Subdural Hematom
Oleh:
Amanda Besta Rizaldy
1010313119
Preseptor:
Prof. DR. dr. H. Darwin Amir, Sp.S (K)
dr. Syarif Indra, Sp.S
dr. Restu Susanti Sp.S
BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL PADANG
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamiin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan case report session yang berjudul Subdural Hematom. Penulisan
case report session ini merupakan salah satu syarat dalam memenuhi tugas dokter
muda bagian Neurologi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. M. Djamil
Padang.
Pemenuhan tugas case report session ini tidak terlepas dari bimbingan
preseptor serta dokter residen pembimbing dari kelompok satu. Oleh karenanya,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. DR. dr. H. Darwin Amir,
Sp.S (K), dr. Syarif Indra, Sp.S dan dr. Restu Susanti Sp.S M.Biomed sebagai
preseptor dalam penulisan case report session ini, selain itu juga kepada dokter
residen pembimbing kelompok satu. Semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dengan balasan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak
apabila dalam proses penyusunan case report session
melakukan hal yang kurang berkenan. Penulis menyadari bahwa case report
session ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan untuk kemajuan penulisan case report session ini. Akhir kata,
semoga case report session ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan
pembaca pada umumnya, dan penulis pada khususnya, mengenai subdural
hematom.
Padang, 20 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................ 2
Daftar Isi............
..
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Batasan masalah.
1.3. Tujuan Penulisan
1.4. Metode Penulisan...
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi ...........................................................................
2.2. Epidemiologi.. 6
2.3. Anatomi................................. 7
2.4. Etiologi dan Faktor Risiko..... 12
2.5. Patofisiologi 13
2.6. Klasifikasi............... 16
2.7. Diagnosis........................ 17
2.8. Diagnosis Banding...... 24
2.9. Tatalaksana. 26
2.10. Komplikasi..
27
....
2.11. Prognosis..
27
......
BAB III. LAPORAN KASUS................................ 29
BAB IV. DISKUSI.......... 38
BAB V. KESIMPULAN. 40
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala merupakan suatu trauma yang mengenai struktur kepala
sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
pada jaringan otak yang disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
hal ini dapat menimbulkan penurunan kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik seseorang.1,2 Subdural Hematom
(SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat, terjadi paling sering
akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.3
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdahan epidural, kira-kira
30% dari cedera otak berat. Pembesaran hematom karena robeknya vena
memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu. Hematom
subdural dapat menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal
kejadian, timbulnya kecacatan pada kemudian hari atau bahkan pada kasus yang
berat dapat menimbulkan kematian.4
1.2 Batasan Masalah
Penulisan case report ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, dan tatalaksana subdural hematom.
1.3Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report ini antara lain sebagai berikut :
1. Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian
neurologi RSUP. Dr. M. Djamil Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang
2. Menambah pengetahuan mengenai subdural hematom.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Epidemiologi
Subdural hematom bisa terjadi pada semua usia, akan tetapi usia tersering
yang ditemui berkisar antara usia 60-80 tahun. Hal ini terjadi karena mobilitas
otak di dalam tengkorak meningkat akibat artrofi senile sehingga memudahkan
terjadinya rupture vein bila terjadi trauma. Subdural hematom lebih sering terjadi
dibandingkan epidural hematom yaitu sekitar 30% dari cedera kepala berat
disertai cedera kepala kontusio lebih sering menjadi penyebab dibandingkan
fraktur tulang tengkorak.7 Perdarahan seringkali terjadi akibat dari robekan
pembuluh darah atau vena-vena kecil pada permukaan korteks serebri. 8 Hematom
subdural akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera kepala berat.
Sedangkan untuk hematom subdural kronis dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000
penduduk.9
Anatomi
Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin (kulit),
connective tissue (jaringan penyambung), aponeurosis (galea aponeurotika),
loose
Tulang tengkorak terdiri dari kalvaria dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya pada regio temporal bersrtruktur tipis dan dilapisi oleh otot temporalis.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga mudah terjadi trauma dan melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Tiga fosa
pada rongga tengkorak dasar yaitu : fosa anterior (lobus frontalis), fosa media
(temporalis) dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.11
Meningen
Selaput meningen membungkus seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Duramater secara
konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arachnoid karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, dimana pada bagian ini sering terjadi perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya
fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).11
Persarafan pada duramater terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga
saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus.
resptor reseptor nyeri dalam dura mater diatas tentorium mengirimkan impuls
melalui n.trigeminus, dan nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls
nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan
melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang
kepala dan leher.11
mengalir
kedalam
pleksus
venosus
pterygoideus
atau
sinus
yang
berlawanan
dan
menerima
sinus
occipitalis.
