Anda di halaman 1dari 14

JOURNAL READING

APPROPRIATE ANTIBIOTIC FOR PERITONSILLAR


ABSCESS - A 9 MONTHS COHORT

Diajukan Kepada:
dr. Setiadi Sp.THT, M.Si Med

Disusun oleh:
Deviana Sariputri

1420221165

KEPANITERAN KLINIK DEPARTEMEN THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE 4 JANUARI 6 FEBRUARI 2016

LEMBARPENGESAHAN

JOURNAL READING
APPROPRIATE ANTIBIOTIC FOR PERITONSILLAR ABSCESS
A 9 MONTHS COHORT

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian


Kepaniteraan Klinik di bagian THT
RSUD AMABARAWA

Disusun oleh :
Deviana Sariputri

1420221165

Pembimbing

dr. Setiadi Sp.THT, M.Si Med

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
journal reading dengan judul Appropriate Antibiotic For Peritonsillar Abscess A
9 Months Cohort dengan baik. Jurnal reading ini merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di SMF
THT RSUD Ambarawa.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih
kepada dr. Setiadi Sp.THT, M.Si Med selaku pembimbing dan moderator journal
reading ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan journal reading ini banyak
terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga
journal reading ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang
berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran. Aamiin.

Ambarawa, Januari 2016

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....
LEMBAR PENGESAHAN .. i
KATA PENGANTAR .. ii
DAFTAR ISI iii
ABSTRAK 1
TELAAH JURNAL... 2
LAMPIRAN JURNAL..

Pemberian Antibiotik yang Tepat pada Abses Peritonsilar


Penelitian Kohort 9 Bulan
ABSTRAK
Latar Belakang:

Untuk menilai efektivitas protokol penanganan abses

peritonsilar pada pusat rujukan ketiga di Inggris.


Metode: Rancangan penelitian menggunakan studi prospektif linear, sebanyak 78
pasien yang dirujuk dengan abses peritonsilar dimasukkan ke dalam penelitian.
Pencatatan pilihan dan durasi pengobatan serta lama rawat di rumah sakit telah
dilakukan.
Hasil: Berdasarkan 52 kasus abses peritonsilar yang telah dikonfirmasi, hasil
isolasi kultur didapatkan Streptococcus sebanyak 29%, bakteri anaerob campuran
sebanyak 27% dan sebanyak 23% dari kasus berkembang keduanya.
Metronidazole merupakan antibiotik kedua yang digunakan di semua 30 kasus.
Pasien yang diobati dengan antibiotik yang tepat memiliki lama rawat rata-rata 1,8
hari sementara pada pasien yang diterapi secara inadekuat

memiliki lama

rawat rata-rata 2,4 hari (p = 0,45).


Kesimpulan: Penggunaan Metronidazole sebagai antibiotik kedua tidak
mengurangi lama rawat dan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam
gejala klinis. Berdasarkan temuan di atas, penulis tidak bisa merekomendasikan
penggunaan Metronidazole sebagai antibiotik rutin kedua untuk pengobatan abses
peritonsillar .
Kata kunci : abses peritonsillar , antibiotik , manajemen , metronidazole.

TELAAH JURNAL

Pendahuluan
Abses Peritonsilar adalah infeksi dalam yang paling umum pada kepala dan
leher yang terjadi pada orang dewasa. Pilihan pengobatan pembedahan telah
dijelaskan dengan baik pada literatur. Penanganan lini pertama di rumah sakit
yaitu konservatif yang terdiri dari pemberian antibiotik intravena dan drainase
abses. Pengobatan dengan antibiotik yang tepat bagian penting dari terapi
definitif.
Selama bertahun-tahun Penisilin merupakan pengobatan antimikroba
andalan untuk abses peritonsillar, tetapi karena seringnya penggunaan antibiotik
yang berlebih di masyarakat dan munculnya organisme penghasil beta-laktamase,
menyebabkan kebutuhan dalam praktik ini untuk dikaji ulang.
Tujuan penelitian ini yaitu 1. Untuk menggambarkan demografi pasien dan
aspek mikrobiologi pada abses peritonsillar dikelola di departemen kami. 2. Untuk
menilai efektivitas antibiotik pada abses peritonsillar di departemen kami dan 3.
Untuk menentukan peran Metronidazole sebagai tambahan pada pengobatan lini
pertama untuk abses peritonsilar.
Metode dan Alat
Sebuah studi prospektif telah dirancang dan seluruh staf medis yang
berhubungan dengan penerimaan di unit gawat darurat departemen kami telah
diberitahu dan diminta berpartisipasi. Persetujuan etik telah diajukan dan tidak
dianggap perlu pada studi prospektif yang telah ditentukan dalam departemen.
Semua pasien yang dirujuk ke departemen THT lebih dari 9 bulan dengan dugaan
abses peritonsilar dimasukkan ke dalam kriteria inklusi. Diagnosis pasti pada
abses peritonsilar dikonfirmasi dengan hasil aspirasi yang positif, setelah itu,
pasien dengan hasil aspirasi negatif dieksklusikan

