Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit kronis yang menyerang
salurannapas bagian atas dan seringkali dijumpai pada anak-anak.
Penyakit ini cukupmendapat perhatian serius karena prevalensinya yang cukup
tinggi di berbagai negara berkembang.
Berdasarkan sebuah penelitian

tentang

asma

yang

dilakukan diAmerika Serikat, pada anak-anak dengan usia


b e r k i s a r 1 2 t a h u n d i S o u t h Wa l e s , prevalensi riwayat mengi
( wheezing ) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun1973 menjadi
22% pada tahun 1988. Sedangkan dalam prevalensi penyakit asma
did u n i a , t e r n y a t a p o p u l a s i p e n d u d u k d i C i n a y a n g m e n g i d a p
p e n y a k i t a s m a l e b i h rendah jika dibandingkan dengan negara-negara barat.
Adapun beberapa hal yang diduga menjadi
penyebab

m e n i n g k a t n y a prevalensi

asma

maupun

meningkatnya penyakit alergi diantaranya yaitu tingginya t i n g k a t


p o l u s i u d a r a , b a i k d i d a l a m r u a n g a n ( indoor )

maupun

di

l u a r r u a n g a n ( outdoor ).
Polusi udara yang terjadi di dalam ruangan seperti
d e b u ruangan yang jarang dibersihkan dan juga kadang-kadang asap
rokok. Sedangkan p o l u s i y a n g t e r j a d i d i l u a r r u a n g a n s e p e r t i
asap

yang

maupun

disebabkan

rokok

oleh

kendaraan bermotor,

Polutan-polutan

tersebut

akan

pabrik
berefek

p a d a peningkatan hiperresponsifitas bronkus yang akan menimbulkan gejala


klinis berupasesak napas. Oleh sebab itulah, faktor lingkungan sangat memegang
peranan pentingdalam menentukan manifestasi penyakit ini.

BAB II
ANALISIS KASUS
Identitas Pasien
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Agama
MRS

: Ny. Z
: 46 tahun
: Perempuan
: Dusun VI Natar Lampung Selatan
: Pembantu Rumah Tangga
: Islam
: 18 Mei 2014

Keluhan Utama
Os merasakan sesak napas bertambah berat sejak pagi sebelum masuk rumah
sakit.
Keluhan Tambahan
Batuk berdahak warna hijau (bila sesak kambuh, seperti pada saat MRS)

Riwayat Perjalanan Penyakit


Os datang ke UGD RS. PBA dengan keluhan sesak sejak pagi sebelum
masuk rumah sakit.

Os mengaku terlalu capek kerja. Os makan ikan asin sebelum sesak. Os


mengaku alergi terhadap ikan asin, gorengan, salak, dan es. Sudah kurang lebih 1
tahun Os tidak mengalami sesak. Os mengatakan terpapar asap kayu bakar dalam
beberapa waktu terakhir. Riwayat serangan 1 bulan 2 kali, 1 kali serangan
lamanya 30 menit, biasa menggunakan obat semprot untuk hari-hari (hanya bila
ada serangan).
Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi (+)

Jantung (-)

Asma (+)

Diabetes Mellitus (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : asma (+)


Riwayat Kebiasaan : (-)
Riwayat Alergi:

Ikan asin

Gorengan

Salak

Es

Pemeriksaan Fisik :
Kondisi Umum

Keadaan Umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Dehidrasi

: (-)

Tekanan darah

: 160/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Pernapasan

: 28 x/menit

Suhu

:36,50C

Kondisi spesifik:
Kulit :
warna putih, turgor normal, ikterus tidak ada, sianosis tidak ada, scar tidak ada,
keringat umum tidak ada, pucat pada ekstremitas superior dan inferior,
pertumbuhan rambut normal.
Kepala:
Bentuk normal, ekspresi normal, tidak ada deformitas

