Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling sering di
seluruh belahan dunia. Sebelum tahun 1900, penyakit infeksi dan malnutrisi yang
menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia pada saat itu. Menurut
Framingham, 90% orang yang berumur di atas 55 tahun akan menderita hipertensi
selama masa hidupnya. Hal ini menggambarkan masalah kesehatan publik karena
hipertensi dapat meningkatkan terjadinya risiko penyakit kardiovaskular, seperti
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, dan penyakit arteri perifer1.
Gagal jantung adalah tahap akhir dari perjalanan penyakit jantung dan
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien penyakit jantung.
Gagal Jantung adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakmampuan jantung
untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi
dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi, atau keduanya. Gagal jantung
kongestif adalah suatu keadaan gagal jantung kiri dalam jangka waktu yang lama
diikuti dengan gagal jantung kanan ataupun sebaliknya2.
Gagal jantung kongestif terjadi ketika ada kerusakan dalam aksi
pemompaan ini, baik pada ventrikel kiri, ventrikel kanan, atau keduanya, yang
menyebabkan darah berkumpul di arteri paru, pembuluh darah, atau keduanya.
Bendungan ini menyebabkan kemacetan di paru-paru (cairan terbendung di paruparu), penurunan output jantung, peningkatan beban jantung, penurunan efisiensi
kontraksi otot jantung, penurunan stroke volume, peningkatan denyut jantung, dan
hipertrofi. Kompensasi ini dapat menyebabkan peningkatan risiko serangan
jantung dan penurunan suplai darah ke seluruh tubuh.2
Kompensasi terhadap gagal jantung kongestif tersebut merupakan alasan
kedatangan penderita ke rumah sakit. Berdasarkan data Medicare di Amerika
Serikat dan data Scottish di Eropa, gagal jantung merupakan penyebab rawat inap
yang paling banyak di rumah sakit.3 Data lain menyebutkan bahwa sekitar 5 juta
warga Amerika mengalami gagal jantung, dan terjadi penambahan 550.000
penderita gagal jantung setiap tahunnya. 4 Selain insidensi yang tinggi, angka

kematian pada gagal jantung kongestif juga tidak sedikit. Salah satunya, gagal
jantung kongestif dapat menyebabkan edema paru yang memiliki angka kematian
12% di rumah sakit.3 Data lain menunjukkan bahwa angka kematian akibat gagal
jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun dan sekitar setengah dari penderita
gagal jantung mengalami kematian dalam waktu 5 tahun setelah didiagnosis.4
Tingginya insidensi dan angka kematian pada gagal jantung kongestif
sesuai dengan data tersebut menunjukkan bahwa kasus gagal jantung kongestif
memerlukan perhatian lebih di kalangan masyarakat. Untuk itu diperlukan
pemahaman lebih lanjut mengenai gagal jantung kongestif ini. Itulah sebabnya,
kasus ini perlu diangkat untuk dipelajari.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identifikasi
Nama

: Ny. S

Tanggal lahir

: 01 Februari 1942

Umur

: 73 Tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Alamat

: Ujan Mas, Muara Enim

MRS tanggal

: 10-12-2015

Medrek

: 140929

2.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Sesak bertambah hebat sejak 3 hari SMRS
Keluhan Tambahan:
Sembab pada kedua tungkai dan perut
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak 7 bulan SMRS os mengeluh sesak. Sesak dirasakan terutama
saat beraktivitas dan berkurang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh
cuaca dan emosi. Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal tersusun tinggi,
terbangun malam hari karena sesak (+), nyeri dada (-), mengi (-), demam (-),
batuk (+) berdahak warna putih, darah (-), mual (-), muntah (-), badan terasa
lemas (+), nafsu makan menururn, sembab (+) pada kedua tungkai. BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Os kemudian berobat ke dokter SpPD dan dirawat
selama 1 minggu. Os pulang dengan perbaikan. Os rutin kontrol ke dokter.
Sejak 1 minggu SMRS, Os mengeluh sesak. Sesak dirasakan saat
beraktivitas dan berkurang saat istirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca
dan emosi. Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal tersusun tinggi, terbangun
malam hari karena sesak (+), nyeri dada (-), mengi (-), demam (-), batuk (+)
berdahak warna putih kental, darah (-), mual(+), muntah (-), badan terasa
lemas (+), nafsu makan menurun, sembab (+) pada kedua tungkai dan perut.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Os belum berobat.
Sejak 3 hari SMRS Os mengeluh sesak bertambah hebat, dirasakan
terus-menerus dan tidak berkurang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi
oleh cuaca dan emosi. Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal tersusun tinggi,
terbangun malam hari karena sesak (+), nyeri dada (-), mengi (-), demam (-),

batuk (+) berdahak warna putih kental, darah (-), mual (+), muntah (-), badan
terasa lemas (+), nafsu makan menururn, sembab (+) pada kedua tungkai dan
perut. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Lalu Os berobat ke poli RS Rabain
dan dirawat inap.
Riwayat Penyakit Dahulu
-

Riwayat asma (-)


Riwayat darah tinggi (+), diketahui sejak 10 tahun yang lalu, os rutin

kontrol dan minum obat, namun os lupa nama obatnya.


