PENDAHULUAN
Sejarah penemuan virus dimulai abad ke 19 dengan ditemukannya
kelainan pada daun tembakau berbintik kuning oleh Adolf Meyer seorang
ilmuwan Jerman tahun 1883. pada abad ke-20 pengetahuan tentang virus yaitu
bahwa virus bersifat patogen dan dapat menular, virus pun tidak dapat
ditumbuhkan dalam medium tumbuh bakteri. Dua orang ilmuwan bernama Twort
(1916) dan dHerelle (1917) menemukan virus yang menyerang bakteri dan
menyebabkan bakteri lisis (pecah). Virus ini kemudian disebut bakteriofag atau
sering disebut fag (phage) saja (Nuraeni, 2010).
Pada tahun 1935 Wendell Stanley seorang ilmuwan Amerika berhasil
mengkristalkan mahluk hidup yang menyerang tanaman tembakau tersebut.
Mahluk tersebut kemudian dibneri nama TMV (Tobacco Mosaic Virus) Stanley
menemukanan bahwa virus dapat mengkristal pada saat bersamaan masih
memiliki sifat-sifat organisme hidup. Partikel virus dapat berkembang biak dalam
inang yang baru. Gortner dan Laidlaw secara terpisah mengemukakan
pandangannya bahwa virus merupakan bentuk organisme paratisik yang lebih
terspesialisasi. Sejak itulah penelitian tentang virus berkembang. Tahun 1980-an
muncul penemuan virus HIV dan AIDS. Tahun 1993 Hantavirus dan sebagainya
(Nuraeni, 2010).
Vaksin telah lama dikenal sebagai suatu substansi yang digunakan untuk
memperoleh respon imun terhadap mikroorganisme patogen. Vaksin pertama kali
ditemukan pada tahun 1976 oleh Edward Jenner yaitu vaksin virus cacar. Sejak
saat itu teknologi pembuatan vaksin telah berkembang dengan pesat dan berbagai
jenis vaksin untuk mencegah penyakit infeksi telah banyak digunakan.
Perkembangan jenis vaksin konvensional baik vaksin generasi pertama
yaitu jenis vaksin yang mengandung mikroorganisme hidup yang telah
dilemahkan dan vaksin generasi kedua yaitu jenis vaksin yang mengandung
mikroorganisme yang dimatikan, serta vaksin generasi yang ketiga yaitu vaksin
rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit yang mengandung fragmen
antigenik dari suatu mikroorganisme yang dapat merangsang respon imun.
Vaksin generasi pertama seringkali dapat bermutasi kembali menjadi
virulen sehingga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu
biasanya jenis vaksin yang dilemahkan ini tidak dianjurkan diberikan kepada
penderita yang mengalami imunokompromais. Sedangkan vaksin generasi kedua
adalah vaksin mengandung mikroorganisme yang dimatikan menggunakan zat
kimia tertentu, biasanya dengan menggunakan formalin atau fenol, dalam
penggunaannya sering mengalami kegagalan atau tidak menimbulkan respon
imun tubuh.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terjadi pada penggunaan
vaksin generasi pertama dan kedua mulailah dikembangkan vaksin generasi yang
ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit. Vaksin
sub unit dibuat melalui teknik rekayasa genetika untuk memperoleh fragmen
antigenik dari mikroorganisme, sehingga disebut dengan vaksin rekombinan.
Sebagai contoh, vaksin hepatitis B mengandung bagian protein selubung dari
virus hepatitis B yang diproduksi melalui rekayasa genetika, oleh sel ragi. Vaksin
rekombinan lebih aman dibandingkan dengan vaksin yang mengandung seluruh
sel virus, karena fragmen antigenik yang terdapat dalam vaksin rekombinan tidak
dapat bereproduksi dalam tubuh penerima, disamping itu vaksin rekombinan
umumnya tidak menimbulkan efek samping. Namun demikian vaksin generasi
ketiga inipun ternyata hanya dapat menimbulkan respon imun humoral dan tidak
dapat menimbulkan respon imun seluler (Radji, 2009)
Vaksin DNA Transfer DNA plasmid secara langsung ke dalam jaringan
mencit tanpa sistem penghantaran khusus telah berhasil dilakukan pertama kali
pada tahun 1990. DNA plamid yang disuntikkan secara intramuskular ke dalam
tubuh mencit tersebutternyata dapat memproduksi protein yang dikode oleh
sekuen DNA yang terdapat dalam DNA plamid tersebut di dalam jaringan mencit.
Penelitian berikutnya telah membuktikan bahwa DNA dapat dimasukkan
langsung secara in vivo untuk menghasilkan protein yang dikehendaki sesuai
dengan sekuen DNA yang mengkode ekspresi protein tersebut. Sejak saat itu
diyakini bahwa metode transfer DNA secara in vivo dapat diaplikasikan baik
untuk terapi gen maupun untuk vaksinasi dengan DNA.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari berbagai faktor
yang mempengaruhi efisiensi dan sifat imunogenisitas dari DNA plasmid, yang
pada akhirnya dikenal dengan vaksin DNA untuk memberikan imunitas tubuh
serangan
kekebalan nyata. Sebelum pengenalan vaksin cacar dan beguk, kasus cacar dan
beguk yang menimpa anak-anak adalah kasus tidak berbahaya. Vaksin
mengganggu tubuh sehingga tubuh kita tidak menghasilkan respon inflamatory
terhadap virus yang disuntik.
SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) meningkat dari 0.55 per 1000
orang pada 1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di Olmstead County,
Minnesota. Puncak kejadian SIDS adalah umur 2 4 bulan, waktu dimana vaksin
mulai diberikan kepada bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama bayi.