Semua abses dilakukan drainase dengan jarum aspirasi. Sampel yang


didapatkan dari aspirasi dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan kultur. Sampel
darah yang diperoleh dikirim untuk pemeriksaan hitung jenis leukosit, C-Reactive
Protein (CRP), dan pemeriksaan monospot untuk virus Epstein-Barr.
Pasien yang telah terdiagnosis, tanda vitalnya diperiksa dan dicatat, dan mereka
mulai antibiotik empiris yang dipilihkan oleh dokter. Meskipun pedoman
departemen sudah ada, tidak ada upaya yang dilakukan untuk menginstruksikan
dokter untuk mengikuti pedoman tersebut dan pemilihan farmakoterapi tergantung
individu masing-masing dokter. Hal ini membuat kami mengamati antara variasi
praktek dan hasil dari pengobatan yang berbeda. Data penelitian dikumpulkan
secara retrospektif melalui catatan rekam medis, hasil laboratorium yang telah
dikomputerisasi.
Hasil
Berdasarkan 78 pasien yang datang ke departemen THT lebih dari 9 bulan
dengan dugaan abses peritonsilar, termasuk diantaranya 39 orang laki-laki dan 39
orang perempuan. Diagnosis abses peritonsilar telah dikofirmasi dengan aspirasi
positif pada 52 pasien dengan distribusi jenis kelamin yang seimbang, yaitu 26
orang laki-laki dan 26 orang perempuan. Terdapat 28 orang (55%) dengan abses
yang berada di sebelah kiri, 23 orang (44%) dengan abses di sebelah kanan dan 1
kasus yang tidak dilaporkan posisi absesnya. Pada 26 orang pasien yang
terdiagnosis peritonsilitis, kemudian dieksklusikan dari pemeriksaan lebih lanjut.
Satu pasien yang tidak dapat ditentukan lokasi absesnya juga dieksklusikan dari
pemeriksaan lebih lanjut.
Usia pasien berkisar dari 11 tahun hingga 85 tahun , dengan rata-rata usia
30,5 tahun (32,2 tahun untuk laki-laki , 28,9 tahun untuk perempuan). Suhu tubuh
rata-rata yaitu 37.25oC (kisaran: 35,4oC-39,4oC) dan durasi rata-rata gejala adalah
6,2 hari (kisaran: 2-21 hari ). Odinofagia terjadi pada 92% pasien, trismus pada
57% pasien dan otalgia di 37 % pasien serta hanya 18 % dari pasien mengeluh
trias klasik dari ketiganya. Kombinasi gejala yang paling umum adalah odinofagia
dan trismus, yang terjadi pada lebih dari setengah dari pasien (53 %).
3