Riwayat kencing manis (-)
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


-

Riwayat darah tinggi (+), pada ibu os


Riwayat kencing manis (-)
Riwayat sakit jantung (-)

Riwayat Kebiasaan:
-

Riwayat merokok disangkal


Riwayat minum kopi dan teh disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien merupakan ibu rumah tangga, suami Os bekerja sebagai pedagang dan
mempunyai 5 orang anak.
Kesan: sosial ekonomi menengah ke bawah.
2.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 160/90 mmHg

Nadi

: 94x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan

: 28x/menit

Suhu

: 36,70 C

Tinggi Badan

: 150 cm

Berat Badan

: 52 kg

IMT

: 23,11 kg/m2 (normoweight)

Keadaan Spesifik
Kepala

Normosefalus, ekspresi wajar, rambut tidak mudah dicabut,

Mata

alopesia (-), deformitas (-), wajah sembab (-).


Eksoftalmus (-/-), ptosis (-/-), mata cekung (-/-), sekret (-/-),
edema palpebral (-/-), konjungtiva palpebral pucat (-/-),
sclera ikterik (-/-), pupilbulat, isokor, reflex cahaya (+/+),

Hidung
Telinga

diameter 3mm/3mm.
Deviasi septum nasal (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-).
MAE lapang, selaput pendengaran tidak ada kelainan,

Mulut

pendengaran baik.
Faring hiperemis (-), typhoid tongue (-), atrofi papil lidah (-),

Leher

sianosis(-), lidah tremor (-), tonsil T1-T1, karies dentis (-).


JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB submandibula (-),
servikal (-), supraklavikula (-), aksila (-), struma (-), pulsasi
arteri karotis (-), pembesaran m. sternocleidomastoideus (-),

Dada

jaringan parut (-), sikatriks (-).


Bentuk dada barrel chest (-), sela iga melebar (-), angulus

Paru-paru

costae <90o, retraksi dinding dada (-), nyeri tekan (-).


Inspeksi: statis dinamis simetris, pergerakan dinding dada
tidak tertinggal, retraksi dinding dada (-)
Palpasi: stem fremitus kanan = kiri, krepitasi (-).
Perkusi: sonor pada kedua lapang paru, batas paru hepar ICS
VI, peranjakan 1 sela iga, nyeri ketok (-).
Auskultasi: suara napas pokok vesikuler (+) normal, ronki

Jantung

basah halus (+/+) di kedua basal paru, wheezing(-/-)


Inspeksi: iktus kordis terlihat di ICS VI 2 jari lateral linea
midclavicularis kiri.
Palpasi: iktus kordis teraba ICS VI 2 jari lateral linea
midclavicularis kiri, thrill (-).
Perkusi: batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung pada
5

linea sternalis kanan, batas kiri jantung ICS VI 2 jari lateral


linea midclavicularis kiri.
Auskultasi: HR 94 kali per menit, reguler, HR = PR, bunyi
jantung I-II normal, M1>M2, T1>T2, P1<P2, A1<A2,
Abdomen

murmur (-), gallop (-).


Inspeksi: cembung, striae alba (-).
Palpasi: lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
ballottement (-), nyeri ketok CVA (-/-), turgor <2 detik.
Perkusi: redup, shifting dullness (+), undulasi (+)

Kulit
Anogenitalia
Ekstremitas

Auskultasi: bising usus (+) normal.


Warna sawo matang, kulit kering (-), pucat (-), sianosis (-).
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Superior: palmar pucat (-/-), palmar eritem (-/-), clubbing
finger (-/-), koilonikia (-/-), akral dingin (-/-), tremor (-/-),
ROM aktif dan pasif luas.
Inferior: edema pretibial (+/+), akral dingin (-/-), ROM aktif
dan pasif luas.

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (11-12-2015)
Hematologi
Komponen
Hemoglobin
Eritrosit
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit

Hasil
11 mg/dL
4.300.000/mm3
7.800/mm3
40%
152.000/uL

Rujukan
11,7 15,5 mg/dL
4.200.000 4.870.000/mm3
4.500 11.000/mm3
43 49%
150.000 450.000/uL

0%
2%
55%
36%
7%

01%
16%
50 70 %
20 40 %
28%

Pemeriksaan Elektrokardiografi (10-12 2015)


GAMBAR EKG
6

Interpretasi:
Sinus rhythm. HR 120 kali per menit. Aksis normal. Gelombang P normal.
PR interval 0,16 detik. Komplek QRS 0,04 detik. R/S pada V1<1. S pada V1 +
R di V5/V6<35 mm. Q patologis (-). ST-T change (-), LV strange (+) V5 V6
Kesan: Sinus takikardia + left ventricle hypertrophy.

