiba-tiba, cepat, berulang, non ritmik,
stereotipik)

2.

Tik terjadi banyak kali dalam sehari (biasanya dalam kumpulan), hampir
setiap hari atau secara intermiten selama periode lebih dari satu tahun, dan
selama periode ini tidak pernah terdapat periode bebas tik selama lebih dari 3
bulan berturut-turut.

3.

Onset sebelum usia 18 tahun

18

4.

Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
stimulan) atau kondisi medis umum (misalnya Penyakit Huntington atau
ensefalitis paska infeksi virus).
Kriteria diagnostik untuk gangguan tik vocal dan motorik kronis :

1.

Tik vocal atau motoik tunggal atau multipel (yaitu gerakan motorik atau
vokalisasi yang tiba-tiba,cepat, berulang, non ritmik, stereotipik) tetapi tidak
keduanya, telah ada pada suatu waktu selama penyakit.

2.

Tik terjadi banyak kali dalam sehari hampir setiap hari atau secara intermiten
selama periode lebih dari satu tahun dan selama periode ini tidak pernah
terdapat periode bebas tik selama lebih dari tiga bulan berturut-turut.

3.

Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau gangguan bermakna


dalam fungsi sosial pekerjaan atau fungsi penting lainnya

4.

Onset sebelum usia 18 tahun

5.

Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
stimulan) atau kondis medis umum (misalnya Penyakit Huntuington atau
ensefalitis pakca infeksi virus).
Kriteria diagnosis untuk gangguan tik transien :

1.

Tik vokal dan atau motorik tunggal atau multipel (yaitu gerakan motorik atau
vokalisasi yang tiba-tiba, cepat, berulang, non ritmik, stereotipik).

2.

Tik terjadi banyak kali dalam sehari, hampir setiap hari selama sekurangnya
empat minggu tetapi tidak lebih lama dari 12 bulan berturut-turut.

3.

Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau gangguan bermakna


dalam fungsi sosial pekerjaan atau fungsi penting lainnya.

19

4.

Onset sebelum usia 18 tahun

5.

Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
stimulan) atau kondisi medis umum (misalnya Penyakit Huntington atau
ensefalitis paska infeksi virus).

6.

Tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan Tourette atau gangguan tik
motorik atau vokal kronis.
Kriteria diagnostik untuk gangguan tik yang tidak ditentukan: kategori ini

adalah untuk gangguan yang ditandai oleh tik yang tidak memenuhi kriteria untuk
gangguan tik spesifik. Contohnya adalah tik yang berlangsung kurang dari empat
minggu atau tik dengan onset setelah usia 18 tahun.
Gangguan tik transien sering bermula pada usia sekolah dini dan dapat
dijumpai pada sekitar 18% anak. Tik yang banyak dijumpai berupa memejamkan
mata, menggerak-gerakkan hidung, meringis, menjerengkan mata. Tik vokal lebih
jarang, dan dapat berupa berbagai suara kerongkongan, atau suara-suara lainnya.
Tik transien berlangsung beberapa minggu atau bulan dan biasanya tidak disertai
gangguan prilaku.Tik lebih jelas terlihat dalam keadaan eksitasi atau kelelahan.
Kejadian pada anak laki 3 atau 4 kali lebih sering daripada wanita. Tik transien
tidak akan berlangsung lebih lama dari satu tahun, namun tidak jarang episode tik
transien berulang dalam kurun waktu beberapa tahun (Lumantobing, 2005).
Gangguan Tourette adalah suatu sindroma yang berupa tik motorik multipel,
koprolalia dan ekolalia yang dilaporkan pertama kali oleh Georges Gilles de la
Tourette pada tahun 1885. Awitan komponen motorik dari gangguan ini biasanya
terjadi pada usia tujuh tahun, dapat terjadi paling awal pada usia dua tahun,