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri,
berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas
tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis
persambungan falx serebri dengan tentorium serebelli, terbentuk dari
persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna, berakhir
membelok kekiri membentuk sinus transfersus. Sinus transverses merupakan
struktur berpasangan dan mereka mulai pada protuberantia occipitalis interna.
Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri
berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada
tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus
posterior os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena vena
serebralis inferior, vena vena serebellaris dan vena vena diploika. Mereka
berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus. Sinus
sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan
melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis
merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat,
ia berhubungan dengan vena vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus
konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada setiap
sisi corpus os sphenoidalis. Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf
simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus
11
dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus petrosus
superior dan inferior merupakan sinus sinus kecil pada batas batas superior
dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus
kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase
sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna. 11
3. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang yang
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi
otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, yang disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala. 11
4. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
merupakan membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana tersebut membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater. 11
12
Arteri-vascular malformasi
Hemoragik diathesis
Neoplasma (meningioma, meningeal carcinomatosis)
Spontan intracranial hipotensi
Rupture granulasio Pacchini
Kontusio cerebri
2.5
Hipertensi
Obat-obatan(anti-koagulan)
Atheroma
Usia lanjut
Patofisiologi
Duramater memiliki lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai
periosteum tulang tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan
meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta
saraf saraf cranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf
kranial. Sinus venosus terletak di dalam duramater yang mengalirkan darah
venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.
Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, terletak vertical
antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium
serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum,
berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium.11
Arachnoidea mater adalah membran yang lebih tipis dari duramater
dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater
menjembatani sulkus sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara
hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater
merupakan ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal.
Cairan serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi
jaringan saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala. 11
13
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lama
kelamaan akan mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
perlahan-lahan meningkat.9
Sedangkan untuk perdarahan yang besar akan menimbulkan gejalagejala akut menyerupai hematom epidural. Gejala-gejala ini ialah nyeri
kepala progresif, tajam penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi,
tanda-tanda defisit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala-gejala ini
timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya trauma
kepala.15 Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi
oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu
menarik cairan ke dalam hematom, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematom. Penambahan ukuran hematom ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membrane atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematom.16
Subdural hematom dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial awalnya
dikompensasi oleh refluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi
14
oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra cranial yang cukup tinggi.
Meskipun begitu, pembesaran hematom sampai pada suatu titik tertentu akan
melampaui mekanisme kompensasi. Komplains intrakranial mulai berkurang
sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang
cukup besar dengan akibat perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin.
Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang
otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya
tekanan supra tentorial. Juga pada hematom subdural kronik, didapatkan
bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak lainnya. Ada 2 teori yang menjelaskan
terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang
mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematom sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam
kapsul subdural hematom. Tekanan onkotik yang meningkat mengakibatkan
pembesaran dari perdarahan . Namun, terdapat kontroversi dari teori Gardner
ini, yaitu dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural
kronik ternyata memiliki hasil yang normal yang mengikuti hancurnya sel
darah merah. 14
Teori ke-dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat menyebabkan meningkatnya kejadian perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematom. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya SDH. 14
15
Deskripsi
m
I
II
III
IV
2.6
Klasifikasi
1. SDH Akut
SDH akut paling sering terjadi pada post-traumatik dan sangat
jarang ditemukan subdural hematom akibat rupture serebral aneurisme dari
arteri communicating posterior. Gejala neurologik terjadi dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Subdural hematom juga bisa terjadi apabila rupture
fistula arteriovenous dural.18 Hematom subdural akut secara klinis terbagi
menjadi tiga kelompok, dua kelompok pertama berhubungan dengan
kontusi dan laserasi, baik akibat dari beban benturan atau beban akselerasi
yang kadang juga disebut sebagai hematom subdural komplikata.
