Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak merupakan bagian yang paling berarti dalam sebuah keluarga, selain
sebagai penerus keluarga, anak tersebut pada akhirnya akan menjadi seorang
penerus bangsa. Oleh karena itu tidak ada orang tua yang menginginkan
anaknya jatuh sakit. Dalam beberapa waktu ini kasus kejang demam cukup tinggi
terjadi. Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering di
jumpai pada anak-anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena dipicu oleh karena
adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang di sebabkan oleh
kelainan proses ekstrakranium.
Sementara itu penyebab demam terbanyak adalah karena infeksi saluran
nafas atas dan saluran pencernaan pada anak (Pusponegoro, 2006). Insiden
terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 5
tahun. Hampir 4% anak berumur di bawah 5 tahun menderita kasus kejang
demam, oleh karena itu kita sebagai petugas kesehatan dituntut berperan aktif
dalam mengatasi keadaan tersebut yang meliputi aspek promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif secara terpadu (Pusponegoro, 2006). Apabila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang di dahului
demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsy yang
mungkin terjadi bersama demam (Nelson dkk, 2000).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi kejang demam ?
2. Bagaimana klasifikasi kejang demam ?
3. Apa saja faktor resiko kejang demam ?
4. Bagaimana patofisiologi kejang demam ?
5. Bagaimana cara penegakan diagnosis kejang demam ?
6. Apa saja diagnosis banding kejang demam ?
7. Bagaimana tatalaksana kejang demam ?
8. Bagaimana prognosis kejang demam ?
9. Apa saja KIE yang dapat diberikan kepada orang tua pasien kejang

demam?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kejang demam
2. Untuk mengetahui klasifikasi kejang demam
3. Untuk mengetahui faktor resiko kejang demam
4. Untuk mengetahui patofisiologi kejang demam
5. Untuk mengetahui cara penegakan diagnosis kejang demam
6. Untuk mengetahui diagnosis banding kejang demam
7. Untuk mengetahui tatalaksana kejang demam
8. Untuk mengetahui prognosis kejang demam
9. Untuk mengetahui KIE yang dapat diberikan kepada orang tua pasien
kejang demam
1.4 Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda dalam hal
pelaksanaan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan
diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis kejang demam pada anak.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kejang
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan
atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di
neuron otak.
2.2 Definisi Kejang Demam
Definisi kejang demam menurut The International League Against Epilepsy
(ILAE) adalah suatu bangkitan kejang terjadi pada masa bayi setelah berusia
satu bulan, terkait dengan timbulnya demam, yang tidak disebabkan oleh infeksi
system saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatal sebelumnya atau kejang tanpa
provokasi sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria kejang simptomatik akut yang
lain (Muid, 2014).
Kejang demam menurut UKK Neurologi Anak 2006 ialah bangkitan kejang
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4%
anak berumur 6 bulan 5 tahun ( Pusponegoro, 2006).
Anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang tanpa demam tidak
digolongkan sebagai penderita kejang demam (Lumbantobing, 2011). Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi sistem saraf pusat, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam (Pusponegoro, 2006).
2.3 Epidemiologi Kejang Demam
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Kejang
demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam, sedangkan
20% lainnya merupakan kejang demam kompleks. Kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam, sedangkan kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang
mengalami kejang demam (Pusponegoro ,2006).

Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar 2-5% pada anak usia 6
bulan sampaii dengan 5 tahun. Diantara anak dengan kejang demam, sekitar
70-75% mengalami kejang demam sederhana, 20-25% mengalami kejang
demam kompleks, dan 5% mengalami simptomatis kejang demam (Baumman,
2015).
Untuk negara-negara di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali
lipat disbandingkan di Eropa dan di Amerika. Di India angka insiden kejang
demam mencapai 10%, dan di Jepang sekitar 8,8% (Nooruddin, 2015).
Menurut Lumbantobing 2007, dari berbagai hasil penilitian didapatkan
bahwa kejang demam lebih sering dijumpai pada anak laki-laki daripada
perempuan, dengan perbandingan yang berkisar antara 1,4 : 1 dan 1,2 : 1.
Lumbantombing sendiri telah meneliti pada 297 anak dengan kejang demam.
165 anak adalah laki-laki dan 132 perempuan. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan ialah1,25 : 1
2.4 Klasifikasi Kejang Demam
Umumnya

kejang

demam

dibagi

menjadi

golongan.

