Anda di halaman 1dari 322

BAB I

DEFINISI

BAB I
DEFINISI
1.1.

LATAR BELAKANG

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan Ilmu Pengetahuan


dan Teknologi di bidang Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit
Dalam, perlu adanya panduan / acuan kerja yang bermutu dan
dapat dipertanggung jawabkan secara moral maupun material
menyangkut pelayanan dan perawatan kepada pasien di rumah
sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas kesehatan lainnya di
Indonesia, agar tidak terjadi kekeliruan dalam bertindak yang
mengakibatkan kerugian tidak hanya bagi pasien tetapi juga
seluruh praktisi kesehatan yang terlibat di dalamnya. Oleh karena
itu, dalam melaksanakan pelayanan dan perawatan kepada pasien
seorang dokter penyakit daam harus selalu menjunjung tinggi sikap
humanisme, profesionalisme, bertanggung jawab moral, memegang
teguh etika kedokteran, etika soial dan etika nasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, Departemen Penyakit Dalam
berusaha menyusun suatu buku Panduan Praktek Klinis Penyakit
Dalam sebagai acuan / panduan dalam melaksanakan pelayanan
dan perawatan kepada pasien, sehingga tercapai tujuan pelayanan
kesehatan
yang
optimal,
profesional
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan material.

1.2.

PENGERTIAN DAN TUJUAN

Panduan Praktek Klinis Penyakit Dalam adalah panduan prosedur


standar dalam pelayanan dan perawatan kepada pasien yang harus
diketahui dan dijalankan oleh seorang dokter penyakit dalam untuk
melaksanakan kegiatan kesehatan secara optimal, optimal,
profesional dan dapat di pertanggung jawabkan.
Panduan Praktek Klinis Penyakit Dalam dibuat dengan tujuan
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan dan perawatan
kepada pasien secara optimal, berkesinambungan, profesional dan
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 2

BAB II
RUANG LINGKUP

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 3

BAB II
RUANG LINGKUP
2.1 Ruang Lingkup Panduan Praktek Klinis Penyakit Dalam mencakup :
Sepuluh Penyakit terbanyak dari setiap divisi penyakit dalam
Penyakit penyakit yang dianggap penting walaupun angka
kejadian
kecil
Penyakit penyakit yang memerlukan tindakan emergensi
Tata laksana tindakan / prosedur penyakit dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 4

BAB III
TATA LAKSANA

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 5

3.1.
KARDIOLOGI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 6

GAGAL JANTUNG KRONIK


Kode : ICD. I 25
DEFINISI
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak sanggup
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik, meskipun
darah yang kembali dari vena (venous return) adalah normal dan
mekanisme kompensasi jantung telah dipergunakan.
ETIOLOGI
Penyakit jantung hipertensi
Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung rematik atau kelainan katup
Penyakit jantung bawaan
Penyakit jantung anemik
Penyakit jantung tiroid
Kardiomiopati
Korpulmonal dan lain-lain

PATOFISIOLOGI
Beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada
ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan
peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga terjadi
kenaikan curah jantung. Disamping itu karena pembebanan jantung
yang lebih besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui
peningkatan rangsangan simpatik. Perangsangan ini menyebabkan
peningkatan kadar katekolamin sehingga memacu terjadinya takikardi
dengan tujuan meningkatnya curah jantung.
Bila curah jantung
berkurang, maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit
(Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer
dengan tujuan untuk memperbesar venous return. Dilatasi, hipertropi,
takikardia dan redistribusi cairan adalah mekanisme kompensasi
jantung. Bila semua mekanisme kompensasi ini telah dipergunakan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 7

namun kebutuhan belum terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal


jantung.

BENTUK KLINIS

Ditinjau dari sudut klinis


gambaran klinis berupa:
-

secara

simptomatologis,

dikenal

Gagal jantung kiri: Badan lemah, cepat lelah, berdebar,


sesak napas dan batuk.
Tanda objektif berupa takikardia,
dispnea (dyspnea deffort, orthopnoe, paroxysmal nocturnal
dispnoe), ronki basah halus di basal paru, gallop bunyi jantung III
dan lain-lain.
Gagal jantung kanan: edema tumit dan tungkai bawah,
hepatomegali, ascites, bendungan vena jugularis dll.
Gagal jantung kongesti: merupakan gabungan dari kedua
bentuk klinik gagal jantung kiri dan kanan.
Gagal jantung sistolik
Gagal jantung diastolik

Berdasarkan dyspnoe dan fatique telah ditetapkan klasifikasi gagal


jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) sebagai
berikut:
Kelas I

: tak ada keluhan

Kelas II

: simptom pada pekerjaan biasa

Kelas III

: simptom pada pekerjaan ringan

Kelas IV : simptom pada waktu istirahat

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
-

Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Laboratorium
Elektrokardiografi
Foto dada
Ekokardiografi
Angiografi, dll.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 8

Diagnosis gagal jantung meliputi:


-

Etiologi
Anatomi
Fisiologi

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk:
Menentukan dan menghilangkan sebab penyakit gagal
jantung
Memperbaiki daya pompa jantung
Memperbaiki atau menghilangkan bendungan.
Tindakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:
-

1.
2.
3.
4.
5.

Menentukan derajat payah jantung


Membatasi aktifitas
Mengobati faktor pencetus dan sebab penyakit jantung
diet rendah garam
Pemberian obat-obatan.

1. Menentukan derajat payah jantung


Berdasarkan keluhan dan tanda klinik, derajat gagal jantung
dapat dibedakan:
- Ringan, sedang atau berat
- Akut atau kronik
- Gawat darurat atau tidak.
2. Membatasi aktifitas
Gagal jantung kelas III dan IV istirahat di tempat tidur. Gagal
jantung kelas I dan II tidak perlu istirahat di tempat tidur.
Hindarkan tidur lama.
3. Mengobati factor pencetus dan sebab penyakit jantung.
Faktor pencetus seperti anemia, infeksi dan perdarahan harus
diatasi. Demikian juga penyebab/etiologi dari gagal jantung
harus diperbaiki.
4. Diet rendah garam
- Mengurangi makanan yang asin

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 9

Jika memakai diuretik tidak perlu membatasi garam secara

ketat.
5. Obat-obatan
Obat-obatan yang dipakai untuk gagal jantung adalah:
- Diuretika
- Digoksin
- Vasodilator

Diuretika:
Loop diuretik: Furosemid 20-80 mg
Golongan tiazid: HCT 12,5-25 mg/hari
Hemat kalium: Spironolakton 25-50 mg
Bila respon tidak cukup baik (diuresis kurang dari 60 cc/jam), dosis
diuretik dapat dinaikkan, diberi diuretik intravena, atau kombinasi
loop diuretik dan tiazid atau kombinasi loop diuretik dan
spironolakton
Digoksin:
Digoksin diberikan pada gagal jantung sistolik (disfungsi sistolik
ventrikel kiri) dan terutama jika disertai atrial fibrilasi. Loading
dose 0,5-0,75 mg, bisa diulang 0,25-0,50 mg tiap 8 jam.
Maintenance dose 0,125-0,25 mg/hari.

Vasodilator :
Venodilator: Nitrogliserin, Isosorbide dinitrat.
Arteridilator: Hidralazin, Minoksidil, Phentalamine.
Balanced vasodilator: Nitropruside, Prazosin, Doksazosin
ACE Inhibitor: Captopril, enalapril, lisinopril, dll.
ARB dapat digunakan jika terdapat kontraindikasi
penggunaan ACEI
Penyekat beta: bisoprolol, metoprolol dan carvedilol dapat
digunakan pada keadaan yang sudah stabil (NYHA klas II, III).
Dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi dalam beberapa
minggu hingga dosis optimal tercapai.
-

Obat-obat lain:

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 10

Antiaritmia: antiaritmia klas I tidak dianjurkan pada gagal


jantung. Penyekat beta (klas II) terbukti menurunkan angka
kematian mendadak pada gagal jantung. Amiodaron (klas III)
terbukti bermanfaat untuk aritmia supraventrikel dan ventrikel.
Pemakaian rutin amiodaron pada gagal jantung tidak dianjurkan.
Antiplatelet dapat ditambahkan terutama untuk gagal
jantung
yang disertai dengan atrial fibrilasi dan disfungsi
ventrikel kiri
Antikoagulan perlu diberikan pada gagal jantung dengan
atrial fibrilasi kronik maupun dengan riwayat emboli, trombosis
dan transient ischemic attack, thrombus intrakardiak dan
aneurisma ventrikel
Jangan menggunakan antagonis kalsium untuk mengobati
angina atau hipertensi pada gagal jantung
-

PROGNOSIS
Prognosis gagal jantung ditentukan oleh status jantung (cardiac
status):
Cardiac status:

Prognosis:

Uncompromised

Baik

Slightely compromised

Baik dengan pengobatan

Moderately compromised
pengobatan

Gagal

Severe compromised

Quarde derpite therapy

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

dengan

Page 11

EDEMA PARU AKUT


Kode : ICD. I.50
DEFINISI
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba
akibat peningkatan tekanan intravaskuler
DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat sesak nafas yang bertambah hebat dalam waktu singkat
(jam atau hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa
kemerahan
Pemeriksaan Fisik:

Sianosis sentral
Sesak nafas dengan bunyi nafas seperti mukus berbuih
Ronki basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir
seluruh lapangan paru, kadang-kandang disertai ronki kering
dan ekspirasi memanjang akibat bronkospasme, dahulu dikenal
dengan asma kardiale
Takikardia dengan gallop S3
Murmur bila ada kelainan katup

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 12

Elektrokardiografi

Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibirilasi


atrium, tergantung penyebab gagal jantung
Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri aatau aritmia bisa
ditemukan.

Laboratorium

Darah rutin, urinalisis, ureum/kreatinin, elektrolit


Analisis gas darah
Enzim jantung (CPK, CKMB, troponin T) dapat meningkat jika
penyebabnya infark miokard

Foto Toraks
Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian dapat meluas ke
arah apeks paru. Kadang-kadang ditemukan efusi pleura
Ekokardiografi
Dapat menggambarkan penyebab gagal jantung: kelainan katup,
hipertrofi ventrikel kiri (hipertensi), segmental wall motion
abnormality (penyakit jantung koroner). Pada umumnya ditemukan
dilatasi ventrikel dan atrium kiri.
DIAGNOSIS BANDING
Edema paru akut non kardiak
Emboli paru
Asma bronkial
PENATALAKSANAAN
Posisi duduk
Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit, bila perlu dengan msker.
Jika memburuk: pasiem semakin sesak, takipnu, ronki
bertambah, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara
adekuat:
dilakukan
intubasi
endotrakeal,
suction
dan
ventilator/bipep
Infus emergensi
Monitor tekanan darah, EKG, oksimetri bila ada
Morfin sulfat 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total
dosis 15 mg

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 13

Diuretik: furosemid 40-80 mg iv bolus dapat diulangi atau dosis


ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinyu sampai
dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam
Bila
perlu
(tekanan
darah
turun/terdapat
tanda-tanda
hipoperfusi): drip dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 210 ug/kgBB/menit atau kombinasi keduanya, utuk menstabilkan
hemodinamik.
Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard akut
Atasi aritmia atau gangguan konduksi

KOMPLIKASI
Gagal napas
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respon terapi

ENDOKARDITIS INFEKTIF
Kode : ICD. I.38
DEFINISI
Endokarditis infektif adalah infeksi mikroorganisme pada endokard
atau katup jantung.
ETIOLOGI
Penyakit ini biasanya terjadi:
-

Pada penderita penyakit jantung organic


Pada penderita yang rentan terhadap infeksi.

FAKTOR PENCETUS
-

Ekstraksi gigi
Kateter saluran kemih

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 14

Tindakan obstetrik ginekologi


Radang saluran napas
Dan lain-lain.

Mikroorganisme penyebab
-

Sub akut
: yang terbanyak adalah Streptokokus
viridans (50%),
Stafilokokus aureus
dan Streptokokus atau
Stafilokokus yang lain, jamur, ragi, virus dan
Candida.
Akut

: terbanyak adalah Stafilokokus aureus.

PATOFISIOLOGI
Port dentre kuman yang paling sering adalah saluran napas bagian
atas. Selain itu juga melalui saluran kemih dan genital, saluran cerna,
pembuluh darah dan kulit. Endokard yang rusak dan tidak rata mudah
terinfeksi, mikroorganisme menimbulkaqn vegetasi yang terdiri dari
trombosit dan fibrin. Kuman yang sangat patogen dapat menyebabkan
robeknya katub dan terjadi kebocoran. Infeksi miokard atau aneurisma
nekrotik.
Pembentukan trombus yang mengandung kuman dan
kemudian lepas dari endokard merupakan gambaran yang khas pada
endokarditis infektif. Emboli ini dapat menyangkut di organ vital lain.

BENTUK KLINIS

- Sub akut :

Gejala umum
Demam, lesu, lemah, keringat
menurun, hepatomegali.

:
banyak,

anoreksia,

BB

Gejala emboli/vaskuler:
Splinter haemorrhagic, Osler node, petechial (roths spot) dan
gejala organ lain.

Penyakit jantung
murmur, dll.

Gejala jantung
yang mendasari,

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

:
terdapat

perubahan

Page 15

Akut: yang menonjol adalah gejala infeksi.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya bentuk klinik seperti di atas,
laboratorium, ECG, Foto dada dan Ekokardiografi.
Kriteria klinis Duke untuk endokarditis infektif (EI) :
El Definite

Kriteria Patologis
Mikroorganisme: ditemukan dengan kultur atau histologi dalam
vegetasi yang mengalami emboli atau dalam suatu abses
intrakardiak

Kriteria klinis
Menggunakan definisi spesifik, yaitu : dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor dan tiga krteria minor atau lima krteria minor

Kriteria Mayor:
1. Kultur darah positif untuk endokarditis infektif (EI)
A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari dua kultur darah
terpisah seperti di bawah ini:
1) Streptococci viridas, streptococcus bovis atau grup HACEK
atau
2) Community
acquired
staphylococcus
aureus
atau
enterococci tanpa ada fokus primer atau
B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif
persisten, didefinisikann sebagai :
1) 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah > 12
jam atau
2) Semua dari 3 atau mayoritas dari 4 kultur darah
terpisah (dengan sampel awal dan akhir diambil terpisah
1 jam)
2. Bukti keterlibatan endokardial
A. Ekokardiografi positif untuk EI didefinisikan sebagai:
1) Massa intrakardiak oscilating pada katup dan struktur
yang menyokong, di aliran jet regurgitasi atau pada
material yang diimplikasikan tanpa ada alternatif anatomi
yang dapat menerangkan atau
2) Abses, atau

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 16

3) Tonjolan baru pada katup prostetik atau


B. Regurgitasi katup yang baru terjadi (memburuk atau berubah
dari murmur yang ada sebelumnya)
Kriteria Minor:
1. Predisposisi: pengguna obat intravena
2. Demam: suhu 38 OC
3. Fenomena vaskuler: emboli arteri besar, infark pulmonal
septik,
aneurisma
mikotik,
perdarahan
intrakaardial,
perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway.
4. Fenomena immunologis: glomerulonefritis, Oslers nodes,
Roth spot, dan faktor reumatoid positif
5. Bukti mikrobiologis: kultur darah positif tetapi tidak memnuhi
kriteria mayor seperti tertulis di atas atau bukti serologis
infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI
6. Temuan kardiografi: konsisten dengan endokarditis infektif
tetapi tidak memenuhi kriteria seperti di atas.
EI possible
Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi
tidak memnuhi kriteria rejected

EI rejected
Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis
atau resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotik
selama< 4 hari atau
Tidak ditemukan bukti patologis EI pada saat operasi atau otopsi
setelah terapi antibiotik > 4 hari.

PENATALAKSANAAN
Pemilihan obat sesuai dengan uji resistensi. Endokarditis yang
disebabkan oleh S.viridans sensitif terhadap penisilin G 12-28 juta
unit/hari iv kontinu atau 6 dosis terbagi terbagi selama 4 minggu,
seftriakson 2 gram iv sekali sehari selama 4 minggu , kombinasi
penisilin G dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB iv tiap 8 jam
selama 2 minggu, Vancomisin HCL 30mg/kgBB/24 jam iv dalam 2

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 17

dosis terbagi, tidak melebihi 2 gram/24 jam keculai kadar serum


dipantau selama 4 mingu. Jamur dapat diberikan Amfoterisin B 0,51,2 gram/KgBB/hari IV dan Flusitosin 150 mg/KgBB/hari oral. Selain
mengobati infeksi, juga perlu diperhatikan penyakit yang menyertai
endokarditis seperti gagal jantung. Juga perlu dijaga keseimbangan
air dan elektrolit, diet yang cukup kalori dan vitamin
KOMPLIKASI
Dapat menyebabkan gagal jantung.
Emboli dapat menyangkut di organ lain seperti otak,
ginjal, limfa, saluran cerna, anggota gerak, kulit dan paru.
Aneurisma nekrotik
Gangguan neurologi
Perikarditis.
PROGNOSIS
Dengan adanya antibiotika, kematian karena penyakit ini dapat
diturunkan dari 100% menjadi 25%.
Prognosis lebih buruk bilamana ada:
1.
2.
3.
4.

Payah jantuing
Mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotika
Pengobatan yang terlambat
Infeksi yang terjadi setelah pemasangan katub
prostetik

5.
6.

Orang tua dan keadaan umum yang buruk


Adanya komplikasi seperti emboli otak, gagal ginjal
dan lain-lain

ANGINA PEKTORIS
Kode : ICD.I.28

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 18

DEFINISI
Merupakan simptom komplek yang secara klasik berupa nyeri dada
seperti dicekik atau diperas berlangsung 1-10 menit yang biasanya
timbul pada saat latihan dan menghilang pada saat istirahat. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi pada keadaan istirahat dan dicetuskan
oleh faktor emosi. Ada beberapa angina pectoris yang kita kenal
seperti angina pektoris stabil, tidak stabil, variant yang penting
dibedakan oleh karena prosedur diagnosis, pengobatan dan prognosis
yang berbeda.

ETIOLOGI

Aterosklerosis koroner
Stenosis aorta atau regurgitasi
Spasme buluh koroner dengan atau tanpa
kelainan buluh koroner.
Kardiomiopati hipertropik dengan atau tanpa
obstruksi
Kardiomiopati dilatasi
Gangguan reserve koroner pada hipertensi
sistemik
Mitral stenosis dengan hipertensi pulmonal berat.

PATOFISIOLOGI
Iskemia miokard terjadi oleh karena ketidak seimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen pada miokard.
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen:
Frekwensi jantung & meningkat pada keadaan rasa sakit
stres serta rangsang simpatis.
Tegangan intra miokard yang dipengaruhi oleh tekanan
dan volume ventrikel kiri, serta tebalnya dinding ventrikel.
Status kontraktilitas miokard.
-

Faktor yang mempengaruhi suplai oksigen:


-

Kandungan oksigen
anemia dan hipoksemia.

darah

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

misalnya

menurun

pada

Page 19

Aliran darah
vasokonstriksi.

koroner,

menurun

pada

obstruksi

dan

BENTUK KLINIS
Rasa tidak enak seperti berat dan tekanan
Lokasi retrosternal, leher, lengan atau rahang.
Dapat disertai nafas pendek, keringat banyak, cemas dan

fatigue
-

Dicetuskan oleh latihan, stres, marah, dingin dan


meningkatnya kebutuhan metabolik.
Berlangsung 3-10 menit , hilang pada istirahat atau
nitrogliserin terjadi sublingual.
Kadang-kadang terjadi episode iskemia tersembunyi
tanpa adanya keluhan angina.

ANGINA STABIL
Angina terjadi lebih dari 60 hari tanpa adanya perubahan dalam
kekerapan, derajat, lamanya, faktor pencetus & cara hilangnya.
ANGINA TIDAK STABIL
Merupakan angina dengan onset baru (dalam 60 hari) atau angina
stabil dengan perubahan berupa meningkatnya kekerapan, derajat
(crescendo). Termasuk angina pada istirahat, angina pada latihan
minimal, atau angina yang timbul timbul setelah infark miokard.
ANGINA VARIANT

Merupakan angina yang terjadi pada waktu istirahat, biasanya


dengan toleransi latihan yang baik. Biasanya terjadi diurnal,
spasme buluh koroner, walaupun biasanya juga terjadi pada
buluh koroner yang atherosklerosis obstruktif.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik :
Dapat saja normal, atau tergantung adanya faktor resiko seperti
hipertensi, infark jantung atau kelainan katub.
Pemeriksaan penunjang :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 20

Foto thorak biasanya normal, kecuali pada beberapa


keadaan yang mendasari.
Elektrokardiogram, dapat normal pada 50% pasien.
Perubahan EKG berupa depresi segmen ST , atau elevasi pada
kejadian infark atau angina variant.
EKG latihan dengan treadmill, bila EKG istirahat tidak
menunjang.
Ekhokardiografi, melihat gangguan gerakan secara
segmental, dapat dilakukan pada saat latihan.
Skintigrafi thalium pada saat latihan.
Kateterisasi/angiografi.

PENGOBATAN:
Angina pektoris stabil.
Nitroglycerin sublingual 0,4 mg dapat diulang tiga kali bila
perlukan.
Isosorbid dinitrate sublingual 5-20 mg beberapa kali
sehari bila dibutuhkan. Yang oral 10-40 mg 2-3 kali sehari.
Nitrogliserin topikal, salep atau semprot.
Antagonis kalsium dapat berupa diltiazem atau nifedipin
Antagonis beta
Anti platelet
Angina tidak stabil :
-

Dirawat sebagai infark di rumah sakit (ICCU)


Pemakaian nitrat bila perlu intravena atau oral seperti di
atas
Heparin dapat diberikan intra vena
Antagonis kalsium beta dan anti platelat seperti pada
angina stabil
Angina variant :
-

- Nitrat dan antagonis kalsium dan sebaiknya tidak diberikan


penyekat beta
- Pengobatan lain:
Angioplasti dengan balon
Operasi pintas koroner
KOMPLIKASI
-

Aritmia

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 21

Infark miokard
Disfungsi ventrikel

PROGNOSIS
Tergantung jumlah buluh koroner yang terlibat
Adanya komplikasi
Adanya faktor resiko
Frewensi serangan iskemia

SINDROMA KORONER AKUT (SKA)


Kode : ICD.I.28
DEFINISI
Suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa
perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat
iskemia miokard.
Sindroma koroner akut mencakup:
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)
Infark miokard akut tanpa selevasi segmen ST (NSTEMI)
Angina Pektoris tak stabil (unstable angina pectoris, UAP)
ETIOLOGI
-

Arterosklerosis buluh koroner

Spasme buluh koroner

Lain-lain

PATOFISIOLOGI
Adanya

gangguan

metabolisme

protein,

fungsi

platelet

endotel

makrofag dan proliferasi otot polos buluh darah merupakan faktor


penting dalam arterogenesis.

Adanya plague dan ateroma akan

menimbulkan pembentukan trombus.


sklerosis

atau

gabungan

pembentukan trombus.
gabungan

dengan

dengan

Adanya penyempitan karena


trombus

dapat

menimbulkan

Adanya penyempitan karena sklerosis atau

trombus

dapat

menimbulkan

infark

miokard.

Adanya kenaikkan tonus vasomotor pada salah satu segment buluh

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 22

koroner dapat menimbulkan sumbatan selain juga dapat menimbulkan


trombus. Beberapa keadaan seperti kelainan kongenital buluh koroner,
arteritis,

trauma,

coronary

dissection,

keadaan

hiperkoagulasi,

kasemuanya dapat menimbulkan kejadian infark.


BENTUK KLINIS
-

Riwayat angina yang tidak stabil

Rasa tidak enak retrosternal bisa ringan sampai berat,


seperti tertekan, diperas, biasanya menyebar ke leher, gigi,
rahang, lengan dan tangan kiri.

Dapat pula disertai keadaan

gelisah, lemah, sesak, diaphoresis, mual muntah, rasa mau


buang air besar.

Keadaan ini berlangsung mulai setengah

sampai beberapa jam.


Kejadian ini dapat tanpa faktor pencetus atau dengan

faktor pencetus seperti latihan, pembedahan, tidur, marah,


makan, udara dingin atau anemia.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik :
Dapat saja normal, kadang-kadang ditemui rangsangan simpatis
berupa ansietas, gelisah, takikardi, hipertensi.

Dapat disertai

tangan dingin, keringat banyak terutama pada infark yang luas dan
gangguan fungsi ventrikel kiri. Dapat juga demam derajat rendah
karena nekrosis miokard. Suara jantung bisa melemah, S3, dapat
terjadi murmur sistolik oleh karena ruptur khorda atau septum, dan
friksi perikard oleh karena inflamasi perikard. Adanya gagal jantung
kongestif tanpa sakit dada dapat terjadi pada infark dengan
penderita diabetes malitus.
Pemeriksaan radiologis :
Foto torak dapat membantu melihat adanya edema paru.

Elektrokardiogram :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 23

Berupa elevasi segmen ST yang diikuti dengan inversi gelom,bang T


dan terbentuknya gelombang Q.

Dapat juga disertai perubahan

yang khas berupa depresi ST atai Inversi T tanpa adanya Q.

Laboratorium :
Adanya kenaikan enzym jantung serum, yaitu CKMB, LDH, alpha
HBDH dan SGOT.
PENGOBATAN
Umum :
Tirah baring total (ICCU), monitor ECG, tekanan darah,

oksimetri
-

Infus darurat

Oksigen

Bila sakit sekali morphin sulfat 2-5 mg IV dapat diulang 10


menit sampai rasa nyeri hilang. Dapat pula diberikan Meperidin
Hcl 25-50 mg IV setiap 15 menit bila perlu.
Diet: puasa hingga bebas nyeri, kemudian diberikan diet

jantung I-II dalam 24 jam pertama


-

Berikan pelunak feses, laktulosa (laxadin) 2 x 15 ml

Dapat diberikan tranquilizer minor.

Khusus :
Aspirin 160-345 mg sehari

Bila alergi aspirin, intoleransi atau tidak resposif dapat


diberikan tiklopidin atau klopidogrel
Nitrogliserin/isosorbid

dinitrat

sublingual,

bila

perlu

intravena dalam 1-2 hari.


-

Trombolisis: streptokinase 1,5 juta unit dalam 1 jam jika


elevasi segmen ST >0.1 mV pada dua atau lebih sandapan
ekstremitas berdampingan, atau >0,2 mV pada dua atau lebih
sandapan prekordial berdampingan, waktu mulai nyari dada <
12 jam, usia < 75 tahun

Penyekat

beta

dapat

diberikan

jika

tidak

ada

kontraindikasi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 24

Penghambat ACE diberikan bila keadaan mengizinkan


terutama pada infark miokard

akut yang luas, atau anterior,

gagal jantung tanpa hipotensi


-

Antangonis kalsium: verapamil untuk infark miokard


NSTEMI atau angina pektoris tak stabil bila nyeri tidak teratasi

Antikoagulan:

KOMPLIKASI
-

Aritmia ringan sampai yang berat

Ruptur septum atau aneurisma, ruptur korda

Gagal jantung ringan sampai berat, syok kardiogenik

Penyakit serebro vaskuler

Perikarditis

Dressler Syndrome

Angina paska infar

ARITMIA
Kode : ICD. I.49
DEFINISI
Aritmia adalah keadaan gangguan irama dengut jantung yang
ditimbulkan akibat gangguan sistem pacu (pacemaker) dan konduksi
listrik jantung, baik akibat rangsangan ektopik maupun reentry.
ETIOLOGI
Penyakit Jantung Koroner (Iskemia Miokard), Penyakit Jantung Katub,
Penyakit Otot Jantung, Gangguan keseimbangan elektrolit atau asam
basa, degarasi sistem konduksi (ASHD), gagal jantung, gangguan
hormon, hipoksia, perdarahan akut masif, psikogen dan atau faktor
konstitusi.
PATOFISIOLOGI
Sesuai etiologinya masing-masing, biasanya ditimbulkan oleh
peningkatan kepekaan, kelainan dan degenerasi sistem pacu/konduksi
miokard.
GAMBARAN KLINIS

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 25

Dari asimptomatik, rasa berdebar-debar, denyut nadi tak teratur, chest


discomfort, sinkop, gagal jantung, syok kardiogenik, sampai henti
jantung. Gambaran laboratorium sesui etiologinya, tidak ada yang
khas untuk aritmia. Demikian pula gambaran radiologiknya.
PEMBAGIAN DIAGNOSIS SECARA KLINIS & EKG (MONITOR)
a. Aritmia Supraventrikel: SVES< SVT< PAT< AF< Atrial Flutter,
Irama Nodal, Sindrom WPW

Aritmia Ventrikel:
VES,VT, VF, Ventricular Flutter,
Torsades des Pointes
b. Gangguan Konduksi

Tingkat Supraventrikel: sinus arrest, SA block, sinus


bradikardia, Sick Sinus Syndrome, Asistol (dengan atau tanpa
escape beat/escape rhythm)

Tingkat AV Node: AV Block (derajat I, derajat II =


Moebitz I/tipe Wenckebach, Moebitz II, 2:1 AV Block, 3:1 AV
Block, derajat III = Total AV Block)

Tingkat Ventrikel (Berkas His): RBBB, LBBB, LAHB,


LPHB, bifascular/trifascular block, idioventricular rhythm.
PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan aritmia ialah hanya simptomatis, sepanjang tidak
ada keluhan atau komplikasi yang membahayakan, aritmia tidak
diterapi.
Terapi terutama ditujukan kepada penyebabnya, baru
kemudian mengatasi dampak/komplikasi yang akan atau telah terjadi
(syok kardiogenik, gagal jantung dan sebagainya) untuk penyelamatan
hidup seseorang.
Berikut adalah beberapa patokan terapi standard untuk beberapa jenis
aritmia yang sering dijumpa :
a.

Ekstrasistol
Supraventrikel
(SVES,
Premature Atrial Contraction)
SVES biasanya tidak diterapi kecuali simptomatis misalnya
dengan sedatif (diazepam) dan kalau perlu dengan
sulfaschinidin atau disopiramid.

b.

Fibrilasi Atrium (AF)


Klinis ditandai dengan temuan khas yaitu pulsus defisit.
Indikasi perawatan ialah AF dengan respons ventrikel yang
cepat (lebih dari 100 x per menit) atau AF yang timbul baru
berkenaan dengan SKA. Terapi AF perlu dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu mengembalikan ke irama sinus (konversi) dan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 26

mencegah respons ventrikel yang cepat (perlambatan respons


ventrikel).
Konversi hanya diusahakan untuk mencegah terjadinya
fenomena tromboemboli dan biasanya dilakukan pada AF yang
baru terjadi (6-8 minggu) misalnya pada SKA atau sesudah
operasi/koreksi katup mitral. Konversi dilakukan dengan sulfas
chinidin dari dosis awal 3-4 x 100 mg sampai maksimum 2000
mg/hari. Alternatif lain dapat dipakai disopiramid 3-4 x 100
mg/hari. Konversi peroral ini dapat dilakukan secara rawat
jalan, dilihat hasilnya dalam dua minggu. Bila tidak berhasil
dilakukan defibrilasi (DC Shock) dengan dosis 75-100 Joule
beberaqpa kali. Bila AF sudah berlangsung lama tidak perlu
dikonversi namun perlu dicegah terjadinya fenomena
tromboemboli dengan anti agregasi trombosit seperti asetosal
dosis rendah. Perlambatan respon ventrikel ditujukan untuk
mencegah terjadinya gagal jantung dilakukan dengan digitalis
atau penyekat beta (propanolol, atenolol atau metoprolol).

c.

Takikardia

Supraventrikel

Paroksismal

(PSVT)
Penderita biasanya dirawat. PSVT diobati untuk mencegah
terjadinya gagal jantung dan segera dilakukan penekanan bola
mata (eye ball pressure) atau massage sinus karotikus. Bila
tidak berhasil dapat diberikan verapamil injeksi bolus i.v. 10-20
mg. obat lain yang dapat dipakai: adenosin, digitalis, diltiazem
atau penyekat beta secara intravena. Bila obat-obatan tidak
berhasil mengembalikan ke irama sinus dan terdapat
gangguan hemodinamik, dapat dilakukan defibrilasi 100-150
Joule.
d.

Sindrom WPW
Ditandai dengan adanya interval PR yang memendek,
gelombang delta dan melebarnya QRS. Bila terjadi AF atau
PSVT tidak boleh diberikan terapi seperti di atas (verapamil,
penyekat beta atau digitalis) melainkan diberikan disopiramid
atau defibrilasi. Ini disebabkan karena dengan obat golongan
tersebut impuls fisiologis melalui AV Node dapat ditekan tetapi
sebagai kompensasinya, impuls dapat melalui jalur asesoris
yang patologis sehingga sampai di ventrikel menimbulkan
takikardi ventrikel yang ganas. Penderita dengan sindrom
WPW yang tenang tidak dirawat.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 27

e.

Sick Sinus Syndrome


Sick Sinis Syndrome (SSS) dikarenakan degenerasi SA Node
sehingga
Impuls tidak dapat diharapkan lagi timbul secara adekuat,
maka untuk membangkitkan kontraksi ventrikel biasanya
dicoba dengan pemberian sulfas atropine dari dosis ringan
0,25-2 mg sesering mungkin sampai respons denyut jantung
yang wajar (> 50x per menit), bila gagal perlu dipasang pacu
jantung permanent. Penderita yang sering mengalami sinkop
perlu dirawat.

f.

Ekstrasistol Ventrikel (VES, Premature


Ventriculer Contraction)
Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama jantung yang
paling sering ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang
normal.
VES yang ganas dapat disebabkan oleh iskemia
miokard, infark miokard akut, gagal jantung, sindroma QT
memanjang, prolaps katup mitral, CVA, keracunan digitalis,
hipokalemia, miokarditis, kardiomiopati. Kriteria VES ganas:
bila VES > 10 x per menit , jenisnya multifokal, atau unifokal
tetapi berupa kuplet, triplet, salvo atau sudah menjadi VT
paroksismal, unifokal tetapi tipe R on T, bigemini atau trigemini
dan VES yang berasal dari ventrikel kiri.
Pengobatan
diperlukan segera untuk mencegah berubahnya VES menjadi
VT atau VF yang fatal itu. Penderita dengan VES ganas perlu
dirawat. Obat yang paling sering digunakan adalah xilokain
intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB bolus, dilanjukan dengan
infus 1-2 mg per menit. Dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg
per menit. Obat lain yang dapat dipakai: amiodaron,
meksiletin, dilantin.

g.

Takikardi
Ventrikel
(VT)
dan
Fibrilasi
Ventrikel (VF)
VT dan VF harus cepat ditangani (gawat darurat) karena dapat
menimbulkan henti jantung. Segera diberikan bolus lidokain
i.v. 50-100 mg dan drip dalam dextrose 5% 2 mg/menit
sampai minimal 2 hari dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
meksiletin sampai maksimal 6 bulan. Bolus dan drip bisa juga
dilakukan dengan meksiletin atau disopiramid.
Untuk
pemeliharaan dapat juga dipakai obat golongan penyekat beta
seperti atenolol atau metoprololl (50-200 mg/hari) sampai
beberapa bulan. Bila dengan cara di atas belum juga berhasil
atau dalam keadaan umum yang kritis, segera harus dilakukan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 28

defibrilasi 200-300 Joule beberapa kali.


Untuk VF disetel
defibrilasi unsynchronized.
Bila terjadi komplikasi syok
kardiogenik maka diberikan drip Dopamin 2-10 mikrogram/Kg
BB/menit.
h.

Torsades des Pointes


Torsades des Pointes merupakan aritmia ventrikel yang ganas
yang justru tidak diobati dengan anti aritmia dan harus segera
diberantas denga MgSO4 sedangkan anti aritmia yang sedang
diberikan harus dihentikan.

i.

Blok AV Total
Pada Blok AV total impuls dari simpul SA dan AV tidak dapat
diteruskan ke berkas His sehingga ventrikel membuat
otomatisasinya sendiri dengan akibat tidak adekuatnya sistem
kardiovaskuler.
Bila keadaan hemodinamik masih dapat
ditoleransi, masih diusahakan perangsangan simpul SA dengan
sulfas atropine 0,50-2,00 mg i.v. sesering mungkin sampai
dapat dipasang alat pacu jantung temporer kemudian
permanen. Penderitanya dirawat bila dalam konteks IMA atau
sering mengalami sinkop.

j. Henti Jantung
Henti jantung ditandai dengan hilangnya kesadaran, tekanan
darah/nadi tak terukur, tidak adanya pernapasan. Bila tidak
secepatnya dilakukan resusitasi jantung paru di tempat
kejadian maka pasien dapat meninggal dalam waktu yang
singkat. Obat-obatan yang diperlukan untuk resusitasi ini ialah
antara lain adrenalin (kalau perlu intrakardial), CaCL2 atau Ca
glukonas, bikarbonas natrikus, sulfas atropine yang semuanya
diberikan secara bolus i.v. sampai keadaan hemodinamiknya
teratasi. Defibrilasi diberikan sesuai indikasi yang dinilai dari
monitor EKGnya. Drip dopamine diberikan langsung untuk
mengatasi syock kardiogenik yang sedang berlangsung.
Seluruh penderita aritmia yang dirawat baru dipulangkan
setelah keadaan hemodinamiknya cukup stabil.
KOMPLIKASI
Telah disebutkan di atas yaitu sinkop, fenomena tromboemboli, gagal
jantung, syok kardiogenik, henti jantung dan mati mendadak.
PEMERIKSAAN LANJUTAN

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 29

Untuk menilai tingkat beratnya dan jenis aritmia perlu dilakukan


pemeriksaan Holter monitoring dan telaah elektrofisiologi berkas his
melalui kateterisasi jantung.
PROGNOSIS
Dubia ad bonam bila ditangani secara tuntas.
LAMPIRAN:
Daftar Obat Untuk Aritmia
1) SVES: diazepam, sulfas kinidin, disopiramid.
2) AF, A.Flutter: digitalis, sulfas chinidin, atenolol, metoprolol,
propanolol.
3) PSVT: verapamil, digitalis
4) Sindrom WPW: disopiramid
5) Sick Sinus: sulfas atropine, isoprenalin
6) VES: diazepam, meksiletin, prokainamid, difenilhidantoin,
disopiramid, amiodaron, atenolol, metoprolol, propanolol.
7) VT/VF: xilokain, meksiletin, disopiramid, amiodaron
8) Torsades d.Pointes: Mg SO4
9) Blok AV total: sulfas atropine, isoprenalin.
10)
Henti Jantung: CaCl2/Ca glukonas, bikarbonas natrikus,
sulfas atropine, adrenalin, dopamine.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 30

PENYAKIT JANTUNG KATUP


Kode : ICD. I.08
DEFINISI
Penyakit jantung katup ialah kelompok penyakit pada katup jantung
yang berupa penyempitan (stenosis) atau kebocoran (regurgitasi =
insufisiensi) baik secara anatomik maupun fungsional.
ETIOLOGI
Biasanya disebabkan oleh sekuele demam reuma, degenerasi (proses
penuaan). Penyebab lain sangat jarang yaitu trauma ate congenital.
PATOFISIOLOGI
Demam yang didasarkan pada reaksi autoimun menimbulkan
peradangan pada seluruh jaringan jantung (pankarditis) yang sembuh
sendiri tetapi dapat meninggalkan sekuele pada daun katub jantung
berupa stenosis atau regurgitasi. Akibat stenosis/regurgitasi katup
jantung, maka curah jantung akan menurun, jantung berusaha
mengkompensasi dengan akibat hipertrofi dan dilatasi ruang-ruang
jantung, gagal jantung kiri, kanan dan keduanya (kongestif) dan
bahkan hipertensi pulmoner.
Selain itu gagal jantung akan
mempermudah terjadinya aritmia seperti VES, SVES, VT, VF. Aritmia
yang sering ialah AF meskipun belum terjadi gagal jantung.
GAMBARAN KLINIS SECARA UMUM
Biasanya keluhan penyakit jantung katup timbul sehubungan dengan
gagal jantung (lihat bab gagal jantung) atau aritmia (lihat bab aritmia).
GAMBARAN KLINIS KHUSUS/ EKG/ RONTGEN/ EKOKARDIOGRAFI
MENURUT JENISNYA
Tergantung dari jenis katup yang terkena berikut adalah beberapa jenis
kelainan katup yang tersering:
1) Stenosis Mitral (MS):
Aktivitas RV meningkat, MI mengeras, P2 bisa mengeras,
opening snap, murmur middiastolik di apeks. EKG: bisa AF atau

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 31

SR, aksis kanan, P mitral, RVH. Foto toraks: kardiomegali,


pinggang jantung (-), Aortic knob mengecil, bendungan paru (+).
Eko: diastolic dooming, EF slope mendatar, RV dilatasi, LA
dilatasi, mungkin ada thrombus, aortic root mengecil, ukuran
area katup
mitral menyempit (<3 cm2).
Meningkatnya
pressure gradient melalui katup mitral (Doppler).
2) Regurgitasi/Insufisiensi Mitral (MI):
Aktivitas LV meningkat, jantung membesar ke kiri, MI melemah,
murmur pansistolik di apeks. EKG: aksis kiri, LVH. Foto toraks:
kardiomegali, bendungan paru (+). Eko: LV dilatasi, tanda
volume overload LV. Systolic jet pada katup mitral dan LA
(Doppler).
3) Regurgitasi/Insufisiensi Aorta (I):
Hipertensi sistolik, homo palsans, Corrigan pulse, pulsus celer et
magnus, Quineke sign, pistol shot sign, aktivitas LV meningkat,
jantung membesar ke kiri, A2 melemeh, early diastolic murmur
di parasternal. EKG: SR, aksis kiri, LVH. Rontgen: kardiomegali.
Eko:
LV dilatasi, tanda volume overload, diastolic
flutter/vibration katup mitral, diastolic jet melalui katup aorta
(Doppler).
4) Stenosis Aorta (AS):
Riwayat nyeri dada, hipotensi, pulsus tardus et parvus, aktivitas
LV. meningkat, jantung membesar ke kiri, A1 mengeras, systolic
ejection click, harsh ejection systolic,murmur di parasternal atas.
EKG:
SR, aksis kiri, LVH dengan LV strain.
Rontgen:
kardiomegali, aorta melebar. Eko: LV hipertrofi/dilatasi, tanda
pressure overload, aortic root melebar, pembukaan aorta kecil,
pressure gradient systolic di aorta (Doppler).
5) Regurgitasi/Insufisiensi Trikuspid (TI):
JVP meningkat, aktivitas RV meningkat, murmur parasistolik di
prekordial yang lebih mengeras sewaktu inspirasi maksimal,
hepatomegali dengan hepatojugular reflux. EKG: SR, aksis
kanan, RVH. Rontgen: kardiomegali. Eko: RV dilatasi, systolic
jet pada katub tricuspid (Doppler).
6) Regurgitasi/Insufisiensi Pulmonal (PI):
Biasanya merupakan kelainan fungsional pada MS/MI. Terdengar
early diastolic murmur di parasternal atas. EKG: aksis ke kanan,
RVH.
Eko:
RV dilatasi, diastolic jet pada katup pulmonal
(Doppler).

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 32

LABORATORIUM
Gambaran laboratorium biasanya untuk mencari faktor etiologik
demam reuma yaitu ASTO dan CRP yang positif.
PENATALAKSANAAN
Penyakit jantung katup diobati bila penderita dalam fungsional NYHA
kelas II ke atas. Pengobatan biasanya untuk mencegah/mengobati
gagal jantung seperti diuretik, digitalis, vasodilator, venodilator, dsb.
(lihat pengobatan gagal jantung). Komplikasi aritmia diobati dengan
anti aritmia (lihat pengobatan aritmia). Pengobatan medikamentosa ini
diberikan seumur hidup sebelum pengobatan definitif dapat diberikan.
Untuk lebih memastikan jenis tindakan yang akan diambil sebagai
pengobatan definitif diperlukan pemeriksaan final secara invasif yaitu
kateterisasi jantung. Pengobatan yang definitif ialah secara invasif
dengan
baloon
valvuloplasty
atau
operatif
dengan
valvuloplasty/valvulotomi/penggantian katub dengan prostetik. Akan
tetapi terapi definitif ini baru dilakukan bila perjalanan penyakit masih
belum terlambat. Bila fungsi ventrikel kiri sudah sedemikian buruk dan
hipertensi pulmonal sudah sedemikian tingginya maka terapi invasif
atau bedah tidak perlu dilakukan lagi.
KOMPLIKASI
Telah disebutkan yaitu gagal jantung, aritmia, hipertensi pulmonal,
fenomena tromboemboli.
TINDAK LANJUT
Penderita paska bedah jantung masih harus dikontrol rutin sebulan
sampai tiga bulan sekali untuk menurunkan dosis obat-obat yang
pernah diberikan semasa pra bedah. Khusus untuk penderita dengan
katup prostetik harus diberikan obat anti koagulan oral seumur hidup
yaitu kumarin (sintrom) yang idealnya harus disesuaikan dosisnya
setiap dua minggu setelah dilakukan pemeriksaan trombotest.
PROGNOSIS
Dubia ad bonam menurut tepatnya pengobatan dan komplikasi yang
terjadi.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 33

3.2.
PULMONOLOGI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 34

PNEUMONIA
Kode : ICD.J12 & ICD.J.15
DEFINISI
Infeksi pada parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, parasit dan basil lainnya.
Termasuk kelompok penyakit ini adalah : abses paru, dan Piotoraks
(Empisema).
PATOFISIOLOGI
Infeksi biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas yang
berlanjut ke saluran nafas bawah. Pneumonia dapat terjadi di
masyarakat (Community Acquired Pneumonia), terjadi di Rumah Sakit
(Hospital Acquired Pneumonia atau Pneumonia Nosokomia), Pneumonia
karena aspirasi, Pneumonia pada penderita mempunyai penyakit
penyerta seperti PPOK, DM dan Pneumonia terjadi pada penderita
dengan daya tahan tubuh menurun.
ETIOLOGI
Berbagai mikroorganisme seperti bakteri Aerob gram (+) Streptococcus
pneumonia (Pneumococcus), Staphylococcus, bakteri aerob gram (-)
seperti Pseudomonas, Klebsiella, Proteus, Haemophilus, Branhamella,
Bakteri Anaerob, Jamur, Parasit, Basil lain terutama Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia dan Legionella.
GEJALA KLINIS
Pneumonia ada 2 jenis yaitu Pneumonia Tipikal dan Pneumonia Atipikal.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 35

Pneumonia Tipikal mempunyai gejala klinis yang klasik


berupa panas tinggi, serangan cepat dan akut, batuk
dahak purulens, nyeri dada dan sesak nafas, foto toraks
lesi konsolidasi.
- Pneumonia Atipikal biasanya panas tidak terlalu tinggi,
serangan lebih lambat, batuk kering atau dahak mukoid,
sesak nafas tidak nyata, foto toraks lesi difus.
Pemeriksaan fisik bila ditemukan adanya infiltrat maka stremfremitus
meningkat, perkusi redup, vesikuler meningkat, ronkhii basah halus
nyaring dan krepitasi. Etiologi Pneumonia tipikal biasanya bakteri aerob
gram (+), gram (-) dan bakteri anaerob. Etiologi pneumonia atipikal
biasanya, Mycoplasma, Chlamydia dan Legionella.
Laboratorium
Ditemukan lekositosis, hitung jenis dominan PMN, bergeser ke kiri.
Khusus : Ditemukan mikroorganisme penyebab infeksi melalui biakan
darah, sputum, aspirasi transtrkheal, transbronkhial dan transtorakal.
-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks akan terdapat lesi konsolidasi atau difus pada lapangan
paru, lesi perselubungan untuk pleuropneumonia dan piotoraks, lesi air
fluid level untuk abses paru.
DIAGNOSIS
Berdasarkan gejala klinik yang menyokong, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan foto toraks. Diagnosis pasti bila ditemukan adanya
mikroorganisme penyebab infeksi.
KOMPLIKASI
Berupa pneumonia toksik dengan gangguan kesadaran dan sesak
nafas hebat kemudian diikuti oleh adanya syok. Pneumonia tipikal
sering menimbulkan komplikasi berupa pleuropneumonia, piotoraks
dan abses paru.
PENATALAKSANAAN / TERAPI
Pemberian cairan intra vena kira-kira 2-2, 5 L/hari dalam bentuk kalori
dan elektrolit. Oksigen 2 3 L / menit.
Diet dalam bentuk cairan / bubur.
Antibiotika berdasarkan etiologi penyebab infeksi, gabungan golongan
Penicilin / Cepalosporin dan Aminoglycosides bila hasil biakan dan tes
resistensi belum didapat. Bila klinik atipikal, sebaiknya diberikan
golongan makrolides atau Quinolon.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 36

Pneumonia kronik perlu diberikan infus Dexamethasone 4 x 8 mg.


