Anda di halaman 1dari 14

Nurseai

rlangga
.org

TINJAUAN TEORI KASUS

ANGIOFIBROMA NASOFARING JOUVENILLE (ANJ)

Nurseai
rlangga
.org

2.1 Definisi

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) merupakan jenis tumor


jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemologi dan pola
pertumbuhan yang khas (Nicolai et al, 2012). Tumor ini banyak diderita oleh
remaja laki-laki pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas
epitaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral (Garca et al, 2010).

Nurseai
rlangga
.org

Secara histologis, ANJ terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan
ikat. Secara klinis tumor ini bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai
daya ekspansi yang amat merusak dan medorong jaringan di sekitarnya,
seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak (Hajar & Hafni, 2005).

2.2 Etiologi

Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti.


Berapa teori telah diajukan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya dapat

Nurseai
rlangga
.org

dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berdasarkan jaringan tampat asal


tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal (Hajar & Hafni, 2005)..
Pada teori berdasarkan jaringan asal tumbuh, diduga bahwa tumor
terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di
daerah oksipitalis os sfenoidalis (Hajar & Hafni, 2005)..
Sedangkan

teori

hormonal

menyatakan

bahwa

terjadinya

angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya


kekurangan hormon androgen atau kelebihan esterogen. Anggapan ini

Nurseai
rlangga
.org

didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin
dan usia penderita serta hambatan pertumbuhan pada semua penderita
angiofibroma nasofaring (Hajar & Hafni, 2005)..

Nurseai
rlangga
.org

2.3 Stadium dan Klasifikasi


2.4

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging.

Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
1. Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut :
1) Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
2) Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring

Nurseai
rlangga
.org

dengan perluasan ke satu sinus paranasal.


3) Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
4) Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa
erosi ke tulang orbita.
5) Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang
minimal.
6) Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke

Nurseai
rlangga
.org

dalam sinus kavernosus.


2. Klasifikasi menurut Fisch :
1) Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi
tulang.
2) Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang.
3) Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau
daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
4) Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum
dan/atau fossa pituitary.
2.5

2.6 Patofisiologi
2.7

Nurseai
rlangga
.org

Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen

sphenopalatina dan mengenai fossa pterigopalatina dan kavum nasi


posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang dan mendesak
struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii.
2.8
Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti

Nurseai
rlangga
.org

lapisan submukosa, tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi


rendah dan menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola
penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa pterigopalatina, tumor tumbuh
ke medial ke dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi
kontralateral. Pertumbuhan ke lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina
dan infratemporalis, melalui fissura pterigo-maksilaris yang melebar dengan
gambaran khas pergeseran ke anterior dari dinding posterior maksilaris,

Nurseai
rlangga
.org

sampai berhubungan dengan otot mastikator dan jaringan lunak pipi.


Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui
kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita

Nurseai
rlangga
.org

melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi
jika fissure orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi melalui
dua mekanisme utama yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan
aktivasi osteoklast atau (2) langsung tersebar di sepanjang arteri perforanates
ke dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior
berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan
erosi tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial.

Nurseai
rlangga
.org

Pelebaran fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke


intrakranial.

Nurseai
rlangga
.org
Nurseai
rlangga
.org

Nurseai
rlangga
.org

2.9 Tanda dan Gejala


2.10

Gejala dan tanda Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ)

terkait dengan perluasan tumor ke rongga hidung, orbita dan basis kranii.

Nurseai
rlangga
.org

Gejala yang khas adalah obstruksi hidung unilateral yang progresif (80-90
%) dengan rhinorrhea dan epistaksis unilateral berulang (45-60 %). Gejala
yang lain adalah sakit kepala (25 %), nyeri wajah, otitis media unilateral,
rinosinusitis kronis, proptosis dan gangguan penglihatan. Sakit kepala dan
nyeri wajah dapat timbul sebagai akibat sumbatan sinus paranasal. Otitis
media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan
tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.

Nurseai
rlangga
.org

Proptosis dan gangguan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita.