Kriteria

penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat
beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis
kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, dan
lainnya (Lumbantobing, 2011).
Menurut ILAE tahun 1993 kejang demam diklasifikasikan menjadi 2, yaitu
kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Dimana kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam, sedangkan 20%
adalah kejang demam kompleks.
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk tonik dan atau klinik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Sedangkan kejang demam kompleks adalah kejang
demam yang berlangsung lebih dari 15 menit. Kejang berbentuk kejang fokal
atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang
berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Pusponegoro, 2006).

2.5 Etiologi dan Faktor Resiko Kejang Demam


Etiologi dari kejang demam hingga saat ini belum diketahui secara pasti.
Namun, ada beberapa faktor resiko yang bisa menjadi pencetus terjadinya kejang
demam pada anak.
Faktor resiko terjadinya kejang demam pertama kali telah diteliti paska
pemberian vaksinasi seperti difteri-tetanus-pertusis whole cell (DTP) dan
measles, mumps, rubella (MMR). Studi yang dilakukan oleh Barlow (2003)
menemukan peningkatan 4 kali lipat resiko terjadinya kejang demam dalam waktu
1-3 hari sejak diterimanya vaksinasi DTP. Berkenaan dengan vaksinasi MMR,
resiko kejang demam meningkat 1.5 sampai 3 kali lipat, dengan puncak terjadi 12 minggu setelah vaksinasi. Sebagai tambahan, diperkirakan 25-34 kejadian
kejang demam per 100.000 dosis MMR diberikan (Masdar, 2014).
Menurut Iskandar tahun 1998, risiko terjadinya kejang yang pertama,
terdapat beberapa hal yang mungkin seorang anak akan mendapatkan kejang
demam yang pertama:
1. Orang tua serta saudara sekandung dengan riwayat kejang demam.
2. Keluarga dekat (Paman, bibi, nenek atau kakek) dengan kejang demam.
3. Keterlambatan pertumbuhan psikomotor.
4. Perawatan neonatal yang lebih dari 28 hari.
Bila didapatkan dua atau lebih faktor di atas, kemungkinan terjadinya
kejang sekitar 30%.
Beberapa hipotesis tentang perubahan neurotransmiter yang dapat memiliki
peran dalam patogenesis kejang demam. Beberapa faktor seperti kekurangan
vitamin B6, gangguan elektrolit, penurunan seng serum, dan tingkat magnesium,
dan penurunan gamma-amino-butyric-acid (GABA) (Muid, 2013)
Berdasarkan penilitian Lumbantobing tahun 2007 dapat menentukan
penyebab demam pada 297 penderita kejang demam. Diagnosis penyebab
terutama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Pada
penderita tersebut ternyata insiden tonsilitis atau faringitis, otitis media akut, dan
gastroentritis cukup tinggi yaitu sebesar 34%, 31%, 27%.

Tabel 2.1 Penyebab demam pada 297 penderita Kejang Demam


(Lumbantobing,2007)

Penyebab demam
Tonsilitis dan atau faringitis

Jumlah penderita
100

Otitis media akut (radang liang telinga tengah)

91

Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)

22

Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi

44

Bronkitis (radang saluran nafas)

17

Bronkopneumonia (radang paru dan saluran nafas)

38

Morbili (campak)

12

Varisela (cacar air)

Dengue (demam berdarah)

Tidak diketahui

66

2.6 Patofisiologi Kejang Demam


Menurut Fuadi tahun 2010, demam merupakan faktor utama timbul
bangkitan kejang demam. Berdasarkan penilitian Fuadi tahun 2010 batas tinggi
demam 39,0 C sebagai rata-rata, dengan rentang suhu (38,9C-39,9C).
Ketentuan tersebut berdasarkan pada penelitian sebelumnya bahwa bangkitan
kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9C39,9C yaitu 40%-56%, 20% suhu di atas 40,0C dan 11% 37C-38,9C
(Gonzalez,1997). Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap
nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap
kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan metabolisme
karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan
mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen (Harimoto, 1993).
Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk
jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Creb normal, satu molekul
glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan
metabolisme berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2
ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan mengganggu

fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal
tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan
asam

glutamat

ekstrasel.