Evaluasi / Follow up : meliputi klinik, diet dan hasil pengobatan.
Prognosis umumnya baik kecuali pneumonia toksisk dan keadaan
umum yang jelek (syok)

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KHRONIK (PPOK)


Kode : ICD. J.43
DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru obstruksi khronik yang ditandai oleh uji
arus ekspirasi abnormal (perlambatan) dan tidak mengalami
perubahan dalam observasi selama beberapa bulan dan terdiri dari
emfisema paru, bronchitis khronik dan penyakit saluran nafas perifer.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya tahanan pada saluran nafas karena sempit akibat secret
(pada bronchitis khronik) dan penurunan elastisitas paru (pada
emfisema dengan akibat resistensi saluran nafas meningkat.
Peningkatan resistensi ini akan menyebabkan gangguan ventilasi dan
difusi sehingga PAO2 menurun, PACO2 meningkat, kapiler paru spasme
dan resistensi pembuluh darah meningkat, terjadi hipertensi pulmonal
dan berlanjut dengan kor pulmonale.

ETIOLOGI
Iritasi khronik pada saluran nafas seperti rokok (bronchitis khronik,
polusi debu dan defisiensi alpha 1 antitripsin (emfisema).
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 37

GEJALA KLINIK
Batuk khronik dengan dahak (pada bronchitis kronik keadaan ini terjasi
setiap hari selama 3 bulan da;lam 1 tahun pada sedikitnya 2 tahun
berturut-turut, sesak nafas terutama melakukan aktifitas, perjalanan
penyakit khronik dan progresif selama hayat, sehingga makin lama
keluhan bertambah berat.
PEMERIKSAAN FISIK
Ditemukan tanda hiperflasi paru berupa toraks emfisematikus,
peningkatan kerja otot pernafasan, perkusi hipersonor, batas paru hati
menurun, batas jantung mengecil, suara nafas vesikuler melemah,
dapat disertai bising mengi dan ronkhi kering.
Laboratorium
Rutin adanya peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit (Polisitemia
sekunder).
Khusus : Defisiensi kadar alpha 1 antitripsin (congenital).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks PA dan lateral terdapat hiperlusensi regional dan gambaran
bronkhovaskuler kasar, gambaran jantung mengecil. Diafragma datar
dan tenting (overinflasi).
Uji faal paru sangat berguna dan terdapat penurunan volume ekspirasi
paksa satu detik (VEP1) dan penurunan rasio VEP1 / KVP. Kelainan ini
biasanya menetap (irreversible), EKG sering ditemukan adanya
pulmonal dan RV strain. Laboratorium darah untuk menentukan
adanya polisitemia sekunder.
DIAGNOSIS
Berdasarkan gejala klinik yang menyokong,
pemeriksaan fisik, foto toraks dan uji faal paru.

padukan

dengan

KOMPLIKASI
Pneumotoraks, Infeksi sekunder (eksaserbasi akut), Kor pulmonale,
kelelahan otot pernafasan.
PENATALAKSANAAN / TERAPI
Motivasi dan pendidikan meliputi : Penyakit tidak dapat sembuh, iritasi
khronik seperti rorok, debu dihindarkan.
Mobilisasi dahak dengan mukolitik dan ekspektoransia.
Mengatasi spasme bronkhus dengan obat-obat bronkodilator seperti
aminofilin, agonis beta 2 kalau perlu diberikan steroid.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 38

Steroid digunakan prednison 30 mg/hari selama 2 4 minggu, bila


tidak ada respons dihentikan.
Mengobati infeksi sekunder dengan antibiotika seperti amoksisilin,
kotrimoksazol, erittromisin. Bila ada komplikasi seperti pneumotoraks,
pasang WSD, Kor pulmonale berikan diuretika flurosemid tablet atau
suntikan.
Kemoterapi sangat membantu terutama abdominal breathing dan
terapi inhalasi untuk mobilisasi dan mengencerkan dahak.
Terapi oksigen jangka panjang bila PO2 lebih kecil dari 60 mmHg
setelah pengobatan adekwat. Memberikan oksigen dosis rendah 1 2
L/menit sangat dianjurkan.
Follow up
Selama perawatan perlu diperhatikan perbaikan faal paru dengan
pengobatan melalui uji faal paru, in take cairan dan kalori, cegah
infeksi nosokomial.
Setelah keluar rumah sakit berikan oksigen dosis rendah secara
kontinu terutama setelah aktifitas dan fisioterapi.
Indikasi rawat inap :
Bila mengalami eksaserbasi akut gagal nafas akut, kor pulmonale,
komplikasi dan adanya penyakit penyerta.

TUMOR GANAS PARU (CA. PARU)


Kode : ICD. C34
DEFINISI
Tumor ganas paru adalah : tumor ganas dari saluran nafas, parenkim
paru.
PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI
Belum jelas, ada hubungan erat dengan kebiasaan merokok, zat-zat
yang dikeluarkan dari pabrik, industri yang menggunakan isotop
radioaktif.
GEJALA KLINIS
Batuk khronik tanpa dahak, dapat disertai dahak, nyeri dada, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise. Pemeriksaan fisik :
Ditemukan bendungan vena, stemfremitus melemah, perkusi redup
dan bising pokok vesikuler melemah bahkan menghilang, khas adanya

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 39

wheezing lokal pada daerah tumor, gejala-gejala yang khas tergantung


dari lokasi tumor dan ada atau tidaknya invasi ke organ sekitar dan
penyebaran limfogen dan hematogen (metastasis).
Laboratorium
Rutin tidak ada yang khas, biasanya anemia hipochrom microcytair.
Khusus : Alfa foto protein dapat meningkat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks PA dan lateral, Tomography, CT Scan terlihat adanya lesi
padat tanpa kalsifikasi. Patologi anatomi (PA) ditemukan adanya sel
ganas dari bahan sputum, Bronchial washing, biopsy. Bronkhoskopi
terlihat massa tumor berdungkul intra bronchial, rapuh mudah
bersarah. Untuk diagnosis dilakukan : Bronchial washing, Brushing dan
biopsi (biopsy transtorakal, aspirasi jarum hilus transbronkhial dan
transkarinal).
Sputum sitologi pagi hari, 3 hari berturut-turut.
DIAGNOSIS
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi ditemukan sel-sel ganas.
Klasifikasi : Small Cell Lung Ca (SCLC), dan NSCLC (non small cell lung
Ca) yang meliputi Skuamosa cell Ca, Adeno Ca, Large cell Ca dan
Bronkhioalveolar Ca.
KOMPLIKASI
Metastasis ke berbagai organ tubuh lainnya terutama hati, otak dan
tulang.
PENATALAKSANAAN / TERAPI
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multimodaliti terapi). Kenyataannya pada saat pemilhan terapi, sering
bukan hanya dihadapkan pada jenis histologis, derajat dan tampilan
penderita saja tetapi juga kondisi nonmedis seperti fasiliti yg dimiliki
Rumah Sakit dan kemampuan ekonomis penderita juga merupakan
faktor yang amat menentukan.
Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK (Kanker
paru jenis karsinoma bukan sel kecil) stage I dan II. Pada penderita
yang inoperabel maka radioterapi dan atau kemoterapi dapat
diberikan. Pembedahan juga merupakan bagian dari combined
modality therapy, misalnya didahului kemoterapi neoadjuvan untuk

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 40

KPBKSK stage IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang
memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma
vena kava superior berat.
Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap
berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lubektomi ataupun
pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan
jika faal paru tidak cukup untuk lubektomi.Tepi sayatan diperiksa
dengan potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus
bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis,
serta diperiksa secara patologi anatomi.
Hal lain yang penting diingat sebelum melakukan tindakan bedah
adalah mengetahui toleransi penderita terhadap jenis tindakan bedah
yang akan dilakukan. Toleransi penderita yang akan dibedah dapat
diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak memungkinkan dapat
dinilai dari hasil analisa gas darah (AGD).
Syarat untuk reseksi paru
- Risiko ringan untuk pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral
baik dan VEP1>60%
- Risiko sedang untuk pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral
35% dan VEP1>60%.
Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat kuratif atau paliatif. Pada
terapi kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoradioterapi
neoadjuvan untuk KPKBSK stage IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi
saja tidak jarang menjadi pilihan terapi kuratif.
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superior,
nyeri tulang akibat invasi tumor kedinding dada dan metastasis tumor
di tulang atau otak.
Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor,
yakni
- Stage penyakit
- Status tampilan
- Fungsi paru
Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui:
-

Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan


Penilaian batas sayatan oleh dokter spesialis patologi anatomi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 41

Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000-6000 cGy,


dengan cara pemberian 200 cGy/kali, 5 hari perminggu.
Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah
- Hb > 10 g%
- Trombosit > 100.000/dl
- Leukosit > 3000/dl
Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni
- Tampilan < 70
- Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan
- Fungsi paru buruk
Efektifiti radioterapi meningkat jika dikombinasi dengan kemoterapi.
Pemberian radioterapi sampai dosis penuh (full dose 5000-6000 cGy)
sebelum pemberian kemoterapi atau setelah siklus kemoterapi selesai
(4-6 siklus) diberikan disebut radioterapi sekuensial. Pada pemberian
radioterapi dilakukan selang seling diantara siklus kemoterapi disebut
radioterapi alternating.
Hasil yang baik tetapi terkadang disertai efek samping yang tinggi
adalah pemberian radioterapi konkuren yaitu pemberian radioterapi
bersamaan dengan pemberian kemoterapi yang mengandung sifat
sebagai radiosensitizer, seperti sisplatin, karboplatin, golongan
paklitaksel, dosetaksel dan gemsitabin.
Untuk mengurangi efek samping pada radioterapi konkuren dianjurkan
menggunakan obat antikanker golongan paklitaksel, dosetaksel,
gemsitabin atau dengan dosis kecil yang cukup untuk menimbulkan
efek radiosensitizernya saja. Pengalaman di RS Persahabatan obat
antikanker dosis penuh dapat diberikan jika menggunakan rejimen
karboplatin etoposid atau sisplatin etoposid.
Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat
utama harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan harus lebih
dari 60 menurut skala karnosfky atau 2 menurut skala WHO.
Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker
dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu,
penggunaan satu jenis obat antikanker dapat dilakukan.
Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen
kemoterapi adalah:

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 42

Platinum based therapy (sisplatin atau karboplatin)


Respon obyektif satu obat antikanker 15%
Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
Harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 3 siklus
pada penilaian terjadi progresif tumor.
Rejimen untuk KPKBSK adalah:
- CAP II (sisplatin, adriamisin, siklofosfamid)
- PE (sisplatin atau karboplatin+etoposid)
- Paklitaksel+sisplatin atau karboplatin
- Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin
- Doksetaksel + sisplatin atau karboplatin
- Gefitinib oral (digunakan sebagai terapi adjuvan)
-

Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi


- Tampilan 70-80. Bila tampilan < 70 atau usia lanjut, dapat
diberikan obat antikanker dengan regimen tertentu dan atau
jadwal tertentu.
- Hb 10g% , pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan
akut, meski Hb < 10 g% tidak perlu tranfusi darah segera, cukup
diberi terapi sesuai dengan penyebab anemia
- Granulosit 1500 /mm3
- Trombosit 100.000/mm3
- Fungsi hati baik
- Fungsi ginjal baik (creatinin clearance > 70ml/menit)
Dosis obat anti kanker dapat dihitung berdasarkan ketentuan
farmakologik masing-masing. Ada yang menggunakan rumus antara
lain, mg/kgbb, mg/luas permukaan tubuh (BSA), atau obat yang
menggunakan rumusan AUC (area under the curve) yang mengunakan
CCT untuk rumusnya.
Luas permukaan tubuh (BSA) diukur dengan menggunakan parameter
tinggi badan dan berat badan, lalu dihitung dengan normogram.
LPB= BB x TB / 3600.
Untuk obat antikanker yang menggunakan AUC (misal AUC 5), maka
dosis dihitung dengan menggunakan rumus atau nomogram.
Dosis (mg)= (target AUC) x (GFR + 25)
Nilai GFR dihitung dari kadar kreatinin dan ureum darah penderita.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 43

Evaluasi hasil pengobatan


Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 siklus/sekuen, bila penderita
menunjukan respon yang memadai. Evaluasi respon terapi dilakukan
dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA setelah
pemberian (siklus) kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan
menggunakan CT-Scan toraks setelah 4 kali pemberian.
Evaluasi dilakukan terhadap
- Respons subyektif yaitu penurunan keluhan klinik
- Respons
semisubyektif
yaitu
perbaikan
tampilan
bertambahnya berat
badan
- Respons obyektif
- Efek samping obat

dan

Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan


- Respons komplit (complete response, CR): bila pada evaluasi
tumor hilang 100% dan keadaan ini menetap lebih dari 4
minggu.
- Respons sebagian (partial response, PR): bila pengurangan
ukuran tumor > 50% tetapi < 100%.
- Menetap (stable disease, SD): bila ukuran tumor tidak berubah
atau mengecil >25% tetapi <50%.
- Tumor progresif (progresive disease, PD): bila terjadi
pertambahan ukuran tumor >25% atau muncul tumor/lesi baru
di paru atau ditempat lain.

Targeted therapi
Beberapa jenis kemoterapi dengan target kerja yang selektif atau
tergeted therapi mulai digunakan untuk KPKBSK. Kelebihan dari obatobat itu adalah pemberian yang lebih sederhana yaitu per oral. Jenis
yang mulai digunakan adalah obat yang bekerja sebagai inhibitor pada
reseptor epidermal growth factor (EGFR), antara lain gefitinib, erlotinib,
cetuximab. Obat golongan ini di indikasikan pemberiannya sebagai
adjuvant yaitu diberikan setelah pemberian terapi definitif selesai
diberikan.
Imunoterapi
Hasil penelitian menunjukan ada jejak imunologi pada penderita kanker
paru. Berdasarkan itu telah beredar luas di pasaran beberapa tehnik
dan obat komplenmen (misalnya keladi tikus, buah merah, ramuan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 44

cina, dll) yang diyakini dapat mengobati kanker dengan cara


memperbaiki atau meningkatkan sistem imun tubuh, tetapi belum ada
hasil penelitian yang secara bermakna dapat menyokong manfaatnya.
Penggunaan IL-2 sebagai imunoterapi mulai dikembangkan dalam uji
klinik yang terbatas.

Hormonoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum
ada hasil penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya.
Terapi gen
Tehnik dan manfaat pengobatan ini masih dalam penelitian.
Protokol pemberian panduan obat Paklitaksel dan karboplatin tiap 3
minggu.
Dosis:
- Paklitaksel: 175 mg/m2
- Karboplatin: AUC-5
Hari ke-1
Pukul
00.00

07.30
08.00

11.00
14.00

Rincian
- Nacl 0,9 1 kolf + Neurobion5000 1 ampul, infus 20
tts/menit
- Deksametason 2 ampul iv
- Antiemetik 1 ampul iv
- Dipenhidramin 1 ampul im
- Paklitaksel .... mg dilarutkan dalam 500 ml Nacl 0,9%
botol kaca
- Infus dihabiskan dalam 3 jam
- Karboplatin ... mg dilarutkan dalam 500 ml Nacl 0,9 %
- Infus dihabiskan dalam 3 jam
- Antiemetik 1 ampul
- Nacl 0,9% 5%, infus 1 kolf selama 6 jam

Follow up
Selama di RS : mengikuti respons terapi melalui evaluasi klinik dan
radiology
Setelah keluar RS : meneruskan jadwal pemberian obat sitostatika dan
radioterapi.
Indikasi Rawat Inap
Untuk menegakkan diagnosis pasti dari penderita yang dicurigai tumor
ganas paru melalui berbagai pemeriksaan penunjang.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 45

ASMA BRONKIAL & PENYAKIT PARU OBSTRUKSIF KHRONIK


(PPOK)
Terdiri dari EMFISEMA PARU dan BRONKHITIS KHRONIK
Dexamethasone 4 mg (suntikan)

Prednison 5 mg (oral)

Aminofilin (suntikan dan oral)


Beta 2 Aginis (Salbutamol/Terbutalin/sejenisnya)
Bromheksin (oral)
Amoksisilin (oral)
Co-Trimoksazol (oral)

ASMA BRONKIALE
Kode : ICD. J45
DEFINISI
Penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi menyebabkan saluran nafas cenderung untuk menyempit
yang dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan dan adanya
inferaktifitas bronkus terhadap berbagai rangsangan.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya penyempitan saluran nafas disebabkan hiperreaktifitas
bronkhus karena rangsangan berbagai faktor pencetus dan aggravator.
Akibat hiperreaktifitas ini terjadi peradangan dari saluran nafas
menebal, mukosa edema, lumennya terisi sel-sel yang lepas akibat
peranan sel eosinofil dan hipersekresi mukus sehingga lumen saluran
nafas menyempit kadang-kadang dapat menyempit total yang berakhir
dengan kematian.
ETIOLOGI
Tidak diketahui secara langsung etiologi penyebab asma, akan tetapi
peranan genetik dan faktor pencetus menyebabkan terjadinya
serangan asma bronkhial.
GEJALA KLINIS
Sesak nafas disertai nafas berbunyi secara akut maupun secara
berkala merupakan keluhan utama terjadinya serangan asma.
Serangan asma lebih sering terjadi pada malam hari. Faktor pencetus
dan aggravator sangat berperan terjadinya serangan asma. Faktor
pencetus seperti infeksi, allergen inhalasi/makanan, olahraga, polusi
udara, iritan seperti asap rokok, bau-bauan, obat-obatan dan emosi.
Faktor aggravator seperti rhinitis, sinusitis dan refleks asam lambung.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 46

Pemeriksaan fisik : Nafas cepat dan dangkal, gelisah, fase ekspirasi


panjang, bising mengi difus pada kedua lapangan paru.
Laboratorium
Rutin : Berupa hitung jenis eosinofil meningkat.
Khusus
: Tes kulit dan kadar IgE meningkat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji faal paru ditemukan obstruksi yang reversible setelah pengobatan
atau menggunakan peak flow meter. Uji provokasi bronkhial untuk
mengukur reaktivitas bronkhus dengan inhalasi methakolin, inhalasi
histamin dengan dosis yang makin tinggi atau melalui latihan jasmani.

DIAGNOSIS
Gejala klinik yang khas dan perubahan uji faal paru setelah
pengobatan dengan bronkhodilator.
KOMPLIKASI
Serangan asma berat dapat meniumbulkan kematian. Asma kronik
persisten dapat menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Khronik (PPOK)
dan penyakit jantung paru (Kor Pulmonale).
PENATALAKSANAAN / TERAPI
- Oksigen 4 5 liter/menit
- Berikan nebulizer beta 2 agonis seperti salbutamol 2,5 mg tiap
20 menit sebanyak 3 kali.
- Steroid bila belum dapat diatasi. Hidrokortison 4x200 mg IV ata
Dexametasone 4x10 mg atau Prednisolone 40 mg/hari dalam
dosis terbagi.
- Bila serangan akut dapat diatasi, ganti obat secara oral.
- Suntikan aminofilin (240 mg/10 ml) dengan dosis bila telah
mendapat aminofilin dalam 12 jam sebelum serangan, berikan
dosis awal 2-3 mg/kg BB intra vena perlahan-lahan, teruskan
dengan dosis pemeliharaan 0,5 1 mg/kgBB/jam.
- Perbaikan hidrasi melalui cairan fisiologis intra vena 2 3 liter/24
jam.
- Antibiotika bila ada infeksi sekunder.
Follow up
Selama perawatan perlu diperhatikan perbaikan secara klinik dan uji
faal paru atau peak flow meter. Cairan factor pencetus terjadinya
serangan akut asma. Setelah keluar rumah sakit perlu dihindari factor

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 47

pencetus dan obat pemeliharaan hanya diberikan pada penderita


dengan asma khronik persistens.
Indikasi Rawat Inap
Bila penderita mengalami serangan asma akut berat (status asmatikus)

TB PARU & TB EKSTRA PARU


Kode : ICD.A15
DEFINISI
Tb Paru dan Tb ekstra Paru adalah infeksi kronik pada paru dan
jaringan tubuh lainnya yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma dan adanya
reaksi hipersensitivitas tipe lambat
PATOFISIOLOGI
Infeksi ditularkan melalui saluran nafas berupa Droplet Infection dan
masuk kedalam parenkim paru membentuk sarang primer dan
kemudian menyebar secara per kontinuitatum, hematogen dan
limphogen ke jaringan tubuh lainnya.

ETIOLOGI
Mycobacterium Tuberculosis
GEJALA KLINIS
Batuk kronik (lebih dari 3 minggu) dapat disertai darah, malaise (badan
lesu, lemah, tidak semangat), nafsu makan menurun, berat badan
menurun, demam tidak terlalu tinggi, keringat pada sore menjelang
malam, rasa flu yang tidak sembuh.
PEMERIKSAAN FISIK

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 48

Terutama ditemukan kelainan pada lapangan atas kedua paru atau


pada segmen apikobasalis, bila terdapat infiltrat yang luas maka
ditemukan stemfremitus meningkat, perkusi redup, bunyi pokok
vesikuler meningkat dan adanya bunyi tambahan ronkhi halus nyaring
dan krepitasi. Bila ada kavitas dapat terdengar bunyi amphorik,
Laboratorium
- Rutin berupa LED meningkat, hitung jenis dominan limphosit.
- Sputum BTA 3 kali, dapat dahak setiap pagi atau dahak SPS
(sewaktu, pagi & sewaktu). Dikatakan BTA positif bila 2 sediaan
memberikan hasil positif.
- Khusus : Tes mantoux (+), sputum BTA (+), biakan dari M. Tbc
(+), pemeriksaan PCR, ELISA, dll.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Foto toraks PA relevans untuk Tb paru seperti adanya infiltrat,
eksudat, caseosa, cavitas dinding tipis (non sklerotik), milier.
- Untuk kasus lama perlu perbandingan serial foto.

DIAGNOSIS
Berdasarkan gejala klinik yang menyokong, foto toraks PA relevans
untuk Tb paru dan sputum BTA. Diagnosis berdasarkan Kategori WHO
(Depkes).
Terminologi diagnosis dibagi atas :
a. TB Paru BTA positif
- Sputum BTA positif 2 kali
- Sputum BTA positif 1 kali, kultur positif.
- Sputum BTA positif 1 kali, klinis / rsdiologis sesuai dengan TB
Paru.
b. TB
-

Paru BTA negatif


Klinis & radiologis sesuai dengan TB Paru
Sputum BTA negatif
Kultur negatif atau positif

c. Bekas TB Paru
- Sputum & klinik negatif
- Gejala klinis tidak menunjang
- Radiologis menunjukkan gambaran tak aktif.
Berdasarkan tipe penderita, kasus tuberkulosis dapat dibagi atas :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 49

a. Kasus baru
Penderita TB yang belum pernah mendapat OAT, atau pernah
mendapat OAT < 1 bulan.
b. Kasus kambuh
Penderita TB BTA (+) yang sudah sembuh, kini datang lagi
dengan pemeriksaan BTA memberikan hasil (+).
c. Kasus gagal
Penderita TB BTA (+) yang mendapat OAT, tapi BTA tetap (+)
pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan (AP) dan pada AP.
Penderita TB BTA (-) yang mendapat OAT, tapi BTA justru
menjadi positif pada akhir pengobatan fase awal.
d. Kaus lalai / putus berobat
Penderita TB yang menghentikan pengobatan ( 2 bulan) datang
kembali dengan BTA (+).
KOMPLIKASI
Dapat terjadi batuk darah massif (lebih dari 500 ml/hari), pleuritis
eksudativa Tb (pleura effusion), pneumotoraks Tb, empiema Tb, Tb
ekstra paru lain seperti meningitis Tb, dll.

PENATALAKSANAAN / TERAPI
- Motivasi dan pendidikan meliputi Tb paru, merupakan penyakit
menular, dapat disembuhkan, makan obat secara teratur paling
sedikit 6 bulan, adanya efek samping obat, bahaya terjadinya
batuk darah.
- Istirahat kerja tergantung derajat lesi Tb dari ringan lanjut,
perlu istirahat 1 3 bulan.
- Diet tinggi kalori tinggi protein, kecuali ada penyakit penyerta
seperti diabetes dan lainnya. Konsistensi dari bubur sampai
dengan nasi biasa.
- Tidak merokok.
- Obat anti tuberkulosa tergantung kategori.
TB PARU dan TB EKSTRA PARU
Streptomisin 1 gr (suntikan)
Rifampisin 450 mg dan 600 mg (oral)
INH 400 mg (oral)
Pyrazinamid 500 mg (oral)
Ethambutol 500 mg dan 250 mg (oral)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 50

Vitamin B Complex (oral)


Obat batuk hitam (oral)
a. Prinsip pemberian OAT
- Pengobatan minimal dengan 2 OAT
- Paduan yang diberikan sebaiknya jangka pendek, yaitu
paduan yang mengandung Rifampisin diberikan selama 6
sampai 9 bulan.
- Pengobatan dibagi atas 2 fase
1. Fase awal
- Diberikan setiap hari selama 1 sampai 3 bulan
- Efek yang ingin dicapai adalah efek bakterisidal.
2. Fase lanjutan
- Diberikan tiap hari / berkala selama 4 11 bulan
- Efek yang ingin dicapai adalah efek sterilisasi.
- Pemberian dosis sebaiknya berdasarkan BB.
b. Kategori OAT (WHO / Depkes)

Kategor
i
I

II

III

IV

Kriteria Penderita

Pilihan regimen pengobatan


Fase awal
Fase
lanjutan
2 RHZE (RHZS)
6 EH
2 RHZE (RHZS)
4 RH

- Kasus kronik

2 RHZE (RHZS)* 4
2 RHZES / 1
5
RHZE
5
2 RHZES / 1
RHZE*
2 RHZ
6
2 RHZ
4
2 RHZ*
4
Obat-obat sekunder

Kasus baru BTA (+)


Kasus baru BTA (-)
Ro (+) sakit berat
- Kasus TBEP berat
Kasus BTA positif
- Kambuh
- Gagal
- Putus berobat
- Kasus baru BTA (-)
- TBEP ringan

R3H3*
RHE
R3H3E3*

EH
RH
R3H3*

Note : * Diterapkan di Indonesia

2 RHZE : diberikan RHZE setiap hari selama 2 bulan

4 R3H3 : diberikan R dan H 3x/minggu selama 4 bulan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 51

Evaluasi Pengobatan :
1. Evaluasi klinik & efek samping obat
2. Evaluasi foto toraks pada akhir
pengobatan
3. Evaluasi BTA
Kategori
Waktu
evaluasi

I
Akhir bulan kedua
Akhir bulan ketiga
(sisipan)
- Sebulan sebelum
AP
- Akhir pengobatan
-

fase

intensif

dan

II
Akhir bulan ke 3
Akhir bulan ke 4
Sebulan
sebelum AP
- Akhir
pengobatan
-

akhir

III
Akhir
ke 2

bulan

Indikasi Rawat Inap :


- Bila penderita mengalami batuk darah massif (lebih dari 500
ml/24 jam), sesak nafas, dehidrasi low intake dan adanya
komplikasi.
- Bila ditemukan adanya TB EKSTRA Paru seperti :
a. Pleuritis Eksudativa TB
Gejala klinik :
Seperti TB Paru
Bila cairan banyak adanya sesak nafas, tidur miring kearah
sisi yang sakit.
Pemeriksaan fisik :
Letak paksa pada satu sisi
Takhipneu
Stemfremitus melemah/menghilang, perkusi redup-pekak,
vesikuler melemah/menghilang, bising tambahan (-),
terdapat tanda pendorongan mediastinum/jantung kearah sisi
yang sehat.
Sarana Bantu :
Foto toraks PA adanya perselubungan putih dan
tanda
pendorongan dari jantung.
Pungsi cairan, warna kuning jernih, tes rivalta (+) dan analisa
cairan untuk BJ, Protein, glukosa, LDH, hitung jenis, BTA,
biakan M.Tbc.
Biopsi pleura untuk patologi, a danya tanda-tanda lesi
spesifik.
Diagnosis pasti :
Ditemukan biakan M. Tbc (+) dari cairan pleura.
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 52

Biopsi pleura : tanda spesifik (+)


Penatalaksanaan :
OAT Kategori I
Prednison 1 mg/kg BB tiap hari selama 2 minggu, lalu dosis
diturunkan secara tapering off.
Bila sesak nafas lakukan pungsi cairan.
b. Hematoraks
Seperti pleuritis eksudativa Tb
Penatalaksanaan seperti pleuritis eksudativa Tb, hanya tidak
diberikan obat prednison.
c. Empiema Tb
Seperti Pleuritis eksudativa Tb
Biasanya ada nyeri tekan obat prednison
Penatalaksanaan :
Seperti Tb Paru
Pasang Water Seal Drainage (WSD) sela iga 6 atau 7
Bilas dengan cairan povidone lodine dan NaCl 0,9% dengan
perbandingan 1 : 20 tiap hari sampai bersih.
Antibiotika bila ada infeksi sekunder.
d. Pneumotoraks Tb
Gejala klinik :
Seperti Tb paru
Biasanya didahului oleh batuk-batuk hebat, kemudian terjadi
sesak nafas dan nyeri dada akut.
Pemeriksaan fisik :
Penderita gelisah dan takhipneu
Stemfremitus melemah/menghilang, perkusi hipersonor
vesikuler melemah/menghilang, bising tambahan (-),
terdapat tanda pendorongan dari mediastinum/jantung.
Sarana Bantu :
Foto toraks PA adanya perselubungan hitam (Hair Line) dan
tanda pendorongan jantung.
Penatalaksanaan :
Seperti Tb paru
Pasang Water Sela Drainage (WSD) lapangan atas sampai
pneumotoraks hilang. Bantu dengan tiup balon melalui mulut
supaya paru lebih cepat mengembang. Dapat dipasang Low
Continous Suction.
e. Hidropneumotoraks Tb

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 53

Seperti pn
eumotoraks Tb, tetapi pemasangan WSD dilakukan pada
lapangan bawah, sela iga 6 atau 7.

TB EKSTRA PARU
Kode : ICD.A18
Tb Ekstra Paru yang lain seperti Limpadenitis Tb, Tb kulit, Tb tulang
dan lainnya.
Penatalaksanaannya sama seperti Tb Paru.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 54

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 55

3.3.
GASTROENTERO HEPATOLOGI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 56

REFLUKS ESOFAGITIS
Kode : ICD. K21.0

DEFINISI
Terjadinya peradangan mukosa
esofagus
asam lambung, pepsin dan empedu.

akibat

kontak

dengan

ETIOLOGI
Akibat lemahnya sfinkter esofagus bagian bawah, ada 2 penyebab :
a. Kelainan anatomis : sliding hernia
b. Kelainan funsional : kelainan hormonal, kelainan neurologis,
obat- obatan, diet yang salah, rokok, alkohol, dll.
PATOFISOLOGI
Kontak terus-menerus dengan cairan lambung
dan duodenum
menyebabkan
proses peradangan dari mukosa esofagus bagian distal. Kelainan
dapat beruPA radang ringan, erosi, ulkus, sampai terjadi perdarahan
atau stiktur.
GEJALA KLINIS
Nyeri retro sternal, heartburn, regurgitasi, nyeri
hematemetis melena.

sewaktu menelan,

DIAGNOSIS
a. Gejala klinis
b. Pemeriksaan endoskopi
c. Pemeriksaan histopatologi
d. Foto barium esofagus
e. Pemeriksaan pH
PENATALAKSANAAN
a. Kurangi berat badan
b. Diit rendah lemak, pantang rokok, kopi, alkohol, coklat dan lainlain.
c. Obat-obatan : Antasida, H2RA, obat golongan prokinetik,
sitoprotektif, PPI.
KOMPLIKASI
Striktura esofagus.
TINDAK LANJUT
- Dilatasi
- Operasi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 57

PROGNOSIS
Baik.

AKALASIA
Kode : ICD K22.0

DEFINISI
Suatu keadaan tidak didapatkan peristaltik dari korpus esofagus
dan kegagalan sfinkter esofagus bagian bawah untuk relaksasi
secara
sempurna. Akibatnya terjadi statis makanan dan terjadi
pelebaran esofagus.
ETIOLOGI
a. Primer : tidak diketahui
b. Skunder :
- Infeksi (penyakit chagas)
- Tumor intra dan ekstra luminer
- Obat-obatan anti kolinergik
- Paska vagotomi
- Neurophatik chronic intestinal
sindrom.

pseudo-obstruction

PATOFISIOLOGI
Tingginya tekanan sfinkter esofagus dan aperistaltik corpus
esofagus menyebabkan makanan tidak dapat masuk ke lambung
dan terjadi dilatasi dari esofagus.
GEJALA KLINIS
Disfagia yang makin lama makin berat, regurgitasi terutama pada
malam hari dan posisi berbaring, nyeri dada, nyeri epigastrium
(heart burn) dan berat badan turun
DIAGNOSIS
- Esofagogram
- Endoskopi
- Manometri esofagus
PENATALAKSANAAN
- Medikamentosa :
- nitrogliserin 0,3 0,6 mg SL
- ISDN 2,5 5 mg SL atau 10 20 mg per oral
- Nifedipin 10 20 mg per oral atau SL
- Dilatasi mekanik
- Operasi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 58

PROGNOSIS
Umumnya baik

GASTRITIS EROSIF
Kode : ICD. K28
DEFINISI
Peradangan dan erosi akut dari mukosa lambung.
ETIOLOGI
a. Obat golongan salisilat dan OAINS lain.
b. Alkohol
c. Zat kimia korosif
d. Infeksi bakteri stafilokokus : food poisoning
e. Infeksi virus, dll
PATOFISIOLOGI
Terjadi kerusakan dari mukosa lambung akibat kontak dengan zat-zat
tersebut.
GEJALA KLINIS
Nyeri akut epigastrium, mual, muntah, hematemesis melena.
DIAGNOSIS
Endoskopi dan foto barium lambung.
PENATALAKSANAAN
Diet : cairan dan lunak.
IVFD kalau perlu
Obat-obatan : antasida, trankuilizer,
golongan
sitoprotektif, antibiotika bila perlu, PPI.

spasmolitik,

H2RA,

obat

KOMPLIKASI
Anemia, ulkus, perforasi jarang.
TINDAKAN
Transfusi darah.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 59

TUKAK PEPTIK
Kode : ICD. K27
DEFINISI
Terjadi kerusakan lokal dari dinding lambung, dapat terbatas pada
mukosa atau lebih dalam sampai lapisan otot akibat pengaruh asam
lambung, pepsin atau cairan empedu dengan batas yang jelas dan
bersifat jinak
.
ETIOLOGI
Faktor genetik, makanan, obat-obatan, faktor lingkungan, stress,
kuman H. Pylori,
dll.
PATOGENESIS
Ketidak-seimbangan antara faktor defensif (resistensi mukosa
lambung) dan faktor agresif (asam, pepsin dan cairan empedu).
GEJALA KLINIS
Rasa nyeri epigastrium, rasa terbakar, nyeri spontan tengah malam,
mual, muntah, berat badan menurun, hematemesis melena.
DIAGNOSIS
- Foto barium lambung dan duodenum
- Endoskopi.
PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa :
Istirahat
Hindari stress
Hindari merokok, minuman keras, kopi, makanan
merangsang seperti cabe, merica, cuka, dll.
Diit : makan lunak dengan porsi kecil-kecil dan
sering makanan yang mengandung susu, biskuit, dll.
b. Medikamentosa .
Psikofarmaka
Antasida,
antikolinergik,
H2RA,
sitoprotektor,
inhibitor pompa proton, eradikasi kuman H. Pylori, dll.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 60

KOMPLIKASI
Perdarahan, perforasi .
PROGNOSIS

Sering relaps.
KOLESISTITIS
Kode : ICD K.81
DEFINISI
Kolesistitis adalah peradangan dari saluran empedu dan kantong
empedu, ada 2
tipe, yaitu : akut dan kronik
ETIOLOGI
Sebagian besar disebabkan adanya obstruksi pada duktus sistikus
oleh batu,
sedangkan kurang dari 10% tanpa disertai batu.
PATOFISIOLOGI
Timbulnya proses peradangan dan infeksi dari saluran empedu.
GEJALA KLINIS
Gejala klasik adalah nyeri hilang timbul abdomen kanan atas
terutama setelah makan makanan yang mengandung lemak. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri perabaan didaerah kantong
empedu, dapat disertai dengan peritonitis lokal. Ikterus terjadi bila ada
hambatan dari aliran empedu.
DIAGNOSIS
- Pemeriksaan USG
- Plain foto abdomen dan kolesistografi oral
- CT-Scan
- ERCP
PENATALAKSANAAN
- Istirahat.
- Pemberian makanan parenteral, diit ringan tanpa lemak.
- Obat : - Penghilang rasa nyeri, antispasmodik, petidin
- Antibiotika
- Bedah : kolesistektomi.
KOMPLIKASI
- Perforasi saluran empedu

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 61

- Ikterus obstruksif
- Sepsis
TINDAK LANJUT
Operasi
Atasi sepsis
PROGNOSIS
baik

PANKREATITIS
Kode : ICD K.85

DEFINISI
Pankreatitis
adalah reaksi
peradangan pankreas dimana enzym
pankreas melalui autodigesti pada kelenjar itu sendiri. Pankreatitis
bilier akut adalah pankreatitis akut yang disebabkan oleh adanya
sumbatan batu atau studge di saluran empedu.
Mekanisme terjadinya obstruksi sfingter oddi akibat batu atau studge
masih belum jelas, tetapi melibatkan peningkatan tekanan saluran
bilier.
ETIOLOGI
Pankreatitis dapat terjadi ketika faktor yang mempengaruhi
hemeostosis seluler menjadi tidak seimbang. Hal yang memulai proses
tersebut dapat berupa apa saja yang merusak sel asinar dan
mempengaruhi sekresi granul zimogen seperti pada penggunaan
alcohol, batu empedu dan beberapa macam obat.
DIAGNOSIS
Gejala dan Tanda Klinis :
- Nyeri perut atas biasanya di epigastrium, dapat juga di sebelah
kanan atau kiri, tergantung sisi pankreas yang terkena. Nyeri
bersifat mendadak yang intersitasnya meningkat dan akhirnya
menetap. Nyeri dapat menyebar ke punggung, dada, pinggang
belakang dan abdomen bawah.
- Deman
- Takikardi
- Mual dan muntah
- Anoreksia
- Kebanyakan pasien disertai ikterus
- Distensi abdomen
- Dising usus menghilang
- Asites (terjadi karena ruptore pankreas)
- Dispneu (terjadi karena iritasi diafragma, efusi pleura,
- Hemodinamik tidak stabil (syok)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 62

Tanda cullen dapat positif (warna kebiruan disekitar umbilitus


akibat hemeperitoneum)
Tanda grey turnue dapat positif ( warna merah ke coklatan di
daerahk flank karena infiltrasi darah retroperitoneal diantara
jaringan).
Dapat dijumpai nodul aritematosa pada kulit karena nekrosis
lemak subrutan. Biasanya ukurannya tidak lebih dari 1 cm dan
terletak di kulit bagian ekstensor.
Dapat di jumpai poliartritis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
- Amilase dan lipase serum sangat meningkat lebih dari 3 x nilai
normal
- Periksaan kadar SGOT, SGPT, bilirubin dan alkoli pesfatase untuk
mendukung batu saluran empedu sebagai etrologi pankreatitis
- Kalsium serum (biasanya terjadi hiperkalsemi akibat saponifikasi
lemak di retroperitoneum)
- Periksa kadar elektrolit, ureum, cnatimin, glukosa
- Adanya hemokonsentrasi merupakan pemeriksaan yang sensitif,
yang menunjukkan penyakit yang berat
- CRP dapat diperiksa 24 48 jam setelah omset gejala.. CRP 150
mg/ dl menunjukkan pankreatitis berat.
- Analisis gas darah diperlukan bila pasien mengalami dispneu
PEMERIKSAAN PENCITRAAN
USG abdomen : edema pankreas, asites, batu / studge saluran
empedu, dilatasi saluran empedu (rutin dikerjakan)
CT Scan abdomen : untuk membedakan antara pankreatitis
interstisia atau pankreatitis rekrotikans ( dilakukan pada kasus
yang tidak jelas)
Rontgen toraks : efusi pleura
MRI MRCP : untuk pasien yang terdapat kontraindikasi pada
pemeriksaan CT Scan dengan kontras
Endosonegrafi : untuk mendapatkan gambaran pankreas dan
saluran bilier yang lebih jelas ( bila tersedia)
ERCP : untuk evaluasi saluran bilier dan pankreas. ERCP
digunakan sebagai alat diagnosis sekaligus terapi.
DIAGNOSIS BANDING
- Kolelistrasis
- Ulkus yang mengalami perfurasi
- Apendisitis akut
- Is mesenterika
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 63

Obstruksi usus
Trauma
Pankreatitis akibat obat, konsumsi alkohol akut
Kelainan paru, jantung, ginjal.
Hipetriglisendemia
Hiperkalsemia
Porfiria akut

TATALAKSANA
a. Pankreatitis ringan
- Rehidrasi agresif
- Penghilang rasa nyeri : golongan OAINS
- Asupan makanan oral jika nyeri membaik
- Pantau hasil laboratorium dan pemerikssan pencitraan
b. Pankreatitis berat
- Dianjurkan perawatan intensif (ICU)
- Terapi cairan agresif
- Terapi nutrisi ( Nutrisi anreral lebih baik)
- Penghilang rasa nyeri ( morfin bila perlu)
- Lakukan ERCP segera
- Indentifikasi proses nekrosis
- Antibiotik bila terdapat infeksi
Catatan :
1. Larutan IV NACL 0,9% atau
RL diberikan dengan
memperhatikan hemodinamik pasien. Setelah balans cairan
seimbang, cairan kristaloid diberikan 35 ml / kg / hari)
2. Bila kadar glukosa darah > 250 g / dl berikan insulin
3. Transfusi darah diperlukan bila kadar HT < 25 %
4. Saturasi O2 arteri > 95 %
5. Antibiotik diberikan bila ada tanda tanda infeksi
6. Indikasi ERCP segera ( dalam waktu 24 jam setelah pasien
masuk)
KOMPIKASI
Pbeurudokesta pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik,
nekrosis organ sekitar, pembentukan fistula, ulkus duadinum, interus
obstruksi, osites, sepsis.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 64

HEPATITIS VIRUS AKUT


Kode : ICD K.72
DEFINISI
Hepatitis virus akut adalah
oleh virus hepatotropik.

peradangan hati

yang

disebabkan

ETIOLOGI
Virus hepatitis A, B, Non A Non B, D, E,G
PATOFISIOLOGI
Virus tersebut bersifat
hepatotropik menimbulkan radang dan
nekrosis dari hati, berat ringannya tergantung jumlah dari virus.
GEJALA KLINIS
a. Fase prodromal : panas, lesu, malaise, nyeri epigastrium,
muntah. Gejala ini timbul beberapa hari.
b. Fase ikterus : timbul ikterus bervariasi dari ringan sampai berat,
terlihat pada mata, mukosa dan kulit. Pada beberapa pasien
terjadi gambaran kolestasis
disertai gatal pada kulit dan
ikterus berlangsung
lebih lama dapat mencapai sampai 4
bulan. Setelah timbul ikterus gejala prodromal menghilang,
demam tidak ada lagi dan nafsu makan timbul kembali.
c. Fase penyembuhan : ikterus berangsur-angsur
menghilang.
Lama ikterus lebih kurang 1-6 minggu, pasien sembuh baik
secara klinis
maupun
laboratorium. Kurang dari
0,5 %
penderita dapat menjadi fulminant dan fatal.
DIAGNOSIS

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 65

Ditegakkan dengan pemeriksaan serologis dari masing-masing


jenis virus, dan ditemukan kelainan LFT, dimana kelainan SGOT dan
SGPT lebih menonjol.
PENATALAKSANAAN
a. Tirah baring sampai kadar bilirubin darah kurang dari 2 mg %.
b. Diet : selama ada mual, diet lunak, miskin lemak, miskin
protein, tinggi hidrat arang. Kalori 1500-2000 sehari. Setelah
mual hilang tinggi kalori dan tinggi protein.
c. Makanan parenteral diberikan bila anoreksia berat dan muntahmuntah.
d. Penderita pulang bila kadar bilirubin kurang dari 2 mg%, tetap
istirahat sampai LFT normal kembali.
e. Pantang olahraga 3-6 bulan, pantang alkohol -1 tahun.
KOMPLIKASI
Hepatitis fulminant, Hepatitis kronis
PROGNOSIS
Virus hepatitis A mempunyai prognosis baik, sembuh secara
sempurna. 10% virus hepattits B, Non A Non B dapat menjadi
kronik, dan
menjadi sirosis hepatitis atau hepatoma.

