Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep Dasar Lansia
2.1.1Pengertian Lansia
Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang
kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008).
Lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan tahap
lanjut dari suatu kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan
tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan, penurunan kemampuan
berbagai organ, fungsi dan sistem tubuh itu bersifat alamiah atau fisiologis.
Penurunan tersebut disebabkan berkurangnya jumlah dan kemampuan sel
tubuh. Pada umumnya tanda proses menua mulai tampak sejak usia 45
tahun dan akan menimbulkan masalah pada usia sekitar 60 tahun
(Pudjiastuti, 2003).
Menurut Constantindes (1994 dalam Nugroho 2000) menua adalah
suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas
(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus-menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai
sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
2.1.2Batasan-Batasan Lansia
Menurut WHO dalam Nugroho (1992) lanjut usia meliputi:

a. Usia Pertengahan (Middle Age), ialah kelompok usia 45 sampai 59


tahun.
b. Usia lanjut (Ederly) kelompok usia antara 60-70 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) kelompok usia antara 75-90 tahun.
d. Usia lanjut sangat tua (very old) kelompok diatas 90 tahun.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan
Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Perlu hati-hati
dalam mengidentifikasi penuaan. Bila seseorang mengalami penuaan
fisiologis (fisiological aging), diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat
(healthy aging). Penuaan ini sesuai dengan kronologis usia (penuaan
primer), dipengaruhi oleh faktor endogen, perubahan dimulai dari seljaringan-organ-sistem pada tubuh.
Bila penuaan banyak dipengaruhi oleh faktor eksogen yaitu
lingkungan, sosial budaya, gaya hidup disebut penuaan sekunder. Penuaan
ini tidak sesuai dengan kronologis usia dan patologis. Faktor eksogen juga
dapat mempengaruhi faktor endogen sehingga dikenal dengan faktor resiko.
Faktor resiko tersebut yang menyebabkan terjadinya penuaan patologis
(patological aging).
Penuaan sekunder yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh
trauma atau sakit kronis, mungkin pula terjadi perubahan degenertif yang
timbul karena stress yang dialami oleh individu. Stress itu dapat
mempercepat penyakit fisik yang berinteraksi dengan lansia (Pudjiastuti,
2003).
2.1.4 Proses Menua
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu
teori biologi, teori psikologis, dan teori sosial (Maryam, 2008).

2.1.4.1Teori Biologi
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology
slow teory, teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
a. Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, menua terprogram secara genetik
untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi sebagai contoh khas adalah mutasi dari selsel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsi sel).
Terjadi penggumpalan pigmen atau lemak dalam keadaaan teori,
akumulasi, dari produk sisa, sebagai contoh adalah pigmen lipofusin di sel
otot jantung dan sel susunan saraf pusat pada lansia yang mengakibatkan
terganggunya fungsi sel itu sendiri.
Pada teori biologi dikenal istilah pemakaian dan perusakan (wear
and tear) yang terjadi karena kelebihan usaha dan stres yang menyebabkan
sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga didapatkan
terjadinya peningkatan jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada
perlindungan terhadap radiasi, penyakit, dan kekurangan gizi.

b. Immunology slow theory


Menurut immunology slow teory, sistem imun menjadi efektif
dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh.
c. Teori stress

10

Teori stress mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel


yang biasa digunakan dalam tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress
yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
d. Teori radikal bebas
Radikal bebas terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organic
seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat
melakukan regenerasi.
e. Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang
tua atau usang menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen.
Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan, dan hilangnya
fungsi sel.
2.1.4.2Teori psikologis
Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring
dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat
dihubungkan pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang
efektif.
Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat
menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang
positif dapat menjadikan seseorang lansia mampu berinteraksi dengan
mudah dengan nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya.

11

Adanya penurunan dari intelaktualitas yang meliputi persepsi,


kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan
mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Persepsi merupakan
kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi
sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk
menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan
muncul aksi/reaksi berbeda dari stimulus yang ada.
Kemampuan kognitif dikaitkan dengan penurunan fisiologis organ
otak. Namun untuk fungsi-funsgi positif yang dapat dikaji ternyata
mempunyai fungsi tinggi, seperti simpanan informasi usia lanjut,
kemampuan memberi alasan secara abstrak, dan melakukan perhitungan.
Kemampuan belajar yang menurun dapat terjadi karena banyak hal.
Selain keadaan fungsional organ otak, kurangnya motivasi pada lansia juga
berperan. Motivasikan semakin menurun dengan menganggap lansia sendiri
merupakan beban bagi orang lain dan keluarga.
2.1.4.3 Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan,
yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri
(disengagement

theory),

teori

akitivitas

(activity

theory),

teori

kesinambungan (continuity theory), teori perkembangan (development


theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification theory).
a. Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu
situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Menurut

12

Simmons (1945) dalam Maryam (2008) mengemukakan bahwa kemampuan


lansia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk
mempertahankan status sosialnya atas dasar kemampuannya untuk
melakukan tukar-menukar.
Pada lansia, kekuasaan dan prestisenya berkurang, sehingga
menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah
harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.
b. Teori penarikan diri
Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan
mengakibatkan seseorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari
pergaulan di sekitarnya.
Selain hal tersebut, masyarakat juga perlu mempersiapkan kondisi
agar para lansia tidak menarik diri. Proses penuaan mengakibatkan interaksi
sosial lansia mulai menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Pada lansia juga terjadi kehilangan ganda (triple loss), yaitu
kehilangan peran (loss of roles), hambatan kontak sosial (restriction of
contacs and relationships), berkurangnya komitmen (reduced commitment
to social morales and values).
Menurut teori ini seorang lansia dinyatakan mengalami proses
penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan
dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi serta mempersiapkan diri
dalam menghadapi kematiannya.
c. Teori aktivitas

