Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

SINDROM NEFROTIK
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UII di RSUD Wonogiri

DIAJUKAN KEPADA YTH :


dr. IRAWAN P.H., Sp. A

DISUSUN OLEH :
ASIH ROSMANITA (01711006)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
JOGJAKARTA
2006

HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
SINDROM NEFROTIK
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UII di RSUD Wonogiri

Disusun Oleh :
Asih Rosmanita
NIM : 01711006

Telah dipresentasikan dan disahkan pada


19 Juni 2006

Pembimbing,

Dr. Irawan P.H., Sp. A

DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................................... i


Halaman Pengesahan .............................................................................................. ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii
Kata Pengantar ....................................................................................................... iv
BAB I. Pendahuluan ..

BAB II. Tinjauan Pustaka


2.1. Definisi ..................................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi ............................................................................................ 2
2.3. Etiologi ......................................................................................................3
2.4. Klasifikasi ................................................................................................ 4
2.5. Patofisiologi . 8
2.6. Manifestasi Klinis ................................................................................... 12
2.7. Diagnosis ................................................................................................ 14
2.8. Penatalaksanaan ..................................................................................... 16
2.9. Komplikasi ............................................................................................. 19
2.10. Diagnosis Banding ..................................................................................23
2.11. Prognosis ................................................................................................ 23
BAB III. Kesimpulan ............................................................................................. 25
Daftar Pustaka ........................................................................................................ 26

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, karena


atas karunia dan rahmat-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penugasan
referat dengan judul Sindrom Nefrotik.
Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan yang penulis miliki dan
selesainya referat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Irawan PH., Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan referat ini.
2. Para staf paramedis terutama di bangsal cempaka RSUD Wonogiri yang telah
memberi dukungan dan bimbingannya selama proses pembelajaran di sana.
3. Teman-teman seperjuanganku : Debi, Adit, dan Dyah yang selalu membantuku
dan bersama dalam suka dan duka.
4. Keluargaku di rumah yang selalu menyemangatiku dalam menjalani segala
sesuatunya.
5. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan kerjasamanya selama penyusunan referat ini.
Penulis menyadari pula bahwa penugasan referat ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
dalam perbaikan referat ini di masa mendatang. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Wonogiri, Juni 2006

Asih Rosmanita

BAB I. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala yang berhubungan dengan


kerusakan pada ginjal, yang dicirikan dengan kehilangan protein melalui urin.
Sindrom nefrotik dapat merupakan tanda utama dari beragam penyakit yang
merusak ginjal, terutama unit penyaringan darah (glomeruli), dimana urin
terbentuk.
Di Amerika, insidensi sindrom nefrotik dilaporkan sebanyak 2-7 kasus per
100.000 anak per tahun. Sindrom nefrotik memang terjadi 15 kali lipat lebih
banyak pada anak-anak dibandingkan dewasa.
Sindroma

nefrotik

merupakan

istilah

yang

dipergunakan

untuk

menggambarkan keadaan klinis sebagai akibat kehilangan albumin dalam jumlah


yang berlebihan, sehingga terjadi hipoalbuminemia, yang berakibat edema,
hiperlipidemia dan lipiduria. Sindrom ini disebabkan oleh berbagai macam
penyakit, yang mengakibatkan kebocoran glomerulus.
Secara garis besar, patologi sindrom nefrotik meliputi lesi minimal, lesi
proliferatif dan lesi sklerotik. Diagnosis sindrom nefrotik lebih ditekankan pada
adanya proteinuria, dimana pada sindrom nefrotik kadar protein di dalam urin lebih
dari 3,5 g/hari. Diagnosis penyebab sindrom nefrotik ditegakkan dengan biopsi
ginjal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron, immunofluoresensi dapat juga
dipakai untuk membantu mengidentifikasi penyebab sindrom nefrotik secara pasti.
Prinsip penanganan sindrom nefrotik adalah memperbaiki atau menekan
kerusakan glomerulus, mengembalikan protein yang hilang, mengurangi atau
menghilangkan asites dan edema, mengatasi hiperlipidemia dan hiperkoagulabilitas
yang terjadi.
Tinjauan pustaka berikut ini bertujuan untuk membahas tentang sindrom
nefrotik secara umum. Disamping itu juga akan dibahas beberapa hal yang
berhubungan dengan sindroma ini.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Sindrom nefrotik berasal dari kata Nephros yang berarti ginjal dan
Sindrom yang berarti kumpulan gejala. Sindrom nefrotik merupakan kumpulan
gejala yang berhubungan dengan disfungsi ginjal dan bukanlah suatu penyakit. 1
Sindrom nefrotik adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh beberapa kelainan
yang mengakibatkan kerusakan pada sistem filtrasi ginjal, yaitu glomeruli. Struktur
pada glomeruli mencegah terfiltrasinya protein kedalam urin. Pada keadaan normal,
seseorang kehilangan kurang dari 150 mg protein dalam urin dalam 24 jam.
Dikatakan sindrom nefrotik bila kadar protein urin melebihi 3,5 gr /1,73 m 2 luas
permukaan tubuh/hari atau 25 kali lipat lebih banyak dari nilai normal.2
Sindom nefrotik ditandai dengan kehilangan protein masif (albuminuria
primer) diikuti hipoproteinemia (hipoalbuminemia) serta akibat darinya yaitu
edema. Hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, dan meningkatnya lipiduria dapat
dikaitkan dengan terjadinya sindrom nefrotik.3
2.2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital,
sindrom nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder.4 Sindrom nefrotik yang
tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini
ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian
daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut
sindrom nefrotik sekunder. Insiden penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus
pertahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi
kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insiden di Indonesia diperkirakan 6 kasus pertahun
tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada
anak sekitar 2 : 1. Laporan dari luar negeri menunjukkan duapertiga kasus anak
dengan sindrom nefrotik dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.