HEPATITIS B KRONIK
Kode: ICD K.72

DEFINISI
Radang hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B.
Pasien yang terinfeksi virus hepatitis B secara kronik bisa
mengalami 4 fase penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase
immune clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi. Fase
immune tolerant ditandai kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar
ALT normal. Fase immune clearance terjadi ketika system imun
berusaha melawan virus yang ditandai fluktuasi level ALT serta DNA
VHB. Pasien kemudian dapat berkembang menjadi fase pengidap
inaktif yang ditandai dengan DNA VHB yang rendah (<2000 IU/ml),
ALT normal dan kerusakan hati minimal. Pasien fase pengidap
inaktif dapat mengalami fase reaktivasi dimana DNA VHB kembali
mencapai >2000 IU/ml dan inflamasi hati kembali terjadi.
DIAGNOSIS

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 66

Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan biokimia, serologi, dan


apabila diperlukan pemeriksaan histologi hati.
Hepatitis B kronik:
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. DNA VHB serum > 2000 IU/ml
3. Peningkatan ALT yang persisten maupun intermiten
4. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat
nekroinflmasi sedang sampai berat
Pengidap inaktif:
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. HBeAg (-), anti HBe (+)
3. ALT serum dalam batas normal
4. DNA VHB < 2000-20000 IU/ml
5. Biopsi hati tidak menunjukkan inflamasi yang dominan
Resolved hepatitis infection:
1. Riwayat infeksi hepatitis B, atau adanya anti-HBc dalam darah
2. HBsAg (-)
3. DNA VHB serum tidak terdeteksi
4. ALT serum dalam batas normal
TERAPI
Indikasi terapi ditentukan berdasar 4 kriteria:
1. DNA VHB serum
2. Status HBeAg
3. Nilai ALT
4. Gambaran histologis hati
Algoritma penatalaksanaan pasien hepatitis B:

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 67

1. Algoritma penatalaksanaan pasien hepatitis B dengan HBeAg


positif:

2. Algoritma penatalaksanaan pasien hepatitis B dengan HBeAg


negatif:

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 68

Strategi terapi:
1. Golongan interferon (interferon konvensional,
interferon alfa-2a, pegylated interferon alfa-2b)

pegylated

Pegylated interferon diberikan selama 1 tahun.


Pemantauan:

Efek samping: pemeriksaan darah tepi setiap bulan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 69

Respon: pemeriksaan DNA VHB, HBeAg dan anti-HBe


(hanya pada pasien HBeAg positif), ALT setiap 3-6 bulan
sekali. HBsAg dianjurkan dilakukan pada akhir terapi, dan
bila negatif, pemeriksaan anti-HBs dapat dianjurkan.

Pasien HBeAg negatif atau pasien HBeAg positif yang


berhasil mencapai serokonversi HBeAg harus dilakukan
pemantauan jangka panjang berkala untuk menilai
adanya reaktivasi.

2. Golongan analog nukleos(t)ida (NA), yang terdiri dari: lamivudin,


adefovir, entecavir, telbivudin, dan tenofovir.
Masalah yang sering dihadapi: resistensi.
Durasi terapi: kemungkinan untuk terapi seumur hidup.
Golongan NA harus diteruskan sebelum tercapai indikasi
penghentian terapi atau timbul kemungkinan resistensi dan
gagal terapi.
Penghentian terapi:

Pasien HBeAg positif: bisa dipertimbangkan jika


mengalami serokonversi HBeAg dengan DNA VHB tidak
terdeteksi. Penghentian terapi bisa dilakukan 12 bulan
setelah terjadi serokonversi HBeAg

Pasien HBeAg negatif: dipertimbangkan jika DNA VHB


terbukti negatif pada 3 pemeriksaan berturut-turut dalam
jangka 6 bulan.

Pemantauan:

Pemeriksaan DNA VHB, HBeAg dan anti-HBe (pada pasien


HBeAg positif), ALT setiap 3-6 bulan sekali. HBsAg
dianjurkan dilakukan pada akhir terapi, dan bila negatif,
pemeriksaan anti-HBs dapat dianjurkan.

Pemeriksaan HBeAg, ALT, DNA VHB dilakukan tiap bulan


pada 3 bulan pertama terapi dihentikan. Dilanjutkan tiap 3
bulan selama 1 tahun. Jika tidak relaps, dilakukan tiap 3
bulan pada pasien sirosis dan 6 bulan pada pasien nonsirosis.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 70

Pada pasien yang tidak mencapai respon virologis atau


serologis, atau relaps, pemeriksaan resistensi bisa
dianjurkan.

Pada terapi adefovir & tenofovir,


pemantauan fungsi ginjal rutin

harus

dilakukan

PENCEGAHAN

Imunisasi terutama pada kelompok individu yang mempunyai


resiko terinfeksi hepatitis B

Pencegahan umum: penularan hepatitis B melalui kontak ciran


tubuh seperti darah dan produk darah, air liur, cairan
serebrospinal, cairan peritoneum, ciran pleura, cairan amnion,
semen, cairan vagina, dan cairan tubuh lainnya. Sehingga
pencegahan umum dicapai dengan menghindari kontak
langsung dengan cairan tubuh pasien. Selain itu juga dilakukan
skrining dan konseling.

Pencegahan paska pajanan: jika orang yang tidak divaksinasi


terpajan hepatitis B, pencegahan berupa HBIg dengan dosis 0.06
ml/kg BB dan vaksin hepatitis B harus diberikan. Pada pasien
yang divaksinasi atau mendapat HBIg, HBsAg dan anti-HBs
sebaiknya diperiksa 2 bulan setelah pajanan.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 71

HEPATITIS C KRONIK
Kode: ICD K.72
DEFINISI
Penyakit radang hati yang disebabkan oleh virus hepatits C.
Virus hepatitis C dapat diidentifikasi menjadi 6 genotip utama yaitu:
1-6. Pengetahuan tentang genotip ini sangat penting karena dapat
digunakan untuk memprediksi respon terhadap terapi antivirus, SVR
(sustained virological response) dan menentukan lama terapi.
Genotipe 2 dan 3 adalah genotip yang telah diketahui memiliki
respon lebih baik dibanding genotip 1.
DIAGNOSIS
Gejala
Infeksi VHC sangat jarang terdiagnosis saat infeksi fakse akut.
Manifestasi klinis bisa muncul dalam waktu 7-8 minggu setelah
terpapar dengan VHC, namun sebagian besar penderita tidak
menunjukkan gejala atau kalaupun ada hanya menunjukkan gejala
yang ringan.
Pada kasus infeksi VHC akut yang ditemukan, gejala yang dialami
biasanya jaundice, malaise dan nausea. Infeksi bekembang menjadi
kronik pada sebagian besar penderta dan infeksi konik biasanya
tidak menunjukkan gejala.
Pemeriksaan:
1. Uji serologi: berdasarkan deteksi antibodi (antibodi anti-HCV).
Sekali antibodi anti-HCV telah terbentuk, biasanya akan tetap
positif. Namun kadar antibodi anti-HCV akan menurun gradual

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 72

pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami resolusi


spontan. Antibodi anti-HCV dapat terdeteksi selama terapi
maupun setelahnya tanpa memandang respon terapi yang
dialami.
2. Uji HCV RNA:
a. Kualitatif: limit deteksi hingga lebih kecil dari 50 IU/ml.
Bermanfaat khususnya pada kasus dengan kadar
transaminase normal, disertai penyebab penyakit hati
lain, atau pasien imunokompromi dan pada hepatitis C
akut sebelum munculnya antibodi.
b. Kuantitatif: untuk mengetahui muatan virus bermanfaat
untuk memprediksi respon terapi dan realaps. Muatan
virus pada hepatitis C tidak ada kaitan dengan beratnya
hepatitis (progresi fibrosis).
3. Biopsi, berguna menentukan derajat beratnya penyakit (tingkat
fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi.
Bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab
penyakit hati yang lain seoerti alkoholik, non-alkoholik
steatohepatitis (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati druginduced atau overload besi.
TERAPI
Pada dasarnya, semua pasien dengan infeksi hepatitis C kronik
merupakan kandidat untuk terapi antivirus.
Terapi yang direkomendasikan: kombinasi interferon pegilasi alfa (PEG
interferon alfa) dengan ribavirin.
Respon Terapi
1. Respon virology
a. SVR (sustained virological response): tidak terdeteksinya HCV
RNA dalam serum seorang pasien menggunakan suatu
metode pemeriksaan dengan sensitivitas hingga 50 IU/ml di 6
bulan setelah terapi selesai.
SVR: endpoint yang paling dapat
mengevaluasi respon dari suatu terapi.

dipercaya

dalam

b. RVR (rapid virological response): tidak terdeteksinya HCV


RNA dalam serum seorang pasien menggunakan suatu

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 73

metode pemeriksaan dengan sensitivitas hingga 50 IU/ml


setelah 4 minggu terapi.
Pasien yang mencapai RVR memiliki kesempatan yang lebih
besar mencapai SVR.
c. EVR (early virological response): penurunan setidaknya 2 log
dari kadar HCV RNA baseline di 12 minggu terapi.
Pasien yang mencapai EVR memiliki kesempatan lebih besar
mencapai SVR
d. Null response: gagalnya seorang pasien untuk mencapai
turunnya kadar HCV RNA yang berarti selama terapi
e. Partial virologic response: terjadi penurunan muatan virus >
2 log dari nilai baseline tetapi HCV RNA tetap terdeteksi di
minggu ke-24 terapi.
f.

Virologic breaktrough: terdeteksinya kembali HCV RNA pada


pasien yang kadar HCV RNA nya telah negatif selama masi
terapi

g. Relaps: munculnya kembali HCV RNA pada pasien yang kadar


HCV RNA nya telah negatif setelah selesai terapi.
2. Respon non virologi
a. Biokimia: normalisasi kadar SGPT paska terapi.
b. Histologi: turunnya nilai inflamasi atau nilai total sebesar 2
poin atau lebih dibanding hasil biopsy sebelum terapi atau
turunnya nilai fibrosis sebesar 1 poin dibanding hasil biopsy
sebelum terapi.
PENCEGAHAN
Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi VHC.
Karenanya usaha-usaha berikut harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya infeksi: skrining dan pemeriksaan terhadap darah dan organ
donor, menginaktivasi virus dari plasma dan produk-produk plasma,
mengimplementasikan tindakan-tindakan untuk mengontrol infeksi
dalam setting pekerja kesehatan, termasuk prosedur sterilisasi
terhadap alat-alat medis dan dentis, mempromosikan perubahan
tingkah laku pada masyarakat umum dan pekerja kesehatan untuk
mengurangi penggunaan berlebihan obat suntik dan penggunaan cara

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 74

penyuntikan yang aman, konseling untuk menurunkan resiko pada IDU


dan praktek seksual.

1. Sulaiman A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati; 1 st ed., Jayabadi:


Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer HM S, 2007:211-227.
2. Omata M, et al. APASL consensus statements and management
algorithms for hepatitis C virus infection. Hepatol Int. e pub. DOI
10.1007/s12072-012-9342-y.

SIROSIS HEPATIS
Kode : ICD K.74
DEFINISI
Sirosis hepatis adalah
penyakit hati menahun
yang
ditandai
dengan
proses peradangan, nekrosis sel hati, usaha regerasi dan
penambahan jaringan ikat difus, dengan terbentuknya nodul yang
mengganggu susunan lobulus hati.
ETIOLOGI
a. Hepatitis virus B dan Non A Non B.
b. Alkohol.
c. Gangguan metabolik: DM, hemokromatosis, penyakit Wilson,
galaktosemia, defisiensi alpha 1 anti tripsin
d. Penyumbatan saluran empedu intra atau ekstra hepatik yang
lama.
e. Bendungan vena hepatica.
f. Gangguan imunitas seperti pada hepatitis lupoid.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 75

g.
h.
i.
j.

Toksin obat-obatan, umpama obat sitostatika.


Malnutrisi.
Infeksi parasit kronis, seperti skistosomiasis.
dll.

PATOFISIOLOGI
Nekrosis
sel
hati
meliputi
daerah yang luas akan memicu
pembentukan
jaringan ikat
kolagen
dan
terbentuk
parut.
Terbentuknya jaringan parut akan membentuk septaparut. Usahausaha
regenerasi
yang
timbul
mengganggu
pula susunan
jaringan. Akhirnya akan terbentuk pseudo lobulus .
GEJALA KLINIS
Pada tingkat awal, gejala umumnya samar-samar dan tidak khas,
umumnya penderita merasakan tidak fit seperti biasanya, penderita
merasa lebih cepat letih.
Pada tingkat lanjut timbul ikterus,
asites, edema, spider naepi, palmar eritema, ginekomastia, atropi
testis , varises esofagus, koma hepatikum, dll.
DIAGNOSIS
a.
b.
c.
d.

Gejala klinis
Kelainan LFT
Ultrasonografi
Foto esafagus dan endoskopi untuk melihat varises esofagus.

PENATALAKSANAAN
a. Istirahat yang cukup.
b. Diit yang adekuat dan seimbang
c. Medikamentosa diberikan sesuai dengan gejala yang timbul
asites
diberikan diuretik, spironolakton 100 mg / hr PO (selama maximal
60 mg / hari), Furosemid 40 80 mg / hari PO/IV (selama maximal
240 mg / hr), monitor BR urin output, NA.K. Creatinin
KOMPLIKASI
a. Pecahnya varises esofagus
b. Koma hepatikum
TINDAK LANJUT
a. Skleroterapi
b. Bedah pintas
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 76

PROGNOSIS
Tergantung derajat berat ringannya sirosis, serta ganggguan fungsi
hati yang ditimbulkannya.

HEPATITIS FULMINANT
Kode : ICD K.74
DEFINISI
Kegagalan faal hati akut yang diakibatkan oleh nekrosis massif sel
hati yang timbulnya mendadak.
ETIOLOGI
- Hepatitis viral
- Obat-obatan : halotan, MAO inhibitor, INH, parasetamol.
- Fatty liver
GEJALA KLINIK
- Badan panas, lemah, mual yang disusul dengan timbulnya ikterik

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 77

- Ikterik prognosif dalam waktu relatif singkat, yaitu 4-16 hari


- Kesadaran menurun
- Gelisah, flapping tremor, fetor hepatikum
- Kekakuan ekstremitas, yaitu timbul hiperpronasi dan ekstensi
lengan, ekstensi tungkai.
- Sering timbul edema cerebral yang menyebabkan timbulnya
gangguan sirkulasi dan respirasi.
LABORATORIUM
Serologis hepatitis viral, cytomegalovirus, Ebstein barr,
adenovirus.
- Kadar bilirubin total 18,9 27,4 mg% dengan rata-rata 23,7 mg%.
- Alkaliphospatase > 2 kali normal
- SGOT rerata 305,3 U/L
- SGPT rerata 351,4 U/L
PENATALAKSANAAN
- Follow Up vital sign
- Follow Up intake dan output cairan
- Evaluasi EKG, EEG dan foto thorak
- Pasang infus dekstrose 10% , martos 10
PENATALAKSANAAN PENDERITA KOMA
- Pasang NGT : laktulosa
- Neomisin/kanamisin 4 x 1 gr
- Lavement tiap hari
- Infus yang mengandung asam amino rantai cabang.
- Bila timbul edema serebral, infus manitol hipertonik 50 100 ml
dengan jumlah 400 ml tiap hari, maksimum 200 ml/jam.
- Bila perdarahan : vitamin K 10 mg (iv), fresh frozen plasma,
transfusi darah segar.
- Hipoglikemia : glukosa 40 % 100 cc bila BSS < 90 mg/dl
- Bila gagal ginjal : hemodialisis
- Bila terjadi aritmia jantung : anti aritmia
- Imbalance elektrolit (hipokalemia) : infus KCL
KOMPLIKASI
Edema serebral, perdarahan, septikemia, hipoglikemia, gangguan
pernafasan dan gangguan faal ginjal.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 78

ENSEFALOPATI HEPATIKUM (EH)


Kode : ICD K. 72
Definisi
Sindrom neuropsikiatrik kompleks yang reversibel dan merupakan
komplikasi penyakit hati akut atau kronik, berhubungan dengan
gangguan fungsi hepato seluler atau akibat printisan portosistemik
atau kombinasi keduanya.
ETIOLOGI
-

Peningkatan suplai protein intestinal : diet tinggi protein.,


perdarahan saluran cerna
Peningkatan katabolisme protein : difisiensi albumin, deman,
operasi, infeksi
Mekanisme detoksifikasi : intoksikasi alkohol, toksin, endotoksin,
infeksi obsdipasi
Peningkatan tumor nocrosis factor

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 79

Peningkatan ikatan ke resepror GABA : bnrzodiazepin,


barbiturate, fenotiazim, sedative, tranquilizer
Gangguan metabolik : asidosis, ezotemia, hipoglikemia
Gangguan
elektolit
:
hipokalemia,
hipehatremia,
hipomagnesemia
inhibisi sintesa area : diuretik, kadar zinc yang rendah
Hepatitis virus akut, perlemakan hati akut pada kehamilan,
kerusakan parenkim fulminan

DIAGNOSIS
Gambaran klinis sesuai derajat ensefalopati hepatikum (EH) :
Derajat 0 - tanpa gejala, tes psikometrik negatif / subklinis /
minimal : klinis dan status mental normal, terdapat gangguan
memori / neuromuskutor minimial, test psikometrik positif
Derajat I : euforia, cemas, bingung ringan, depresi, gangguan
bicara, gangguan siklus tidur
Derajat II : letargi, bingung meningkat, mengantuk,
perubahan
kepribadian
nyata,
perubahan
perilaku,
disorientasi minimal waktu dan ruangan
Derajat III : bicara kacau, sangat bingung, rasa kantuk berat,
disorientasi waktu dan tempat berat, tidak dapat
melaksanakan aktivitas mental
Derajat IV : koma

PENATALAKSANAAN
a. Atasi factor pencetus
b. Mengurangi produksi amonia pada saluran cerna :
- Laktulosa enema : 200 ml laktulosa dengan 700 ml air
- Laktulosa 0 ml : 3 x 10-30 ml / hari
c. Mengatur diet protein 1,5 g. kgBB / hari, jumlah kebutuhan kalori
1800 2500 k
kal / hari
d. Memperbaiki ketidakseimbangan asam amino BCAA ( Branhed Chain
Amino Acids) 0,5 g / kgBB / hari ( 3 x 10 gr / hari).
e. Memberikan antibiotika :
- Neomisin : 2 4 gr / hari
- Metronidazole : 3 x 400 mg / hari
- Venkomisin : 4 x 500 g / hari
f. Meningkatan detoksifikasi amonia ekstra saluran cerna :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 80

L-ormika, L-aspartat : 20 gr ( 4 ampul) / hari untuk keadaan prakoma,


40 gr ( 8 ampul)/ hari untuk keadaan koma, LOLA oral diberikan 3 x 36 gr / hari
g. Memberikan antoganis resepror benzodiazepin : flusiazenil 0,2 0,3
mg IV boleh diikuti dengan 5 mg IV per jam ( infus).
KOMPLIKASI
- Edemi serabri
- Hermiasi otak
- Koma progresif yang irreversible
- Kerusakan neurologik permanen ( serebral kronik)
- Resiko
sepsis,
peritonitis
baktenalis
spontan,
hepatorenal, syok.

sindrom

PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada keparahan ensefalopati hepatikum (EH) /
gagal hati dan lamanya waktu dapat dilihat berdasarkan MELD / Child
turcotte pugh pasien dengan gagal hati berat 30 % meninggal karena
ensefalopati hepatikum(EH)
Ensefalopati hepatikum akut dengan koma atau gagal hati
80% akan berakhir
dengan kematian.

fulminan

PERDARAHAN VARICES ESOFAGUS


Kode : ICD K.22.8
DEFINISI
Pecahnya varices esofagus pada hipertensi portal.
PENATALAKSANAAN

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 81

Dibagi dalam 3 bagian :


1. Suportif
- IVFD NaCL, ringer laktat atau plasma ekspander.
- Transfusi darah sampai Hb 10 gr% dengan whole blood, bila
hemodinamik terganggu dengan PRC dan dapat disertai FFP.
- Pasang NGT
- Bilas lambung dengan air es atau NaCL
- Klisma tinggi
Medikamentosa :
- Injeksi Vitamin K dan asam traneksamid
- Antasida oral, sukralfat dan injeksi penyekat receptor H 2,
PPI.
- Sterilisasi usus : Neomisin dan laktulosa
2. Definitif
Sengstaken Blakemore Tube (SB Tube)
Vasopressin : Bolus 20 unit per 20 cc Dekstrose 5%
dalam waktu 20 menit atau 20 unit dalam 200 cc Dekstrose
5% per drip dalam 2 jam dan dapat diulang setelah 4 - 6 jam
bila masih berdarah.
Skleroterapi darurat.
3. Operatif
Pemantauan hasil pengobatan. NGT, Hemotakrit, HB dipantau tiap
6 jam

ABSES HATI
Kode : ICD K.75.0
DEFINISI
Terbentuknya rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul
dalam jaringan hati akibat infeksi bakteri atau amuba histolitika.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 82

ETIOLOGI
- Entamoeba histolitika bentuk minuta, kista, vegetatif (aktif)
- Bakteri piogenik
PATOGENESIS
- Melalui sistem vena porta
- Melalui sistem limfatik
Secara langsung menembus dinding dinding usus fleksura
heptica kolon
asenden.
GEJALA KLINIS
Bervariasi, dapat timbul mendadak atau perlahan-lahan.
Dapat timbul bersamaan dengan stadium akut amubiasis intestinal
atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah keluhan intestinal
sembuh.
- Gejala subjektif
: Nyeri perut kanan atas, demam,
anorexia, mual, muntah, menggigil, nyeri
bila ditekan atau pada waktu bergerak,
biasanya penderita miring ke sisi kanan
untuk mengurangi sakit.
- Gejala objektif

: Pembesaran hati, nyeri tekan, fluktuasi,


ikterik ringan
dan
terjadi, distensi
abdomen.

DIAGNOSIS
-

Klinis
USG
Serologis terhadap amuba
Adanya pus pada punksi percobaan
Kultur dan resistensi tes.

PENATALAKSANAAN
-

Istirahat
Diet TKTP
Terhadap amuba : metronidazole 4 x 500 mg selama 5 10 hari
Bila diameter abses > 7 cm terapi diteruskan dengan nivaquin 3
x 10 mg selama 3 minggu.
Terhadap bakteri : broad spektrum antibiotika atau sesuai hasil
tes resistensi selama 2 4 minggu.
Kombinasi metronidazole dan antibiotika bila disangka abses
campuran.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 83

Tindakan : Aspirasi cairan pus, terutama bila abses akan pecah atau
kurang respon dengan pengobatan.
KOMPLIKASI
-

Perforasi intra torakal


Perforasi intra peritoneal

TINDAK LANJUT
Operasi
PROGNOSIS
Bila tanpa komplikasi umumnya baik.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 84

3.4.
GINJAL HIPERTENSI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 85

HIPERTENSI
Kode : ICD.I10
DEFINISI
Meningkatnya tekanan darah secara tetap di atas normal (>140/90
mmHg)
PEMBAGIAN
Menurut etiologi
a. Primer (essensial) 90%
b. Sekunder
:
renal/renovaskuler,
hiperaldosteronisme, pil KB, dll
Pre Hipertensi
Tekanan sistolik 120-139 mmHg atau
Tekanan diastolik 80- 89 mmHg
Hipertensi Stage I
Tekanan sistolik 140 mmHg atau
Tekanan diastolik 90 mmHg
Hipertensi Stage 2
Tekanan sistolik 160 mmHg atau
Tekanan diastolik 100 mmHg

feokromositoma,

PATOFISIOLOGI
Pada hipertensi essensial/primer, berbagai-hagai faktor mengakibatkan
meningkatnya tahanan pembuluh darah periiar (artiole), ini sekuncup
jantung, volume cairan intra-vaskuler.
Gejala-gejala ;
Anemnesis

Sering tidak ada keluhan, tetapi bila ada biasanya berupa rasa
sakit pada kepala bagian belakang pada pagi hari
Riwayat tekanan darah tinggi dalam keluarga

DIAGNOSIS
Tekanan darah >
140/90 mmHg pada 3 kali pengukuran dalam
Interval waklu 1-2 minggu atau 2 hari berturut-turut apabila
penderita dirawat
PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DAPAT DILAKUKAN

Laboratoriurn :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 86

- darah/urine rutin
- kimia darah
Ureum, kreatinine
BSN / BSPP
Profil lipid
Asam urat

Na +, K+
RO foto : Thorax PA
ECG
Funduscopi mata
Ekokardiografi kalau perlu
USG ginjal/saluran kemih

BEBERAPA BENTUK KLINIK


Hipertensi krisis

Hipertensi ensefalopati
Hipertensi meligna
Hipertensi dengan dekompensasio kordis

KOMPLIKASI

CVD (Cerebro Vascular Disease) .


HHD (Hypertensive Heart Disease)
PJK (Penyakit Jantung Koroner)

PENGOBATAN
a.

Non Farmakologik

Diet rendah garam


Menurunkan BB
Menghindari stress
b. Farmakolagik

Diuretik atau B blocker, a Blocker, ACEI, Ca-antagonis, ARB


Kombinasi dari diuretik & salah satu pilihan
Kombinasi dari diuretik & 2 pilihan obat lain
Pada krisis hipertensi dipilih abat yang bekerja cepat dengan
menggunakan obat-obat injeksi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 87

PENYAKIT GINJAL KRONIK


Kode : ICD.N18
DEFINISI

Menurunnya faal ginjal secara progresif dan menahun


Umumnya irreversibel

PEMBAGIAN

Insufisiensi ginjal
PGK Ringan
PGK sedang
PGK berat
PGK terminal
ml/menit

:
:
:
:
:

klirens kreatinin sampai > 90 ml/menit


klirens kreatinin sampai 60 89 ml/menit
klirens kreatinin sampai 30 - 59 ml/menit
klirens kreatinin sampai 15 25 90 ml/menit
klirens kreatinin sampai < 15 /dialysis

ETIOLOGI
a. Glomerulonefritis
b. Penyakit ginjal interstitial ; pielonefritis k.ronik, pemakaian obatobat analgetik/ NSAID
c. Penyakit ginjal obstruktif dan infoktif
d. Penyakit metabolik : DM, Gout .
e. Hipertensi
f. Penyakit otoimun
g. Akibat radiasi dan penggunaan kontras
h. Penyakit ginjal herediter
PATOFISIOLOGI
Dengan rusaknya sejumlah besar nefron, maka akan timbul gangguan
pada fungsi ekresi ginjal sehingga mengakibatkan gangguan hemeostasis
cairan tubuh. Selain dari pada itu juga terjadi gangguan sistem ondokrin
dan metabolik serta sistem tubuh yang lain.
GEJALA KLINIS
Pada insufisiensi ginjal/PGK ringan tidak dijumpai adanya keluhan
apa apa
Pada PGK sedang/ berat dapat dijumpai
Keluhan : rasa lemah, cepat, lemah, nafsu makan kurang, mual-mual/muntah - muntah, sukar tidur, gangguan konsentrasi, kejangkejang

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 88

Kelainan jasmani : pucat, kulit kering, hipertensi sampai


kedecompensasio kordis, pernafasan kusmual, fetor uremikum,
kesadaran menurun, sampai coma.
DIAGNOSIS

Berdasarkan adanya gejala-gejala klinik


Laboratorium :

Rutin
Kimia darah : - ureum, kretinin, asam urat, calcium, fosfar
Gangguan elektrolit dan asam basa

Pemeriksaan penunjang
- Ro foto : Thorax, BNO
-

USG ginjal/ saluran kemih

EKG

Ekokardiografi

Klirens kreatinin

KOMPLIKASI
Kardiovaskuler : hipertensi, decomp, kordis, perikarditis
Paru : oedema paru/uremic lung
Gastropati : gastritis, ulcus pepticum, perdarahan
Hematologi
: - anemia,gangguan perdarahan
Endokrin
: - hiperparatiroidi sekunder
- resistensi insulin

Elektrolit/keseimbangan asam basa :


- hiponatremia, hiperkalemia, asidasis metabalik
Tulang : renal osteodistrofi

PENATALAKSANAAN
A.

Konservatif apabila klirens kreatinin iebih dari 10 ml/mnt


Umum :

Diet rendah protein 0,6-0,75 gr/kgBB/hari, rendah fosfat


cukup kalori
Intake cairan : jumlah urin sehari sebelumnya ditambah 500
cc
Vitamin-vitamin yang mengandung B compleks, B 12, 131,
B6

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 89

Usahakan untuk menemukan serta mermperbaiki faktorfaktor yang memperburuk faal ginjal seperti infeksi
obstruksi, gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa,
dehidrasi, kelainan kardiovaskuler.
Bila ada komplikasi :

GIT :

Anemia: - preparat Fe, B12, asam falat


- eritopoeitin
- transfusi darah
Hipertensi :
pembatasan cairan,
obat
antihipertensi
calcium antagonis, alfa blocker, beta
blocker clonidine
Gagal jantung : - batasi cairan, diuretik, dialisa

- metoclopramide/procholoferazine bila ada mual


- gol proton pump/ PPI bila ada gastritis/ulkus

Penatalaksanaan
Bila ada komplikasi

Gangguan tulang : - diet rendah fosfat, calcium calsitrial


(1,25 - dihydrasi vit D)

Metabolik asidosis : - Bicarbonat Natrium tablet atau infus

Hiperkalemia :- batasi intake kalium dengan pemberian


catian
exchange resin ba/K polysterene
sulfonat

- Jika terjadi aritmia Bicarbonat Natrium


IV, Ca
glukonas 10% (10-20 cc) IV diberikan
secara drip

Gatal-gatal : diet rendah fosfat, antihistonnin

B. Terapi substitusi ; Bila klirens kreatinin < 5 ml/mnt atau < 10


ml/mnt dengan adanya komplikasi
Hemodalisis, peritoneal dialisis, transplantasi ginjal

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 90

PENYAKIT GINJAL AKUT


Kode : ICD.N17
DEFINISI
Penurunan
secara
tiba-tiba
dari
fungsi
ginjal
sehingga
mengakibatkan kenaikan dari kadar ureum dan kreatinine dalam
darah dengan atau tanpa adanya oliguria.
Patofisiologi :
Menurunnya perfusi daraii ke glomerulus mengakibatkan gangguan
fungsi filtrasi glomerulus dan juga fungsi tubulus. Eksresi glomerulus
dan reabsorbsi tubulus mengalami gangguan, sehingga terjadi
gangguan pada homeostasis cairan tubuh.
PEMBAGIAN

PGA prerenal : dapat timbul


pada keadaan-keadaan
perdarahan, kehilangan cairan tubuh, diare, muntah-muntah,
dehidrasi, sepsis, decompensasio kordis
PGA renal : kelanjutan dari PGK prerenal nekrosis tubuler akut
(NTA), zat nefrotik : prefarat Hg, CCL 4, ammoglikosid
PGA post renal : batu saluran kemih, hipartropi prostat, tumor -alat
kandungan.

GEJALA-GEJALA KLINIS

Oliguria/ anuria
Sindrom uremik : mual, rnuntah, penurunan kesadaran sampai
coma, kejang-kejang, pernafasan kussmaul bila sampai asidosis

DIAGNOSIS

Berdasarkan penemuan gejala-gejala klinik dan adanya faktor


penyebab dari terjadinya PGA pada anamnesa

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 91

Pemeriksaan laboratorium :
B. urine < 1010
Urine
: - rutin
- kadar Na + urine jika ada fasilitas
Da rah
: - rutine
Kimia
: ureum, kreatinin, asam urat, Na + K+
Pemeriksaan penunjang : RO " BNO, USG ginja1/saluran kemih

PERJALANAN PENYAKIT
PGA prerenal & post renal baik bila faktor etiolagi dapat diatasi
PGA renal terdapat 3 fase, fase oliguria, poliur a dan fase konvalesens
KOMPLIKASI PGA RENAL/ NTA

Infeksi
Hipertensi, decompensatio cordis
Asidosis metabolik
Coma uremicum
Gangguan elektrolit : hiperkalemia, hipokalemia, hiponatremia
PENATALAKSANAAN
Tentukan jenis PGA
Atasi faktor etilogi
PGA renal/NTA .
Fase oliguria manitor 20% sebanyak 100-200 cc perdrip atau
furosemid 80 mg IV untuk mencoba diuresis
Infus cairan : Nacl 0,9% : dextrose 5%. Jumlah cairan yang
diberikan berdasarkan jumlah urine sehari sebelumnya 500
cc
Diet rendah protein 0,6 - 0,75/kg B.B/hari
Jumlah kalori secukupnya
Garam dibatasi
Monitor intake -output cairan tiap hari
Bila disertai komplikasi
Hiperkalemia (K +y b meq/l : Bic Natrium IV, Ca gluconas 10% IV
RI 5-8 unit dalam dextrose 40% 1 flash bolus pelan-pelan
Cation exchange resin
Na/Ca polisterene sulfonat
Dialisis
Hipertensi
- Batasi intake cairan
- Obat antihipertensi : B blocker. Alfa blocker, Ca-antagonis,
clonidine, Acel (hati-hati)/ dilantin (difenil hidantoin)
- Kejang-kejang : Valium 10 mg IV
- Infeksi : antibiotik ampisilin/amoksilin/sefalosporin
- Gagal jantung : furosemid IV

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 92

Hemodialisis bila konservatif gagal / kondisi memburuk


Fase poliuria : jaga keseimbangan cairan & elektrolit

PROGNOSIS TERGANTUNG PENYEBAB

PGA prerenal
PGA renal/NTA bisa sembuh
PGA post renal hilangkan penyebab

PIELONEERITIS AKUT
Kode : ICD.N03
DEFINISI
Infeksi akut dari jaringan ginjal
ETIOLOGI
Escherichia coli (85 %)
Kuman-kuman lain : Klebsiela, proteus mirabilis, pseudomonas
Aeruginosas, Enterobacter
PATOGENESIS
Mikroorganisme dari daerah perineum/periureten secara ascending
sampai ke jaringan ginjal secara hematigen dari tempat hin
GEJALA-GEJALA KLINIS
Sakit di daerah pinggang
Demam, sering disertai menggigil
Palpasi abdomen : - nyeri tekan di daerah lumbal
- nyeri ketok costo-vertebral
DIAGNOSIS
Berdasarkan gajala-gejala klinik
Laboratorium rutin : darah lekositosis, urin sedimen lekosit
banyak
Khusus : biakan urin terdapat bakteriuri bermakna ( > 100.00
kuman/cc)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
RO " BNO, USG ginjal/saluran kemih

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 93

PENATALAKSANAAN
Istirahat
Minum banyak 2000 - 3000 cc/24 jam
Bakteriologi urine / kultur dan resistensi test urine
Antibiotik secara empiris
FOLLOW-UP
Ulang urine kultur 1 minggu setelah pengobatan selesai
Pada
keadaan infeksi berulang-ulang perlu pemeriksaan
lanjutan berupa : RO" foto IVP, USG ginjal/sal. Kemih
PROGNOSIS
Bisa sembuh sempurna

SINDROMA NEFRITIS AKUT


Kode : ICD.N00
DEFINISI
Suatu keadaan yang bersifat akut & difus dari glomerulus atas dasar
terjadinya suatu reaksi imunologik
PATOGENESIS
Reaksi imunologik terjadi setelah adanya suatu infeksi oleh kumankuman

streptococurs,

virus

maupun

parasit;

maupun

setelah

vaksinasi
Selain dari pada itu dapat merupakan bagian dari suatu penyakit
autoimun (SLE)
Reaksi

umum yang terjadi dapat berupa suatu kompleks imun

yang mengendap pada membran basalis ginjal sendiri.

Bisa

juga

merupakan bagian dari suatu serum sickness


GEJALA KLINIS

Edema pada kelopak mata terutama pagi hari, biasa disertai


edema tungkai

Buang air kecil sedikit, berwarna kemerah-merahan seperti air


cucian daging

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 94

Kadang-kadang ada hipertensi

LABORATORIS

Rutin

Da rah : LED meningkat

Urine : - proteinuria (+) = (++), hematuria RBC > 3/Ipb,


silinder grabular/ eri rosit

Khusus : liter ASTO > 160 IU, HBS Ag positif

DIAGNOSIS
Berdasarkan gejala klinik dan laboratarium rutin

Pemeriksaan khusus titer ASTO, Hbs Ag dan adanya riwayat


penyakit parasit (malaria) pada masa lampau, menunjang
diagnosis

KOMPLIKASI

Terjadi gagal ginjai akut

Terjadi penurunan faal ginjal secara progresip (rapidly progresip


glomerulonefritis)

Hipertensi krisis berupa hipertensi ensefalopati dan hipertensi


dengan gagal jantung

PERJALANAN PENYAKIT
Sebagian besar penderita sembuh (90%)
Sebagian kecil bisa jatuh kepada gagal ginjal kronik, sindroma nefrotik,
glomerulonefritis kronik
PENATALAKSANAAN / TERAPI

Istirahat (tidak total)

Diet rendah garam III, cukup kalori protein dibatasi 0,8


g/kgBB/hari

Diuretik : HCT/furosemid bila ada edema

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 95

Antihipertensi bila ada hipertensi

FOLLOW

Selama

UP
dalam

perawatan

penderita

diawasi

terhadap

kemungkinan timbulnya komplikasi-komplikasi

Urine rutin dan ureum/kreatinine serta elektrolit Na +, K+


diperkirakan seminggu sekali atau dua kali tergantung respon
klinis

Setelah keluar rumah sakit secara berkala diperiksa urine rutin


(1x se bulan} dan uji faal ginjal tiap 6 bulan

PROGNOSIS

Baik untuk sebagian besar panderita ( > 90%)

SISTITIS
Kode : ICD. N30
DEFINISI
Infeksi kantong kemih oleh mikroorganisme
ETIOLOGI

Escherchia colui 80-90%


Lain-lain : Klebsiella, enterobacter, proteus, Pseudomonas
Aeruginosa, Staphylococcus Epidermidis, Enterrococci, Candida
Albicans, Staphylococcus Aureus

PATOGENESIS

Mikro, organisme dari daerah periureter/perineum secara


ascending sampai ke vesica urinaria

GEJALA-GEJALA KLINIS

Berdasarkan gejala klinis


Pemeriksaan laboratarium : urine : proteinuria, sedimen
banyak lekosit, penentuan penunjang : faktor urine
"

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 96

DIAGNOSIS

Berdasarkan gejaia klinis


Pemeriksaan laboratorium : urine : proteinuria, sedimen
banyak lekosit, penentuan penunjang : faktor urine
Kultur urin

PENATALAKSANAAN

Minum banyak
Antibiotik selama 3 hari : amoksisilin 3x 500, kotromoksasol
2x2 tablet, golongnan quinolonh (ciprofloksasin 2 x 500 mg,
levofloksasim 1 x 500 mg)
Antibiotik sesuai kultur

PROGNOSIS

Baik
Masih terjadi relaps

SINDROMA NEFROTIK
Kode : ICD. N04
DEFINISI
Suatu kumpulan gejala yang terdiri atas protein!.rria masif, edema
anasarka, hipo albuminuria.

PATOFISIOLOGI
Akibat kerusakan pada membran basalis terjadilah proteinuria pasif
yang

bila

berlangsung

hipoalbuminemia.

Keadaan

terus
hipo

mengakibatkan
albuminemia

timbulnya

mengakibatkan

perpindahan cairan intravaskuler ke ruang inter sitium sehingga timbul


edema. Akibat hipovolemia intra vaskuler akan merangsang sistim lain
seperti aldosteron dan A DH.
ETIOLOGI
Primer (idiopatic) 75 - 80%
Sekunder :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 97

Glomerulonefrltis post infeksi

Penyakit sistemik, DM, SLE

Keganasan

Toxsin-toxsin spesifik

GEJALA KLINIS
Edema anasarka
DIAGNOSIS

Berdasarkan gejala klinis

Laboratoriurn : urine - protenurua +++/++++ > 3g/24 jam

Secara kuantitatif; darah - hipoalbumin /hiperkolesterolemia

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Elopsi ginjal
Laboratorium

- elektrolit
- Lipid
- Protein urin Esbach

KOMPLIKASI

- Infeksi sekunder
Atherosclerosis
Penyakit ginjal kronik

PENATALAKSANAAN/ TERAPI
Bila oedema berat penderita dirawat di RS
Diet:
- Protein dibatasi 0,8 g/kgBB/hari
- Kalori 35 kcal/kgBB/hari
- Garam dibatasi
Obat
Diuretik
: furosemid, Spiranolactone
Kortikosteorid : prodnisone/ methylbednisolon
Sitostatik
Endoxan bila steroid resisten atau sering relaps
- Mecofenolat
FOLLOW-UP
Selama Perawatan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 98

Tiap hari
: diukur intake-out-put cairan
Tiap minggu :
- urine protein
- ureum, creatinin
- N a +,
K+
- BB
Tiap 2 minggu :
albumin serum
- cholesterol
- setelah keluar RS
2 minggu sekali diperiksa protein urin

3.5.
TROPIK INFEKSI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 99

DEMAM TIFOID
Kode : ICD. A01.0
PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh
infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
DIAGNOSIS

Anamnesis : demam naik secara bertangga pada minggu


pertama lalu demam menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu
kedua. Demam terutama sore / malam hari, sakit kepala, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.

Pemeriksaan Fisis : febris, kesadaran berkabut, bradikardia


relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung
merah, serta tremor), hepatomegali,splenomegali, nyeri abdomen,
roseolae (jarang pada orang Indonesia).

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 100

Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau


lekosit normal, aneosinofilia, limfopenia, peningkatan Led, anemia
ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan
empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal >4 kali lipat setelah
satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak
menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titerantibodi O
1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong
diagnosis.

Hepatitis Tifosa
Bila memenuhi 3 atau lebih kriteria Khosla (1990) : hepatomegali,
ikterik, kelainan laboratorium (antara lain : bilirubin >30,6 umol/l,
peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks PT), kelainan histopatologi.
Tifoid Karier
Ditemukannya kuman Salmonella typhi dalam biakan feses atau urin
pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseornag setelah
1 tahun pasca-demam tifoid.
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, malaria
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah parifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan
empedu)
TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak randah serat
Farmakologis :
Simtomatis
Antimikroba :
Pilihan utama : Kloramfenikol 4 x 500mg sampai dengan 7 hari
bebas demam.
Alternatof lain :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 101

Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah


dibandingkan kloramfenikol)
Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
Sepalosporin generasi III ; yang terbukti efektif adalah
seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama jam
per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan
sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon2 x 1 gram
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau
menjelang hari IV) :
Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran
dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan
cairan otak masih dalam batas normal langsung diberikan kombinasi
kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan
deksametason 3 x 5 mg.
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis
atau perforasi, renjatan septik.
Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami
renjatan septik dengan dosis 3 x 5 mg
Kasus tifoid karier
Tanpa kolelitiasis pilihan rejimen terapi selama 3 bulan :
-

Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari

Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari

Kotrimoksazol 2 x 2 tablet/hari

Dengan kolelitiasis kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama


28 hari atau kolesistektomi + salah satu rejimen berikut :
-

Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 102

Norfloksasin 2 x 400 mg/hari

Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada taksus urinarius


eradiksi Schistosoma haematobium :
Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2
minggu
Setelah eradiksi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier
sepertidi atas
Perhatian : Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimaksazol tidak
boleh digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III.
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester I. Obat yang dianjurkan
golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin, dan sefalosporin
generasi III (sefriakson)
KOMPLIKASI
Intestinal : perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis.
Ekstra-intestinal

kardiovaskular

(kegagalan

sirkulasi

perifer,

miokarditis, trombosis, tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik,


trombositopenia,
hepatobilier

KID),

(hepatitis,

paru

(pneumonia,

kolesistitis),

empiema,

ginjal

pleuritis),

(glomerulonefritis,

pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis,


artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid)
PROGNOSIS
Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau
ada komplikasi berat, prognosis meragukan / buruk
WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam

RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 103

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Departemen Bedah digestif

RS non pendidikan : Departemen Bedah

DEMAM BERDARAH DENGUE


Kode : ICD. A.91
PENGERTIAN
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi kriteria WHO
untuk demam berdarah dengue (DBD).

