Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh
semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bias dihin dari
oleh siapapun. Pada usia lanjut akan terjadi berbagai kemunduran pada
organ tubuh. Lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan
tahap lanjut dari suatu kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan, penurunan
kemampuan berbagai organ, fungsi dan system tubuh itu bersifat alamiah
atau fisiologis .Penurunan tersebut disebabkan berkurangnya jumlah dan
kemampuan sel tubuh. Pada umumnya tanda proses menua mulai tampak
sejak usia 45 tahun dan akan menimbulkan masalah pada usias ekitar 60
tahun (Pudjiastuti, 2003).
Menurut data Biro Pusat Statistik (2010), jumlah lanjut usia
(lansia) di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 15.814.511 jiwaatau 7,2%
dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 28.822.879 jiwa pada tahun
2020 atau sebesar 11,34% penduduk. Bahkan data Biro Sensus Amerika
Serikat memperkirakan Indonesia akan mengalami pertambahan warga
lanjut usia terbesar di seluruh dunia pada tahun 1990-2025 yaitusebesar
414% (Kinsella &Tauber, 1993 dalam Maryam, 2008).
Menurut Dirjen Kesehatan Masyarakat Budiharja (2008), dengan
meningkatnya

jumlah

penduduk

usia

lanjutakan

diikuti

dengan

meningkatnya permasalahan kesehatan seperti masalah kesehatan indera


pendengar, dan penglihatan, kesehatan jiwa dan sebagainya. Proses menua
adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, sosial,
psikologik maupun spiritual yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara
umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Masalah
kesehatan jiwa yang sering timbul pada lansia meliputi kecemasan,
depresi, insomnia, paranoid dan demensia.
Salah satu kebutuhan dasar manusia menurut Maslow adalah
kebutuhan rasa nyaman. Semua aktivitas terganggu jika kenyamanan
terganggu. Salah satu gangguan rasa nyaman adalah ketegangan pikiran
atau perasaan cemas. Perbedaan kecemasan memasuki masa lanjut usia
umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis
berganda (multiple pathologis). Gangguan atau kelainan fisik, psikologik
maupun sosial yang selanjutnya akan menimbulkan suatu keadaan cemas
(Eka, 2006).
Cemas adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami
perasaan yang sulit atau ketakutan dan aktivitas system saraf otonom
dalam berespon terhadap ancaman tidak jelas, non spesifik (Carpenito,
2000).Menurut Casei 1990, bahwa cemas halpertama dan terbesar dari
respon normal untuk mengatasi ancaman atau stressor. Stressor atau
pencetus kecemasan adalah apapun yang didefinisikan oleh seseorang
sebagai suatu ancaman atau bahaya (Kapplan&Saddock, 1997).Stressor
kecemasan menurut Stuart danSundeen 1998, dikelompokkan menjadi dua

yaitu ancaman terhadap integritas seseorang dan ancaman terhadap system


diri seseorang.Jika stressor inti dan segera diatasi maka perasaan cemas
akan sering dialami oleh semua manusia.
Gejala-gejala kecemasan yang dialami oleh lansia seperti perasaan
khawatir atau takut yang tidak rasional akan kejadian yang akan terjadi,
sulit tidur sepanjang malam, rasa tegang dan cepat marah, sering mengeluh
akan gejala yang ringan atau takut terhadap penyakit yang berat, misalnya
kanker dan penyakit jantung yang sebenarnya tidak dideritanya, sering
membayangkan hal-hal yang menakutkan dan rasa panik terhadap masalah
yang ringan (Maryam, 2008).
Sebuah tantangan dan tanggung jawab perawat dalam memberikan
rasa nyaman dan menghilangkan respon psikologis.Banyakcara yang
digunakan untuk menghilangkan dan mengurangi rasa cemas baik dari segi
medis maupun keperawatan yang bersifat independent. Sikap perawat
harus waspada terhadap pasien yang cemas berlebihan dan menunjukan
kemunduran emosional, social atau fungsi pengobatan.Salah satu tindakan
keperawatan dalam menurunkan kecemasan adalah kebiasaan koping
efektif (Brunner &Suddart, 2002).Salah satu upaya untuk mengatasinya
yaitu dengan metode relaksasi. Relaksasi merupakan salah satu teknik
dalam perilaku yang pertama kali dikenalkan oleh Jacobson, seorang
psikolog dari Chicago yang mengembangkan metode fisiologis melawan
ketegangan dan kecemasan.Teknik ini disebutnya Relaksasi Autogenik
yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan otot.Jacobson berpendapat
bahwa semua bentuk ketegangan termasuk ketegangan didasarkan pada