13

Teori aktivitas berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang


sukses adalah dengan cara tetap aktif. Kesempatan untuk turut berperan
dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi
dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia
(Stanley, 2006).
Dari pihak lansia sendiri terdapat anggapan bahwa proses penuaan
merupakan suatu perjuangan untuk tetap muda dan berusaha untuk
mempertahankan perilaku mereka semasa mudanya.
Pokok-pokok teori aktivitas adalah :
1) Moral dan kepuasan berkaitan dengan interaksi sosial dan keterlibatan
sepenuhnya dari lansia di masyarakat.
2) Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia.
Penerapan teori aktivitas ini sangat positif dalam penyusunan
kebijakan lansia, karena memungkinkan para lansia untuk berinteraksi
sepenuhnya di masyarakat (Maryam, 2008).
d. Teori kesinambungan
Menurut teori penarikan diri dan teori aktifitas, proses penuaan
merupakan suatu pergerakan dan proses yang searah, akan tetapi pada teori
kesinambungan merupakan pergerakan dan proses banyak arah, bergantung
dari bagaimana penerimaan seseorang terhadap siklus kehidupannya.
Kesulitan untuk menerapkan teori ini adalah bahwa sulit untuk
memperoleh gambaran umum tentang seseorang, karena kasus tiap orang
berbeda.
Pokok-pokok teori kesinambungan adalah sebagai berikut:

14

1) Lansia tak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif dalam
proses penuaan, tetapi berdasarkan pada pengalamannya di masa lalu,
lansia harus memilih peran apa yang harus dipertahankan atau
dihilangkan.
2) Peran lansia yang hilang tak perlu diganti.
3) Lansia berkesempatan untuk memilih berbagai macam cara untuk
beradaptasi.
e. Teori perkembangan
Erickson (1930) dalam Maryam (2008) membagi kehidupan menjadi
delapan fase yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Lansia yang menerima apa adanya.


Lansia yang takut mati.
Lansia yang merasakan hidup penuh arti.
Lansia yang menyesali diri.
Lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan.
Lansia yang kehidupannya berhasil.
Lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri.
8) Lansia yang perlu menemukan integritas diri melawan keputusasaan
(ego integrity vs depair).
Havigrust dan Duvali (dalam Hardywinoto, 1991 ) menguraikan
tujuh jenis tugas perkembangan (development tasks) selama hidup yang
harus dilaksanakan oleh lansia, yaitu:

1)Penyesuian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis.


2)Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan.
3)Menemukan makna kehidupan.
4)Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan.
5)Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga.
6)Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia.
7)Menerima dirinya sebagai seorang lansia.
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua
merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagi
tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi,

15

teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan
atau yang seharusnya diterapkan pada lansia tersebut.
Pokok-pokok dalam teori perkembangan adalah sebagai berikut.
1) Masa

tua

merupakan

saat

lansia

merumuskan

seluruh

masa

kehidupannya.
2) Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial
yang baru, yaitu pensiunan dan atau menduda atau menjanda.
3) Lansia harus menyesuaikan diri sebagai akibat perannya yang berakhir
di dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan sosialnya akibat
pensiun, serta ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-temannya.
f. Teori stratifikasi usia
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang
dilakukan

bersifat

deterministik

dana

dapat

dipergunakan

untuk

mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap


kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya
dengan kelompok usia lainnya.
Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk
menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat
kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok
etnik.
g. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan presepsi individu tentang arti
kehidupan. James Fowler mengungkapkan tujuh tahap perkembangan

16

kepercayaan. Fowler juga meyakini bahwa kepercayaan/demensia spiritual


adalah suatu kekuatan yang member arti bagi kehidupan seseorang.
Fowler menggunakan istilah kepercayaan sebagai suatu bentuk
pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir. Menurutnya,
kepercayaan adalah suatu fenomena timbal balik, yaitu suatu hubungan aktif
antara seseorang dengan orang lain dalam menanamkan suatu keyakinan,
cinta

kasih,

dan

harapan.Fowler

meyakini

bahwa

perkembangan

kepercayaan antara orang dan lingkungan terjadi karena adanya kombinasi


antara nilai-nilai dan pengetahuan. Fowler juga berpendapat bahwa
perkembangan spiritual pada lansia berada pada tahap penjelmaan dari
prinsip cinta dan keadilan (Maryam, 2008).
2.1.5 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial,
dan psikologis dalam Maryam, 2008 yaitu;
1. Perubahan fisik pada lansia meliputi sel berkurang jumlahnya, ukuran
membesar, cairan tubuh menurun dan cairan intrasel menurun, katup
jantung menebal dan kaku, kemampuan

jantung memompa darah

menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh


darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
sehingga tekanan darah meningkat, otot pernafasan kekuatan menurun
dan kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat
sehingga menarik napas lebih berat, alveoli melebar, dan jumlahnya
menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada
bronkus, saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta

17

lambat dalam merespons dan waktu bereaksi khususnya yang


berhubungan dengan stress. Berkurangnya atau hilangnya lapisan
mielin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya respons motorik
dan

reflex,

cairan

tulang

menurun

sehingga

mudah

rapuh

(osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi


kaku (atropi otot), kram, tremor, tendon mengerut, dan mengalami
skerosis, esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun,
dan peristaltik menurun senhingga daya absorpsi juga ikut menurun.
Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun
sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim
pencernaan, ginjal mengecill, aliran darah ke ginjal menurun,
penyaringan di glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun
sehingga kemampuan mengonsentrasi urin ikut menurun, retensi urin,
pada endokrin produksi hormone menurun, keriput serta kulit kepala
dan rambut menipis. Rambut dalam hidung dan telinga menebal,
kemampuan belajar masih ada tapi relatif menurun. Memori (daya
ingat) menurun karena proses encoding menurun.
2. Perubahan Sosial pada lansia meliputipost power syndrome, single
women, kesendirian, kehampaan, cepat pikun, kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan yang cocok bagi lansia dan income security,
jatuh, terpeleset, merasa dibuang/diasingkan jika tinggal dipanti jompo.
3. Perubahan Psikologis pada lansia meliputi;
Perubahan psikologis pada lansia short term memory, frustasi, kesepian,
takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan
keinginan, depresi, dan kecemasan (Maryam, 2008).

