Anda di halaman 1dari 40

Case Report Session

Subdural Hematom

Oleh:
Amanda Besta Rizaldy
1010313119
Preseptor:
Prof. DR. dr. H. Darwin Amir, Sp.S (K)
dr. Syarif Indra, Sp.S
dr. Restu Susanti Sp.S

BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL PADANG
2016

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamiin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan case report session yang berjudul Subdural Hematom. Penulisan
case report session ini merupakan salah satu syarat dalam memenuhi tugas dokter
muda bagian Neurologi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. M. Djamil
Padang.
Pemenuhan tugas case report session ini tidak terlepas dari bimbingan
preseptor serta dokter residen pembimbing dari kelompok satu. Oleh karenanya,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. DR. dr. H. Darwin Amir,
Sp.S (K), dr. Syarif Indra, Sp.S dan dr. Restu Susanti Sp.S M.Biomed sebagai
preseptor dalam penulisan case report session ini, selain itu juga kepada dokter
residen pembimbing kelompok satu. Semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dengan balasan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak
apabila dalam proses penyusunan case report session

ini, penulis banyak

melakukan hal yang kurang berkenan. Penulis menyadari bahwa case report
session ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan untuk kemajuan penulisan case report session ini. Akhir kata,
semoga case report session ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan
pembaca pada umumnya, dan penulis pada khususnya, mengenai subdural
hematom.
Padang, 20 Mei 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................ 2
Daftar Isi............

..
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Batasan masalah.
1.3. Tujuan Penulisan
1.4. Metode Penulisan...
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi ...........................................................................

2.2. Epidemiologi.. 6
2.3. Anatomi................................. 7
2.4. Etiologi dan Faktor Risiko..... 12
2.5. Patofisiologi 13
2.6. Klasifikasi............... 16
2.7. Diagnosis........................ 17
2.8. Diagnosis Banding...... 24
2.9. Tatalaksana. 26
2.10. Komplikasi..
27
....
2.11. Prognosis..
27
......
BAB III. LAPORAN KASUS................................ 29
BAB IV. DISKUSI.......... 38
BAB V. KESIMPULAN. 40
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala merupakan suatu trauma yang mengenai struktur kepala
sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
pada jaringan otak yang disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
hal ini dapat menimbulkan penurunan kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik seseorang.1,2 Subdural Hematom
(SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat, terjadi paling sering
akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.3
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdahan epidural, kira-kira
30% dari cedera otak berat. Pembesaran hematom karena robeknya vena
memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu. Hematom
subdural dapat menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal
kejadian, timbulnya kecacatan pada kemudian hari atau bahkan pada kasus yang
berat dapat menimbulkan kematian.4
1.2 Batasan Masalah
Penulisan case report ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, dan tatalaksana subdural hematom.
1.3Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report ini antara lain sebagai berikut :
1. Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian
neurologi RSUP. Dr. M. Djamil Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang
2. Menambah pengetahuan mengenai subdural hematom.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan case report ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi

Subdural hematom (SDH) merupakan perdarahan yang terletak di subdural


space yaitu di antara duramater dan arakhnoid. Dapat meluas di bagian
hemisphere, menimbulkan kompresi serebri. Perdarahan terjadi paling sering
akibat dari rupture dari bidging vein antara kortek cerebral dan drainasi sinus,
rupture granulosio Pacchioni, perluasan perdarahan dari fossa piamater dan bisa
juga dari perdarahan kontusi serebri.1 SDH juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak bisa ada atau tidak dan
kerusakan otak yang mendasari hematom subdural akut biasanya sangat lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk.5,6
Hematom subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi. SDH lebih
sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera
kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining. Namun hal ini juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak.3
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematom subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematom epidural.
Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang
sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi
akut dan kronis.
2.2

Epidemiologi
Subdural hematom bisa terjadi pada semua usia, akan tetapi usia tersering

yang ditemui berkisar antara usia 60-80 tahun. Hal ini terjadi karena mobilitas
otak di dalam tengkorak meningkat akibat artrofi senile sehingga memudahkan
terjadinya rupture vein bila terjadi trauma. Subdural hematom lebih sering terjadi
dibandingkan epidural hematom yaitu sekitar 30% dari cedera kepala berat
disertai cedera kepala kontusio lebih sering menjadi penyebab dibandingkan
fraktur tulang tengkorak.7 Perdarahan seringkali terjadi akibat dari robekan
pembuluh darah atau vena-vena kecil pada permukaan korteks serebri. 8 Hematom
subdural akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera kepala berat.
Sedangkan untuk hematom subdural kronis dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000
penduduk.9

Penelitian terbaru telah menunjukkan insiden yang lebih tinggi,


dikarenakan teknik pencitraan yang lebih baik. Hematom subdural lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan wanita, dengan rasio 3:1. Begitu juga untuk
hematom subdural kronis, insiden pada pria lebih sering terjadi yaitu laki-laki
berbanding perempuan 2:1. Suatu studi retrospektif melaporkan bahwa 56% kasus
berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam kehidupan, studi lain mencatat
bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pada pasien yang lebih tua
dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000 penduduk, terjadi pada
orang dewasa berusia 70-79 tahun. Subdural hematom bisa terjadi pada bayi
dikarenakan adhesi yang ada di ruang subdural yang absen saat lahir dan
berkembang dengan penuaan, sehingga subdural hematom bilateral lebih sering
terjadi pada bayi.9
2.3

