IMOBILISASI LAMA
Indra Danny
1301-1210-0015
1301-1210-0092
Erlinda Agustina
1301-1210-0024
Anushree K Nair
1301-1210-3501
1301-1210-0214
Preseptor:
Novitri Maulana, dr., SpRM
PENDAHULUAN
Tujuan utama dari ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi medik adalah untuk
mengembalikan fungsi fisik dan psikososial individu sehingga mereka dapat mencapai level
independensi yang. Untuk mencapai tujuan ini, tidak hanya diperlukan diagnosis dan
pengobatan yang tepat saja, tetapi juga diperlukan monitoring untuk melihat komplikasi yang
berpotensi muncul yang dapat menyebabkan masalah tambahan.
Ketika individu dirawat dalam jangka waktu lama sehingga terjadi inaktivasi atau
imobilisasi alat gerak, tidak hanya pengobatan medikamentosa saja yang harus kita
perhatikan, tetapi juga rehabilitasi medik terhadap pasien tersebut harus kita jalankan untuk
meminimalisir terjadinya komplikasi yang mungkin timbul karena imobilisasi lama. Pada
awalnya, imobilisasi dapat menyebabkan perubahan kapasitas fungsional satu organ tertentu
yang kemudian menyebar dan mempengaruhi banyak organ dan sistem tubuh.
DEFINISI
Imobilisasi merupakan sebuah keadaan dimana pasien dalam kondisi tirah baring,
tidak bergerak secara aktif sebagai akibat dari adanya gangguan pada organ tubuh, baik fisik
ataupun mental.
EPIDEMIOLOGI
Imobilisasi lama dapat terjadi pada semua orang, tetapi mayoritas terjadi pada pasien
usia lanjut, gangguan muskuloskeletal, paska operasi atau penyakit kronis yang memerlukan
tirah baring lama misalnya pada pasien infark miokardial.
Dampak imobilisasi lama terutama adalah ulkus dekubitus mencapai 11% dan terjadi
dalam kurun waktu 2 minggu. Perawatan emboli paru berkisar 0,9% dengan kematian
200.000 orang setiap tahunnya.
TINGKAT MOBILITAS
Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden, tingkat mobilitas terdiri
dari empat tingkat :
1. Tidak terbatas : Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan.
2. Agak terbatas : Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas
secara mandiri tetapi memiliki beberapa keterbatasan.
3. Sangat terbatas : kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas
tetapi tidak dapat melakukan perubahan yang sering.
4. Imobilisasi : Tidak dapat melakukan perubahan baik pada posisi tubuh maupun pada
ekstremitas tanpa adanya bantuan.
KLASIFIKASI
1. Imobilitas fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan tujuan mencegah
terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien hemiplegia.
2. Imobilitas intelektual, merupakan pembatasan gerak daya pikir seseorang, seperti pada
pasien dengan kerusakan otak.
3. Imobilitas emosional, merupakan pembatasan gerak emosi seseorang akibat adanya
perubahan yang tiba-tiba dalam proses penyesuaian diri, seperti yang terjadi pada pasien
paska amputasi.
4. Imobilitas sosial, merupakan pembatasan gerak sosial seseorang dalam melakukan
interaksi dengan lingkungannya.
KOMPLIKASI
Imobilitas karena tirah baring jangka lama akan menyebabkan suatu keadaan klinis
yang disebut deconditioning, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsional berbagai sistem
tubuh terutama sistem muskuloskeletal. Deconditioning terjadi pada berbagai usia dan jenis
kelamin, terutama pada pasien dengan kondisi sakit kronis, usia lanjut dan cacat. Sebagai
contoh, seorang pasien sehat yang tirah baring lama dapat mengalami pemendekan pada otototot di punggung dan kaki, terutama otot yang melewati sendi panggul dan lutut. Pada sisi
lain, seorang pasien dengan kelainan neuron motor dan spastisitas anggota gerak sebagai
penyerta juga dapat mengalami komplikasi muskuloskeletal yang sama tapi pada derajat yang
lebih berat.
