Anda di halaman 1dari 17

TONSILITIS KRONIK

I. PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila
lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlachs tonsil). Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil
lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus,
dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri
grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus
dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Tonsilitis kronis merupakan salah satu
penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia
muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur
menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan
obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin
memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam berulang,
odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.5
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1

II. ANATOMI
PHARYNX
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Bentuknya mirip
corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya
yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding
pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa, dan muscular.6

Gambar 1. Anatomi Pharinx6


Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasopharynx,
oropharynx, dan laringopharynx.6
1. Nasopharynx
Nasopharynx terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.
Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dandinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis
occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat
didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang
miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh
pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang

berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding
lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Kumpulan jaringan
limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.6

Gambar 2. Pembagian Pharinx6


2. Oropharynx
Oropharynx disebut juga mesopharynx, dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut,
sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal.1
Oropharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan
dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan
isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa
permukaan bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah
dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang
meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya
jaringan limfoid dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat
dari lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica
glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan
kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula.6

Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx


(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding
posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus
vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus
dengan tonsila palatina diantaranya.6
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,
tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila
lingual dan foramen sekum.1
a. Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding
lateral

oropharynx

diantara

arcus

palatoglossus

di

depan

dan

arcus

palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 6


Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang
disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa
supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya
bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.1

Gambar 3. Struktur pada Oropharynx6

b. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila
faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya
disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua.
Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral
rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus,
dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.7
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga
meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang
terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada
otot pharynx, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1

Gambar 4. Cincin Waldeyer

3. Laryngopharynx
Laryngopharynx terletak di belakang aditus larynges dan permukaan
posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir
bawah cartilage cricoidea. Laryngopharynx mempunyai dinding anterior, posterior dan
lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang
meliputi permukaan posterior larynx. Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra
cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage
thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada
membrana, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.6
Vaskularisasi Tonsil
Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens, cabang
tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis dorsal. Tonsil
lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotica. Di
garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut
yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan
penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa
tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.1 Vena-vena menembus
m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna, vena
pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan
nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae6
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya

menuju duktus torasikus. Tonsil hanya

mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
ada6
6

Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. 6
III.IMUNOLOGI
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris
di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila
palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh
kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap
protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri,
dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertamatama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.8
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:1530%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin
spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil
merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap
dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.8,9
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak
pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah
terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus
yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk
7

memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara
mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi
tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya
ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun. 8,9
IV. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan
temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan
pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ; sebagai salah satu penyebab
adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar
66% diduga disebabkan ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena
anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau
dibiarkan.8
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika
Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis
kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai
Juni 2008Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan
baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah
kunjungan baru.10
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anakanak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih
8

sering terjadi pada anak-anak muda.2 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa
muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus
yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun,
dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia
tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis
terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.8
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang
dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh
38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.8

V. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring
terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama
makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis
Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi
bila fase resolusi tidak sempurna.7
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis
kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA).
Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat
menjadi pathogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan
Morexella catarrhalis.7
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu
Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus
9

grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,


Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.8
Infeksi
virus
biasanya
ringan

dan

dapat

tidak

memerlukan

pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada
remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang
menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan
infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga
mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut. 9
VI. FAKTOR PREDISPOSISI
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik
maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis
Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan
lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti
adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 11
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat
VII. PATOFISIOLOGI
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau
tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini
akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan
tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak

10

kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel
yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak
detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai
dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh
merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan
kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam daerah
sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan
biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar
menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan
tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang
maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan,
jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.1
VIII. GEJALA KLINIK
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran
napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.
Pada pemeriksaan faringoskopi tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang
mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1 Pada
tonsillitis kronik

juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal. 2 Pada

umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam
kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan

11

kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b)
tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsil
bed dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang
purulent.7

Gambar 7. Tonsillitis kronik9


Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur
jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua
tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :12
T0 : Post Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median

12

(A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-IIItonsils.
(D) Grade-IV tonsils (kissing tonsils) 13

IX.