Anatomi

Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin (kulit),
connective tissue (jaringan penyambung), aponeurosis (galea aponeurotika),
loose

onnective tissue (jaringan penunjang longgar) dan pericranium.10

Gambar 2.1 Anatomi Lapisan Kepala


Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kalvaria dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya pada regio temporal bersrtruktur tipis dan dilapisi oleh otot temporalis.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga mudah terjadi trauma dan melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Tiga fosa
pada rongga tengkorak dasar yaitu : fosa anterior (lobus frontalis), fosa media
(temporalis) dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.11
Meningen
Selaput meningen membungkus seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Duramater secara
konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arachnoid karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, dimana pada bagian ini sering terjadi perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).11
Persarafan pada duramater terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga
saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus.
resptor reseptor nyeri dalam dura mater diatas tentorium mengirimkan impuls
melalui n.trigeminus, dan nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls

nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan
melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang
kepala dan leher.11

Gambar 2.2 Anatomi Meningen


Duramater memiliki banyak arteri yang mensuplai darah untuk
mendarahinya, yaitu; arteri karotis interna, arteri maxillaries, arteri paringeal
asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Arteri yang umumnya
mengalami kerusakan pada cedera kepala ialah arteri meningea media. Arteri
meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis,
memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak
antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak
antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian
berjalan ke depan dan ke lateral dalam suatu sulkus pada permukaan atas
squamosa bagian os temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam
berada dalam sulkus atau saluran angulus antero inferior os parietale,
perjalanannya secara kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak
di bawahnya. Cabang posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai
bagian posterior duramater. Vena-vena meningea terletak dalam lapisan
endosteal duramater yang mengikuti cabang cabang arteri meningea media
dan

mengalir

kedalam

pleksus

venosus

pterygoideus

atau

sinus

sphenoparietalis. Vena-vena meningea terletak di lateral arteri. 11


Sinus sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisanlapisan duramater. Fungsi utamanya sinus tersebut adalah untuk menerima
darah dari otak melalui venavena serebralis dan cairan serebrospinal dari
10

ruang ruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam sinus


sinus duramater mengalir kedalam vena vena jugularis interna dileher. Vena
emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan vena vena
diploika kranium dan vena vena kulit kepala. Sinus Sagitalis Superior
menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di anterior pada
foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan
kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut
dengan sinus transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior
menerima vena serebralis superior. Pada protuberantia occipitalis interna,
sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens. Dari sini biasanya
berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan dengan sinus
transverses

yang

berlawanan

dan

menerima

sinus

occipitalis.

Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri,
berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas
tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis
persambungan falx serebri dengan tentorium serebelli, terbentuk dari
persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna, berakhir
membelok kekiri membentuk sinus transfersus. Sinus transverses merupakan
struktur berpasangan dan mereka mulai pada protuberantia occipitalis interna.
Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri
berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada
tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus
posterior os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena vena
serebralis inferior, vena vena serebellaris dan vena vena diploika. Mereka
berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus. Sinus
sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan
melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis
merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat,
ia berhubungan dengan vena vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus
konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada setiap
sisi corpus os sphenoidalis. Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf
simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus

11

dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus petrosus
superior dan inferior merupakan sinus sinus kecil pada batas batas superior
dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus
kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase
sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna. 11
3. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang yang
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi
otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, yang disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala. 11
4. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
merupakan membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana tersebut membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater. 11

Gambar 2.3 Lapisan Otak


2.4

Etiologi dan Faktor Risiko

12

Etiologi dari subdural hematom ialah:12


a) Trauma
b) Non-traumatic:12,13

Arteri-vascular malformasi
Hemoragik diathesis
Neoplasma (meningioma, meningeal carcinomatosis)
Spontan intracranial hipotensi
Rupture granulasio Pacchini
Kontusio cerebri

Faktor risiko subdural hematom: 14

2.5

Hipertensi
Obat-obatan(anti-koagulan)
Atheroma
Usia lanjut

Patofisiologi
Duramater memiliki lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai
periosteum tulang tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan
meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta
saraf saraf cranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf
kranial. Sinus venosus terletak di dalam duramater yang mengalirkan darah
venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.
Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, terletak vertical
antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium
serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum,
berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium.11
Arachnoidea mater adalah membran yang lebih tipis dari duramater
dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater
menjembatani sulkus sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara
hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater
merupakan ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal.
Cairan serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi
jaringan saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala. 11

13

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otak


dengan erat. Suatu sarung pia mater menyertai cabang cabang arteri arteri
serebralis pada saat mereka memasuki substansia otak. Secara klinis,
duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater disebut
sebagai leptomeninges.11
Perdarahan terjadi di antara duramater dan arakhnoidea. Pernyebab
terjadinya perdarahan ialah akibat robeknya vena jembatan (bridging veins)
yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam
duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang dikelilingi
cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, bisa merobek
beberapa vena

pada tempat di mana mereka menembus duramater.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lama
kelamaan akan mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
perlahan-lahan meningkat.9
Sedangkan untuk perdarahan yang besar akan menimbulkan gejalagejala akut menyerupai hematom epidural. Gejala-gejala ini ialah nyeri
kepala progresif, tajam penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi,
tanda-tanda defisit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala-gejala ini
timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya trauma
kepala.15 Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi
oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu
menarik cairan ke dalam hematom, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematom. Penambahan ukuran hematom ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membrane atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematom.16
Subdural hematom dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial awalnya
dikompensasi oleh refluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi

14

oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra cranial yang cukup tinggi.
Meskipun begitu, pembesaran hematom sampai pada suatu titik tertentu akan
melampaui mekanisme kompensasi. Komplains intrakranial mulai berkurang
sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang
cukup besar dengan akibat perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin.
Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang
otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya
tekanan supra tentorial. Juga pada hematom subdural kronik, didapatkan
bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak lainnya. Ada 2 teori yang menjelaskan
terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang
mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematom sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam
kapsul subdural hematom. Tekanan onkotik yang meningkat mengakibatkan
pembesaran dari perdarahan . Namun, terdapat kontroversi dari teori Gardner
ini, yaitu dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural
kronik ternyata memiliki hasil yang normal yang mengikuti hancurnya sel
darah merah. 14
Teori ke-dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat menyebabkan meningkatnya kejadian perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematom. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya SDH. 14

15

Tabel 2.1 Stadium Subdural Hematom


Stadiu

Deskripsi

m
I
II
III

Darah berwarna gelap tersebar luas di permukaan otak di bawah dura


Bekuan darah menjadi lebih hitam, tebal dan gelatinosa (2-4 hari)
Bekuan pecah dan setelah 2 minggu akan berwarna dan berkonsistensi

IV

seperti minyak pelumas mesin


Terjadi organisasi yang dimulai dari pembentukan membrane luar yang
tebal dan keras berasal dari dura, dan membrane dalam yang tipis dan

araknoid. Cairannya menjadi xantokromik.


Organisasi sudah lengkap, bekuan dapat mengalami kalsifikasi atau
bahkan osifikasi atau dapat diserap

2.6

Klasifikasi
1. SDH Akut
SDH akut paling sering terjadi pada post-traumatik dan sangat
jarang ditemukan subdural hematom akibat rupture serebral aneurisme dari
arteri communicating posterior. Gejala neurologik terjadi dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Subdural hematom juga bisa terjadi apabila rupture
fistula arteriovenous dural.18 Hematom subdural akut secara klinis terbagi
menjadi tiga kelompok, dua kelompok pertama berhubungan dengan
kontusi dan laserasi, baik akibat dari beban benturan atau beban akselerasi
yang kadang juga disebut sebagai hematom subdural komplikata.
Kelompok ketiga merupakan cedera primer akibat disrupsi pembuluhpembuluh darah di permukaan khususnya vena-vena jembatan yang
disebabkan oleh guncangan semata dan bukan beban bentura. Hematom
subdural juga kadang-kadang bisa dikaitkan dengan kerusakan hemisterik
atau bihemisterik seperti cedera aksonal difusa, karena mempunyai
mekanisme yang sama.19
2. SDH Subakut
SDH Subakut dapat menyebabkan devisit neurologik dalam waktu
lebih dari 48 jam tapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Penyebab dari
SDH subakut ini biasanya karena adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status

16

neurologik yang perlahan - lahan. Namun pada jangka waktu tertentu


penderita menunjukkan tanda status neurologik yang memburuk.20
3. SDH Kronis
Pada SDH kronik, trauma otak yang menjadi penyebab sangat
ringan sehingga terlupakan. Gejala yang timbul bisa beberapa minggu,
bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadinya
perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Kronik subdural
hematom sering ditemukan bilateral dan orang tua yang alkoholic disertai
artrofi otak, pasien dengan pengobatan antikoagulan atau hidrosefalus
shunt. Mekanisma terjadinya subdural hematom apabila terjadinya trauma
minor berulang-ulang di antara vena kortikal sehingga bocor.18
2.7

Diagnosis
Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk
mengetahui tingkat keparahan dari setiap cedera kepala. Kemampuan pasien
dalam berbicara, membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai
dengan ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan
kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan.
Jika pasien dalam keadaan tidak sadar, maka pemeriksaan reflek cahaya pupil
sangat penting untuk dilakukan.10
a. Anamnesis
Dari anamnesis bisa di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik jejas

dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada atau tidaknya kehilangan
kesadaran atau pingsan. Jika terdapat kehilangan kesadaran, tanyakan pernah atau
tidaknya penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah
tetap sadar seperti semula atau kesadarannya kembali menurun, dan di perhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab
utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau
karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada pasien sadar perlu
ditanyakan ada atau tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota
17

gerak pada satu sisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan, serta perlu
ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita pasien, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah pasien dalam pengaruh alkohol.21
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan primer
(primary survey) yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan
(breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan
dengan resusitasi. Jalan nafas pasien harus dibersihkan apabila terjadi
sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau
endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan
untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian
pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O 2. Secara
bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika
terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan
tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.21
Pemeriksaan neurologis yang dilakukan meliputi kesadaran
penderita dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)

pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda defisit neurologis


fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan GCS dilakukan dengan menilai
kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien
terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diameter kedua pupil dan
adanya defisit neurologi fokal dilakukan untuk menilai apakah telah terjadi
herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang
kortex menuju medula spinalis.21
Pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan refleks
pupil. Pemeriksaan tersebut dilakukan sebagai deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)
ialah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Penyulit
dari pemeriksaan refleks pupil ialah jika terjadi trauma mata pada pasien.21