Efek dari imobilitas jarang terbatas pada satu organ tertentu. Imobilitas menyebabkan
berkurangnya kapasitas fungsional sistem muskuloskeletal sehingga dapat terjadi kelemahan,
atrofi dan daya tahan otot yang lemah. Aktivitas metabolik dan ekstraksi oksigen pada otot
juga berkurang menyebabkan berkurangnya kapasitas fungsional otot jantung. Tirah baring
yang lama juga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis, hipotensi postural dan trombosis
vena dalam.
Efek
Otot
Kontraktur
Kelemahan dan atrofi otot
Gangguan eksitasi elektrik
Tulang
Osteoporosis
Sendi
Degenerasi kartilago
Infiltrasi jaringan fibrofatty
Atrofi sinovial
Ankilosis
Jantung
Redistribusi cairan tubuh
Hipotensi ortostatis
Penurunan kapasitas fungsional kardiopulmoner
Koagulasi darah (tromboembolisme)
Paru
Resistensi mekanis pernapasan
Pneumonia hipostatis
Peningkatan kapasitas total paru
Genitourinaria dan
Emboli paru
Statis urinaria, batu ginjal, infeksi saluran kemih
gastrointestinal
Gangguan berkemih
Penurunan nafsu makan
Konstipasi
Metabolik
Peningkatan lemak tubuh
Gangguan elektrolit dan mineral
Endokrin
Intoleransi glukosa
Gangguan produksi hormon
Peningkatan temperatur dan respon berkeringat
Kulit
Edema
Bursitis subkutan
Lingkaran inaktivitas
Inaktivitas
(tirah baring, imobilitas)
Deconditioning
Tambahan disabilitas
(permanen, temporer)
Gangguan Physiologik
A. Disuse Athropy
Awal dari atrofi otot ialah berkurangnya ukuran serat otot dan massa otot.
Disuse athropy didefinisikan sebagai perubahan pada homeostasis otot akibat
inaktivitas otot. Selama dan setelah tirah baring, diuse athropy lebih terlihat menonjol
di tungkai bagian bawah dibandingkan dengan tungkai bagian atas.
Sintesis protein otot dan juga sintesis protein protein tubuh berkurang pada
saat immobiilisasi dan ikut berkontorbusi terhadap atrofi otot. Kecepatan
berkurangnya massa otot pada saat tirah baring lambat pada saat hari pertama atau
kedua immobilisasi dan kemudian menjadi cepat setelah hari ke 10 (mencapai 50%
dari massa otot). Seiring dengan itu, sisntesis protein otot berukrang 50% dari level
baseline pada hari ke -14 immobilisasi.
Bersamaan dengan atrofi otot, sintesis dari serat kolagen juga berkurang. Titin
(protein myofibril) memiliki peran utama sebagai tahanan terhadap perpanjangan
pasif dan meningkat pada saat immobilisasi. Serum creatine kinase dan fibroblast
growth factor yang dilepaskan saat perlukaan pada myofiber ; penurunan kedua factor
ini proporsional dengan berkurangnya serat otot. Myostatin yang menghambat sintesis
protein meningkat saat tirah baring.
Walaupun penyebab utama dari atrofi ialah berkurangnya sintesis protein,
peningkatan ekskresi nitrogen juga ditemukan saat immobilisasi. Berkurangnya massa
otot dan sintesis protein dipercepat oleh mekanisme gastrointestinal, seperti
berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya absorpsi protein di usus. Tirah baring
lama juga dapat meningkatkan ekskresi creatine dan creatinine (mekanisme belum
dimengerti).
Efek langsung dari immobilisasi otot terhadap sistem kardiovaskular dan sistem
lain.