20

sedang tik vokal terjadi pada usia sebelas tahun. Koprolalia biasanya dimulai pada
masa remaja awal dan terjadi pada sepertiga kasus. Gangguan Tourette terjadi
kira-kira tiga kali lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan
(Rothenberger & Banachewski, 2005; Kaplan & Sadock, 1997).
Pada gangguan Tourette tik motorik yang banyak dijumpai adalah
mengedipkan mata (80%), tik leher (69%), mengangkat bahu (55%), mimik wajah
tertentu (36%), membuka mulut (34%) dan membunyikan jari-jari (34%). Adapun
bentuk tik motorik kompleks yang sering dijumpai adalah melompat (20%),
menyakiti diri (22%), menyentuh diri sendiri atau orang lain masing-masing 13%
dan 11%. Sedangkan tik vokal sederhana yang sering dijumpai meliputi
membersihkan tenggorok (57%), mendengkur (45%), suara dengan intensitas
tinggi seperti menyalak, menjerit, menangis, memekik (33%) dan mendengus
(33%). Koprolalia dijumpai pada 20-30% kasus, kopropraksia pada 10-15%,
ekopraksia pada 10% kasus sedangkan palilalia atau ekolalia pada 17% kasus
(Woerkom & Cath, 2008).
Gangguan Tourette sering disertai gangguan tingkah laku. Attention Defisit
Hyperactivity Disorder (ADHD) dijumpai pada 40-70% penderita gangguan
Tourette. Gangguan obsesif kompulsif dijumpai pada 30-65% kasus, tingkah laku
agresif dan membahayakan diri pada 14-60%, gangguan tidur pada 25%, juga
gangguan mood, fobia, serangan panik dan autisme (Woerkom & Cath, 2008).
Faktor genetik memainkan peranan dalam gangguan Tourette. Penelitian
anak kembar memperlihatkan angka kesesuaian untuk gangguan pada kembar
monozigot adalah lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pada kembar

21

dizigot. Bukti pada beberapa keluarga menyatakan bahwa gangguan Tourette


ditransmisikan secara autosomal dominan.
Secara neurokimiawi dan neuroanatomi, terdapat bukti-bukti keterlibatan
sistem dopamin dalam gangguan tik. Agen farmakologis yang mengantagonis
dopamin (haloperidol, pimozide, fluphenasine) menekan tik dan bahwa agen yang
meningkatkan aktifitas dopaminergik sentral (methylphenidate, amphetamine,
kokain) cenderung mengeksaserbasi tik. Namun hubungan tik dengan sistem
dopamin tidaklah sederhana, karena beberapa kasus medikasi antipsikotik, seperti
haloperidol adalah tidak efektif dalam menurunkan tik dan efek stimulan pada
gangguan tik adalah bervariasi (Rothenberger & Banachewski, 2005; Kaplan &
Sadock, 1997).
Dalam penanganan pasien dengan gangguan tik deskripsi yang akurat dari tik
sangat penting meliputi awitan, jenis gerakan, perjalanan gangguan, fokalitas,
waktu terjadinya, faktor pencetus, kemampuan mengontrol atau menekan,
progresi, efeknya terhadap aktifitas, kesulitas yang menyertai dan sebagainya .
(Lumbantobing, 2005).
Baik kondisi medis umum dan gangguan psikiatri harus dipertimbangkan
dalam membuat diferensial diagnosis. Kondisi medis dan gejala yang perlu
diperhatikan meliputi epilepsi, mannerism, restless leg syndrome, blefarospasme,
tortikolis, korea, distonia, atetosis, akatisia, balismus (beberapa diantaranya
dijumpai pada Penyakit Wilson, Korea Sydenham, hipertiroid, ensefalitis, trauma
kepala, tumor otak dan intoksikasi). Gangguan psikiatri harus dipertimbangkan
dalam diferensial diagnosis maupun gangguan komorbid. Gangguan komorbid

22

lebih banyak dijumpai pada riwayat keluarga dengan gangguan tik, onset
gangguan yang lebih awal dan gejala tik yang lebih berat. Banyak anak dengan tik
juga dikeluhkan gagap (Rothenberger & Banachewski, 2005).