GAMBAR FOTO THORAX PA

Interpretasi :
Kondisi foto baik

Simetris
Corakan bronkovaskular normal
Trakea ditengah
Tulang dan jaringan lunak normal
CTR >50%
Arcus costofrenikus lancip
Diarfagma normal
Parenkim paru normal
Kesan : kardiomegali
2.5. Diagnosis Kerja

Congestive Heart Failure ec HHD

2.6. Diagnosis Banding

Congestive Heart Failure ec Aterosklerosis Heart Disease

2.7. Penatalaksanaan
Non-Farmakologi

Istirahat
O2 4-5liter/menit
Diet jantung III
Edukasi

Farmakologi

IVFD RL gtt x/menit (mikro)


Injeksi Furosemid 1x20mg (iv)
Spironolakton 1x12,5mg (po)
Amlodipin 1x5mg (po)
Digoxin 1x mg (po)
Aspilet 1x80mg (po)
Laxadin 2x1C
Omeprazol 1x20mg (po)
Ambroxol 3x1C

2.8. Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam


Quo ad sanationam : dubia ad malam
2.9. Pemeriksaan Anjuran
Echocardiography
2.10. Resume Medis
Ny. S/Perempuan/73 tahun datang dengan keluhan utama sesak bertambah
hebat sejak 3 hari SMRS. Dari riwayat perjalanan penyakit didapatkan bahwa
3 hari SMRS, Os mengeluh sesak bertambah hebat, dirasakan terus-menerus dan
tidak berkurang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan emosi.
Os lebih nyaman tidur dengan 2 bantal tersusun tinggi, terbangun malam hari
karena sesak (+), nyeri dada (-), mengi (-), demam (-), batuk (+) berdahak warna
putih kental, darah (-), mual (+), muntah (-), badan terasa lemas (+), nafsu makan
menururn, sembab (+) pada kedua tungkai dan perut. BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Lalu Os berobat ke poli RS Rabain dan dirawat inap.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, dengan tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 94x/menit, pernafasan
28x/menit. Dari hasil pemeriksaan spesifik, pada pemeriksaan auskultasi paru
didapatkan ronki (+/+) di kedua basal paru. Pada pemeriksaan leher didapatkan
JVP JVP (5+2) cmH2O. Pada pemeriksaan inpeksi jantung didapatkan iktus kordis
terlihat di ICS VI 2 jari lateral linea midclavicularis kiri, palpasi jantung
didapatkan iktus kordis teraba ICS VI 2 jari lateral linea midclavicularis kiri dan
pada perkusi jantung didapatkan batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung
pada linea sternalis kanan, batas kiri jantung ICS VI 2 jari lateral linea
midclavicularis kiri. Pada pemeriksaan inspeksi abdomen didapatkan cembung,
perkusi abdomen didapatkan shifting dullness (+) dan undulasi (+). Dan pada
pemeriksaan ekstremitas didapatkan edema pretibial (+/+)

Dari hasil pemeriksaan EKG memberikan kesan sinus takikardia dan left
ventricle hypertrophy, pemeriksaan rontgen thorax PA didapatkan kesan
kardiomegali. Pada pasien ini, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan
echocardiography.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Gagal Jantung
3.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks yang
disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi
gangguan pada ejeksi dan pengisian. Pada keadaan ini jantung tidak lagi mampu
memompa darah secara cukup ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh.5
Gagal jantung adalah sindrom dimana pasien harus memilki gambaran
sebagai berikut: gejala gagal jantung, biasanya sesak nafas saat istirahat atau
selama aktivitas, dan atau kelelahan; tanda tanda retensi cairan seperti kongesti
paru atau bengkak pada tungkai; serta bukti objektif dari kelainan struktur atau
fungsi jantung saat istirahat. Respon klinis terhadap pengobatan gagal jantung

10

tidak cukup untuk menegakkan diagnosa, tetapi cukup membantu ketika diagnosa
tidak jelas meskipun telah dilakukan pemeriksaan yang sesuai. 5
Tabel 2.1. Definisi Gagal Jantung
Definisi Gagal Jantung
Gagal Jantung adalah sindroma klinis dimana pasien memiliki ciri-ciri
berikut:
Simpton yang sering dijumpai pada gagal jantung
(sesak nafas pada saat istirahat atau beraktivitas, fatigue, mudah lelah,
edema pretibial)
dan
Tanda-tanda yang sering dijumpai pada gagal jantung
(takikardi, takipnoe, ronki basah, effuse pleura, peninggian tekanan vena
jugularis, edema perifer, hepatomegali)
Bukti objektif abnormalitas struktural atau fungsional pada saat
istirahat
(kardiomegali, bunyi jantung III, desah jantung, abnormalitas pada
ekokardiogram, peningkatan konsentrasi natriuretik peptida)
(sumber : ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2008)
3.1.2 Epidemiologi
Insiden dan prevalensi gagal jantung cenderung meningkat, hal ini juga
disertai dengan peningkatan mortalitas (Saunders, 2000). Di Amerika Serikat 1
juta pasien rawat inap akibat gagal jantung, dan memberikan kontribusi 50.000
kematian tiap tahunnya (Kasper et al., 2004) dan angka kunjungan ke rumah sakit
sebanyak 6,5 juta akibat gagal jantung (Hunt et al.,2005) Dari tahun 19901999
didapatkan peningkatan rawat inap karena gagal jantung dari 810 ribu menjadi
lebih dari 1 juta dengan diagnosis primer, dan dari 2,4 juta menjadi 3,6 juta yang
didiagnosis gagal jantung primer atau sekunder. Tahun 2001 didapatkan angka
kematian sebesar 53 ribu dengan gagal jantung sebagai penyebab primer.
Didapatkan pula kecenderungan peningkatan insiden gagal jantung pada usia tua,
hipertensi, dislipidemia, dan diabetes. Insiden gagal jantung pada usia < 45 tahun
1/1000, meningkat menjadi 10/1000 pada usia > 65 tahun, dan menjadi 30/1000
(3%) pada usia >85. Didapatkan peningkatan secara eksponenstial sesuai dengan
peningkatan usia, 0,1 % range antara 50-55 tahun dan menjadi 10% pada usia >80
tahun. Di Amerika didapatkan prevalensi sebesar 4,8 juta, dan sekitar 75% dengan
usia > 65 tahun. Insiden dan prevalensi gagal jantung didapatkan lebih tinggi pada