Pasien sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga
kelompok :
1. Kongenital
2. Responsif steroid
3. Resisten steroid
Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasuskasus ini adalah sindrom nefrotik tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan
secara resesif autosom.5 Pada umumnya sebagian besar ( 80%) sindrom nefrotik
primer memberi respon yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi
kira-kira 50% diantaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi
respon lagi dengan pengobatan steroid.4 Kelompok responsif steroid sebagian besar
terdiri atas anak-anak dengan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM). Pada
penelitian di Jakarta diantara 364 pasien sindrom nefrotik yang dibiopsi, 44,2%
menunjukkan kelainan minimal. Kelompok tidak responsif steroid atau resisten
steroid terdiri atas anak-anak dengan kelainan glomerulus lain.5
2.3. ETIOLOGI
Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.6
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi6 :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus.
Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.

c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena


renalis.
3. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya)
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada sindrom

nefrotik

yang digunakan sesuai dengan rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan


glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya,
ditambah dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Pada tabel
di bawah ini dipakai istilah / terminologi yang sesuai dengan laporan ISKDC (1970)
dan Habib dan Kleinknecht (1971).5
Klasifikasi Kelainan Glomerulus pada Simdrom Nefrotik Primer5
Kelainan Minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis Fokal Global (GSFG)
Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial Difus (GNPMD)
Glomerulonefritis Proliferatif Mesangial Difus Eksudatif
Glomerulonefritis Kresentik (GNK)
Glomerulonefritis Membrano-Proliferatif (GNMP)
GNMP Tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP Tipe II dengan deposit intramembran
GNMP Tipe III dengan deposit transmembran / subepitelial
Glomerulopati Membranosa (GM)
Glomerulonefritis Kronik Lanjut (GNKL)
Kelainan Minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan
mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG atau imunoglobulin beta-1C pada

dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada
orang dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain.6
Nefropati Membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik.6
Glomerulonefritis Proliferatif
a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan
Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis
jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan
yang lama.
b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
c. Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai (kapsular)
dan viseral. Prognosis buruk.
f. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana
basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah. Prognosis
tidak baik.
e. Lain-lain
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.6
Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.6

Sindrom Nefrotik Kongenital (SNK)


SNK adalah sindrom nefrotik yang terdapat pada bayi pada saat lahir
ataupun

sebelum

lahir.

Namun

gejala

proteinuria

berat,

edema

dan

hipoalbuminemia ditemukan beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan


kemudian. Sindrom nefrotik yang terjadi sebelum bayi berumur 3 bulan disebut
Sindrom Nefrotik Kongenital (SNK), sedang sindrom nefrotik yang menunjukkan
gejala dalam tahun pertama kehidupan disebut Sindrom Nefrotik Infantil (SNI).
Klasifikasi sindrom nefrotik dengan awitan dini haruslah memenuhi beberapa
kriteria, termasuk riwayat keluarga, perjalanan penyakit, pemeriksaan laboratorium
dan histopatologi ginjal.5
Klasifikasi sindrom nefrotik kongenital dan infantil5
Idiopatik
Sindrom nefrotik kongenital tipe Finlandia
Sklerosis mesangial difus
Kelainan glomerulus lainnya
Sekunder
Sifilis kongenital
Infeksi perinatal lainnya
Intoksikasi merkuri
Sindromatik
Sindrom Drash
Sindrom malformasi lainnya
SNK tipe Finlandia (SNKF) yang paling sering dan paling banyak
diketahui diantara sindrom nefrotik kongenital. Sindrom nefrotik dengan kelainan
sklerosis mesangial difus pada glomerulus ginjal (SDM) merupakan kelainan yang
sudah dikenal. SNK lainnya merupakan kasus yang jarang ditemukan dan sangat
heterogen. SNK sekunder terhadap sifilis dan intoksikasi merkuri telah dikenal
walaupun jarang ditemukan.5

SNK

karena

sifilis

merupakan

contoh

tipe

kompleks

imun

glomerulonefritis pada bayi baru lahir. SNK karena infeksi perinatal selain sifilis
sangat jarang dan hubungan sebab-akibat antara sindrom nefrotik dan infeksi masih
belum pasti. SNK dapat merupakan bagian dari beberapa sindrom malformasi, dan
yang sering ditemukan ialah pada pseudohermafroditisme laki dan tumor Wilms.
Sindrom ini dikenal dengan sindrom Drash.5
Diagnosis banding antara SNKF, SDM, dan SNK Tipe lain5
Genetik

SNKF
Autosom resesif

SDM
Kasus familial

SN Tipe lain
Bervariasi, kasus

sering

familial pernah

Plasenta
Gejala perinatal

Besar > 25% berat lahir


Asfiksia saat lahir,

Normal
Tidak spesifik

dilaporkan
Normal
Tidak spesifik

Awitan proteinuria

prematuritas, KMK
Intrauterin ditemukan saat

Bervariasi

Bervariasi

Awitan edema

lahir
Dari lahir-1 bulan

Bervariasi,

Bervariasi, sering

sering sesudah

sesudah 6 bulan

6 bulan
Tidak ada

Tidak ada

Gejala klinis tipikal

Talipes, sutura lebar di


kepala, hernia umbilikalis

Pertumbuhan dan

perut membuncit
Gagal tumbuh dan retardasi Kurang dari

Bervariasi,

perkembangan

psikomotor berat

SNKF

kadang-kadang

Progresivitas

Progresif tanpa remisi

Progresif tanpa

normal
Bervariasi,

remisi

progresivitas

penyakit

lambat sering
Lamanya penyakit

Berakhir dengan kematian

Gagal ginjal

remisi
Bervariasi dari

dalam 2 tahun (tanpa

terminal antara

beberapa bulan

transplantasi)