18

Tabel 2.2 Glasgow Coma Scale22


Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan
Mata membuka setelah diperintah
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri
Tidak membuka mata
Best Motor Response
Menurut perintah
Dapat melokalisir nyeri
Menghindari nyeri
Fleksi (dekortikasi)
Ekstensi (decerebrasi)
Tidak ada gerakan
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar
Salah menjawab pertanyaan
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya
Tidak ada jawaban

Skor
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1

c. Gejala Klinis
1. SDH Akut
SDH akut menimbulkan gejala neurologis penting dan serius dalam
24 jam sampai 48 jam setelah cedera yang seringkali berkaitan dengan
trauma otak berat. Hematom ini juga mempunyai mortalitas yang
tinggi. Gangguan neurologic progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini
dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
penguasaan atas denyut nadi dan tekanan darah.16
2. SDH Subakut
Pada SDH subakut defisit neurologik yang bermakna terjadi dalam
waktu lebih dari 48 jam tapi kurang dari dua minggu setelah cedera.
Seperti hematom subdural akut, hematom ini juga disebabkan oleh
perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis yang khas
dari penderita hematom subdural subakut adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologic yang perlahan-lahan. Namun, setelah jangka waktu

19

tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang


memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematom, penderita dapat mengalami kesulitan untuk
tetap sadar dan tidak memberikan respons terhadap rangsang bicara
maupun nyeri. Seperti hematom subdural akut, pergesaran isi
intracranial dan peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologic dari kompresi batang otak.16
3. SDH Kronik
Timbulnya gejala neurologis pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cederah pertama.
Tanda dan gejala pada hematom subdural kronis biasanya tidak
spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat disebabkan oleh proses penyakit
lain. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Tanda dan gejala
paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran
termasuk apati, letargi dan berkurangnya perhatian, dan menurunnya
kemampuan untuk mempergunakan kemampuan kognitif yang lebih
tinggi. Hemianopsia, hemiparesis dan kelainan pupil ditemukan kurang
dari 50% kasus. Bila terdapat afasia, pada umumnya tipe anomik yaitu
afasia lancar dengan pengulangan dan pengertian.16
d. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah
rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
Foto tengkorak
Pemeriksaan

foto

tengkorak

tidak

dapat

dipakai

untuk

memperkirakan atau mendeteksi adanya SDH. Fraktur tengkorak sering


dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial
tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan
SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.

20

Pemeriksaan Brain CT-Scan Tanpa Kontras


Pemeriksaan brain CT-scan tanpa kontras ini merupakan metode
diagnostic gold standard untuk kasus cedera kepala karena prosedur ini
tidak bersifat invasive serta memiliki kehandalan yang tinggi. Dari
pemeriksaan ini dapat diperoleh informasi yang lebih jelas tentang lokasi
dan adanya perdarahan intracranial, edema, kontusi, udara, benda asing
intracranial serta pergeseran struktur di dalam rongga tengkorak.
Perbedaan gambaran CT-Scan antara lesi akut, subakut dan kronis agak
sulit dibedakan karena kebanyakan hematom berkembang segera setelah
cedera, tetapi ada juga yang baru timbul kemudian sampai satu minggu.19
a. SDH Akut
Tampak gambaran lesi hyperdens sickle (gambaran lesi seperti bulan
sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan hematom
epidural. Batas medial hematom bergerigi dan adanya hematom di
daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya
hematom subdural.23

21

Gambar 2.4 Gambaran CT Scan SDH Akut


b.

SDH Subakut
Pada SDH subakut, gambaran pada CT-Scan berupa lesi isodens yang
hampir menyamai densitas grey matter. Hal ini membuat susahnya
membedakan antara lesi dengan jaringan parenkim otak untuk mata
yang belum terlatih untuk membaca CT-Scan. Cara mudah untuk
membedakannya ialah dengan melihat efek dari lesi atau massa dari
hematom seperti penekanan pada ventrikel dan pergeseran dari garis
tengah (midline shift) pada white matter ataupun grey matter.24

22

Gambar 2.5 Gambaran SDH subakut.


c. SDH Kronik
Pada gambaran CT Scan SDH kronik, terlihat adanya komplek
perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacammacam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT
Scan akan tampak lesi hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens,
berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang
semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga bisa terjadi
isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens 25
Ada 4 macam tampilan CT-scan untuk Hematom subdural kronik,
yaitu:
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Tipe IV

Hipodens kronik subdural Hematom


Kronik subdural hematom densitas inhomogen
Isodens kronik subdural hematom (2 4 minggu)
Slightly hiperdens kronik subdural hematom

Penemuan spesifik yang dapat ditemukan pada hematom subdural


kronik ialah pemindahan parenkim otak jaoh dari tulang cranium dan batas
convex menjadi rata bahkan konkave. Gejala-gejala lain yang dapat
membantu mendiagnosa ialah hilangnya gambaran sulci, terjadinya
midline shift, deformitas anatomy ventrikel dan obliterasi sistern basal.
Semua gejala ini dapat menegakkan diagnose jika lokasinya di
seperolateralli.26

23

Gambar 2.6 SDH kronik.