Kelompok ketiga merupakan cedera primer akibat disrupsi pembuluhpembuluh darah di permukaan khususnya vena-vena jembatan yang
disebabkan oleh guncangan semata dan bukan beban bentura. Hematom
subdural juga kadang-kadang bisa dikaitkan dengan kerusakan hemisterik
atau bihemisterik seperti cedera aksonal difusa, karena mempunyai
mekanisme yang sama.19
2. SDH Subakut
SDH Subakut dapat menyebabkan devisit neurologik dalam waktu
lebih dari 48 jam tapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Penyebab dari
SDH subakut ini biasanya karena adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
16
Diagnosis
Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk
mengetahui tingkat keparahan dari setiap cedera kepala. Kemampuan pasien
dalam berbicara, membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai
dengan ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan
kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan.
Jika pasien dalam keadaan tidak sadar, maka pemeriksaan reflek cahaya pupil
sangat penting untuk dilakukan.10
a. Anamnesis
Dari anamnesis bisa di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik jejas
dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada atau tidaknya kehilangan
kesadaran atau pingsan. Jika terdapat kehilangan kesadaran, tanyakan pernah atau
tidaknya penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah
tetap sadar seperti semula atau kesadarannya kembali menurun, dan di perhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab
utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau
karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada pasien sadar perlu
ditanyakan ada atau tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota
17
gerak pada satu sisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan, serta perlu
ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita pasien, obat-obatan yang
sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah pasien dalam pengaruh alkohol.21
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan primer
(primary survey) yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan
(breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan
dengan resusitasi. Jalan nafas pasien harus dibersihkan apabila terjadi
sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau
endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan
untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian
pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O 2. Secara
bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika
terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan
tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.21
Pemeriksaan neurologis yang dilakukan meliputi kesadaran
penderita dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
18
Skor
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
c. Gejala Klinis
1. SDH Akut
SDH akut menimbulkan gejala neurologis penting dan serius dalam
24 jam sampai 48 jam setelah cedera yang seringkali berkaitan dengan
trauma otak berat. Hematom ini juga mempunyai mortalitas yang
tinggi. Gangguan neurologic progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini
dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
penguasaan atas denyut nadi dan tekanan darah.16
2. SDH Subakut
Pada SDH subakut defisit neurologik yang bermakna terjadi dalam
waktu lebih dari 48 jam tapi kurang dari dua minggu setelah cedera.
Seperti hematom subdural akut, hematom ini juga disebabkan oleh
perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis yang khas
dari penderita hematom subdural subakut adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologic yang perlahan-lahan. Namun, setelah jangka waktu
19
foto
tengkorak
tidak
dapat
dipakai
untuk
20
21
SDH Subakut
Pada SDH subakut, gambaran pada CT-Scan berupa lesi isodens yang
hampir menyamai densitas grey matter. Hal ini membuat susahnya
membedakan antara lesi dengan jaringan parenkim otak untuk mata
yang belum terlatih untuk membaca CT-Scan. Cara mudah untuk
membedakannya ialah dengan melihat efek dari lesi atau massa dari
hematom seperti penekanan pada ventrikel dan pergeseran dari garis
tengah (midline shift) pada white matter ataupun grey matter.24
22
23
Etiologi
EDH
1-4% kasus trauma;
10-20%
SDH
semua
trauma;
kasus
arachnoid mater;
Penemuan ct
sutura cranialnya;
95% supratentorial
95% supratentorial
5% subtentorial
5% bilateral
5% bilateral
Bentuk biconvex;
40%
24
campuran
(hiper-/hipodens)
66% hiperdens;
Subakut: isodens
Chronic: hipodense
Crescent shape.