umur 1-3 tahun

sampai beberapa
tahun

Penyebab kematian

Infeksi, komplikasi

Gagal ginjal

Gagal ginjal

mendadak
Proliferasi sel mesangial

Sklerosis

Dari kelainan

sampai glomerulus

mesangial

minimal sampai

obsolesen, dilatasi

glomerulus,

bentuk kelainan

mikrositik tubulus

atrofi tubulus

glomerulus

AFP meningkat dalam

Tidak ada, AFP

variabel
Tidak ditemukan

cairan amnion dan

normal

tromboembolik, mati
Patologi ginjal

Diagnosis prenatal

biasanya dalam serum


2.5. PATOFISIOLOGI
Dasar patofisiologi pada sindroma nefrotik adalah kerusakan glomerulus,
sehingga permeabilitas glomerulus terhadap protein menjadi lebih besar dari
biasanya. Akibatnya terjadi proteinuria yang akan menyebabkan terjadinya
hipoalbuminemia hingga tekanan onkotik plasma menurun. Penurunan tekanan
onkotik plasma ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan volume plasma dan
cardiac output. Keadaan ini menyebabkan sekresi aldosteron dan penurunan aliran
darah ke ginjal, dan selanjutnya terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus.
Penurunan laju filtrasi glomerulus bersama-sama dengan peningkatan sekresi
aldosteron menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air sehingga terjadi edema.7
Proteinuria
Pengeluaran protein lewat urin pada orang sehat kadarnya sampai 200 mg
setiap harinya, dan jumlah ini secara kuantitas tidak ditemukan pada pemeriksaan
rutin.
Pada sindroma nefrotik jumlah protein yang diekskresikan lewat urin
melebihi 3,5 gram/hari/1,73 m2 luas permukaan tubuh, tanpa penekanan filtrasi
glomerulus. Penyebab proteinuria ini adalah kenaikan permeabilitas glomerulus
terhadap plasma protein sebagai akibat perubahan keutuhan atau integritas
membran basal glomerulus. Sebagian besar komponen protein ini (60-90%) adalah

albumin, sedangkan protein jenis lain dengan molekul yang lebih besar
diekskresikan tergantung dari derajat kerusakan struktur ginjal. Bila protein yang
diekskresikan sebagian besar merupakan protein dengan berat molekul kecil seperti
albumin atau transferin, disebut proteinuria selektif, dan bila protein bermolekul
besar seperti IgG, alfa-2 makroglobulin atau beta lipoprotein yang lebih dominan,
disebut sebagai proteinuria tidak selektif.
Struktur dan faal integritas membran basalis menentukan derajat
proteinuria. Selain itu, muatan molekul ion protein, membrana basalis dan lapisan
epitel juga mempunyai peranan dalam hal ini. Pada keadaan normal, membran
basalis dan epitel bermuatan negatif, oleh karena itu dapat menghambat molekulmolekul yang bermuatan positif. Pada sindroma nefrotik terjadi kerusakan polianion
yang bermuatan negatif ini, dimana pada keadaan normal merupakan filter atau
barier terhadap serum albumin yang bermuatan negatif. Perubahan ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus terhadap
serum protein.
Besarnya ekskresi protein dalam urin dipengaruhi oleh laju filtrasi
glomerulus, konsentrasi albumin dalam plasma dan intake protein, besar dan bentuk
molekul protein, muatan ion dan keutuhan molekul protein, muatan ion membran
basalis dan lapisan sel epitel serta tekanan dan aliran intraglomerulus.7
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia hampir selalu dijumpai pada sindroma nefrotik. Hal ini
terjadi oleh karena beberapa faktor yaitu hilang melalui ekskresi urin dan
peningkatan katabolisme albumin oleh ginjal.
Hati memegang peranan penting dalam sintesis protein, terutama bila
tubuh kehilangan sejumlah protein, baik oleh karena sebab renal maupun bukan
renal. Pada sindoma nefrotik sintesis protein biasanya meningkat, walaupun dapat
juga normal atau menurun. Sintesis protein oleh hati bisa meningkat dua kali lipat
dari normal, akan tetapi tidak cukup efektif untuk menggantikan protein yang
hilang lewat urin atau karena proses katabolisme oleh ginjal. Dalam beberapa kasus
pernah dilaporkan terjadinya kehilangan protein lewat saluran pencernaan.