2.8 Diagnosa Banding
1.
Epidural Hematom (EDH)
Epidural hematom yang kadang sulit dibedakan dari subdural,
mempunyai ciri gambaran khas berupa bentuk bikonveks atau lentikuler
(ada perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna sehingga
hematom menjadi terbatas). Hematom subdural cenderung lebih difus
berbanding dengan hematom epidural dan mempunyai tampilan batas
dalam yang konkav sesuai dengan permukaan otak.19
Tabel 2.3 Perbedaan Epidural Hematom dan Subdural Hematom
Insiden

Etiologi

EDH
1-4% kasus trauma;

10-20%

SDH
semua

10% kasus trauma fatal

trauma;

85-95% disertai fraktur;

30% kasus trauma fatal


Vena kortikal di pon robek

kasus

70-80% laserasi Arteri meningeal


Site

media/sinus dural venous


Diantara tulang cranial dan dura Diantara dura mater dan
mater;

arachnoid mater;

Melintasi dura mater tapi tidak Melintasi sutura cranial

Penemuan ct

sutura cranialnya;

tapi tidak dura mater;

95% supratentorial

95% supratentorial

5% subtentorial

5% bilateral

5% bilateral
Bentuk biconvex;

Akut: 60% hiperdens;

Pendorongan white-gray matter

40%

24

campuran

pada daerah yang terganggu;

(hiper-/hipodens)

66% hiperdens;

Subakut: isodens

33% campuran (hiper-/hipodens)

Chronic: hipodense
Crescent shape.

2. Neoplasma
Intracranial neoplasma dan hematom subdural kronik amat sukar
dibedakan tanpa bantuan neuroimaging. Menifestasi klinis untuk neoplasma
seperti nyeri kepala, gangguan status mental berubah dan tanda neurologic fokal
sama dengan hematom subdural. Untuk membedakannya pemeriksaan CT-scan
atau MRI diperlukan.16

Gambar 2.7 Gambaran neoplasma pada pemeriksaan Ct scan yang


hiperdense.

25

2.9

Tatalaksana

Tindakan Tanpa Operasi


Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan
terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang
kemudian dapat mengalami pengapuran. Pemberian terapi untuk menurunkan
peningkatan tekanan intrakrania (PTIK) seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB,
atau furosemid 10 mg intravena, bisa dilakukan.27
Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejalagejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematom. Indikasi dilakukannya tindakan operasi:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau
pergeseran midline shift > 5 mm pada CT-scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
2.10 Komplikasi
Cedera parenkim otak biasanya berhubungan dengan subdural hematom
akut dan dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi
26

rekurensi atau masih terdapat sisa hematom yang mungkin memperlukan tindakan
pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma
setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah
kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan
intrakranial28
2.11 Prognosis
Pada beberapa kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang
dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejalagejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif
segera untuk dekompresi otak. 13 Tindakan operasi pada hematom subdural kronik
memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan
sembuh total. Hematom subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan
angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter <
1 cm), prognosanya baik. Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple SDH)
ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%. Perdarahan subdural akut
yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak , misalnya
kontusio atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematom
yang banyak. Pada penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya
berhubungan dengan volume subdural hematom dan jauhnya midline shift. Akan
tetapi, hal yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau
tidaknya kontusio parenkim otak. Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan
kerusakan parenkim otak merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa
akhir (outcome) daripada tumpukan hematom ekstra axial di ruang subdural.

27

BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis kelamin
Usia
Pekerjaan
Agama
Suku
Pendidikan Terakhir
Alamat
Nomor Rekam Medik
Tanggal masuk

: Tn. J
: Laki-laki
: 64 tahun
: Buruh
: Islam
: Minangkabau
: SMP
: Pampangan, Lubeg, Padang
: 946143
: 17 Mei 2016

ANAMNESIS

28

Seorang pasien laki-laki usia 64 tahun, rujukan dari RST Reksodiwiryo


Padang ke RSUP dr. M. Djamil Padang tanggal 17 Mei 2016 dengan:
Keluhan Utama: Lemah anggota gerak kiri
Riwayat Penyakit Sekarang:
-

Lemah anggota gerak kiri sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit,
terjadi tiba-tiba saat pasien sedang makan, pasien kesulitan mengangkat

lengan kiri dan tungkai kirinya.


Pasien mengeluhkan nyeri kepala yang meningkat sejak 1 minggu yang
lalu, pasien pernah terjatuh dari motor dan kepala bagian kanan
membentur aspal, setelah jatuh pasien sadar dan mengeluhkan nyeri
kepala, pasien berobat ke klinik dan RSUD, pasien diberi obat penghilang

nyeri dan keluhan nyeri kepala hilang setelah pasien meminum obatnya.
Pasien jadi mudah lupa dan suka bicara tidak nyambung sejak 1 minggu
yang lalu, pasien lupa dimana meletakkan barang dan tidak nyambung bila
diajak bicara.

Riwayat Penyakit Dahulu:


-

Keluhan mulut mencong dan bicara pelo tidak ada.