Pembengkakan pipi, defisit neurologis, gangguan penciuman dan otalgia
juga dapat terjadi.
2.11

2.12 Pemeriksaan Diagnostik


2.13

Diagnosis

Angiofibroma

Nasofaring

Juvenile

(ANJ)

terutama didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan rongga hidung dan


pencitraan. Secara endoskopi dapat terlihat massa lobulated besar di

Nurseai
rlangga
.org

belakang khonka nasalis media, mengisi khoana dengan permukaan halus


dan hipervaskularisasi yang jelas. Karena secara epidemiologi dan temuan
endoskopi adalah khas, maka biopsi mutlak merupakan kontraindikasi
karena risiko perdarahan masif yang cukup besar.
2.14

Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting

dalam diagnosis, penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan


radiologi berperan dalam menunjukkan perluasan tumor primer, khususnya
dalam menilai invasi sphenoid karena merupakan tempat utama terjadinya

Nurseai
rlangga
.org

kekambuhan, sebuah gambaran yang jelas menunjukkan asal dari


angiofibroma. Pemeriksaan radiologi juvenile angiofibroma nasofaring
dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI dan arteriografi.
Gambaran foto polos pada Waters atau submental view dapat menunjukkan
erosi di sinus sphenoidalis dan penonjolan dinding posterior sinus maksilaris
atau Holman-Miller sign.

Nurseai
rlangga
.org

2.15

CT scan dan MRI juvenile angiofibroma nasofaring

menunjukkan massa inhomogen yang timbul dari ruang mukosa atau


submukosa nasofaring, dengan penyangatan yang kuat dan homogen disertai

Nurseai
rlangga
.org

erosi basis kranii atau perluasan intrakranial. CT scan berperan dalam


follow-up setelah pembedahan untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran
setelah radioterapi atau menilai pengecilan tumor. CT scan merupakan
pemeriksaan

sebelum

operasi

yang

paling

penting

karena

dapat

menunjukkan destruksi struktur tulang dan pelebaran foramen dan fisura


pada basis kranii akibat penyebaran tumor. Keterlibatan tulang dan
penyebaran tumor paling baik dilihat pada potongan aksial atau koronal

Nurseai
rlangga
.org

irisan tipis. CT scan aksial dan koronal dapat menggambarkan asal dan
perluasan lesi. Temuan termasuk massa nasofaring, penonjolan ke anterior
dari dinding posterior sinus maksilaris (Holman-Miller sign) dengan massa
di fossa pterigopalatina, pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di sinus
paranasal, erosi tulang sphenoid dengan massa di sinus, erosi palatum
durum, erosi dinding medial sinus maksilaris, deviasi septum nasi, dan
perluasan intrakranial.
2.16

Arteriografi

mempunyai

nilai

diagnostik

Nurseai
rlangga
.org

dan

terapetik, dengan melakukan embolisasi feeding vessel tumor. Keduanya


dapat dilakukan terpisah atau bersama. Pola retikuler yang khas biasanya
terlihat pada awal fase arteri, dengan blush homogen padat yang menetap
sampai fase vena. Adanya awal draining vein jarang terjadi.
2.17

Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal

yang penting untuk menentukan strategi pembedahan yang tepat.


Meskipun pemeriksaan

dengan

menggunakan

Magnetic

Resonance

Angiography (MRA) dapat membantu dalam penilaian vaskular, gambaran

Nurseai
rlangga
.org

lengkap dari semua pembuluh darah memerlukan angiografi. Feeding vessel


Angiofibroma Nasofaring Juvenile berasal sistem karotis eksternal terutama
dari

cabang

arteri

maksilaris

interna

distal,

umumnya

cabang

sphenopalatina, palatina desenden, dan alveolar posterior superior.


Terkadang arteri faringealis asenden ikut mensuplai tumor.