2. Neoplasma
Intracranial neoplasma dan hematom subdural kronik amat sukar
dibedakan tanpa bantuan neuroimaging. Menifestasi klinis untuk neoplasma
seperti nyeri kepala, gangguan status mental berubah dan tanda neurologic fokal
sama dengan hematom subdural. Untuk membedakannya pemeriksaan CT-scan
atau MRI diperlukan.16
25
2.9
Tatalaksana
rekurensi atau masih terdapat sisa hematom yang mungkin memperlukan tindakan
pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma
setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah
kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan
intrakranial28
2.11 Prognosis
Pada beberapa kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang
dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejalagejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif
segera untuk dekompresi otak. 13 Tindakan operasi pada hematom subdural kronik
memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan
sembuh total. Hematom subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan
angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter <
1 cm), prognosanya baik. Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple SDH)
ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%. Perdarahan subdural akut
yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak , misalnya
kontusio atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematom
yang banyak. Pada penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya
berhubungan dengan volume subdural hematom dan jauhnya midline shift. Akan
tetapi, hal yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau
tidaknya kontusio parenkim otak. Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan
kerusakan parenkim otak merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa
akhir (outcome) daripada tumpukan hematom ekstra axial di ruang subdural.
27
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis kelamin
Usia
Pekerjaan
Agama
Suku
Pendidikan Terakhir
Alamat
Nomor Rekam Medik
Tanggal masuk
: Tn. J
: Laki-laki
: 64 tahun
: Buruh
: Islam
: Minangkabau
: SMP
: Pampangan, Lubeg, Padang
: 946143
: 17 Mei 2016
ANAMNESIS
28
Lemah anggota gerak kiri sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit,
terjadi tiba-tiba saat pasien sedang makan, pasien kesulitan mengangkat
nyeri dan keluhan nyeri kepala hilang setelah pasien meminum obatnya.
Pasien jadi mudah lupa dan suka bicara tidak nyambung sejak 1 minggu
yang lalu, pasien lupa dimana meletakkan barang dan tidak nyambung bila
diajak bicara.
29
PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Keadaan Umum
: sedang
Kesadaran
: kompos mentis
Tekanan darah
: 110/50 mmHg
Frekuensi nadi
: 65 x/menit
Frekuensi nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 37,1 C
Status Internus :
Kulit
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorokan
Leher
KGB
Thorak : Paru
: Inspeksi
Jantung
Palpasi
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
30
Ekstremitas
Status neurologikus :
1. GCS E4M6V5 = 15
2. Tanda rangsangan meningeal :
Kaku kuduk
Brudzinsky I : negatif
Brudzinsky II : negatif
Kernig
: negatif
: negatif
arah
Strabismus
Nistagmus
Ekso/ Endopthalmus
Pupil
cahaya
8. N.IV (Troklearis)
Gerakan mata ke bawah
Sikap bulbus
Diplopia
9. N.V (Trigeminus)
Membuka mulut
Menggerakkan rahang
Menggigit
Mengunyah
: bulat
:-/: bola mata bergerak bebas ke segala
:
:
:
:
tidak ada
tidak ada
-/bulat, isokor, 3 mm / 3 mm, refleks
+/+
: (+)
: di tengah
: tidak ada
:
:
:
:
31
Refleks kornea
: + / + normal
Sensibilitas wajah
: dalam batas normal
10. N.VI (Abdusen)
Gerakan mata ke lateral : (+)
Sikap bulbus
: di tengah
Diplopia
: tidak ada
11. N.VII (Fasialis)
Raut wajah
: simetris
Sekresi air mata
: dalam batas normal
Menggerakkan dahi
: dalam batas normal
Menutup mata
: dalam batas normal
Mencibir/ bersiul
: dalam batas normal
Memperlihatkan gigi
: dalam batas normal
Sensasi lidah 2/3 depan : dalam batas normal
12. N.VIII (Vestibulokoklearis)
Suara berbisik
: dalam batas normal
Test garpu tala
: tidak dilakukan
Nistagmus
: tidak ada
Pengaruh posisi kepala : dalam batas normal
13. N.IX (Glossofaringeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang : dalam batas normal