11

wanita, didapatkan perbandingan , hal ini diperkirakan karena angka harapan


hidup pada wanita lebih lama11. Walaupun dengan terapi yang adequate namun
angka kematian akibat Gagal jantung cenderung tetap.12
3.1.3 Etiologi
Penyebab paling sering pada gagal jantung disebabkan penyakit myokardial
Penyakit Jantung Koroner Banyak manifestasi
Hipertensi

Biasanya berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri dan fraksi


ejeksi yang dipertahankan

Kardiomyopati Familial/genetik atau non-familial/non-genetik (termasuk yang


didapat,e.g.myokarditis), hipertrofi (HCM), dilatasi (DCM), restriktif (RCM),
ventrikel kanan aritmogenik (ARVC), tidak diklasifikasikan
Obat-obatan

B-Blocker, Kalsium antagonis, antiaritmia, agen sititoksik

Toxins

Alkohol, medikasi, kokain, trace elements (merkuri, kobalt,

arsenik)
Endokrin

Diabetes mellitus, hipo/hipertiroidism, Cushing syndrome, adrenal

insufficiency, kelebihan hormone pertumbuhan, phaeochromocytoma


Nutrisional

Defisiensi tiamin, selenium, carnitin, obesitas, cachexia

Infiltratif

Sarcoidosis, amyloidosis, haemochromatosis, penyakit jaringan

ikat
Lain-lai

Chagas disease, HIV, peripartum kardiomyopati, end-

stagerenal failure
(sumber : ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2008)
Penyebab dari gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan gagal jantung kiri
atau gagal jantung kanan dan gagal low output atau high output.
Jantung kiri primer

Penyakit jantung iskemik


Penyakit jantung hipertensi
Penyakit katup aorta
Penyakit katup mitral
Miokarditis
Kardiomiopati

Jantung kanan primer

Gagal jantung kiri


Penyakit pulmonari kronik
Stenosis katup pulmonal
Penyakit katup trikuspid
Penyakit jantung kongenital
(VSD,PDA)

12

Amyloidosis jantung 7

Gagal output rendah

Hipertensi pulmonal
Embolisme paru masif7

Gagal output tinggi

Kelainan miokardium
Penyakit jantung iskemik
Kardiomiopati
Amyloidosis
Aritmia
Peningkatan tekanan pengisian
Hipertensi sistemik
Stenosis katup
Semua menyebabkan gagal
ventrikel

kanan

Inkompetensi katup
Anemia
Malformasi arteriovenous
Overload volume plasma

disebabkan

penyakit paru sekunder


(sumber: Concise Pathology 3rd Edition)
3.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) 6
Klasifikasi Fungsional NYHA
Kelas I

(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)


Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari hari tidak

Kelas II

menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.


Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
aktivitas sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak

Kelas III

nafas.
Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang
dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas

Kelas IV

sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.


Tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa adanya
kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas
fisik, keluhan akan semakin meningkat.

13

Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of Cardiology


dan American Heart Association 1
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tahap A
Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada dijumpai
Tahap B

abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada tanda atau gejala.


Berkembangnya kelainan struktural jantung yang berhubungan erat

Tahap C

dengan perkembangan gagal jantung, tetapi tanpa gejala atau tanda.


Gagal jantung simptomatik berhubungan dengan kelainan struktural

Tahap D

jantung.
Kelainan struktural jantung yang berat dan ditandai adanya gejala
gagal jantung saat istirahat meskipun dengan terapi yang maksimal.

3.1.5 Patofisiologi
Jantung yang sebelumnya normal dapat terkena penyebab akut (mis. Infark
miokard) atau kronis (mis. Hipertensi) dan menyebabkan gangguan kondisi
jantung. Hal ini mengaktivasi mekanisme kompensasi seperti peningkatan
preload, atau mekanisme Frank-Starling, melalui dilatasi ventrikel dan ekspansi
volume, vasokonstriksi perifer, retensi air dan natrium leh ginjal untuk
meningkatkan