Keadaan hipoalbuminemia mempunyai beberapa konsekuensi diantaranya


adalah resiko terjadi pra renal azotemia, gagal ginjal akut (oleh karena hipoperfusi),
resiko terjadi keracunan obat, peningkatan agregasi trombosit, hiperlipoproteinemia
dan edema.
Pemberian diet tinggi protein pada penderita dalam keadaan nefrosis akan
meningkatkan ekskresi protein lewat urin dan kurang berpengaruh tehadap
peningkatan kadar albumin plasma, kecuali pada penderita terdapat keadaan
malnutrisi berat atau bersamaan dengan pemberian ACE inhibitor. Demikian juga
dengan pembatasan diet protein, hanya berefek menurunkan jumlah ekskresi protein
lewat urin, tetapi tidak berpengaruh terhadap peningkatan kadar albumin dalam
plasma. Pemberian cairan intravena dekstran hipertonik lebih memberikan manfaat.
Oleh karena cairan tersebut akan menghambat degradasi dan katabolisme albumin.
Hal ini menjelaskan bahwa tekanan onkotik plasma berperan penting dalam regulasi
sintesis albumin.7
Edema
Edema terjadi akibat hipoproteinemia terutama hipoalbuminemia. Pada
penyakit glomerular, terjadinya edema ini biasanya berhubungan dengan keadaan
hipoproteinemia dan atau peningkatan resorpsi NaCl di nefron bagian distal.
Patogenesisnya secara pasti belum diketahui. Diperkirakan dua proses yang
berperan adalah : gangguan keseimbangan Starling equilibrium pada tingkat kapiler
di perifer dan retensi NaCl.
Secara klinis edema biasanya ditemukan pada daerah-daerah dengan
jaringan longgar atau bertekanan rendah, seperti daerah periorbital (edema biasanya
terlihat pada pagi hari) dan tungkai. Sering juga dijumpai efusi pleura dan asites.
Edema pulmo dan kenaikan tekanan vena jugular jarang dijumpai kecuali bila
terdapat gangguan kardiovaskuler.7
Hiperlipidemia
Peningkatan kadar kolesterol total dan trigliserida plasma seringkali terjadi
pada penyakit glomerulus, terutama yang disertai dengan proteinuria yang berat.

Pada sindom nefrotik, sebagian besar penderita mengalami kenaikan kadar


kolesterol total, trigliserida dan fosfolipid dalam plasmanya. Namun demikian,
dengan sebab yang belum jelas diketahui, penderita-penderita sindrom nefrotik
berat, misal oleh karena SLE atau amiloidosis, tidak mengalami hiperlipiedmia.
Kolesterol ini terikat pada plasma dan merupakan konstituen lipoprotein yang
terdiri dari Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL),
dan High Density Lipoprotein (HDL). Pada sindrom nefrotik, LDL dan VLDL
selalu meninggi, sedangkan HDL normal, meningkat atau menurun, tergantung dari
beratnya

proteinuria,

penyakit

yang

mendasari,

dan beratnya

kerusakan

permeabilitas glomerulus.
Terjadinya hiperlipidemia diduga sebagai akibat dari peningkatan produksi
atau sintesa lipid oleh hati, dan dirangsang oleh tekanan onkotik plasma yang
rendah. Rendahnya protein plasma sebagai pengendali sintesis lipoprotein juga
berhubungan dengan tejadinya hiperlipidemia.
Ada beberapa faktor yang berperan dalam mekanisme terjadinya
hiperlipidemia pada penderita sindrom nefrotik. Faktor-faktor tersebut adalah
hipoalbuminemia, penurunan tekanan onkotik plasma atau tonisitas, rendahnya
viskositas plasma, dan peningkatan uptake mevalonate sebagai prekursor
metabolisme kolesterol, serta gangguan uptake Intermediate Density Lipoprotein
(IDL) oleh karena kelainan pada molekul IDL itu sendiri atau karena gangguan
pada reseptor IDL. IDL ini berperan sebagai faktor negatif feedback pada sintesis
lipid oleh hati.7

2.6. MANIFESTASI KLINIS


Dimasa lalu orangtua menganggap penyakit sindrom nefrotik ini adalah
edema. Nafsu makan yang kurang, mudah terangsang, adanya gangguan
gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang sangat
erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga dianggap gejala-gejala ini
sebagai akibat edema. Namun dengan pengobatan kortikosteroid telah mengubah

perjalanan klinik sindrom nefrotik secara drastis dan dapat dikatakan dengan baik
oleh anak, orangtua, atau dokter, sindrom nefrotik bukan lagi merupakan masalah
edema, tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi anak-anak yang
tidak responsif terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan
sindrom nefrotik menderita SNKM, dan lebih dari 90% anak-anak ini bebas edema
dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal dengan kortikosteroid.5
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema
dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten
dengan komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik utama bagi
mereka yang menjadi non responder dan pada mereka yang edemanya tidak dapat
segera diatasi. Kelompok ini hampir berjumlah dari semua pasien dengan
sindrom nefrotik primer. Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata.
Edema minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang besar sebelum dokter melihat
pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau
bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali.
Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau
alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut, dan
tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya bertambah nyata. Sebelum
mencapai keadaan ini orangtua pasien sering mengeluh berat badan anak tidak mau
naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya
pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema
pada anak dengan sindrom nefrotik disebutkan bersifat perlahan-lahan, tanpa
menyebut jenis kelainan glomerulusnya. Tampaknya sekarang pola timbulnya
edema bervariasi pada pasien dengan berbagai kelainan glomerulus. Pada anak
dengan SNKM edema timbul secara lebih cepat dan progresif dalam beberapa hari
atau minggu dan lebih perlahan dan intermiten pada kelainan glomerulus jenis
lainnya, terutama pada glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP). Edema
berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka
sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema
pada anak pada awal perjalanan penyakit sindrom nefrotik umumnya dinyatakan
sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian

baju dan kaos kaki yang menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi
robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini,
edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan
skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin
bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda
adanya edema menyeluruh sebelumnya.5
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan
ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah
edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik,
mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya.
Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada
keadaan sindrom nefrotik yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau
peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya.
Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun
dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang
nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran kanan atas abdomen. Nafsu makan
kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya.
Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat
yang kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik non-responsif steroid dan
persisten. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps
ani.5
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.5
Gangguan fungsi psikososial