Penurunan kesadaran, muntah dan kejang tidak ada.
Riwayat DM, penyakit jantung dan stroke sebelumnya tidak ada.
Pasien memiliki riwayat jatuh dari atap ketika sedang bekerja 2 bulan yang
lalu, namun keluarga pasien tidak tahu mekanisme jatuh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama dengan
pasien.
Riwayat Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai seorang buruh bangunan dengan aktivitas fisik sedangberat. Pasien seorang perokok, dan tidak mengonsumsi alkohol.

29

PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Keadaan Umum

: sedang

Kesadaran

: kompos mentis

Tekanan darah

: 110/50 mmHg

Frekuensi nadi

: 65 x/menit

Frekuensi nafas

: 20 x/menit

Suhu

: 37,1 C

Status Internus :
Kulit

: Tidak ada ikterik, tidak ada sianosis.

Rambut

: Hitam, tidak mudah dicabut.

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga

: Tidak ditemukan kelainan

Hidung

: Tidak ditemukan kelainan

Tenggorokan

: Tidak ditemukan kelainan

Leher

: JVP 5-2 cmH2O

KGB

: Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regio


leher, aksilla, dan inguinal.

Thorak : Paru

: Inspeksi

Jantung

: Normochest, simetris kiri dan kanan.

Palpasi

: Fremitus tidak dapat dinilai

Perkusi

: Sonor

Auskultasi

: Vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

: Inspeksi

: Iktus tidak terlihat

Palpasi

: Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: Batas-batas jantung dalam batas


normal

Auskultasi
Abdomen

: Inspeksi

: Irama teratur, bising tidak ada.

: Tidak tampak membuncit

Palpasi

: Supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

30

Ekstremitas

: Edema tidak ada, akral hangat

Status neurologikus :
1. GCS E4M6V5 = 15
2. Tanda rangsangan meningeal :

Kaku kuduk

Brudzinsky I : negatif

Brudzinsky II : negatif

Kernig

: negatif

: negatif

3. Tanda peningkatan tekanan intrakranial : Tidak ada


4. Nn. Kranialis :
5. N.I (Olfaktorius)
Penciuman subjektif
Objektif dengan bahan
6. N.II (Optikus)
Tajam penglihatan
Lapangan pandang
Melihat warna
Funduskopi
7. N. III (Okulomotorik)
Bola mata
Ptosis
Gerakan bulbus

arah
Strabismus
Nistagmus
Ekso/ Endopthalmus
Pupil

cahaya
8. N.IV (Troklearis)
Gerakan mata ke bawah
Sikap bulbus
Diplopia
9. N.V (Trigeminus)
Membuka mulut
Menggerakkan rahang
Menggigit
Mengunyah

: dalam batas normal


: dalam batas normal
:
:
:
:

dalam batas normal


dalam batas normal
dalam batas normal
tidak diperiksa

: bulat
:-/: bola mata bergerak bebas ke segala
:
:
:
:

tidak ada
tidak ada
-/bulat, isokor, 3 mm / 3 mm, refleks
+/+

: (+)
: di tengah
: tidak ada
:
:
:
:

31

dalam batas normal


dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas normal

Refleks kornea
: + / + normal
Sensibilitas wajah
: dalam batas normal
10. N.VI (Abdusen)
Gerakan mata ke lateral : (+)
Sikap bulbus
: di tengah
Diplopia
: tidak ada
11. N.VII (Fasialis)
Raut wajah
: simetris
Sekresi air mata
: dalam batas normal
Menggerakkan dahi
: dalam batas normal
Menutup mata
: dalam batas normal
Mencibir/ bersiul
: dalam batas normal
Memperlihatkan gigi
: dalam batas normal
Sensasi lidah 2/3 depan : dalam batas normal
12. N.VIII (Vestibulokoklearis)
Suara berbisik
: dalam batas normal
Test garpu tala
: tidak dilakukan
Nistagmus
: tidak ada
Pengaruh posisi kepala : dalam batas normal
13. N.IX (Glossofaringeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang : dalam batas normal
Refleks muntah
: ada
14. N.X (Vagus)
Arkus faring
: simetris
Uvula
: di tengah
Menelan
: dalam batas normal
Artikulasi
: dalam batas normal
Suara
: dalam batas normal
Nadi
: irama sinus reguler
15. N.XI (Asesorius)
Menoleh ke kanan
: dalam batas normal
Menoleh ke kiri
: dalam batas normal
Mengangkat bahu ke kanan : dalam batas normal
Mengangkat bahu ke kiri : dalam batas normal
16. N.XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah dalam : di tengah
Kedudukan lidah dijulurkan : di tengah
Tremor
: tidak ada
Fasikulasi
: tidak ada
Atrofi
: tidak ada
A. Pemeriksaan Koordinasi
- Cara berjalan
: tidak dilakukan
- Romberg test
: tidak dilakukan
- Ataksia
: tidak dilakukan
32

- Rebound phenomen : tidak dilakukan


- Test tumit lutut
: tidak dilakukan
- Disartria
: tidak ada
- Disgrafia
: tidak ada
- Supinasi-pronasi
: dalam batas normal
- Test jari hidung
: dalam batas normal
- Test hidung jari
: dalam batas normal
B. Pemeriksaan Fungsi Motorik
- Badan
: respirasi spontan
- Gerakan spontan
: (+)
- Tremor
: (-)
- Atetosis
: (-)
- Mioklonik
: (-)
- Khorea
: (-)
- Gerakan ekstrimitas : dalam batas normal
- Kekuatan ekstrimitas :
555
555