Hasil pemeriksaan darah pada 12 pasien dan hasil aspirasi kultur pada 4
pasien tidak dapat diperoleh dan mereka dikeluarkan dari analisis. Kuantitas
nanah yang diperoleh pada aspirasi berkisar antara 0.5ml sampai 15ml (rata-rata:
3.6 ml). Rata-rata hitung leukosit adalah 15.4x109 / L (kisaran : 8 - 25,2 x109 / L)
dengan dominan neutrofil (rata-rata : 11,9 x109 / L, kisaran: 4,4 - 21,9 x109 / L).
C-Reaktif Protein (CRP) juga diukur dan menunjukkan peningkatan variabel
mulai 18-361 mg/L (rata-rata: 135,1 mg/L). Tidak ada tes Monospot positif yang
didapatkan.
Gejala pada pasien laki-laki terjadi lebih awal, yaitu 5,1 hari dibandingkan
dengan pasien wanita yaitu 7,3 hari. Tidak ada perbedaan signifikan lainnya
antara kedua kelompok tersebut bedasarkan penemuan klinis. Demikian juga,
perbandingan antara pasien dengan abses di sisi kanan dan sisi kiri juga
menunjukkan kesamaan secara statistik.
Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan sebanyak 60% (n=27) dari aspirasi
memberikan respon hanya pada satu organisme dan berespon sebanyak 27%
(n=11) dari aspirasi memberikan respon pada dua mikroorganisme. Sebanyak 13%
(n=6) tidak menghasilkan organisme apapun. Sebanyak 29% dari aspirasi (n=14)
hanya tumbuh Streptococcus, sebanyak 27% (n =13) hanya tumbuh bakteri
anaerob campuran dan sebanyak 23 % (n=11) tumbuh baik Streptococcus dan
bakteri anaerob campuran. Organisme seperti Haemophilus influenza, Bacillus
urealyticum dan flora mulut campuran bertanggung jawab untuk 8% sisanya
(n=4). Hasil aspirasi kultur menunjukkan 11 jenis bakteri yang berbeda.
Tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan usia, jenis kelamin, gejala
yang muncul, sisi munculnya abses atau hasil pemeriksaan darah antara pasien
dengan abses monomikroba dengan abses multimikroba. Tidak ada perbedaan
yang ditemukan saat membandingkan antara organisme pada masing-masing
individu.
Sebanyak 20 pasien diobati dengan regimen antibiotik intravena tunggal,
yang terdiri dari Augmentin, Benzylpenicillin, Clarithromycin, Erytromycin atau
Clindamycin. Sebanyak 30 pasien menerima kombinasi dua antibiotik intravena
yang berbeda, Metronidazole menjadi antibiotik kedua pilihan di setiap kasus.
Satu pasien dikelola dengan Penisilin oral saja.
4

Pada 41 pasien dengan ketersediaan data yang dibutuhkan, hasil

uji

kepekaan dari aspirasi dibandingkan dengan antibiotik yang digunakan secara


empiris. Dari

24 pasien (59%) dengan uji aspirasi sensitif terhadap

Metronidazole, hanya dua pertiga yang diterapi dengan Metronidazole. Dari 17


pasien (41%) yang tidak sensitif terhadap Metronidazole, setengah dari mereka
diterapi dengan Metronidazole. Selain aspirasi awal pada saat masuk rumah sakit,
sebanyak 11 pasien membutuhkan prosedur lebih lanjut yang dilakukan di luar.
Sebanyak 6 pasien yang memerlukan pemeriksaan aspirasi lebih lanjut, sebanyak
1 pasien memerlukan tindakan insisi-drainase insisi dan 1 pasien memerlukan
aspirasi lebih lanjut dan insisi drainase. Sebanyak 1 pasien memerlukan dua
aspirasi lebih lanjut dan 2 pasien menjalani "tonsilektomi panas". Lebih dari
setengah pasien ini diobati dengan antibiotik yang tepat. Salah satu pasien yang
memerlukan aspirasi lanjut juga satu-satunya pasien yang menerima steroid
sebagai bagian dari pengobatan mereka (2 dosis deksametason intravena). Gejala
dan temuan klinis tidak berbeda dari salah satu lainnya pasien.
Rata-rata lama rawat pada semua pasien yaitu 2,2 hari dengan kisaran dari 0
sampai dengan 6 hari. Pasien yang membutuhkan intervensi lebih lanjut
memerlukan lama rawat yang lebih panjang (3,1 hari), dibandingkan dengan
pasien yang ditangani dengan prosedur tunggal (2 hari). Pasien yang mendapat
terapi antibiotik yang tepat memiliki lama rawat yang lebih pendek yaitu 1,8 hari
dibandingkan dengan pasien yang diterapi secara berlebih atau dengan terapi
yang inadekuat. Uji one way ANOVA pada 3 sampel independen dengan
perbandingan lama rawat antara pasien yang diterapi dengan tepat, terapi yang
berlebih dan terapi yang inadekuat menunjukkan p=0,41. Pasien yang diterapi
secara berlebihan memiliki lama rawat yang lebih panjang yaitu 2,6 hari, namun
angka ini terlalu kecil untuk mencapai signifikasi statistik.
Diskusi
Berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2002, angka rata-rata kasus
abses peritonsilar pada departemen THT di Inggris yaitu 29 kasus per tahun.
Seluruh sampel yaitu 52 pasien dengan abses peritonsilar yang lebih dari 9 bulan