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 104

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memnuhi :

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya


bifasik

Terdapat minimal satu dari menifestasi pendarahan berikut ini :


- Uji torniquet positif (>20 petkie dalam 2,54 cm 2)
- petekie, ekimosis, atau purpura
- perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan,atau tempat
lain
- hematemesis atau melena
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage:
hematokrit meningkat >20% dibanding hematokrit rata-rata pada usia,
jenis kelamin, dan populasi yang sama
hematokrit turun hingga >20 % dari hematokrit awal, setelah
pemberian cairan terdapat efusi pleura, efusi prikard, asites, dan
hipoproteinemia
Derajat
I

II
III

: demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas,


manifestasi, perdarahan hanya berupa uji torniquet positif
dan/ atau mudah memar
: Derajat I disertai perdarahan spontan
: terdapat kegagalan sirkulasi: nadi cepat dan lemah atau
hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah

IV
: Renjatan : tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III
dan Iv
digolongkan dalam sindrom renjatan dengue
DIAGNOSIS BANDING
Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia
PEMERIKSAAN PENUNJANG

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 105

Hb, Ht, lekosit, trombosit, serologi dengue


TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak
Farmakologis:
simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam
tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiranprotokol tatalaksana
DBD cairan intravena : Ringer laktat atau ringer asetat4-6 jam/kolf
koloid/plasma ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan
Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi Pertimbangan
heparinisasi pada DBD stadium III atau IV dengan koagulasi
intravaskuler diseminata (KID)
KOMPLIKASI
Renjata, perdarahan, KID
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, PMI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 106

MALARIA
Kode : ICD. B.50.8
PENGERTIAN
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
plasmodium falsiparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale, atau
plasmodium malariae dan ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles

DIAGNOSIS
Anamnesis : riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat
dari atau pergi ke daerah endemik malaria, trias malaria (keadaan
menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian timbul keringat
yang banyak ; pada daerah endemik malaria, trias malaria mungkin
tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama)
Pemeriksaan Fisis : konjungtiva pucat, sklera ikterik, splenomegali
Laboratorium : sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium,
serologi malaria (+) [sebagai penunjang]
Malaria berat : ditemukan P.falcifarum dalam stadium aseksual disertai
satu atau lebih gejala berikut :
1. malaria serebral : joma dalam yang tak dapat / sulit
dibangunkan dan bukan disebabkan oleh penyakit lain
2. anemia berat (normositik) pada keadaan hitung parasit >
10.000/ul; (Hb<5 g/dl atau hematokrit <15%)
3. gagal ginjal akut (urin <400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau
<12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi
disertai kreatinin>3 mg/dl)
4. Edema paru/acute respiratory distress syndrome (ARDS)
5. hipoglikemia (gula darah <400 mg/dl)
6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70 mmHg, disertai
keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1 oC)
7. Perdarahan spontan dari lubang hidung, gusi, saluran cerna,
dan/atau disertai gangguan koagulasi intravaskuler
8. kejang berulang lebih dari 2 kali dalam 24 jam setelah
pendinginan pada hipertermia
9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mEq/l)
10.Hemoglobinuria makroskopik oleh kerena infeksi malaria akut
(bukan karena efek samping obat antimalaria pada pasien
dengan defisiensi G6PD)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 107

11.Diagnosis pasca-kematian dengan ditemukannya P. Falciparum


yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan otak
Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai
dengan gambaran klinis daerah setempat :
Gangguan kesadaran
kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan)
hiperparasitemia >5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak
stabil malaria
ikterus (bilirubin >3 mg/dl)
Hiperpireksia (suhu rektal >40oC)

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis,
ensefalitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal,
tes fungsi hati, gula darah, UL, AGD, elektrolit, hemostatis, rontgen
toraks, EKG
TERAPI
Infeksi P. vivax atau P. ovale
Daerah sensitif klorokuin :
Klorokuin basa 150 mg :
Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian),
Hari II dan III : 2 tablet atau
Hari I dan II : 4 tablet,
Hari III : 2 tablet
Terapi radikal : ditambah primakuin 1 x 15 mg selama 14
hari.
Bila gagal dengan terapi klorokuin, kina sulfat 3 x 400600 mg/hari selama 7 hari
Daerah resisten klorokuin
Kina 3 x 400-600 mg selama 7 hari
Terapi radikal : ditambah primakuin 1 x 15 mg selama 14
hari

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 108

Infeksi P. falciparum ringan / sedang, infeksi campur P.falciparum


dan P. Vivax

Artemisin
Hari I : 4 tablet (200 mg)
Hari II : 4 tablet (200 mg)
Hari III : 4 tablet (200 mg)

Amodiaquin
Hari I : 4 tablet (600 mg)
Hari II : 4 tablet (600 mg)
Hari III : 2 tablet (600 mg)

Klorikuin basa 150 mg :


Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian),
Hari II : 2 tablet
Hari III : 2 tablet atau
Hari I : 4 tablet
Hari II : 4 tablet
Hari III : 2 tablet

Bila perlu ditambah terapi radikal : ditambah primakuin 45


mg ( 3 tablet) (dosis tunggal) ; infeksi campur : primakuin
1 x 15 mg selama 14 hari bila resisten dengan
pengobatan tersebut : SP 3 tablet (dosis tunggal) atau
kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari

Malaria berat

Artesunate iv/im 2,4 mg/kgBB diberikan pada jam ke-0,


12, 24, dilanjutkan satu kali per hari
Drip kina HCl 500 mg (10 mg/kgBB) dalam 250-500 ml
D5% diberikan dalam 6-8 jam (maksimum2000 mg)
dengan pemantauan EKG dan kadar gula darah tiap 8-12
jam sampai pasien dapat minum obat per oral atau
sampai hitung parasit malaria sesuai target (total
pemberian parenteral dan per oral selama 7 hari dengan
dosis per oral 10 mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali sehari)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 109

Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan dengan


tetrasiklin 94 mg/kgBB diberikan 4 kali sehari atau
doksisiklin 3 mg/kgBB sekali sehari

Perhatian SP tidak boleh pada bayi dan ibu hamil. Primakuin tidak
boleh diberikan pada ibu hamil, bayi, dan penderita defisiensi G6PD.
Klorokuin tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong. Pada
pemberian kina paranteral, bila obat sudah diterima selama 48 jam
tetapi belum ada perbaikan dan atau terdapat gangguan fungsi ginjal,
maka dosis selanjutnya diturunkan sampai 30-50%. Kortikosteroid
merupakan kontra indikasi pada malaria serebral.
Pemantauan pengobatan : hitung parasit minimal tiap 24 jam, target
hitung parasit pada H1 50% H0 dan H3 <25% H0. pemeriksaan diulang
sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria dalam 3 kali
pemeriksaan berturut-turut.
Pencegahan : klorokuin basa 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg/minggu
diminum tiap mingu sejak 1 minggu sebelum mesuk daerah endemik
sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemik atau
doksisiklin 1,5 mg/kgBB/hari dimulai 1 (satu) hari sebelum pergi ke
daerah endemis malaria hingga 4 minggu setelah meninggalkan
daerah endemis

KOMPLIKASI
malaria berat, renjatan, gagal nafas, gagal ginjal akut
PROGNOSIS
Malaria falsiparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale :
bonam. Malaria berat : Dubia ad malam
WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 110

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi pulmonologi dan


Departemen Neurologi
RS non pendidikan : Bagian Neurologi

SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK


Kode : ICD.A41.9
PENGERTIAN
Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang
disebabkan oleh infeksi
Renjatan (syol) septik : sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan
penurunan TDS <90 mmHg atau penurunan >40 mmHg dari TD awal,
tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan TD
Sepsis berat : gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ
termasuk penurunan kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paruparu, dan asidosis metabolik
DIAGNOSIS SEPSIS
SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut :
Suhu badan >38oC atau 36 oC
Frekuensi denyut jantung >90x/menit
Frekuensi pernafasan >24x/menit atau PaCO2 <32
Hitung leukosit >12.000/mm3 atau <4.000/mm3, atau adanya >10%
sel batang
Ada fokus infeksi yang bermakna
DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 111

DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit,kultur
darah dan infeksi fokal (urin, pus, sputum, dll) disertai uji kepekaan
mikroorganisme terhadap anti mikroba, foto toraks
TERAPI

Eradikasi fokus infeksi


Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi,
dugaan kuman penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan
farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati
antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur mikroorganisme
telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji
kepekaan mikroorganisme

Suportif : resusitasi ABC, oksigenasi, terapi cairan,


vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai indikasi) pada renjatan
septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya
Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan
pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume cairan yang
diberikan mengacu pada respons klinis (respons terlihat dari
peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung,
kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi
urin, dan perbaikan kesadaran) dan perlu diperhatikan ada
tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan tekanan vena
jugularis, ronki, galop S3, san penurunan saturasi oksigen).
Sebaiknya dievaluasi dengan CVP (dipertahankan 8-12 mmHG),
dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori perhari.
Oksigenasi sesuian kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada
hipoksemia yang progresif, hiperkapnia, gangguan neurologis,
atau kegagalan otot pernafasan
Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif
untuk mancapai tekanan darah sistolik >90 mmHg atau MAP 60
mmHg dan urin dipertahankan >30 ml/jam. Dapat digunakan
vasopresor seperti dopamin dengan dosis >8 g/kgBB/menit,
neropinefin 0,03-1,5 g/kgBB/menit, fenilefrin 0,5-8
g/kgBB/menit, atau epinefrin 0,1-0,5 g/kgBB/menit. Bila
terdapat disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti
dobutamin dengan dosis 2-28 g/kgBB/menit, dopamin 3-8
mcg/kgBB/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit, atau
fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan milrinon).
Tranfusi komponen darah sesuai indikasi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 112

Koreksi gangguan metabolik : elektrolit, gula darah, dan asidosis


metabolik (secara empiris dapat diberikan bila pH<7,2, atau
bikarbonat serum <9 mEg/l, dengan disertai upaya perbaikan
hemodinamik)
Nutrisi yang adekuat
Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal
Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal
Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli,
dapat diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus,
dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis
lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali
kontrol atau antikoagulan lainnya
KOMPLIKASI
Gagal nafas, gagal gianjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel
PROGNOSIS
Dubia ad malam

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam danPPDS


Penyakit Dalam

RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi

RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi pulmonologi, ginjal-hipertensi, hematologionkologi, dan medical high care / ICU
RS non pendidikan : ICU

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 113

DIARE
Kode : ICD. R19.7
PENGERTIAN
Diare menurut WHO adalah buang air besar dengan frekuensi yang
meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dengan
konsistensi lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya serta
berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu.
Ada dua bentuk diare akut yaitu tipe disenteriform dan choleriform.
Tipe disenteriform biasanya disebabkan oleh Shigella sp, sedangkan
tipe choleriform disebabkan oleh Vibrio cholera.
DIAGNOSIS

Anamnesis : BAB encer, mual, muntah, dengan atau tanpa


demam dan nyeri perut, rasa haus, bibir kering
Pemeriksaan fisik : keadaan umum, tanda-tanda dehidrasi
seperti rasa haus, mata cekung, ubun-ubun besar cekung (pada
anak), bibir kering, turgor perut kurang, air mata kurang,
asidosis metabolik (pernapasan Kussmaul).
Laboratorium : darah perifer lengkap, ureum, creatinin, elektrolit
(Na, K dan Cl), analisa gas darah, Imunoassay (toksin bakteri,

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 114

antigen virus dan antigen protozoa) dan feses lengkap serta


biakan dan resistensi feses.
Penyebab Diare Akut :
1.
2.
3.
4.
5.

diet yang tidak sesuai


obat-obatan laksatif
keracunan makanan dalam 6 24 jam terakhir
infeksi saluran cerna
alergi

TERAPI
1. Rehidrasi sebagai pengobatan utama, tergantung pada :
Jenis cairan yang digunakan
Jumlah cairan yang diberikan
Jalan masuk atau cara pemberian cairan
2. Memberikan terapi simtomatik

Koreksi gangguan asam basa


Antimikroba hanya diberikan bila disebabkan oleh infeksi
Vibrio cholera tetrasiklin dosis 50 mg/kgBB dibagi dalam 4
dosis selama 3 hari. Bila disebabkan oleh Shigella
diberikan kotimoksazol 2 x 960 mg/hari selama 3 hari.
Obat spasmolitik tidak dianjurkan pada diare yang
disebabkan infeksi.

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT

RS pendidikan : RS non pendidikan : -

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 115

AIDS/HIV (SIDA)
Kode : ICD.B.24

PENGERTIAN
Pasien dinyatakan terbukti terinfeksi HIV dari pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS
Adanya faktor risiko penularan
Diagnosis HIV : tes ELISA 3 kali reaktif dengan reagen yang berbeda
Stadium WHO :

Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata


Stadium 2
- Berat badan turun < 10 %

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 116

- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo,


infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas rekuren
Stadium 3
- Berat badan turun > 10 %
- Diare yang tidak diketahui penyebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) > 1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberkulosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
Stadium 4
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Toksoplasma serebral
- Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau KGB
(mis:retinitis CMV)
- Infeksi hespes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau viseral
- Progressive multifocal leucoencephalopathy
- Mikosis endemic diseminata
- Kandidiasis esofagus, trakea dan bronkus
- Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septikemia salmonela non tiposa
- Tuberkulosis ekstrapulmoner
- Limfoma
- Sarkoma kaposi
- Ensefalopati HIV

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit imunodefisiensi primer
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Anti HIV ELISA


Anti HIV western blot
Antigen p-24
Hitung CD4 < 200 sel/mm3
Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik

TERAPI

Konseling
Terapi suportif
Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 117

Vaksinasi pada penerita HIV/AIDS


Terapi pasca paparan HIV (post exposure prophylaxis)
Terapi antiretrovirus kombinasi, yang paling sering dipakai di
Indonesia adalah kombinasi antara Zidovudin (ZDV) 300
mg/Lamivudin (3TC) 150 mg 2 x 1 tablet (nama dagang Duvirzl)
dan Nevirapin (NVP) 200 mg 1 x 1 tablet (nama dagang Neviral)

Obat ARV (antiretroviral) direkomendasikan pada :


1. Semua pasien yang telah menunjukkan gejala sesuai
kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala yang
berat tanpa melihat jumlah limfosit CD4.
2. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4 < 200 sel/mm 3.
3. Pasien asimtomatik dengan limfosit CD4 200 350
sel/mm3 ditawarkan untuk memulai terapi.
4. Pasien asimtomatik dengan CD4 > 350 sel/mm3 dan viral
load 100.000 kopi/ml (dapat juga ditunda).
KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV dan manifestasi HIV pada organ
lain
PROGNOSIS
Tergantung stadium penyakit
WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam

RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi

RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Alergi-Imunologi, Kardiologi,


ICU/Medical High Care, Kelompok Studi Khusus HIV/AIDS

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 118

RS non pendidikan : ICU

HELMINTIASIS
Kode : ICD.B81.8
PENGERTIAN
Infeksi cacing yang disebabkan oleh nematoda saluran cerna.
Penularan dapat terjadi melalui 2 cara yaitu infeksi langsung atau larva
yang menembus kulit. Infeksi cacing yang tersering menyerang
manusia adalah jenis Ascaris lumbricoides (cacing tambang), Oxyuris
vermicularis (cacing kremi), Ancylostoma spesies (cacing gelang) dan
Trichuris trichiura.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 119

ASKARIASIS
Anamnesis : panas, batuk, batuk darah dan sesak napas, mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi, gatal-gatal dan
gejala ileus.
Pemeriksaan penunjang : eosinofilia pada foto toraks tampak
infiltrat yang mirip pneumonia viral yang menghilang dalam
waktu 3 minggu (sindrom Loeffler).
Diagnosis banding : urtikaria, asma dan pneumonia
Komplikasi : reaksi alergi yang berat, pneumonia
OKSIURIASIS
Anamnesis : rasa gatal pada anus (pruritus ani) yang timbul
pada malam hari, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
sukar tidur dan gelisah, nyeri perut, mual, muntah dan mencret.
Pemeriksaan laboratorium : eosinofilia, swab perianal ditemukan
telur atau cacing dewasa.
Komplikasi : apendisitis, vaginitis
ANKILOSTOMIASIS
Anamnesis : rasa gatal di kaki, ruam makulopapular, batuk
darah, rasa tidak enak diperut, kembung, sering mengeluarkan
gas, mencret.
Pemeriksaan fisik : anemia, bising usus meningkat
Laboratorium : anemia hipokrom mikrositer, telur cacing dan
larva dalam tinja dan sputum, esosinofilia, hipoalbuminemia.
Komplikasi
:
dermatitis,
anemia
berat,
bronkhitis,
bronkhopneumonia
TRIKURIASIS
Anamnesis : nyeri perut, sukar buang air besar, mencret,
kembung, sering flatus, mual, muntah, ileus dan turunnya berat
badan
Pemeriksaan fisik : anemia, bising usus normal atau meningkat
Laboratorium : anemia hipokrom, eosinofilia dan telur atau
cacing dalam tinja
Komplikasi : perforasi usus atau prolaps rekti

TERAPI
a. Terapi Umum
1. Perbaikan gizi dengan pemberian nutrisi tinggi kalori dan
protein,
multivitamin dan mineral.
2. Preparat besi (sulfas ferosus) 3 x 200 mg/hari dapat diberikan
untuk

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 120

mengatasi anemia, bila Hb < 5 g/dl dapat dikoreksi dengan


transfusi darah.
b. Terapi Spesifik
1. Antihistamin untuk mengurangi keluhan gatal-gatal
2. Obat-obat cacing :
Pirantel pamoat dosis 10 mg/kg BB sebagai dosis
tunggal
Mebendazol dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2
minggu
Albendazol dosis tunggal 400 mg diulang setelah 2
minggu
Piperazin sitrat dosis 2 x 1 gr selama 7 hari berturutturut, dapat diulang interval 7 hari
Heksiresorsinol 0,2 % 500 ml dalam bentuk enema
dalam waktu 1 jam
PROGNOSIS
Dalam pengobatan yang adekuat, prognosis baik.
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS
Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik
Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi Alergi-Imunologi
RS non pendidikan : -

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 121

TETANUS
Kode : ICD.A.35
PENGERTIAN
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh
tetanospasmin, suatu eksotoksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani.

DIAGNOSIS

Anamnesis : kejang setelah mengalami luka atau trauma yang


terkontaminasi dengan tanah, kotoran binatang atau logam
berkarat. Kaku kuduk, nyeri tenggorok, dan kesulitan membuka
mulut sering merupakan gejala awal tetanus

Pemeriksaan Fisis : compos mentis, rigiditas, spasme otot dan


disfungsi otonomik, risus sardonicus
Klasifikasi beratnya tetanus :
Derajat I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas
generalisata, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme,
sedikit atau tanpa disfagia
Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang namapak
jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan
pernapasan sedang dengan frekuensi napas > 30 kali, disfagia
ringan.
Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata,
spasme refleks berkepanjangan, frekuensi napas > 40 kali,
serangan apnea, disfagia berat dan takikardi > 120
Derajat IV (sangat berat) : derajat 3 dengan gangguan otonomik
berat melibatkan sistem kardiovaskuler.

Laboratorium : leukosit mungkin meningkat, perubahan non


spesifik dapat dijumpai pada EKG, enzim otot meningkat.

DIAGNOSIS BANDING
Mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabkan trismus seperti abses
alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (fenotiazin dan
metoklopramid), meningitis/ensefalitis dan rabies.
TERAPI
1. Isolasi (terhindar dari rangsang cahaya dan suara)
2. menghilangkan infeksinya :
- antibiotik (penisilin prokain 2 x 1,5 jt unit)
- perawatan luka (wound toilet)
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 122

- hiperbarik oksigenasi (kuman anaerob)


3. Menetralisasi eksotoksin ATS
- dosis awal ATS 20.000 IU IM, dan 20.000 IU IV
- selanjutnya 10.000 IU IM/hari, sampai gejala hilang
4. mengatasi kejang dapat diberikan diazepam 2 amp dalam 500 cc
D5 % 20 tetes/
hari, dosis diazepam dapat dinaikkan sampai 4 amp dalam 500
cc sesuai klinik
5. mencegah terjadinya efek samping, misalnya pada otot jantung
dan otot
pernapasan
Catatan :
1. Matinya penderita tetanus sering karena miocardiotoksis
2. Perawatan penderita dilakukan multidisiplin
3. Sebaiknya dirawat di ICU, untuk mengantisipasi bila terjadi gagal
jantung atau gagal napas.

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Bagian Neurologi, Bagian Bedah


RS non pendidikan : Bagian neurologi, Bagian Bedah

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 123

FILARIASIS
Kode : ICD.B74.9
PENGERTIAN
Suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing nematoda dari
superfamili Filarioidea, yang menyerang sistem getah bening dan
jaringan subkutan.
DIAGNOSIS

Anamnesis : demam, menggigil dan berkeringat, nyeri kepala,


mual, muntah, fotofobi, nyeri otot, dan pembengkakan tungkai.
Pemeriksaan fisik : fase akut radang saluran getah bening,
orchitis, limfadenitis, splenomegali, infiltrat paru-paru milier.
Laboratorium : eosinofilia dan ditemukannya mikrofilaria dalam
darah

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan sediaan tetes tebal darah dari cuping telinga yang


diambil pada malam hari (jam 21.00 02.00)
Pemeriksaan serologis kurang bermanfaat tetapi dapat
membantu diagnosis, misal : IHA, bentonite flocculation, tes IFA
FA
TERAPI

Dietilkarbamzin merupakan satu-satunya obat pilihan, dosis 2


mg/kgBB tiga kali sehari selama 3 4 minggu
Reaksi
alergi
terhadap
mikrofilaria
yang
mati
yang
mengakibatkan gejala demam tinggi dapat ditanggulangi
dengan aspirin, antihistamin atau kortikosteroid

PROGNOSIS
Prognosis elefantiasis tidak baik, karena tidak ada obatnya.
WEWENANG

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 124

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Bagian Bedah


RS non pendidikan : -

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 125

MIKOSIS
Kode : ICD. B48.8
PENGERTIAN
Infeksi yang disebabkan oleh jamur pada manusia, dibagi menjadi
infeksi jamur endemik (Histoplasmosis dan Koksidioidomikosis) dan
infeksi jamur oportunistik seperti Kandidiasis yang merupakan infeksi
jamur sistemik yang paling sering.
DIAGNOSIS

Anamnesis : panas, menggigil, kelelahan, batuk nonproduktif,


rasa tidak enak di dada depan, nyeri otot, dan kadang-kadang
reaksi hipersensitivitas, batuk kronis yang disertai sputum dan
darah. Pada kandidiasis kulit dan mukosa ditemukan sebagai
bercak berwarna putih yang konfluen dan melekat pada mukosa.
Pemeriksaan penunjang : pada foto toraks tampak gambaran
nodul lobar atau multilobar infiltrat, efusi pleura dan kavitas.
Dalam darah tepi didapatkan eosinofilia ringan. Gambaran
pseudohifa di sediaan apus pada kultur kerokan dapat
menegakkan diagnosis kandidiasis superfisial.

Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur, yaitu :


1. Pemeriksaan mikroskopik langsung : bahan dari sputum, biopsi
paru, kulit, kuku, dan feses
2. Biakan
3. DNA probe test
4. Pemeriksaan serologi

TERAPI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 126

Amfoterisin B iv untuk koksidioidomikosis dan kandidiasis


sistemik dengan dosis 0,5 0,7 mg/kgBB perhari selama 5 10
hari, bila perbaikan dilanjutkan itrakonazol 200 400 mg/hari.

Pada infeksi histoplasmosis : itrakonazol 200 mg/hari


selama 6 12 minggu

Terapi mutakhir anti jamur : golongan azole (katekonazol,


itrakonazol, flukonazol dan varigonazol)
WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : RS non pendidikan : -

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 127

LEPTOSPIROSIS
Kode : ICD.A27.9
PENGERTIAN
Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili
Leptospiraceae
DIAGNOSIS

Anamnesis : demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot,


mual, muntah, diare

Pemerikasaan Fisis : injeksi konjungtiva. Ikterik, fotofobia,


hepatomegali, splenomegali, penurunan kesadaran

Laboratorium : dapat ditemukan leukositosis, peningkatan


amilase, lipase, dan CK, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi
ginjal, Serologi leptospira positif (titer >1/100 atau terdapat
peningkatan >4 kali pada titer ulangan)
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis tifosa, ikterus obstriktif, malaria, kolangitis, hepatitis fulminan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amilase, lipase,
serologi leptospira MAT (mikoaglutinasi test)
TERAPI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 128

Nonfarmakologis
Tirah baring, makanan/cairan tergantung pada komplikasi organ yang
terlibat
Farmakologis

Simtomatis

Antimikroba pilihan adalah pilihan utama : Penisilin G 4 x 1,5


juta unit selama 5-7 hari. Alternatifnya tetrasiklin, eritromisin,
doksisiklin, sefalosporin generasi III, fluorokuinolon

KOMPLIKASI
Gagal ginjal, pankreatitis, miokarditis, perdarahan masif, meningitis
aseptik
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
RS non pendidikan : Dokte Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dlam Divisi Tropik


Infeksi

RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 129

INTOKSIKASI OPIAT
Kode : ICD.F11.9
PENGERTIAN
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat
golongan opiat yaitu morfin, petidin, heroin, opium, pentaxokain,
kodein, loperamid, dekstrometorfan

DIAGNOSIS
Anamnesis : informasi mengenai seluruh obat yang digunakan,
sisa obat yang ada
Pemeriksaan Fisis : pupil miosis-pin point pupil, depresi nafas,
penurunan kesadaran, nadi lemah, hipotensi, tanda edema paru,
needle track dign, sisanosis, spasme saluran cerna dan bilier,
kejang
Laboratorium : opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 130

DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi obat sedatif : barbiturat, benzodiazepin, etanol

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks

TERAPI
Penanganan kegawatan : resusitasi A-B-C (airway, breathing,
circulation) dengan memperhatikan prinsip kewaspadaan universal.
Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan
infus dan pemberian cairan sesuai kebutuhan.
Pemberian antidot nalokson
1.
2.
3.

4.

5.
6.

7.

tanpa hipoventilasi : dosis awal diberikan 0,4 mg


intravena pelan-pelan atau diencerkan
dengan hipoventilasi : dosis awal diberikan 1-2
mg intravena pelan-pelan atau dicernakan
bila tidak ada respom, diberikan nalokson 1-2
mh intravena tiap 5-10 menit hingga timbul respons (perbaikan
kesadaran, hilangnya depresi pernafasan, dilatasi pupil) atau telah
mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon,
diagnosis intoksikasi dalam 20-40 menit dikaji ulang,
efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan
pasien dapat jatuh ke dalam keadaan overdosis kembali, sehingga
perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran dan perubahan pupil
selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat dibreikan drip nalokson
satu ampul dalam 500 ml D5% atay NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6
jam
simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat
urin dan lakukan foto toraks
pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal
bila : pernafasan tak adekuat setelah pemberian nalokson yang
optimal, oksidenasi kurang meski ventilasi cukup, atau hipoventilasi
menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal
pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari
aspirasi akibat spasme pilorik,bila diperlukan dapat dipasang NGT

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 131

untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada intoksikasi opiat


oral
8.
Activated charcoal dapat diberikan pada
intoksikasi per oral dengan memberikan 240 ml cairan dengan 30
mg charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
9.
bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam
intravena 5-10 mg dan dapat diulang bila perlu
pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.
KOMPLIKASI
Aspirasi, gagal nafas, endema paru akut

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan : Departemen IlmuPenyakit Dalam-Divisi Tropik
Infeksi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi dan


Departemen Psikiatri, Departemen Anestesi/ICU
RS non pendidikan : Bagian Psikiatri

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 132

CHIKUNGUNYA
Kode : ICD.A92.0
PENGERTIAN
Penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang disebarkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus
DIAGNOSIS

Anamnesis : demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual,


muntah, sakit perut, nyeri sendi dan otot terutama sandi lutut,

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 133

pergelangan kaki dan persendian tangan dan kaki, serta bintikbintik merah di kulit terutama badan dan lengan.
Pemeriksaan fisik : suhu tinggi, torniquet positif, petechiae,
hepatomegali, makulopapular rash, limadenopati.
Laboratorium : leukopenia, trombositopenia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis pasti bila terdapat salah satu dari :
1.
2.
3.
4.

pemeriksaan titer antibodi naik 4 kali lipat


deteksi Antibodi Ig M Chikungunya
isolasi virus dalam serum
deteksi virus dengan PCR

DIAGNOSIS BANDING
Demam dengue, demam berdarah dengue,
TERAPI

Tidak ada vaksin atau obat khusus


Istirahat untuk mengurangi keluhan akut dan minum banyak air
Pengobatan berupa simtomatik dan suportif
Non Steroid Inflamasi drug (NSAID) untuk atralgia, bila atralgia
menetap dapat diberikan Chloroquin fosfat 250 mg.

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Bagian Rehabilitasi Medik


RS non pendidikan : -

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 134

AVIAN INFLUENZA (FLU BURUNG)


Kode: ICD.J10.8
PENGERTIAN
Flu burung (Avian Influenza, AI) merupakan infeksi yang disebabkan
oleh
virus
influenza
A
subtipe
H5N1
(H=hemagglutinin;N=neuraminidase) yang pada umumnya menyerang
unggas (burung dan ayam). Virus avian influenza termasuk genom RNA
dari famili Orthomyxoviridae, ada 3 tipe virus avian influenza yaitu A,

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 135

B, dan C, hanya tipe A yang menyebabkan infeksi pada unggas


peliharaan yang juga potensial menyerang manusia. Potensi transmisi
dari burung ke burung dan dari burung/unggas ke manusia
dimungkinkan karena adanya kombinasi strain AI dengan tropisme
yang sama.
DIAGNOSIS
Anamnesis : riwayat demam yang tinggi dan timbul mendadak,
terdapat gejala Influenza Like Illness (ILI) seperti batuk, pilek, sakit
tenggorokan, sakit tenggorokan dan suara serak. Bila berat terdapat
tanda-tanda radang paru-paru (pneumonia).
Pemeriksaan Fisik :
-

suhu badan mencapai 38 o C


bila berat : terdapat tanda-tanda radang paru-paru yaitu ronki
basah sedang/kasar

Dalam mendiagnosis kasus flu burung ada 4 kriteria yang ditetapkan


yaitu :
Kasus dalam Investigasi
Kasus Suspek
Kasus Probabel
Kasus Konfirm
1. Kasus dalam investigasi
Seseorang yang telah diputuskan oleh dokter setempat untuk
diinvestigasi terkait kemungkinan infeksi H5N1. Kegiatan yang
dilakukan berupa surveilans semua kasus ILI dan Pneumonia di rumah
sakit serta mereka yang kontak dengan pasien flu burung di rumah
sakit.
2. Kasus Suspek H5N1
Seseorang yang menderita demam dengan suhu > 38o C disertai satu
atau lebih gejala di bawah ini :
o batuk
o sakit tenggorokan
o pilek
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 136

o sesak napas
3. Kasus Probabel H5N1
Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan di
bawah ini :
a. ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap H5, minimum 4 kali,
dengan pemeriksaan uji HI menggunakan eritrosit kuda atau uji
ELISA.
b. hasil laboratorium terbatas untuk Influenza H5 (terdeteksinya
antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal)
menggunakan uji netralisasi (dikirim ke Laboratorium Rujukan).
Atau Seseorang yang meninggal karena suatu penyakit saluran
napas akut yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya yang secara
epidemiologis berkaitan dengan aspek waktu, tempat dan
pajanan terhadap suatu kasus probabel atau suatu kasus H5N1
yang terkonfirmasi.
4. Kasus H5N1 terkonfirmasi
Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau probabel
Dan disertai :
Satu dari hasil positif berikut ini yang dilaksanakan dalam suatu
laboratorium influenza nasional, regional atau internasional yang hasil
pemeriksaan H5N1-nya diterima oleh WHO sebagai konfirmasi :
a. Isolasi virus H5N1
b. Hasil PCR H5N1 positif
c. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1
dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut
(diambil <7 hari setelah awitan gejala
b. penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula
>1/80.
d. Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen
serum yang diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset
penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI
sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5
positif.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 137

Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas


dianjurkan untuk sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel
darah untuk pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit, Trombosit, Hitung
Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi nasofaringeal, apus hidung
dan tenggorok untuk konfirmasi diagnostik.
Diagnosis flu burung dibuktikan dengan :
1. Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction)
untuk H5.
2. Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1.
3

Uji Serologi :
3.1.Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk
H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen
akut ( diambil <7 hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer
antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80.
3.2.Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen
serum yang diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset
penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI
sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5
positif.

b. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap
tersangka flu burung. Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa
kasus ini adalah pneumonia. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah
pemeriksaan CT Scan untuk kasus dengan gejala klinik flu burung
tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah diagnostik dini.
c. Pemeriksaan Post Mortem
Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung
tertegakkan, dianjurkan untuk mengambil sediaan postmortem dengan
jalan biopsi pada mayat (necropsi), spesimen dikirim untuk
pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.
DIAGNOSIS BANDING
Demam Dengue, Infeksi paru yang disebabkan oleh virus lain, bakteri
atau jamur,
Demam Typhoid, HIV dengan infeksi sekunder,
Tuberkulosis Paru.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 138

TERAPI
Antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama) :
Dewasa atau anak 13 tahun Oseltamivir 2x75 mg per hari selama
5 hari.
Anak > 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5
hari.
Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sbb :

40 kg : 75 mg 2x/hari
23 40 kg : 60 mg 2x/hari
15 23 kg : 45 mg 2x/hari
15 kg : 30 mg 2x/hari

Profilaksis
Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok risiko tinggi terpajan
sampai 7-10 hari dari pajanan terakhir. Penggunaan profilaksis jangka
panjang dapat diberikan maksimal hingga 6-8 minggu sesuai dengan
profilaksis pada influenza musiman
Pengobatan lain

Antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan


atipikal (lihat petunjuk penggunaan antibiotik).
Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV diberikan pada pneumonia
berat, ARDS atau pada syok sepsis yang tidak respons terhadap
obat-obat vasopresor.
Terapi lain seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan
bergizi.
Rawat di ICU sesuai indikasi.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 139

Panduan Pemberian Antibiotik untuk Pneumonia


Rawat Jalan

Tanpa faktor modifikasi


- Golongan laktam atau laktam + anti
laktamase
Dengan faktor modifikasi
- Golongan laktam + anti laktamase atau
fluorokuinolon respirasi (levofloksasin,
moksifloksasin, gatifloksasin
Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru
(roksitromisin,klaritromisin, azitromisin)

Rawat Inap

Tanpa faktor modifikasi :


- Golongan betalaktam + anti betalaktamase iv, atau
- Sefalosporin G2,G3 iv,atau
- Fluorokuinolon respirasi iv
Dengan faktor modifikasi :
- Sefalosporin G2,G3 iv atau
- Fluorokuinolon respirasi iv
Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik
ditambah
makrolid baru

Ruang Rawat

Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas :

Intensif

Sefalosporin G3 iv non pseudomonas ditambah


makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv
Ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
Sefalosporin antipseudomonas iv atau karbapenem

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 140

iv ditambah fluorokuinolon antipseudomonas


(siprofloksasin) iv atau aminoglikosida iv
Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik
sefalosporin antipseudomonas iv atau karbapenem iv
ditambah aminoglikosida iv, ditambah lagi makrolid
baru atau fluorokuinolon respirasi iv

PROGNOSIS
Flu burung ringan : bonam, flu burung dengan komplikasi berat : dubia
WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Divisi Pulmonologi


RS non pendidikan : -

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 141

INFEKSI NOSOKOMIAL
Kode : ICD
PENGERTIAN
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit, infeksi
yang timbul/terjadi sesudah 72 jam perawatan pada pasien rawat inap
dan infeksi yang terjadi pada pasien yang dirawat lebih lama dari masa
inkubasi suatu penyakit. Infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran napas,
infeksi kulit, infeksi luka operasi dan septikemia.
DIAGNOSIS
Infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi dari kateter urin,
infeksi jarum infus, infeksi saluran napas, infeksi kulit, infeksi luka
operasi dan septikemia.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Kultur darah, urin, pus, sputum, jaringan, tinja, rongga hidung


dan orofaring

TERAPI

Sementara menunggu hasil biakan kultur, diterapi sesuai


empiris
Antibiotik golongan beta laktam antara lain sefalosporin
Beta laktam yang masih sensitif terhadap pseudomonas adalah
seftazidim dan sefoperazon

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 142

Bila setelah 3 hari masih demam dan penyakit progresif


ditambahkan vankomisin
Antifungal bila diduga kandidiasis sistemik
Untuk pengobatan VAP (Ventilator Acquired Pneumonia)
kombinasi sefalosporin generasi ketiga dan aminoglikosid atau
aztreonam.

PROGNOSIS
Malam bila resisten terhadap antibiotik
WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Divisi Alergi-Imunologi, ICU/Medical High Care,


Mikrobiologi Klinik
RS non pendidikan : ICU

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 143

FEVER OF UNKNOWN ORIGIN


Kode : ICD.R50.9
PENGERTIAN

Fever of Unknown Origin (FUO) klasik adalah demam >38,3 oC


selama lebih dari 3 minggu, sudah dilakukan pemeriksaan intensif
selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali kunjungan
pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab
demam. Penyebab : infeksi, neoplasma, penyakit kalogen dan
vaskular
FUO pada pasien HIV adalah demam >38.3 oC selama 4 minggu
atau lebih pada pasien rawat jalan atau minimal 4 hari pada pasien
yang dirawat dengan hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif
dari dugaan fokus infeksi. Penyebab : infeksi, obat, sarkoma,
limfoma
FUO pada pasien netropenia (jumlah lekosit PMN,500/mm 3)
adalah demam >38,3oC, dalam 3 hari perawatan pertumbuhan
mikro organisme masih negatif dari dugaan fokus infeksi.
Penyebab : infeksi
FUO pada geriatri adalah demam >38,3oC, dalam 3 hari
perawatan atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan belum
dapat ditentukan penyebab dari demam. Penyebab : neoplasma,
penyakit kalogen, infeksi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 144

FUO pada pasien pediatri (usia <18 tahun) adlah demam >38,3
C selama lebih dari 8 hari, sudah dilakukan pemeriksaan intensif
selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali kunjungan
pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab
demam. Penyebab : infeksi, penyakit kalogen, neoplasma
FUO pada pasien nosokomial demam >38,3 oC timbul pada
pasien yang dirawat di RS dan pada saat mulai dirawat serta pada
masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi, penyebab
demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil
pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi.
Penyebab : infeksi
FUO iatrogenik adalah demam >38,3 oC akibat penggunaan obat
: penisilinm, sefalosforin, sulfonamida, atropin, fenitoin,
prokainamida, amfoterisin, interferon, interleukin, rifampisin, INH,
makrolida, klindamisin, vankomisin, aminoglikosida, allopurinol
o

DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis :

Riwayat penyakit secara terperinci : pola demam ,ada


tidaknya infeksi saluran nafas atas, infeksi saluran nafas
bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit pinggang,
diare, abses atau radang tonsil dab otot, nyeri dan
pembengkakan sendi, atau tanpa kelainan spesifik
Riwayat pekerjaan, perjalanan kontak dengan orang sakit
atau hewan,trauma fisik atau bedah, obat-obatan (termasuk
rokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit pasien, kelenjar getah
bening, lubang orifices pasien
Laboratorium : sesuai mikroorganisme dan organ terkait

DIAGNOASIS BANDING
Infeksi, penyakit kalogen, neoplasma, efek samping obat

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan hematologi, kimia darah, UL, mikrobiologi, imunologi,
EKG, biopsi jaringan tubuh, pencitraan, sudujan (scanning),
endoakopi/peritoneoskopi, angiografi, limfografi, tindakan bedah
(laparatomi percobaan), uji pengobatan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 145

TERAPI

Simtomatis
Uji terapeutik dengan antibiotika, kortikosteroid, atau obat
antiinflamasi non steroid tidak dianjurkan kecuali bila penyakit
progresif dan potensial fatal sehingga terapi empirik diperlukan

KOMPLIKASI
Sepsis, renjatan sepsis

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Tropik


Infeksi
RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi pulmonologi, hematologi-onkologi.
RS non pendidikan :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 146

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 147

5.6.
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK

LIMFOMA NON-HODGKIN
Kode : ICD.C82
PENGERTIAN
Limfoma non-hodgkin merupakan penyakit keganasan primer jaringan
limfoid padat
Faktor risiko terjadinya LNH:
1. Ada gangguan fungsi imun, al: HIV, supresi akibat obat, penyakit
otoimun,
difisiensi imun kongenital.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 148

2. Infeksi, al: gamma herves virus, Epstein Barr Virus, KSHV(The


Kaposis Sarcoma
associated Herves Virus), human retrovirus dan RNA virus.
3. Paparan lingkungan/kerja: Insektisida

DIAGNOSIS
-

Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/massa tumor di


tempat lain ( tulang, intra abdomen,hidung, lambung dsb)
Riwayat demam tanpa sebab yang jelas
Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan
Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai
Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai denagn limfoma nonHodgkin (LNH)

DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis,
tumor padat yang lain
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

Pemeriksaan sitologi kelenjar/massa tumor untuk mengetahui


LNH tersebut serta keterlibatan kelenjar lain yang membesar
Laboratorium: darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati, fungsi
ginjal
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
CT scan atau USG abdomen untuk mengetahui adanya
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) paraaorta abdominal
atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen
Foto thoraks untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum
Pemeriksaan telingan hidung tenggorok (THT) untuk melihat
keterlibatan cincin Waldeyer
Gastroskopi bila perlu untuk melihat keterlibatan lambung
Bone scan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat
keterlibatan tulang

TERAPI
Derajat keganasan rendah

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 149

- Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral


- Radioterapi paliatif
Derajat keganasan menengah
-

Stadium I s.d IIa: radioterapi atau kemoterapi parenteral


kombinasi
Stadium IIb s.d IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi
berperan untuk tujuan paliatif

Derajat keganasan tinggi


-

Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif)


Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif

Reevaluasi pengobatan:
-

Setelah siklus kemoterapi kedua, keempat


Setelah selesai pengobatan lengkap

KOMPLIKASI
Akibat langsung penyakitnya:
-

Penekana terhadap organ khususnya jalan napas, usus dan saraf


Mudah terjadi infeksi, bisa fatal

Akibat efek samping pengobatan:


-

Aplasia sumsum tulang


Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
Neuritis oleh obat vinkristin

PROGNOSIS
Bergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky mass,
keadaan umum pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang
mempengaruhi pengobatan.
-

Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh namun dapat


hidup lama
Derajat keganasan menengah: sebagian dapat disembuhkan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 150

Derajat keganasan tinggi: dapat disembuhkan, cepat meninggal


apabila tidak diobati

WEWENANG
-

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit


Hematologi Onkologi Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Dalam

Divisi

UNIT TERKAIT
-

RS
pendidikan:
Departemen
Radiologi/Radioterapi
RS
non
pendidikan:
Bagian
Radiologi/Radioterapi

THT,

Patologi

Anatomi,

THT,

Patologi

Anatomi,

REFERENSI :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

ANEMIA HEMOLITIK
Kode : ICD.D59
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 151

BATASAN
Anemia akibat destruksi sel-sel darah merah yang berlebihan baik
intravaskular maupun ekstravaskular.
ETIOLOGI
Dapat akut /
ekstravaskuler

kronis,

herediter

akuisiter

akuisita,

intra

a. Herediter.

Kelainan membran eritrosit : hereditary spherocytosis,


elliptocytosis, dll.

Defisiensi Enzim G6PD, piruvat kinase.

Kelainan rantai globin : Talasemia, Hb SS, dll


b. Didapat (Acquired).
Kelainan imunitas
Mikroangiopati dan trauma : katup jantung buatan, DIC,
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) dan TTP (trombotik
trombositopeni purpura).
Infeksi : clostridium, mycoplasma, bartonella, mononucleosis,
malaria
Bahan fisik : radiasi, panas
Bahan kimia : bisa ular, bisa serangga.
PNH dan PCH
PATOFISIOLOGI
Tergantung jenis anemia hemolitik.
Gambaran Klinis :
Anemia : pucat, lemah, berdebar, takiakrdi, dll.
Hemolitik : ikterik, splenomegali, menggigil.
GAMBARAN LABORATORIUM
-

Retikulosit meningkat, bilirubin inderek meningkat.


Coomb test direk ( + ) dan atau indirek ( + ) : Anemia hemolitik
Autoimun.
Enzim G6PD menurun : Anemia Defisiensi G6PD.
Sumsum tulang : seri eritrosit hiperaktif
Hb Elektroforese : terdapat kelainan pada Talasemia.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 152

GAMBARAN RADIOLOGIK
Pada thalasemia mayor : Foto schedel : hair on end, mosaic patern
di tulang-tulang
PENGOBATAN
a.

Akut : awasi shock, sepsis dan akut tubular nekrosis, beri


kortikosteroid.
b.
Kronis : tergantung etiologi, kortikosteroid, imunoglobulin,
antibiotik, kadang-kadang diperlukan transfusi darah.

REFERENSI :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 153

ANEMIA DEFISIENSI BESI (Fe)


Kode : ICD.D50
BATASAN
Anemia karena kekurangan zat besi didalam serum dan atau sumsum
tulang.
Klasifikasi derajat defisiesi besi :
Kekurangan Besi (Iron depletion) : Cadangan besi menurun
tetapi penyediaan besi atau hematopoesis cukup
Defisiensi besi (Iron deficiency) : cadangan besi kosong,
eritropoesis tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
Anemia defisiensi besi (Iron deficiency anemia) : cadangan besi
kosong disertai dengan kelainan defisiensi besi.
ETIOLOGI
1.

Intake Fe kurang :
-

2.

Diet kurang
Absorpsi Fe kurang
gastrektomi, dll

malabsorbsi

zat

besi,

pasca

Kehilangan Fe meningkat.
Perdarahan GIT : hemoroid, ulkus, ankilostomiasis, dll
Menstruasi berlebihan
Donor darah
Hemoglobinuria
Kelainan hemostasis, dll

Kehamilan

Dalam masa pertumbuhan

3.

Penggunaan besi meningkat

GAMBARAN KLINIS
-

Pucat
Atrofi papil lidah.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 154

- Cheilosis angularis ( stomatitis angularis )


- Disfagia : karena rusaknya epitel hipofaring.
- Gastritis atrofi, sekresi asam menurun.
- Koilonikia ( kuku sendok )
- Pica
Gambaran laboratorium :
- Serum besi menurun, TIBC meningkat, saturasi transferin
menurun < 15 %
- Ferritin serum menurun
- Gambaran darah tepi : Anisositosis, mikrositer hipokrom.
- Sumsum tulang : hemosiderin rendah atau tidak ada pada
pengecatan dengan Prusian biru.
DIAGNOSA BANDING
a. Anemia hipokrom mikrositik e.c penyakit kronik
Fe normal, TIBC , Ferritin serum normal, Ferritin SST normal.
b. Talasemia
Fe normal, TIBC , Ferritin serum normal, Ferritin SST normal,
Elektrofese Hb terdapat kelainan
c. Anemia sideroblastik
Fe meningkat, TIBC normal, Ferritin serum normal, Ferritin SST
normal dan ditemukan cincin sideroblast.
PENGOBATAN
-

Terapi penyakit dasar.


Transfusi : bila secara klinis terdapat gangguan hemodinamik
Obat : Preparat besi 3 6 bulan.
Oral :
sulfas ferosus, glukonas, fumaras, dll
Efek samping : Iritasi lambung, diare, konstipasi
Parenteral : pada kasus malabsorpsi, dll
Efek samping :
-

Hipersensitif
Syok anafilaktik

Menghitung defisit besi :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 155

Delta Hb x BB x 2,2 + jumlah besi untuk menggantikan


cadangan besi.
(Wanita = 600 mg, laki-laki = 1000 mg ).