444
444
- Trofi / Tonus
: eutrofi / eutonus
C. Pemeriksaan Fungsi Sensorik
- Eksteroseptif: baik
- Proprioseptif : baik
D. Sistem Refleks
- Refleks fisiologis
o Biseps
: ++ kanan dan kiri
o Triseps
: ++ kanan dan kiri
o KPR
: ++ kanan dan kiri
o APR
: ++ kanan dan kiri
-

Refleks patologis
o Hoffman-tromner : ( - ) kanan dan kiri
o Babinskys sign
: ( - ) kanan dan kiri
o Chaddocks sign
: ( - ) kanan dan kiri
o Gordons sign
: ( - ) kanan dan kiri
o Schaeffers sign
: ( - ) kanan dan kiri
o Oppenheims sign : ( - ) kanan dan kiri
E. Fungsi Otonom
Neurogenic bladder tidak ada
F. Fungsi Luhur
Kesadaran komposmentis kooperatif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hb

: 11,6 gr/dl

Ureum

33

: 22 mg/dl

Leukosit

: 5000 / mm

Kreatinin

: 1,0 mg/dl

Trombosit

: 223.000 / mm

Natrium

: 139 mmol/l

Ht

: 35 %

Kalium

: 118 mg/dl

Klorida

3,8

mmol/l
GDS

: 106 mmol/l

Brain CT scan tanpa kontras: tampak lesi isodens di temporoparietal hemisfer


dextra yang mengobliterasi sistem ventrikel.
Kesan : subdural hematome acute on chronic

DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis

: Hemiparese sinistra + parese N VII sinistra

sentral + traction headache (Subdural hematom subakut)

34

Diagnosis Topik

: Ruang Subdural

Diagnosis Etiologi

: Ruptur briedging vein

Diagnosis Sekunder : -

RENCANA
Pada pasien akan dilakukan konsultasi ke bagian bedah saraf untuk dilakukan
tindakan selanjutnya.

TERAPI
Umum :

Elevasi kepala 30

MB 1900 kkal

Khusus :

Parasetamol 4x500 mg (per oral)

PROGNOSIS

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad sanam

: bonam

Quo ad fungsionam

: bonam

35

BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki usia 46 tahun masuk bangsal neurologi RSUP DR
M. Djamil Padang pada tanggal 17 Mei 2016 dengan diagnosis klinis Hemiparese
sinistra + parese N VII sinistra sentral traction headache (Subdural hematom
subakut), Diagnosis topik Ruang subdural dan Diagnosis etiologi ruptur briedging
vein. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis didapatkan Lemah anggota gerak kiri sejak 4 hari
sebelum masuk Rumah Sakit, terjadi tiba-tiba saat pasien sedang makan, pasien
kesulitan mengangkat lengan kiri dan tungkai kirinya. Keluhan ini tidak disertai
dengan mulut mencong dan bicara pelo dan pada pasien juga tidak ditemukan
penurunan kesadaran, muntah dan kejang. Pasien mengeluhkan nyeri kepala yang
meningkat sejak 1 minggu yang lalu, dimana pasien pernah terjatuh dari motor
dan kepala bagian kanan membentur aspal, setelah jatuh pasien sadar dan
mengeluhkan nyeri kepala, pasien pergi berobat ke klinik dan RSUD, pasien
diberi obat penghilang nyeri dan keluhan nyeri kepala hilang setelah pasien
meminum obat. Pasien jadi mudah lupa dan suka bicara tidak nyambung sejak 1
minggu yang lalu, pasien lupa dimana meletakkan barang dan tidak nyambung
bila diajak bicara. Pasien memiliki riwayat jatuh dari atap ketika sedang bekerja 2
bulan yang lalu, namun keluarga pasien tidak tahu mekanisme jatuhnya, pasien

36

tidak memiliki riwayat DM, Hipertensi dan penyakit jantung. Pasien bekerja
sebagai seorang buruh bangunan dengan aktivitas fisik sedang-berat dan pasien
merupakan seorang perokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/50 mmHg, nadi 65x/menit, dan suhu
27,1OC. Dari pemeriksaan status internus didapatkan dalam batas normal,
Pemeriksaan status neurologikus didapatkan GCS E4M6V5 = 15, tidak ditemukan
tanda rangsang meningeal dan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan nervus kranialis didapatkan pupil isokor, bentuk bulat, 3mm/3mm,
reflek cahaya +/+, reflek kornea (+), pemeriksaan kekuatan motorik : terdapat
penurunan kekuatan motorik pada anggora gerak kiri dengan kekuatan 444 pada
ekstremitas kiri atas dan bawah. Reflek fisiologis normal, Reflek patologis tidak
ditemukan.