preload,

dan

munculnya

sistem

saraf

adrenergik

yang

meningkatkan denyut jantung dan fungsi kontraktilitas. Proses ini diatur terutama
oleh aktivasi berbagai neurohormonal sistem vasokonstriktor, termasuk RAAS,
sistem saraf adrenergik, dan pelepasan vasopresin-arginin non-osmotik. Mulamula, mekanisme ini menguntungkan dan adaptif, mempertahankan denyut
jantung, tekanan darah, dan cardiac output, dan menjaga perfusi ke jaringan. Pada
jangka panjang, hal ini menyebabkan gangguan pada sistem sinyal -adrenergik
dan gangguan mobilisasi kalsium intraseluler, dengan akibat hipertrofi miosit
untuk menjaga tekanan dinding karena dilatasi jantung, apoptosis, proliferasi
fibroblas, dan akumulasi kolagen interstisial7.
Perubahan ukuran, bentuk dan fungsi pompa pada jantung menegaskan
suatu keadaan remodeling, yang menentukan gambaran klinis dari gagal jantung.
Konsekuensi dari perubahan struktur ini adalah penurunan stroke veolume,
14

peningkatan tahanan perifer, dan munculnya tanda dan gejala kongesti dan
hipoperfusi jaringan. Pada akhirnya, pada kasus yang tidak ditangani, kaheksia
jantung akan muncul karena aktivasi sitokin proinflamasi, seperti tumournecrosis
factor alpha dan interleukin-2, yang berakibat pada kematian sel jantung.
Misfolded protein yang sering pada patofisiologi penyakit neurodegeneratif seperi
Parkonson dan Alzheimer, juga dijumpai berperan pada patologi hipertrofi
jantung, yang menyebabkan dugaan bahwa proteotoksisitas adalah kunci dari
progresivitas gagal jantung. Selain menyebabkan kerusakan miokard lebih lanjut,
aktivasi sistem neurohormonal vasokonstriktor juga memiliki efek yang merusak
oergan lain seperti ginjal hati, otot, usus, dan paru, dan membuat lingkaran
setan, yang bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran klinis gagal jantung,
termasuk ketidakstabilan listrik jantung7.
Gagal jantung dapat menyebabkan gagal ginjal (sindroma kardiorenal) dan
kebalikannya juga dapat terjadi (sindroma renokardiak), dan ketidaknormalan
fungsi hati (albumin bilirubin, aminotransferase, dan alkalin posfatase) juga sering
terlihat pada pasien kronis khususnya gagal jantung akut, dan berhubungan
dengan prognosis yang buruk. Baik gagal jantung sistolik dan diastolik dapat
terjadi, dan penurunan LVEF <55% sebagaimana perburukan fungsi diastolik
ventrikel kiri adalah secara bebas berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
Sebagai

tambahan

karena

menjadi

petanda

peningkatan

risiko

karena

berhubungan dengan hipertensi, diabetes melitus, iskemia dan penurunan fungsi


sistolik, fungsi diastolik juga dapat menjadi kontributor langsung terhadap akibat
buruk dengan membatasi cadangan cardiac output, mempercepat aktivasi
neuroendokrin, dan mendukung inaktivitas fisik. Hipertrofi ventrikel kanan
meramalkan peningkatan risiko gagal jantung yang biasanya diakibatkan oleh
disfungsi ventrikel kiri7.
3.1.6 Gejala Klinis
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,
beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang
terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan

15

penampilan jantung. Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu


ditemukan :
1. Gejala paru berupa

dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal

dyspnea.
2. Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah,
asites, hepatomegali, dan edema perifer. Kematian pada CHF Aritmia dan
gangguan aktivitas Hipertrofi dilatasi Disfungsi diastolik dan disfungsi
sistolik Tromboemboli PJK yang berat Berdampak pada aliran darah pada
myocard yang belum infark Gangguan kontraktilitas 14
3. Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk
sampai delirium.15
3.1.7

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Pendekatan pada pasien dengan kecurigaan kegagalan jantung meliputi

riwayat dan pemeriksaan fisik, foto toraks, dan serangkaian tes yang harus
dijalani. Riwayat penyakit sendiri kurang dapat dipakai dalam menegakkan
diagnosa kegagalan jantung, tapi sering kali dapat memberi petunjuk penyebab
dari kegagalan jantung, faktor yang memperberat, dan keparahan dari penyakit.
Gejala gagal jantung dapat dihubungkan dengan penurunan cardiac output (mudah
lelah, dan kelemahan) atau retensi cairan (dyspnea, orthopnea, dan cardiac
wheezing). Pada kasus dengan kegagalan pada jantung kanan dapat
menyebabkan terjadinya kongetif hepar. Retensi cairan juga menyebabkan edema
perifer dan asites. Kegagalan pada jantung kiri dapt menyebabkan gejala berupa
munculnya dyspnea on effort. Pulmonary congestion (dengan crackles dan
wheezing) dominan muncul terutama pada keadaan akut maupun subakut.9
Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya overload
volume adalah adanya peningkatan pada Jugular Venous Pressure. Pelebaran dari
ventrikel dapat dilihat pada saat palpasi precordial, dan denyutan dari apex yang
terletak lateral dari midclavicular line. Pada pasien dengan dispnea, maka
gambaran foto thoraks akan sangat membatu untuk menetukan perkiraan
penyebab dari dispnea tersebut, apakah diakibatkan karena kegagalan jantung atau

16

karena penyakit pada paru-paru. Gambaran radiografi pada kelainan akibat


kegagalan jantung adalah cardiomegali, cephalization dari pembuluh darah,
peningkatan marker interstitial, dan adanya pleural efusi. Apabila didapatkan
beberapa tanda, gejala, dan gambaran radiologi seperti yang disebutkan diatas
maka diagnosa untuk CHF dapat ditegakkan. Pasien dengan riwayat penyakit
jantung, diabetes melitus, hipertensi, atau riwayat penyakit arteri koroner
meningkatkan resiko terkena CHF (Storrow, 2007). Untuk penegakan diagnosa
CHF juga dapat menggunakan kriteria Framingham, seperti yang tertera pada
tabel dibawah ini9
Tabel 1. Kriteria Farmingham (Storrow, 2007) 10

Pemeriksaan Penunjang
A.