18

Menurut Boedi Darmojo (2004), menjadi tua bukanlah suatu penyakit


atau sakit, tetapi suatu perubahan dimana kepekaan bertambah atau
batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang yang sering dikenal
dengan geriatric giant. Dimana lansia mengalami 13i, yaitu
immobilisasi, instabilitas (mudah jatuh), intelektualitas terganggu
(demensia), isolasi (depresi), inkontinensia, impotensi, imunodefisiensi,
infeksi mudah terjadi, impaksi (konstipasi), iatrogenesis (salah
diagnosis),

insomnia,penglihatan,

pendengaran,

pengecapan,

penciuman, komunikasi dan integritas kulit, inaniation (malnutrisi) .


4. Perubahan psikososial
Perubahan psikososial meliputi kehilangan financial, kehilangan status
yang pernah dijabatnya, kehilangan teman atau relasi, kehilangan
pekerjaan, penyakit kronis dan ketidakmampuan.
5. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya dan
lansia semakin matur dalam kehiduoan keagamaan, hal ini terlihat
dalam berfikir atau bertindak sehari-hari.
2.1.6 Masalah Kesehatan Jiwa Yang Sering Timbul Pada Lansia
Masalah kesehatan jiwa yang sering timbul pada lansia meliputi
kecemasan, depresi daninsomnia.
1. Kecemasan
Gejala-gejala kecemasan yang dialami oleh lansia adalah perasaan
khawatir atau takut yang tidak rasional akan kejadian yang akan terjadi,
sulit tidur sepanjang malam, rasa tegang dan cepat marah, sering
mengeluh akan gejala yang ringan atau takut/khawatir terhadap
penyakit yang berat, misalnya kanker dan penyakit jantung yang

19

sebenarnya tidak dideritanya, sering membayangkan hal-hal yang


menakutkan, rasa panik terhadap masalah yang ringan (Maryam, 2008).
2. Depresi
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang paling sering
didapatkan pada lansia. Gejala-gejalanya adalah sering mengalami
ganggun tidur atau sering terbangun sangat pagi yang bukan merupakan
kebiasaan sehari-hari, sering kelelahan, lemas, dan kurang dapat
menikmati kehidupan sehari-hari, kebersihan dan kerapihan diri sering
diabaikan, cepat sekali menjadi marah atau tersinggung, daya
konsentrasi berkurang, pada pembicaraan sering disertai topikyang
berhubungan dengan pesimis atau perasaan putus asa, berkurang atau
hilangnya nafsu makan sehingga berat badan menurun secara cepat,
kadang-kadang dalam pembicaraannya ada kecenderungan untuk bunuh
diri. Depresi dapat timbul secara spontan ataupun sebagai reaksi
terhadap perubahan-perubahan dalam kehidupan, seperti cacat fisik
natau mental seperti stroke atau dimensia, sehingga menjadi sangat
bergantung pada orang lain., suasana duka cita, meninggalnya pasangan
hidup (Maryam, 2008).
3. Insomnia
Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah, yang terkadang dapat
mengganggu kenyamanan anggota keluarga lain yang tinggal serumah.
Perubahan pola tidur dapat berupa tidak bisa tidur sepangjang malam
dan sering terbangun pada malam hari, sehingga lansia melakukan
kegiatannya pada malam hari. Bila hal ini terjadi, carilah penyebab dan
jalan keluar sebaik-baiknya. Penyebab insomnia pada lansia adalah

20

kurang kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga mereka masih
semangat sepanjang malam, tertidur sebentar-bentar sepanjang hari,
gengguan cemas dan depresi, tempat tidur dan suasana kamar kurang
nyaman, sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum
pada malam hari, infeksi saluran kemih (Maryam, 2008).
Ada beberapa faktor resiko yang mendukung terjadinya masalah
kesehatan jiwa pada lansia adalah kesehatan fisik yang buruk, perpisahan
dengan pasangan, perumahan dan transportasi yang tidak memadai, sumber
finansial berkurang, dan dukungan sosial berkurang (Maryam, 2008).

2.2Konsep Dasar Kecemasan


2.2.1Pengertian Kecemasan
Cemas adalah suatukeadaan dimana individu/kelompok mengalami
perasaan yang sulit (ketakutan) dan sistem saraf otonom berespon terhadap
ketidakjelasan, ancaman tidak spesifik (Carpenito, 2000). Menurut Stuart
(2006) kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan adalah
perasaan yang tidak menyenangkan atau ketakutan yang tidak jelas dan
hebat. Ini terjadi sebagai reaksi terhadap suatu yang dialami oleh seseorang
(Nugroho, 2000).Kecemasan merupakan respons individu terhadap suatu
keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup
dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif
dari individu dan tidak dapat diobservasi secara langsung sertamerupakan
suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik(Suliswati, 2005).Kecemasan

21

dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart,


2006).
2.2.2 Pencetus Kecemasan
Stressor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang
dapat mencetuskan timbulnya kecemasan. Menurut Suliswati (2005)
stressor presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian:
1. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam
integritas fisik meliputi:
a. Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis system
imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misal
hamil)
b. Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan
bakteri, polutan, lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak
adekuatnya tempat tinggal.
2. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.
a. Sumber internal: kesulitan dalam berhubungan interpersonal di
rumah dan di tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.
Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam
harga diri.
b. Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai, peceraian,
perubahan ststus pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
2.2.3Penyebab Kecemasan
Menurut Stuart (2006) berbagai teori telah dikembangkan untuk
menjelaskan asal kecemasan meliputi;
1. Dalam pandangan psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional
yang terjadi antara dua elemen kepribadian-id dan superego. Id
mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan

22

superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh


norma-norma budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi
dua tuntutan dari elemen yang bertentangan, dan fungsi kecemasan
adalah mengikatkan ego bahwa ada bahaya.
2. Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan
takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.
Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti
perpisahan dan kehilangan,yang menimbulkan kelemahan spesifik.
Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami
perkembangan kecemasan yang berat.
3. Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan produk frustasi
yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku lain
menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan untuk belajar
berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Pakar
tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam
kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih
sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya. Ahli teori
konflik memandang ansietas

sebagai pertentangan antara dua

kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini adanya hubungan


timbal balik antara konflik dan ansietas: konflik, menimbulkan ansietas,
dan ansietas menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya
meningkatnya konflik yang dirasakan.
4. Kajian keluarga, menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan
hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpah tindih dalam
gangguan kecemasan dan antara gangguan kecemasan dengan depresi.