Peratus kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9 per 1000 dari 1953
sampai 1992. Peningkatan kematian akibat SIDS meningkat pada saat hampir
semua penyakit anak-anak menurun karena kasusedaran kebersihan dan kemajuan
Kedokteran kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS meningkat pada saat jumlah
vaksin yang diberikan kepada bayi naik secara meyakinkan menjadi 36 per anak.
Dr. W. Torch telah melaporkan 12 kasus kematian pada anak-anak yang
terjadi dalam 3,5 19 jam setelah imunisasi DPT. Dia juga melaporkan 11
kasuskematian SIDS dan satu yang hampir mati 24 jam selepas suntikan DPT.
Semasa dia mengkaji 70 kasus kematian SIDS, 2/3 korban adalah mereka yang
baru divaksinasi mulai dari 1,5 hari sampai 3 minggu sebelumnya. Tidak ada satu
kematian pun yang dihubungkan dengan vaksin. Vaksin dianggap hal yang mulia
dan tidak ada berita negatif apapun mengenainya di media utama karena ia begitu
menguntungkan bagi perniagaan farmasi.
Reaksi Tubuh Terhadap Vaksin
Apabila vaksin tersebut memasuki aliran darah anak. Tubuhnya akan
segera bertindak untuk menyingkirkan racun tersebut melalui organ eksresi atau
melalui reaksi imun seperti demam, bengkak atau ruam pada kulit. Apabila tubuh
anak kuat untuk meningkatkan reaksi imun, tubuh anak mungkin akan berhasil
menyingkirkan vaksin tersebut dan mencegahnya terjangkit kembali di masa yang
akan datang. Akan tetapi jika tubuh anak tidak kuat untuk meningkatkan reaksi
imun, vaksin beracun akan bertahan dalam jaringan tubuh.
Timbunan racun ini dapat menyebabkan penyakit seperti diabetes pada
anak-anak, asma, penyakit neurologi, leukimia, bahkan kematian mendadak.
Ratusan laporan mencatat kasus sampingan jangka panjang yang buruk berkaitan
adalah
penyebab
terbesar
kematian
mendadak.
Jepun
telah
10
dibanding sebagian bahan kimia lain. Formalin: Salah satu turunan dari
formaldehid. Formalin adalah campuran 37%-40% formaldehid, air dan biasanya
10% metanol. Formalin adalah peringkat ke 5 dari 12 bahan kimia yang paling
berbahaya.(Enviromental Defense Fund, US). Monosodium Glutamat (MSG):
bagi orang yang alergi pada MSG mungkin akan mengalami perasaan seperti
terbakar di belakang leher, lengan dan punggung atau mengalami sakit dada, sakit
kepala, lesu, denyut jantung cepat dan kasusulitan bernafas. Menurut Badan
Pengawas Ubat dan Makanan (FDA) US, suntikan glutamate dalam haiwan
menyebabkan Kerusakan sel saraf otak.
Neomycin:
antibiotik
ini
mengganggu
penyerapan
vitamin
B6.
11
Imunisasi merupakan cara terbaik untuk melindungi anak dari berbagai macam
penyakit. Anda mendengar hal ini dari doktor, media massa, brosur di klinik, atau
rakan-rakan anda. Tetapi, apakah Anda pernah berfikir kembali tentang tujuan
imunisasi? Pernahkah anda meneliti lebih lanjut terhadap isu-isu dan cerita
mengenai sisi lain imunisasi (yang tidak pernah dimaklumkan oleh doktor)?
Serangkaian imunisasi yang terus digiatkan hingga saat ini oleh pihak-pihak yang
katanya demi menjaga kasusehatan anak, patut dikritik dari segi kesehatan
mahupun syariat. Teori pemberian vaksin yang menyatakan bahwa memasukkan
bibit penyakit yang telah dilemahkan kepada manusia akan menghasilkan
pelindung berupa anti bodi tertentu untuk menahan serangan penyakit yang lebih
besar.
Tiga Mitos Menyesatkan
Vaksin begitu dipercayai sebagai pencegah penyakit. Hal ini tidak terlepas dari
adanya 3 mitos yang sengaja disebarkan. Padahal, hal itu berlawanan dengan
kenyataan.
1. Effektif melindungi manusia dari penyakit.
Kenyataan: Banyak penelitian Kedokteran mencatat kegagalan vaksinasi.
Campak, beguk, polio, terjadi juga di pemukiman penduduk yang telah
diimunisasi. Sebagai contoh, pada tahun 1989, wabak campak terjadi di sekolah
yang mempunyai vaksinasi lebih besar dari 98%. WHO juga menemukan bahwa
seseorang yang telah divaksin campak, mempunyai kemungkinan 15 kali ganda
untuk mendapat penyakit tersebut daripada yang tidak divaksin.
2. Imunisasi merupakan sebab utama penurunan jumlah penyakit.
Kebanyakan penurunan penyakit terjadi sebelum diperkenalkan imunisasi secara
menyeluruh. Salah satu buktinya, penyakit-penyakit muncul yang boleh
membawa maut di US dan England mengalami penurunan sebesar 80%, itu terjadi
sebelum ada vaksinasi. The British Association for the Advancement of Science
menemukan bahawa penyakit anak-anak mengalami penurunan sebesar 90%
antara 1850 dan 1940, dan hal itu terjadi jauh sebelum program imunisasi
diwajibkan.
12
DAFTAR PUSTAKA
13
Fitriinurraiini.
2013.
Macam-Macam
Vaksin
dan
Kegunannya.
Tambahan
Campak
dan
Polio
2011
di
17
Provinsi
14