REFERENSI
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 156

ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIK


Kode : ICD.D63
BATASAN
Anemia yang umumnya terjadi pada penderita infeksi kronis, penyakit
inflamasi, trauma dan keganasan
ETIOLOGI
berhubungan dengan
a. Infeksi kronis
Paru : TBC
Subakut Bakterial Endokarditis
Osteomielitis
Infeksi di Pelvis, dll
b. Non Infeksi
Reumatoid Artritis
Reumatik Fever
SLE
Trauma
Akut Miokard Infark, dll.
c. Keganasan
Karsinoma
Linfoma
Leukemia, dll.
PATOFISIOLOGI
Yang pasti tidak diketahui.
Masa hidup sel darah merah memendek.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 157

Respons Eritropoisis umsum tulang menurun terhadap


kebutuhan tubuh
( untuk meningkatkan produksi sel
darah merah ).
Gangguan metabolisme besi.
Produksi eritropoetin menurun.
GAMBARAN KLINIK
Tergantung pada penyakit dasar dan beratnya anemia, biasanya
anemianya ringan dan tidak progresif.
Gambaran laboratorium
Biasanya anemianya normositer normokrom, sebagian dengan
hipokrom mikrositer (lebih kurang 30%).
Retikulosit rendah, Trombosit dan lekosit normal
Besi serum normal, kadang-kadang rendah, Saturasi Transferin
rendah, TIBC menurun, Ferritin serum normal atau meningkat.
Sumsum tulang : Normoseluler, Ferritin normal.
DIAGNOSA BANDING
1. Anemia Defisiensi Fe
2. Talasemia
PENGOBATAN

Obati penyakit dasarnya, anemianya akan membaik


dengan perbaikan dari penyakit yang mendasarinya.
Recombinant human EPO

REFERENSI :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 158

ANEMIA APLASTIK
Kode : ICD.D61

PENGERTIAN
Anemia aplastik adalah anemia akibat aplasia sumsum tulang dimana
jaringan hemopoiesis diganti oleh jaringan lemak, dibagi menjadi 2
yaitu:
1. Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang <25% dan terdapat 2 dari 3 gejala
berikut:
- granulosit < 500/ul
- trombosit < 20.000/ul
- retikulosit < 10
2. Anemia aplastik
-

Sumsum tulang hipoplastik

- Pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan darah seperti


pada anemia
aplastik berat
ETIOLOGI
-

Idiopatik
Sekunder: obat (kloramfenikol), kimia(benzen), infeksi (Epstein
Barr Virus, hepatitis), kehamilan, radiasi.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 159

Herediter: sindrom Fancony


Obat-obatan lain: NSAID, sulfonamid, antithyroid, furosemid,
kortikosteroid, penicillamine, allopurinol, senyawa Mas.

DIAGNOSIS
Anamnesis:
- Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja,
hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir (hepatitis,
parvovirus), pernah mendapat tranfusi darah
- Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak
napas/gagal jantung, berkunang-kunang
- Tanda-tanda infeksi; sering demam
- Akibat
trombositopenia;
perdarahan
(menstruasi
lama,
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan dibawah kulit,
hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah)
Pemeriksaan fisik: konjungtiva palpebra pucat, takikardi, tanda
perdarahan
Pemeriksaan penunjang: darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia,
serologi virus
( hepatitis, parvovirus)
Diagnosis pasti: sitologi dan histopatologi sumsum tulang
DIAGNOSIS BANDING
Mielofibrosis, anemia hemolitik, anemia defisiensi, anemia karena
penyakit kronik, anemia karena penyakit keganasan sumsum tulang,
hipersplenisme, leukemia akut

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
TERAPI
Terapi penunjang:
Tranfusi komponen darah (PRC dan/atau TC) sesuai indikasi (pada
topik tranfusi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 160

darah)
Menghindari dan mengetsi infeksi
Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/kgBB/hari
Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/hari, maksimal diberikan
selama 3 bulan
Splenektomi dilakukan bila tidak ada respon dengan steroid. Bila
pasien menolak
splenektomi dapat diberikan terapi imunosupresif:
-

Siklosporin 5 mg/kgBB/hari
ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/kgBB/hari intravena selama
5 hari
Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang cocok

Respon terapi:
Komplit: granulosit >1000/ul, trombosit >100.000/ul, Hb normal
Parsial: granulosit >500/ul, tidak membutuhkan tranfusi darah
merah dan trombosit
Minimal: granulosit >500/ul, membutuhkan tranfusi darah merah
dan trombosit
Tidak berespons: anemia aplastik berat menetap
KOMPLIKASI
Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat

PROGNOSIS
Dubia, tergantung tingkat hipoplasinya
Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi, perdarahan atau
komplikasi
tranfusi darah

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 161

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi
Onkologi
Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi
RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

LEUKEMIA AKUT
Kode : ICD. D95
PENGERTIAN
Leukemia akut merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat
cepat dan progresif sehingga susunan sumsum tulang
normal
digantikan oleh sel primitif dan sel induk darah (sel blas dan atau satu
tingkat diatasnya). Leukemia akut dibagi 2 yaitu: leukemia mieloblastik
akut, leukemia limfoblastik akut
DIAGNOSIS
Anamnesis:

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 162

Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak


napas/gagal jantung, berkunang-kunang
- Tanda-tanda infeksi: sering demam
- Akibat
trombositopenia:
perdarahan
(menstruasi
lama,
epistaksis, perdarahan gusi,perdarahan dibawah kulit hematuria,
buang air besar campur darah, muntah darah)
Pemeriksaan fisik: pucat, demam, pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) superfisial, organomegali, petekie / purpura / ekimosis
Pemeriksaan penunjang: aspirasi sumsum tulang: hitung jenis sel
blas dan / atau progranulosit > 30%
-

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom mielodisplasia (MDS), reaksi leukemoid, leukemia kronis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung
jenis), LDH, asam urat, fungsi ginjal, fungsi hari, serologi virus
(hepatitis, HSV, EBV, CMV)
Sitologi aspirasi sumsum tulang, sitogenetik
TERAPI
Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun:
Persiapan pengobatan sitoreduksi:
Akses vena sentral
Anti emetik
Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup >2000
ml/24 jam, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat oral 4x5001000 mg/hari (target pH urin >7)
Tunda haid (lynestrenol)
Antibiotika dekontaminasi parsial
Profilaksis streptokokus (benzylpenicilline 4x1 g)
Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg peroral
Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B12 1000 ug/minggu
Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit >100.000/ul
dikombinasi metilprednisolon 5 mg/kg/hari

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 163

Pemeriksaan rutin:

Turn over rate sel tumor (LDH, asam urat)


Alektrolit (Na, K, Ca)
Hemostasis lengkap
Fungsi ginjal ( ureum, kreatinin)
Keasaman urin
Fungsi hati (bilirubin direk/indirek, SGOT/SGPT, ALP)
Gula darah
Serologi virus
Surveillance lakteriologi
Foto dada
Pungsi lumbal diagnostik jangkitan otak

Kuratif:
Sitorediksi dengan sitostatikan mulai dari yang ringan hingga yang
agresif dengan membutuhkan rescue sel induk darah pasien dari
darah perifer untuk penyelamatan pada ablasi sumsum tulang
Transplantasi sel induk darah alogenik aatau autogenik dari darah
perifer, sumsum tulang atau tali pusar
Paliatif:
Respons terapi
Komplit:
Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit <5% pada sitologi
aspirat sumsum tulang
Pada darah tepi tidak ditemukan blas, leukosit >3000/ul, granulosit
>1500/ul dan trombosit >100.000/ul
Partial
Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit 5-10% pada sitologi
aspirat sumsum tulang
Pada darah tepi dapat ditemukan sel blas
Tidak respon

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 164

Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit >10% pada sitologi
aspirat sumsum tulang
KOMPLIKASI
Sindrom
lisis
tumor,
infeksi
neutropenia
trombopenia/koagulasi intravaskuler diseminata

dan

perdarahan

PROGNOSIS
Malam
WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi
Onkologi
Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi
RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 165

SINDROM LISIS TUMOR


Kode : ICD
PENGERTIAN
Sindrom lisis tumor adalah sindrom yang ditandai berbagai kombinasi
antara hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 166

dan hipokalsemia yang disebabkan oleh pengrusakan sejumlah besar


sel neoplasma yang sedang berproliferasi secara cepat

DIAGNOSIS
Anamnesis: riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir,
jenis tumor yang diderita (limfoima burkitt, leukemia limfoblastik
akut dan limfoma derjat tinggi lainnya)
Pemeriksaan fisik: tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi
(misalnya pernapasan kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria
bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada hiperkalemia
Laboratorium: peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah,
fosfat darah, penurunan kalsium darah, analisis gas darah (AGD)
menunjukkkan asidosis metabolik, urinalisa menunjukkan pH urin <
7 dan/terdapat kristal asam urat
DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laborotarium: DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam urat, AGD,
urinalisis

TERAPI

Mencegah dan mendeteksi faktor resiko lebih penting


Hidrasi adekuat 3000 ml/m2 perhari
Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat
Allopurinol 300 mg/m2 perhari
Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda
sebagai berikut (K>6 meq/l, asam urat >10 mg/dl, kreatinin > 10
mg/dl, F >10 mg/dl atau semakin meningkat, hopokalsemia
simptomatik) maka dilakukan hemodialis

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 167

KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi
Onkologi
Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 168

IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIA PURPURA


Kode : ICD.D69
DIAGNOSIS
Untuk menyingkirkan
purpura (ITP) sekunder

kemungkinan

idiophatic

trombocytopenia

Anamnesis:
- Riwayat
obat-obatan
(heparin,
alkohol,
sulfonamides,
kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan kimia
- Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan
- Gejala penyakit autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok
- Riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), resiko infeksi
HIV, status kehamilan, riwayat tranfusi, riwayat pada keluarga
(trombositopenia, gejala perdarahan dan kelainan autoimun)
- Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko perdarahan
(kelinan gastrointestinal, sistem syaraf pusat dan urologi)
- Kebiasaan / hobi: aktivitas traumatik
Pemeriksaan fisik
- Perdarahan (lokasi dan beratnya)
- Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice atau
stigmata penyakit kronik
- Tanda infeksi (bakteremia / infeksi HIV)
- Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)
Pemeriksaan penunjang
- Darah tepi: hitung trombosit < 150.000/uL dengan tidak
dijumpai sitopenia lainnya, pemeriksaan morfologi darah tepi
dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran lebih besar
- Laboratorium kimia rutin dan enzim hati
- Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella)
- Pemeriksaan ACA, Coombs test, C3, C4, ANA, anti dsDNA
- Pemeriksaan imunoelektroforesis protein
- Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada komplikasi,
kecuali masa perdarahan yang memanjang
- Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau
meningkat
- Pemeriksaan autoantibodi trombosit
DIAGNOSIS BANDING
Berkurangnya produksi trombosit/ aplasia megakariosit baik yang
kongenital atau didapat
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 169

Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme, hipotermia)


Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced,
kehamilan dll)
Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada spesimen
darah tepi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA,
Commbs test, C3, C4, ANA, anti dsDNA, serologi virus, anti HIV,
antibodi antitrombosit
Sitologi aspirasi sumsum tulang
TERAPI
ITP akut; (anak-anak, self limiting)
Trombosit > 30.000/ul, asimptomatik/ purpura minimal tidak
diterapi rutin
Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan bermakna atau <
10.000/ul dengan purpura minimal steroid (~ prednison 1-2
mg/kgBB/hari)
Perdarahan yang mengancam jiwa dirawat, steroid injeksi dosis
tinggi (metil prednisolon 30 mg/kg/hari) atau steroid oral dosis tinggi
(~ prednison 4-8 mg/kgBB/hari) dan tranfusi trombosit
ITP kronik (dewasa)
Terapi suportif

Membatasi aktivitas yang beresiko trauma


Menghindari obat-obat yang mengganggu fungsi trombosit
Tranfusi PRC sesuai kebutuhan
Tranfusi trombosit bila:
- Perdarahan masif
-

Adanya ancaman perdarahan otak / SSP

Persiapan untuk operasi besar

Perawatan RS untuk pasien dengan:


Perdarahan berat yang mengancam jiwa
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 170

Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna


Trombosit > 50.000/ul asimptomatik / dengan purpura minimal
tidak diterapi
Trombosit < 30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000 50.000/ul
dengan perdarahan bermakna, kadar trombosit berapa saja dengan
perdarahan yang mengancam jiwa diterapi:
1. Steroid (prednison 1-2 mg/kgBB/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu
tapp down, maksimal selama 6 bulan. Prednison tidak boleh
diberikan dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak
respon
2. IVIG (Intravenous immune globulin)
dosis 1 gr/kgbb/hari selama 2 hari, dapat ditambahkan bersamasama prednison jika perdarahan aktif/thrombositopenia berat(<
5000-10000/ l), selanjutnya pada kasus kronik IVIG jika diperlukan
dapat diberikan setiap 2-3 minggu.
3. Splenektomi
Indikasi:
Gagal remisi dengan terapi steroid dala 6 bulan observasi
Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi
Adanya kontra indikasi / intoleransi terhadap steroid
Pilihan terapi yang lain:

Obat-obat imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin, vinkristin)


Preparat androgen (danazol)
Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan sakit berat
Hormonal anovulatoir
Monoclonal anti B-cell antibody Rhytuximab(anti CD 20)

KOMPLIKASI
Infeksi, ITP berat, DM induced steroid, hipertensi, immunocompromised

PROGNOSIS
ITP akut : bonam
ITP kronik: budia ad malam
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 171

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi
Onkologi
Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 172

TROMBOSIS VENA DALAM


Kode : ICD
PENGERTIAN
Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah didalam pembuluh
darah vena terutama pada vena tungkai bawah
DIAGNOSIS
Gejala klinis bervariasi (90% tanpa gejala klinis)
Pasien dengan resiko tinggi yaitu apabila:

Riwayat trombosis, strok


Pasca tindakan bedah terutama bedah ortopedi
Imobilisasi lama terutama paska trauma/ penyakit berat
Luka bakar
Gagal jantung akut atau kronik
Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi
Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok
Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon estrogen
Kalinan darah bawah atau didapat yang menjadi predisposisi untuk
trombosis

ANAMNESIS
Nyeri lokal , bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada
anggota tubuh yang terkena
PEMERIKSAAN FISIK
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 173

Edem, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena,


pembuluh darah vena teraba, Homans sign
Berdasarkan data tersebut diatas sering ditemukan negatif palsu
Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N: 85-125%)
Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
Titer D-dimer meningkat

DIAGNOSIS BANDING
Sndrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks vena,
selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan dengan sumbatan
kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitis kontak, eritem nodosum,
kahamilan, flebitis superfisial, paralisis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi: venografi/ flebografi, USG vena-B mode atau colour
doppler
Laboratorium: kadar AT III, protein C, protein S, antibodi
antikardiolipin, profil lipid, agregasi trombosit

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 174

TERAPI
Non farmakologis:
Tinggikan posisi ektremitas yang terkena untuk melancarkan
darah vena
Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti garakan
ekstensi, menggenggam dll, tindakan ini akan meningkatkan
darah di vena-vena yang masih terbuka (patent)
Pemakaian kaus kaki elastik (elastic stocking), alat ini akan
meningkatkan aliran darah vena

aliran

fleksialiran
dapat

FARMAKOLOGIS:
1. Antikoagulan
Heparin (unfractionated)
Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000 IU/jam
Target aPTT 1,5-2,5 x kontrol, bila
- aPTT <1,5 x kontrol, dosis 100-200 IU/jam
- aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis tetap
- aPTT > 2,5 x kontrol, dosis 100-200 IU/jam
Hari I : aPTT diperiksa tiap 6 jam
Hari II : aPTT diperiksa tiap 12 jam
Hari III : aPTT diperiksa tiap 24 jam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 175

LMWH (low molecular weight heparin)


Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam
Enoksaparin 1 mg/kg/12 jam
Tidak perlu pemantauan
Warfarin
Warfarin dapat dimulai segera sesudah pemberian heparin
dengan dosis harian 16-10 mg malam hari, hari II diturunkan
INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan terget 2-3
Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam
berikutnya
Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor resiko
- Bila tidak ada faktor resiko, dapat distop dalam 3-6 bulan
- Bila ada faktor resiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan
seumur hidup
Cara penyesuaian dosis INR
- INR 1,1-1,4
Hari I naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Mingguan naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Kembali 1 minggu
-

INR 1,5-1,9
Hari I naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan naikkan 5-10% dari total dosis minguuan
Kembali 2 minggu

INR 2,0-3,0
Tidak ada perubahan
Kembali 1 minggu

INR 3,1-3,9
Hari I kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Mingguan kurangi 5-15% dari dosis total mingguan
Kembali 2 minggu

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 176

INR 4,0-5,0
Hari I tidak dapat obat
Mingguan kurangi 10-20% dari dosis total mingguan
Kembali 1 minggu

INR >5,0
Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0
Mulai dengan dosis kurang 20-50%
Kembali tiap hari

2. Trombolisis (streptokinase, tPA)

Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu setelah


pembentukan thrombus (trombosis vena iliaka atau vena
femoralis akut atau subakut)
Tidak dianjurkan pada thrombus yang beruasia lebih dari 4
minggu
3. antigregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
Bukan merupakan terapi utama
Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi
standar heparin atau warfarin
KOMPLIKASI
Perdarahan
akibat
obat
antikoagulan/antiagregasi
trombosit,
trombositopenia akibat heparin, osteoporosis pada pasien yang
mendapat heparin > 6 bulan dengan dosis 10.000 U/hari

PROGNOSIS
Tergantung pada penyebab, [ada yang tidak disertai komplikasi baik

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 177

RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam


UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi
Onkologi
Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS pendidikan: Departemen radiologi, Bedah / Vaskular
RS non pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah
Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA


Kode : ICD.D65
PENGERTIAN
Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi sistem koagulasi
dan fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi pada waktu yang
bersamaan

PATOFISIOLOGI:
-

Terjadi ketidak seimbangan antara mekanisme pembentukan


dan penghancuran bekuan darah
Biasanya dicetuskan oleh lepasnya Tissue Factor secara
berlebihan akibat kerusakan sel, vasculer, hipoksemia atau oleh
adanya molekul endogen (protein yang dihasilkan sel

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 178

neoplasma) dan atau eksogen (bakteri, bisa ular) yang bersifat


koagualan.
DIAGNOSIS
Klinis:
Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia,
proteinuria
Tanda-tanda perdarahan (petekie, purpura, ekimosis, hematoma,
hematemesis-melena, hematuria, epistaksis)
Manifestasi trombosis gagal organ (paru, ginjal, hati)
KID merupakan akibat dari kausa primer yang lain:
Bidang obstetri (emboli cairan amnion, kematian janin intrauterin, abortus
septik)
-

Bidang hematologi ( reaksi tranfusi, hemolisis berat, leukemia)

- Infeksi (septikemia, gram negatif , gram positif, virus HIV,


hepatitis, dengue, parasit malaria)
-

Trauma, penyakit hati akut, luka bakar

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaa
n

Kompensa
si

Hiperkompensa
si

Trombosit

PTT

N/

PT

N/

Fibrinogen

N/

D-dimer

+/

+/

Dekompens
asi

++/

Darah tepi: trombositopenia atau normal, burr ecell (+)


Pemeriksaan hemostasis pada KID
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 179

DIAGNOSI BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: DPL, hemostasis lengkap (PT, aPTT, fibrinogen, d-Dimer)

TERAPI
Suportif
- memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik
- memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah
- membebaskan jalan napas
- memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa
- memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit
Mengobati penyakit primer
Menghambat proses patologis
- Komponen darah :
> Tidak berikan kecuali jika terjadi perdarahan cukup berat atau
risiko perdarahan tinggi.
> Trombosit jika terjadi perdarahan, target trombosit 20000-30000
atau > 50000 jika perdarahan berat/ intrakranial, atau > 80000 jika
penderita akan menjalani tindakan bedah mayor.
> Cryopresipitate jika kadar fibrinogen < 80-100 mg/dl
> FFP jika perdarahan cukup berat, PT/APTT memanjang
- Antikoagulan (Heparin), jika:
> Perdarahan menetap walaupun telah diberikan terapi adekuat
> Trombosit > 50000/l
> Tidak ada perdarahan SSP atau saluran makanan yang berat

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 180

Heparin intravena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi


aPTT dengan
target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan
keempat
Bila pada jam kedua:
- aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
- aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap
- aPTT > 2,5 x kontrol evaluasi aPTT pada jam keempat, bila:
- aPTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
- aPTT > 2,5 x kontrol, heparin dikurangi menjadi 2500 U
KOMPLIKASI
Gagal organ, syok/hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminan

PROGNOSIS
Malam

WEWENANG
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi
Onkologi
Medik
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 181

2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical


Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

TROMBOSITOSIS PRIMER/ESENSIAL
Kode : ICD.D68
PENGERTIAN
.

Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah


normal tertinggi (450.000/ul)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 182

Trombositosis primer adalah kelainan klonal dari stem sel


multipotensial hemopoiti

DIAGNOSIS
.

Anamnesis:
Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta
berdenyut, cenderung timbul kembali disebabkan panas,
pergerakan jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan
(eritromialgia).
- Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak spesifik
seperti sakit kepala, pusing, defisit neurologi fokal, serangan
iskemia sepintas, kejang atau oklusi arteri retina.
- Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang,
pertumbuhan fetus terhambat
Pemeriksaan fisik:
-

Splenomegali (40%), tanda-tanda perdarahan atau trombosis


sesuai lokasi yang terkena.
Pemeriksaan laboratorium
-

Jumlah trombosit seringkali > 1 juta/ml


Laju endap darah normal
Variasi bentuk trombosit abnormal (raksasa, hipogranuler),
fragmen trombosit
Masa perdarahan normal
Faktor VIII/ Von Willebrand normal

DIAGNOSIS BANDING
Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, morfologi trombosit,
laju endap darah, masa perdarahan, faktor VIII / Von Willebrand, tes
agregasi trombosit dengan epinefrin
TERAPI
Tujuan pengobatan untuk
menurunkan fungsi trombosit
.

menurunkan

jumlah

trombosit

dan

Untuk menurunkan trombosit:


1. Hydroxyuria (hydrea): 15 mg/kgBB/hari

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 183

2. Anagrelide (agrylin): 4 kali 1,5-2,5 mg sehari, dimulai dosis


rendah dan dinaikkan secara bertahap tiap minggu
3. Thromboreduction
4. Interferon alfa: 3 juta IU, tiga kali satu minggu
5. Fosforous-32
-

Untuk menurunkan fungsi trombosit:


1. Aspirin
2. Tiklopidin
3. Klopidogrel

KOMPLIKASI
.

Perdarahan (memar kebiruan, epistaksis, perdarahan saluran


cerna, perdarahan pasca operasi). Resiko terbesar bila trombosit
> satu juta /ml dan mendapat aspirin.

Trombosis (eritromialgia,
iskemi mesenteric, infark
terbesar bila sebelumnya
60 tahun dan sudah lama

Trombosis esensial dapat mengalami tranformasi menjadi


mielofibrosis (4%), polisitemia vera (2,7%), leukemia mielositik
akut (0,6%-5%).

iskemia ginjal, infark miokard, stroke,


plasenta, sindrom Budd Chiari). Resiko
ada riwayat trombosis, umur lebih dari
mengalami trombositosis.

PROGNOSIS
-

Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Ad sanasionam : malam

WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam
- RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
-

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi


Hematologi-Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 184

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

SINDROM VENA KAVA SUPERIOR


Kode : ICD.I87
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 185

PENGERTIAN
Sindrom vena kava superior adalah kumpulan gejala yang disebabkan
obstruksi vena kava superior oleh sebuah tumor mediastinum.
DIAGNOSIS

Anamnesis : keluhan sakit kepala, mual, muntah-muntah, gangguan


penglihatan, sinkop, suara serak, sesak napas, disfagia dan sakit
punggung.
Pemeriksaan fisik : distensi tubuh sebelah atas, edema muka, leher,
lengan dan dada atas, sianosis.
Pemeriksaan penunjang :
- Foto dada menunjukkan mssa paratrakeal atau di mediastinum
- CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya massa

DIAGNOSIS BANDING

Tumor mediastinum : tumor ganas, teratoma, limfoma malignum


Tumor paru

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi : foto toraks, CT scan toraks

TERAPI

Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan gejala pada


70% kasus, dosis harian dimulai dengan dosis tinggi (400 cGy)
untuk mendapatkan pengecilan massa tumor yang dibutuhkan
Pada limfoma malignum atau kanker paru jenis SCLC, kemoterapi
akan sama efektifnya dengan radioterapi.

KOMPLIKASI
Trombosis vena jugularis dan otak

PROGNOSIS

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 186

Ad vitam : dubia ad malam


Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit


Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/toraks


RS non pendidikan : Bagian radiologi, Bedah.

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 187

HIPERKALSEMIA
Kode : ICD
PENGERTIAN
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan onkologi yang sering ditemukan
sebagai akibat metabolik dari keganasan.
DIAGNOSIS

Anamnesis : anoreksia, mual, muntah-muntah, polyuria


Pemeriksaan fisik : penurunan kesadaran
Pemeriksaan penunjang : kadar kalsium serum meningkat

DIAGNOSIS BANDING
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kadar kalsium darah, fungsi ginjal
TERAPI
1. Diuresis paksa dengan larutan saline (200-250 ml/jam) dan
furosemide disertai monitor ketat balans cairan dan fungsi
kardiopulmoner
2. Mithramycin 25 Ug/kg intravena. Tidak boleh digunakan pada gagal
ginjal dan trombositopenia
3. Kortikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari pengobatan.
Berguna pada hiperkalsemia pada limfoma malignum, mieloma
multiple dan karsinoma payudara.
4. Bifosfonat (penghambat osteoklas) bila hiperkalsemia refrakter
terhadap cara-cara sebelumnya atau terdapat kontraindikasi
5. Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia adalah
kemoterapi yang efektif.
KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut
PROGNOSIS

Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia ad malam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 188

Ad sanasionam : malam

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi


Hematologi-Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik


RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 189

HIPERURISEMIA
Kode : ICD
PENGERTIAN
Hiperurisemia merupakan kelainan yang terjadi akibat pengobatan
pada leukemia, gangguan mieloproliferatif, limfoma atau mieloma
yaitu ketika sel-sel tumor mengalami penghancuran selama
kemoterapi di mana purin akan dilepaskan dalam jumlah banyak untuk
kemudian mengalami katabolisme menjadi asam urat

DIAGNOSIS

Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya batu ginjal


Kadar asam urat melebihi 10 mg/dl dan rata-rata 20 mg/dl. Oliguria
atau anuria dengan atau tanpa adanya kristal asam urat. Kadar
nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat.
Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung menurut
sampel acak, medukung diagnosis nefropati akibat hiperurisemia.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis

TERAPI
1. Allupurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada sindrom lisis
tumor
2. Hemodialisis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar asam urat
dan memperbaiki fungsi ginjal.
KOMPLIKASI

Batu Ginjal

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 190

Gagal ginjal

PROGNOSIS

Ad vitam : malam
Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi


Hematologi-Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
Unit hemodialisis, Departemen Patologi Klinik

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 191

TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER


Kode : ICD
PENGERTIAN
Terapi suportif pada pasien kanker merupakan hal yang amat penting,
sehingga
tidak
jarang
lebih
penting
daripada
pengobatan
pembedahan, radiasi maupun kemoterapi karena pengobatan suportif
ini justru sering berkaitan dengan usaha untuk mengatasi masalahmasalah yang dapat mengancam jiwa. Pengobatan suportif ini tidak
hanya diperlukan pada pasien kanker yang menjalani pengobatan
kuratif tetapi juga pada pengobatan paliatif.
Pengobatan suportif ini meliputi :
1. Masalah nutrisi dan gangguan saluran cerna
2. Penanganan nyeri
3. Penanganan infeksi
4.
Masalah efek samping sitostatika terutama efek mielosupresi
DIAGNOSIS
Masalah Nutrisi

Anamnesis : penurunan berat badan yang cepat


Antropometri : tebal lemak kulit (M.deltoideus lengan atas), indeks
massa tubuh ( dibawah 1,5 menunjukkan katabolisme berlebihan),
penilaian terhadap massa otot
Laboratorium:
Hitung limfosit (bila menurun berarti ada gangguan respons
imun)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 192

Kadar albumin dan prealbumin (albumin < 3 g/dl dan prealbumin


< 1,2 g/dl menunjukkan malnutrisi),
Kadar urea nitrogen urin (>24 g/ 24 jam menunjukkan
katabolisme protein berlebihan), kadar feritin darah.

PENANGANAN NYERI

Anamnesis : waktu timbul nyeri, lokasinya, intensitasnya dan faktor


yang menambah atau mengurangi nyeri.
Anamnesis yang teliti dapat diketahui jenis nyeri pada pasien,
apakah nyeri viseral, somatik atau neuropatik.
Dari anamnesis dapat juga diketahui tingkatan nyeri, menggunakan
alat bantu VAS (visual analog scale) yaitu skala dari nol sampai
sepuluh (nol menunjukkan tidak ada nyeri sama sekali, sepuluh
menunjukkan nyeri yang paling hebat).
Angka yang ditunjuk pasien kemudian dapat dibagi menjadi
kelompok :
- Angka 0 menyatakan tidak ada nyeri
- Angka 1-3 menyatakan nyeri ringan
- Angka 4-6 menyatakan nyeri sedang
- Angka 7-10 menyatakan nyeri berat
Hal yang paling menentukan untuk memulai pengobatan adalah
jenis tingkatan nyeri.

PENANGANAN INFEKSI
Masalah Efek Samping Sitostatika
1. Penekanan sumsum tulang (infeksi neutropenia, trombositopenia,
leukopenia, anemia)
2. Mual dan muntah
3. Toksisitas jantung (kardiomiopati, perimiokarditis)
4. Toksisitas ginjal (nekrosis tubuka ginjal)
5. Ekstravasasi
6. Sindrom lisis tumor
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Masalah nutrisi
- Antropometri : tebal lemak kulit, indeks massa tubuh dan
massa otot

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 193

Laboraorium : Hitung limfosit, albumin dan prealbumin darah,


urea nitrogen urin, feritin darah

Penanganan nyeri
- Pemeriksaan radiologi : foto, USG, bone scan, CT scan, MRI
untuk mengetahui jenis nyeri dan lokasinya

Penanganan infeksi
- Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung jenis,
kultur darah, kultur urin, kultur sputum, swab tenggorok
untuk mencari fokus infeksi, pemeriksaa terhadap koloni
jamur
- Foto toraks

Masalah efek samping sitostatika


- Pemeriksaan fisik : luas permukaan tubuh, tingkat
kemampuan berperan, mencari sumber infeksi
- Pemeriksaan laboratorium DPL dengan hitung jenis, fungsi
ginjal, urinalisis, asam urat rendah, fungsi hati, kultur pada
tempat-tempat tertentu secara berkala
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan ekokardiografi

TERAPI
Masalah nutrisi

Indikasi terapi :
1.
pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per hari
2.
bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB sebelum sakit
3.
kadar albumin serum < 3,5 gr/dl
4.
terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh
Perhitungan kebutuhan kalori
Rumus perhitungan kebutuhan kalori =
Kalori basal + aktivitas sehari-hari + keadaan hiperkatabolik
Kalori basal laki-laki : 27-30 kalori/kgBB ideal/hari
Kalori basal perempuan : 23-26 kalori/kgBB ideal/hari
Perhitungan kebutuhan protein :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 194

Protein yang dibutuhkan adalah 0,6-0,8 g/kgBB ideal/hari


Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan tambahan
0,5 g/kgBB ideal/hari

Cara pemberian
1. Enteral melalui saluran cerna peroral, lewat selang nasogastrik,
jejunostomi, gastrotomi
2. Parenteral diberikan bila melalui enteral tidak bisa atau pasien
tidak mau dilakukan gastrostomi/jejunostomi. Nutrisi sebaiknya
melalui vena sentral karena dapat diberikan cairan dengan
osmolalitas tinggi dan dalam waktu lama (6 bulan-1 tahun). Hatihati terhadap bahaya infeksi dan trombosis

Penanganan Nyeri
Pengobatan medikamentosa/ farmakologi

Pada nyeri ringan pengobatan dimulai dengan asetaminofen atau


OAINS, kemudian dievaluasi dalam 24-72 jam, bila masih nyeri
ditambahkan amitriptilin 3x25 mg atau opioid ringan kodein sampai
dengan 6x30 mg/hari
Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan opoid ringan
kemudian dievaluasi dalam 24 jam, bila ,asih nyeri obat diganti
dengan opioid kuat, biasanya dipakai morfin intravena dimulai
dengan, dosis dititrasi samapai pasien bebas nyeri.
Pada nyeri berat pengobatan morfin intravena sejak awal dan
dievaluasi sampai hitungan jam sampai nyeri terkendali baik.
Setelah didapat dosis optimal maka pemberian morfin intravena
diganti dengan morfin oral masa kerja pendek 4-6 jam dengan
perbandingan 1:3, artinya jika dosis injeksi 20 mg/24 jam maka
dosis oral sebanyak 3x20 mg/24 jam (60 mg), diberikan 6x10 mg
atau 4x15 mg/hari. Bila setelahnya dosis terkendali baik maka
diganti morfin oral kerja lama dengan dosis 2x30 mg/hari. Bila nyeri
belum terkendali, morfin dinaikkan dosisnya menjadi dua kali lipat
dan dievaluasi lebih lanjut serta berpedoman pada VAS.
Obat adjuvan diberikan sesuai pengkajian, bila penyebabnya
neuropatik maka selain obat-obat tersebut ditambahkan GABA
(gabapentin), bila nyeri somatik akibat metastasis tulang sedikit
dapat ditambahkan OAINS dan bisfosfonat, bila metastasis luas dan
multipel maka pilihan utamanya adalah radioterapi dan dapat
ditambahkan bifosfonat.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 195

Pengobatan Non Medikamentosa:


1.
Penanganan psikiatris
2. Operasi bedah saraf
3.
Blok anestesi
4.
Rehabilitasi medik
Penanganan Infeksi

Infeksi oleh bakteri gram negatif


- Kombinasi antibiotik beta laktam dengan aminoglikosida
- Monoterapi
dengan
seftazidim,
sefepim,
imipenem,
meropenem
Infeksi oleh bakteri gram positif. Staphylococcus
epidermidis sering resisten pada berbagai macam antibiotika,
diberikan vankomisin dan teikoplanin
Infeksi jamur. Pemberian amfoterisin B dianjurkan
pada pasien neutropenia dengan demam berkepanjangan setelah
pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari tanpa
adanya bakteriemia.
Infeksi virus dapat terjadi pada pasien neutropenia
tanpa imunosupresi, sehingga beberapa pusat menganjurkan
pemberian asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan akan
mengalami neutropenia berat untuk waktu yang lama.

Masalah Efek Samping Sitostatika


1.

Penekanan sumsum tulang dan negatif

Pemilihan
dan
penjadwalan
obat
sitostatika ysng tepat

Pencegahan
infeksi
pada
pasien
neutropenia berupa dekontsminasi saluran cerna,kulit dan
rambutbila akn mendapat kemoterapi agresif

Pengobatan infeksi, bila hasil kulllltur


belum ada, diberikan pengobatan empiris yang dapat
menjangkau Gram positif anti jamur, bila perlu anti virus

G-CSF saat ini dapat diberikan pada


keadaan granulositopenia, terutama ysng mendapat kemoterapi
agresif.
2.
Mual dan muntah
Meliputi fenotiazin, haloperidol, metoklopropamid, antagonis
serotonin (ondansetron, zepin, granisetron dan tropisetron),

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 196

kortikostroid, benzodiazepin, nabilon, antihistamin dan kombinasi


obat-obat antiemetik diatas. Dianjurkan kombinasi tersebut meliputi
deksametason diikuti antagonis serotonin atau difenhidramin dan
metoklopropamid.
3.

Toksisitas jantung
Pasien
dengan
risiko
tinggi
(EF<50%)
harus
menjalani
ekokardiografi setiap satu atau dua siklus pengobatan, sedangkan
pada yang tidak berisiko tinggi ekokardiografi diulang denan dosis
kumulatif 350-400 m/m2. Hal yang paling penting pada pemantauan
adalah dosis kumulatif (epirubisin 950 mg/m 2, daunorubisin 550
mg/m2)

4.

Toksisitas ginjal
Kerusakan injal dapat dicegah dengan hidrasi adekuat, alkalinisasi
urin dengan natrium bikarbonat dan diuretik

5.

Ekstravasasi obat-obat kemoterapi yang bersifat


vesikan dapat dicegah dengan mematikan jalan infus intravena
lancar dan setelah kemoterapi diberikan, cairan infus tetap
diberikan
6.
Sindrom lisis tumor
Untuk mencegah hal ini, mulai 48 jam sebelum kemoterapi sampai
dengan 3-5 hari setelahnua diberikan hidrasi intravena 3000 ml/m 2,
alopurinol 500 mg/m2 peroral, bila kadar asam urat > 7 mg/dl
diberikan alkalinisasi uri dengan natrium bikarbonat dengan
mempertahankan pH urin di atas 7
KOMPLIKASI
Hati-hati dengan efek samping urin
PROGNOSIS

Ad vitam : malam
Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 197

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi


Hematologi-Onkologi Medik
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

POLISITEMIA VERA
Kode : ICD.D45
PENGERTIAN

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 198

Polisitemia merupakan kelainan sistem hemopoesis yang dihubungkan


dengan peningkatan jumlah dan volume sel darah merah (eritrosit)
secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml di atas ambang batas nilai
normal dalam sirkulasi darah, tanpa memperdulikan jumlah leukosit
dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit
berasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal (tidak
membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya). Berbeda
dengan polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat secara
fisiologis sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat
atau eritropoetin meningkat secara nonfisiologis pada sindrom
paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang mensekresi
eritropoetin. Perjalanan klinis:
1. Fase eritrositik atau fase polisitemia
Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk
mengendalikan viskositas darah dalam batas normal.
2. Fase burn out atau spent out
Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi,
kadang timbul anemia.
3. Fase mielofibrotik
Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai
mielofibrosis dan metaplasia myeloid.
4. Fase terminal
ETIOLOGI
Proliferasi sel
(eritropoeyin)

erythroid

yang

indepen

faktor

pertumbuhan

DIAGNOSIS
International Polycythemia Study Group II
Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi criteria
a. A1+A2+A3 atau
b. A1+A2+2 kategori B
Kategori A
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom
radioaktif Cr-51. Pada pria 36 ml/kg dan pada wanita 32
ml/kg.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 199

2. Saturasi oksigen arterial 92% (pada polisitemia vera, saturasi


oksigen tidak menurun).
3. Splenomegali.
Kategori B
1. Trombositosis: trombosit 400.000/ml.
2. Leukositosis: leukosit 12.000/ml.
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada
panas/infeksi).
4. Kadar vitamin B12 > 900pg/ml dan atau UB12BC dalam serum
2200 pg/ml.
DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau
eritropoetin meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium: eritrosit, granulosit, trombosit, kadar B12 serum,


NAP, saturasi O2
Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan kelainan
mieloproliferatif yang lain.

TERAPI
Prinsip Pengobatan:
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal dan
mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia
yang belum terkendali.
3. Menghindari pengobatan berlebihan.
4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik, dan berefek
sterilisasi pada pasien usia muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu
atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila
didapatkan:
Trombositosis persisten di atas 800.000/ml terutama jika disertai
gejala trombosis.
Leukositosis progresif
Splenomegali
simtomatik
atau
menimbulkan
sitopenia
problematic.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 200

Gejala sistemik yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar


dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang
sulit diatasi.

A. Flebotomi
Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan
hematokrit 42% pada wanita dan 47% pada pria untuk mencegah
timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Indikasi
flebotomi terutama untuk semua pasien pada permulaan penyakit
dan yang masih dalam usia subur.
Indikasi:
1. Polisitemia vera fase polisitemia
2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55%
(target Ht 55%)
3. Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat
beratnya gejala yang ditimbulkan akibat hiperviskositas dan
penurunan shear rate
B. Kemoterapi sitostatika
Tujuannya adalah sitoreduksi
Indikasi:

Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)


Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan
Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
Splenomegali simtomatik/mengancam ruptur limpa

Cara pemberian:

Hidroksiurea 800-1200 mg/mm2 hari atau 10-15 mg/kg/kali


diberikan dua kali sehari.
Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten
untuk pemeliharaan.

Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/hari selama 3-6


minggu dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu.
Busulfan 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m2/hari. Bila tercapai
target, dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk
pemeliharaan.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 201

C. Fosfor radioaktif
P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3mCi/m2/hari intravena,
bila per oral dinaikkan 25%. Selanjutnya bila setelah 3-4 minggu
pemberian P32 pertama:

mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat


diulang jika diperlukan.
Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama,
diberikan setelah 10-12 minggu dosis pertama.
Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil.

D.
E.

Kemoterapi biologi (sitokin)


Pengobatan suportif
hiperurisemia : allopurinol 100-600 mg/hari.
Pruritus dengan urtikaria : antihistamin, PUVA
Gastritis/ulkus peptikum : antagonis reseptor H2
Antiagregasi trombosit anagrelid

KOMPLIKASI
Trombosis, perdarahan, mielofibrosis
PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam


Ad fungsionam : malam
Ad sensasionam : malam

WEWENANG

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS


Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

RS pendidikan : Departemen Penyakit DalamDivisi HematologiOnkologi


RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 202

Referensi :
1. Young NS, Gerson SL, High KA, Mosby, editors. Clinical
Hematology, 2006
2. Rodgers GP, Young NS, editors. Hand book of Clinical
Hematologi, Lippincott Williams and Willkins, 2006
3. Rani A, Soegondo S, Nasir AU, Wijaya IP,Nafrialdi Mansjoer A,
editors Panduan Pelayanan Medik PABDI : Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 2006

3.7.
ALERGI IMUNOLOGI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 203

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ( LES )


Kode : ICD. M32
DEFINISI
Penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat
adanya deposit kompleks imun di jaringan dan atau sirkulasi.
ETIOLOGI
kelainan autoimun dengan latar belakang kelainan genetik.
PATOGENESIS
Beberapa teori mengenai patofisiologi SLE antara lain :
a) Adanya hiperreaktifitas sel limfosit B yang memproduksi
berbagai autoantibodi.
b) Gangguan sel T berupa hiperrektifitas sel Th (CD4 +) yang
meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel B atau sel Tc (CD8
+) juga terjadi supresi sel Ts (CD 8 -) sehingga aktifasi sel B dan
sel T tampak berlebihan.
c) Penurunan fungsi sel monosit-fagosit dan sel NK.
d) Produksi sitokin dan respon sel B terhadap sitokin terganggu.
GEJALA KLINIS
(lihat kriteria ARA).
DIAGNOSIS
Ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria ARA.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 204

Kriteria ARA tersebut adalah sebagai berikut :


Kriteria

Definisi

1. Malar rash.

Fixed malar erythema, flat or raised.

2. Discoid rash

Erythematosus raised patches with keratotic scalling


and follicular plugging, atyphic scaring may accur in
older lesions.

3. Photosensitivity.

Skin rash as an unusual reaction to sunlight, by patient


history or physician observation.

4. Oral ulcers.

Oral or nasopharyngeal ulcers, usually painless,


observed by physician.

5. Arthritis.

Non-erossive arthritis involving two or more peripheral


joints, characteristic by tenderness, swelling or
effusion.

6. Serositis.

a. Pleuritis (convincing history of pleuritic pain or rub


heard by physician or evidence of pleural effusion).
b. Pericarditis ( documented by ECG, rub or evidence
of pericardial effusion).
a. Persistent proteinuria (>0,5 g/24 hours or +3)
b. Cellular cast of any type.
a. Seizures (in the absence of other causes).
b. Psychosis (in the absence of other causes).
a. Haemolytic anemia, or
b. Leukopenia (4000/mm3 on 2 or more occasions) or
c. Lymphopenia (1500/mm3, on 2 or more occasions)
or
d. Trombocytopenia (100.000/mm3, in the absence of
offending drugs).
a. Positive LE cell preparation. Or
b. Anti double stranded DNA. Or
c. Anti Sm. Or
d. BFP (false positive serologic test for syphilis
positive for at least 6 month with negative TPI or
FTA).

7. Renal disorder.
8. Neurologic disorder.
9. Hematologic
disorder.

10. Immunologic
disorder.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 205

11. Anti Nuclear


Antibody.

An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or


an aquivalent assay at any time and in the absence of
drugs known to be assiciated with drug induced lupus
syndrome.

Untuk penderita SLE di Indonesia, salah satu gambaran klinis


yang sering ditemukan adalah rambut rontok, ini dapat dimasukkan
sebagai kriteria tambahan (lihat tabel SLEDAI). Vaskulitis retina dapat
pula dimasukkan kelainan imunologi.(FK UNSRI )
Tabel SLEDAI (indikator aktivitas penyakit) : Bobot dalam kolom skor
SLEDAI jika gambaran didapatkan pada kunjungan saat ini atau 10 hari
yang lalu.
N0.

Skor

Gambaran

Batasan

Kejang

Psikosis

Sindrom obat
organik

Gangguan visual

Perubahan retina pada LES. Inklusi : Cytoid


bodies, perdarahan retina, perdarahan atau
eksudat serius pada koroid atau neuritis optik.
Ekslusi : sebab hipertensi, infeksi dan obat.

Gangguan syaraf

Kejang yang baru terjadi. Ekslusi : sebab


obat, infeksi, metabolik.
Gangguan
kemampuan
untuk
fungsi
aktifitas normal akibat gangguan hebat
pada
persepsi
realitas.
Termasuk
halusinasi,
inkoherensi,
asosiasi
melonggar, pikiran yang tak logis, bizarre,
disorganized, tingkah laku katatonik,
ekslusi : sebab obat, uremia.
Gangguan fungsi mental dengan gangguan
orientasi, memori atau fungsi intelektual
dengan gambaran klinis yang cepat terjadi
serta berfluktuasi.
Inklusi : kesadaran
berkabut dengan penurunan kapasitas untuk
memusatkan perhatian pada sekelilingnya,
ditambah setidaknya dua dari hal-hal berikut :
gangguan persepsi, ujar yang inkoheren,
insomnia atau mengantuk disiang hari atau
meningkat/menurunnya aktifitas psikomotor.
Ekslusi : sebab obat, infeksi dan metabolik.

Neuropati

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

syaraf

otak

motorik

Page 206

atau

otak
8

Lupus.

Headache

CVA
5

Vaskulitis

Artritis

Myositis

Urinary casts

Hematuria

Proteinuria

Piuria

New rash

Alopesia

Mucosal ulcer

Pleuritis

10

Perikarditis

11

Demam

12

Low complement

sensorik yang baru terjadi.


Sakit kepala berat, dapat berupa migren,
tidak responsif terhadap analgetik narkotik.
CVA yang baru terjadi.
Ekslusi :
arteriosklerosis.