2.2.2 Distonia
Distonia adalah suatu sindroma kontraksi otot yang bertahan, sering menyebabkan
gerakan menggeliat (memilin) dan berulang atau sikap yang abnormal. Komponen
kunci dari definisi ini ialah kata bertahan, memilin (twisted) dan sikap (postures).
Pada distonia

terjadi spasme otot yang berlangsung lama yang mendistorsi

bangunan ekstremitas atau aksial (badan), mengakibatkan sikap distonik yang


khas. Bila spasme berulang terjadi gerak distonik, bila menetap atau bertahan
terjadi sikap distonik. Pada distonia terjadi kontraksi berlebihan otot antagonis
waktu gerak volunter, juga terjadi kontraksi otot yang letaknya berjauhan yang
biasanya tidak ikut serta pada gerak volunter tersebut (Mendoza & Foundas, 2008;
Lumbantobing, 2005).
Tidak ada marka biokimia, paatologi atau radiologis bagi distonia, oleh sebab
itu diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.
Distonia dapat diklasifikasikan menurut etiologi, usia mulainya atau
distribusinya. Berdasarkan etiologi, distonia terbagi atas distonia idiopatik (terbagi
lagi menjadi tipe familial dan sporadik)

dan simptomatik. Menurut awitan

distonia ada yang mulai terjadi sejak anak-anak, remaja dan dewasa. Klasifikasi
menurut awitan adalah penting karena awitan usia anak biasanya berkembang
dari yang hanya fokal menjadi umum, sementara distonia yang dimulai pada usia

23

di atas 25 tahun (umumnya mengenai daerah kranioservikal) tetap terlokalisir atau


menjadi segmental dan tidak progresif (Tarsy & Simon, 2006).
Berdasarkan distribusinya distonia dapat terjadi secara fokal (pada satu
bagian tubuh), segmental (lebih dari satu bagian tubuh yang berdekatan),
multifokal (dua atau lebih bagian tubuh yang tidak berdekatan), umum (distonia
satu kaki atau keduanya, krural

ditambah paling sedikit satu bagian tubuh

lainnya) ataupun pada separuh tubuh yang disebut hemidistonia (Lumbantobing,


2005; Tarsy & Simon, 2006).
Pada perjalanannya distonia dapat berlanjut dari fokal menjdi segmental atau
umum. Pada penyakit yang lanjut kontraksi dapat menetap sehingga bagian tubuh
tersebut tetap dalam sikap distonik. Distonia primer yang mulai sejak anak atau
remaja sering menjadi segmental atau umum (Lumbantobing, 2005; Tarsy &
Simon, 2006).
Distonia simptomatik pada anak dapat disebabkan karena tumor, infark,
trauma yang mengenai basal ganglia, Penyakit Wilson, Korea Huntington, obat
(metokloperamide, obat anti epilepsi), anoksia lahir, kernikterus, ensefalitis,
meningitis dan distonia primer karena

genetik. Distonia primer ada yang

diturunkan secara autosomal dominan, autosomal resesif dan X linked


(Lumbantobing, 2005; Tarsy & Simon, 2006).

24

Gambar 5 : Beberapa jenis distonia menurut lokasi gangguan

Suatu bentuk distonia dengan onset anak-anak adalah distonia yang responsif
terhadap dopa (mutasi genetik pada lokus DYT5) adalah bentuk distonia yang
jarang, diturunkan secara autosomal dominan, mengenai kaki memberikan gaya
jalan abnormal dan hiper refleks. Perjalanan penyakit biasanya progresif. Kelainan
ini khas memperlihatkan variasi diurnal, dengan gejala yang memberat pada siang
hari. Perkembangan awal pasien berlangsung normal yang membedakannya
dengan spastic cerebral palsy. Pada sebagian kecil kasus, distonia tetap bersifat
fokal dan onset parkinsonisme terjadi pada saat dewasa. Ciri khas penyakit ini
adalah perbaikan dramatis dengan levodopa (Tarsy & Simon, 2006).
Patofisiologi distonia primer tidak diketahui. Lesi putamen dan thalamus
menyebabkan distonia sekender. Adanya patologi abnormal tidak dapat
diidentifikasi pada distonia primer, kemungkinan ada peran biokimia dan
neurofisiologi abnormal yang yang belum diketahui. Dopamin diduga berperan