kontraksi otot (Purwanto, 2007).Jacobson (1929) dalam bukunya


Autogenic Relaxation menjelaskan tentang relaksasi yang tidak
memerlukan imajinasi, ketekunan atau sugesti.Teknik ini didasarkan pada
keyakinan bahwa tubuh merespon terhadap ansietas dalam bentuk
ketegangan otot tubuh.Relaksasi dari otot akan menurunkan denyut nadi,
tekanan darah, mengurangi pengeluaran keringat dan pernafasan.
Relaksasi yang dalam jika dikuasai dengan baik dapat digunakan sebagai
terapi ansietas (Davis, 1995).
Teknik Relaksasi Autogenik dapat digunakan oleh pasien tanpa
bantuan terapi dan mereka dapat menggunakannya untuk mengurangi
ketegangan dan kecemasan yang dialami sehari-hari di rumah. Menurut
pandangan ilmiah relaksasi merupakan perpanjangan serabut otot skeletal,
sedangkan ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut
otot. Relaksasi Otot Autogenik bertujuan untuk mengurangi ketegangan
dan kecemasan dengan cara melemaskan otot-otot badan. Pelatihan sering
dilakukan karena dari hasil penelitian-penelitian yang dilakukan Jacobson
dan Wolpe terbukti bahwa relaksasi secara efektif dapat mengurangi
ketegangan dan kecemasan (Purwanto, 2007).
Dari studi pendahuluan yang di lakukan peneliti di Pos Anggrek
Bulan 04 Rw 13 Kelurahan Sisir Batu pada tanggal 8 April 2013 terdapat
89 orang lansia. Hasil wawancara 12 dari 15 orang lansia mengatakan
bahwa sering mengalami cemas. Diantaranya adalah lansia mengatakan
jantung sering berdebar kencang dan kuat, sulit tidur, tidur tidak nyenyak
dan mudah terkejut. Lansia juga mengatakan untuk mengurangi cemas

tersebut biasanya dengan mencari tempat yang lebih tenang, dengan posisi
duduk, menarik nafas.
Hasil daripenelitianmenunjukkan bahwa peserta dalam program
terapi Autogenik mengalami perubahan positif secara fisik dan kesehatan
emosional,dimana mereka dapat mengerjakan kegiatan sehari hari
(Georgina Sutherland, 2004) . Para peneliti telah menemukanbahwa
kinerja peran dalam Multipel Sclerosis sering terganggukarena beberapa
masalah khas yang terkaitdengan hidupdengan penyakit (Miller, 1997;
Murray,1995). Juga, ada kemungkinanbahwa perubahan faktor-faktor
psikososialseperti rasa sakit, kelelahan, energi, dan depresi mempengaruhi
cara di mana terapi autogenik peserta tercermin pada keterbatasan peran.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti menjadi tertarik untuk
mengetahui

Perbedaan

Tingkat

Kecemasan

pada

Lansia

yang

Menggunakam Terapi Relaksasi Otot Autogenik dan Tidak Menggunakan


Terapi Relaksasi Otot Autogenik di Pos Anggrek Bulan 04 RW 13
Kelurahan Sisir Batu.
1.2 RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Perbedaan Tingkat
Kecemasan pada Lansia yang Menggunakam Terapi Relaksasi Otot
Autogenik dan Tidak Menggunakan Terapi Relaksasi Otot Autogenik di
Pos Anggrek Bulan 04 RW 13 Kelurahan Sisir Batu.

1.3 TujuanPenelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaan Tingkat
Kecemasan pada Lansia yang Menggunakam Terapi Relaksasi Otot
Autogenik dan Tidak Menggunakan Terapi Relaksasi Otot Autogenik di
Pos Anggrek Bulan 04 RW 13 Kelurahan Sisir Batu.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkat kecemasan lansia yang dilatih Relaksasi Otot
Autogenik
2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan lansia tidak diberikan Relaksasi
Otot Autogenik
3. Menganalisis perbedaan kecemasan sebelum dan sesudah Relaksasi
Otot Autogenik

1.4 ManfaatPenelitian
1.4.1

Bagi Klien
Memberikan informasi mengenai tingkat kecemasan pada lansia

dan melakukan cara yang efektif dalam menurunkan kecemasan salah


satunya dengan melakukan teknik Relaksasi Otot Autogenik.
1.4.2 Bagi Tim Kesehatan
Sebagai informasi bagi perawat tentang tingkat kecemasan pada
lansia setelah mendapatkan Relaksasi Otot Autogenik dan dapat
mengajarkan teknik-teknik yang tepat untuk menurunkan kecemasan salah
satunya yaitu Relaksasi Otot Autogenik sebagai salah satu tindakan
independent keperawatan.
1.4.3 BagiPeneliti

Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta memperoleh


pengalaman dalam melaksanakan aplikasi riset keperawatan di tatanan
pelayanan kesehatan, khususnya penelitian tentang gambaran tingkat
kecemasan padalansia setelah mendapatkan Relaksasi Otot Autogenik.

Anda mungkin juga menyukai