Anda di halaman 1dari 19

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1. Diabetes Melitus


2.1.1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduaduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata(retinopati), ginjal(nefropati),
saraf(neuropati), jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) merumuskan
diabetes merupakan suatu penyakit kronis yang disebabkan oleh ganguan pankreas dalam
memproduksi insulin atau kondisi dimana badan tidak dapat menggunakan insulin yang
dihasilkan oleh pankreas secara effisien. Kedua keadaan ini akhirnya akan menyebabkan
peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah(hiperglikemi).1
2.1.2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA), terdapat 4 klasifikasi diabetes melitus, yaitu:
2.1.2.1. Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes melitus tipe I disebut juga dengan istilah diabetes tergantung insulin atau
diabetes yang muncul sejak kanak-kanakatau remaja (juvenile diabetes). Kasus diabetes
tipe I berkisar antara 5-10% dari seluruh populasi penderita diabetes. Lebihdari 95%
penderita diabetes melitus tipe I berkembang menjadi penyakit diabetes sebelum usia 25
tahun. Diabetes jenis ini dikarekteristikkan dengan defisiensi produksi insulin absolut
akibat destruksi sel pancreas sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen setiap
harinya.7
2.1.2.2. Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Melitus tipe 2 juga dikenal dengan istilah diabetes yang tidak tergantung
insulin atau diabetes yang muncul setelah dewasa (adult onset). Penderita diabetes
melitus tipe II mencapai sekitar 90% dari seluruh populasi penderita diabetes, biasanya
ketika penderita memasuki usia 30 sampai 40 tahun. Diabetes jenis ini dikarakterisasi

oleh resistensi insulin dan berkurangnya sensitivitas insulin sehingga mengakbatkan


peningkatan lipolysis dan produksi asam lemak, peningkatan produksi glukosa hati, dan
penurunan ambilan glukosa oleh otot skeletal.7
2.1.2.3. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus gestasional adalah hiperglikemia yang timbul selama masa kehamilan.
Hiperglikemia timbul akibat intoleransi glukosa dan biasanya berlangsung hanya
sementara. Sekitar 7% wanita hamil diketahui menderita diabetes melitus gestasional
dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.7
2.1.2.4. Diabetes Melitus Tipe Lain
Diabetes yang disebabkan oleh faktor-faktor lain terjadi pada sekitar 1-2% dari semua
kasus diabetes. Penyebab-penyebab lain yang dapat menimbulkan diabetes melitus
jenis ini diantaranya, yaitu defek genetik fungsi sel , defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas seperti cystic fibrosis, dan obat atau zat kimia yang dapat
menginduksi diabetes, seperti glukokortikoid.7
2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus
Karbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, termasuk gula sederhana atau monosakarida,
dan unit-unit kimia yang kompleks, seperti disakarida danpolisakarida. Karbohidrat yang sudah
ditelan dicerna menjadi monosakarida dan diabsorpsi, terutama dalam duodenum dan jejunum
proksimal. Sesudah diabsorpsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu dan
akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian
besar bergantung pada hati yang (1) mengekstraksi glukosa, (2) mensintesis glikogen dan (3)
melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang lebih sedikit, jaringan perifer otot dan adiposa
juga mempergunakan ekstrak glukosa sebagai sumber energi sehingga jaringan-jaringan ini ikut
berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah.
2.1.4.Gejala Klinis Diabetes Melitus
Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbulnya
glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran
urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka

pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar (polifagia)
mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pada pasien DM tipe II mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan
diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi
glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia,
poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini
tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan
masih cukup untuk menghambat ketoasidosis.2,6
2.1.5. Faktor Risiko Diabetes Melitus
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu :
2.1.5.1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
1. Ras dan etnik
2. Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
3. Usia. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia> 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan diabetes
melitus.
4. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat pernah
menderita diabetes melitus gestasional (DMG).
5.

Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi disbanding dengan bayi
lahir dengan BB normal.

2.1.5.2. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi;


1. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
2. Kurangnya aktivitas fisik.
3. Hipertensi (> 140/90 mmHg).
4. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL).
5. Diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes dan diabetes melitus tipe II.