25

pada dopa-responsive dystonia, distonia karena pemakaian levodopa pada pasien


Parkinson, distonia karena pemakaian obat anti psikotik.
Penatalaksanaan distonia terutama ditujukan untuk mencari penyebab dan
mengobatinya. Namun penyebab tidak dapat ditemukan untuk sebagian besar
kasus. Beberapa penyebab dapat diobati dan diatasi seperti Penyakit Wilson,
distonia psikogen dan distonia karena obat. Kecuali pada dopa-responsive
dystonia dan Penyakit Wilson,tidak ada terapi farmakologi spesifik untuk distonia
(Lumbantobing 2005; Tarsy & Simon, 2006).
Pada semua anak dengan distonia harus dicobakan obat levodopa untuk
menegakkan atau menyingkirkan adanya dopa-responsive dystonia. Obat
antikolinergik (triheksifenidil), baklofen dan klonazepam merupakan tiga macam
obat yang telah dibuktikan kasiatnya pada terapi simptomatis distonia. Pengobatan
dimulai dengan satu jenis obat, dosis ditingkatkan secara gradual sampai
didapatkan kasiat simtomatik atau pasien mengalami efek samping. Biasanya
dibutuhkan lebih dari satu jenis obat untuk distonia umum. Medikasi dapat
diberikan dengan kombinasi injeksi botulinum (Lumbantobing, 2005; Tarsy &
Simon, 2006).

2.2.3 Balismus
Balismus merupakan gerak involunter yang ditandai gerak ayun mendadak dan
kuat dari ekstremitas, tidak teratur, beramplitudo besar, kasar. Sering mengenai
satu sisi tubuh (hemibalismus), bila hanya melibatkan satu ekstremitas disebut
monobalismus, bila mengenai kedua kaki disebut parabalismus, bila mengenai

26

kedua sisi tubuh disebut bibalismus. Kejadian hemibalismus merupakan 0,7% dari
seluruh gangguan gerak. Bila gerakan sedemikian kuat dapat menyebabkan
kelelahan yang sangat dan cedera (Foncke, 2008).
Gerakan terjadi mendadak, melibatkan otot proksimal bahu, lengan, pelvis
dan paha. Mungkin dijumpai kontraksi otot leher menyebabkan gerakan yang kuat
pada kepala. Gerakan ekstremitas menunjukkan kontraksi agonis dan antagonis
yang tidak terkoordinasi. Gerakan berhenti selama penderita tidur (Mendoza &
Foundas, 2008; Lumbantobing, 2005).
Pada sebagian besar kasus lesi terletak pada nukleus subtalamikus
kontralateral atau hubungan subtalamopalidum aferen dan eferen. Balismus dapat
disebabkan oleh kelainan vaskular di otak seperti infark yang melibatkan nukleus
subtalamikus atau hubungannya, malformasi arteriovenosa, angioma vena ataupun
perdarahan di daerah subdural. Penyebab lainnya adalah tumor otak, infeksi dan
paska infeksi, kelainan autoimun, intoksikasi penitoin,

penyakit degeneratif

ataupun trauma (Lumbantobing, 2005; Ngoerah, 1991).