Timbunan

asam

glutamat

ekstrasel

akan

mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+


sehingga semakin meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam
sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam akan meningkatkan
mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel (Gardnner,1995).
Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel
dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron
GABA-nergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan
konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ Influx sehingga menimbulkan
keadaan

depolarisasi,

disamping

itu

demam

tinggi

dapat

menurunkan

kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-nergik. Setiap kenaikan suhu


0,3C secara cepat akan menimbulkan discharge di daerah oksipital, dischargedi
daerah oksipital dapat dilihat dan hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhu
tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat dan menurunkan kadar
glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan
kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam glutamat
dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator,
sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh
mendadak (Trans,1999).
Pada orang dewasa kira-kira 18% dari sirkulasi total tubuh pergi ke otak.
Pada anak yang berusia 3 tahun angka ini jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 65%.
Pada anak yang lebih muda mungkin lebih tinggi lagi. Bila suhu meningkat
beberapa derajat, aliran darah harus pula ditingkatkan untuk menjaga pasokan
oksigen dan glukosa ke otak tetap cukup. Bila peningkatan aliran darah ini tidak
mencukupi, maka terdapat anoksia relatif yang mungkin memicu kejang.
Hipotesis anoksia relatif di otak ini juga menerangkan kenapa kejang yang lama
dapat mengakibatkan kerusakan permanen di otak. Bila terjadi serangan kejang,
kebutuhan oksigen dan glukosa akan lebih meningkat (Lumbantobing, 2007)

2.7 Penegakan Diagnosis Kejang Demam


2.7.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Anamnesis

Adanya Kejang, Jenis kejang, kesadaran dan lama kejang


Suhu sebelumnya atau suhu saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval,
keadaan anak saat kejang, penyebab demam diluar infeksi susunan saraf pusat
(gejala infeksi saluran napas akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis

media akut (OMA), dan penyakit infeksi lainnya.


Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare atau muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyababkan hipoglikemia) (Darto, 2009).
Pemeriksaan Fisis

Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh: apakah

terdapat demam
Tanda rangsangan meningeal: kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig, Laseque
Pemeriksaan nervus kranialis
Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun-ubun besar (UUB) memnonjol,

papil edema
Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll.
Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek fisiologis, reflek patologis (Darto,
2009).
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam,
atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai dengan demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,
elektrolit, urinalisis dan gula darah (Pusponegoro, 2006).

Pungsi Lumbal
Menurut Pusponegoro tahun 2006, pemeriksaan cairan serebrospinal
dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6-0,7%. Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya yang tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada:

Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan


Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
Bayi >18 bulan tidak rutin
Elektroensefalografi
Pemeriksaan

elektroensefalografi

(EEG)

tidak

dapat

memprediksi

berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsi pada


pasien

kejang

demam.

Oleh

karena

itu

pemeriksaan

EEG

tidak

direkomendasikan. EEG masih dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak
khas, misalnya: kejang demam kompleks pada anak berusia lebih dari 6 tahun
atau kejang demam fokal (Pusponegoro, 2006).
Pencitraan
Foto X-Ray kepala dan CT Scan atau MRI jarang sekali dikerjakan, tidak
rutin dan hanya dilakukan apabila didapatkan indikasi seperti:

Kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan

adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas)


Paresis nervus VI
Papiledema (Pusponegoro, 2006).

2.8 Diagnosis Banding


Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya
Meningitis atau Ensefalitis. Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan
Meningitis. Adanya sumber infeksi seperti Otitis media tidak menyingkirkan
Meningitis

dan

jika

pasien

telah

mendapatkan

antibiotika

maka

perlu
9

pertimbangan pungsi lumbal (Freddy,2012). Diagnosis kejang demam antara lain:


Acute disseminated encephalomyelitis, Aseptic meningitis, benign childhood
epilepsy,

complex

partial

seizures,

generalized

tonic-clonic

seizures,

meningococcal meningitis,viral encephalitis,viral meningitis (Baumann, 2015).


2.9 Tatalaksana
2.9.1 Penatalaksanaan Saat Kejang
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena dengan dosis 0.3-0.5 mg/kgBB perlahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah adalah diazepam rektal
dengan dosis 0.5-0.75 mg/kgBB. Atau bisa diberikan diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan BB <10 kg, atau 10 mg untuk anak dengan BB >10 kg. Atau bisa
diberikan dengan dosis 5 mg untuk anak usia <3 tahun, atau 7.5 mg untuk anak
usia >3 tahun (Knudsen, 2002). Bila dengan pemberian diazepam rektal kejang
belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena
dengan dosis 0.3-0.5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti, diberikan
fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Ketika kejang berhenti
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal,
bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
intensif (Soetomenggolo, 1999).