Nurseai
rlangga
.org

2.18

Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan

untuk menentukan luasnya lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel.
Dalam menentukan batas tumor, penilaian perluasan intrakranial sangat

Nurseai
rlangga
.org

penting karena operasi dapat menyebabkan bahaya lain. Gambaran


angiografi merupakan ciri khas, dan diagnosis preoperatif biasanya
memungkinkan dikerjakan sebelum biopsi.
2.19
2.20 Penatalaksanaan
2.21

Penatalaksanaan ANJ dapat dilakukan dengan berbagai cara

seperti terapi hormonal, kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan (ekstirpasi

Nurseai
rlangga
.org

tumor). Penanganan ANJ tergantung dari luas dan besarnya tumor, apabila
masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan
ekstirpasi tumor, tetapi jika tumor sudah mencapai ke dalam kranium maka
radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan (Nutrisno et al, 2000).
2.22

Pembedahan merupakan pilihan utama penatalaksanaan

ANJ sedangkan tumor yang tidak dapat dioperasi diberikan pengobatan


radiasi. Pengobatan hormonal digunakan untuk mengecilkan tumor yang
inoperabel (Soepardi et al, 2007).
2.23

Nurseai
rlangga
.org

Beberapa pendekatan bedah yang dapat dilakukan anatara

lain adalah pendekatan transpalatal, pendekatan rinotomi lateral, dan


pendekatan midfacial degloving atau kombinasi dengan kraniotomi
frontotemporal apabila invasi sudah meluas ke intrakranial (Soepardi et al,
2007). Pendekatan transpalatal dilakukan untuk tumor yang berada di
nasofaring meluas ke daerah nasal posterior atau tumor yang sudah
mendorong palatum ke bawah. Pendekatan midfacial degloving dilakukan
untuk tumor yang berada di nasofaring dan meluas ke kavum nasi,

Nurseai
rlangga
.org

sedangkan pendekatan rinotomi lateral dilakukan untuk tumor yang meluas


ke sinus paranasal atau yang sudah mendestruksi dinding sinus. Kekurangan
dari pendekatan rinotomi lateral adalah dapat memberikan jaringan parut
pada wajah bekas (Hajar & Hafni, 2005).
2.24

Pembedahan didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48

jam preoperatif untuk mengurangi perdarahan selama operasi. Material yang

Nurseai
rlangga
.org

digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel nonabsorpsi seperti


Ivalon dan Terbal (Asrole, 2002). Sebelum dilakukan operasi pengangkatan
tumor selain dilakukan embolisasi untuk mengatasi perdarahan, yang banyak

Nurseai
rlangga
.org

dilakukan adalah ligasi arteri karotis eksternal dan anastesi dengan tekhnik
hipotensi.
2.25

Pengobatan hormopnal diberikan pada pasien dengan

stadium 1 dan II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid).


Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi
(gamma knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi
konformal tiga dimensi. Kombilnasi radioterapi prabedah dan hormonal

Nurseai
rlangga
.org

dilakukan selama 6 minggu sebelum operasi pada tumor yang sudah meluas
ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak (Soepardi et al,
2007).
2.26

2.27 Komplikasi
1.
2.
3.
4.

Anemia berat akibat epistaksis yang berulang


Otitis media akibat sumbatan astium tuba eustachius
Sinusitis akibat sumbatan astium sinus
Disfagia dan sumbatan jalan nafas akibat tumor meluas ke orofaring

Nurseai
rlangga
.org

akan menekan palatum molle


5. Bila tumor ke daerah sekitarnya: exophtalmus/ptosis akibat penekanan
kavum orbita, deformitas tulang pipi dan hidung akibat ekstensi ke sinus
dan kavum nasi, paresis dan paralisis akibat ekstensi ke intrakranial
biasanya gangguan saraf II, III, IV, dan VI.
2.28
2.29 Prognosis
2.30

Nurseai
rlangga
.org

ANJ merupakan tumor dengan kekambuhan yang tinggi,

rata-rata sebesar 32% sampai 40-50% pada kasus dengan invasi basis kranii.
Kekambuhan dapat terjadi 3-4 bulan setelah operasi. Angka kekambuhan
tinggi terutama bila sudah mengenai basis kranii seperti sinus sphenoid,
basis pterigoid, clivus, sinus kavernosus dan fossa anterior. Pemeriksaan
ulang sebaiknya dilakukan setiap 6-8 bulan setelah 3 tahun dilakukan
operasi (Nicolai et al, 2012).
2.31