Mata:
Mata normal, tekanan bola mata normal, palpebra normal, konjungtiva anemis,
sklera tidak ikterik, lensa normal, pupil isokor, gerakan bola mata normal, visus
normal.
Hidung:
Bagian luar normal, septum normal, mukosa pucat.
Telinga:
Bentuk daun telinga normal, tofi tidak ada, gendang telinga utuh, nyeri tekan
mastoideus tidak ada, liang telinga berisi serumen.
Mulut:
Bibir pucat, mukosa normal, gigi ada karies, lidah tremor, papil lidah licin, tonsil
T1, langit-langit normal, bau napas normal, faring tidak hiperemis.
Leher:
Bentuk simetris, tidak ada bendungan vena jugularis, tidak ada kaku kuduk, tidak
ada tortikolitas, tidak ada pembesaran kelenjar limfe.

Pemeriksaan Thorax:
4

Paru-paru:

Inspeksi: Tipe pernapasan takipnea, bentuk dada normal, sifat pernapasan


torakoabdominal.

Palpasi: fremitus suara normal

Perkusi: sonor

Auskultasi:
o

Ditemukan ronkhi kering terdengar paling nyaring di lapang paru


kanan ICS II-IV

Ditemukan wheezing (+) di seluruh lapang paru

Jantung

Inspeksi: bentuk dada normal

Palpasi: ictus cordis tidak teraba

Perkusi: batas jantung normal

Auskultasi: bunyi jantung normal

Abdomen

Inspeksi: normal

Palpasi: nyeri tekan (-)

Perkusi: timpani

Auskultasi: BU(+)

Ekstremitas atas:
Gerakan bebas, kekuatan motorik normal, tidak ada nyeri sendi, tidak edema,
tidak ada jaringan parut, akral dingin, turgor kembali cepat, clubbing finger tidak
ada.
Ekstremitas bawah:

Gerakan bebas, kekuatan motorik normal, tidak ada nyeri sendi, tidak edema,
tidak ada jaringan parut, akral dingin, turgor kembali lambat, clubbing finger tidak
ada.
Pemeriksaan Penunjang

EKG

GDS

Darah Lengkap

Pemeriksaan Laboratorium:
Hematologi:
1; Hemoglobin

: 15,6 g/dl

(N: 14-18 g/dl)

2; Trombosit

: 278.000 mm3

(N: 200.000-500.000/mm3)

3; Leukosit

: 13.700 mm3

(N: 5000-10.000/mm3)

4; Diff. Count

Basofil

:0

(N: 0-1)

Eosinofil

:0

(N: 1-3)

Batang

:1

(N: 2-6)

Segmen

:80

(N: 50-70)

Limfosit

: 12

(N: 20-40)

Monosit

:7

(N: 2-8)

5; Eritrosit

: 5.17 juta

(N: lk: 4.6-6.2 Ul, wn: 4.2-6.4 Ul)

6; Hematokrit

: 47%

(N: lk: 40-54%, wn: 36-47%)

7; MCV

: 85

(N: 80-96)

8; MCH

: 30

(N: 27-31)

9; MCHC

: 36

(N: 32-36 g/dl)

Kimia Darah:

1; Ureum

: 15 mg/dl

(N: 10-40)

2; Creatinin

: 0.8 mg/dl

(N: lk: 0.9-1.5 mg/dl, Wn: 0.7-1.3 mg/dl)

3; GDS

: 153 mg/dl

Diagnosis Kerja:

Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut + Hipertensi

Asma Bronkiale Akut Persistensi Sedang + Hipertensi (IGD)

Diagnosis Banding:

Bronkhitis

Tidak ada (IGD)

Penatalaksanaan Awal:

Terapi farmakologis :
o

Ivfd RL 20 tpm

Nebu Combivent 1x1

Inj. Dexametasone amp

Inj. Ranitidine amp (IGD)

Terapi nonfarmakologis (opsional)


o

Diet nasi biasa rendah garam

Hindari factor pencetus asma

Tirah baring (bed rest)

Fisioterapi :
;