2.1.6. Pengelolaan Diabetes Melitus


Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan
tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
2.1.6.1Edukasi
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi
yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan
glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.10
2.1.6.2. Terapi Gizi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip
pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan
zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.11
2.1.6.3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes melitus
tipe II. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetapdilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani. Untuk
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang
sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.11
2.1.6.4.Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
1. Pemicu Sekresi Insulin
a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjaldan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) danNateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
a. Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan

ini

mempunyai

efek

menurunkan

resistensi

insulin

dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan


ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan

dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
3. Penghambat Glukoneogenesis
a. Metformin
Obat

ini

mempunyai

efek

utama

mengurangi

produksi

glukosa

hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.Terutama


dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada
awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut.
4. Penghambat Glukosidase Alfa
a. Acarbose
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
5. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang
kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
2. Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
3. Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
4. Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan

5. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama


6. Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
7. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
2.1.7. Pemantauan Pengobatan
2.1.7.1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
a. Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai.
b. Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala
sesuai dengan kebutuhan.
2.1.7.2. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.1,2
2.1.8. Komplikasi Diabetes Melitus
Penyakit Diabetes melitus merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan upaya
penanganan yang tepat dan serius. Dampak penyakit tersebut akan membawa berbagai
komplikasi penyakit yang serius, seperti; penyakit jantung, strok, disfungsi ereksi, gagal
ginjal dan kerusakan sistem saraf. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah
peningkatan penderita diabetes melitus yaitu dengan meningkatkan kesadaran mengenai
diabetes dan komplikasi pada semua pihak masyarakat dan tenaga kesehatan lewat
kampaye gaya hidup termasuk pola makanan sehat dan olahraga. 5
Komplikasi diabetes melitus yang muncul secara akut dan kronik, yaitu timbul
beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap diabetes melitus. Komplikasi akut
diabetes melitus yang paling sering adalah hipoglikemia dan koma diabetik.
2.2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Minum Obat

Diabetes melitus merupakan penyakit yang memerlukan pengobatan dalam jangka


panjang. Pengobatan tersebut dimaksudkan untuk mengontrol kadar gula dalam darah dalam
batas normal sehingga komplikasi dapat dihindari. Pengobatan yang seusia hidup akan
mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obat. Menurut laporan WHO pada tahun 2003
kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis seperti diabetes
melitus di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di negara berkembang jumlah tersebut
bahkan lebih rendah (Depkes RI, 2006). Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa
adanya kesadaran dari pasien itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan terapi. (Hussar,
2006). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam penatalaksanaan farmakologis
terhadap pasien diabetes melitus adalah kepatuhan.
Kepatuhan (ketaatan) (compliance atau adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan cara
pengobatan dan prilaku yang disarankan oleh dokter atau oleh orang lain. Pasien yang patuh
minum obat adalah yang melaksanakan instruksi dokter atau yang merawatnya dengan minum
obat sesuai dosis, frekuensi dan waktu yang telah dijelaskan, yang dilaksanakan pasien secara
aktif dan sukarela dalam pengelolaan penyakitnya. Hentinen menjelaskan kepatuhan terhadap
perawatan diri sebagai suatu proses aktif, bertanggung jawab dan fleksibel manajemen diri, di
mana pasien berusaha untuk mencapai kesehatan yang baik dengan bekerja sama dengan staf
perawatan kesehatan, bukan hanya mengikuti aturan, sehingga diusulkan pasien bisa melakukan
kegiatan "manajemen kolaboratif diabetes", "pemberdayaan pasien" atau "perawatan diri
manajemen perilaku.
Dimatteo, Dinicola, Thorne dan Kyangas melakukan penelitian dan mendiskusikan bahwa
ada dua faktor yang berhubungan dengan kepatuhan yaitu internal dan eksternal. Adapun faktor
internal meliputi karakter si penderita seperti usia, sikap, nilai sosial dan emosi yang disebabkan
oleh penyakit. Adapun faktor eksternal yaitu dampak dari pendidikan kesehatan, interaksi
penderita dengan petugas kesehatan (hubungan di antara keduanya) dan tentunya dukungan
keluarga, petugas kesehatan dan teman. Kepatuhan pasien akan meningkat secara umum bila
semua instruksi yang diberikan oleh petugas medis jelas kepada pasien. Kemudian menurut
Niven ada 4 faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan, yaitu:
1. Pemahaman tentang instruksi
2. Kualitas interaksi: antara professional kesehatan dan pasien
3. Isolasi sosial dan keluarga serta keyakinan

