Anda di halaman 1dari 2

Abdul Madjid, Kisah Penjaga Makam Tsunami Siroen, Lambaro

Ketika malam turun di pemakaman di Siroen, Lambaro, selalu terdengar lolongan anjing,
seolah mereka tengah berdiskusi. Disertai angin malam yang dingin, dan sunyi yang
mencekam, gambaran film horor itu seolah hadir di kawasan Aceh besar pasca-tsunami. Pada
saat itulah, Abdul Madjid menyalakan senter, lalu mengarahkan cahaya ke kerumunan anjing
itu. Ia terperangah. Anjing-anjing itu berkelahi memperebutkan tulang-belulang manusia!
Abdul menghardik. Mereka tak peduli. Setelah dilempari batu, barulah anjing-anjing itu
kabur. Abdul memungut kembali tulang yang berserakan, lalu dikumpulkan dengan alas daun
pisang. Pada malam yang sunyi itu ia menguburkan tulang-tulang tersebut. Sendirian. Tapi
kawanan anjing tadi berhasil membawa kabur dua tulang kaki, dua tulang tangan, dan satu
tengkorak kepala.
Peristiwa Sabtu malam itu, dua pekan setelah tsunami menggulung Banda Aceh, terjadi di
kuburan massal korban tsunami yang terletak di Siroen, Lambaro, Aceh Besar. Lima puluh
ribu orang dimakamkan di situ, tapi penjaganya cuma Abdul Madjid seorang diri. Pria berusia
48 tahun ini ikut membantu penguburan sejak awal. Tiga jam sekali, ada jenazah masuk,
kata Abdul.
Sejak malam pertama, kawanan anjing sudah mengincar kuburan ini. Anjing-anjing itu asyik
berebut daging, juga tulang-tulangnya. Abdul sedih. Ia lalu berinisiatif ronda malam seorang
diri. Maklum, banyak orang yang ngeri dengan kuburan massal itu.
Tak cuma kuburan itu yang aman, warga pun merasa sentosa. Maklum, banyak orang yang
ngeri dengan kuburan massal itu. Sang istri bahkan sempat menjauh. Setiap pulang, baju dan
badannya bau mayat, Aisyiah mengisahkan kegiatan suaminya.Untung, Aisyiah kini tak
takut lagi. Yang dia cemaskan cuma biaya hidup rumah tangga. Sebab, pekerjaan menjaga
kuburan ini gratisan. Kalaupun ada yang membayar, sifatnya sukarela.
Abdul Madjid sempat berinisiatif menaruh dua celengan di sisi kiri-kanan makam.
Maksudnya agar para pezirah menaruh duit di dalamnya. Duit itu kemudian dipakai Abdul
Madjid untuk membeli karpet plastik, sapu, dan berbagai peralatan bersih-bersih lainnya. Sisa
uang diserahkan ke Masjid Batul Izzati, yang berada di seberang jalan. Tapi Abdul justru
dituduh makan uang kuburan itu. Padahal, demi Tuhan, saya tidak melakukannya, katanya
sedih.
Karena asap dapur seret mengepul, ia akhirnya menjual sapinya yang laku Rp 2,4 juta. Sapi
itu adalah upah atas pengembalaan hewan ternak salah seorang warga. Dan hanya itu harta

Abdul Madjid satu-satunya. Uangnya sudah habis pula untuk berobat sang istri yang didera
penyakit jantung.
Kisah sedih seakan terus menguntit Abdul Madjid. Rumah tinggalnya dihancurkan karena
pemilik tanah tak lagi memberikan izin menetap di situ. Dalam keadaan mabuk si tuan tanah
ini mengusir keluarga Abdul Madjid. Kini, bersama keluarga, Abdul menetap di bekas
kandang sapinya dengan perbaikan seadanya.
Hidup susah itu tak membuatnya meninggalkan kuburan massal yang dia anggap sebagai
kewajibannya sebagai warga. Jiwa-jiwa di situ seakan terus memanggilnya. Hingga kini ritual
ini sudah bagian dari napasnya: mengitari kuburan, mengusir anjing yang berebut daging
manusia, lalu menguburkan tulang-tulang yang berserakan. Sendirian. Di kegelapan malam.
Saya ingin mencari pintu taubat di sini, katanya sembari menerawang.
Kini kuburan yang dulu gersang itu tampak hijau. Abdul Madjid menanaminya dengan
kembang sepatu, serunai rambat, bunga raya, dan pohon pepaya. Saban malam ia berada di
situ. Sempat sepekan ia absen. Tapi itu karena ia diserang diare berat. Tapi selebihnya ia
adalah penjaga yang setia.
-------------------

Anda mungkin juga menyukai