Refleks muntah
: ada
14. N.X (Vagus)
Arkus faring
: simetris
Uvula
: di tengah
Menelan
: dalam batas normal
Artikulasi
: dalam batas normal
Suara
: dalam batas normal
Nadi
: irama sinus reguler
15. N.XI (Asesorius)
Menoleh ke kanan
: dalam batas normal
Menoleh ke kiri
: dalam batas normal
Mengangkat bahu ke kanan : dalam batas normal
Mengangkat bahu ke kiri : dalam batas normal
16. N.XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah dalam : di tengah
Kedudukan lidah dijulurkan : di tengah
Tremor
: tidak ada
Fasikulasi
: tidak ada
Atrofi
: tidak ada
A. Pemeriksaan Koordinasi
- Cara berjalan
: tidak dilakukan
- Romberg test
: tidak dilakukan
- Ataksia
: tidak dilakukan
32
444
444
- Trofi / Tonus
: eutrofi / eutonus
C. Pemeriksaan Fungsi Sensorik
- Eksteroseptif: baik
- Proprioseptif : baik
D. Sistem Refleks
- Refleks fisiologis
o Biseps
: ++ kanan dan kiri
o Triseps
: ++ kanan dan kiri
o KPR
: ++ kanan dan kiri
o APR
: ++ kanan dan kiri
-
Refleks patologis
o Hoffman-tromner : ( - ) kanan dan kiri
o Babinskys sign
: ( - ) kanan dan kiri
o Chaddocks sign
: ( - ) kanan dan kiri
o Gordons sign
: ( - ) kanan dan kiri
o Schaeffers sign
: ( - ) kanan dan kiri
o Oppenheims sign : ( - ) kanan dan kiri
E. Fungsi Otonom
Neurogenic bladder tidak ada
F. Fungsi Luhur
Kesadaran komposmentis kooperatif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hb
: 11,6 gr/dl
Ureum
33
: 22 mg/dl
Leukosit
: 5000 / mm
Kreatinin
: 1,0 mg/dl
Trombosit
: 223.000 / mm
Natrium
: 139 mmol/l
Ht
: 35 %
Kalium
: 118 mg/dl
Klorida
3,8
mmol/l
GDS
: 106 mmol/l
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
34
Diagnosis Topik
: Ruang Subdural
Diagnosis Etiologi
Diagnosis Sekunder : -
RENCANA
Pada pasien akan dilakukan konsultasi ke bagian bedah saraf untuk dilakukan
tindakan selanjutnya.
TERAPI
Umum :
Elevasi kepala 30
MB 1900 kkal
Khusus :
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad sanam
: bonam
Quo ad fungsionam
: bonam
35
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki usia 46 tahun masuk bangsal neurologi RSUP DR
M. Djamil Padang pada tanggal 17 Mei 2016 dengan diagnosis klinis Hemiparese
sinistra + parese N VII sinistra sentral traction headache (Subdural hematom
subakut), Diagnosis topik Ruang subdural dan Diagnosis etiologi ruptur briedging
vein. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis didapatkan Lemah anggota gerak kiri sejak 4 hari
sebelum masuk Rumah Sakit, terjadi tiba-tiba saat pasien sedang makan, pasien
kesulitan mengangkat lengan kiri dan tungkai kirinya. Keluhan ini tidak disertai
dengan mulut mencong dan bicara pelo dan pada pasien juga tidak ditemukan
penurunan kesadaran, muntah dan kejang. Pasien mengeluhkan nyeri kepala yang
meningkat sejak 1 minggu yang lalu, dimana pasien pernah terjatuh dari motor
dan kepala bagian kanan membentur aspal, setelah jatuh pasien sadar dan
mengeluhkan nyeri kepala, pasien pergi berobat ke klinik dan RSUD, pasien
diberi obat penghilang nyeri dan keluhan nyeri kepala hilang setelah pasien
meminum obat. Pasien jadi mudah lupa dan suka bicara tidak nyambung sejak 1
minggu yang lalu, pasien lupa dimana meletakkan barang dan tidak nyambung
bila diajak bicara. Pasien memiliki riwayat jatuh dari atap ketika sedang bekerja 2
bulan yang lalu, namun keluarga pasien tidak tahu mekanisme jatuhnya, pasien
36
tidak memiliki riwayat DM, Hipertensi dan penyakit jantung. Pasien bekerja
sebagai seorang buruh bangunan dengan aktivitas fisik sedang-berat dan pasien
merupakan seorang perokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/50 mmHg, nadi 65x/menit, dan suhu
27,1OC. Dari pemeriksaan status internus didapatkan dalam batas normal,
Pemeriksaan status neurologikus didapatkan GCS E4M6V5 = 15, tidak ditemukan
tanda rangsang meningeal dan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan nervus kranialis didapatkan pupil isokor, bentuk bulat, 3mm/3mm,
reflek cahaya +/+, reflek kornea (+), pemeriksaan kekuatan motorik : terdapat
penurunan kekuatan motorik pada anggora gerak kiri dengan kekuatan 444 pada
ekstremitas kiri atas dan bawah. Reflek fisiologis normal, Reflek patologis tidak
ditemukan.