Breathing control

Deep breathing

Latihan batuk (bila terdapat dahak)

Chest expansion excercise

Postural drainage (bila dahak banyak dan menganggu)

;
o

Speech therapy : cara bicara saat serangan

Terapi okupasi : latihan beraktivitas

Sosiomedik : edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai


penyakitnya

Psikoterapi suportif : mengurangi kecemasan pasien terhadap


penyakitnya

Rencana Pemeriksaan

Rontgen thorax

Spirometri

Kultur sputum

Evaluasi terapi (follow up)

Konsultasi dokter spesialis paru

Prognosis :

Quo ad vitam

: Dubia at bonam

Quo ad functionam

: Dubia at malam

Perkembangan Selama Rawat Inap


18 Mei 2014, 17.30 WIB
S
Sesak, pusing, batuk mulai berkurang
Keadaan umum

A
P

Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
RR
Temperatur

: CM
: 140/100 mmHg
: 80 x/ menit
: 28 x/ menit
: 36,5 C

Asma bronkiale

Ivfd RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1x1g (50mg/kgBB)
8

Inj. Ranitidin 2x1 iv


Inj. Dexamethasone 3x1iv
Ambroxol Syr. 3x1C
Nebu Combivent + flixotid 1:1/12 jam
Aminophyline 1 amp drip/12 jam
Rontgen thorak

19 Mei 2014, 08.00 WIB


S
Sesak berkurang, batuk, kepala pusing, kadang sakit punggung
Keadaan umum

Kesadaran : CM
Tekanan Darah
Nadi
RR
Temperatur

: 140/ 90 mmHg
: 92x/ menit
: 28x/ menit
: 36,7 C

Kepala, Leher : DBN, tak


O Thorax : ronkhi terdengar di lapang paru kanan ICS II-IV, wheezing (+) di
seluruh lapang paru
Abdomen : tak
Pinggang : tak
Ekstremitas : turgor dan pigmentasi DBN, edema (-)
Ro. thorak : pinggang jantung menghilang, berkas bronkovaskular pulmo
dextra lebih jelas dibanding sinistra. Kesan : hipertrofi ventrikel kanan dan
susp.bronkhitis
A

Asma bronkiale (dengan hipertrofi ventrikel kanan + susp.bronkhitis)

P
R

Th/ teruskan
Salbutamol 3x1
-

19 Mei 2014, 17.00 WIB


Sesak, batuk, kepala pusing berdenyut, sakit punggung, kaki sakit saat
S
berjalan
O
Keadaan umum

Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi

: CM
: 140/ 80 mmHg
: 88x/ menit

RR
Temperatur

Asma bronkiale

P
R

Th/ teruskan

: 28x/ menit
: 36,4 C

20 Mei 2014, 06.00 WIB


S
Sesak, batuk dahak berwarna putih, kaki masih sakit
Keadaan umum

Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
RR
Temperatur

: CM
: 140/ 100 mmHg
: 78x/ menit
: 28x/ menit
: 36,0 C

Paru-paru
Suara napas bronkial dan wheezing (+) di akhir inspirasi
A
P
R

Asma bronkiale

Th/ teruskan
Aminophyline 1 amp drip/ 8 jam

21 Mei 2014
Sesak, sakit kepala berdenyut kadang berputar, nyeri kuduk, telinga
S

berdenging (setelah lama punya hipertensi), batuk berdahak putih,

nyeri ulu hati, sakit kaki kiri dari lutut sampai jari
Keadaan umum

Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
RR
Temperatur

: CM
: 140/ 100 mmHg
: 72x/ menit
: 32x/ menit
: 36,2 C

Paru-paru
Auskultasi lapang paru dextra :

Wheezing (+) saat inspirasi dan ekspirasi


Ronkhi kering (+) saat ekspirasi, makin nyaring bila Os

10

menghembuskan napas
Auskultasi lapang paru sinistra :