KONTRAKTUR
Kontraktur adalah kurangnya jangkauan aktif atau pasif penuh lingkup gerak
sendi yang terjadi karena adanya keterbatasan penggunaan sendi, otot atau jaringan
lunak. Berbagai keadaan dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan sendi,
contohnya nyeri sendi (yang terjadi pada proses peradanagan, trauma, infeksi,
degenerasi dan perdarahan), paralisis, fibrosis jaringan kapsular atau periartrikular,
atau kerusakan otot (polimiositis dan distrofi muskuler) atau faktor mekanis seperti
tirah baring yang tidak tepat.
Faktor tunggal yang paling sering berkontribusi terhadap terjadinya kontraktur
adalah kurangnya mobilisasi sendi dalam lingkup ruang sendi penuhnya. Imobilisasi
sendi yang lama dapat menyebabkan penurunan panjang otot dan pemendekkan
kolagen pada kapsul sendi dan jaringan lain.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan perkembangan kontraktur,
diantaranya adalah posisi tungkai, durasi imobilisasi, keadaan patologi awal dan
restriksi sendi. Edema, iskemia, perdarahan dan gangguan lain pada lingkungan mikro
sendi dan jaringan periartrikular juga dapat menyebabkan kontraktur. Pada usia tua,
terjadi kehilangan serat otot dan peningkatan relatif dari proporsi jaringan ikat
sehingga dapat menyebabkan terjadinya kontraktur. Pada pasien diabetes melitus,
terjadi perubahan mikrovaskular dan iskemia yang menyebabkan terjadinya
kontraktur terutama pada tangan.
Tulang dan otot merupakan jenis dari dari jaringan ikat, dimana jaringan ikat
memiliki properti mekanis, terdiri dari sel (fibroblas) dan makromolekul interseluler
(kolagen) yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler (jeli polisakarida).
Kolagen merupakan protein yang paling banyak terdapat pada tubuh. Terdapat
paling tidak 12 macam kolagen (I-XII) yang telah teridentifikasi. Kolagen disintesis
dari asam amino pada retikulum endoplasma kasar. Setiap jaringan memiliki
komposisi kolagen yang berbeda sehingga terjadi kekhasan pada setiap jaringan.
Kolagen-kolagen tersebut akan tersusun teratur sesuai dengan arah gerak sehingga
membentuk fibril. Ikatan silang antara fibril kolagen kemudian memberikan kekuatan
otot. Fibril kolagen kemudian akan beragregasi dalam grup membentuk fasikel.
Sejumlah besar fasikel kemudian membentuk tendon atau ligamen. Perubahan pada
struktur kolagen dapat dipengaruhi oleh enzim, faktor pertumbuhan atau stimuli
mekanis.
Selain kolagen sebagai penyokong utama struktur jaringan ikat, terdapat juga
proteoglikan yang berfingsi untuk lubrikasi sendi.
Pada keadaan trauma atau inflamasi dari jarigan ikat, sel mesenkimal
berdiferensiasi menjadi fibroblas yang kemudian memproduksi kolagen yang
kemudian tersusun secara acak. Jika sintesis kolagen lebih banyak daripada
pemecahannya, dapat terjadi fibrosis yang berlebihan. Ketidakseimbangan sintesis
dan pemecahan kolagen ini dipengaruhi oleh faktor fisik seperti kurangnya
peregangan, imobilitas dan inaktivitas yang lama. Trauma, perdarahan atau iskemia
juga dapat menstimulasi sintesis kolagen. Sintesis kolagen pada otot juga dipengaruhi
level aktivitas otot.
Pemendekkan panjang otot juga dapat terjadi pada orang normal dalam derajat
yang ringan, terutama pada otot-otot yang melewati beberapa sendi. Hal ini
berhubungan dengan faktor mekanis.
Diagnosis kontraktur ditegakkan setelah pemeriksaan lingkup gerak sendi
yang meliputi evaluasi lingkup gerak sendi aktif dan pasif.