Penanganan balismus tergantung pada penyakit yang mendasari, antibiotika
diberikan jika dasarnya adalah ensefalitis. Balismus karena lesi struktural diterapi
simptomatis. Hemibalismus pada pasien stroke sering bersifat self limited, jika
menetap dapat diberikan farmakoterapi, obat antidopaminergik merupakan pilihan
utama. Pemblok reseptor dopamin tipikal (haloperidol, pimozide) dan atipikal
(risperidon, olanzapine) memberikan hasil yang baik. Obat-obat lain seperti asam
valproat, gabapentin, benzodiazepin dan triheksipenidil juga bermanfaat..
Prognosis balismus tergantung pada penyakit dasarnya (Foncke, 2008).

27

2.2.4 Korea
Korea merupakan gerak involunter yang tiba-tiba, singkat, tanpa tujuan, tidak
dapat diprediksi. Korea dapat mengenai tangan, anggota tubuh, badan dan wajah.
Walaupun kadang dijumpai bilateral, korea lebih sering unilateral, terbatas pada
satu sisi tubuh. Gerakan sering seperti tarian, sehingga dinamai korea yang berarti
tarian dalam bahasa Yunani (Mendoza & Foundas, 2008; Mardjono & Sidharta,
1981).
Korea merupakan manifestasi gangguan akibat kerusakan di basal ganglia.
Gerakan korea tidak diinginkan dan tidak dapat ditekan oleh penderitanya. Korea
dapat mengenai semua otot yang dapat digerakkan secara sadar (volunter), tidak
mengenai otot polos ataupun jantung. Pasien terlihat seperti gugup dan tidak
menyadari gerakan yang dilakukannya (Roos, 2008).
Bentuk gangguan gerak korea pada anak dijumpai pada Penyakit Huntington
tipe juvenile, Korea Sydenham, dan familial essential chorea (Roos, 2008).
Penyebab yang lainnya dapat berupa stroke, infeksi, penyakit vaskular kolagen,
intoksikasi, hipertiroid, Penyakit Wilson dan Penyakit Huntington (Mendoza &
Foundas, 2008; Mardjono & Sidharta, 1981).
Penyakit Huntington pertama kali dilaporkan oleh George Summer
Huntington tahun 1872. Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan yang
mengenai jaringan otak dengan manifestasi klinis berupa gangguan gerak,
psikiatri dan gangguan kognitif. Rata-rata awitan penyakit ini adalah pada usia 30-

28

50 tahun, tapi 5% kasus adalah bentuk juvenile dengan awitan kurang dari 20
tahun (Roos, 2008).
Manifestasi klinis yang paling khas dari penyakit ini adalah gerak koreanya.
Gerakan akan meningkat pada stres dan emosi. Hampir semua pasien mengalami
penurunan berat badan akibat peningkatan kebutuhan energi selama gerakan.
Kegiatan sehari-hari menjadi terganggu tergantung parahnya gerakan. Dengan
memberatnya penyakit, penderita mengalami kesulitan dalam berjalan, makan dan
menelan. Kematian pada penyakit Huntington terbanyak akibat aspirasi
pneumonia atau tersedak (Roos, 2008).
Gejala gangguan psikiatri yang terjadi pada Penyakit Huntington meliputi
depresi, cemas, paranoid, kompulsi, schizoprenia dan gangguan personalitas. Bisa
juga terdapat hipokondria dan pobia. Depresi paling sering terjadi dan dapat
menyebabkan usaha bunuh diri. Dalam perkembangan penyakit, dapat terjadi
demensia, utamanya gangguan fungsi eksekutif dan hilangnya tingkah laku sosial
(Roos, 2008).
Korea Sydenham adalah korea yang terjadi pada demam rematik, lebih sering
mengenai perempuan daripada laki-laki, usia kurang dari 18 tahun. Merupakan
korea yang paling banyak dijumpai pada anak-anak. Korea merupakan salah satu
gejala mayor dari demam rematik akut, dijumpai pada 20-30% pasien dengan
demam rematik akut (korea sebagai bentuk autoimun respon setelah infeksi grup
A Streptokokus Hemolitikus yang merusak sel-sel di basal ganglia). Umumnya
korea tidak langsung terjadi, tapi ada fase laten sampai enam bulan setelah infeksi
akut. Namun pada beberapa kasus dapat merupakan satu-satunya gejala demam