Ulkus, gangren, nodul pada jari,vaskulitis


retina, infark periungual splinter hemorrhages
atau biopsi atau angiogram menunjukkan
vaskulitis.
Lebih dari 2 sendi disertai nyeri dan tandatanda
inflamasi
(nyeri
tekan,
pembengkakan, efusi)
Nyeri otot/kelemahan otot paroksismal
berkaitan dengan kenaikan CPK/aldolase
atau
perubahan
EMG
atau
biopsi
menunjukkan myositis.
Cetakan sel darah merah atau hemegranuler

> 5 eritrosit/LPB. Ekslusi : infeksi, batu,


atau sebab lain.
> 0,5 g/24 jam. Protein dalam urine yang
baru terjadi atau meningkat > 0,5 g/24
jam.
Leukosit > 5/LPB. Ekslusi : infeksi.
Rash tipe inflamasi yang baru terjadi atau
berulang.
Kehilangan rambut diffus, lokal yang baru
terjadi atau berulang.
Ulkus yang baru terjadi atau berulang pada
mulut atau rongga hidung.
Nyeri dada pleuritik dengan efusi/friction rub
atau penebalan pleura.
Nyeri perikardial, ditambah sekurangnya 1
dari hal berikut : friction rub, efusi atau
konfirmasi EKG atau ekokardiogram.
Lebih dari 38 oC. Eklusi : infeksi.

Penurunan CH 50, C3 atau C4 dibawah

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 207

Peningkatan DNA
binding

Trombositopeni

Lekopeni

batas
normal
rata-rata
untuk
tes
laboratorium.
Lebih dari 25% binding melalui uji farr atau
diatas rata-rata normal untuk pemeriksaan
laboratorium.
< 100.000platelets/mm3
< 3.000 WBC/mm33. Ekslusi : disebabkan
obat.

PENATALAKSANAAN
Pengobatatan pada penderita LES pada umumnya dibagi 2 :

A.

Pengobatan umum/konservatif
Pengobatan farmakologis

Pengobatan umum/konservatif.
1. Rehabilitasi dan latihan :
Penderita SLE dianjurkan tetap melakukan aktifitas jasmani dan
menghindari terlalu banyak istirahat ditempat tidur agar
kekuatan otot tetap terjaga dan juga menghindari terjadinya
kontraktur sendi, osteoforesis, atrofi otot.
2. Merokok :
Hindari merokok oleh karena asap rokok akan mengganggu
oksigenasi darah, meningkatkan
tekanan
darah
dan
memperberat fenomena Raynaud.
3. Makanan :
Dianjurkan untuk makan minyak ikan, karena minyak ikan
mengandung eicosapentanoic acid yang mampu menghambat
agregasi trombosit dan menghambat produksi leukotriene B4.
4. Sinar matahari :
Dianjurkan untuk memakai penahan sinar ultra violet (sun
screen). Tetapi pemakaian
sun screen dapat menghalangi
sintesa vitamin D pada kulit. Jadi pemberian vitamin D per
oral pada kasus demikian diperlukan. Kerugian lain dari
pemakaian sun screen adalah kemungkinan terjadinya reaksi
alergi.

B.
Pengobatan farmakologis.
1. Salisilat dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS).
2. Anti malaria.
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 208

Anti malaria ( Chloroquine, Hydroxychloroquine, Atabrine)


diberikan pada discoid
lupus.
Dosis
chloroquine:
250-500
mg/hari.Dosis Hyhdroxychloroquine:
200-400 mg/hari.
Atabrine diberikan apabila pemberian chloroquine atau
hydroxychloroquine tidak memberikan hasil yang memuaskan
atau timbul komplikasi pada retina. Dosis yang dianjurkan : 100
mg/hari, walaupun dengan dosis 25 mg kadang-kadang sudah
efektif.
Sesudah pengobatan dengan anti malaria selama 1-2
tahun, sebaiknya dilakukan tappering off. Setelah itu diberikan
dosis rumatan yaitu : 1-2 kali dalam seminggu @ 200 mg.

3. Kortikosteroid.
a. LES ringan (badan panas, artritis, perikarditis ringan, efusi
pleura/efusi perikardial ringan, lesi kulit, lelah dan sakit
kepala).
Pertama kali diberikan aspirin / OAINS, dimulai dengan
dosis rendah, dapat dinaikan secara bertahap. Bila tidak ada
respon perlu ditambahkan anti malaria, misalnya chloroquine
dosis : 2 x 250 mg/hari atau 1 x 500 mg/hari. Bila beberapa
bulan belum ada perubahan
ditambahkan atabrine 100
mg/hari.
Bila belum ada
juga respon diganti steroid
(prednison) dengan dosis kecil : 2,5 5 mg/hari. Dosis
prednison dapat ditambah 20% setiap 1-2 minggu tergantung
respon klinis.
b.

LES berat : gejala diatas ditambah efusi pleura/efusi


perikardial yang banyak, kelaianan ginjal yang jelas, anemia
hemolitik, trobositopenia purpura, lupus serebral, vaskulitis
akut, miokarditis, lupus pneumonitis dan perdarahan paru.
Pemakaian kortikosteroid pada kasus yang berat merupakan
pilihan utama, sedangkan anti malaria dan OAINS tidak
dipakai.
Prosedur dan dosis pemberian kortikosteroid :

Bila disertai badan panas, kortikosteroid diberikan tiap


hari dalam 2-3 kali pemberian.
Bila tanpa badan panas (febris) dan tanpa gejala-gejala
nyata yang berat, prednison dapat diberikan sebagai dosis
tunggal pada pagi hari.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 209

Apabila tidak ada keluhan sistemik, disertai dengan


nefritis aktif, steroid dapat diberikan selang sehari.
Bila disertai dengan gejala-gejala seperti tersebut
dibawah ini, perlu tindakan khusus.

b.1. Anemia hemolitik otoimun.


Dosis prednison : 60-80 mg/hari, bila dalam 1 minggu
tidak ada perubahan baik klinis maupun laboratoris,
dosis dapat dinaikkan : 100-120 mg/hari. Respon penuh
biasanya memerlukan waktu antara 8-12 minggu.
b.2. Trombositopeni otoimun.
Dosis prednison : 60-80 mg/hari. Kenaikan jumlah
trombosit belum tampak sampai minggu ke 4 pemberian
prednison
b.3. Vaskulitis sistemik akut.
Dosis prednison : 60-100 mg/hari. Respon klinik akan
tampak dalam beberapa hari, kecuali pada penderita
dengan gangren. Pada penderita yang sakit berat dapat
diberikan steroid intravena.

b.4. Lupus serebral.


Preparat yang dianjurkan adalah metil prednisolon
sodium suksinat (solu medrol), dosis : 40-80 mg/hari
intra vena tiap 6-12 jam. Preparat lain yang dapat
dipakai adalah hidrokortison sodium suksinat (solu
cortef) dengan dosis : 250-500 mg intra vena tiap 12
jam. Dosis dapat ditingkatkan setiap 24-48 jam sampai
mencapai 3000 mg/hari sampai efek terapi tampak.
b.5. Lupus nefritis akut.
Dosis prednison : 1 mg/kg BB/hari dalam waktu 6-12
minggu, kemudian
prednison diturunkan
secara
bertahap dan akhirnya selang sehari.
Bila pada
penderita ini hanya dijumpai gangguan ginjal primer
tanpa : badan panas dan tanpa keluhan nyata serta
organ lain tidak terkena, dapat diberikan prednison :
100-120 mg/hari (2 mg/kgBB/hari)
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 210

Pada keadaan tertentu dimana gejala sistemik dan


gangguan organ vital, gagal diatasi dengan kortikosteroid dosis
tinggi, dapat diberikan dosis sangat tinggi dalam waktu yang
singkat. Cara ini dikenal dengan Pulse Steroid Therapy (PST)
yaitu : pemberian infus larutan 1 g metil prednisolon intra vena,
diberikan 1 kali sehari selama -4 jam, selama 3 hari berturutturut, kemudian dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid
oral dosis tinggi. Bila steroid sudah diberikan, umumnya OAINS
tidak lagi diberikan.

4. Obat sitotoksik/imunosupresant.
Perlu diingat obat pilihan untuk terapi SLE berat adalah
kortikosteroid, bila respon kurang baik atau timbul efek
samping yang berat atau memerlukan dosis yang lebih besar,
maka perlu penambahan obat lain yaitu : sitostatika.
Diantara obat-obatan yang tergolong dalam kelompok ini
yang sering dipakai adalah : siklofosfamid, metotreksat,
siklosporin, chloroquin, mofetilmicofenolat.
a. Siklofosfamid
Pada pengobatan lupus nefritis, siklofosfamid diberikan
per oral dengan dosis : 1-3 mg/kg BB/hari bersama
kortikosteroid dosis tinggi. Dalam keadaan krisis yang
mengancam jiwa, pemberian siklofosfamid intra vena
dengan dosis : 500-1.000 mg/m2 luas permukaan badan
bersama PST sekali sebulan.

Efek samping Obat (ESO) dapat menyebabkan gangguan


ovulasi pada wanita usia muda atau wanita hamil.
Siklofosfamid di berikan
kemudian evaluasi klinis

tiap

bulan

selama

kali

b. Azatioprin (AZA).
AZA dapat digunakan untuk wanita hamil dengan SLE atas
indikasi yang kuat. Dosis initial harian : 1-3 mg/kg BB/hari
atau umumnya berkisar 100-200 mg/hari dan diberikan
bersama kortikosteroid oral dosis tinggi. Setelah ada
perbaikan klinis
dosis AZA dapat diturunkan secara
bertahap 25 mg sampai akhirnya dapat diberikan dosis
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 211

pemeliharaan
mg/hari.

antara

1-2

mg/kgBB/hari

atau

50-75

Efek samping obat (ESO) depresi sumsum tulang, hb


leukosit, evaluasi trombosit setiap bulan.
c. Methotrexate (MTX).
- Untuk SLE belum
digunakan.

ada

kesepakatan

dosis

yang

- Digunakan terutama pada SLE dengan manisfestasi


klinis menonjok artritis dosis 7,5 mg/ minnggu
d. Siklosporin A
Belum ada kesepakatan tentang dosis yang ideal dan
telah dicoba dengan dosis : 2-10 mg/kg BB/hari. Miescher
dkk (1988) dan Ennquez dkk (1991) mengusulkan dosis
kecil yaitu : 5 mg/kg BB/hari dan diberikan bersama
steroid dan imunosupresant lain. Siklosporin A dipilih
sebagai obat untuk SLE dengan kelainan ginjal. Hati-hati
pada kelainan hepar.
e. Mofetil mikofenolat :
merupakan pilihan baik untuk terapi induksi maupun
pemeliharaan lupus nefritis. Mofetil mikofenolat akan
diubah menjadi asam mikofenolik yang berfungsi
menekan proliferasi sel B dan T, pembentukan antibodi,
dan glikosilasi molekul adhesi dengan cara menghambat
sintesis purine dan guanosine nucleotide yang penting
pada pembentukan DNA sel limfosit. Mofetil mikofenolat
(MMF)
dipakai
sebagai
pilihan
alternatif
terapi
induksi pada pasien lupus nefritis yang menolak atau
tidak
toleran terhadap siklofosfamid.
Untuk terapi induksi MMF
digunakan
dengan dosis 1-3 g/hari dan terbukti mempunyai efek
yang sebanding dengan bolus siklofosfamid I V sebulan
sekali
selama 6 bulan. Studi lain pada
lupus nefritis proliferatif difus,
terbukti
bahwa MMF 2x1 g/hari kombinasi dengan prednisolon
memberikan remisi lebih baik dibanding kelompok yang
mendapat kombinasi siklofosfamid oral 2,5 mg/kgBB/hari
dan
prednisolon. Mofetil mikofenolat
dosis 1-2 g/ hari atau Azatioprin dosis 2 mg/kgBB/hari
merupakan alternatif pilihan terapi pemeliharaan setelah

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 212

remisi dengan bolus siklofosfamid I V dapat dicapai. Untuk


terapi pemeliharaan sedikitnya diperlukan waktu selama 1
tahun.
Pada penderita dengan lupus nefritis MMF selang 2
bulan(full dose) dosis dapat di tappering off tergantung
keadaan khusus.

ASMA BRONKIALE
Kode : ICD.J45

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 213

DEFINISI
Penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi menyebabkan saluran nafas cendrung untuk menyempit
yang dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan dan adanya
hiperreaktifitas bronkus terhadap berbagai rangsangan.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya penyempitan saluran nafas disebabkan hiperreaktifitas
bronkhus karena rangsangan berbagai faktor pencetus dan aggrevator.
Hiperreaktifitas bronkhus ini terjadi akibat peradangan saluran nafas
sehingga menebal, mukosa edema, lumennya terisi sel-sel inflamasi
yang lepas terutama mastosit dan eosinofil dan hipersekresi mukus
sehingga lumen saluran nafas menyempit kadang-kadang dapat
menyempit total yang berakhir dengan kematian.
ETIOLOGI
Etiologi asma adalah inflamasi saluran nafas akibat proses IgE
mediated/non IgE mediated menyebabkan bronkhus menjadi
hiperreaktif. Faktor : predisposisi genetik, pencetus dan aggrevator
menyebabkan terjadinya serangan asma bronkhial.
GEJALA KLINIS
Sesak nafas disertai nafas berbunyi secara akut maupun secara
berkala merupakan keluhan utama terjadinya serangan asma.
Serangan asma lebih sering terjadi malam hari. Faktor pencetus dan
aggrevator sangat berperan dalam terjadinya serangan asma. Faktor
pencetus seperti infeksi, allergen inhalasi/makanan, olahraga, polusi
udara, iritan seperti asap rokok, bau-bauan, obat-obatan dan emosi.
Faktor aggrevator seperti rhinitis, sinusitis dan refluks asam lambung.
Pemeriksaan fisik : nafas cepat dan dangkal, gelisah, fase ekspirasi
memanjang, bising mengi difus pada kedua lapangan paru.

LABORATORIUM
Rutin : berupa hitung jenis eosinofil meningkat.
Khusus
: tes kulit (Prick test), kadar IgE spesifik meningkat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji faal paru ditemukan obstruksi yang reversibel setelah pengobatan
menggunakan spirometri atau peak flow meter. Uji provokasi bronkhial
untuk mengukur hiperreaktifitas bronkhus dengan inhalasi methakolin
atau histamin dengan dosis yang makin tinggi, atau melalui latihan
jasmani.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 214

DIAGNOSIS
Gejala klinik yang khas dan perubahan uji faal paru setelah
pengobatan dengan bronkhodilator.
Diagnosis banding
:
- Sindroma Loeffler (periksa juga telor cacing dalam tinja)
o
Sindroma obstruktif pasca Tb paru
o
Asma kardiale
- Dengan bronkhodilator terjadi peningkatan FEVI >20 %
- Dengan uji provokasi bronkhial terjadi penurunan FEVI < 20%
KOMPLIKASI
Serangan asma berat dan menimbulkan kematian. Asma kronik
persisten dapat menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif kronik
(PPOK) dan penyakit jantung paru (Kor Pulmonale), bila tidak
dikelola secara dini dan adekuat.
PENATALAKSANAAN/TERAPI SERANGAN ASMA (AKUT)
a. Oksigen 4-5 liter/menit.
b. Berikan nebulizer beta 2 agonis seperti Salbutamol atau
Fenoterol 2,5 mg tiap 20 menit maksimal sebanyak 3 kali.
c. Steroid bila belum dapat diatasi. Hidrokortison 4 x 200 mg IV
atau Deksametasone 4 x 10 mg atau Prednisolon 40 mg/hari
dalam dosis terbagi.
d. Bila serangan akut dapat diatasi, ganti obat secara oral.
e. Suntikan Aminofilin (240 mg/10 ml).
Bila telah mendapat
Aminofilin dalam 12 jam sebelum serangan, berikan dosis awal
2-3 mg/kg BB IV perlahan-lahan, teruskan dengan dosis
pemeliharaan 0,5-1mg/kg BB/jam dalam cairan dektrose 5%.
Bila belum mendapat Aminofilin berikan dosis awal 5-6 mg/kg BB
(maksimal 240 mg) secara IV perlahan-lahan, teruskan dengan
dosis pemeliharaan 0,5-1 mg/kg BB/jam.
f. Perbaikan hidrasi melalui cairan fisiologis IV 2-3 liter/24 jam
g. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 215

Skema Penatalaksanaan serangan asma eksaserbasi (akut).


Penilaian awal :

Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu


pernafasan, frekuensi nafas, HR, APE atau FEV1, saturasi O2, analisis gas darah

Pengobatan awal :
Inhalasi 2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit
selama 1 jam.
Oksigen 4-6 l/ menit untuk mencapai saturasi O2 90% (95% untuk anak-anak).
Kortikosteroid sistemik jika tidak ada respon segera atau jika pasien sedang

Ulangi penilaian: tanda-tanda fisik, APE, saturasi O2,


pemeriksaan lain bila diperlukan
Episode serangan berat

Episode serangan sedang

APE 60-80% perkirakan atau


nilai terbaik.
Pemeriksaan
fisik:
asma
sedang,
otot
bantu
pernafasan
Inhalasi 2 agonis tiap 60
menit.
Pertimbangkan kortikosteroid

Respon baik:
- Respon
menit

APE < 60% perkiraan/ nilai terbaik


Pemeriksaan fisik: gejala berat saat
istirahat, retraksi dinding dada.
Riwayat: pasien risiko tinggi
Tak ada perbaikan setelah pengobatan
awal
Inhalasi 2 agonis tiap jam atau kontinu
dengan
atau
tanpa
inhalasi
antikolinergik.
Oksigen.

Respon tidak sempurna


dalam 1-2 jam:
menetap

60

setelah terapi terakhir.

- Riwayat: pasien risiko


tinggi.

- Pemeriksaan fisik normal.

- PF:
gejala
sedang.

- APE > 70%.

- APE > 50% tapi <70%.

- Tidak ada distress.

Saturasi
membaik

- Saturasi O2 > 90% (95%


pd

Dirawat di RS:

Membaik

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Respon buruk dalam 1 jam

- Riwayat pasien risiko


tinggi

ringan- PF: gejala berat,

O2

tidak

mengantuk
dan bingung.
- APE < 30%

Tidak

Page 216

Rawat di ICU:
Dipulangkan:
FOLLOW
UP
Selama
perlu diperhatikan
perbaikan
secara
klinik dan
uji waktu
Jika APEperawatan
> 70% & bertahan
dng
Jika tidak
ada perbaikan
dalam
faal
paru
dengan
spirometri
atau
peak
flow
meter.
Cari
faktor
pencetus
pengobatan peroral/ inhalasi selama
6-12 jam
terjadinya
akut asma. Setelah keluar rumah sakit perlu
minimal 60 serangan
menit
dihindari faktor pencetus dan obat pemeliharaan hanya diberikan pada
penderita dengan asma persisten.
INDIKASI RAWAT INAP
Bila penderita mengalami
asmatikus).

serangan

asma

akut

berat

(status

PENGOBATAN PEMELIHARAAN (DI POLIKLINIK/RAWAT JALAN).


Berdasarkan berat/ringannya derajat asma (sesuai dengan WHO/GINA
(Global Inisiative For Asma) 1998. Untuk di praktek pribadi atau klinik
yang tidak tersedia spirometri/Peak Flow Meter, dapat dipakai
quesioner
Asma Control Test
untuk monitor keberhasilan
penatalaksanaan.
Diutamakan steroid inhalasi untuk pencegahan jangka panjang
controller dan 2 agonis inhalasi sebagai penghilang sesak (reliever)
A. Klasifikasi derajat berat/ringan asma. (dipoliklinik atau diluar
serangan)

Klasifikasi
Derajat 1
Intermiten
Derajat 2
Persisten
ringan
Derajat 3
Persisten
sedang
Derajat 4

Gejala klinis

< 1 kali/minggu
Asimptomatik
APE
normal
diantara
serangan
1 kali/minggu tapi < 1
kali/hari

Gejala malam

APE

2
sebulan

kali

80% perkiraan
variabilitas
<
20%

>
2
sebulan

kali

80% perkiraan
variabilitas 20 30 %

> 1 kali/minggu
Setiap hari
Menggunakan 2 agonis
setiap hari
Serangan mempengaruhi
aktifitas
Sering
Terus menerus

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

>60%-<80%
perkiraan
Variabilitas
30%

>

60% perkiraan

Page 217

Persisten
berat

Aktivitas fisik terbatas

Variabilitas
30%

>

B. Pengobatan.
Klasifikasi
Derajat I
Intermiten

Derajat II
Persisten
Ringan

Pencegahan Jangka Panjang

Derajat III
Persisten
Sedang

Tidak dibutuhkan

Inhalasi kortikosteroid 200-500


mcg, kromoglikat, nedocromil atau
teofilin lepas lambat,
Jika
diperlukan,
dosis
kortikosteroid
inhalasi
dapat
ditingkatkan sampai 800 g, atau
digabungkan dengan bronkodilator
kerja lama, (khususnya untuk gejala
malam): baik inhalasi 2 agonis
kerja lama, teofilin lepas lambat,
atau 2 agonis kerja lama tablet atau
sirup.
Pemberian anti-leukotrin dapat
dipertimbangkan.
Inhalasi kortikosteroid 500 800 mcg,
Bronkodilator
kerja
lama,
khususnya untuk gejala malam:
inhalasi 2 agonis kerja lama, teofilin
lepas lambat, atau 2 agonis kerja
lama tablet atau sirup.
Dapat
ditambahkan
antileukotrin, khususnya asma yang
sensitiv terhadap aspirin dan sebagai

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Penghilang Serangan
Bronkodilator
kerja
singkat:
2
agonis
inhalasi sesuai dengan
kebutuhan
untuk
mengatasi gejala, tapi <
1 x/ minggu
Intensitas
pengobatan
tergantung
dari
beratnya serangan.
Inhalasi 2 agonis atau
kromoglikat
sebelum
olah raga atau terpapar
alergen.
Bronkodilator
kerja
singkat:
2
agonis
inhalasi sesuai dengan
kebutuhan
untuk
mengatasi gejala, tidak
melebihi 3-4 kali per
hari.

Bronkodilator
kerja
singkat:
2
agonis
inhalasi sesuai dengan
kebutuhan untuk mengatasi
gejala,
tidak
melebihi 3-4 kali per
hari.

Page 218

Derajat IV
Persisten
Berat

pencegahan
pada
asma
yang
dicetuskan oleh latihan.
Inhalasi kortikosteroid 800 2000 mcg,
Bronkodilator kerja lama: inhalasi
2 agonis kerja lama, teofilin lepas
lambat, dan atau 2 agonis kerja
lama tablet atau sirup,
Kortikosteroid kerja lama tablet
atau sirup.

Bronkodilator
kerja
singkat:
2
agonis
inhalasi sesuai dengan
kebutuhan
untuk
mengatasi gejala.

PENYAKIT IMUN DEFISIENSI / IMUNOKOMPROMAIS


Kode : ICD.D80-D84
DEFINISI
Adalah penyakit yang disebabkan fungsi imun yang menurun yang
sebelumnya berfungsi dengan baik.
ETIOLOGI

1
2

NO.

Etiologi
Infeksi
Tindakan pengobatan

3
4

Neoplasma
Penyakit hematologik

6
7

Penyakit
AIDS, Virus mononukleus, Rubella, Campak
Steroid,
Penyinaran,
Kemoterapi,
Imunosupresi, Serum anti limfosit.

Limfoma
maligna,
Leukemia,
Mieloma,
Neutropenia, Anemia aplastik, Anemia bulan
sabit.
Penyakit metabolik
Enteropati
dengan
kehilangan
protein,
Sindroma
nefrotik,
Diabetes
melitus,
Malnutrisi.
Trauma dan tindakan Luka bakar, Splenektomi, Anestesi
bedah
Lain-lain
SLE, Hepatitis kronis.
Pola infeksi pada pasien imunokompromis
NO.
Kondisi/infeksi
Defek
1
Multipel Myeloma
Humoral

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Infeksi spesifik
Peumonia, Bakteriemia,
Peritonitis, Herpes
Zoster.

Page 219

Hodgkin

Seluler

Neutropenia

Fagosit

Diabetes

Campuran

Uremia

Campuran

1.

Pneumonia, Tuberkulosa,
Herpes hepatitis.
Pneumonia, Bakteriemia,
Abses,
Ulcer
mulut,
Faring dan Anus.
Selulitis,
Pneumonia.
UTI, Pneumonia,
Septichemia.

Pencegahan terhadap infeksi :


a. Umum :
Usahakan hospitalisasi penderita sesingkat mungkin
Pemahaman dan pelaksanaan tindakan asepsis antisepsis
dari semua personil
b. Khusus :
Usahakan daya tahan tubuh penderita tetap baik, antara
lain :
- Temukan dan obati penderita kanker dalam stadium
dini
- Usahakan tindakan pembedahan dalam toleransi yang
optimal
- Bila perlu diberi transfusi granulosit atau parenteral
nutrisi.
Hindari tindakan yang merusak natural barrier yang tidak
perlu, perawatan yang baik terhadap setiap perlukaan,
misalnya pemasangan infus, luka biopsi, dll.
Hindari prosedur invasif yang berlebihan dan tidak perlu baik
untuk diagnostik maupun terapeutik, misalnya : pemakaian
kateter atau pemasangan infus, dll hanya jika mutlak
diperlukan.
Perkecil kemungkinan infeksi dari kuman eksogen dan cegah
kuman yang potensial patogen :
- Cuci tangan yang baik
- Makanan dan minuman dengan kontaminasi bakteri
serendah mungkin.
- Selalu memeriksa kuman pada air leding
- Pembersihan ruang rawat/kamar operasi sebersih
mungkin/steril mungkin.
- Hindari pengunjung yang berlebihan atau personil
kamar operasi yang berlebihan.
- Jika perlu ruang isolasi.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 220

UTI,

Hindari faktor predisposisi lain serendah mungkin, antara lain


: hati-hati dengan pemberian radioterapi, kemoterapi, dan
pemberian kortikosteroid.
Khusus untuk penderita yang dioperasi :
- Persiapan lapangan operasi sesteril mungkin.
- Lamanya operasi diusahakan sesingkat mungkin.
- Kamar operasi dan alat-alat memenuhi syarat asepsis.
- Untuk kasus-kasus operasi bersih tercemar (operasi
usus, traktus urinarius, rongga mulut, genitalia wanita,
dll) perlu pemberian antibiotika profilaksis.

2. Pengobatan :
Obat imunomodulator :
I.
Imunorestorasi :
a. Bayhep B
Komposisi : Human hepatitis B Ig.
Indikasi : Pencegahan setelah pemaparan hepatitis,
pemaparan darah yang mengandung HbsAg (+).
Dosis : pemaparan akut oleh darah yang mengandung HbsAg
: 0,06 ml/kgBB dalam 24 jam. Profilaksis untuk bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang HbsAg (+) dan HbeAg (+) : 0,5 ml.
Pemaparan seksual dengan orang HbsAg (+) : 0,06 ml/kgBB
selama 14 hari dari kontak seksual terakhir. Pemaparan oleh
orang yang tinggal dengan penderita infeksi akut hepatitis
B , bayi < 12 bulan : 0,5 ml.
b. Gamimune N (Immune Globuline Intravenous Human)
Komposisi : Ig (in 10% maltose) 5%, Indikasi : defisiensi imun,
ITP, Tranplantasi sum-sum tulang, pencegahan HIV pada
anak-anak, penyakit Kawasaki. Dosis : defisiensi imun 100200 mg/kgBB. ITP dan penyakit autoimun lain 400 mg/kgBB
selama 5 hari, dosis pemeliharaan setelah 3 minggu dengan
dosis yang sama. Hanya digunakan secara IV. Pada kasus
sindroma Guillain Barre terapi imunoglobulin intra vena
dilakukan bila tindakan pertama berupa plasmafaresis tidak
dapat dilakukan. Dosis menurut buku teks Imunologi Klinik
Rich adalah 2 g/kg BB/hari diberikan selama 5 hari berturutturut. Dosis sesuai protokol Bayer adalah 400 mg/kg BB/hari
selama 5 hari berturut-turut.
c. Gamma Venin P.
Komposisi : Human Ig
Indikasi : sepsis/komplikasi toksik, pencegahan terhadap
rubella
selama
kehamilan,
infeksi
pada
infant,

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 221

meningoencephalitis dan pneumonia yang disebabkan oleh


virus, infeksi akut pada penderita dengan sindroma defisiensi
antibodi atau defisiensi imun iatrogenik.
Dosis : Penyakit bakteri atau virus : 1-3 ml/kgBB IV. Bedah
abdomen untuk mencegah komplikasi 200 ml intraperitoneal.
Encephalitis, meningitis, meningoencephalitis untuk dewasa :
5-10 ml IV, anak-anak : 3 ml.
d. Bayrab (Rabies Imune Globuline Human)
Komposisi : anti rabies gamma globulin dari plasma donor.
Indikasi : imunisasi pasif pada individu yang terpapar rabies.
Dosis : 20 IU/kgBB.
e. Teta globuline
Komposisi : human tetanus Ig.
Indikasi : pencegahan tetanus.
Dosis : suntikan pertama : 250 IU/0,5 cc IM. Suntikan kedua
jika infeksi kulit atau trauma terjadi > 24 jam sebelumnya
atau orang dewasa dengan BB diatas rata-rata.
f. Integram.
Komposisi : Human normal imunoglobulin
Indikasi : pengobatan replacement IgG pada imonidefisiensi
primer, mieloma dan kronik lymfatik leukemia dengan
hipogamaglobulin sekunder dan infeksi berulang, AIDS
congenital dengan infeksi berulang. Sebagai imunomodulator
pada ITP, pada anak dan dewasa dengan resiko perdarahan,
pembedahan
untuk
memperbaiki
jumlah
platelet.
Tranplantasi sum-sum tulang allogenic. Penyakit kawasaki
Dosis : untuk imunodefisiensi primer : 200-670 mg/kgBB.
Untuk ITP : 2 g/kgBB.
II. Imunostimulasi.
a. MMR II.
Komposisi : vaksin campak, mumps dan rubella.
Indikasi : imunisasi terhadap campak, mumps, rubella pada
anak > 15 bulan, dewasa tidak hamil, post partum. Bila
digunakan pada anak < 12 tahun, harus mendapat vaksin
ulang setelah 15 bulan.
Dosis : 0,5 ml SC.
b. ACT-HIB.
Komposisi : Haemophiluss influensa tipe b polisakarida

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 222

Indikasi : pencegahan penyakit yang disebabkan oleh


Haemophiluss influensa tipe b pada bayi mulai umur 2 bulan.
Dosis : anak 1-5 tahun : single injeksi, 6-12 bulan : 2 kali
injeksi pada umur 1 bulan diikuti boster pada umur 18 bulan,
< 6 bulan : 3 kali injeksi pada umur 1 atau 2 bulan diikuti
boster umur 18 bulan
c. Hepavax Gene.
Komposisi : Hepatitis B surface Ag.
Indikasi : Imunisasi aktif untuk infeksi yang disebabkan
infeksi virus hepatitis B.
Dosis : dewasa dan anak > 10 tahun : 20 g IM pada 0, 1, 6
bulan. Dibawah umur 10 tahun : 10 g IM.
d. Hepacicine B.
Komposisi : in active HbsAg.
Indikasi : Pencegahan hepatitis B.
Dosis : Dewasa dan anak > 10 tahun : 3 x 1 cc interval tiap
bulan. < 10 tahun : 3 x cc interval tiap bulan. Hemodialise
dan imunokompromised : 3 x 2 cc interval tiap bulan pada
tempat yang berbeda. Boster dapat diberikan tiap 5 tahun.
e. Varilrix.
Komposisi : vaksin varicella.
Indikasi imunisasi aktif untuk melawan varicella pada bayi
dan anak-anak.
Dosis : anak sampai 12 tahun dan bayi > 12 bulan : single
injeksi SC. Dewasa 13-17 tahun : 2 x 0,5 ml SC interval 4-8
minggu.
f. Interferon Alternative.
Komposisi : purified natural human leukosit interferon alpha.
Indikasi : pengobatan penderita yang resisten terhadap
recombinan interferon alpha.
Dosis : individual.
g. Roferon A.
Komposisi : interferon 2a.
Indikasi : pengobatan hairy cell leukemia.
Dosis : hairy cell leukemia : 3 MIU SC untuk 16-24 minggu.
Maintenance : 3 MIU 3 x seminggu.
h. Stimuno.
Komposisi : Phyllanthus niruri L herbsextr.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 223

Indikasi : imunostimulator, sebagai adjuvan terapi untuk


infeksi virus dan bakteri seperti : mumps, varicella, herpes,
hepatitis B virus.
Dosis : 3 x sehari 1 kapsul
i.

Isoprinosin :
Komposisi : methisoprinol
Indikasi : imunomodulator untuk penyakit virus dan untuk
kondisi imunodefisiensi.
Dosis : dewasa dan anak-anak : 50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam
3-4 dosis. Pada infeksi yang berat : 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4-6 dosis. Lama pengobatan 7-10
hari. Pengobatan lanjutan minimal 2 hari setelah gejala
hilang.

j. BRM.
Komposisi : condonopus pilosula, salviae multiorrhizae,
lycium barbarum.
k. Hp Pro.
Komposisi : fraktus schisandrae.
Iindikasi : hepatitis kronik akatif, hepatitis kronik persisten,
cirrosis hepar, drug induced hepatitis dengan kadar SGPT
yang tinggi.
Dosis : 1 kapsul 3 kali sehari. Bila SGPT tidak turun setelah 12 bulan, dosis ditingkatkan 2 kapsul 3 kali sehari. Pengobatan
paling cepat 6 bulan dan paling baik 1 tahun.
Im Boost.
Komposisi : echinacea dry extract, zinc picolinate.
Indikasi : membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
Dosis : 1-3 kali satu tablet.
l. Im Reg.
Komposisi : ekstrak dari Fructus Lycii, Radix Gingseng,
Fructus Ligustri Lucidi, Radix Angelia.

SYOK ANAFILAKTIK
Kode : ICD.D89
DEFINISI
Reaksi
anafilaktik
adalah
reaksi
antara
antibody
dan
alergennya(imunologik) yang menimbulkan penyakit alergi atau
penyakit hipersensitivitas tipe I yang tidak disertai dengan syok.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi reaksi anafilaktik
yang berat degan tanda-tanda kolaps vaskular.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 224

Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang gejalanya sama dengan


anafilaktik tetapi tidak berdasarkan atasreaksi antara antibodi dan
antigen (non imunologik).
ETIOLOGI
Antigen lengkap seperti protein, polisakarida atau hapten yang harus
berikatan dulu dengan protein tubuh, contohnya penisillin.
Zat-zat yang dapat menimbulkan reaksi anafilaktik/anafilaktoid:
1. obat-obatan
2. makanan
3. bisa/cairan binatang
4. getah tumbuhan
5. bahan kosmetik/industri
6. faktor fisis
7. faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
8. idiopatik
Jenis-jenis obat yang paling sering menimbulkan reaksi anafilaktik yang
disertai dengan syok:
1.
antibiotik
(penisilin,streptomisin,sefalosporin,sulfonamida)
2.
salisilat dan derivatnya
3.
preparat besi
4.
vaksin
5.
anti bisa ular (ABU)
6.
zat kontras
7.
obat kemoterapi
8.
muscle relaxant, anti konvulsan
9.
OAT
10.
tiopental
11.
quinidin
12.
Hormon Insulin, ACTH.
13.
enzim (kemopapain, asparaginase)

PATOFISIOLOGI
Pajanan alergen pada tubuh yang sudah tersensitisasi mengakibatkan
pengikatan antigen oleh Ig E yang ada pada permukaan sel
basofil/mastosit. Ikatan IgE dan antigen ini akan menimbulkan
degranulasi dan penglepasan mediator utama (histamin) dan mediator
lain dari sel mast/basofil.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 225

Penglepasan histamin terjadi segera(dalam beberapa menit 30 enit)


setelah pajanan dengan alergen (fase akut/dini).Diikuti oleh aktifitas
enzim fosfolipase yang mengaktifkan fosfolipid untuk membentuk
tromboksan dan SRS-A (lekotrin) :fase lambat.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis reaksi anafilaktik sangan t bervariasi, dapat ringan,
tetapi juga berat sampai menyebabkan kematian. Gejala-gejala pada
umumnya dapat dibagi dalam gejala prodromal, kardiovaskular,
pulmonar, saluran cerna dan kulit.
1 gejala prodromal
rasa tidak enak, lemah, gatal di hidung dan palatum, bersin,
telinga berdenging,
dada rasa tertekan.
2 gejala kardiovaskular
takhikardia, palpitasi, hipotensi, ( dapat syok sampai meninggal)
3. gejala pulmonar
rinitis, bersin,gatal hidung dan palatum, gejala ini diikuti dengan
spasme
bronkhus yang berat dan sesak, anoksia,sampai apnea.
4. gejala gastrointestinal
nausea, muntah, sakit perut dan diare. Kadang kadang gejala
gastrointestinal
dan pulmonar timbul bersamaan sehingga secara serentak
penderita akan
mengeluh sesak, suara serak, disfagia,
nausea, dan rasa tercekik yang
menyebabkan penderita
bertambah panik.
5. gejala kulit
rasa gatal, urtikaria, angioedema. Bila terjadi spasme vaskular
dan perembesan. cairan keluar pembuluh darah, kulit akan
menjadi pucat.
DIAGNOSIS
Diagnosis reaksi anafilaksis mudah ditegakan bila jelas ada hubungan
antara masuknya alergen dan gejala. Bila hubungan tersebut tidak
jelas, diagnosis sulit ditegakan oleh karenanya anamnesis dan
gambaran klinis merupakan hal yang penting.
Protokol Penanganan Anafilaksis
1. Tetap tenang
2. Segera tentukan derajat berat reaksi dengan menilai napas,
kesulitan menelan,mengi dan gerak napas yang cepat.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 226

3. Untuk kemerahan kulit saja, berikan anti histamin degan kerja


cepat misalnya: difenhidramin 50 mg oral atau IM 5 mg/kg
diikuti dengan antihistamin kerja lama ( e,q. 50 mg hydroksizin
eliksir oral atau IM 0,15ml (anak) atau 0.30 ml (dewasa) 1:1.000
4. Untuk reaksi vagal, dudukkan atau rebahkan pasien, berikan
rangsang bau-bauan atau atropin, 0,30 mg (anak), 0,60 mg
( dewasa) IM/IV. Sementara siapkan pemberian cairan IV,
pantaulah tekanan darah dan denyut jantung sampai menjadi
normal.
5. Untuk reaksi sistemik dengan keterlibatan saluran napas atau
anafilaksis: dudukkan pasien, jangan baringkan pasien dengan
kesulitan bernapas. Pasang torniquet, diatas tempat suntikan.
Berikan epineprhine 1:1000 , 0,01 ml/kg sampai 0,30 ml ( anak)
IM, dosis di tempat pemberian dan dosis di atas torniquet
epinephrine dapat diulang setiap 3-5 menit .
6. Siapkan nebulizer baik untuk anak atau dewasa, albuterol 0,50
ml dalam 2,5 ml garam fisiologis atau dengan epinephrine
1:1000, 0,50 ml dengan atau tanpa atropin 1 ml (1 mg/ml) atau
ipatropium bromide 2,5 ml.
7. Medikasi lain ialah pemberian difenhidramin 50 mg oral /IM atau
5 mg/kg, H2 Blocker seperti ranitidine 75 mg oral/25 mg iv
(sampai usia 6 tahun)-150 mg oral/50 mg iv (usia > 6 tahun).
Prednison 0,5 1 mg/kg BB oral atau metil prednisolon 0,5-1
mg/kg BB iv.
8. siapkan pemberian cairan atau obat iv dan sediakan peralatan
resusitasi
PROGNOSIS
Umumnya semakin lama jarak antara masuknya antigen dengan
munculnya gejala semakin ringan gejalanya. Penyembuhan dapat
cepat dalam beberapa jam, tetapi kadang-kadang dapat
memerlukan waktu yang lebih lama. Biasanya sembuh sempurna
tetapi dapat pula menyebabkan infark miokard. Reaksi anafilaktik
dengan antigen yang sama yang terjadi kemudian akan lebih berat
dari pada yang sebelumnya. Bila terapi lebih cepat diberikan maka
prognisisnya lebih baik Prognosis dipengaruhi juga oleh cara
pemberian dan dosis antigen, semakin besart dosis maka reaksi
semakin berat.
PENCEGAHAN
1. Hindari dan kenali alergen penyebab.
2. Sediakan selalu kit anafilaktik yang terdiri dari alat suntik,
adrenalin, dan tablet anti histamin.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 227

3. Desensitisasi.

ALERGI MAKANAN
Kode : ICD.D89
Efek samping terhadap makanan terdiri dari reaksi toksik dan nontoksik. Alergi makanan adalah reaksi non-toksik melalui mekanisme
imun Imunoglobulin E dan non Imunoglobulin E . Intoleransi makanan
adalah reaksi non-toksik yang dapat diakibatkan pengaruh enzimatik,
farmakologik, atau zat yang tidak dapat ditentukan.
IMUNOPATOGENESIS
Fungsi pencernaan yang baik akan dapat menetralisir toksin atau
alergen dengan cara merusak aktivitas enzim tersebut, oleh sistem
enzim dan sel imun mukosa. Bila fungsi pencernaan kurang baik,
makanan dapat berupa antigen (alergen) dengan epitop-epitop yang
antigenik. Kegagalan fungsi pencernaan pasien, hipersensitif (alergi )
terhadap makanan, mengakibatkan antigen makanan beakumulasi
pada mukosa usus halus dan kolon.Keadaaan ini akan menimbulkan
terjadinya reaksi hipersensitifitas pada saluran cerna, menimbulkan
keadaan yang disebut food-sensitive enteropathies. Dapat melalui
reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, IV dari Gell dan Coombs.

MANIFESTASI KLINIS
Reaksi RMM (reaksi makanan yang merugikan) melibatkan beberapa
organ
target dan tergantung pada organ sasaran yang terlibat.
Intensitas manifestasi klinik tidak dapat diprediksi walau jumlah faktor
dan lamanya pajanan memegang peran, namun tidak ada korelasi
antara jumlah dan pajanan alergen dengan derajat manifestasi klinik.
Organ
sasaran
yang
sering
terlibat
adalah
:
sistem
kardiovaskular(sistemik), traktus gastrointestinal, kulit, saluran nafas
atas dan bawah, mata, neuromuskuler, SSP, sendi dan traktus
urogenitalis.
DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Tes kulit (skin prick test), dengan ekstrak alergen makanan.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 228

Pemeriksaan Ig E yang spesifik.


Bila pemeriksaan positif perlu dihindari secara ketat unsur makanan
terkait sebagai alergen selama sekurang-kurangnya 3 minggu.
Tidak ada tes laboratorium yang spesifik. Pemeriksaan kadar
triptase serum yang dikeluarkan oleh sel mast dengan kadar
puncak 40-60 menit setelah serangan dan masih tetap tinggi
setelah beberapa jam adalah tes yang sensitif. Pemeriksaan
histamin serum yang meningkat
walau sesaat dapat juga
dilakukan.

PENATALAKSANAAN
Prinsip dasar penatalaksanaan RMM adalah :
Hindari makanan penyebab/alergen.
Pengobatan simptomatik, seperti anti histamin, kortikosteroid,
oksatomid, ketotifen.
Terapi probiotik dengan pemberian basil Lactobacillus GG oral
pada pasien alergi dengan manifestasi klinik, eksema atopik
yang disebabkan oleh alergi susu sapi.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 229

ALERGI OBAT (SINDROMA STEVEN-JOHNSON)


Kode : ICD.L51

DEFINISI
Adalah suatu reaksi mukokutaneus akut yang ditandai makula
eritem yang cepat meluas. Biasanya berbentuk target lesion dan
kelainan pada lebih dari satu mukosa di orifisium ( mulut, anogenital )
dan konjungtiva mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat. Kelainan kulit yang lain dapat berupa vesikel/ bula, dapat
disertai purpura. Sering ditandai gejala konstitusional dan dapat
mengancam kehidupan.
SINONIM
ektodermosis erosive pluriorifisialis
sindrom mukokutanea-okular
eritema multiforme tipe Hebra
eritema bulosa maligna.
Meskipun demikian yang umum digunakan ialah sindrom StevensJohnson. (SSJ)
ETIOLOGI
Etiologi yang pasti belum diketahui, diduga penyebabnya ialah alergi
obat antara lain penisilin dan semi sintetiknya, streptomisin,
sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik/analgetik, klorpromazin (CPZ),
karbamazepin, kinin, tegretol, dan jamu.
Penyebab lain adalah keganasan, radiasi, infeksi (bakteri, virus, jamur,
parasit), dll. 25-50% kasus SSJ merupakan idiopatik
PATOFISIOLOGI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 230

Belum diketahui secara pasti, tetapi diduga merupakan reaksi alergi


tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks
antigen-antibodi yang membentuk mikro-presipitasi sehingga terjadi
aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan
pada organ sasaran ( target organ ). Reaksi tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
GEJALA KLINIS
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a) kelainan kulit : eritema, papel, vesikel, dan bula. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di
samping itu dapat juga terjadi purpura. Jika disertai purpura,
prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata.
b) kelainan selaput lendir/ mukosa di orifisium : yang tersering
ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian lubang alat genital
(50%), lubang hidung (8%) dan anus (4%). Kelainannya berupa
vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi ,
ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pseudomembran . Di bibir kelainan yang sering tampak ialah
krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat
juga terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esofagus sehingga menyebabkan penderita sukar atau tidak
dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
memberi keluhan sukar bernapas.
c) kelainan mata : yang tersering ialah konjungtivitis kataralis.
Kelainan mata yang lain dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada Sindroma Stevens-Johnson tidak
khas. Jika terdapat leukositosis menunjukkan penyebabnya
kemungkinan
karena
infeksi.
Kalau
terdapat
eosinofilia
kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena
infeksi dapat dilakukan kultur darah.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia. Komplikasi yang
lain ialah kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 231

elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena


gangguan lakrimasi.
PENATALAKSANAAN
Diperlukan kerja sama multidisiplin antara Bagian Penyakit Dalam,
Bagian Kulit-Kelamin, dan Bagian Mata.
Pada sindroma Stevens-Johnson, kita harus bertindak tepat dan
cepat.
- Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving.
Biasanya diberikan deksametason secara intravena dengan
dosis permulaan 4 - 6 x 5 mg ( 5 mg = 1 ampul ) sehari.
Biasanya setelah 2-3 hari masa krisis telah teratasi, keadaan
umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama
tampak mengalami involusi. Dosis deksametason di-tappering
off 5 mg setiap hari, setelah dosis deksametason mencapai 5
mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid (prednison
atau metil prednisolon), misalnya metil prednisolon yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 16 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 8 mg kemudian obat tersebut
dihentikan.
Pada penggunaan steroid dosis tinggi dan dalam waktu cukup
lama ( 10 hari)
dapat terjadi hipokalemia yang dapat
menimbulkan aritmia jantung risiko
sudden death. Sehingga
perlu pemeriksaan kadar kalium dalam serum dan
pemantauan
dengan EKG ( adanya gelombang U, inversi gelombang T, atau
gelombang T yang asimetris sebagai tanda hipokalemia). Bila
dijumpai hipokalemia maka perlu diberikan suplementasi kalium
misalnya dengan tablet
KSR. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid diberikan diet rendah
garam dan tinggi protein.
- Pemberian antibiotika pada penderita Sindroma Stevens-Johnson
masih kontroversial karena antibiotika dapat menambah
sensitisasi, dan bila terjadi infeksi sekunder maka antibiotika
yang dipilih adalah yang jarang menyebabkan alergi ,
berspektrum luas dan bakterisidal, biasanya diberikan
gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
- Mengatur keseimbangan cairan / elektrolit dan nutrisi karena
penderita sukar atau tidak dapat menelan dan kesadaran dapat
menurun. Untuk itu diberikan infus misalnya Dextrose 5% dan
RL, dan pemasangan NGT untuk diet cair sesuai kebutuhan.
- Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Untuk lesi di kulit
diberi kompres dengan NaCl 0,9%, lesi di mulut dapat diberikan
gentian violet atau kenalog in orabase, untuk lesi kulit pada
tempat yang erosif dapat diberikan sofratulle.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 232

Lesi di mata dapat diberikan lyters eye drop, eye ointment, dan
luksir palpebra untuk mencegah simblefaron .