DIAGNOSIS
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan

anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara
menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat
membingungkan diagnosis.
1.

Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 % diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit
pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.(7)

2.

Pemeriksaan Fisik
Pada faringoskopi, tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan
parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan
dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan
seperti keju/dempul amat banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang

13

sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan dan seringkali
dianggap sebagai kuburan dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret
purulen yang tipis terlihat pada kripta.7
3.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:
a) Mikrobiologi
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan
penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan
tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab
permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri
Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.14
b) Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu
ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugras abses dan infitrasi limfosit
yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya
dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.14

X. PENATLAKSANAAN
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap.1
Tonsilektomi. Walapun mungkin terdapat berbagai pendapat tentang indikasi
yang pasti untuk tonsilektomi pada anak-anak, terdapat sedikit perselisihan pendapat
tentang indikasi prosedur ini pada orang dewasa. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada
dewasa muda yang menderita episode ulangan tonsilitis, selulitis peritonsiliaris atau abses
peritonsiliaris. Tonsilitis kronis dapat menyebabkan hilangnya waktu bekerja yang
berlebihan.

14

Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsiliaris. Paling


sering mereka mengalami episode berulang tonsilitis akut dan hipertrofi penyerta.
Beberapa episode mungkin disebabkan oleh virus dan bakteri. Diskusi kemudian mengenai
kapan saat atau seteleh beberapa kali episode tindakan pembedahan dibutuhkan. Pedomanpedoman yang biasanya diterima ditunjukkan pada bagian ini.
Indikasi absolut. Indikasi tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini :
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan
penyerta
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)
5. Abses peritonsilar berulang atau abses yang meluas pada jaringan sekitarnya.
Indikasi relatif. Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif.
Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi streptokokus beta
hemolitikus grup A. Selain itu indikasi relatifnya antara lain :
1. Serangan tonsilitis berulang (4-5x/tahun) walaupun pemberian terapi adekuat.
2. Tonsilitis carier misalnya tonsilitis difteri
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional
4. Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan
tonsilitis yang berulang
5. Hipertrofi tonsil / adenoid
6. Tonsilitis kronik menetap yang respon penatalaksanaan medisnya tidak berhasil
7. Tonsilitis kronik yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.
\
Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergnatung pada kebijaksanaan
dokter yang merawat pasien. Maka sebaiknya menyadari kenyataan bahwa tindakan ini
merupakan prosedur pembedahan mayor yang bahkan hari ini masih belum terbebas dari
komplikasi-komplikasi yang serius.

15

Non indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut


1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemis atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala obstruksi
5. Rhinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis 14
XI.

KOMPLIKASI
Komplikasi dibagi menjadi lokal dan sistemik. Radang kronik tonsil dapat
menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik , sinusitis atau otitis
media secara perkontiinutatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat timbul endokarditis , artitris , miositis, nefritis, uveitis, iridoksilitis, dermatitis,
pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011. [cited, 2015 May 27].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 [cited, 2015 May
27]. Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 [cited, 2015 May
27]. Available from: URL: http://www.medicinenet.com
16

5. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and


Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
6. Hansen JT. Head and Neck. NETTERS CLINICAL ANATOMY. 2nd ed. USA:
Saunders, Elsevier 2010.
7. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997. p263-340
8. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2009. 2011.pdf
9. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy.
In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
10. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik
Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
11. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kvrner, Espen Rysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2015 May 27]. Available from: URL: http://www.
Archotolaryngelheadnecksurg.com
12. Cayonu M, Salihoglu M, Altundag A, Tekeli H, Kayabasoglu Gr. Grade 4 tonsillar
hypertrophy associated with decreased retronasal olfactory function: a pilot study. Eur
Arch Otorhinolaryngol. 2014(271):2311-6
13. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
14. Ura, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.

17

Anda mungkin juga menyukai