Foto Dada
Peran utama dari foto dada adalah untuk menyingkirkan penyebab dispnea

lain, seperti efusi pleura, pneumothorax, karsinoma paru, atau pneumonia. Edema
paru mendukung diagnosis gagal jantung. CTR dapat mengidentifikasi gagal
jantung sebagai penyebab sesak napas8.
B.
Elektrokardiogram
EKG digunakan untuk mendeteksi aritmia, dan dapat menyediakan bukti
untuk menduga infark sebelumnya atau hipertrofi ventrikel8.
C.
Ekokardiografi

17

Ekokardiografi transtorakal merupakan metode yang simpel, aman dan


efektif unruk menilai struktur dan fungsi jantung8.
D.
Magnetic Resonance Imaging
Magnetic resonance imaging menyediakan gambaran resolusi tinggi untuk
gambaran struktur jantung dan fungsi ventrikel. Fungsi katup dapat dinilai,
walaupun dengan realibitas yang lebih kecil daripada gambaran struktur dan
fungsi miokard8.
E.
Cardiac Catheterization
Kateter jantung memperbolhekan

perkiraan

tekanan

intrakardiak,

perkiraan cardiac output, deteksi gangguan katup, jumlah LVEF, dan deteksi CAD
epikardial8.
3.1.8 Komplikasi
1.

Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena


dalam atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli
sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan

dengan

pemberian warfarin.
2.

Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa


menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan
denyut jantung (dengan digoxin atau blocker dan pemberian warfarin).

3.

Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik


dengan dosis ditinggikan.

4.

Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden


cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil
diresusitasi, amiodaron, blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin
turut mempunyai peranan.12

3.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis,
keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk
penatalaksaan

paripurna

penderita

gagal

jantung.

18

Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan


untuk

memperbaiki

gejala

dan

progosis,

meskipun

penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta


beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui
penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya. 16
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan
antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai
penyakitnya,

pengobatan

serta

pertolongan

yang

dapat

dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan


nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan
kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta
pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita
terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita
juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta
neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin
meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat
dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat
dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap
influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis
antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama
pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna
katup prostesis.16
Penatalaksanaan

gagal

jantung

kronis

meliputi

penatalaksaan non farmakologis dan farmakologis. Gagal jantung


kronis bisa terkompensasi ataupun dekompensasi. Gagal jantung
terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi air dan
edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat
gangguan yang mungkin timbul adalah episode udema paru akut
maupun malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak nafas

19

saat aktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk menghilangkan


gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya adalah
untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat.17
Obat obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung
kronis antara lain: diuretik (loop dan thiazide), angiotensin
converting enzyme inhibitors, _ blocker (carvedilol, bisoprolol,
metoprolol),

digoxin,

spironolakton,

vasodilator

(hydralazine

/nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik. 18-20


Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5
2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada
pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan
gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan
perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan
pada pemderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik
berat dengan dilatasi ventrikel.16
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran
klinis dispneu, takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih
berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias
hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta
cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita
dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat
serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas,
aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau
adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut
maupun defek septum ventrikel pasca infark.17
Gagal

jantung

akut

yang

berat

merupakan

kondisi

emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat


termasuk

mengetahui

menghilangkan

penyebab,

kongesti

paru,

perbaikan

dan

hemodinamik,

perbaikan

oksigenasi

20

jaringan.15 Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan


pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai
tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta
produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta
oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess
menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan
adanya

asidosis

merupakan

laktat

prognosa

akibat
yang

metabolisme
buruk.

anerob

Koreksi

dan

hipoperfusi

memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan


pada kasus yang refrakter.16
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan

venodilatasi

yang

akan

memperbaiki

gejala

walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan


produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh
prostaglandin

inhibitor

seperti

obat

antiflamasi

nonsteroid,

sehingga harus dihindari bila memungkinkan. Opioid parenteral


seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan
gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan,
nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat
juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta
udem paru. Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan dapat
diulang sesuai kebutuhan.18 Pemberian nitrat (sublingual, buccal
dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan pengisian
ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal
jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena
dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri
termasuk arteri koroner. Sehingga

dosis pemberian harus

adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan


arteri

tanpa

mengganggu

perfusi

jaringan.

Kekurangannya

21

adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi,


sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam.18
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator
yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada
pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian
nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan
fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit. 15,21 Nesiritide adalah
peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide adalah
BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya

akan

memperbaiki

hemodinamik

dan

neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf


simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan
endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan
pengisian

ventrikel

tanpa

meningkatkan

laju

jantung,

meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload.


Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1 menit
dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit.18
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal
jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat
inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada penderita gagal
jantung akut dengan tekanan darah 85 100 mmHg. Jika tekanan
sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor
merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan
akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap
cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata >
65 mmHg.15,19,22 Pemberian dopamin _ 2 g/kg/mnt menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2
5

g/kg/mnt

akan

merangsang

reseptor

adrenergik

beta

sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada


pemberian

15

g/kg/mnt

akan

merangsang

reseptor

22

adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung


serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang
reseptor adrenergik _1 dan _2, menyebabkan berkurangnya
tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya
kontrkatilitas.

Dosis

umumnya

meningkatkan

curah

jantung

diperlukan

g/kg/mnt,

untuk

dosis

2,5

15

g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat


beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi

yaitu 15 20

g/kg/mnt.18
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclicAMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan
inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah
milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi
penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah
mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik
positif. Dosis milrinone intravena 25 g/kg bolus 10 20 menit
kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25
0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt. 15 Pemberian
vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang
disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan
darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik
30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah
epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu
dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan
dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt.18
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta
yang menyebabkan terjadinya gagal Gagal Jantung jantung akut
de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit
jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang

23

dengan

hipertensi

emergensi

pengobatan

bertujuan

untuk

menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan


dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat
atau

nitroprusside

intravena

maupun

natagonis

kalsium

intravena (nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita


dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan
preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.
Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik
dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi
sesuai penyakit dasar. Aritmia jantung harus diterapi.18
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa
balon intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable
cardioverter defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon
intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau
syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap
pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum
interventrikel.

Pemasangan

pacu

jantung

bertujuan

untuk

mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi


atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan
bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat
tinggi.

Implantable

cardioverter

device

bertujuan

untuk

mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular


Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan
sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok
kardiogenik

yang

tidak

respon

terhadap

terapi

terutama

inotropik.18

24

BAB IV
ANALISA KASUS
Gagal jantung adalah sindrom dimana pasien harus memilki gambaran
sebagai berikut: gejala gagal jantung, biasanya sesak nafas saat istirahat atau
selama aktivitas, dan atau kelelahan; tanda tanda retensi cairan seperti kongesti
paru atau bengkak pada tungkai; serta bukti objektif dari kelainan struktur atau
fungsi jantung saat istirahat.5
Pada kasus ini memaparkan seorang perempuan berinisial S, berusia
73 tahun, MRS di RSUD Rabain tanggal 10 Desember 2015, 3 hari SMRS, Os
mengeluh sesak bertambah hebat, dirasakan terus-menerus dan tidak berkurang
dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan emosi. Os lebih nyaman
tidur dengan 2 bantal tersusun tinggi, terbangun malam hari karena sesak (+),
nyeri dada (-), mengi (-), demam (-), batuk (+) berdahak warna putih kental, darah
(-), mual (+), muntah (-), badan terasa lemas (+), nafsu makan menururn, sembab
(+) pada kedua tungkai dan perut. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Lalu Os
berobat ke poli RS Rabain dan dirawat inap.
Berdasarkan keluhan utama pasien, dapat dipikirkan beberapa
kemungkinan penyebab terjadinya sesak napas, yaitu bisa karena kelainan pada
sistem kardiovaskuler, pernapasan, metabolik, ginjal, dan lain-lain. Sesak akibat
kelainan pada sistem pernafasan dapat disingkirkan karena sesak tidak

25

dipengaruhi oleh cuaca,emosi ataupun faktor pencetus lain serta tidak ditemukan
adanya riwayat sakit paru-paru atau asma sebelumnya. Pada anamnesis juga
diketahui bahwa sesak pada pasien berkurang jika beristirahat. Os nyaman tidur
dengan 2 bantal tersusun tinggi, os juga sering terbangun malam hari karena sesak
yang merupakan ciri khas dari penyakit gagal jantung. Os memiliki riwayat
penyakit darah tinggi selama lebih kurang 10 tahun yang tidak terkontrol. Kondisi
ini menjadi faktor resiko terjadinya penyakit gagal jantung.
Dalam menegakkan diagnosis gagal jantung dapat menggunakan kriteria
Framingham seperti yang tertera pada tabel dibawah ini:

Dikatakan gagal jantung apabila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria


mayor dan 1 kriteria minor. Pada pasien ini ditemukan 4 kriteria mayor berupa
paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea, neck vein distension dan cardiomegaly
serta 3 kriteria minor berupa ankle edema, night cough dan dyspnea on exertion.
Dapat disimpulkan pasien ini memenuhi kriteria Framingham. Selain itu gagal
jantung perlu juga ditentukan derajat berat ringannya berdasarkan kriteria NYHA
yaitu
Klasifikasi Fungsional NYHA
Kelas I

(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)


Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari hari tidak

Kelas II

menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.


Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
aktivitas sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak

Kelas III

nafas.
Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang
26

dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas


Kelas IV

sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.


Tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa adanya
kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas
fisik, keluhan akan semakin meningkat.