10

Sumber : Dieckman J. Rectal diazepam for prehospital status epilepticus. An


Emergency Med 1994; 23:216-24

Pengobatan penyebab : antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi


penyebab dasarnya.
Penanganan suportif

Bebaskan jalan nafas

Pemberian oksigen

Menjaga keseimbangan air dan elektrolit

Pertahankan keseimbangan tekanan darah


2.9.2 Pemberian Obat Pada Saat Demam
Pemberian antipiretik dapat mengurangi resiko terjadinya kejang demam.
Obat yang diberikan adalah parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari, dosis maksimal 5 kali sehari. Atau bisa juga diberikan
ibuprofen dosis 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
Pemberian diazepam saat demam dapat menurunkan resiko berulangnya
kejang pada 30-60% kasus. Diazepam dapat diberikan secara oral dengan dosis
0.3 mg/kgBB setiap 8 jam, atau diazepam rektal dosis 0.5 mg/kgBB setiap 8 jam
pada suhu >38.5oC. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam

11

tidak berguna untuk mencegah kejang (AAP, 1999)


2.9.3 Pemberian Obat Rumat
Menurut American Academy of Pediatrics tahun 1999, indikasi pemberian
obat rumat obat apabila ditemukan ciri seperti di bawah ini (salah satu):
1.

Kejang lama >15 menit

2.

Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,


misalnya hemiparesis, paresis Todd, CP, retardasi mental, hisdrosefalus.

3.

Kejang fokal

4.

Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

a.

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam

b.

Kejang demam terjadi pada bayi <12 bulan

c.

Kejang demam 4 kali per tahun

Penjelasan:
-

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat

Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan


ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat

Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik.
Jenis antikonvulsan yang digunakan adalah fenobarbital dengan dosis 3-4
mg/kgBB per hari dalam 1-2 dosis. Selain itu, bisa juga diberikan asam valproate
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis. Pengobatan diberikan selama
1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Pada kejang demam yang tidak berbahaya dan penggunaan obat yang dapat
menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap
kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari
dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar. Pada sebagian kecil
kasus, terutama yang berumur <2 tahun, asam valproate dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati.

2.9.4 Indikasi Rawat Inap

12

Menurut Darto tahun 2009, indikasi rawat inap pada pasien dengan kejang
demam adalah, apabila anak tersebut mengalami kejang demam kompleks,
hiperpireksia, usia dibawah 6 bulan, merupakan kejadian kejang demam yang
pertama kalinya, dan terdapat kelainan neurologis.
2.10 Edukasi
Kebanyakan orang tua menganggap kejang adalah suatu keadaan yang
terminal bagi anaknya. Mereka juga sering panik dan tidak tahu apa yang harus
dilakukan bila anaknya mengalami kejang. Oleh karena itu KIE kepada orang tua
terutama apabila anaknya sudah pernah mengalami kejang sebelumnya, sangat
penting untuk diberikan (Wong, 2002).
Orang tua harus diberi informasi bahwa kejang umunya memiliki prognosis
yang baik. Mereka juga harus diberi tahu bagaimana cara penanganan awal
apabila anaknya tiba-tiba mengalami kejang. Seorang anak memiliki potensi
untuk mengalami kejang ulangan, juga harus diinformasikan kepada orang tua.
Perlu diwaspadai, bahwa pemberian obat untuk mencegah kekambuhan kejang
juga memiliki efek samping, sehingga orang tua tidak semata-mata memberikan
obat tersebut terus-menerus untuk mencegah timbulnya kejang di kemudian hari
(Wong, 2002).
Di bawah ini adalah poin-poin yang harus dilakukan oleh orang tua apabila
anak mengalami kejang:
1.

Tetap tenang dan tidak panik.

2.

Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

3.

Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.

4.

Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.

5.

Tetap bersama pasien selama kejang.

6.

Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.

7.

Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

13

2.11 Prognosis
Anak yang mengalami kejang demam dapat mengalami kelainan neurologis
pada sebagian kecil kasus, terutama pada kasus kejang lama atau kejang
berulang, baik umum atau fokal. Kejang demam juga bisa berulang, terutama
dengan factor resiko sebagai berikut:
-

Riwayat kejang demam dalam keluarga

Usia <12 bulan

Temperatur yang rendah saat kejang

Cepatnya kejang setelah demam


Bila semua faktor di atas ada, maka kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah sebesar 80%. Sedangkan bila tidak didapatkan faktor resiko di
atas, kemungkinan berulangnya kejang demam hanya sebesar 10-15%.
Di kemudian hari anak yang pernah mengalami kejang demam juga bisa
mengalami epilepsi. Faktor resiko terjadinya epilepsi di masa yang akan datang
adalah:

Kelianan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam


pertama

Kejang demam kompleks

Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung


Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10-49%. Perlu diingat bahwa kemungkinan menjadi epilepsi tidak
dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam (Nelson,
1978).