23

5. Kajian biologis, menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus


untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur
kecemasan.
Menurut Suliswati (2005), Stressor predisposisi atau semua
ketegangan dalam kehidupan yang dapat menimbukaan kecemasan dapat
berupa :
1. Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan
dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau
situsional.
2. Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan
dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan atau
kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.
3. Konsep diri terganggu akan menimbulkan rasa ketidakmampuan
individu

berpikir

secara

realitas

sehingga

akan

menimbulkan

kecemasan.
4. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil
keputusan yang berdampak terhadap ego.
5. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan
ancaman terhadap integritas fisik yang dapat memengaruhi konsep diri
individu.
6. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress
akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap konflik yang
dialami kerena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dala
keluarga.
7. Riwayat kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respons
individu

dalam

berespons

terhadap

konflik

dan

mengatasi

kecemasannya.
8. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan
yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepin dapat menekan

24

nurotransmiter gamma aminobutyric acic (GABA) yang mengontrol


aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan
kecemasan.
2.2.4 Pembagian Tingkat Kecemasan dan Gejala Kecemasan
Tingkat Kecemasan Stuart dan Sunden (2006) mengidentifikasikan
tingkat kecemasan dapat dibagi menjadi :
1) Kecemasan ringan.
Pada tingkat kecemasan ringan yang berhubungan dengan ketegangan
dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan individu menjadi
waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
Menurut Carson dan Arnold (1996) respon fisiologis kecemasan ringan
adalah peningkatan denyut nadi, tekanan darah, dan denyut jantung
sesuai dengan respon respons simpatis. Respon Emosi adalah afek
positif,

respon

kognitif

yaitu

waspada

serta

memungkinkan

penyelesaian masalah, serta respon subjektif menunjukkan perhatian.


2)Kecemasan sedang.
Pada tingkat Kecemasan sedang memungkinkan individu untuk
berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.
Kecemasan ini mempersempit lapang persepsi indidvidu. Dengan
demikian individu mengalami perhatian yang selektif namun dapat
berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.
Menurut Carson dan Arnold (1996) respon fisiologis kecemasan sedang
adalah ketegangan otot, keringat berlebih, dilatasi pupil, peningkatan

25

nadi, peningkatan tekanan darah, peningkatan kecepatan nafas,


vasokontriksi perifer. Respon Emosi adalah mengalami ketegangan,
ketakutan, respon kognitif yaitu perhatian terfokus pada masalah yang
dihadapi, masih dapat menerima hal lain walaupun tidak berhubungan
dengan yang sedang dihadapi, serta respon subjektif merasa sendiri dan
butuh pertolongan, tangan berkeringat, peka dan sensitif.
3) Kecemasan berat.
Pada tingkat Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi
seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang
terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal ini. Semua
perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut
memerlukan banyak arahan untuk dapat memusatkan pada suatu area
lain. Menurut Carson dan Arnold (1996) respon fisiologis kecemasan
berat adalah respon saraf simpatis meningkat, mulut kering, akral terasa
dingin. Respon Emosi adalah distress (tekanan), gemetaran, respon
kognitif yaitu lapang persepsi menyempit, fokus pada masalah yang
dihadapi, tidak dapat melakukan proses belajar, serta respon subjektif
mengalami sesak nafas, merasa tidak waras, gangguan visual,
hiperaktivitas.
4) Panik
Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terpengarah, ketakutan
dan

teror.

Rincian

terpecah

dari

proporsinya.

Karena

mengalamikehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak


mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik

26

melihatkan

disorganisasi

kepribadian.

Dengan

panic,

terjadi

peningkatkan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk


berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpangnya, dan
kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak
sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu
yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.
Menurut Carson dan Arnold (1996) respon fisiologis panik adalah
perubahan simpatis yang berlanjut. Respon Emosi adalah reaksi emosi
berlebihan, mungkin kembali pada perilaku koping primitif, respon
kognitif yaitu respon hanya terhadap tekanan internal, serta respon
subjektif memiliki perasaan semakin dekat dengan kematian, nyeri
dada, ketidaknyamanan.
Responadaptif

antisipasi

Respon Maladaptif

ringan

sedang

berat

panik

Gambar 2.1 Rentang Respon Ansietas


2.2.5Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Menurut Carpenito (1999) faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan adalah:
1. Situasi (personal, lingkungan)
Berhubungan dengan nyata atau merasa teganggu pada integritas
biologis sekunder terhadap serangan, prosedur invasif dan penyakitnya.
Adanya perubahan nyata atau merasakan adanya perubahan lingkungan
sekunder terhadap perawatan di rumah sakit.
2. Maturasional

27

Tingkat maturasi individu akan memengaruhi tingkat kecemasan. Pada


bayi kecemasan lebih disebabkan karena perpisahan, lingkungan atau
orang yang tidak dikenal dan perubahan hubungan dalam kelompok
sebaya.

Kecemasan

pada

remaja

mayoritas

disebabkan

oleh

perkembangan seksual. Pada dewasa berhubungan dengan ancaman


konsep diri, sedangkan pada lansia kecemasan berhubungan dengan
kehilangan fungsi.
3. Tingkat pendidikan
Individu dengan berpendidikan tinggi akan mempunyai koping yang
lebih baik dari pada yang berpendidikan rendah sehingga dapat
mengeliminir kecemasan yang terjadi.
4. Karakter stimulus
a. Intensitas stresor
b. Lama stresor
c. Jumlah stressor
5. Karakter Individu
a. Makna stesor bagi individu
b. Sumber yang dapat dimanfaatkan dan respon koping
c. Status kesehatan individu
Faktor yang mempengaruhi kecemasan pada Lansia adalah sebagai
berikut:
a. Faktor internal
Menurut Noorkasiani (2009),

Usia lanjut dalam pengalaman

hidupnya tentu diwarnai oleh masalah psikologi berupa kehilangan dan


kecemasan. Adapun mekanisme koping pada usia lanjut dipengaruhi faktorfaktor :
1. Umur
Semakin bertambah usia atau umur seseorang semakin siap pula dalam
menerima cobaan, hal ini didukung oleh teori aktivitas yang menyatakan