Nurseai
rlangga
.org

2.32TINJAUAN ASKEP TEORI UMUM

2.33ANGIOFIBROMA NASOFARING JOUVENILLE (ANJ)

2.34

Nurseai
rlangga
.org

3.1 Pengkajian

1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek
dengan riwayat kanker.
2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis
kayu tertentu.
3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang
diawetkan (daging dan ikan).
4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan

Nurseai
rlangga
.org

lingkungan dan kebiasaan hidup (Efiaty & Nurbaiti, 2001).


5. Tanda dan gejala :
a. Aktivitas
2.35 Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
b. Sirkulasi
2.36 Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan
tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.
c. Integritas ego
2.37 Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal

Nurseai
rlangga
.org

diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, marah,


menarik diri.
d. Eliminasi
2.38 Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi
urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
e. Makanan/cairan
2.39 Kebiasaan diit buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet),
anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,

Nurseai
rlangga
.org

perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.

Nurseai
rlangga
.org

f. Neurosensori
g.
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus.
h. Nyeri/kenyamanan
i.
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia),

Nurseai
rlangga
.org

rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan.


j. Pernapasan
k.
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang
merokok) .Lingkungan
l.
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari
lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
m. Interaksi sosial
n. Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung.
o.

Nurseai
rlangga
.org

3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
p.
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
q.
Kriteria hasil: mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan
relaksasi nyeri. Intervensi :
1) Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi.
2) Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan
aktivitas hiburan.
3) Ajarkan penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi,

Nurseai
rlangga
.org

visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.


4) Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol.
5) Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi, misalnya: morfin,
metadon atau campuran narkotik.

r.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual muntah sekunder
s.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
t.
Kriteria hasil :
1) Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah.
2) Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat.
3) Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang

Nurseai
rlangga
.org

lembab.
4) Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
u.

Intervensi :

1) Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan


kesukaan dan toleransi pasien.
2) Berikan dorongan higiene oral yang sering.
3) Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid sesuai indikasi.
9

Nurseai
rlangga
.org

4) Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah


pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
5) Pantau masukan makanan tiap hari.
6) Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri) .
7) Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan

Nurseai
rlangga
.org

masukan cairan adekuat.


8) Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap
dan kebisingan).
v.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
sekunder imunosupresi
w. Tujuan : tidak terjadi infeksi
x.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
2) Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema,

Nurseai
rlangga
.org

nyeri.
3) Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk
menegah disfungsi dan infeksi respiratori.

y.

Intervensi :

1) Kaji pasien terhadap bukti adanya infeksi :Periksa tanda vital, pantau
jumlah leukosit, tempat masuknya patogen, demam, menggigil,
perubahan respiratori atau status mental.
2) Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan

Nurseai
rlangga
.org

pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.


3) Tekankan higiene personal
4) Pantau suhu dan kaji semua sistem (pernafasan, kulit)
z.
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
aa. Tujuan : perdarahan dapat teratasi
ab. Kriteria hasil :
1) Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi.
2) Tidak menunjukkan adanya epistaksis

Nurseai
rlangga
.org
ac.

Intervensi :

1) Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit


2) Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
3) Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan: minimalkan
penekanan/ gesekan pada hidung.

3.3 Evaluasi
1.

Nyeri berkurang atau hilang

10

Nurseai
rlangga
.org
2.
3.
4.

Nutrisi seimbang atau anoreksi, mual, muntah berkurang atau hilang


Tidak terjadi tanda-tanada infeksi
Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan

Nurseai
rlangga
.org

ad.

Nurseai
rlangga
.org
Nurseai
rlangga
.org
Nurseai
rlangga
.org
11

Nurseai
rlangga
.org

ae. PENUTUP

af.

5.1

Kesimpulan

Nurseai
rlangga
.org

ag.