yang datang ke departemen THT, menambahkan kasus menjadi 69 kasus per


tahun. Hal ini menunjukan prevalensi kasus yang cukup tinggi.
Sebanyak 23 pasien yang terdiagnosis dengan infeksi peritonsilar,
terdiagnosis juga dengan abses, sisanya diterapi untuk peritonsilitis saja. Pasien
yang diperiksa dan dilakukan aspirasi oleh dokter yang berbeda dan itu
menyebabkan perbedaan relatif pada penelitian yang ikut berperan dalam
peningkatan hasil negatif palsu pada penelitian kohort yang dilakukan. Hal ini
mungkin dapat pula disebabkan beberapa pasien memulai terapi lebih lambat atau
memulai antibiotik pada saat yang tidak tepat, sehingga menyebabkan proses
perkembangan dari abses peritonsilar. Penelitian lain menunjukkan bahwa abses
terjadi antara 68% sampai 82% pada pasien dengan infeksi peritonsilar.
Beberapa penelitian telah melakukan penelitian tentang abses peritonsilar
dan pasien kami dengan usia rata-rata yaitu 30,5 tahun sebanding dengan
penemuan penelitian sebelumnya, menunjukkan penurunan insiden dengan
bertambahnya usia. Hasil yang sama antara penelitian sebelumnya yaitu tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan antara sisi terjadinya abses. Sementara itu
pada beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada pria
yaitu 3 : 1, penelitian lainnya menunjukkan perbandingan jenis kelamin yang
sebanding dan hasil penelitian ini menunjukkan rasio jenis kelamin yang sangat
sebanding.
Mayoritas pasien kami hanya menjalani aspirasi jarum dimana aspirasi
merupakan pilihan prosedur utama yang paling umum pada abses peritonsilar di
Inggris. Banyak peneliti lain tampak lebih cenderung kepada tindakan insisi
drainase dan mempercayai tindakan insisi drainase memiliki resiko kekambuhan
lebih kecil.

Sebanyak 2 pasien (3,8%) dari penelitian kami menjalani

tonsilektomi panas karena respon yang buruk jika diterapi hanya dengan
aspirasi dan antibiotik. Sebuah penelitian kohort dari Jerman dengan 76 pasien
yang seluruhnya menjalani tonsilektomi dalam 24 jam sejak masuk rumah sakit
hal ini menunjukkan strategi penanganan pada abses peritonsilar bervariasi dan
kontroversial.
Tidak ada pasien dalam penelitian kami yang menunjukkan hasil positif
untuk infeksi virus Epstein-Bar, ataupun abses bilateral. Penelitian lain
6

menunjukkan prevalensi virus Epstein-Bar mencapai 1,8% dan abses bilateral


terdapat pada 1% pasien infeksi peritonsilar
Berdasarkan analisis mikrobiologi sebanyak 13% dari aspirasi tidak
menghasilkan organisme apapun, hal ini tidak mengherankan karena pada
penelitian lain, hasil perkembangan organisme yang tidak diketahui terjadi antara
1,6% sampai 15% dari hasil aspirasi. Variasi yang terjadi merupakan bagian dari
perbedaan geografi pada kasus abses peritonsilar atau perbedaan kemampuan
diagnostik masing-masing laboratorium. Beberapa pasien mungkin telah memulai
antibiotik oral lebih dahulu yang menyebabkan hasil aspirasi negatif.
Sifat polimikroba telah digambarkan dengan jelas dan Brook et al telah
menunjukkan sampai 3,1 isolat terdeteksi per aspirasi. Beberapa penelitian telah
mencari perbedaan yang dibentuk oleh organisme aerob dan anaerob serta
menunjukkan bahwa keduanya berperan dalam 76% kasus abses. Penelitian lain
menunjukkan organisme anaerob berperan dalam 84% kasus abses dan yang lebih
penting, organisme penghasil Beta-Lactamase berperan antara 6% sampai 52%
kasus abses.
Pasien kami memiliki rata-rata rawat inap yaitu 2,2 hari. Hal ini sesuai
dengan rata-rata lama rawat inap di Inggris dan lebih rendah jika dibandingkan
penelitian lain yang menyatakan rata-rata lama rawat inap mencapai 9,9 hari.
Pasien yang diterapi dengan antibiotik yang tepat memiliki lama rawat inap lebih
pendek yaitu 1,8 hari jika dibandingkan dengan rata-rata lama rawat inap pada
pasien yang diterapi secara berlebihan atau dengan terapi yang inadekuat.
Bagaimanapun hal ini tidak memiliki arti statistik bermakna. Penelitian lain juga
tidak dapat menunjukkan perbedaan lama rawat inap dengan penggunaan regimen
antibiotik yang berbeda. Tidak ada perbedaan gambaran klinis di antara masingmasing kelompok sehingga tidak dapat digunakan untuk pedoman terapi yang
tepat atau untuk memprediksi hasil terapi.
Sebanyak 98% dari pasien kami dapat sembuh secara efektif dengan
penggunaan dua antibiotik (Penicillin dan Metronidazole) sebagai regimen
empiris di rumah sakit. Bagaimanapun penggunaan Metronidazole sepertinya
tidak mengurangi lama rawat di rumah sakit kecuali dengan penggunaan regimen
yang tepat.