28

bahwa hubungan antara sistem sosial dengan individu bertahan stabil


pada saat individu bergerak dari usia pertengahan menuju usia tua.
2. Jenis kelamin
Perbedaan gender juga dapat merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada bentuk
adaptasi yang digunakan.
3. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman
hidup yang dilaluinya, sehingga akan lebih siap dalam menghadapi
masalah yang terjadi.
4. Motivasi
Adanya motivasi akan sangat membantu individu dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah.
5. Kondisi fisik
Menurut Nugroho (2000), di kemukakan adanya empat proses
penyakit yang sangat erat hubungannaya dengan proses menua, yakni:
a) Gangguan sirkulasi darah. Seperti: hipertensi, kelainan pembuluh
darah, gangguan pembuluh darah di otak (koroner), dan ginjal.
b) Gangguan metabolik hormonal seperti: diabetes, minitus,
klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid.
c) Gangguan pada persendian, seperti osteoporosis, goutartritis, ataupun
penyakit kolagen lainnya.
d) Berbagai neoplasma.
b.

Faktor eksternal

1)

Dukungan sosial

29

Weiss (Cutrona dkk, 1994) dalam Kuntjoro (2002) mengemukakan


adanya 6 (enam) komponen dapat berdiri sendiri-sendiri, namun satu sama
lain sering berhubungan yaitu:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Kerekatan emosional.
Integrasi sosial
Pengakuan
Ketergantungan yang dapat diandalkan
Bimbingan
Kesempatan untuk mengasuh

2)

Dukungan keluarga
Friedman (1998) bahwa keluarga berfungsi sebagai sistem

pendukung bagi anggotanya. Smet (1994) Friedman (1998) menjelaskan


bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan, yaitu:
a)

Dukungan informasional

b)

Dukungan penilaian

c)

Dukungan instrumental

d)

Dukungan emosional

2.2.6

Cara Penilaian Tingkat Kecemasan


Ada beberapa test kecemasan dengan pertanyaan langsung,

mendengarkan keluhan klien, serta mengobservasi terutama perilaku non


verbalnya. Menurut Daniel L (2010), kecemasan pada lansia dapat diukur
dengan pengukuran tingkat kecemasan yaitu GAS (Geriatric Anxiety Scale).
Skala GAS merupakan pengukuran kecemasan yang mengkaji 3
subkomponen yaitu gejala somatik, afektif, dan kognitif.
Menurut Daniel L (2010) ukuran skala kecemasan rentang respon
kecemasan dapat ditentukan dengan Geriatric Anxiety Scale gejala yang ada

30

dengan menggunakan pertanyaan yang terdiri dari 9 gejala somatik, 8 gejala


afektif, dan 8 gejala kognitif seperti dibawah ini:
No
1.

Subkomponen
Somatik

Pertanyaan ke1
2
3
8
9
17
21
22
23

2.

Kognitif

5
12
16
18
19
24
25
3.

Afektif

6
7
10
11
13
14

31

Pertanyaan
Apakah Anda merasa jantung berdebar
kencang dan kuat?
Apakah nafas Anda pendek?
Apakah Anda mengalami gangguan
pencernaan?
Apakah Anda sulit untuk tidur?
Apakah Anda kesulitan untuk tetap
tertidur/tidak nyenyak?
Apakah Anda sulit untuk duduk diam?
Apakah Anda merasa lelah?
Apakah Anda merasa otot-otot tegang?
Apakah Anda mengalami sakit
punggung, sakit leher, atau otot kram?
Apakah Anda merasa seperti hal yang
tidak nyata atau diluar diri Anda
sendiri?
Apakah
Anda
merasa
seperti
kehilangan kontrol?
Apakah Anda mengalami kesulitan
berkonsentrasi?
Apakah
Anda
merasa
seperti
pusing/bingung?
Apakah Anda merasa terlalu khawatir?
Apakah
Anda
tidak
bisa
mengendalikan kecemasan Anda?
Apakah Anda merasa hidup Anda
tidak terkontrol?
Apakah Anda merasa sesuatu yang
menakutkan akan terjadi?
Apakah Anda takut dihakimi oleh
orang lain?
Apakah
Anda
malu/takut
dipermalukan?
Apakah Anda mudah tersinggung?
Apakah Anda mudah marah?
Apakah Anda mudah terkejut?
Apakah Anda kurang tertarik dalam
melakukan sesuatu yang Anda
senangi?

15

Apakah Anda merasa terpisah atau


terisolasi dari orang lain?
Apakah Anda merasa gelisah, tegang?

20

Menurut Daniel L (2010) skoring tingkat kecemasan dengan cara


menyakan kepada responden seberapa sering mengalami masing-masing
gejala selama 1 minggu terakhir. Penilaian menggunakan tipe skala likert 4
point dengan rentang dari 0 (tidak pernah sama sekali) hingga 3 (sering).
Adapun cara penilaiannya adalah dengan sistem skoring tersebut yaitu:
Nilai 0 = Tidak pernah sama sekali
Nilai 1 = Pernah
Nilai 2 = Jarang
Nilai 3 = Sering
Rentang hasil skor dari 0 hingga 75, semakin tinggi skor
mengindikasikan semakin level kecemasan tertinggi.
Nilai 0-18

: level minimal dari kecemasan

Nilai 19-37

: kecemasan ringan

Nilai 38-55

: kecemasan sedang

Nilai 56-75

: kecemasan berat

2.2.7

Penatalaksanaan Cemas

32

Menurut Long (1996) kecemasan dapat ditanggulangi melalui dua


tindakan yaitu:
1. Tindakan Farmakologis
Dalam berbagai kondisi pasien mungkin memerlukan obat-obat
anticemas untuk mengetahui gejal-gejala kecemasan. Obat anti cemas
dapat digolongkan kedalam ke dua kelompok yaitu : benzodiazepin dan
nonbenzodiazepin. Dosis benzodiazepin lebih kecil bagi orang-orang
usia lanjut yang metabolismenya lambat. Benzodiazepin sangat sering
dianjurkan sebagai obat anti cemas daripada nonbenzodiazepin karena
obat ini bereaksi dengan menghambat perpindahan impuls dari sistem
limbik obat (septum, amyglada dan hypothalamus).
2. Tindakan Non Farmakologis
Taylor, 1997 menyebutkan bahwa terdapat lima tindakan non
farmakologis yang dapat digunakan oleh perawat untuk menurunkan
a.
b.
c.
d.
e.