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) merupakan jenis

tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemologi dan


pola pertumbuhan yang khas. Tumor ini banyak diderita oleh remaja lakilaki pada masa pubertas, dengan gejala klinis yang khas epitaksis berulang
dan sumbatan hidung unilateral. Secara histologis, ANJ terdiri dari
komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Secara klinis tumor ini bersifat
seperti tumor ganas karena mempunyai daya ekspansi yang amat merusak

Nurseai
rlangga
.org

dan medorong jaringan di sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata


dan tengkorak.
ah.

Masalah keperawatan yang menjadi fokus utama adalah

resiko perdaraha. Peran perawat sangat penting dalam mencegah masalah


tersebut. Gejala awal pada kasus dengan Angiofibroma Nasofaring Juvenile
(ANJ) adalah epistaksis yang berulang. Sebagai perawat penting untuk
memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga untuk mencegah
terjadinya epistaksis seperti: tidak boleh terlalu capek, istirahat yang cukup,
menghindari

trauma

pada

Nurseai
rlangga
.org

hidung,

mencegah

iritasi

pada

hidung

(menghindari udara panas dalam jangka waktu yang panjang). Health


education tersebut mencegah bertambah beratnya penyakit Angiofibroma
Nasofaring Juvenile (ANJ).
ai.
5.2

Saran
5.1.1

Perawat
aj. Perawat

Nurseai
rlangga
.org

memiliki

perawanan

penting

dalam

kasus

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ), yaitu mencegah gejala


epistaksis yang berulang. Dengan cara memberikan penjelasan kepada
pasien dan keluarga untuk mencegah terjadinya epistaksis seperti:
tidak boleh terlalu capek, istirahat yang cukup, menghindari trauma
pada hidung, mencegah iritasi pada hidung (menghindari udara panas
dalam jangka waktu yang panjang).

12

Nurseai
rlangga
.org

5.1.2 Pasien dan keluarga


5.1.3

Setelah dilakukan KIE (komunikasi, informasi, dan education)

oleh perawat, baik pasien dan keluarga diarapkan dapat menerapkan untuk

Nurseai
rlangga
.org

mencegah terjadinya epistaksis yang berulang.


5.1.4 Mahasiswa
5.1.5

Dengan adanya laporan seminar kasus praktik klinik profesi,

mahasiswa mampu memahami dan mengetahui asuhan keperawatan klien dengan


Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) mulai dari pengkajian, pemeriksaan
fisik yang mungkin ditemukan, diagnosa keperawatan, dan intervensi yang perlu
dilakukan.

Nurseai
rlangga
.org
5.1.6
5.1.7
5.1.8

Nurseai
rlangga
.org
Nurseai
rlangga
.org
13

Nurseai
rlangga
.org

5.1.9 DAFTAR PUSTAKA


5.1.10
5.1.11 Nicolai, et al 2012, Juvenile Angiofibroma: Evolution of Management, International
Journal of Pediatric, hal 1-11
5.1.12
5.1.13 Garca et al 2010, Jvenile Nasopharyngeal Angiofibroma, Eur J Gen Med, vol. 7, no.
4, hal. 657-663
5.1.14
5.1.15 Hajar & Hafni 2005, Angiofibroma Nasofaring Belia, Majalah Kedokteran Nusantara
vol. 38, no. 3, Departemen Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan
5.1.16
5.1.17 Nutrisno et al, 2000, Tumor Hidung yang Berdarah di RS Karyadi Semarang, Cermin
Dunia Kedokteran no.52, hal. 3-5
5.1.18
5.1.19 Soepardi et al 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala
& Leher edisi ke-6, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta
5.1.20
5.1.21 Asrole 2002, Angiofibroma Nasofaring Belia, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan
5.1.22
5.1.23 Efiaty AS, Nurbaiti I. 2001. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5. Jakarta : Balai Penerbit
FK UI

Nurseai
rlangga
.org

Nurseai
rlangga
.org

5.1.24

Nurseai
rlangga
.org
Nurseai
rlangga
.org
14

Anda mungkin juga menyukai