14

BAB 3
KESIMPULAN
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling
sering dijumpai pada bayi dan anak. Prevalensi terjadinya kejang demam adalah
2-4% dari total populasi anak normal. Sedangkan insiden terjadinya kejang
demam lebih tinggi pada anak berjenis kelamin laki-laki daripada anak
perempuan yakni 1,2 1,6 : 1 dan kejang muncul pada usia yang lebih muda.
Kejang demam paling sering muncul pada usia 6 bulan sampai 5 tahun dengan
total insidennya 2 4 %. Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks berdasarkan lama kejang, tipe kejang,
dan berulang atau tidaknya kejang dalam 24 jam. Sekitar 80% diantara seluruh
kejang demam merupakan kejang demam sederhana, dan sisanya merupakan
kejang demam kompleks.
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, seperti darah lengkap (DL), serum elektrolit
(SE), gula darah acak (GDA), lumbal pungsi (LP), dan radiologis.
ditegakkan

diagnosis

kejang

demam,

maka

harus

segera

Setelah
dilakukan

penatalaksanaan yang sesuai. penatalaksanaan pada kejang demam menurut


Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam tahun 2006, dibagi menjadi
penatalaksanaan saat kejang, pemberian obat pada saat demam, dan pemberian
obat rumat. Setelah serangan kejang demam dapat diatasi, tidak menutup
kemungkinan anak tersebut akan mengalami kejang demam di kemudian hari. Di
masa yang akan datang, seorang anak yang pernah mengalami kejang demam
dapat mengalami episode kejang demam ulangan, epilepsi, bahkan kelainan
neurologis akibat kejang demam.

15

DAFTAR PUSTAKA
1.

AAP. Practice parameter: Longterm treatment of the child with simple febrile
seizures Pediatr 1999; 103:1307-9

2.

Baumann,

.2015.

Pediatric

(emedicine.medscape.com/article/1176205-differential
3.

Febrile

Seizures.

Diakses tanggal 29

januari 2016).
Darto S. 2009. Kejang Demam. Dalam :Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta :
UKK Ikatan Dokter Indonesia.

4.

Dieckman J. Rectal diazepam for prehospital status epilepticus. An Emerg


Med 1994; 23:216-24

5.

Fuadi. 2010. Faktor Risiko Kejang Demam pada Anak :Sari Pediatri, Vol 12,
No 3 : Jakarta.

6.

Gardnner D K. 1995. Membran : Struktur, susunan & fungsinya. Biokimia


Harper cetakan ke-1. Jakarta : Buku Kedokteran ECG; hal 529-50

7.

Gonzalez Del Rey JA. 1997. Febrile Seizure : Pediatric Emergency Medicine.
Edisi ke-2. St.Louis : Mosby; hal. 1017-9

8.

Harimoto T, Nagao H, Yoshimatsu M, Yoshida K, Matsuda H. 1993.


Pathogenic role of glutamte in hyperthermia-induced seizure. Epilepsia:
34:447-52.

9. Iskandar S. Kejang demam. Dalam : Majalah Kedokteran Andalas Vol.22.


No.2. Juli Desember 1998.
10.

Knudsen FU. Practical management approaches to simple and complex


febrile seizures. Dalam: Baram TZ, Shinnar S, eds, Febrile seizures. San
Diego: Academic Press 2002. h. 1-20.

11. Lumbantobing.2007. Kejang Demam (Febrile Convulsions). Balai Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
12. Muid, Masdar. 2014. Tatalaksana Kejang Demam dan Status Epilptikus pada Anak.
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUB RSSA

16

13. Nelson KB dan Ellenberg JH. Prognosis in children with febrile seizure.
Pediatr 1978; 61:720-7.
14. Nelson, Waldo.E.MD., dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 3.
Jakarta:EGC
15. Panjaitan,

F.

2012.

Kejang

https://freddypanjaitan.wordpress.com

Demam

(Febrile

Seizures)(

/2012/01/01/kejang-demam-febrile-

seizures-2/ Diakses tanggal 28 januari 2016).


16. Pusponegoro, H. D., Widodo, D. P., Ismael, S, dkk. 2006. Konsensus Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
17. Soetomenggolo TS. Kejang demam. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S,
Penyunting. Neurologi anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 1999. h. 244-52.
18. Trans V Hatelshi CG, Xin Yan X, Bitram TZ. 1999. Effect of bloking GABA
degradation on corticotrophin Releasing Hormon Gen expression in Selected
region. Epilepsia;40:1170.

17

Anda mungkin juga menyukai