Keadaan ini sering ditemukan pada pasien sindrom nefrotik, seperti halnya
pada penyakit berat umumnya yang merupakan stres non spesifik terhadap anak
yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orangtua pasien, namun juga dialami
oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi, penjelasan, dan
kepastian untuk mengatasinya. Kecemasan orangtua dan perawatan yang sering dan
lama menyebabkan anak berkembang menjadi berdikari dan bertanggungjawab
terhadap dirinya dan nasibnya. Perkembangan dunia sosial anak menjadi terbatas.
Anak dengan sindrom nefrotik ini akhirnya menimbulkan beban pikiran karena
akan membentuk pengertian dan bayangan yang salah mengenai penyakitnya. Para
dokter yang sadar akan masalah ini dapat berbuat sesuatu untuk mencegahnya dan
berusaha mendorong meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan
keluarganya serta berusaha menolong mengurangi cacat, kekhawatiran, dan beban
pikiran.5
2.7. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Keluhan
lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.4
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum / labia. Kadang-kadang
hipertensi ditemukan.4
3. Pemeriksaan penunjang
Untuk hasil diagnosis yang lebih akurat dapat ditunjang dengan beberapa
pemeriksaan yaitu8 :
a. Urinalisis
Pada pasien dewasa dilakukan pemeriksaan urinalisis melalui urin
mikroskopik, tes untuk mengetahui rasio protein urin terhadap kreatinin

urin. Jumlah protein urin normal bervariasi menurut umur. Pada anak-anak
diekskresi 4 mg/m2/jam atau 166 mg/1,73 m2/hari, sedangkan pada orang
dewasa diekskresi 150 mg/hari.
Protein dapat diukur dengan tes urin dipstick, dengan mengumpulkan Early
Morning Urine (EMU) dan melihat rasio protein urin terhadap kreatinin
urin, atau dengan tes protein urin kuantitatif 24 jam. Perhitungan kuantitatif
dari protein urin 24 jam merupakan metode standard, sedangkan metode tes
EMU adalah metode pilihan untuk menentukan proteinuri karena metode ini
terutama cocok untuk anak-anak yang inkontinensia, serta kesalahan atau
kesulitan dalam menentukan waktu pengumpulan urin dapat dihindari.
Metode ini juga mudah dilakukan serta tidak mahal. Batas proteinuria pada
sindroma nefrotik yaitu rasio protein urin terhadap kreatin urin adalah lebih
dari dua.8
b. Analisis darah
Hipoalbuminemia adalah tanda penting pada sindrom nefrotik. Konsentrasi
albumin serum pada pasien sindrom nefrotik adalah kurang dari 2,5 g/dl.
Hiperlipidemia merupakan temuan yang selalu didapatkan pada sindrom
nefrotik, dan berhubungan dengan konsentrasi dari albumin serum.
Konsentrasi kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kolesterol
HDL menurun. Selain itu, pemeriksaan darah ini juga antara lain untuk
mengetahui kadar kreatinin serum, nitrogen urea, hitung sel darah, tes
hepatitis B dan hepatitis C, skrining HIV, komplemen serum dan serologi
varicella.8
c. Pemeriksaan pencitraan
Tidak ada pencitraan rutin yang diindikasikan pada pasien sindom nefrotik.
Pada radiologi, efusi pleura tidak jarang didapatkan dan adanya efusi pleura
dapat dikaitkan secara langsung dengan derajat edema dan secara tidak
langsung terhadap konsentrasi albumin serum. Asites biasa didapatkan.8
d. Biopsi ginjal

Biopsi ginjal dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelainan yang


mendasari sindrom nefrotik. Biopsi ginjal diindikasikan pada :
- Sindrom nefrotik kongenital
- Anak dengan onset diatas 8 tahun
- Resisten steroid
- Relaps atau ketergantungan steroid
- Manifestasi nefritik kronik
Pengecualian pada kasus berikut :
- Anak-anak dengan sindrom nefrotik lebih sering mengalami tipe lesi
minimal dan berespon baik terhadap pengobatan steroid jangka pendek.
Biopsi bisa dipertimbangkan bila tidak didapatkan respon yang diharapkan
terhadap pengobatan steroid dalam 6-8 minggu.
- Pasien dewasa dengan riwayat DM yang dinyatakan negatif terhadap
gangguan lain seperti myeloma, infeksi, dan penyakit vaskuler kolagen,
karena dapat diasumsikan bahwa penyebab proteinurianya adalah karena
nefropati diabetik sehingga biopsi ginjal tidak diperlukan.
- Pada pasien usia lanjut, pasien yang tidak memiliki harapan hidup lebih
lama atau mereka yang tidak berespon terhadap terapi obat-obatan
imunosupresif tidak dianjurkan untuk biopsi.8
2.8. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Pengobatan dengan prednison diberikan dengan dosis awal 60 mg/m 2/hari atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi selama 4 minggu,
dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m 2/hari, maksimum 60 mg/hari) dosis
tunggal pagi selang sehari (dosis alternating) selama 4-8 minggu (ISKDC 1982).
Bila terjadi relaps, maka diberikan prednison 60 mg/m 2/hari sampai terjadi
remisi (maksimal 4 minggu), dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m 2/hari)
secara alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik resisten steroid atau
toksik steroid, diberikan obat imunosupresan lain seperti siklofosfamid 2-3

mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Keterangan : berat badan dihitung berdasarkan


berat badan tanpa edema (berat badan terhadap tinggi badan pada persentil 50).4
2. Suportif
a. Pengobatan dietetik
Masukan natrium

harus dibatasi 2 gram/hari untuk mengurangi

keseimbangan natrium yang positif. Dari sudut praktis umumnya cukup


dengan menganjurkan tidak menambahkan garam ke dalam makanan.
Pembatasan garam yang ketat hanya diperlukan terhadap pasien yang tidak
memberi respon terhadap diuretika.
Sebaiknya pemberian diit protein tinggi pada sindrom nefrotik dicegah dan
menganjurkan diit yang mengandung protein 2 gram/kgBB/hari. Diit
penurunan lipid (< 200 mg/hari kolesterol, jumlah lemak < 30% dari kalori
total dan asam lemak tidak jenuh 10% dari jumlah seluruh kalori), umumnya
dianjurkan untuk pasien dengan hiperkolesterolemia. Namun respon
individu terhadap diit ini agak susah bahkan tidak mungkin untuk menduga
penurunan sekurang-kurangnya 15-20% kadar kolesterol LDL. Disamping
itu makin ketat regimen makanan makin tidak patuh pasien, terutama untuk
jangka

waktu

lama.