29

rematik. Pada dewasa sangat jarang dijumpai, umumnya merupakan eksaserbasi


korea yang sudah terjadi saat anak-anak (Kaplan & Sadock, 1997; Rothenberger
& Banachewski, 2005).
Penderita Korea Sydenham tidak mampu mengontrol gerak motorik halus,
terutama pada jari dan tangan, terdapat mimik khas pada wajah dan gangguan
gaya jalan.

Selain gangguan gerak dan gejala demam rematiknya (karditis,

artritis, eritema marginatum, nodul subkutaneus) juga dijumpai gangguan


emosional berupa inappropriate crying/laughing (Roos, 2008).
Familial essential chorea atau benign familial chorea merupakan bentuk
korea yang ringan yang tidak memperlihatkan progresifitas dan tidak disertai
manifestasi gangguan psikiatri. Penyakit ini mempunyai awitan pada usia yang
sangat muda. Lokus gen yang berperan sampai saat ini belum diketahui (Roos,
2008).

2.2.5 Atetosis
Merupakan gerak involunter yang lambat, tidak teratur, meliuk-liuk, dominan
mengenai bagian distal ekstremitas atas, walaupun otot-otot bagian proksimal
bahu, tungkai bawah dan badan dapat pula terkena. Atetosis yang mengenai
daerah wajah memberikan mimik yang aneh serta gerakan abnormal pada lidah.
Tonus otot pada atetosis sangat meningkat. Gerak involunter ini tampaknya
merupakan hasil kontraksi simultan otot-otot antagonis. Atetosis sering
dihubungkan dengan cerebral palsy dimana basal ganglia, khususnya striatum
mengalami kerusakan (Mendoza & Foundas, 2008; Ngoerah,1991).

30

2.2.6 Tremor
Tremor ialah serentetan gerak involunter, agak ritmik, merupakan getaran, timbul
karena berkontraksinya otot-otot yang berlawanan secara bergantian. Dapat
melibatkan satu atau lebih bagian tubuh misalnya ekstremitas, kepala, badan dan
suara. Tremor paling sering mengenai ekstremitas atas (Lumbantobing, 2005).
Tremor dapat bersifat halus atau kasar berdasarkan amplitudonya, lambat atau
cepat tergantung kepada frekuensinya.Tremor yang mungkin terjadi pada anak
meliputi tremor fisiologis atau tremor normal yang muncul bila anggota tubuh
ditempatkan pada posisi sulit atau bila melakukan gerakan volunter dengan sangat
lambat. Frekuensi biasanya antara 10-12 Hz. Tremor yang terjadi pada saat marah
atau ketakutan adalah aksentuasi tremor fisiologis. Keadaan yang melepaskan
katekolamin seperti ansietas, ketakutan, latihan, kelelahan, hipoglikemia,
tirotoksikosis, mengaksentuasi tremor fisiologis.
Tremor patologis mungkin dijumpai pada tremor yang diinduksi atau
penghentian obat, tremor serebelar pada kelainan di serebelum seperti pada tumor,
trauma dan penyakit serebrovaskular.