Kontraktur yang diakibatkan oleh keadaan patologi dapat dibedakan menjadi
artrogenik, miogenik dan jaringan lunak.
Tipe kontraktur
Artrogenik
Penyebab
Kerusakan kartilago (inflamasi, infeksi, trauma,
degenerasi)
Proliferasi jaringan sinovial (efusi)
Miogenik
Fibrosis kapsular
Intrinsik (struktural)
Trauma (edema, perdarahan)
Perubahan degeneratif (distrofi muskular)
Iskemik (diabetes melitus, kelainan pembuluh
darah perifer)
Ekstrinsik
Spastisitas (paralisis, kerusakan medula spinalis,
sklerosis multipel)
Flaccid paralysis
Jaringan lunak
Kombinasi
bursitis)
Kombinasi ketiganya ditemukan pada satu sendi
Kontraktur artrogenik
berikatan
dengan
reseptor
di
membrane
kondrosit
dan
menghambat
Kontraktur pada banyak sendi mengganggu posisi tidur, berdiri, mobilisasi, dan
mempersulit perawatan kulit dan perineum dan perluasan area tekanan pada
kulit.
Hip contracture
Plantarflexion contracture
Bed rest dan nyeri punggung bawah
Bed rest yang terlalu lama dapat menyebabkan nyeri punggung bawah melalui
mekanisme tightness pada otot punggung dan hamstring atau kelemahan otot
punggung dan abdomen. Adanya pemendekan pada otot-otot ini akan mengubah
alignment spinal dan postur tubuh.
Komplikasi bed rest ini dapat dicegah dengan latihan penguatan otot abdomen
dan paraspinal serta hamstring.
Bed rest yang lama tidak memiliki efek terapi pada sindrom nyeri punggung
bawah.
Terapi dan Manajemen kontraktur
Analisis
Menentukan faktor predisposisi, pengetahuan mengenai efek kontraktur dan
pentingnya mobilisasi dan stretching dari otot serta aktif dan pasif ROM.
Bila kontraktur sudah terjadi, latihan ROM aktif dan pasif dikombinasikan
dengan terminal stretch minimal 2 kali sehari. Untuk kontraktur ringan, stretch
selama 20-30 menit cukup efektif dan lebih dari 30 menit untuk kontraktur lebih
berat. Terapi akan lebih berhasil bila dikombinasikan dengan pemanasan pada
musculotendinous junction atau kapsul sendi, menggunakan ultrasound
menghangatkan jaringan hingga suhu 40-43 C dapat meningkatkan sifat kental
jaringan ikat dan memaksimalkan efek stretching.
Stretch lama lebih dari 2 jam dapat dibantu menggunakan splint atau serial cast
(pembalutan dengan plaster atau polymer bandage dengan bantalan pada
tonjolan tulang)
Terapi spastisitas; farmakologi, motor point atau blok saraf dengan botox A
Intervensi bedah (eg. Pemanjangan tendon, osteotomi dan penggantian sendi).
Pencegahan Kontraktur
Pada pasien bed rest, dengan pemilihan matras dan tempat tidur yang sesuai,
posisi yang benar, program latihan mobilisasi.
Matras yang kuat diperlukan untuk mencegah badan pasien melengkung atau
merosot serta menghindari fleksi pinggul yang berlebihan.
Footboard diletakkan 4 inchi dari ujung matras, untuk menghindari tekanan pada
tumit.
Tempat tidur memiliki pegangan atau rel disampingnya sebagai pegangan bagi
pasien untuk mobilisasi dan duduk.
Untuk bed rest lama disediakan alat untuk menjaga posisi sendi yang fungsional.
Bantal pada bahu menjaga agar bahu tetap abduksi dan rotasi netral. Palmar roll
untuk mempertahankan tangan, jari serta ibu jari pada posisi optimal. Trochanter
roll untuk mencegah rotasi eksternal yang berlebihan pada sendi pinggul.