Dari
pemeriksaan
penunjang, didapatkan
hasil
pemeriksaan
laboratorium darah rutin dan kimia klinik darah dalam batas normal, pada
pemeriksaan brain CT Scan tanpa kontras tampak lesi isodens di temporoparietal
hemisfer dextra yang mengobliterasi sistem ventrikel dengan kesan subdural
hematome acute on chronic
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis
klinis Hemiparese sinistra + parese N VII sinistra sentral traction headache
(Subdural hematom subakut), Diagnosis topik Ruang subdural dan Diagnosis
etiologi ruptur briedging vein. Ditegakkan Perdarahan Subdural hematom sub
akut karena dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
ditemukan hasil yang cocok dengan diagnosis subdural hematom.
Pasien ditatalaksana awal dengan terapi umum Elevasi kepala 30, MB
1900 kkal dan terapi khusus yaitu pemberian Parasetamol 4x500 mg (per oral),
pada pasien akan dilakukan konsultasi ke bagian bedah saraf untuk dilakukan
tindakan selanjutnya agar keluhan pasien berkurang.
37
BAB V
KESIMPULAN
38
Daftar Pustaka
1 Sastrodiningrat, A.G., 2009. Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam.
Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Repository USU. Hal: 371-384.
2 Rutland-Brown W1, Langlois JA, Thomas KE, Xi YL. 2006. Incidence of
traumatic brain injury in the United States, 2003. J Head Trauma
Rehabilitation. 2006 Nov-Dec; 21(6):544-8.
3 Saanin,
Syaiful.
Cedera
Kepala.
Diakses
dari
39
14 David Sutton; Textbook of Radiology and Imaging, Volume 2; 7th Edition; Elsevier
Science Ltd.; 2003; Halaman 1767 1769, 1779 1782
15 Harsono DSS; Kapita Selekta Neurologi; Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada; Gadjah Mada University Press; Halaman 309, 315
16 Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson; PATOFISIOLOGI: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Buku 2; Penerbit Buku Kedokteran;
1994; Halaman 1014-1019
17 Sastrodiningrat, A Gofar. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural
Akut. Medan : Majalah kedokteran Nusantara Volume 39 No 3. 2006
18 R.G Grainger, D. J. Allison, A. Adam & A. K. Dixon; Grainger & Allisons
Diagnostic Radiology: A Textbook Medical Imaging, 4th Edition; Harcourt
Publishers Limited; 2001.
19 Satyanegara dan lain-lain; Ilmu Bedah Saraf, Edisi IV; Jakarta; Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama; Halaman 212-213
20 Japardi I. Cedera Kepala. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia:
Jakarta:2004.
21 Karnath, Bernadh. Subdural hematom. Geriatrick Volume 59 No 7. 2004
22 Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott
Williams and Wilkins
23 Rusdy Ghazali Malueka; Radiologi Diagnostik; Yogyakarta; Pustaka Cendekia
Press Yogyakarta; April 2011; Halaman 140 147
24 Abougazia, Ali. Subacute Subdural Haematoma. 2015. Diakses tanggal 19 Mei
2015 pukul 20.00 WIB: www.radiopaedia.org
25 Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
26 Amit Agrawal; Bilateral Biconvex Fronal Chronic Subdural Hematom Mimicking
Extradural Hematom; diunduh 19 Mei 2016 pukul 20.00: http://www.jstcr.org
27 Bullock, Ross. Surgical Management of Subdural hematom. 2006.
28 Gerald. Current Diagnosis & Treatment. Lange.
40