ALERGI OBAT
Kode : ICD. Y40
DEFENISI
Bagian dari reaksi obat yang tidak diinginkan yang disebut reaksi
adversi. Reaksi ini tidak hanya menimbulkan persoalan baru di
samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat membawa
kematian. Contoh : reaksi adversi yang potensial sangat berbahaya
adalah hipekalemia, intoksikasi digitalis, karacunan amanofilin, dan
reaksi anafilaktik.
sedangkan gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk
antihistamin merupakan contoh reaksi adversi obat yang ringan.
INSIDENSI
Belum diketahuii dengan pasti. Penelitian di luar negeri
menunjukkan bahwa reaksi adversi obat pada pasien yang dirawat di
rumah sakit berkisar antara 6 - 15%. Angka insidensi di luar rumah

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 233

sakit biasanya kecil karena kasus-kasus tersebut bila ringan tidak


dilaporkan.
KLASIFIKASI
A. Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal :
1. Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung
berhubungan dengan pemberian dosis yang berlebihan.
Contoh : depresi pernapasan karena obat sedative.
2. Efek samping yaitu afek farmakologis suatu obat yang tidak
diinginkan tetapi juga tak dapat dihindarkan yang terjadi
pada dosis terapeutik. Contoh : efek mengantuk pada
pemakaian antihistamin.
3. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak
langsung berhubungan dengan efek farmakalogis primer
suatu obat. Contoh : penglepasan antigen atara endotoksin
sesudah pemberian antibiotik (reaksi Jarisch-f-Herxheimer)
4.

B.

Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi


respons satu atau lebih obat-obat lain misalnya induks,
enzim suatu obat yang mempengaruhi metabolisnie obat
lain.
Reaksi adversi yang terjadi pada orang-orang sensitif

1. Intoleransi, yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek


farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala tinnitus pada
pemakaian aspirin dosis kecil
2. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhupungan
dengan efek farmakologis dan juga tidak disebabkan reaksi
imunologis, misalnya : primakuin yang menyebabkan anemia
hemolitik
3.

4.

Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat terjadi pada pasien


tertentu. Gejala yang ditimbulkan adalah melalui mekanisme
imunologis. Jadi reaksi alergi obat merupakan sebagian dari
reaksi adversi.
Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu terjadinya keadaan
yang menyerupai reaksi tipe I tanpa melalui ikatan antigen
dengan IgE (IgE independent). Beberapa obat seperti opiat,
vankomisin, polimiksin B, D tubokurarin dan zat kontras
(pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 234

melepaskan mediator (seperti tire I). proses ini tanpa melalui


sensitisasi terlebih duhulu (non-imunologis).
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasdifi kasikan menurut
organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan
akibat reaksi imunologi Gell dan Coombs (Tipe I s/d IV).
- Tipe : I : (hipersensitivitas tipe cepat) : manifestasi klinis yang
terjadi merupakan efek mediator kimia yang menyababkan
kontraksi otat polos, meningkatnya permeabilitas kapiler,
serta hipersekresi kelenjar mucus.
Contoh : kejang bronkus, urtikaria, angioedema, pingsan dan
hipotansi.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam
waktu beberapa menit sampai 30 menit setelah pemberian
obat. Penyebab yang tersering adalah penisilin.
- Tipe II : manifestasi klinis umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan
granulositopenia, nefritis interstisial.
- Tipe III : manifestasi klinisnya dapat berupa :
1. Urtikaria,
angioedema,
eritema,
noakulopapula,
eritema multiforme. Gejala ini sering disertai pruritus.
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Lain-lain : Kejang perut, mual
Neuritis optik
Gfomerulonefritis
Lupus eritematosus sistemik
Gejala vaskulitis lain
Gejala timbul 5-20 hari setelah pemberian cbat, tetapi bila
sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul
dalam waktu 1 - 5 hari

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 235

Tipe IV : manifestasi klinisnya dapat berupa reaksi paru akut


seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi
pleura
Obat yang paling sering menyebabkan reaksi ini adalah
nitrofurantoin.
Nefritis interstitial, ensefalomielitis, hepatitis dapat juga
merupakan manifestasi reaksi alergi obat. Namun yang paling
sering adalah dermatitis kontak. Gejalanya baru timbul
bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian
obat topikal (sulfa, penisilin atau tantihistamin).
Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 - 24 jam
setelah obat dioleskan.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit merupakan cara yang
paling penting untuk diagnosis alergi obat.
Masalah yang timbul adalah
- apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi
alergi obat atau karena penyakit dasarnya.
- Bila pada saat yang sama pasien mendapat Iebih dari satu
macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi
obat adalah :
a) Catat semua obat yang tidak dipakai pasien, termasuk
vitamin, tonikum, dan obat yang sebelumnya tidak
menimbulkan gejala alergi obat.
b) Lima waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat.
sampai timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala
timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat
baru timbul 7 sampai 10 hari setelah pemakaian pertama.
c) Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat
sebelumnya. Alergi
obat sering timbul bila obat
diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta
dosis tinggi secara parenteral.
d)

Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan


dengan jenis obat tertentu

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 236

e)

Diagnosis alergi obat sangat mungkin, bila gejala


menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul
kembali bila pasien diberikan obat yang sama.

f) Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama


merupakan salah satu jalan terjadinya sensitisasi obat
yang harus diperhatikan
2. Tes Kulit
Tes kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa
macam obat (penisifin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk
obat-obat yang lain masih diragukan nilainya.
Hal ini karena beberapa hal antara lain :
a) kebanyakan
reaksi
alergi
obat
disebabkan
metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya

hasil

b) beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya


histamin (kodein, tiamin), sehingga tes positif yang terjadi
adalah semu (false positive)
c) konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif
semu
d) sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil
sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu sukar
untuk menentukan antigennya. Tes kulit ini adalah tes kulit
yang lazim dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis).
Sedangkan tes tempel (patch test) bermanfaat hanya untuk
obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe IV).
3. Laboratorium
a) pemeriksaan tes kulit reaksi alergi obat tipe I
b) RAST (Radio AIlergo Sorbent Test) untuk menentukan
adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen
c) Pemeriksaan Coombs indirek untuk diagnosis
sitolitik (tipe II) seperti pada anemia hernolitik

reaksi

d) Pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi


untuk trombositopenia

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 237

c)

Pemeriksaan
hemaglutinrasi
dan
komplemen
dapat
menunjang reaksi obat tipe III yang dibuktikan dengan
adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat.

Pengobatan
1.

Hentikan pemakaian obat yang dicurigai. kalau mungkin semua


obat dihentikan, tetapi bila tidak mungkin berikan obat yang
esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya
menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang
rumus kimianya berlainan.
2. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi
alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah
obat dihentikan.
Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung, pada erupsi
kulit yang terjadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ
lain.
3. Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom StevensJohnson, pasiennya harus dirawat.
4. Kalainan sistemik yang berat
ditatalaksana dengan baik.

seperti

antifilaksis

harus

5. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja


biasanya sudah memadai.
6.

Untuk vaskulitis, penyakit serum, kalainan darah, hati, nefritis


Interstitial, dll diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg
prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan
selanjutnya diturunkan dosisnya secara bertahap seiama satu
sampai dua minggu.

PENCEGAHAN
Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya
reaksi alergi obat yaitu :
-

memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Yang sudah


tepat indikasinya, barulah ditanyakan secara teliti riwayat
alergi obat di masa lalu selanjutnya kepada pasien diberikan
obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 238

- Memperhatikan reaksi silang di antara obat seperti penislin


dengan sefalosporin, gentasimin dengan kanamisin atau
streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan sulfonilurea.
-

Memberi catatan kepada penderita dengan alergi obat yang


harus ditunjukkan kepada dokter sebelum penderita mendapat
pengobatan.

Membagikan epinefrin
riwayat syok anafilaksi

pada penderita persiapan dengan

Skema Pencegahan Reaksi Alergi Obat :

Riwayat alergi obat

Adakah obat alternatif yang efektif

ada

Tidak Ada

Obati dengan obat


alternatif

Negatif

Berikan obat
hati - hati

Tes kulit atau laboratprium


(tersedia dan dapat dipercaya)

Ya

Tidak

Tes

Tes Provokasi

Negatif

Positif

Desensitisasi atau pikirkan


kembali alternative yang
lain

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Teruskan
pengobatan

Page 239

Baik prosedur tes provokasi maupun desensitisasi selalu


mengandung resiko yang kadang-kadang dapat menimbulkan
kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat untuk
melakukannya :
1. Indikasi kuat dan tidak ada obat atau alternatif lain
2. Beritahukan pada pasien dan keluarganya perihal tujuan
tindakan ini serta untung ruginya
3. Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai
peralatan untuk menangulangi keadaan darurat

obat

dan

4. Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman

5.

Umumnya rute pemberian obat pada desensitisai atau


provokasi sesuai dengan rute pemberian yang akan
diberikan

6. Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktuwaktu bisa dipergunakan bila terjadi keadaan darurat
7. Tes kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan
menunggu berhari-hari kemudian obat baru diberikan, karena
tes kulit sendiri menimbulkan sensitisasi

Prinsip tes provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis


permulaan yang sangat kecil, kemudian dinaikkan perlahanlahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun tes provokasi
menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada tes provokasi
tidak selalu terjadi desensitisasi karena sensitisasi sendiri belum
bisa dibuktikan. Prosedur desensitisasi hanya memberikan
pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila suatu
harus diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut
harus diulangi kembali. Tes provokasi dan desensitisasi hanya
untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaktik. Kalau mungkin
obat sebaiknya diberikan secara oral, karena selain jarang
menimbulkan reaksi alergi, juga paling kecil menimbulkan
sensitisasi. Tetapi jika pasien sudah jelas mempunyai riwayat
alergi, obat atau pernah terjadi reaksi anafilakstik dan SJS, maka
obat tersebut tidak boleh diberikan lagi (kontraindikasi).
Frekuensi alergi obat tidak banyak berbeda antara pasien yang
atopi dan non atopi, tetapi pasien yang mempunyai riwayat
alergi tipe 1' atopi seperti asma alergik, rinitis alergik, atau

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 240

eksim lebih besar 3 sampai 10 kali kemungkinannya untuk


mendapat anafilaksis

Contah tes provakasi dengan anestesi lokal :


No
1
2
3
4
5
6

Rute

Tes tusuk

Dosis
1:100 (pengenceran
tidak diencerkan

Tes tusuk
Intrakutan
Intrakutan
Subkutan
Subkutan

0,02 ml larutan 1:100


0,02 ml tidak diencerkan
0,1 ml tidak diencerkan
1 ml tidak diencerkan

Disamping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi


anafilakstik, sebelum menyuntik sebaiknya disediakan dulu obatobat untuk menanggulangi keadaan darurat alergi, yaitu adrenalin,
antihistamin, kortikosteroid, dan diazepam, yang semuanya dalam
bentuk suntikan Setelah di suntik, pasien diminta menunggu paling
sedikit 20 menit sebelum diperbolehkan pulang Reaksi obat terjadi
lambat dapat terjadi setelah 3 10 hari setelah pengobatan dan SJS
dapat terjadi setelah 10 hari pemberian obat.
A. Bidang Alergi lmunologi Klinik rawat inap pasien Penyakit
Dalam :
1. Rinitis alergika
2. Asma bronkial
3. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
4. Alveolitis alergik pneumonitis hipersensitif
5. Urtikaria dan angioedam
6. Dermatitis atopik
7. Dermatitis kontak
8. Lupus eritematosus sistemik
9. Penyakit Imunodefisiensi
10. Syok anafilaksis
11. Alergi makanan, alergi obat
12. Sindrom vaskulitis
13. Penyakit autoimun
B. Keterampilan bidang Alergi-lmunologi Penyakit Dalam
1. Spirometri

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 241

2.
3.
4.
5.

Tes
Tes
Tes
Tes

tusuk
tempel
obat
provokasi bronkus

3.8.
RHEMAUTOLOGI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 242

OSTEOARTRITIS
Kode : ICD. M13
DEFINISI
Merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan sendi. Penyakit
ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya
tulang baru pada trabecula subkhondrial dan tepi tulang (osteofit).
KRITERIA DIAGNOSIS
Osteoartritis sendi lutut :
Nyeri lutut, dan
Salah satu dari 3 kriteria berikut :
Usia > 50 tahun
Kaku sendi < 30 menit
Krepitus + osteofit
Osteoartritis sendi tangan :
Nyeri tangan atau kaku, dan
Tiga dari empat kriteria berikut :
Pembesaran jaringan keras dari 2 atau > dari 10 sendi
tangan tertentu (DIP II dan III ki & ka, PIP II & III ki & ka,
CMC I ki & ka)
Pembesaran jaringan keras dari 2 atau > sendi DIP
Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan
tertentu
Osteoartritis sendi pinggul :
Nyeri pinggul, dan
Minimal 2 dari 3 kriteria berikut :
LED < 20 mm/jam
Radiologi,
terdapat
osteofit
pada
femur
atau
asetabulum,
Radiologi terdapat penyempitan celah sendi(superior,
aksial,dan/atau medial)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 243

LED. Pada OA inflamatif, LED akan meningkat.


Analisis cairan sendi. Umumnya tidak terdapat ciri khusus, peningkatan
sel leukosit yang tidak > 1000/mm3.
Radiologi sendi yang terserang. Terbanyak digunakan kriteria dari
Kellgren dan Lawrence. Gambaran radiologik dapat berupa osteofit,
penyempitan celah sendi, sklerosis tulang subkhondrial (eburnasi) atau
kista subkhondrial.
Artroskopi. Terlihat gambaran kerusakan atau menghilangnya rawan
sendi.
KOMPLIKASI
Deformitas sendi.
PENATALAKSANAAN
Penyuluhan terutama untuk proteksi sendi.
Obat anti inflamasi non steroid.
Dapat digunakan seperti
Sodium Diklofenak 3 x 50 mg perhari, Piroksikam 1 x 20 mg
perhari, Meloksikam 1 x 15 mg perhari atau Celecoxib 200mg
bila ada gangguan pada lambung.
Kortikosteroid intra artikular
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.
Operasi pada OA dengan deformitas.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 244

ARTRITIS PIRAI (GOUT ARTHRITIS)


Kode : ICD M.10
DEFINISI
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal
monosodium urat (MSU) pada sendi yang terjadi akibat supersaturasi
dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik.
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria ACR (1977) :
Didapatkan kristal monosodium urat didalam cairan sendi, atau
Didapatkan kristal monosodium urat didalam tofus, atau
Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut :
Inflamasi maksimal pada hari pertama
Serangan artritis akut > 1 kali
Artritis monoartikular
Sendi yang terkena berwarna kemerahan
Pembengkan dan sakit pada sendi MTP I
Serangan pada sendi MTP unilateral
Serangan pada sendi tarsal unilateral
Tofus
Hiperurisemia
Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologik
Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologik
Kultur bakteri cairan sendi negatif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LED, CRP. Hasil positif menunjukan proses inflamasi aktif.
Analisis cairan sendi. Adanya kristal MSU memastikan diagnosis.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 245

Asam urat darah dan urin 24 jam. Kadar dalam darah pada umumnya
meningkat. Kadar dalam urin dapat dipakai untuk status ekskresi asam
urat.
Ureum, kreatinin, CCT. Dipakai untuk menunjukan derajat gangguan
fungsi
ginjal. Radiologi sendi. Gambaran radiologi dapat berupa
pembengkakan jaringan lunak, kalsifikasi pada tofus, erosi bulat atau
oval yang dikelilingi oleh tepi
yang sklerotik.
KOMPLIKASI
Tofus
Deformitas sendi
Nefropati gout, gagal ginjal.

PENATALAKSANAAN
Penyuluhan
Pengobatan fase akut :
Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi
perbaikan
inflamasi atau terdapat tanda-tanda toksik, dosis tidak
melebihi 8 mg per 24
jam.
Obat anti inflamasi non steroid.
Glukokortikoid dosis rendah : 5-15 mg/hari.
Pengobatan hiperurisemia :
Diet rendah purin
Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi
berlebihan), misalnya allopurinol.
Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah)
Obat antihiperurisemik tidak boleh diberikan pada stadium akut.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 246

ARTRITIS REUMATOID
Kode : ICD M.05 & M.06
DEFINISI
Merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai
sendi diartrodial. Termasuk penyakit otoimun dengan etiologi yang
tidak diketahui.
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria ACR (1987) :
Kaku pagi, sekurangnya 1 jam.
Artritis pada sekurangnya 3 sendi.
Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacapophalanx (MCP) dan
Proximal interphalanx (PIP).
Artritis yang simetris.
Nodul reumatoid
Faktor reumatoid serum positif.
Gambaran radiologik yang spesifik.
Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut diatas. Kriteria
1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LED, CRP. Sebagai manifestasi inflamasi pada jaringan maka LED dan
protein fase akut lainnya seperti CRP akan meningkat. Pada Usila perlu
diperhatikan bahwa LED secara normal akan meningkat sesuai
pertambahan usia.
Faktor reumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian besar
kasus (85%), sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan adanya AR.
Keadaan terakhir dikenal sebagai AR seronegatif.
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 247

Analisis cairan sendi. Dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit >


2.000/mm3. Analisis ini sekaligus digunakan untuk menyingkirkan
adanya artropati kristal.
Radiologi tangan dan kaki. Gambaran ini berupa pembengkakan
jaringan lunak, diikuti oleh osteoprosis juxta-articular dan erosi pada
bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat penyempitan celah sendi,
osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondrial.
Biopsi sinovium/nodul reumatoid. Terlihat gambaran inflamasi kronik
berupa jaringan granulasi dan fibrosis.
KOMPLIKASI
Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar)
Sindrom terowongan karpal.

PENATALAKSANAAN
Penyuluhan
Proteksi sendi, terutama pada stadium akut.
Obat anti inflamasi non stroid.
Obat remitif (DMARD), misalnya kloroquin dengan dosis 1 x 250mg
perhari, metotreksat dosis 7,5-20 mg sekali seminggu, salazofirin dosis
3-4 x 500 mg perhari, garam emas peroral dosis 3-9 mg perhari, atau
subkutan dosis awal 10 mg, dilanjutkan seminggu kemudian dengan
dosis 25 mg perminggu, dan dinaikkan menjadi 50 perminggu selama
20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai dosis
kumulatif 2000 mg.
Glokokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat mungkin untuk
mengatasi keadaan akut atau kekambuhan. Dapat diberikan dengan
dosis 20 mg prednison dosis terbagi dan segera di tappering off.
Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi dapat
diberikan injeksi steroid intraartikular seperti triamcinolon acetonide 10
mg atau metilprednisolon 20-40 mg.
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.
Operasi untuk RA dengan deformitas.
Diagnosis RA

Artritis 3 sendi

Perubahan radiologi
(pembengkakan MCP)
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Faktor rematoid
(pembengkakan pergelangan
tangan)
Page 248

RA

Faktor Reumatoid
(pembengkakan
pergelangan tangan)

RA

pembengkakan MCP
dan pergelangan
tangan

Bukan
RA

RA

Bukan
RA

Pembengkakan
simetris

RA

RA

OSTEOPOROSIS
Kode : ICD M.80 & M.81

Pembengkakan MCP
dan pergelangan
tangan

Bukan
RA

DEFINISI
Merupakan salah satu penyakit metabolik tulang yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang (osteopenia) dan rawan untuk
terjadinya fraktur sekalipun akibat trauma ringan.
KRITERIA DIAGNOSIS
Ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan densitas massa tulang
(BMD).
Kriteria WHO:
Normal, bila T-score pada BMD . 1.
Osteopenia, bila T-score pada BMD 1 s/d 2,5
Osteoporosis, bila T-score pada BMD < -2,5
Osteoporosis berat, bila T-score pada BMD < -2,5 dan didapatkan
fraktur.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Biokimia tulang (ca serum, Ca ion serum, Ca urin, fasfat serum, fosfat
urin, fosfatase alkali, osteokalsin serum, deoksipiridinolin urin).
PTH dan 25 OH-Vit D (atas indikasi).
Densitas massa tulang (lumbal, pinggul dan lengan bawah distal).
Radiologi vertebra torakalis dan lumbal, pinggul dan lengan bawah bila
dicurigai ada fraktur.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 249

Mammografi, sediaan apus serviks, biopsi endometrium


persiapan pemberian terapi pengganti hormonal)

(untuk

KOMPLIKASI
Fraktur.
PENATALAKSANAAN
Penyuluhan
Proteksi sendi, terutama stadium akut.
Asupan kalsium yang adekuat, bila perlu berikan suplementasi kalsium.
Vitamin D, bila ada tanda-tanda defisiensi vitamin D.
Hindari faktor resiko, misalnya glukokortokoid, anti konvulsan,
siklosporin A dan sebagainya.
Analgetik atau obat anti inflamasi non steroid, untuk mengatasi nyeri.
Terapi pengganti hormonal biasanya diberikan estrogen terkonyugasi
0,625-1,25 mg perhari dikombinasi dengan progesteron 2,5-10 mg
perhari. Pada wanita pasca menopause diberikan secara kontinyus,
sedangkan pada wanita pra menopause diberikan secara siklik.
Bifosfonat, sebagai pengganti estrogen atau untuk pasien laki-laki.
Kalsitonin, terutama bila terdapat nyeri yang hebat.
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 250

3.9.
ENDOKRIN METABOLIK

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 251

DIABETES MELITUS
Kode : ICD.E10 E14
PENGERTIAN
Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia
akibat defek pada :
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi
glukosa hepatik) dan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas
3. Atau keduanya
Klasifikasi DM
I.

DM tipe 1 (destruksi sel B, umumnya diikuti defisiensi insulin


absolut)

immune-mediated

idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari yang : predominan resistensi insulin
dengan defisiensi insulin relatif predominan defek sekretik
dengan resistensi insulin)

III. Tipe spesifik lain :

Defek genetik pada fungsi sel B


Defek genetik pada kerja insulin

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 252

Penyakit eksokrin pankreas

Endokrinopati

Diinduksi obat atau zat kimia

Infeksi

Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM

Sindrom genetik lain yang kadang berkaitan dengan DM


IV. DM gestasional

DIAGNOSIS
Terdiri dari :

Diagnosis DM
Diagnosis komplikasi DM
Diagnosis penyakit penyerta
Pemantauan pengendalian DM

ANAMNESIS :
Keluhan khas (gejala klasik) DM

Poliuria
Polidipsia
Polifagia
Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan tidak khas DM

Lemah
Kesemutan
Gatal
Mata kabur
Disfungsi ereksi
Pruritus vulva

Faktor risiko DM tipe 2

Usia > 45 tahun


Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m 2, disertai dengan
faktor risiko:
- kebiasaan tidak aktif
- turunan pertama dari orang tua dengan DM

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 253

riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 g


atau riwayat DM gestasional
hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
kolesterol HDL < 35 mg/dl atau trigliserida > 250 mg/dl
menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau
keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT)
riwayat penyakit kardiovaskuler

Anamnesis komplikasi DM (lihat komplikasi)


Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk:
TB, BB, TD, lingkar pinggang

Tanda neuropati

Mata (visus, lensa mata dan retina)

Gigi mulut

Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku


Kriteria diagnostik DM

1.

Gejala klasik DM + kadar glukosa darah sewaktu (plasma


vena) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l) atau
2.
Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa (plasma
vena) > 126 mg/dl (7,0 mmol/l) atau
3.
Kadar glukosa darah plasma
> 200 mg/dl (11,1
mmol/l)pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT
tergantung hasil yang didapat.

TGT : glukosa darah plasma 2 jam sesudah beban 140-199 mg/dl (7,8
11,0
mmol/l)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/l)
Pemeriksaan laboratorium:
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida

HbA1C

Albuminuria mikro
Pemeriksaan penunjang lain :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 254

EKG
Foto toraks
Funduskopi

DIAGNOSIS BANDING
Hiperglikemia reaktif
Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT = IFG)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium :

Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED


Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur
Kreatinin
SGPT, albumin/globulin
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
HbA1C
Albuminuria mikro

Pemeriksaan penunjang lain :

EKG
Foto thoraks
Funduskopi

TERAPI
Edukasi
Meliputi pemahaman tentang :

Penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis
Hipoglikemia
Masalah khusus yang dihadapi
Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan
ketrampilan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 255

Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Terapi gizi medis


Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi :
Karbohidrat 45 - 65%
Protein
15 - 20%

Lemak
20 - 25%
Jumlah kandungan kolestrol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan
lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono
unsaturated fatty acid), dan membatasi PUFA (Poly unsaturated fatty
acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat 25 g/hari,
diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari

Laki-laki : 30 kal/kg BB idaman


Perempuan : 25 kal/kg BB idaman

Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari

Status gizi
- BB gemuk dikurangi 20-30%
- BB kurang ditambah 20-300%

Umur > 40 tahun


- 5%
Stres metabolik (infeksi, operasi, dll) + (10 s/d 30%)
Aktifitas :
Ringan
+ 20%
Sedang

+ 30%

Berat

+ 50%

Hamil
- Trimester I, II

+ 300 kalori

- Trimester III/laktasi + 500 kalori


Rumus Brocca
Berat badan idaman = (TB 100) 10%
Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10% lagi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 256

BB kurang : <90% BB idaman


BB normal : 90-110% BB idaman
BB lebih : >110 BB idaman
Latihan jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit
Intervensi farmakologis
* Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
Sulfonilurea
Glinid
* Penambah sensitivitas terhadap insulin

Metformin
Tiazolidindion

* Penghambat glukosidase alfa


Acarbose

Insulin
Indikasi

Penurunan berat badan yang cepat


Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Terapi Kombinasi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 257

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,


untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa
darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik
oral yang berbeda mekanisme kerjanya.
Pengelolaan DM tipe 2 gemuk
Non farmakologis
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai
Penekanan kembali tatalaksana non-farmakologis
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai
+ 1 macam OHO (Biguanid/Penghambat glukosidase alfa/Glitazon)
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai
Kombinasi 2 macam OHO, antara : Biguanid/Penghambat glukosidase
alfa/Glitazon
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai
Kombinasi 3 macam OHO
Biguanid + Penghambat glukosidase + Glitazon:
atau kombinasi OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)
Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai
Kombinasi 4 macam OHO
Biguanid + Penghambat glukosidase + Glitazon + Secretagogue atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 258

Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai


Insulin
Atau : Terapi Kombinasi OHO siang hari + insulin malam

Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :


Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir
Pengelolaan DM tipe 2 Tidak gemuk
Non farmakologis

evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Non farmakologis + secretagogue

evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 2 macam OHO, antara :
Secretagogue +
Penghambat glukosidase /Biguanid/Glitazon
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 3 macam OHO,
Secretagogue +Penghambat glukosidase /Biguanid/Glitazon
Atau

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 259

Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam


evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi Kombinasi 3 OHO tidak tercapai


Kombinasi 4 macam OHO
Secretagogue + Penghambat glukosidase +
Biguanid +Glitazon
Atau Terapi Kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi Kombinasi 4 OHO tidak tercapai


Insulin
Atau
Terapi Kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam

Sasaran terapi Kombinasi 4 OHO tidak tercapai


Insulin
Bila sasaran tercapai teruskan terapi terakhir
Penilaian hasil terapi
1.
2.
3.
4.
5.

Pemeriksaan glukosa darah


Pemeriksaan HbA1C
Pemeriksaan glukosa darah mandiri
Pemeriksaan glukosa urin
Penentuan benda keton

Kriteria pengendalian DM
(lihat tabel lampiran)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 260

KOMPLIKASI
A Akut :
Ketosidosis

diabetik
Hiperosmolar non ketotik
Hipoglikemia
B. Kronik

Makroangiopati
- Pembuluh koroner
- Vaskular perifer
- Vaskular otak

Mikroangiopati
- Kapiler retina
- Kapiler renal
Neuropati
Gabungan
Kardiopati : PJK, kardiomiopati
Rentan infeksi
Kaki diabetik
Disfungsi ereksi

PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


Divisi Endokrinologi Metabolik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUNSRI/RSMH

Unit terkait

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 261

Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUSRI/RSMH
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH
Bagian Patologi Klinik FKUNSRI/RSMH
Bagian Mata FK UNSRI/RSMH
Bagian Gizi RSMH

Keterangan :
TB

Tinggi Badan

BB

Berat badan

IMT

Indeks massa tubuh

TD

Tekanan darah

TTGO

Tes Toleransi Glukosa Oral

Tabel : Kriteria Pengendalian DM


Baik

Sedang

Buruk

GD puasa (mg/dl)

80 - 109

100 - 125

> 126

GD 2 jam pp (mg/dl)

80 - 144

145 179

> 180

A1C (%)

< 6,5

6,5 - 8

>8

Kolesterol total (mg/dl)

< 200

200 - 239

> 240

Kolesterol LDL (mg/dl)

< 100

100 - 129

> 130

Kolesterol HDL (mg/dl)

> 45

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 262

Trigliserida
IMT
Tekanan darah

< 150

150 199

> 200

18,5 22,9

23 25

> 25

< 130/80

130-140

> 140/90

80-90

Referensi :
1.

PERKENI. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2


di Indonesia. 2006

2.

PERKENI. Petunjuk pengelolaan diabetes melitus tipe 2.


2006.

3.

The Expert Committee on The Diagnosis and Classification


of Diabetes Mellitus Report of The Expert Committee on The
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Care, Jan 2003; 26
(Suppl.1) 55-20

4.

Suyono S. Type 2 diabetes mellitus is a B cell dysfunction.


Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002. The Recent Management
in Diabetes and its Complications : From Molecular to Clinic. Jakarta
2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine
2000. Jakarta, 11-12 November 2000 : 185-99

KETO-ASIDOSIS DIABETIK (KAD)


Kode ICD. E15
PENGERTIAN
Kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius.
Gambaran klinis utama KAD adalah hiperglikemia, ketosis dan asidosis
metabolik
Faktor pencetus :

Infeksi
Infark miokard akut
Pankreatitis akut

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 263

Penggunaan obat golongan steroid


Penghentian atau pengurangan dosis insulin

DIAGNOSIS
Klinis :

Keluhan poliuri, polidipsi


Riwayat berhenti menyuntik insulin
Demam/infeksi
Muntah
Nyeri perut
Kesadaran : CM delirium-koma
Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
Dehidrasi ( turgor kulit, lidah dan bibir kering)
Dapat disertai syok hipovolemik

Kriteria diagnosis :
Kadar glukosa > 250 mg/dl
PH

< 7,35

HCO3
Anion gap

: rendah
: tinggi

Keton serum : positif dan atau ketonuria


DIAGNOSIS BANDING

Ketosis diabetik
Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik/hyperglycemic hyperosmolar
state
Ensefalopati uremikum, asidosis uremikum
Minum alkohol, ketosis alkoholik
Ketosis hipoglikemia
Ketosis starvasi
Asidosis laktat
Asidosis hiperkloremik
Kelebihan salisilat
Drug-induced acidosis
Ensefalopati karena infeksi
Trauma kapitis

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 264

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan cito

Gula darah
Elektrolit
Ureum, kreatinin
Aseton darah
Urine rutin
Analisa gas darah
EKG

Pemantauan
Gula darah: tiap jam

Na+, K+, Cl- : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan

Analisa gas darah : bila pH < 7 saat masuk diperiksa setiap 6


jam s/d pH > 7,1. selanjutnya setiap hari sampai stabil
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi)

Kultur darah
Kultur urin
Kultur pus

TERAPI
Akses IV 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way
I. Cairan :

NaCl 0,9% diberikan 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu 1 L


pada jam kedua, lalu 0,5 L pada jam ketiga dan kempat, dan
0,25 L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai
kebutuhan
Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 liter
Jika Na+ > 155 mEq/L ganti cairan dengan NaCl 0,45%.
Jika GD < 200 mg/dl ganti cairan dengan dekstrosa 5%

II. Insulin (Regular insulin = RI)

Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan


RI bolus 180 mU/kgBB IV dilanjutkan
RI drip 90 mU/kgBB /jam dalam NaCl 0,9%

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 265

Jika GD < 200 mg/dl kecepatan dikurangi RI drip 45


mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%
Jika GD stabil 200-300 mg/dl selama 12jam drip 1-2 U/jam IV,
disertai sliding scale setiap 6 jam

GD

(mg/dl)

RI
(Unit, subkutan)

< 200

200-250

250-300

12

300-350

16

> 350

20

Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dl : drip RI dihentikan

Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan


kebutuhan insulin ehari dibagi 3 dosis sehari subkutan,
sebelum makan (bila pasien sudah makan)
III. Kalium

Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip Rl dengan


dosis 50 mEq/6 jam. Syarat : tidak ada gagal ginjal, tidak
ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan
jumlah urine cukup adekuat
Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
< 3,5
drip KCl 75 mEq/6 jam
3,0-4,5

drip KCl 50 mEq/6 jam

4,5-6,0

drip KCl 25 mEq/6 jam

> 6,0

drip stop

Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu

IV. Bicarbonat
Drip 100 mEq bila pH < 7,0 disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0-7,1 disertai KCl 13 mEq drip

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 266

juga diberikan
mengancam

pada

asidosis

laktat

dan

hiperkalemi

yang

V. Tatalaksana Umum
O2 bila PO2 < 80 mmHg
Antibiotika adekuat
Heparin : bila ada DIC atau hiperosmolar ( > 380 mOsml)
Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis

Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan temperatur


setiap jam,
Kesadaran setiap jam
Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
Produksi urin setiap jam
Cairan infus yang masuk setiap jam
Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang)

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik
Edema paru
Hipertrigliseridemia
Infark miokard akut
Hipoglikemia
Hipokalemia
Hiperkloremia
Edema otak
Hipokalsemia

PROGNOSIS
Dubia ad malam. Tergantung pada usia, komorbid, adanya infark
miokard akut, sepsis, syok.
WEWENANG
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 267

Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK


UNSRI/RSMH

UNIT TERKAIT
Divisi ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UNSRI/RSMH
Departemen Patologi Klinik FK UNSRI/RSMH

Referensi
1. PERKENI. PETUNJUK Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.
2006
2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam Prosiding Simposium
panatalaksaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta,
15-16 April 2000 : 89-96.
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ. Kreisberg RA,
Malone Jl. Et.al. management of Hyperglycemic Crises in Patients
With Diabetes. Diabetes Care, Jan 2001:24 (1) : 121-51.

HIPOGLIKEMIA
Kode : ICD
PENGERTIAN

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 268

Kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dl
dengan gejala klinis
Hipoglikemia pada DM terjadi karena :

Kelebihan obat/dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik


oral
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun : gagal ginjal
kronik, pasca persalinan
Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan
tidak tepat
Kegiatan jasmani berlebihan

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis

Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun


Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara
Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan
gemetar
Stadium ganguan otak berat ; tidak sadar, dengan atau tanpa
kejang

Anamnesis :

Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral : dosis


terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis
Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
Lama menderita DM, komplikasi DM
Penyakit penyerta; ginjal, hati, dll
Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat adrenergik dll

Pemeriksaan fisik
Pucat, diaphresis

Tekanan darah

Frekuensi denyut jantung

Penurunan kesadaran

Defisit neurologik fokal transien


Trias Whipplc untuk hipoglikemia secara umum

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 269

1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia


2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
DIAGNOSIS BANDING
Hipoglikemia karena

Obat

(Sering) : insulin, sulfonilurea,alkohol

(kadang) : kinin, pentamidine

(jarang) : salisilat, sulfonamid


Hiperinsulinisme endogen

Insulinoma

Kelainan sel jenis lain

Sekretagogue : sulfonilurea

Autoimun

Sekresi insulin ektopik


Penyakit kritis

Gagal hati

Gagal ginjal

Gagal jantung

Sepsis

Starvasi dan inanisi


Defisiensi endokrin

Kortisol, growth hormone

Glukagon, epinefrin
Tumor non sel

Sarkoma

Tumor adrenokortikal, hepatoma

Leukemia, limfoma, melanoma


Pasca-prandial:

Reaktif (setelah operasi gaster)

Diinduksi alkohol

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar glukosa darah (GD)
Tes fungsi ginjal
Tes fungsi hati
C-peptide
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 270

TERAPI
Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula
murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes)
dan makanan yang mengandung karbohidrat

Stop obat hipoglikemik sementara

Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam

Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)


Cari penyebab

Stadium lanjut
hipoglikemia) :

(koma

hipoglikemia

atau

tidak

sadar

curiga

1. Diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml)


bolus intravena
2. Diberikan cairan dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan
glukometer
Bila GDS < 50 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
Bila GDS < 100 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
4. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%
Bila GDS < 50 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
Bila GDS < 100 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
Bila GDS < 100-200 mg/dl + bolus Dekstrosa 40% ml IV
Bila GDS > 200 mg/dl pertimbangkan menurunkan kecepatan
drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut pemantauan
GDS setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDS > 200
mg/dl pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5%
atau NaCl 0,9%
6. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut pemantauan
GDS setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDS > 200
mg/dl pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5%
atau NaCl 0,9%
7. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut sliding scale
setiap 6 jam :
GD

RI
(mg/dl)
< 200
200-250

(Unit subkutan)
0
5

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 271

250-300

10

300-350

15

>350

20

Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian


antagonis insulin, seperti : adrenalin, kortison dosis tinggi, atau
glukagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebab insulin) Bila pasien belum
sadar, GDS sekitar 200 mg/dl Hidrokortison 100 mg per 4 jam
selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dianjutkan 2 mg
tiap 6 jam dan Manitol 1,5 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Dicari
penyebab lain kesadaran menurun

KOMPLIKASI
Mortalitas

PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UNSRI/RSMH
UNIT TERKAIT

Departemen Patologi Klinik


Departemen Neurologi

Referensi
1. PERKENI, Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2006.
Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding
Simposium Penatalaksanaan
2. Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakti Dalam. Jakarta, 15-16 April
2000 : 83-8

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 272

3. Cryer PE Hypoglycemia. In Brauwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser


SL, Longo DL, James JL. Horrisons Principles of Internal Medicine.
15th ed New York McGraw-Hill, 2001:2138-43

DISLIPIDEMIA
Kode : ICD.E34
PENGERTIAN
Kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan (peningkatan
atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang
utama adalah kenaikan kadar kolesterol LDL. Dalam proses terjadinya
aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan,
sehingga dikenal sebagai triad lipid.
Secara klinis, diklasifikasikan menjadi :
Hiperkolesterolemia
Hipertrigliseridemia
Campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia

DIAGNOSIS
Klasifikasi kadar kolesterol
Kolesterol LDL
< 100 mg/dl

Klasifikasi
Optimal

100 129 mg/dl

Hampir optimal

130 159 mg/dl

Borderline tinggi

160 189 mg/dl

Tinggi

> 190 mg/dl

Sangat tinggi

Kolesterol total
< 200 mg/dl
200 239 mg/dl

Idaman
Borderline tinggi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 273

> 240 mg/dl

Tinggi

Kolesterol HDL
< 40 mg/dl

Rendah

> 50 mg/dl

Tinggi

untuk mengevaluasi resiko penyakit jantung koroner (PJK) diperhatikan


faktor-faktor resiko lainnya

Faktor resiko positif

Merokok

Umur (pria > 45 tahun, wanita > 55 tahun

Kolesterol HDL rendah

Hipertensi (TD > 140/90 atau dalam terapi antihipertensi


Faktor resiko negatif

Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor resiko


perhitungan total

dari

ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung


besarnya resiko PJK pada pasien dengan > 2 faktor resiko, meliputi :
umur, kadar kolesterol total kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan
hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan persentase
resiko PJK dalam 10 tahun
Ekivalen resiko PJK mengandung resiko kejadian koroner mayor yang
sebanding dengan kejadian PJK yakni > 20 dalam 10 tahun, terdiri dari
:

Bentuk klinis lain dari aterosklerosis : penyakit artei perifer,


aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri karotis yang
simptomatis
Diabetes
Faktor resiko multipel yang mempunyai resiko PJK dalam 10 tahun
> 20 %

Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor resiko


independen untuk terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya
trigliserida :

Obsesitas, berat badan lebih


Inaktif fisik
Merokok
Asupan alkohol berlebih

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 274

Diet tinggi karbohidrat (> 60% asupan energi)


Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
Obat : kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik
beta dosis tinggi
Kelainan genetik (riwayat keluarga)

Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia

Normal
Borderline-tinggi
Tinggi
Sangat tinggi

: < 150 mg/dl


: 150 199 mg/dl
: 200 499 mg/dl
:
> 500 mg/dl

DIAGNOSIS BANDING
Hiperkolesterolemia sekunder, karena

Hipotiroidisme
Penyakit hati obstruksi
Sindrom nefrotik
Anoreksia nervosa
Porfiria intermiten akut
Obat : progestin, siklosporin, thiazide

Hipertrigliseridemia sekunder, karena

Obesitas
DM
Gagal ginjal kronik
Lipodistrufi
Glycogen strorage disease
Alkohol
Bedah bypass ileal
Stress
Sepsis
Kehamilan
Obat : estrogen, isotretinoin, penghambat beta, glukokortikoid,
resin pengikat bile-acid, thiazide
Hepatitis akut
Lupus eritematosus sistemik
Gammopati monoklonal : myloma multipel, limfoma

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 275

AIDS ; inhibitor protease


HDL rendah sekunder, karena :

Malnutrisi
Obesitas
Merokok
Penghambat beta
Steroid anabolik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia > 20 tahun setiap 5
tahun sekali
Kadar kolesterol total

Kadar kolesterol LDL

Kadar kolesterol HDL

Kadar trigliserida
Kadar glukosa darah

Tes fungsi hati


Urine lengkap
Tes fungsi ginjal
TSH
EKG
TERAPI
Untuk hiperkolesterolemia
Penatalaksanaan non farmakologis (Perubahan gaya hidup)

Diet, dengan komposisi


o Lemak jenuh
< 7% kalori total
o PUFA
hingga 10% kalori total
o MUFA
hingga 10% kalori total
o Lemak total
25-35% kalori total
o Karbohidrat
50 60% kalori total
o Protein
hingga 15% kalori total
o Serat
20 30 g/hari
o Kolesterol
< 200 mg/hari
Latihan jasmani
Penurunan berat badan bagi yang gemuk

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 276

Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol

Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target


pemantauan setiap 4-6 bulan.
Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai, intensifkan
penurunan lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan stanol/steroid
nabati, tingkatkan konsumsi serat, dan kerjasama dengan dietisien
Bila 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil
menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai
diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan
jasmani
Terapi farmakologis
o

o
o

Golongan statin
Simvastatin
5 40 mg
Lovastatin
10 80 mg
Pravastatin 10 40 mg
Fluvastatin 20 80 mg
Atorvastatin 10 80 mg
Golongan bile acid sequestrant
Cholestyramine 4-16 g
Golongan nicotinic acid
Nicotinic acid (immediate realese) 2 x 100 mg s/d 1,5 3 g

Target kolesterol LDT (mg/dl)


Kategori

Target Kadar LDL

Kadar LDL

Resiko

LDL

untuk mulai

untuk mulai
PGH terapi

PJK atau

< 100 > 100

farmakologis

> 130

Ekivalen PJK
(FRS > 20%)

Faltor resiko > 2

< 130 > 130

> 130 (FRS 10-20%)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 277

(FRS < 20%)

Faktor resiko 0-1

> 160 (FRS < 10%)

< 160 >160

> 190
(160-189 : Opsional)

Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan


statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid.
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah
tercapai (lihat tabel terget di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan.
Bila setelah 6 minggu berikut terapi non-farmakologis tidak berhasil
menurunkan
kadar kolestrol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan. Pasien
dengan PJK kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur
koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolestrol LDL > 100
mg/dl
Pasien dengan hipertriglisesidemia
Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas
Penatalaksaan farmakologis :
TARGET TERAPI
Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi : tujuan utama
terapi adalah mencapai target kolesterol LDL
Pasien dengan trigliserida tinggi : target sekunder adalah kadar
kolestrol non-HDL yakni sebesar 30 mg/dl lebih tinggi dari target kadar
kolestrol LDL
Pendekatan terapi obat :
1. obat penurun kadar kolestrol LDL atau
2. ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid
Golongan fibrat terdiri dari :

Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg


Fenofibrat 1 x 200 mg

Penyebab primer dari dislipidemia sekunder, juga harus ditata laksana


PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 278

KOMPLIKASI

Aterosklerosis
Penyakit jantung koroner
Stroke pankreatitis akut

PROGNOSIS
Dubia ad Bonam
WEWENANG
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UNSRI/RSMH
UNIT TERKAIT
Departemen Patologi Klinik FK UNSRI/RSMH

Referensi
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Melaus di
Indonesia. 1995.
2. Expert Panel on Detection, EvaluatioD, and Treatment of High blood
Cholesterol in, Adults. Executive Summary of the Third Report of the
National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in
Adults (Adult Treatment Panei !If). JAMA, May 16, 2001;285(19):248697.
3. Semiardji G. National Cholesteroi Education Program - Adult Treatment
Pane! III (NCEPATP III): Adakah hal yang baru? Makalah Siang' Klinik
Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, 2002.
4. Ginsberg HN, GoldSerg IJ. Disorders of Lipcpfotein Metabolism. In
Braunwald E, Fauci AS. Kasper DL, Hauser SL, Longc DL. Jameson JL.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 279

Harrison's Principles of Internal Medicine.15th ed. New York: Mg GrawHill, 2001:2245-57


5. Suyono S. Terapi Gislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai
Kapan? Prosidiny Simposium Current Treatment in -Internal Medicine
2000. Jakarta,11-12 November 2000:185-99:

Keteranqan:
Kolestrol HDL = kolesterol high density lipoprotein
Kolesterol LDL = kolesterol low densify lipoprotein
PGH = perubahan gaya hidup
MUFA = mono unsaturated fatty acid
PUFA = poly unsaturated fatty acid

TIROTOKSIKOSIS
Kode : ICD. E05
PENGERTIAN
Suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon tiroid.
Berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang
ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan
Tirotoksikosis dibagi dalam 2 kategori :

Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme


Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme

Hipertiroidisme
= Tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid
= Akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan
Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena
penyakit Graves, struma multinodosa toksik (Plummer dan adenoma
toksik. Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblastik, pemakaian
berlebihan yodium, obat hormon tiroid, dll.
Krisis tiroid
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 280

= Keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan mengancam


jiwa. Umumnya timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau
struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus

Infeksi

Operasi

Trauma

Zat kontras beriodium

Hipoglikemia

Partus

Stres emosi

Penghentian obat anti-tiroid

Terapi I131

Ketosidosis diabetikum

Tromboemboli paru

CVD/stroke

Palpasi tiroid terlalu kuat

Gejala dan tanda tirotoksikosis

Hiperaktivitas
Palpitasi
Berat badan turun

DIAGNOSIS

Nafsu makan meningkat


Tidak tahan panas, banyak keringat
Mudah lelah
BAB sering
Oligomenore/amenore dan libido turun
Takikardia
Fibrilasi atrial
Tremor halus
Refleks meningkat
Kulit hangat dan basah
Rambut rontok
Bruit

Gambaran Klinis Graves

Struma Difus

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 281

Tirotoksikosis
Oftalmopati/eksoftalmus
Dermopati lokal
Thyroid acropachy

Laboratorium
TSHs rendah

T4 atau FT4 tinggi

Pada T3 toksikosis : T3 atau FT3meningkat


Penderita yang dicurigai krisis tiroid

Anamnesis :
Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala yang khas

Berat badan turun

Perubahan suasana hati, bingung

Diare

Amenore
Pemeriksaan Fisik

Gejala & tanda khas hipertiroidisme, karena Graves atau yang lain
Sistem saraf pusat terganggu, delirium, koma
Demam tinggi s/d 40C
Takikardia s/d 130-200 kali/m
Sering ; fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat
Dapat memperlihatkan gagal jantung kongestif
Dapat ditemukan ikterus

Laboratorium :
TSHs sangat rendah

T4/FT4/T3 tinggi

Anemia normokrom normositik, limfositosis relatif

Hiperglikemia

Peningkatan enzim transaminase hati

Azotemia prerenal
EKG sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan : respons ventrikular
cepat

DIAGNOSIS BANDING
Hipertiroidisme primer

Penyakit Graves

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 282

Struma multinodosa toksik

Adenoma toksik

Metastasis karsinoma tiroid fungsional

Struma ovarii

Mutasi reseptor TSH

Obat : kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)


Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme

Tiroiditis subakut
Tiroiditis silent
Destruksi tiroid karena : amiodarone, radiasi, infark adenoma
Asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia)

Hipertiroidisme sekunder
Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH
Sindrom resistensi hormon tiroid

Tumor yang mensekresi HCG

Tirotoksikosis gestasional
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

TSHs
T4 atau FT4
T3 atau FT3
TSH Rab
Kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat
antitiroid)
Sidik tiroid/thyroid scan: terutama membedakan penyakit plummer
dari penyakit Graves dengan komponen nodosa
EKG
Foto toraks

TERAPI
Tata laksana penyakit Graves :
Obat Antititiroid
PTU dosis awal 300-600 mg/hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari

Metimazol dosis awal 20-30 mg/hari


Indikasi :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 283

Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi


pada pasien muda dengan struma ringan-sedang dan tirotoksikosis
Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan
atau sesudah pengobatan yodium radioaktif
Persiapan tiroidektomi
Pasien hamil, lanjut usia
Krisis tiroid
Penyekat adrenergik pada awal terapi, sementara menunggu
pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid :
propanolol dosis 40-200 mg dalam 4 dosis

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah


eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali, memantau gejala dan
tanda klinis, serta lab FT4/T4/T3 dan TSHs
Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan
dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid
selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai
apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat
antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun
kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps.
Tindakan bedah
Indikasi :

Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan
antitiroid
Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium
radioaktif
Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Radioablasi
Indikasi

Pasien berusia > 35 tahun


Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antiitiroid
Adenoma toksik, struma multinodosa toksik

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 284

Tata laksana krisis tiroid


(Terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid)
1. Perawatan suportif:
Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)

Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit :


infus dextrose 5% dan NaCl 0,9%

Mengatasi gagal jantung : O2 diuretik, digitalis


2. Antagonis aktivitas hormon tiroid

Blokade produksi hormon tiroid


Propiltiourasil (PTU) dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif
Metimazol 20-30 mg tiap 4-6 jam PO pada keadaan sangat
berat : dapat per NGT, PTU 600 1.000 mg atau metimazol 60100 mg

Blokade eksresi hormon tiroid :


Solutio Lugol (saturrated solution of potassium lodida) 8 tetes
tiap 6 jam

- blocker
Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons
(target : frekuensi jantung < 90 x/m)

Glukokortikoid :
Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam

Bila refrakter terhadap terapi di atas ; plasmaferesis, dialisis


peritoneal
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi antibiotik, dll

KOMPLIKASI
Penyakit Graves : penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves,
dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan
dengan obat antitiroid
Krisis tiroid : mortalitas
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15%

WEWENANG

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 285

Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam


UNIT YANG MENANGANI
Divisi Metabolik Rndokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUNSRI/RSMH

UNIT TERKAIT

Divisi ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FKUNSRI/RSMH
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/RSMH
Bagian patologi Klinik FKUNSRI/RSMH
Bagian Mata FKUNSRI/RSMH
Bagian Gizi RSMH

Referensi
1. Sumual A, Pandelaki K. Hipertiroidisme. Dalam Waspadji S, et al.
(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta Balai Penerbit
FKUI : 766-72
2. Jameson JL. Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland Gland. In
Brauwald E, Fauci AS, Kasper DL. Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Harrisons Principles of Internal Medicine 15th ed. New York :
McGraw-Hill, 2001:2060-84.
3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta, 15-16 April 2000: 78-82
4. Suyono S, Subekti I. Patologenesis dan Gambaran Klinis Penyakit
Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18
Oktober 2003.
5. Waspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta
Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.