Oleh

karena

agak

susah

untuk

menangani

hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dengan diit saja. Akhir-akhir ini diit
vegetarian yang mengandung kedelai yang ditambah dengan asam amino
esensial tampaknya lebih efektif menurunkan hiperlipidemia, daripada diit
menurunkan lipid secara tradisional.5
b. Edema
Apabila edema tidak memberikan respon dengan membatasi pemasukan
garam dalam makanan, maka sering diperlukan pemberian diuretika.
Langkah pertama dapat diberikan obat tiazid, sebaiknya dikombinasi dengan
obat penahan kalium, seperti spironolakton atau triamteren. Namun banyak
pasien terutama dengan anasarka, volume berlebih, atau dengan kongesti
paru-paru tidak memberikan respon terhadap obat tiazid. Untuk keadaan ini
diperlukan pemberian furesemid, asam etakrin atau bumetamid. Diantara
obat-obatan ini furosemid yang paling sering dipakai karena toleransi yang

baik bahkan dengan dosis yang sangat tinggi. Furosemid dapat diberikan
baik secara intravena ataupun oral, dengan dosis berkisar antara 25-1000
mg/hari, bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Terhadap
pasien yang refrakter terhadap furosemid sebagai monoterapi, kombinasi
obat diuretika yang bekerja pada tingkat lain dari furosemid, seperti
hidroklortiazid (25-50 mg/hari) atau metalazon (2,5-10 mg/hari) dapat
meningkatkan respon diuretika. Selama pengobatan diuretika, pasien harus
dipantau untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi seperti
misalnya

hipokalemia,

alkalosis metabolik atau kehilangan cairan

intravaskular berat.6
c. Proteinuria dan hipoalbuminemia
Pemberian albumin per intravena kepada pasien nefrotik merupakan
prosedur yang mahal dan meningkatkan klirens albumin ginjal dan
menaikkan konsentrasi albumin plasma hanya sedikit dan bersifat
sementara. Infus albumin hanya diberikan untuk pasien dengan deplesi
volume plasma simtomatik dengan hipotensi.
Beberapa obat dapat mengurangi keluarnya protein di dalam urin antara lain
ACE inhibiror mempunyai efek antiproteinuria yang penting. Pengobatan
dengan ACE inhibitor umumnya dapat ditoleransi oleh beberapa pasien
namun dapat timbul anemia, hipotensi atau batuk kering. Dalam praktek,
untuk mendapat efek antiproteinuria yang maksimal pesien diminta untuk
mengikuti diet rendah garam. Pemberian ACE inhibitor dimulai dengan
dosis rendah untuk menguji toleransinya. Kemudian dosis dinaikkan secara
progresif sampai dosis toleransi maksimal. Pengobatan diperpanjang untuk
beberapa minggu sebelum dinilai hasilnya.
Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan proteinuria sampai
50% atau lebih. Indometasin (150 mg/hari) dan meklofenamat (200-300
mg/hari) merupakan dua obat yang sering dipakai. Obat-obat ini tidak boleh
diberikan apabila klirens kreatinin lebih rendah dari 50 ml/menit.5
d. Hiperlipidemia

Pada kebanyakan pasien sindrom nefrotik, diet saja tidak cukup menurunkan
hiperlipidemia. Berbagai obat penurun lipid seperti probukol, asam
nikotinat, resin, derivat asam fibrik, dan akhir-akhir ini hidroksimetil glutaril
ko-enzim A (HGM-A) penghambat reduktase, telah digunakan pada sindrom
nefrotik. Pada saat ini, penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastin,
dan simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia
pada sindrom nefrotik. Obat-obat ini menghambat enzim dalam biosintesis
kolesterol.5
e. Hiperkoagulabilitas
Tromboemboli merupakan komplikasi yang serius dan sering dijumpai pada
sindrom nefrotik. Obat-obat antikoagulan dapat menurunkan terjadinya
risiko trombosis namun mengandung risiko timbulnya komplikasi
perdarahan. Pemakaiannya terbatas pada keadaan terjadinya risiko
trombosis seperti pada tirah baring yang lama, pembedahan, saat dehidrasi
atau saat pemberian kortikosteroid i.v dosis tinggi. Oleh karena risiko
trombosis tetap tinggi selama sindrom nefrotik menetap maka secara teoritis
pemberian antikoagulan diteruskan sampai remisi atau diberikan seumur
hidup. Pemberian antikoagulan jangka lama ini merupakan keharusan untuk
pasien yang mengalami dua atau lebih episode trombosis atau satu episode
yang mengancam kehidupannya.5
2.9. KOMPLIKASI
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis
Beberapa kelainan koagulasi dan sistem fibrinolitik banyak ditemukan pada
pasien sindrom nefrotik. Secara ringkas, kelainan hemostatik pada sindrom
nefrotik dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda, yaitu :
a. Peningkatan