Dari

pemeriksaan

penunjang, didapatkan

hasil

pemeriksaan

laboratorium darah rutin dan kimia klinik darah dalam batas normal, pada
pemeriksaan brain CT Scan tanpa kontras tampak lesi isodens di temporoparietal
hemisfer dextra yang mengobliterasi sistem ventrikel dengan kesan subdural
hematome acute on chronic
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis
klinis Hemiparese sinistra + parese N VII sinistra sentral traction headache
(Subdural hematom subakut), Diagnosis topik Ruang subdural dan Diagnosis
etiologi ruptur briedging vein. Ditegakkan Perdarahan Subdural hematom sub
akut karena dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
ditemukan hasil yang cocok dengan diagnosis subdural hematom.
Pasien ditatalaksana awal dengan terapi umum Elevasi kepala 30, MB
1900 kkal dan terapi khusus yaitu pemberian Parasetamol 4x500 mg (per oral),
pada pasien akan dilakukan konsultasi ke bagian bedah saraf untuk dilakukan
tindakan selanjutnya agar keluhan pasien berkurang.

37

BAB V
KESIMPULAN

1. Subdural hematom (SDH) merupakan perdarahan yang terletak di subdural


space yaitu di antara duramater dan arakhnoid
2. SDH terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining
3. Pemeriksaan neurologis yang dilakukan meliputi kesadaran penderita dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) , pemeriksaan diameter kedua
pupil , dan tanda-tanda defisit neurologis fokal.
4. Pemeriksaan tambahan yang dapat menunjang diagnosis perdarahan
subaraknoid adalah pemeriksaan Brain CT Scan dan MRI jika diperlukan pada
hasil CT scan yang meragukan.
5. Tatalaksana yang bisa diberikan kepada pasien SDH meliputi tatalaksana non
operatif dan operatif. Tatalaksana non operatif pada pasien bisa dilakukan
pemberian manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial dan untuk
tatakaksana operatif bisa dilakukan pembedahan untuk mengevakuasi
hematom.
6. Pada perdarahan SDH keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan faktor
yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) pada pasien.

38

Daftar Pustaka
1 Sastrodiningrat, A.G., 2009. Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam.
Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Repository USU. Hal: 371-384.
2 Rutland-Brown W1, Langlois JA, Thomas KE, Xi YL. 2006. Incidence of
traumatic brain injury in the United States, 2003. J Head Trauma
Rehabilitation. 2006 Nov-Dec; 21(6):544-8.
3 Saanin,
Syaiful.
Cedera
Kepala.

Diakses

dari

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Klasifikasi pada 16 Mei 20156.


4 Wim de jong; Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC. 2004
5 Meagher JR. Subdural Hematom. 2015. Diakses tanggal 17 Mei 2016 pukul
10.00: www.medscape.com.
6 National Institute of Neurological Disorder and stroke. Subdural Hematom CT
Scan. 2015. Diakses tanggal 18 Mei 2016 pukul 11.00:www.ninds.nih.gov.
7 T. Scarabino, U. Salvoni & J.R. Jinkins; Emergency Neuroradiology; German;
Springer Berlin Heidelberg; 2006; Halaman 59, 118, 139, 146, 150 154
8 Advance Trauma Life Support. American college of Surgeons Comitte on Trauma.
9 Meagher, J Richard. Subdural hematom. Medscape. 2013
10 Mardjono, Mahar ; Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar.
11 Sloane. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC. 2004
12 T. Moritani, S. Ekholm & P. L Westesson; Diffusion-Weighted MR Imaging of The
Brain; German; Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2005; Halaman 64, 156
-157, 209
13 Rudiger von Kummer & Tobias Back; Magnetic Resonance Imaging in Ischemic
Stroke; German; Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006; Halaman 164
165

39

14 David Sutton; Textbook of Radiology and Imaging, Volume 2; 7th Edition; Elsevier
Science Ltd.; 2003; Halaman 1767 1769, 1779 1782
15 Harsono DSS; Kapita Selekta Neurologi; Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada; Gadjah Mada University Press; Halaman 309, 315
16 Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson; PATOFISIOLOGI: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Buku 2; Penerbit Buku Kedokteran;
1994; Halaman 1014-1019
17 Sastrodiningrat, A Gofar. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural
Akut. Medan : Majalah kedokteran Nusantara Volume 39 No 3. 2006
18 R.G Grainger, D. J. Allison, A. Adam & A. K. Dixon; Grainger & Allisons
Diagnostic Radiology: A Textbook Medical Imaging, 4th Edition; Harcourt
Publishers Limited; 2001.
19 Satyanegara dan lain-lain; Ilmu Bedah Saraf, Edisi IV; Jakarta; Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama; Halaman 212-213
20 Japardi I. Cedera Kepala. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia:
Jakarta:2004.
21 Karnath, Bernadh. Subdural hematom. Geriatrick Volume 59 No 7. 2004
22 Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott
Williams and Wilkins
23 Rusdy Ghazali Malueka; Radiologi Diagnostik; Yogyakarta; Pustaka Cendekia
Press Yogyakarta; April 2011; Halaman 140 147
24 Abougazia, Ali. Subacute Subdural Haematoma. 2015. Diakses tanggal 19 Mei
2015 pukul 20.00 WIB: www.radiopaedia.org
25 Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
26 Amit Agrawal; Bilateral Biconvex Fronal Chronic Subdural Hematom Mimicking
Extradural Hematom; diunduh 19 Mei 2016 pukul 20.00: http://www.jstcr.org
27 Bullock, Ross. Surgical Management of Subdural hematom. 2006.
28 Gerald. Current Diagnosis & Treatment. Lange.

40

Anda mungkin juga menyukai