Wheezing (+) saat ekspirasi


Ronkhi kering (+) saat ekspirasi, makin nyaring bila Os
menghembuskan napas

Asma bronkiale (+ bronkhitis + vertigo ec.hipertensi + OA)

P
R

Th/ teruskan
-

Resume Pulang
Diagnosa akhir : Serangan asma akut + infeksi sekunder
Pemeriksaan fisik kepala, leher, abdomen, dan ekstremitas : DBN, tidak ada
keluhan
Pemeriksaan fisik toraks :

Inspeksi, palpasi, perkusi : DBN

Auskultasi
o

Lapang paru dextra :


;

Wheezing (+) saat inspirasi dan ekspirasi

Ronkhi kering (+) saat ekspirasi, makin nyaring bila Os


menghembuskan napas

Lapang paru sinistra :


;

Wheezing (+) saat ekspirasi

Ronkhi kering (+) saat ekspirasi, makin nyaring bila Os

menghembuskan napas
Pemeriksaan penunjang (rencana) spirometri dan kultur sputum tidak dilakukan
karena keterbatan sarana dan prasarana
Th/ :

Metilprednisolon 2x1

11

Aminophylin 3x1

Salbutamole 3x1

Ambroxol 3x1c

Sefadroksil 2x1

BAB III
PEMBAHASAN ASMA BRONKIALE

3.1; Prevalensi

Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana


terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat
terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar
terjadi pada anak-anak (GINA, 2003).
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari
sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar
5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia

12

sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas,
prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan,
dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 515%.
3.2; Definisi

Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di


seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan
peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi
berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest
tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.
(PDPI, 2006; GINA, 2009). Menurut National Heart, Lung and Blood
Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan
dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas
dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya. Gambar 2.1 Hubungan
antara inflamasi, gejala klinis, dan patofisiologi Asma Sumber: NHLBI, 2007.
3.3; Klasifikasi

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan


klasifikasi (derajat) asma. Lihat tabel 2.1

13

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis


Derajat Asma
I. Intermiten

Gejala
Bulanan
Gejala < 1x /
minggu
Tanpa gejala di
luar serangan
Serangan singkat

II. Persisten
Ringan

Gejala Malam

Faal Paru
APE 80 %
VEP1 80 % nilai
prediksi
2 kali sebulan APE 80 % nilai
terbaik
Variabiliti APE <
20 %

Mingguan

APE 80 %

Gejala > 1x /
VEP1 80 % nilai
minggu, tetapi < 1x /
prediksi
hari
> 2 kali sebulan APE 80 % nilai
Serangan dapat
terbaik
mengganggu aktiviti
Variabiliti APE 20
dan tidur
- 30 %
III. Persisten
Sedang

Harian

APE 60 - 80 %

Gejala setiap hari


VEP1 60 - 80 %
Serangan
nilai prediksi
mengganggu aktiviti
> 1x / seminggu
APE 60 - 80 %
dan tidur
nilai terbaik
Membutuhkan
Variabiliti APE >
bronkodilator setiap
30 %
hari
IV. Persisten Berat
Kontinyu
APE 60 %
Gejala terus
Sering
VEP1 60 % nilai
menerus
prediksi
Sering kambuh
APE 60 % nilai
Aktiviti fisik
terbaik
14

Variabiliti APE >


30 %

terbatas

3.4; Patogenesis

Dasar asma adalah inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Inflamasi


ditandai dengan adanya 6 tanda radang yang semuanya ditemukan baik pada
asma alergik dan nonalergik. Dikenal 2 mekanisme untuk mencapai 2 dasar
asma tersebut yaitu :
a; Jalur imunologis:
a; Inflamasi akut :
i; Tipe cepat :

Alergen terikat pada IgE yang menempel pada sel mast


sel mast terdegranulasi

pengeluaran preformed

mediator (histamin, protease, leukotrin, prostaglandin,


PAF) kontraksi otot polos bronkus (bronkokonstriksi),
sekresi mukus, vasodilatasi.
ii; Tipe lambat (6-9 jam setelah provokasi alergen) :

Aktivasi eosinofil, T CD4+, neutrofil, makrofag.


b; Inflamasi kronik :
i; Aktivasi limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel

epitel, fibroblast, dan otot polos bronkus.