kecemasan. Tindakan non farmakologis tersebut meliputi:


Relaksasi
Meditasi
Petunjuk yang diantisipasi
Biofeedbeck
Petunjuk perumpamaan
Latihan relaksasi digunakan dalam banyak situasi kelahiran, nyeri,

cemas, tidak bisa tidur, marah dan lainnya. Relaksasi menawarkan


perlawanan reaksi tubuh terhadap respons mengurangi pernafasan, denyut
nadi dan kecepatan metabolik, tekanan darah dan penggunaan energi.
Relaksasi dapat diterapkan pada individu atau kelompok khususnya bagi
mereka yang membutuhkan. Teknik relaksasi yang digunakan bermacammacam yaitu; relaksai nafas dalam, relaksasi respon benson, dan relaksasi
progressif.

33

2.2.8 Konsep Terapi Relaksasi Otot Autogenik


2.2.9 Pengertian
Menurut Ignativiticious (1995) relaksasi Autogenik adalah metode
yang terdiri dan peregangan dan relaksasi sekelompok dan memokuskan
pada perasaan rileks. Relaksasi autogenik adalah cara yang efektif untuk
relaksasi dan mengurangi kecemasan.
2.2.10 Tujuan Terapi Relaksasi Otot Autogenik
1.Mengurangi kecemasan klien
2.Mengurangi rasa nyeri
3.Mengurangi insomnia
4.Menurunkan tingkat depresi
5.Meningkatkan kontrol diri
Hal ini dapat mengurangi ketegangan dan kejemuan otot yang
biasanya menyertai nyeri. Menurut ahli fisiologis dan psikologis Edmun
Jacobson yang menjadi pelopor relaksasi autogenikMenurut Edmun
Jacobson dalam bukunya yang berjudul autogenic Relaxation pada tahun
1929 menjelaskan bahwa teknik relaksasi autogenik ini dirancang untuk
menghilangkan ketegangan dengan cara mengerutkan berbagai kelompok
otot ditubuh dan melepaskan tegangan secara perlahan-lahan (Neville,
1995). Teknik ini didasarkan pada keyakinan bahwa tubuh berespon pada
ansietas yang merangsang, pikiran dan kejadian dengan pengalaman
subjektif terhadap stress/ansietas (Davis, 1995). Ketidaksadaran terhadap
adanya ketegangan di otot dapat menurun keletihan otot, peredaran darah
yang buruk, kejang, dan kekakuan serta akan memperparah problem nyeri
(Neville, 1995). Relaksasi otot yang dalam menurunkan ketegangan
fisiologis dan berlawanan dengan ansietas sehingga akan menurunkan
denyut nadi, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan. Respon relaksasi
mempunyai

efek

penyembuhan

34

yang

memberi

kesempatan

untuk

beristirahat dan stress lingkungan eksternal dan stress internal dan pikiran.
Hal ini menghindari penggunaan semua tenaga vital saat bereaksi terhadap
stressor, respon relaksasi, mengembalikan proses fisik, mental dan emosi
(Davis, 1995) .
2.2.11 Indikasi
1.Lansia yang mengalami gangguan tidur
2.Lansia yang sering mengalami stress
3.Lansia yang mengalami kecemasan
4.Lansia yang mengalami depresi
2.2.12 Hal-Hal yang Harus diperhatikan Dalam Melakukan Relaksasi
Otot Autogenik
Dalam melaksanakan teknik relaksasi progresif juga harus
memperhatikan empat komponen utama, yaitu lingkungan yang tenang
(menghindarkan sebanyak mungkin kebisingan dan gangguan-gangguan),
posisi yang nyaman (duduk tanpa ketegangan otot), sikap yang dapat diubah
(mengosongkan semua pikiran dari alam sadar), keadaan mental (fisiologis)
sehingga akan kooperatif saat pelaksanaan (Taylor, 1997).
2.2.13 Petunjuk Pelatihan
Relaksasi otot autogenik memberikan cara mengidentifikasi otot dan
kumpulan otot tertentuserta membedakan antara perasaan tegang dan
relaksasi dalam. Empat kelompok otot yang utama yang meliputi: pertama,
tangan, lengan bawah, dan otot biseps, kedua, kepala, muka, tenggorokan
dan bahu, termasuk pemusatan perhatian pada dahi, pipi, hidung, mata,
rahang, bibir, lidah dan leher. Sedapat mungkin perhatian dicurahkan pada
kepala, karena dari pandangan emosional, otot yang paling penting dalam
tubuh berada di sekitar area ini, ketiga, dada, lambung, dan panggung
bagian bawah, keempat, paha, pantat, betis dan kaki.

35

Menurut Davis (1995) relaksasi bertahap dapat dipraktekkan dengan


berbaring atau duduk di kursi dengan kepala ditopang. Tiap otot atau
kelompok otot diteganggang selama lima sampai tujuh detik dan
direlaksasikan dua belas sampai lima belas detik. Prosedur ini diulang
paling tidak satu kali. Jika area ini tetap tegang, dapat dipraktekkan lagi
sampai lima kali.Petunjuk RelaksasiOtot Autogenik di bagi dalam dua
bagian. Bagian pertama, relaksasi pada otot tubuh yang paling sering
tegang. Bagian kedua, menegangkan dan merileksasikan beberpa otot secara
simultan sehingga relaksasi otot autogenik dapat dicapai dalam waktu
sangat singkat.
2.2.14 Cara Melakukan Relaksasi Otot Autogenik
Menurut Alim (2010) cara melakukan relaksasi autogenik sebagai
berikut;
1. Menjelaskan tujuan latihan pada klien
2. Menciptakan ruangan yang nyaman
3. Memposisikan klien untuk duduk atau berbaring dengan nyaman

Gerakan Relaksasi Otot Autogenik adalah:


1. Melatih setiap gerakan pada klien untuk memejamkan mata dengan
perlahan diikuti dengan menarik nafas dan menghembuskan nafas
bersamaan dengan merilekskan otot.
2. Gerakan pertama ditujukan untuk melatih otot yangan yang dilakukan
dengan cara menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
Klien diminta membuat kepalan semakin kuat, sambil merasakan
sensasi ketegangan yang terjadi. Pada saat kepalan dilepaskan, klien
dipandu untuk merasakan rileks selama 12 detik. Gerakan pada tangan
kiri ini dilakukan dua kalisehingga klien dapat membedakan perbedaan

36

antara ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami. Prosedur


serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.
3. Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian
belakang. Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke
belakang pada pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian
belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari menghadap ke langitlangit.
4. Gerakan ketiga adalah untuk melatih otot-otot biseps. Otot biseps
adalah otot besar yang terdapat di bagian atau pangkal lengan. Gerakan
ini diawali dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi
kepalan kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otototot biseps akan menjadi tegang.
5. Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Relaksasi
untuk mengendurkan bagian otot-otot bahu dapat dilakukan dengan
cara mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan
dibawa hingga menyentuh kedua telinga. Fokus perhatian gerakan ini
adalah kontras ketegangan yang terjadi di bahu, punggung atas, dan
leher.
6. Gerakan kelima sampai kedelapan adalah gerakan-gerakan yang
ditujukan untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang
dilatih adalah otot-otot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk
dahi dapat dilakukan dengan cara mengerutkan dan dan alis sampai
otot-ototnya terasa dan kulitnya keriput.
7. Gerakan keenam ditujukan untuk mengendurkan otot-otot mata diawali
dengan menutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan
di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.

37

8. Gerakan ketujuh ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang


dialami oleh otot-otot rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti
dengan menggigit gigi-gigi sehingga ketegangan di sekitar otot-otot
rahang.
9. Gerakan kedelapan ini dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar
mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan
ketegangan di sekitar mulut.
10. Gerakan kesembilan dan kesepuluh ditujukan untuk merilekskan otototot leher bagian depan dan belakang. Gerakan ini diawali dengan otot
leher bagian belakang baru kemudian otot leher bagian depan. Klien
dipandu meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat, kemudian
diminta untuk menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi
sedemikian rupa sehingga klien dapat merasakan ketegangan di bagian
belakang leher dan punggung atas.
11. Gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan, ini
dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka, kemudian klien
diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga dapat
meraskan ketegangan di daerah leher bagian muka.
12. Gerakan kesebelas bertujuan untuk melatih otot-otot punggung.
Gerakan ini dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari
sandaran kursi, kemudian punggung dilengkungkan, lalu busungkan
dada. Kondisi tegang dipertahankan selama 10 detik, kemudian rileks.
Pada saat tubuh rileks, letakkan kembali ke kursi sambil membiarkan
otot-otot menjadi lemas.
13. Gerakan keduabelas dilakukan untuk melemaskan otot-otot dada. Pada
gerakan ini, klien diminta untuk menarik nafas panjang untuk mengisi
paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Posisi ini ditahan selama

38

beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian


turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, klien dapat bernafas
normal dengan lega. Sebagaimana dengan gerakan yang lain, gerakan
ini diulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara
kondisi tegang dan rileks.
14. Gerakan ketigabelas bertujuan untuk melatih otot perut. Gerkan ini
dilakukan dengan cara menarik kuat-kuat ke dalam, kemudian
menahannya sampai perut menjadi kencang dan keras. Setelah 10 detik
dilepaskan bebas, kemudian diulangi kembali seperti gerakan awal
untuk perut ini.
15. Gerakan keempatbelas dan kelimabelas adalah gerkan untuk otot-otot
kaki. Gerakan ini dilakukan secara berurutan. Gerakan keempatbelas
bertujuan untuk melatih otot-otot paha, dilakukan dengan cara
meluruskan kedua belah telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
Gerakan ini dilanjutkan dengan mengunci lutut, sehingga ketegangan
pindah ke otot-otot betis.
Jacobson percaya, jika kita bisa belajar mengistirahatkan otot-otot
kita melalui suatu cara yang tepat, maka hal ini akan diikuti relaksasi mental
atau pikiran. Teknik yang digunakan Jacobson terdiri dari peregangan dan
pengenduran berbagai kelompok otot di seluruh tubuh dalam sekuen yang
teratur. Jacobson terus menyempurnakan dan mengembangkan teknik
relaksasi autogenik ini, dan berbagai kalangan telah menggunakan untuk
mengatasi barbagai keluhan yang berhubungan dengan stress seperti
kecemasan, tukak lambung, hipertensi, dan insomnia. Latihan relaksasi
autogenik yang dilaksanakan 20-30 menit, satu kali sehari secara teratur

39

selama satu minggu cukup efektif dalam menurunkan insomnia.


(Jacobson,1974 dalam Davis, 1995).
2.3 Pengaruh Relaksasi Otot AutogenikTerhadap Kecemasan Lansia
Menurut Edmun Jacobson (Zimbardo1929) dijelaskan bahwa
Relaksasi Otot Autogenikmerupakan teknik relaksasi otot ke dalam yang
tidak memerlukan imajinasi, ketekunan dan sugesti. Teknik ini didasarkan
pada keyakinan bahwa tubuh berespon pada ansietas yang merangsang
pikiran dan kejadian dengan peregangan otot. Ketegangan fisiologis
meningkatkan pengalaman subjektif terhadap cemas (ansietas). Relaksasi
otot autogenik yang dalam menurunkan ketegangan fisiologis yang
sehubungan dengan ansietas. Relaksasi otot autogenik akan menurunkan
denyut nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan yang merupakan obat
ansietas yang baik untuk diterapkan.
Ketika lansia mengalami stress (ketegangan emosional), maka
beberapa otot akan mengalami ketegangan sehingga mengaktifkan system
saraf simpatis. Pada kondisi stress, secara fisiologis tubuh akan mengalami
respon yang dinamakan respon fight or flight. Respon ini memerlukan
energi yang cepat, sehingga hati melepaskan lebih banyak glukosa untuk
menjadi bahan bakar otot, dan terjadi pula pelepasan hormon yang
menstimulasi perubahan lemak dan proteinmenjadi gula. Metabolisme
tubuh meningkat sebagai persiapan untuk pemakaian energi pada tindakan
fisik. Kecepatan jantung tekanan darah, dan kecepatan pernafasan
meningkat, serta otot menjadi tegang. Pada saat yang sama aktivitas
tertentu yang tidak diperlukan (seperti pencernaan) dihentikan. Sebagian
besar perubahan fisiologistersebut terjadi akibat aktivitas dan system