Pada gagal jantung, pasien lebih suka posisi duduk daripada berbaring,
berbicara dengan kalimat terbatas dan terbata-bata, tidak mengalami gangguan
kesadaran, frekuensi nafas dan nadi meningkat. Penilaian berat ringannya gagal
jantung, dapat dilihat dari sesak yang dirasakan saat aktivitas yang sedang
dilakukan. Jika sesak muncul pada saat os aktivitas ringan bahkan saat istirahat
menandakan bahwa gagal jantung yang diderita Os termasuk NYHA kelas IV.
Penilaian ini diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien gagal jantung
yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada. Jadi, pada
pasien ini bisa digolongkan ke dalam gagal jantung NYHA IV, karena memenuhi
kriterianya.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum, pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 94x/menit, reguler,
isi cukup, pernafasan 28x/menit, suhu 36,7 C. Pada pemeriksaan fisik keadaan
spesifik, didapatkan retraksi dinding dada, ronkhi basah halus di kedua basal paru,
iktus kordis terlihat dan teraba di ICS VI,adanya pembesaran pada batas jantung
ditandai dengan batas jantung kiri yang melebar 2 jari lateral dari LMC sinistra,
shifting dullness (+), serta ditemukan adanya edema pretibial. Pada pemeriksaan
lainnya tidak ditemukan adanya kelainan. Status gizi pasien didapatkan berat
badan 52 kg, tinggi badan 150 cm dan IMT 23,11, sehingga disimpulkan bahwa
pasien tergolong normoweight.
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan

secara

non

farmakologis

dan

secara

farmakologis,. Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat


dikerjakan antara lain adalah edukasi yaitu menjelaskan kepada
pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan

27

yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti


pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita
dengan

kegemukan.

Pembatasan

asupan

garam,

konsumsi

alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada


penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat.
Pada kasus ini diberikan loop diuretik intravena seperti
furosemid

yang

menyebabkan

venodilatasi

yang

akan

memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik


juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek
ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi
nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan. Juga
diberikan obat-obat simtomatis untuk membantu mengatasi
keluhan yang ada dari pasien ini.

28

DAFTAR PUSTAKA
1.

Lilly, L.S., Williams, G.H., Zamani, P., 2007. Hypertension. In. Lilly, L.S.,
ed. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelpia: Lippincott
Williams & Wilkins, 311-328.

2.

O'Brien, Terrence. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical


University

3.

of

South

Carolina:

2006.

Available

from

URL:

http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm
Bazo A. Congestive Heat Failure. 2010. Available from URL:
http://www.scribd.com/doc/15419488/Congestive-Heart-FailureAB

4.

Kulick D. Congestive Heart Failure. 2010. Available from URL:


http://www.medicinenet.com/congestive_heart_failure/article.htm

5.
6.

Widiyanti, R., Sindrom Koroner Akut. 2010. Jakarta. Exomed Indonesia.


Kalim, H., Idham, I., Irmalita., Karo, S.K., Soerianata, S., Tobing, D.P.,
Pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2004.

7.

Jakarta. PERKI
Katritsis DG, Gersh BJ, Camm AJ, 2013. Clinical Cardiology: Current

8.

Practice Guidelines. London: Oxford University Press, 267-317.


Walsh RA, Simon DI, Fooster V, Poole-Wilson P, 2008. Hursts The Heart
12 edition. New York: McGraw Hill, 881-943.

9.

Osama GMD. 2002. Topic Review Heart Failure. Albany Medical Review.
January 2002.

10. Storrow AB. 2007. Advances in the diagnosis of chf: new markers. Modern
Advances In Emergency Cardiac Care, p. 38-46.
11.

Saunders WB. 2000. Goldman: Cecil Textbook of Medicine, 21st ed.


Publisher: W. B. Company, pp.74-80.

12.

Hunt et all. 2005. Heart Failure in the Adult: A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines (Writing Committee to Update the 2001 Guidelines for the
Evaluation and American Management of Heart Failure): Developed in
29

Collaboration With the College of Chest Physicians and the International


Society for Heart and Lung Transplantation: Endorsed by the Heart Rhythm
Society. Journal of The American Heart Association
13.

Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug


management. BMJ 2000;320:366-9.

14.

Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.

15.

Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.


Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007

16.

Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic


heart failure in the older patient. British Medical Bulletin
2005;75 and 76: 49- 62.

17.

Abraham WT, Scarpinato L. Higher expectations for


management of heart failure:current recommendations. J Am
Board Fam Pract 2002;15:39-49.

18. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In:
Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis

and

treatment.

New

York:

Marcel

Dekker;

2005.p.449-65.
19. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug
management. BMJ 2000;320:366-9.
20. Millane T, Jackson G, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure:
acute

and

chronic

management

strategies.

BMJ

2000;320:559-62.

30

21.

Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure


Management: digoxin and other inotropes, _ blockers, and
antiarrhythmic

and

antithrombotic

treatment.

BMJ

2000;320:495-8.
22.

Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the


pharmacological

management of chronic

heart failure.

European Heart Journal Supplements 2005;7 (Supplement


J):J15-J20.

31

Anda mungkin juga menyukai