1; Limfosit T CD4+ (subtipe Th2) :

Mengeluarkan sitokin IL-3, 4, 5, dan GM-CSF.

IL-4 menginduksi Th0 ke Th2.

IL-3 dan IL-4 menginduksi Limfosit B menyintesis IgE.

15

IL-3, 5, dan GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi, dan


memperpanjang masa hidup eosinofil
2; Sel epitel :

Mengeluarkan 15-HETE dan PGE2


3; Eosinofil jaringan :

Berperan sebagai efektor untuk mensintesis


beberapa sitokin. Khas ditemukan pada mukosa
penderita asma dalam kondisi teraktivasi namun
tidak spesifik.
4; Sel mast :

Memiliki reseptor IgE yang mana apabila


resptor ini terpicu maka dapat meledakkan
sel

mast.

Berperan

dalam

mengeluarkan

beberapa sitokin.
5; Makrofag :

Banyak ditemukan di saluran napas pun dalam


kondisi normal. Berperan dalam mengeluarkan
beberapa

sitokin

yang

mendukung

proses

inflamasi serta juga berperan dalam proses


airway remodeling.
ii; Airway remodeling :

Merupakan

proses

penyembuhan

(healing)

yang

menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel


yang rusak dengan meregenerasi jaringan yang sama
dan melibatkan jaringan ikat sehingga menghasilkan
skar. Fenomena ini adalah hasil dari inflamasi yang

16

terus-menerus yang akhirnya mengakibatkan perubahan


struktur, dikenal dengan fibrosis, disertai dengan
perubahan berikut :
1; Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran

napas
2; Hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mukus
3; Persistensi sel inflamatorik
4; Pembuluh darah meningkat
5; Peningkatan fibrogenic growth factor
b; Jalur saraf otonom

Inflamasi mengakibatkan hiperesponsif saluran napas yang berlanjut


menjadi obstruksi saluran napas yang reversibel (dapat sembuh kembali)
baik secara spontan maupun dengan pengobatan (tetapi tidak lengkap pada
beberapa pasien) yang dapat terjadi secara bertahap dan perlahan-lahan
lalu menetap maupun terjadi mendadak dan menimbulkan kesulitan
bernapas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen
saluran pernapasan, dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi
mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Obstruksi saluran
napas ini memberikan gejala :

Batuk

Mengi

Sesak napas

3.5; Patofisiologi

Pencetus inflamasi akut saluran napas kerusakan epitel saluran napas


berkurangnya fungsi bronkodilator saluran napas, peningkatan risiko
penetrasi alergen dan mediator inflamasi, iritasi ujung saraf otonom

17

bronkokonstriktor, tanda-tanda inflamasi, peningkatan respon parasimpatis


peningkatan produksi mukus obstruksi saluran napas kompensasi

3.6; Gambaran Klinis

Peka terhadap berbagai rangsangan iritan (khas asma). Dideteksi alergi


spesifik bagi asma alergik.
a; Episodik
b; Batuk dengan/tanpa dahak
c; Sesak napas
d; Dada terasa berat
3.7; Diagnosis

Gejala klinis

Riwayat :
ii; Keluarga (atopi)
iii; Alergi
iv; Penyakit lain yang memberatkan
v; Perkembangan penyakit dan pengobatan

Anamnesa
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala
musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat
di dada dan berdahak yang berulang

18

4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari


5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator

Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat

normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan
pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis
jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan
(Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil
oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus.
Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang
mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).
3.8; Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Faal paru : sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik.


Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru
menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu
kita menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai
hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar

19

kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal
paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1)
pemeriksaan spirometri dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). Pemeriksaan
spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang
direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver
ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya
angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1
prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk mendapatkan
variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum
mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai
APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).
3.9; Diagnosa Banding
3.10;

Faktor risiko
a; Faktor pejamu :
a; Jenis kelamin
b; Ras
c; Umur pasien
d; Status atopi
e; Hipereaktivitas bronkus
f;

Faktor keturunan : genetik asma

20

b; Faktor lingkungan : pajanan dengan alergen/pemicu


a; Alergen dalam ruangan
b; Alergen luar ruangan
c; Polusi, termasuk asap rokok
d; Perubahan cuaca
e; Bahan di lingkungan kerja
f;

Status sosioekonomi

g; Diet : makanan tertentu dan zat aditif


h; Emosi
i;

Obesitas

j;

Obat

k; Higienitas

Infeksi parasit
Penatalaksanaan
l;

3.11;

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi


klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan
untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:
1. Medikasi
2. Pengobatan berdasarkan derajat
Medikasi

21

Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai


cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah
melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang
minimal ataupun tidak ada. Macammacam pemberian obat inhalasi dapat melalui
inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler
(DPI), breathactuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol
(controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka
panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk
menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006),
pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari:
1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik
2. Leukotriene modifiers
3. Agonis -2 kerja lama (inhalasi dan oral)
4. Metilsantin (teofilin)
5. Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat
mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip kerja
obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat
ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas
jalan napas. Pelega terdiri dari:
1. Agonis -2 kerja singkat

22

2. Kortikosteroid sistemik
3. Antikolinergik (Ipratropium bromide)
4. Metilsantin

3.12; Pengobatan Berdasarkan Derajat


Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi
menjadi:
1. Asma Intermiten
a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol
b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat
diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi
teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik
inhalasi
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga
bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten
ringan
2. Asma Persisten Ringan
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis
rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2
kerja lama inhalasi Budenoside : 200400 g/hari
Fluticasone propionate : 100250 g/hari

23

Teofilin lepas lambat


Kromolin
Leukotriene modifiers

c; Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat

diberikan bila perlu.

3. Asma Persisten Sedang


a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi
dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi
Budenoside: 400800 g/hari
Fluticasone propionate : 250500 g/hari
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas
lambat
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2
kerja lama oral
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari)
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene
modifiers

b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja


singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau
Agonis -2 kerja singkat oral, atau
Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat

24

Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah


menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol

c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis


rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja
lama inhalasi
d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT
atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah
4. Asma Persisten Berat
Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala
seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin
Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol
asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi
dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi
Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari
Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan
leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja
lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi
Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat
mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan
batuk karena iritasi saluran napas atas .

25

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, H. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta :


Salemba Medika

BKPM Semarang. (2009). Mengenal Penyakit Asma Bronkial. Semarang : BKPM


Bleecker, E.R. Similarities and Differences In Asthma And COPD (The Dutch
Hypothesis), Chest Journal Vol 126:93S 95S). 2004. Daniati, K.S Soewarta.
Patogenesis Asma Diagnosis dan Klasifikasi Asma Bronkial. UJ Jurnal, Jakarta.
2004 : 1-12

Surajanto, Eddy. Diagnosis dan Klasifikasi Asma. Dalam temu ilmiah respirologi
2001. Lab. Paru Fakultas UNS/SMF Paru RSUD. Dr. Moewardi Surakarta. Solo.
2001: 1-16

Environmental Health Watch. (2005). Asthma; Asthma In The Air Indoor


and Outdoor Asthma Triggers.
http://www.ehw.org/Asthma/ASTH_Control_Triggers.html. Diakses 25 Mei
26

2011 GINASTHMA. (2004). Global for Asthma; Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. www.ginasthma.org. Diakses 25 Mei 2011

Sundaru, H. (2001). Asma Bronkial, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi 3. Jakarta : FKUI

27

Anda mungkin juga menyukai