40

neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu system simpatis


dan sistem kortek adrenal. Aktifnya saraf simpatis membuat lansia tidak
dapat sentral atau rileks sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk.
Sistem saraf simpatis (SNS) menstimulasi medulla kelenjar adrenal untuk
mengeluarkan hormone epineprin dan nor epineprin ke aliran darah. Hal
ini merangsang timbulnya stimuli substansi kimia yang disebut
neurotransmiter untuk dilepaskan yaitu serotonin dan histamine, hipoksia
juga menghasilkan asam laktat yang berasal dari metabolisme anaerob.
Relaksasi Otot autogenik merupakan salah satu cara modifikasi stimuli
nyeri, mengurangi ketegangan dan kejemuan otot yang menyebabkan saraf
simpatis berkurang jumlahnya, bila saraf simpatis dapat dikendalikan
maka tubuh akan kembali normal. Dari sini dapat diketahui bahwa
Relaksasi Otot Autogenikdapat mengendalikan saraf simpatis, tubuh akan
kembali normal, metabolisme berkurang, penggunaan oksigen berkurang,
terjadilah vasodilatasi sehingga metabolism menjadi aerob. Perangsangan
substansi kimia berhenti sehingga cemas dapat berkurang.
Melalui latihan relaksasi lansia dilatih untuk dapat memunculkan
respon relaksasi sehingga dapat mencapai keadaan tenang. Respon
relaksasi ini terjadi melalui penurunan bermakna dari kebutuhan zat
oksigen oleh tubuh, yang selanjutnya aliran darah akan lancar,
neurotransmiter penenang akan dilepaskan, system saraf akan bekerja
secara baik otot-otot tubuh yang relaks menimbulkan perasaan tenang dan
nyaman (Purwanto, 2007).
Pada tubuh manusia internal mempunyai mekanisme koping yang
membantu mengkontrol persepsi cemas. Pada sistem saraf pusat endogen

41

opiate morfin reseptor dari sistem analgesia yang berasal dari otak yang
disebut beta endhorphin, zat ini dihasilkan dari latihan-latihan dan bentuk
lain seperti stimulus fisik diantaranya dengan relaksasi progressif.
Beberapa ahli meyakini bahwa kegiatan ini akan menambah atau
meningkatkan produksi endorphin (Rosdhal, 1999). Menurut Guyton
(1994) kemampuan otot sendiri untuk mengatur besarnya signal sakit yang
masuk ke dalam system saraf dengan cara pengaturan rasa sakit yang
dimaksud sistem analgesia. Dengan teknik Relaksasi Otot Autogenik dapat
meningkatkan produksi endhorphin otak. Jadi, endhorpin dapat dilepaskan
bila dilakukan stimulasi dengan relaksasi atau massage.
Menurut penelitian yang di lakukan oleh Georgina Sutherland
( 2005 ) bahwa terapi autogenik merupakanterapi relaksasiberkhasiat
untukmenangkalmasalahpsikososial yangmenimpa padakualitas
hiduporang yang hidup dengan Multiple Sclerhosis.

42

2.5 Kerangka Konsep

Relaksasi Otot Autogenik


Sistim Limbic

Serotonin

Menurunkan Adrenalin

Relax

Organ / otot bertambah


terjaga / relax

Stimulasi CNS release


endorphin dan enchivalin

Stimulasi CNS release


endorphin dan
enchivalin

Relaksasi sentral

Demand O2

Kecemasan

Gambar 2.5 Kerangka konsep Perbedaan Tingkat Kecemasan pada Lansia yang
Menggunakam Terapi Relaksasi Otot Autogenik dan Tidak Menggunakan Terapi
Relaksasi Otot Autogenik di Pos Anggrek Bulan 04 RW 13 Kelurahan Sisir Batu.
43

Hipotesis Penelitian

Narasi Kerangka Konsep


Teknik relaksasi autogenik mempengari kerja system limbic pada saraf
pusat dimana akan menghasilkan serotonia dan menurunka adrenalin. teknik
relaksasi autogenik membawa perintah tubuh melalui autosugesti untuk rileks
sehingga pernafasan, tekanan darah, denyut jantung serta suhu tubuh dapat
dikendalikan. Standar latihan relaksasi autogenik bersumber dari imajinasi visual
dan mantra-mantra verbal yang membuat tubuh merasa hangat, berat dan santai.
Sensasi hangat dan berat ini disebabkan oleh peralihan aliran darah yang
menyejukkan dan merelaksasikan otot-otot disekitarnya. Pada tahap ini, seseorang
yang terapi dengan teknik relaksasi autogenic mulai merasakan relaks dan
mengikuti secara pasif keadaan rileks tersebut sehingga mampu menekan rasa
tegang dan nyeri. Sehingga tingkat kecemasan juga berpengaruh, karena adanya
pasokan O2 cukup masuk kealiran darah. Jadi tingkat kecemasan juga berkurang.
Orang yang tidak di lakukan terapi teknik relaksasi autogenik akan menimbulkan
adrenalin menjadi menurun, hal ini akan mengakibatkan otot-otot menjadi tegang
atau rileks. Sehingga pasokan O2 masuk dalam sel-sel darah merah menjadi
berkurang. Hal ini akan mengakibatkan mempengaruhi stimulasi CNS release
edorphine enchivalin sehingga relaksasi sel sentral melemah yang akan
mengkibatkan kecemasan menjadi berkurang/menurun.

44

2.6 Hipotesis Penelitian

H1 : Ada pengaruh Perbedaan Tingkat Kecemasan Pada Lansia


yang Menggunakam Terapi Relaksasi Otot Autogenik dan Tidak
Menggunakan Terapi Relaksasi Otot Autogenik di Pos Anggrek Bulan 04
RW 13 Kelurahan Sisir Batu.

45

Anda mungkin juga menyukai