Latihan Fungsional
Ambulasi untuk menjaga fungsi normal sendi yang lain. Stimulasi elektrik pada
otot yang parese untuk melatih kekuatan otot.
Imobilisasi osteoporosis
Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang jika tidak
terdapat aktivitas otot
Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi sangat
cepat pada wanita saat 5-7 tahun pertama setelah menopause
Pasien
dengan
imobilisasi
lama
juga
mengalami
hiperkalsemia
dan
KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR
Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun kembali daya
tahan, pasien hendaknya melakukan latihan ringan. Latihan dapat menggunakan
sepeda ergometer ataupun arm ergometry untuk pasien dengan gangguan pada
ekstremitas bawah.
Hipotensi Ortostatik
Hipotensi ortostatik terjadi jika sistem kardiovaskular tidak dapat beradaptasi secara
normal terhadap posisi tubuh berdiri. Hipotensi ortostatik muncul setelah 3 minggu
bed rest (bisa muncul lebih awal pada orang lanjut usia). Hal ini bersama dengan
denyut jantung yang cepat menyebabkan pengisian ventrikel saat diastole jadi
berkurang, akibatnya perfusi serebral juga akan berkurang.
Biasanya hipotensi ortostatik memiliki tanda berupa meningkatnya denyut nadi lebih
dari 20 bpm dan penurunan pulse pressure sebanyak 70% atau lebih karena darah
terkumpul di kaki.
Penanganan hipotensi ortostatik meliputi latihan pada daerah kaki, mobilisasi dan
ambulasi segera, juga bantuan dengan menggunakan stocking elastic.
Venous Thromboembolism
Venous thromboembolism terjadi terutama akibat stasis pada vena dan bisa juda
karena peningkatan koagulabilitas darah. Stasis terjadi pada daerah kaki diikuti
penurunan kontraksi otot gastrocnemius dan soleus. Mayoritas trombus vena dalam
terjadi pada daerah betis dan berasal di sinus soleus. Semakin proksimal lokasi vena
yang trombus, semakin besar kemungkinan terjadinya emboli pulmoner. Jika terjadi
emboli pulmoner, maka mortalitasnya 20-35% bila tidak ditangani. Lamanya bed rest
berkaitan secara langsung dengan frekuensi munculnya thrombosis vena dalam.
Pasien yang mengalami trombosis vena dalam bisa saja tidak menampakkan gejala.
Apabila muncul gejala umumnya berupa sakit dan nyeri tekan, pembengkakan,
distensi vena, sianosis ataupun kemerahan pada daerah yang trombosis. Lebih dari
50% pasien yang menampakkan gejala klinis tidak memberi tanda khusus di hasil
venografinya. Untuk pemeriksaan yang lebih sensitif dan spesifik bisa dengan
menggunakan USG Doppler, impedance plethysmography, dan venografi kontras
(gold standar).
Jika terjadi emboli pulmoner pasien akan menampakkan gejala dyspne, takipne,
takikardi, nyeri dada pleuritik, batuk dengan/tanpa darah, ataupun efusi. Tanda yang
kurang spesifik lainnya seperti demam, confusion, wheezing, dan aritmia. Pada kasus
yang sudah parah gejala akan menyerupai gagal jantung kanan. Untuk membedakan
dengan kelainan jantung bisa dilakukan EKG.
Terapi tromboemboli vena adalah dengan mengurangi stasis vena dengan fisioterapi
seperti latihan, elevasi kaki, penggunaan stocking elastik, ambulasi awal, dan
kompressin mekanis. Untung mengurangi koagulabilitas darah bisa digunakan
dextran, obat antiplatelet seperti acetylsalicylic acid, dan antikoagulan seperti
warfarin dan heparin. Terapi diberikan sampai pasien benar-benar bisa melakukan
ambulasi dengan baik. Sedangkan tindakan pencegahan yang efektif berupa
penggunaan heparin dosis rendah, kompressi pneumatik yang intermiten, oral
antikoagulan, dan dextran.