permeabilitas

glomerulus

mengakibatkan

(a). Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin


seperti antitrombin III, protein S bebas, plasminogen, dan antiplasmin,
dan (b). Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit lewat

tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena


hiporikia dan tertekannya fibrinolisis.
b. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotelial pada kapiler
glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan
agregasi trombosit.5
2. Perubahan hormon dan mineral
Pada pasien sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein
pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG)
dalam urin pada beberapa pasien dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan
dengan beratnya proteinuria. Pada sindrom nefrotik penelitian mengenai fungsi
tiroid menunjukkan nilai dalam batas normal namun nilai mean T3 dan TBG,
lebih rendah dari kontrol. Terdapat juga peningkatan ekskresi T3 urin dan T4.
Walaupun ditemukan hasil yang demikian, TSH normal dan pasien secara klinis
eutiroid. Hipokalsemia pada sindrom nefrotik disebabkan oleh albumin serum
yang rendah, dan berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi yang
terionisasi normal dan menetap.
Disamping itu, pasien ini sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali
menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Mereka juga menderita
absorpsi kalsium gastrointestinal yang menurun, dengan ekskresi kalsium dalam
feses seharinya sama atau lebih besar dari pemasukan lewat makanan.
Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria dan menurunnya absorpsi kalsium
dalam

gastrointestinal

menunjukkan

kemungkinan

adanya

kelainan

metabolisme vitamin D.5


3. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Telah diketahui sejak lama bahwa pertumbuhan badan sangat menurun dan
terhenti sama sekali pada anak dengan sindrom nefrotik yang tidak dikontrol.
Namun rupanya tidak ada sisa gangguan pertumbuhan pada pasien yang
sembuh, dan kebanyakan anak menunjukkan pertumbuhan kompensasi, dan
kembali ke laju pertumbuhan semula sesudah remisi jangka lama.

Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien dengan sindrom nefrotik


tanpa diberikan kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu
makan sekunder, hilangnya protein dalam urin, dan malabsorpsi karena edema
saluran gastrointestinal. Sekarang penyebab utama adalah karena pengobatan
dengan kortikosteroid. Pada saat ini untuk mencegah gangguan pertumbuhan
adalah dengan mencegah pemberian pengobatan kortikosteroid terlalu lama dan
tidak perlu, disamping dosis tinggi, diupayakan meningkatkan pemberian kalori
dan protein secukupnya dan sedapat mungkin mengurangi stres psikologis.5
4. Infeksi
Meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah biasa pada anak dengan
sindrom nefrotik yang relaps. Sebelum ditemukan obat antibiotik, kebanyakan
kematian disebabkan oleh infeksi, sering mengenai paru-paru dan peritoneum.
Dengan ditemukan pengobatan antibiotik dan pengenalan infeksi berat dengan
cepat, maka mortalitas sangat berkurang, walaupun kematian karena infeksi
masih terjadi. Beberapa sebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah
a. Kadar imunoglobulin yang rendah
b. Defisiensi protein secara umum
c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
d. Hipofungsi limpa, dan
e. Akibat pengobatan imunosupresif5
5. Peritonitis
Laporan oleh Krensky dkk. Pada tahun 1982 menunjukkan pada 351 anak
dengan sindrom nefrotik terdapat 24 kali peritonitis pada 19 anak, yang
merupakan angka kejadian 5%. Streptokokus pneumonia merupakan penyebab
pada sebagian pasien danseperempat lainnya oleh kuman E. Coli. Pada
penelitian lain Streptokokus pneumonia merupakan patogen utama yaitu 38%
dan 27% lainnya menunjukkan kultur negatif pada biakan cairan peritoneum
namun memberi respon klinik dengan penisilin. Kuman gram negatif yang
dibiakkan hanya terdapat 3%. Ditemukan nyeri perut, dan leukositosis pada
semua pasien, 96% dengan demam, apakah mereka mendapat steroid atau tidak.

Pengobatan harus diberikan lindungan antibiotik dengan spektrum luas sampai


kuman penyebab dapat diidentifikasi pada biakan.5
6. Infeksi kulit
Erupsi erisipeloid pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran
kelainan kulit ini berbatas tegas, tetapi kurang menonjol seperti pada erisipelas
dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit ini dibiak.5
7. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada sindrom nefrotik.
Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun
resisten terhadap pengobatan besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang
bertambah anemianya terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien
terdapat transferin serum yang sangat menurun, karena hilangnya protein ini di
urin dalam jumlah besar.5
8. Gangguan tubulus renal
Hiponatremia sering ditemukan pada anak dengan sindrom nefrotik. Keadaan
ini sering disebabkan oleh retensi air daripada kekurangan natrium. Gangguan
pengasaman urin ditandai oleh ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah
pemberian beban asam. Pengamatan menunjukkan bahwa kelainan bagian distal
ini disebabkan oleh menurunnya hantaran natrium ke arah asidifikasi distal.
Keadaan ini diperbaiki dengan pemberian furosemid yang meningkatkan
hantaran ke tubulus distal dan menimbulkan lingkaran intraluminal yang negatif
yang diperlukan untuk sekresi ion hidrogen maksimal. Gangguan fungsi tubulus
proksimal terlihat pada bikarbonaturia atau glukosuria pada sindrom nefrotik,
terutama pada GSFS.
Terjadinya gagal ginjal kronik sering ditemukan bukan disebabkan oleh nekrosis
tubulus akut dan fraksi filtrasi berkurang bertentangan dengan vasokonstriksi
renal sebagai penyebab. Disimpulkan bahwa penyebab primer gagal ginjal akut
adalah edema interstisial dengan akibat meningkatnya tekanan tubulus
proksimal yang menyebabkan turunnya LFG. Adanya gagal ginjal akut pada
anak dengan sindrom nefrotik perlu disingkirkan kemungkinan penyebab lain
seperti nefritis interstisial karena diuretik, nefrotoksisitas karena bahan