Karena tidak ada

gambaran klinis yang spesifik, yang dapat


7

membantu untuk mengidentifikasi pasien dengan abses anaerob, penggunaan


Metronidazole tidak direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian ini. Tidak ada
perbedaan yang jelas pada lama rawat pasien yang diterapi secara berlebihan
ataupun, terapi yang inadekuat.ataupun yang diterapi dengan tepat. Hal ini dapat
membenarkan penggunaan Metronidazole secara luas sebagai antibiotik kedua
pada pasien dengan abses peritonsilar.
Meskipun penelitian ini mengunakan desain studi prospektif, tetapi
memiliki

beberapa keterbatasan, yang pertama yaitu kecilnya jumlah dan

signifikasi statistik yang tidak tercapai meskipun jumlah kasus dengan abses
peritonsilar yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Penelitian ini dirancang
sebagai bentuk pengamatan dan bias yang terjadi pada modalitas pengobatan tidak
dapat dieksklusikan.
Kesimpulan
Abses peritonsilar termasuk kasus darurat yang relatif umum di departemen
THT, oleh karena itu terutama ditangani oleh dokter junior. Variasi pada masingmasing keterampilan dokter dan pengetahuan inti bidang THT sangat diharapkan.
Bahkan dengan pengenalan "rumah sakit di malam hari", berarti bahwa akan lebih
sedikit dokter yang kompeten untuk melakukan aspirasi jarum di luar jam kerja,
pemberian antibiotik satu-satunya modalitas pengobatan yang mungkin pasien
dapatkan hingga 12 jam setelah masuk rumah sakit. Hal ini mungkin dapat
berakibat pengelolaan pasien yang kurang efektif dan lebih mahal. Oleh karena
itu departemen perlu memeriksa secara teratur dan memastikan efektivitas biaya
serta pelayanan pasien.
Meskipun dalam prakteknya hasil analisis mikrobiologi dari aspirasi tidak
tersedia pada saat memulai terapi, tetapi analisis mikrobiologi dapat memberikan
informasi penting secara akurat mengarahkan pengobatan pada kasus resisten atau
kasus yang rumit. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan penemuan organisme
anaerob sebagai satu-satunya atau kedua organisme pada abses peritonsillar yang
berperan penting dalam patogenesis. Bagaimanapun penggunaan kombinasi
Penicillin dan Metronidazole sebagai rutinitas praktek, pada semua pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan abses peritonsillar tidak dapat direkomendasikan
8

oleh penelitian ini karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara lama rawat
di rumah sakit dan gambaran klinis yang diamati.
Ringkasan
Yang dapat diketahui berdasarkan topik pembahasan:
Rata-rata departemen THT di Inggris akan mendiagnosis sekitar 30 kasus abses
peritonsilar per tahun.
Organisme anaerob adalah hasil yang umum ditemukan ketika dilakukan aspirasi
kultur dari abses peritonsillar.
Aspirasi jarum, insisi drainase, dan tonsilektomi panas semua telah dikerjakan
sebagai pengobatan invasif.
Penisilin adalah antibiotik yang paling umum digunakan untuk pengobatan
konservatif dan Metronidazole merupakan antibiotik kedua yang ditambahkan ke
dalam regimen.
Apa yang penelitian ini tambahkan ke dalam topik:
Anaerob baik tunggal atau bagian dari kelompok membentuk 50% dari semua
organisme yang ditemukan dalam aspirasi.
Penggunaan Penicillin dan Metronidazole harus mencakup hampir semua pasien
yang dirawat dengan abses peritonsillar.
Tidak ada faktor prediksi klinis untuk mengidentifikasi infeksi anaerob pada
penelitian ini.
Penambahan Metronidazole sebagai antibiotik kedua tidak mengurangi lama
rawat di rumah sakit kecuali menggunakan regimen yang tepat.
Penggunaan Metronidazole sebagai antibiotik kedua di semua kasus abses
peritonsillar tidak dapat direkomendasikan pada penelitian ini.

10

Anda mungkin juga menyukai