BAB III
RINGKASAN

Ada dua sistem yang berperan dalam fungsi motorik yaitu sistem piramidal dan
ekstrapiramidal. Gerakan diprakarsai oleh sistem piramidal sedangkan sistem
ekstrapiramidal memberikan dasar agar gerakan dapat berlangsung dengan baik
melalui penghantaran impuls umpan balik dan impuls pra kontrol. Tonus otot dan
sikap tubuh ditentukan oleh keadaan sistem ekstrapiramidal. Sistem piramidal
dalam melaksanakan fungsinya selalu bekerjasama dengan sistem ekstrapiramidal.
Gerak involunter merupakan gejala gangguan sistem ekstrapiramidal.
Gangguan gerak bukan merupakan diagnosis tapi dapat merupakan tanda dari
kelainan neurologi atau non neurologi. Diagnosis gangguan gerak ditegakkan
berdasarkan manifestasi klinis. Berbagai gerak involunter sering menimbulkan
masalah dalam diagnosis dan pengobatan. Beberapa jenis gerak involunter dapat
timbul bersamaan sebagai suatu sindroma. Keadaan neurologi tertentu dan gejala
lain yang menyertai dapat memberi petunjuk dalam menentukan diagnosis. Jenisjenis gerak involunter yang sering dijumpai dalam praktek adalah tremor,
hemibalismus, korea, atetosis, distonia dan tik.
Deskripsi yang akurat dari gangguan gerak yang terjadi sangat penting
meliputi onset mulainya, jenis gerakan, perjalanan gangguan, fokalitas, waktu
terjadinya, faktor pencetus, kemampuan mengontrol atau menekan gangguan,

31

progresi, efeknya terhadap aktifitas, kesulitan yang menyertai

menentukan

kemungkinan penyebab dan penanganannya.


DAFTAR PUSTAKA

Ashury AK, McKhann, McDonald.1992. Diseases of the nervous system clinical


Neurobiology. 2nd ed. Vol II. Philadelphia: W.B.Saunders Company. P.11441146.
Baehr M,, Frotscher M. 2005. Duuss Topical Diagnosis in Neurology ; Anatomy,
Physiology, Signs, Symptoms. 4th ed. Stuttgart New York:Thieme.p.31-73
Foncke, E., 2008. Balism. In : Wolters, E.C., Laar, T., Berendse, H.W., editors.
Parkinsonism and Related Disorders. 2nd. Ed. Amsterdam : VU University
Press. p.401-403.
ncecik, F., nlen, Y. 2008. Metocloperamide Induced Dystonic Reaction.
Marmara Medical Journal 2008;21(2);159-161
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. 1997. Gangguan Tik. In : Wiguna, I.M., editor. Sinopsis
Psikiatri. Edisi ketujuh. Jilid dua. Jakata : Binarupa Aksara. p.755-765.
Lumbantobing, S.M. 2005. Gangguan Gerak. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Mardjono M, Sidharta P. 1981. Neurologi Klinis Dasar. Ed 6. Jakarta: Dian
Rakyat. hal. 5-11, 356 362.
Mendoza J, Foundas A.2008. Clinical Neuroanatomy: A Neurobehavioral
Approach. New York: Springer.p.154-172.
Ngoerah IGNG.1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga
university press. hal. 4-10.
Noback CR, Demarest RJ.1981. The Human Nervous System: Basic Principles of
Neurobiology. 3rd ed. New York: Mc Graw-Hill Inc. p. 443 460.
Rothenberger, A., Banaschewski, T. 2006. Tic Disorder. In : Gillberg, C.,
Harrington, R., Steinhausen, A.C., editors. A Clinicians Handbook of Child
and Adolescent Psychiatry. 1st. Ed. Cambridge : Cambridge University Press.
p.598-624.

32

Roos, R.A.C., 2008. Chorea and Huntingtons Disease. In : Wolters, E.C., Laar, T.,
Berendse, H.W., editors. Parkinsonism and Related Disorders. 2nd. Ed.
Amsterdam : VU University Press. p.393-399.

33

34

Sukardi E.1984. Neuroanatomia Medica. Jakarta: Universitas Indonesia Press.


hal.320-325.
Tarsy, D., Simon, 2006. D. New England Journal Medicine ;355:818-29.
Woerkom, T.C., Cath, D.C. 2008. Tics and the Gilles de la Tourette Syndrome.
In : Wolters, E.C., Laar, T., Berendse, H.W., editors. Parkinsonism and
Related Disorders. 2nd. Ed. Amsterdam : VU University Press. p.355-380.

Anda mungkin juga menyukai