radiokontras, antibiotik, nefritis interstisial alergika karena antibiotik dan bahanbahan lain.5
2.10. DIAGNOSIS BANDING
Edema pada sindroma nefrotik termasuk renal edema dan harus dibedakan
dengan cardiac edema. Pada edema karena penyakit jantung biasanya disertai
manifestasi klinis lain berupa dyspneu, ortopneu, sianosis, dan takikardi. Selain itu
dari pemeriksaan penunjang rontgen dada juga bisa didapatkan kelainan ukuran
atau bentuk jantung. Sedangkan edema karena kelainan renal, harus dibedakan
antara sindrom nefrotik dengan Glomerulonefritis Akut (GNA). Pada GNA, karena
merupakan

penyakit

yang

disebabkan

reaksi

imunologis

akibat

infeksi

Streptococcus hemolitikus grup A sehingga menimbulkan manifestasi yang utama


berupa demam, selain itu juga hematuri, dan hipertensi. Sedangkan pada sindrom
nefrotik edema didapatkan lebih berat. Selain pada penyakit jantung dan gangguan
ginjal, edema juga harus dibedakan dengan edema pada malnutrisi edematosa atau
KEP serta marasmik kwashiorkor.
2.11. PROGNOSIS
Prognosis sindrom nefrotik baik bila penyakit memberikan respon yang
baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Namun demikian, prognosis
sindrom nefrotik juga bervariasi tergantung tipe histologisnya. Pada sindrom
nefrotik bawaan, prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.6 Sedangkan prognosis untuk anak-anak dengan
glomerulonefritis lesi minimal sangat bagus karena sebagian besar anak berespon
baik terhadap terapi steroid. Pada 20% pasien dengan GSFS mengalami remisi
proteinuria, banyak juga yang mengalami frequent relapses, menjadi steroid
dependent, atau steroid resistant. Pada pasien dengan mesangioproliferatif difus,
sebanyak 50% mengalami remisi sempurna selama terapi steroid, namun sebanyak
20% dengan remisi tertunda, 20% dengan proteinuria yang berkelanjutan, dan 6%
mengarah

pada

insufisiensi

renal.

Untuk

pasien

dengan

glomerulopati

membranoproliferatif mengalami kesulitan dalam penyembuhannya dan pengaruh


terapinya masih belum jelas.8
Sebagian besar anak dengan nefrotik yang berespon terhadap steroid akan
mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri
secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah
menunjukkan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa
disfungsi ginjal, bahwa penyakitnya tidak herediter, dan anak akan tetap fertil (bila
tidak ada terapi siklofosfamid atau klorambusil).9

BAB III. KESIMPULAN

Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang berhubungan dengan


disfungsi ginjal dan bukanlah suatu penyakit. Sindrom nefrotik adalah suatu
keadaan yang disebabkan oleh beberapa kelainan yang mengakibatkan kerusakan
pada sistem filtrasi ginjal, yaitu glomeruli. Struktur pada glomeruli mencegah
terfiltrasinya protein kedalam urin. Pada keadaan normal, seseorang kehilangan
kurang dari 150 mg protein dalam urin dalam 24 jam. Dikatakan sindrom nefrotik
bila kadar protein urin melebihi 3,5 gr /1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari atau 25
kali lipat lebih banyak dari nilai normal.
Sindrom nefrotik ditandai dengan kehilangan protein masif (albuminuria
primer) diikuti hipoproteinemia (hipoalbuminemia) serta akibat darinya yaitu
edema. Hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, dan meningkatnya lipiduria dapat
dikaitkan dengan terjadinya sindrom nefrotik.
Klasifikasi histologis dari lesi glomerular yang berkaitan dengan sindrom
nefrotik primer dan sekunder adalah lesi minimal sindrom nefrotik, hiperselularitas
mesangial difus, glomerular sklerosis fokal, glomerulonefritis membranosa,
glomerulosklerosis fibrilar, dan glomerulonefritis membranoproliferatif.
Pengetahuan tentang klasifikasi histolopatologi pentinhg untuk pedoman
pengobatan, perkiraan perjalanan penyakit, dan prognosis. Demikian juga
pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi yang merupakan landasan untuk
terapi yang tepat dan rasional.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.nephroticsyndrome.com
2. Stephan dan Ritz, Eberhard, 1998. The Nephrotic Syndrome, The New
England Journal of Medicine, Vol. 338 : No. 17, 1202-1211.
3. Travis Luther, 2005. Nephrotic Syndrome,
http://www.emedicine.com/ped/topic/1564.htm
4. Pusponegoro, H. D., 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Edisi
I, Badan Penerbit IDAI, Jakarta, Hal : 192-194.
5. Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P. P., Pardede, S. O., 2002. Buku Ajar
Nefrologi Anak, Edisi 2, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, Hal : 381-422.
6. Hasan, R., Alatas, H., 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 2,
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta, Hal : 832-835.
7. Prawoto, 1998. Tinjauan Pustaka Pengobatan Sindrom Nefrotik dengan
Penyebab Glomerulonefritis Primer, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM
: Yogyakarta.
8. Agraharkan, Mahendra, 2004. Nephrotic Syndrome,
http://www.emedicine.com/ped/topic/1564.htm
9. Behrman, R. E., Kliegman, M., Arvin, A. M., 2000. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson, Volume 3, Edisi 15, EGC, Jakarta, Hal : 1828-1831.

Anda mungkin juga menyukai