Bed rest lama akan meningkatkan insidensi batu ginjal, kandung kemih, dan infeksi
traktus urinarius. Hiperkalsiuria adalah penemuan tersering pada pasien yang
mengalami immobilisasi. Selain kalsium, ekskresi fosfor dalam urin juga meningkat.
Dalam posisi berbaring, urin harus mengalir naik dari renal collecting system menuju
ureter. Pasien sering mengeluh kesulitan untung memulai buang air kecil saat
berbaring. Akibatnya akan ada incomplete voiding yang menyebabkan stagnasi urin.
Ketika pengosongan kandung kemih tersebut tidak sempurna akan terjadi peningkatan
risiko terbentuknya batu. Umunya jenis batu yang terbentuk adalah struvat dan
carbonate apatite (15-30% pasien yang immobilisasi). Batu kandung kemih ini akan
mengiritasi dan menyebabkan trauma pada mukosa, menyebabkan infeksi lebih
mudah terjadi. Jika bakterinya memiliki urease, makan akan terbentuk presipitat
kalsium dan magnesium yang dapat menjadi batu jenis lainnya.
Pencegahan munculnya batu tersebut antara lain dengan pemberian asupan cairan
yang cukup, membiasakn diri buang air kecil dalam posisi berdiri/duduk, dan
pencegahan kontaminasi instrumen (kateter). Sedangkan untuk terapi bisa
menggunakan asidifikasi urin dengan vitamin C, antiseptic urinary, dan pada pasien
yang risiko terbentuknya batu lebih tinggi bisa diberikan inhibitor urease. Untuk
terapi jika batu sudah terbentuk adalah dengan litiotripsi ultrasonic. Pemberian
antibiotik juga diharuskan jika terdapat infeksi saluran kemih. Pada pasien yang sudah
dapat bergerak, sangat dianjurkan untuk melepaskan kateter dan membiasakan diri
buang air kecil sambil duduk/berdiri.
Untuk mencegah konstipasi, asupan makanan harus cukup serat dan cairan.
Penggunaan stool softener juga dapat membantu. Pemberian obat-obatan golongan
narkotik juga sebaiknya dibatasi karena bisa memperlambat peristaltis.
Penurunan kadar potassium terjadi secara progresif pada minggu-minggu awal bed
rest. Selain hiponatremia dan hipokalemia juga terdapat hiperkalsemia.
GANGGUAN HORMONAL
Kurangnya aktivitas fisik mengubah kepekaan tubuh terhadap hormon dan enzim.
Pada awal immobilitas (3 hari pertama) dapat terjadi intoleransi karbohidrat yang
signifikan, uptake glukosa perifer bisa berkurang hingga 50% sampai hari ke-14.
Penyebab intoleransi ini bukan karena kurangnya insulin, namun karena
meningkatnya resistensi jaringan terhadap insulin. Pada pemeriksaan darah akan
didapati hasil hiperglikemia dan hiperinsulinemia.
Penurunan fungsi sensoris sering terjadi dan menjadi ancaman pada pasien yang
immobilisasi lama. Selain masalah sensori, isolasi sosial yang terjadi juga
menyebabkan kelabilan emosional pada pasien, tanpa diserai penurunan fungsi
intelektual. Perubahan konsentrasi, orientasi tempat dan waktu, gelisah, kecemasan,
depresi, penurunan ambang batas nyeri, insomnia, dan iritabilitas biasanya terjadi
pada pasien yang immobilisasi lebih dari 2 minggu. Berkurangnya konsentrasi dan
motivasi, depresi, dan berkurangnya kemampuan psikomotor dapat mencegah
tercapainya hasil terapi yang optimal.
Untuk pencegahan, diperlukan stimulasi fisik dan psikososial yang sesuai mulai dari
awal immobilisasi. Kontak dengan keluarga dan rekan kerja pada sore hari dan akhir
minggu dapat memperbaiki hasil.