STRUMA NODOSA NONTOKSIK


Kode : ICD.E04
PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul tanpa
disertai tanda-tanda hipertiroidisme
Berdasarkan jumlah nodul, dibagi :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 286

Struma mononodosa non toksik

Struma multinodosa non toksik


Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif

Nodul dingin

Nodul hangat

Nodul panas
Berdasarkan konsistensinya

Nodul
Nodul
Nodul
Nodul

lunak
kistik
keras
sangat keras

DIAGNOSIS
Anamnesis umum

Sejak kapan benjolan timbul


Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
Cara membesarnya : cepat atau lambat
Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi beberapa
benjolan atau hanya pembesaran leher saja
Riwayat keluarga
Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
Perubahan suara
Gangguan menelan, sesak nafas
Penurunan berat badan
Keluhan tirotoksikosis

PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Lokal

Nodus tunggal atau majemuk atau difus


Nyeri tekan
Konsistensi
Permukaan
Perlekatan pada jaringan sekitarnya
Pendesakan atau pendorongan trakea
Pembesaran kelenjar getah bening regional
Pembertons sign

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 287

Penilaian resiko keganasan


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnosa
penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan
kemungkinan kanker tiroid.
Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak

Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid


autoimun

Gejala hipo atau hipertiroidisme

Nyeri berhubungan dengan nodul

Nodul lunak mudah digerakkan

Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke
arah keganasan tiroid :

Umur < 20 tahun atau > 70 tahun


Gender laki-laki
Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas
Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa
(juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak)?
Riwayat keluarga kanker tiroid noduler
Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit
digerakkan
Paralisis pita suara
Temuan limfadenopati servikal
Metastasis jauh (paru-paru, dll)

Langkah diagnostik I : TSHs, FT4


Hasil Non-toksik langkah diagnostik II BAJAH nodul tiroid hasil :
a. Ganas
b. Curiga
c. Jinak
d. Tak cukup/sediaan tak representatif
(dilanjutkan di kolom terapi)
DIAGNOSIS BANDING
Struma nodosa pada :

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 288

Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa pertumbuhan,


pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan, menopause infeksi, stres lain

Tiroiditis akut
Tiroiditis subakut
Tiroiditis kronis : limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel)
Simple goiter
Struma endemik
Kista tiroid, kista degeneratif
Adenoma
Karsinoma tiroid primer, metastatik
Limfoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab : T4 atau fT4, T3 dan TSH


Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid
Bila hasil lab : non-toksik
Bila hasil lab (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold nodule
syarat sudah menjadi eutiroid
USG tiroid
Pemantauan kasus nodul yang tidak dioperasi
Pemandu pada BAJAH
Sidik tiroid
Bila klinis :ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2x) jinak
Hasil sitologi dengan BAJAH : curiga ganas
Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan
karsinoma tiroid meduler, diperiksakan kalsitonin)
Periksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit
Hashimoto

TERAPI
Sesuai hasil BAJAH, maka terapi :
A. Ganas
operasi tiroidektomi near-total
B.

Curiga
Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC)
Bila hasil = ganas operasi tiroidektomi near-total

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 289

Bila hasil = jinak operasi lobektomi, atau


tiroidektomi near-total
alternatif : sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule operasi
C. Tak cukup/sediaan tak respresentatif

Jika nodul solid (saat BAJAH): ulang BAJAH


Bila klinis curiga ganas tinggi operasi lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah observasi

Jika nodul kistik (saat BAJAH) : aspirasi


Bila kista regresi Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah

Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi
lobektomi
D

operasi

Jinak
terapi dengan levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis
Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari)

Dilanjutkan 3 x 25 ug (3-4 hari)


Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis dosis naik
menjadi 2x 100 ug sampai 4-6 minggu kemudian evaluasi TSH
(target 0,1-0,3 ulU/L

Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan


Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau
tidak (berhasil bila mengecil > 50% dari volume awal)
Bila nodul mengecil atau tetap
L-tiroksin distop dan diobservasi

Bila setelah itu struma membesar lagi maka L-tiroksin


dimulai lagi (target TSH 0,1 0,3 ulU/L
o Bila setelah l-tiroksin distop, struma tidak berubah, observasi
saja.
Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi
obat dihentikan dan operasi tiroidektomi dan dilakukan
pemeriksaan histopatologi hasil PA
o

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 290

o
o

Jinak : terapi dengan L-tiroksin : target TSH 0,5 3,0 ulU/L


Ganas terapi dengan L-tiroksin :
- Individu dengan resiko ganas tinggi target TSH 0,01 0,05
ulU/L

- Individu dengan resiko ganas rendah target TSH 0,05 0,01 ulU/L
KOMPLIKASI
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis
akut/subakut
PROGNOSIS
Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis
WEWENANG
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Metabolik Rndokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUNSRI/RSMH

UNIT TERKAIT
Departemen Patologi Klinik FKUNSRI/RSMH
Departemen Patologi Anatomi FKUNSRI/RSMH
Sub bag. Kedokteran Nuklir, Departemen Radiologi FKUNSRI/RSMH
Sub bag. Bedah Tumor, Departemen Bedah FKUNSRI/RSMH

Referensi
1. Kariadi SHKS Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al
(eds0 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 3 Jakarta, Balai
Penerbit FKUI : 757-65
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS,
Sudoyo HAW, Effendi S, Setiadi S, Gani RA, Alwi I (eds) Naskah
Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997.
Jakarta,1997:207-13

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 291

3. Subekti I Struma Nodose Non-Toksik (SNNT) In Simadibrata M.


Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA. Masjoer A (eds) Pedoman
Diagnosis dan terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:
187-9
4. Sobardi S. Pemeriksaan Diagnostik Modul Tiroid. Makalah Jakarta
Endokrinology Meeting Jakarta 18 Oktoter 2003.
5. James JL. Weetman AP. Disorders of the Thyroid G:and. In
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL. Longo DL, Jameson JL.
Harrison's Prin.ciples of Internal :5"ed. New York: McGraw-Mit1;
200,:2060-84.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 292

KISTA TIROID
Kode : ICD.E07
PENGERTIAN
Nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10-25% dari seluruh nodul
tiroid
Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid.
Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu
keganasan
Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid

DIAGNOSIS
Seperti pada struma nodosa non toksik :
Anamnesis umum

Sejak kapan benjolan timbul


Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
Cara membesarnya : cepat atau lambat
Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi beberapa
benjolan atau hanya pembesaran leher saja
Riwayat keluarga
Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
Perubahan suara
Gangguan menelan, sesak nafas
Penurunan berat badan
Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik
Umum
Lokal

Nodus tunggal atau majemuk atau difus


Nyeri tekan
Konsistensi
Permukaan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 293

Perlekatan pada jaringan sekitarnya

Pendesakan atau pendorongan trakea

Pembesaran kelenjar getah bening regional

Pembertons sign
Penilaian resiko keganasan

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnosa


penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan
kemungkinan kanker tiroid.
Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak
Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid
autoimun

Gejala hipo atau hipertiroidisme

Nyeri berhubungan dengan nodul

Nodul lunak mudah digerakkan

Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke
arah keganasan tiroid :

Umur < 20 tahun atau > 70 tahun

Gender laki-laki

Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas

Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)

Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa


(juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak)

Riwayat keluarga kanker tiroid meduler

Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit


digerakkan

Paralisis pita suara

Temuan limfadenopati servikal

Metastasis jauh (paru-paru, dll)


Langkah diagnostik I : TSHs, FT4

Bila hasil Non-toksik langkah diagnostik II


fungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid :
DIAGNOSIS BANDING
o
o
o

Kista tiroid
Kista degenerasi
Karsinoma tiroid

PEMERIKSAAN PENUNJANG

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 294

USG tiroid
Dapat membedakan bagian padat dan cair
Dapat untuk memandu BAJAH menemukan bagian solid
Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik
sonolusen, dinding tipis
Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) pada bagian yang solid

TERAPI
Fungsi aspirasi seluruh cairan kista
Bila kista regresi observasi
Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah
fungsi aspirasi dan observasi
Bila kista rekurns, klinis kecurigaan ganas tinggi
operasi lobektomi

Komplikasi
Tidak ada
PROGNOSIS
Dubia ad bonam. Tergantung tipe dan jenis histopatologinya
WEWENANG
Dokter Spesialis penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUNSRI/RSMH
UNIT TERKAIT
Departemen Patologi Klinik FKUNSRI/RSMH
Departemen Patologi Anatomik FKUNSRI/RSMH
Departemen Bedah Sub bag. Bedah Tumor, FKUNSRI/RSMH

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 295

Referensi
1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et at.
(eds). Buku Ajar II Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit
FKU1:757-65,
2

Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum


HMS, Sudoyo HAW, Effendy Setiati S, Gani RA,.Al;nri I (Pds).
Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam
1997. Jakarta, 199I:207-13.

3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Taksik (SNNT). In Simadibrata M,


Setiati S, Alwi I, Maryanto Gani RA, Mansjoer A (eds). Pedoman
Diagnosis dan- Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dak Jakarta: Pusat
Informasi
dan Penerbitan
Bagian
Ilmu
Penyakit Dalam
FKUI,1999:187-9. 4.Soe;Dardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul
Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18
Oktober 2003.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 296

3.10.
GERIATRI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 297

MALNUTRISI
Kode : ICD.E46
DEFINISI
Malnutrisi
energi-protein
adalah
ketidakseimbangan antara asupan
kebutuhan tubuh.

keadaan
yang
disebabkan
kalori dan protein dengan

Malnutrisi pada usia lanjut sering dipengaruhi berbegai hal seperti


keadaan gigi-geligi, gangguan menelan,masalah neuropsikologis
(depresi, demensia), keganasan, dan imobilisasi.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Asupan zat gizi sehari-hari (food recall), penurunan berat badan ,
gangguan mengunyah, gangguan menelan, ststus fungsional (aktivitas
hidup sehari-hari terutama yang berhubungan dengan penyiapan
proses makanan), penyakit kronis (termasuk ada tidaknya diare
kronik), adanya depresi atau demensia ,serta penggunaan obat-obatan
Pemeriksaan Fisik
Higiene rongga mulut, status gigi-geligi, status neurologis(gangguan
menelan), kulit yang kering/bersisik,rambut kemerahan, massa otot,
edema tungkai
Antropometrik
Lingkar lengan atas,lingkar betis, tebal lapisan kulit triseps, indeks
massa tubuh
Laboratorium
Hemoglobin, jumlah limfosit, albumin, prealbumin, kolesterol darah,
kadar vitamin/mineral dalam darah

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 298

Pemeriksaan penunjang
DPL,
albumin,prealbumin,kolesterol,
elektrolit,bioelectrical impedance analysis

kadar

vitamin/mineral,

TERAPI
Evaluasi umum dan kebutuhan nutrisi

Evaluasi penyebab dan faktor risiko timbulnya malnutrisi ;


faktor sosial ekonomi(kemiskinan, pengetahuan rendah),
neuropsikologis(adanya demensia atau depresi), dan
kondisi fisik-medik(gangguan fungsi organ pencernaan
serta adanya penyakit-penyakit akut dan kronis)

Evaluasi status fungsional; terutama yang berhubungan


dengan penyiapan dan proses makan

Menentukan jumlah energi dan komposisi zat gizi

Terapi / dukungan nutrisi

Melalui enteral/parenteral

Terapi lain
Pada pasien keganasan atau adanya anokresia dapat diberikan
peningkat nafsu makan seperti megasterol asetat
KOMPLIKASI
Status imunitas menurun, pemulihan penyakit menjadi lambat
PROGNOSIS
Dubia

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 299

INSTABILITAS DAN JATUH


Kode : ICD.M25.3
DEFINISI
Instabilitas membuat seseorang berisiko jatuh. Sistem saraf dan
muskuloskletal dikenal sebagai sistem kontrol postural, yang berfungsi
mengontrol posisi tubuh.Jatuh terjadi apabila sistem pengontrol tubuh
gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi
terhadap landasan penopang.
DIAGNOSIS
Subyektif
keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa
dizzeness,vertigo,rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk
mobilisasi mandiri; atau terdapat riwayat jatuh.
Obyektif
1. Faktor risiko intrinsik; faktor lokal dan faktor sistemik
2. Faktor risiko ekstrinsik/lingkungan
Faktor intrinsik lokal :
osteoarthritis genu/vertebra lumbal
plantar fascitis
kelemahan otot kuadrisep femoris
gangguan ; pendengaran, penglihatan,alat keseimbangan
Faktor intrinsik sistemik:

penyakit paru ; PPOK, pneumonia


penyakit jantung; MCI, gagal jantung

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 300

infeksi saluran kemih


gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, stroke,dan
TIA)
DM
Hipertensi tak terkontrol
Gangguan saraf; paresis inferior, penyakit atau sindrom
parkinson, demensia
Gangguan
metabolik;hiponatremia,
hipoglikemia,hiperglikemia,hipoksia
Faktor risiko ekstrinsik :

Alas kaki tidak sesuai


Pakaian /kain bawah tubuh terjuntai
Lampu ruangan kurang terang
Lantai licin,basah, atau tidak rata
Furnitur yang terlalu rendah atau tinggi
Tangga yang tak aman
Kamar mandi dengan bak mandi/closet yang terlalu rendah
atau tinggi dan tak berpegangan
Benda-benda dilantai yangmembuat terantuk

PEMERIKSAAN PENUNJANG
-TUG
(the
timed
up-and-go
test),
uji
menggapai
fungsional(fungsional reach test), uji keseimbangan Berg(the
Berg balance sub-scale of the mobility index)
-Pemeriksaan penunjang untuk menemukan penyebab:
1. Pemeriksaan neurologis
2. CT-scan bila ada indikasi
3. DPL
4. Elektrolit
5. Analisa gas darah
6. Urin lengkap dan kultur resistensi urin
7. Hemostase darah dan agregasi trombosit
8. Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki
9. EKG
10.Identifikasi faktor domisili
TERAPI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 301


Mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh,
mengobati berbagai kondisi
yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi
fisik dan penyuluhan
berupa; latihan cara berjalan, penguatan otot,alat bantu,
sepatu atau sandal yang
sesuai,pencahayaan cukup,pegangan, lantai tidak licin, dan
sebagainya.
Latihan desentisasi faal keseimbangan, latihan fisik
(penguatan otot,fleksibilitas sendi, dan keseimbangan),
latihan Tai Chi, adaptasi perilaku
Perubahan lingkungan

PENGKAJIAN GERIATRI PARIPUNA / COMPREHENSIVE


GERIATRIC ASSEMENT (CGA)
Kode : ICD
Pendekatan dan evaluasi medis pasien berusia lanjut ( 60 tahun)
berbeda dengan pasien dewasa muda.
DEFINISI
Suatu analisis multi-disiplin yang dilakukan oleh seorang geriatris atau
suatu tim
interdisipliner geriatris atas seseorang penderita usila
untuk mengetahui kapabilitas medis , fungsional, psiko-sosial agar
dapat dilakukan penatalaksanaan menyeluruh dan berkesinambungan
(Shaw et al,1984;Mykita,1992)
Komponen pengkajian paripurna pasien geriatri meliputi :
-

Status
Status
Status
Status

fungsional
kognitif
emosinal
nutrisi

STATUS FUNGSIONAL
Mengkaji status fungsional berarti melakukan pemeriksaan dengan
instrumen tertentu untuk membuat penilaian menjadi obyektif ,dapat
menggunakan indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of daily

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 302

living/ADL). Pasien dengan status funfsional tertentu


akan
memerlukan
berbagai
program
untuk
memperbaiki
status
fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih, mempersingkat
lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan
kepuasan pasien.
( lampiran 1)
STATUS KOGNITIF
Penapisan, adanya gangguan faal kognitif secara objektif antara lain
dapat dilakuka pemeriksaan neuropsikiatrik seperti , the Mini-mental
State Examination (MMSE) (lampiran 2)
STATUS EMOSIONAL
Untuk mengkaji satatus emosional
menggunakan
Geriatric
Depression Scale yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan. Instrumen
ini bertujuan untuk menapis adanya gangguan depresi atau gangguan
penyesuaian (lampiran 3)

STATUS NUTRISI
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan :
1. Anamnesis gizi (anamnesis asupan) : kilo kalori energi, gram
protein,gram lemak rata rata yang dikonsumsi
2. Pemeriksaan antropometrik : indeks masa tubuh, dengan
memperhatikan perubahan tinggi tubuh.
3. biokimiawi : hemoglobin, kadar
4.
LAMPIRAAN I
INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPA SEHARI HARI BARTHEL (AKS BARTHEL)
N
O

FUNGSI

SKOR

Mengendalikan
rangsang
pembuangan tinja

0
1
2

KETERANGAN

NILAI
SKOR

Tak terkendalikan / tak teratur (perlu


pencahar)
Kadang-kadang tak
terkendali(1xseminggu)
Terkendali teratur

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 303

Mengendalikan
rangsang
berkemih

Tak kerkendali atau pakai kateter

Kadang-kadang tak
terkendali(hanya1x/24 jam)

Mandiri
3

Membersihkan diri
(seka muka, sisir
rambut, sikat gigi)

Butuh pertolongan orang lain

Mandiri

Penggunaan
jamban, masuk
dan keluar
(melepaskan,
memakai celana,
membersihkan,
menyiram)

Tergantung pertolongan orang lain

Perlu pertolongan pada beberapa


kegiatan tetapi dapat mengerjakan
sendiri beberapa kegiatan yang lain

Makan

Tidak mampu

Perlu ditolong menolong makanan

Mandiri

Tidak mampu

Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk


(2 orang)

Berubah sikap
dari berbaring ke
duduk

Mandiri
2

2
3
7

Berpindah
/berjalan

Memakai baju

Bantuan minimal 1 orang


Mandiri

Tidak mampu

Bisa (pindah) dengan kursi roda

Berjalan dengan bantuan 1 orang

Mandiri

Tergantung orang lain

Sebagian di bantu (misalnya mengancing


baju)

Mandiri

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 304

10

Naik turun harga

Mandi

Tidak mampu

Butuh pertolongan

Mandiri

Tergantung orang lain

Mandiri

TOTAL SKOR

Keterangan : SKOR AKS BARTHEL


20
: Mandiri
Ketergantunga berat

58

12 19
: Ketergantungan ringan
Ketergantungan total

04

9 11

: Ketergantungan sedang

LAMPIRAN II
ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT)
STATUS MENTAL
A. Umur tahun
B. Waktu / jam sekarang
.
C. Alamat tempat tinggal

D. Tahun ini

..
E. Saat ini berada di mana
.
F. Mengenali orang lain (dokter, perawat,
penanya)
G. Tahun kemerdekaan RI
..
H. Nama Presiden RI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

NILAI
0.Salah
0.Salah
0.Salah
0. Salah
0. Salah
0.Salah

1.Benar
1. Benar
1. Benar
1. Benar
1. Benar
1. Benar
1. Benar
1. Benar
1. Benar
1. Benar
1. Salah

0.Salah
0.Salah
0. Salah

Page 305

I. Tahun kelahiran pasien atau anak terakhir


..
J. Menghitung terbalik ( 20 s/d 1)

K. Perasaan hati ( afeksi)

0. Salah
0. Salah

A.
B.
C.
D.
E.

Baik
Labil
Depresi
Gelisah
Cemas

Total Skor :

(diisi oleh petugas)


Keterangan :
Skor AMT
0 -3

; Gangguan Ingatan berat

4 7 : Gangguan Ingatan sedang


8 10 : Normal
LAMPIRAN III

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)

Nama Responden :
Pewawancara :

Nama

Umur Responden :
Wawancara :

Tanggal

Pendidikan
mulai
Nilai
Maksimun

Jam

:
Nilai
responden
ORIENTASI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 306

Sekarang (hari- tanggal bulan) berapa dan


malam apa?
Sekarang kita berada di mana? (nama rumah
sakit atau instansi, jalan, nomor rumah, kota,
kabupaten, propinsi)
REGISTRASI

Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda,


misalnya : satu detik untuk tiap benda.
Kemudian mintalah responden mengulang ke
tiga nama benda tersebut.
Berilah nilai I untuk tiap jawaban yang benar,
bila masih salah, ulangi penyebutan ke tiga
nama benda tersebut sampai responden dapat
mengatkannya denga benar :
(bola, kursi, sepatu)
Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah :
kali

ATENSI DAN KALKULASI


Hitunglah berturut-turut selang 7 angka mulai
dari 100 ke bawah. Berhenti setelah 5 kali
hitungan (93-86-79-72-65). Kemungkinan lain.
Ejalah kata dengan lima huruf, misalnya DUNIA
dari akhir ke awal / dari kanan ke kiri : AINUD
Satu (1) nilai untuk setiap jawaban yang benar.

MENGINGAT
Tanyakan kembali nama ke tiga benda yang
telah disebut diatas. Berikan nilai 1 untuk tiap
jawaban yang benar.

BAHASA
a. Apakah nama benda ini ? perlihatkan
pinsil dan arloji ( 2 nilai)
b. Ulangi kalimat berikut : JIKA TIDAK, DAN
ATAU TAPI ( 1 nilai)
c. Laksanakan 3 buah perintah ini :
peganglah selembar kertas dengan
tangan kananmu, lipatlah kertas itu pada

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 307

Jumlah
niali

pertengahan dan letakkan di lantai ( 3


nilai)
d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut :
PEJAMKAN MATA ANDA
(1 nilai)
e. Tulislah sebuah kalimat
( 1 nilai)
f. Tirulah gambar ini
( 1 nilai)
Tandailah tingkat kesadaran responden pada
garis absis di bawah ini dengan huruf X

SADAR
KOMA

SOMNOLEN

STUPOR

Jam selesai
Tempat wawancara
Lembar Lampiran MMSE (BAHASA)

BACALAH DAN LAKSANAKAN PERINTAH BERIKUT :


PEJAMLAH MATA ANDA !

TULISLAH SEBUAH KALIMAT

.
.

TIRULAH GAMBAR INI !

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 308

LAMPIRAN 4
GERIATRIC DEPRESSESION SCALE (GDS)
No

Pertanyaan

Jawaban

1
2

Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan


anda ?
Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan
dan minat atau kesenangan anda ?
Apakah anda merasa kehidupan anda kosong ?
Apakah anda sering bosan ?
Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan
?
Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran
bahwa anda tidak dapat keluar dari pikiran anda?
Apakah anda merasa mempunyai semangat yang
baik setiap saat ?
Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang
uruk akan terjadi pada diri anda ?
Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar
hidup anda ?

YA TIDAK
YA TIDAK

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

YA TIDAK
YA TIDAK
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

Page 309

13
14

Apakah anda sering merasa tidak berdaya ?


Apakah anda sering merasa resah dan gelisah ?
Apakah anda lebih senang berada di rumah
daripada pergi keluar rumah dan melakukan hal-hal
yang baru?
Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa
depan anda?
Apakah anda merasa memiliki banyak msalah
dengan daya ingat anda dibanding kebanyak orang?
Apakah menurut anda hidup anda saat ini
menyenagkan?
Apakah anda sering merasa sedih ?
Apakah saat ini anda merasa tidak berharga ?
Apakah anda santa mengkhawatir masa lalu anda ?
Apakah anda merasa hidup ini sangat menai\rik dan
menyenangkan ?
Apakah sulit bagi anda untuk memulai sesuatu hal
yang baru?
Apakah anda merasa penuh semangat?
Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada
harapan ?
Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan
yang lebih baik dari anda?
Apakah anda sering meras a sedih terhadap hal
hal kecil ?
Apakah anda sering merasa ingin menangis?
Apakah anda mempunyai masalah dalam
berkonsentrasi?
Apakah anda merasa senang ketika bangun di pagi
hari ?
Apakah anda lebih memilih untuk tidak mengikuti
pertemuan pertemuan social / bermasyarakat?
Apakah mudah bagi anda untuk membuat
keputusan?
Apakah pikiran anda secerah biasanya?

15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

YA TIDAK
YA TIDAK
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

YA
YA
YA
YA
YA

TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK

YA TIDAK
YA TIDAK

SKOR : Hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal


Setiap jawaban bercetak tebal mempunayi nilai 1
Skor antara 5 9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
Skor 10 atau lebih mempunyai depresi

SINDROM DELIRIUM AKUT


Kode : ICD. F05
DEFINISI
Sindrom mental organik yang ditandai dengan gangguan kesadaran
dan atensi serta
perubahan kognitif atau gangguan persepsi yang
timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 310

DIAGNOSIS
-

Kriteria diagnosis menurut DSM-IV-TR meliputi : gangguan


kesadaran
yang disertai penurunan kemampuan untuk
memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian,
perubahan kognitif (gangguan daya ingat, disorientasi, atau
gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang
bukan akibat demensia.
Gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari)
dan cenderung berfluktuasi .

Faktor Pencetus :
a. Gangguan metabolik (hipoksia, hiperkarbia, hipo atau
hiperglikemia, hiponatremia, azotemia)
b. Infeksi (sepsis,pneumonia, infeksi saluran kemih)
c. Penurunan cardiac output (dehidrasi, kehilangan darah
akut, infark miokard akut, gagal jantung kongestif
d. Strok (korteks kecil)
e. Obat-obatan (terutama antikolinergik)
f. Intoksikasi (alkohol)
g. Hipo atau hipertrmia
h. Lesi sistem saraf pusat
i. Psikosis akut
j. Pemindahan kelingkungan yang baru/tidak familiar
k. Impaksi fakal
l. Retensi urin

Faktor Risiko:
a. Gangguan kognitif
b. Usia 80 tahun
c. Fraktur
d. Infeksi
e. Pria
f. Obat antipsikotik atau analgesik narkotik
g. Malnutrisi
h. Penambahan 3 obat atau lebih
i. Penggunaan kateter urin

DIAGNOSIS BANDING
- Demensia
- Psikosis fungsional

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 311

- Kelainan neurologis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

Neurologis : deteksi defisit neurologis fokal


CT Scan : bila ada indikasi
Darah : perifer lengkap, kimia darah : elektrolit, ureum,
kreatini, gula darah, analisis gas darah
Urin : - urin lengkap
- kultur resistensi urin

- Rotgen torak
- EKG
TERAPI
- Oksigen, pasang infus dan monitor
- Aasi faktor pencetus
- NGT
- Kateter urin
- Awasi kemungkinan imobilisasi
- Kaji status hidrasi secara berkala
KOMPLIKASI
- Fraktur, hipotensi sampai rejatan, trombosis vena dalam, emboli
paru, sepsis.
PROGNOSIS
Dubia

ULKUS DEKUBITUS
Kode : ICD.L89
DEFINISI
Lesi yang disebabkan oleh tekanan yang menimbulkan kerusakan
jaringan di bawahnya
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 312

DIAGNOSIS
- Adanya faktor risiko :
a. Imobilisasi
b. Inkontinensia
c. Fraktur
d. defisiensi nutrisi (terutama vit.C dan albumin)
e. kulit kering
f. peningkatan suhu tubuh
g. berkurangnya tekanan darah
h. usia lanjut.
- Stadium klinis

Stadium I : Respon inflamasi akut terbatas pada epidermis,


tampak sebagai daerah eritema indurasi dengan kulit masih
utuh atau lecet
Stadium II : Luka meluas ke dermis hingga lapisan lemak
subkutan, tampak sebagai ulkus dangkal dengan tepi yang jelas
dan perubahan warna pigmen kulit, biasanya sembuh dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu
Stadium III : Ulkus lebih dalam, menggaung, berbatasan dengan
fascia dan otot-otot
Stadium IV : Perluasan ulkus menembus otot hingga tampak
tulang didasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada
tulang dan sendiLuka tekan biasa terjadi di daerah tulang yang
menonjol : sakrum dan kalkaneus, trokanter mayor , maleolus,
tuberositas iskial

DIAGNOSIS BANDING
Osteomielitis : terutama pada ulkus stadium IV
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Darah : DPL, kadar albumin
- Kultur pus (mikroorganisme resistensi)
- Foto tulan
TERAPI
- Eliminasi faktor-faktor resiko

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 313

- Perhatikan status nutrisi: pemberian asam askorbat 500 mg 2


kali sehari, asupan protein yang cukup
- Antibiotik sistemik : bila terdapat selulitis, sepsis, atau
osteomielitis. Klindamisin dan gentamisin dapat berpenetrasi
disekitar ulkus
- Debridement jaringan nekrotik
- Penggunaan kasur dekubitus
- Perawat luka : kompres kasa dengan NaCl , 2-3 kali sehari
- Tindakan medik berdasarkan derajat ulkus :
a. Dekubitus derajat
dengan air
hangat dan

I : kulit kemerahan dibersihkan


sabun ,diberi lotion , kemudian

dimassase 2-3
kali/hari
b. Dekubitus derajat II : dapat diberikan salep topikal
c.Dekubitus derajat III: usahakan luka selalu bersih dan
eksudat
dapat mengalir
d. Dekubitus derajat IV: semua langkah a,,b,c, tetap
dikerjakan dan
jaringan nekrotik harus dibersihkan
KOMPLIKASI
Sepsis
PROGNOSIS
Dubia ad bonam

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 314

KONFUSIO
Kode : ICD.R41.8
DEFINISI
Sindrom yang ditandai dengan gambaran klinik utama adanya
gangguan kesadaran akut yang fluktuatif (terutama malam hari,
sundowning), gangguan kognitif, proses pikir yang tidak terorganisasi
dengan baik, gangguan psikomotor, siklus bangun-tidur abnormal
ETIOLOGI
Penyebab intra serebral
- Ensefalopati hipertensif
- Edema serebral
- TIA
- SOL yang cepat membesar
- Hidrosefalus
- Defisiensi vitamin B12
- Ensefalopati wernicke
- Psikosis
- Meningitis/ensefalitis
- Penggunaan sedatif/transquilizer/hipnotik berlebihan

Penurunan pasokan nutrisi serebral


Penyebab kardiovaskular
- Infark miokard
- Iskemia koroner akut
- berbagai aritmia
- Gagal jantung
- Endokarditis, miokard
Penyebab respiratorik
- Infeksi paru
- Emboli paru
- PPOK
- Bronkiektasis, abses paru, efusi paru, pneumothoraks

Iatrogenik dan sebab lain


- Obat hipotensif poten
- Perdarahan dan anemia
- Hipoglikemia
- Keracunan

Penyebab ekstra serebral


Penyebab toksik

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 315

- Infeksi misalnya infeksi paru, ISK, endokarditis


bakterialis subakut, dan lainlain
- septikemia dan toksemia
- Alkoholisme

Kegagalan mekanisme homeostatik


- DM ( ketoasidosis, asidosis laktat, hipoglikemia )
- Gagal hati
- Gangguan elektrolit (hiponatremia,
hipokalemia,hiperkalemia )
- Hipotermia
- Dehidrasi
- Hipertiroidisme, miksedema
- Pireksia

Lain-lain
- Retensio urin
- Nyeri hebat
- Hilang/gangguan sensorik mendadak ( kebutaan )
- Perubahan lingkungan mendadak
- Ileus paralitik
- Depresi
- Karsinomatosis
- Insomnia
- Obat-obatan

DIAGNOSIS BANDING
Demensia
Afasia ( terutama afasia wernicke)
Kelainan psikiatrik : skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan
atensi
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Berdasar penilaian klinis dan disesuaikan keadaan pasien :


Pemeriksaan darah : DPL, elektrolit, analisa gas darah, glukosa
darah, ureum, kreatinin, tes fungsi hati, albumin, fungsi tiroid,
kadar vitamin B12, kortisol dan amonia darah jika diperlukan
Urinalisis lengkap, kultur vdan toksikologi jika perlu
Pencitraan : ro ngen thorak, CT scan otak, pada pasien dengan
gejala neurologik fokal yang baru/ riwayat trauma kepala,
dugaan ensefalitis
Punksi lumbal : pasien meningismus, papiledema
EKG
Neurofisiologi : EEG menyingkirkan DD/ delirium

KRITERIA DIAGNOSIS

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 316

Menurut DSM IV TR
Gangguan kesadaran dgn me kewaspadaan terhadap
lingkungan & ketidak mampuan memusatkan perhatian,
mempertahankan/ mengalihkan perhatian/konsentrasi seperti
normal
Perubahan fungsi kognitif (gangguan memori, disorientasi,
gangguan
berbahasa)
atau
gangguan
persepsi(ilusi,
halusinasi)yang bukan karena demensia yang mungkin
sebelumnya sudah ada atau berkembang
Gangguan terjadi akut (beberapa jam-beberapa hari),
berfluktuasi
Bukti dari anamnesis/pem fisik/laboratorium kondisi medik
tertentu atau intoksikasi/efek samping/putus obat
Diagnosis ditegakkan dengan algoritme Confussion Assesment
Method (CAM)
yang menjadi baku emas diagnosis (sensitivitas 94-100%,
spesifisitas 90-95%)
Algoritme CAM meliputi :
- Awitan yang akut

- Gangguan perhatian/konsentrasi ditambah dengan salah


satu dari gannguan
proses berpikir atau gangguan kesadaran
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama : menemukan & mengatasi pencetus & faktor
predisposisi
1. Identifikasi penyebab & tatalaksana yang sesuai
2. Terapi suportif : melindungi jalan napas, tata laksana
hipoksia, menjaga asupan nutrisi, mencegah ulkus dekubitus
3. Menciptakan lingkungan yang nyaman, sesuai untuk pasien :
kacamata, alat bantu dengar
4. Terapi farmakologik mengatasi gejala
Hanya pada pasien yang berpotensi mencelakakan diri dan
orang lain

Neuroleptik
1. Anti psikotik konvensional : haloperidol (obat pilihan) dosis
rendah 0,5-1,0 mg / kali
2. Antipsikotik atipikal : risperidone Benzodiazepin
Umumnya diberikan lorazepam hingga mencapai 2 mg setiap 4
jam IV/IM
Pada pasien kelainan fungsi hati lorazepam diutamakan (dengan
menurunkan dosis)

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 317

Dosis obat
Haloperidol oral 0,5-1 mg. 2x/hari, jika perlu dapat setiap 4 jam
IM : 0,5-1 mg, observasi 30 menit, ulangi jika perlu
Risperidone : oral 2 x 0,5 mg
Olan zapine : 2,5 5 mg 1x hari
Quetia pine : oral 2x26 mg hati
Lorazepam oral : 0,5-1 mg
IV : hanya pada kegawatdaruratan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 318

BAB IV
DOKUMENTASI

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 319

DAFTAR PUSTAKA

1.

Panggabean MM, Suryadipraja RM, Gagal Jantung Akut dan Gagal


Jantung Kronik. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro,
Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI :.p. 140-54

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 320

2.

3.
4.

5.

6.
7.
8.
9.

10.
11.

12.

13.
14.

15.
16.

ACC/ AHA. Guidelines For The Evaluation And Management Of


Choric Heart Failure In Adult : Executive Summary. A. Report of
American College of Cardiology/ American Heart Association Task
Force on Practive Guidelines. Circulation 2001 ; 104;2995-3007
Alwi I. Diagonis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektif pada
Penyalah Guna obat Intravena
Harun S Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sidnrom
Koroner Akut. In Bawzier LA, Alwi I, Syam AF, Gustaviani R,
Mansjoer A, ed, Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit
Kardiovaskular, Jakarta ; Pusat Informasi dn Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2001. P : 32- 42
Uyainah A. Standarisasi Baru dalam Diagnosis dan terapi PPOK. In
: Setiati S. Alwi I. Kasjmir YI, Bawazier LA, Lydia A, Syam AF, et,
editor. Prosiding Simposium Current Diagnosis and Treatment
Internal Medicine 2002, Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2002. P. 55-64
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) 2012.
Sulaiman A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati; 1st ed., Jayabadi:
Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer HM S, 2007:211-227.
Omata M, et al. APASL consensus statements and management
algorithms for hepatitis C virus infection. Hepatol Int. e pub. DOI
10.1007/s12072-012-9342-y.
Reksodiputro Ah. Irawan C.Limfoma non Hodgin, In : Suyono,S.
Waspadji, S LesmanaL. Alwi,I. Setiati, S. Sundara,H.dkk, editors,
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Edisi III : Balai Penerbit
FKUI ; 2001.p. 607-21
Non Hodgkins Lymfomen Hemotologie Klapper. 8 th ed. Leids
Unirsitair Medisch Centrum Leiden Juni. 1999 ; 82-98
Abdulmuthalib. Limfoma non Hodgkin, In : Simadibrata M, Setiati,
S. Alwi, I. Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A, editors, Pedoman
diagnosis dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta :
Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI-RSCM : 1999.p.113-4
Salender, H. Anemia aplatic. Dalam : Suyono S. Waspadji,S.
Lesmana, L.Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H.dkk Buku ajar Ilmu
Penyakir Dalam. Jilid II, Edisi III, Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2001 :
501-8
Aplastische anemia. Hemotologie Klapper. 8 th ed. Leids
Universitair Medisch Centrum Liden. Juni 1999 ; 12-16
Wiidjanarko A. Anemia aplsatik. In : Simadibrata M, Setiati S, Alwi
I, Oemardi M, Gani AR, Mansjoer A, eds. Pedoman diagnosis dan
terapi di bidang Ilmu penyakait dalam. Jakarta : Pusat Informasi
dan Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI RSCM ; 1999.p.
102-3
Acute leukemie algemen. Hematologie Klapper. 8 th ed. Leids
Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni 1999 ; 20-1
Abdulmuthalib. Leukima akut., In : Simadibrata M, Setiati, S. Alwi,
I. Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A, editors, Pedoman diagnosis
dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Pusat

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 321

17.
18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSCM : 1999.p.110-3


Idiopatische trombocytopenische purpura. Hemotologie Klapper. 8
th ed. Leids Universitair Medisch Centrum Liden. Juni 1999 ; 113-7
Djoerban Z. Inmune trombocytopenic. In : Simadibrata M, Setiati,
S. Alwi, I. Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A, editors, Pedoman
diagnosis dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta :
Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI-RSCM : 1999.p.104-8
Supandiman, I. Trombosis. Dalam : Suyono S. Waspadji,S.
Lesmana, L.Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H.dkk Buku ajar Ilmu
Penyakir Dalam. Jilid II, Edisi III, Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2001 :
588-91
Tambunan, KL. Terapi antikoagulan pada trombosis vena dalam.
Dalam : Setiati S. Alwi I. Kasjmir YI, Bawazier LA, Lydia A, Syam
AF, Gustaviani R. CurrentTreatment Internal Medicine 2000. PIP
IPD FKUI, Jakarta 2000 ; 19-22
Atmakusuma, D. Perbedaan trombosis vena dalam dan trombosis
arteri akut dalam hal diagnosis dan tatalaksana. Dalam :
Prodjosudjadi W, Setiati S, Alwi I, Pertemuan Ilmiah Nasional PB
Papdi 2003, therapeutic update and workshop in internal
medicine PIP IPD FKUI Jakarta 2003 : 193-205
Tambunan, KL. Peran terapi medicamentosa pada DVT Kronik.
Dalam : Simadibrata M,. Alwi I. Kasjmir YI, Bawazier LA, Lydia A,
Syam AF, Mansjoer A. Penyakit kronik dan degeneratif,
penatalaksanaan dalam praktek sehari hari. PIP IPD FKUI,
Jakarta 2003 ; 9- 13
Tambunan, KL. Koagulasi intravascular diseminata. Dalam :
Suyono S. Waspadji,S. Lesmana, L.Alwi, I. Setiati, S. Sundaru,
H.dkk Buku ajar Ilmu Penyakir Dalam. Jilid II, Edisi III, Balai
Penerbit FKUI. Jakarta 2001 : 555 - 64
Tambunan, KL.Diagnosis dan penatalaksanaa koagulasi
intravascular diseminati . In Suberkti , I, Lydia A, Frumende ,
Syam AF, Mansjoer A. Suiprohita, Penatalaksanaan
kegawatdarurat di bidang Ilmu Penyakit Dalam. PIP IPD FKUI,
Jakarta 2001 ; 25 -31
Tambunan, KL. Trombosis dan trombositosis esensial. In :
Atmakusuma A, Uyainah. A, Irawan , C. Suhendro. Current
diagnosis and treatment in Internal Medicine 2003. PIP IPD FKUI,
Jakarta 2003 ; 94 - 9
Essentiele trombocytemic. Hematologie Klapper 8 th. Ed. Leids
Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni 1999 ; 50-1

27.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS PENYAKIT DALAM

Page 322

Anda mungkin juga menyukai