4. Sikap dan kepribadian


Menurut data WHO, rendahnya tingkat kepatuhan pengobatan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya: karakteristik pengobatan dan penyakit, faktor intrapersonal, faktor
interpersonal, dan faktor lingkungan. Sementara Given mengatakan bahwa tingkat kepatuhan
berobat secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: pendidikan, pengetahuan, sikap,
motivasi, dan persepsi pasien tentang keparahan penyakit. Pemahaman yang salah tentang
konsumsi obat juga banyak terjadi, seperti lamanya waktu penggunaan dan persepsi pasien
bahwa tidak adanya perubahan sehingga membuat mereka merasa bosan, menghindar, dan lupa.
Pasien diebetes melitus tipe II di Southwest Ethiopia dari hasil penelitian Wabe, Angamo &
Hussein (2011) pasien yang mengkonsumsi obat hipoglikemik oral menjadi tidak patuh karena
kurangnya pengetahuan dengan resep yang telah diberikan dan manajemen diri. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pasien pada pengobatan penyakit yang bersifat kronis
pada umumnya rendah. Penelitian yang melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa
lebih dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya (Basuki, 2009).
Adapun hal-hal yang mendukung mempengeruhi kepatuhan minum obat menurut WHO,
diantaranya:
2.2.1. Karakteristik Pengobatan dan Penyakit
Tiga unsur pengobatan dalam perawatan penyakit yang dikaitkan dengan kepatuhan
yaitu: kompleksitas pengobatan, durasi penyakit dan sikap petugas kesehatan. Secara umum,
semakin kompleks rejimen pengobatan, semakin kecil kemungkinan pasien akan mengikuti
aturan pengobatan salah satunya kepatuhan dalam minum obat. Indikator kompleksitas
pengobatan ini termasuk frekuensi, dosis dan waktu. Higher melaporkan bahwa pasien yang
diminta untuk meminum obat dengan frekuensi sekali sehari, dibandingkan dengan mereka yang
minum obat dengan frekuensi tiga kali sehari. Dailey et al. menunjukkan bahwa pasien
diresepkan obat tunggal jangka pendek yang lebih patuh dari pada diresepkan dua atau lebih obat
untuk pengobatan jangka panjang.
2.2.1.1. Kompleksitas Pengobatan
Obat antidiabetes oral yang tersedia di Puskesmas saat ini adalah glibenklamid dan
metformin. Pasien yang mendapatkan obat antidiabetes kombinasi yaitu glibenklamid dan
metformin sedangkan obat antidiabetes tunggal diberi glibenklamid atau medformin. Terapi
kombinasi (glibenklamid dan metformin) merupakan terapi kombinasi yang sangat efektif

karena keduanya bekerja secara sinergis dan dapat menurunkan gula darah yang lebih besar
(Soegondo et al, 2013).
Indikator tepat dosis adalah berapa dosis sekali yang diminum pasien. Tepat dosis akan
mempengaruhi kontrol kadar gula darah pasien. Pasien yang minum obat teratur sesuai dengan
dosis anjuran dokter maka pasien akan terkontrol gula darahnya (PERKENI, 2011). Jika pasien
tidak mematuhi dosis yang disarankan dokter, karena lupa minum atau tidak ingin minum obat
maka yang terjadi adalah dosis terlalu rendah (underdose) yang mengakibatkan gula darah pasien
dapat menjadi tinggi diatas normal. Begitupun sebaliknya jika pasien ingin segera menurunkan
gula darah maka yang dilakukan pasien adalah sekali minum obat melebihi dosis yang
dianjurkan dokter atau disebut overdose. Pada anjuran dosis glibenklamid yang diberikan
seharinya adalah 2,5-15 mg dengan frekuensi 1-2 kali sehari sedangkan metformin untuk dosis
seharinya adalah 250-850 mg per hari dengan frekuensi 1-3 kali sehari.
Indikator tepat frekuensi adalah berapa kali obat itu diminum dalam sehari. Beberapa
pasien merasa lebih senang pada pengobatan dengan frekuensi yang jarang agar pasien mudah
mengikuti regimen dosis dengan frekuensi pemberian obat satu kali sehari (Hussar, 2006). Hal
ini ditunjukan pada hasil penelitian pada penggunaan glibenklamid yang memiliki frekuensi
sehari satu kali pasien mudah patuh dalam pemakaian obat antidiabetes tersebut. Sedangkan pada
penggunaan metformin pasien cenderung tidak patuh dikarenakan frekuensinya diberikan sehari
dua kali. Frekuensi metformin tersebut berpengaruh pada pasien yang memiliki aktivitas yang
tinggi sehingga pasien cenderung lupa Menurut PERKENI (2011) lama kerja glibenklamid
adalah 12-24 jam dan mempunyai frekuensi 1-2 kali, berbeda dengan metformin mempunyai
lama kerja 6-8 jam dan mempunyai frekuensi 1-3 kali sehari .
Indikator tepat waktu diukur dengan menentukan jenis obat antidiabetes seperti untuk
glibenklamid sebelum makan dan metformin digunakan bersama atau sesudah makan. Dalam
banyak kasus, pasien lupa menggunakan obat atau timbul tidak ingin tergantung pada obat, atau
pasien tidak paham dalam penggunaan obat (Hussar, 2006). Pasien dinyatakan patuh apabila
mengkonsumsi glibenklamid 15-30 menit sebelum makan dan metformin bersama makan atau
15-30 menit sesudah makan. Pada kenyataannya pasien yang minum glibenklamid ketika bangun
tidur lalu pasien baru makan 3-4 jam setelah minum obat dikarenakan pasien melaksanakan
aktivitas seharihari. Padahal mekanisme kerja glibenklamid yaitu meningkatkan sekresi insulin
dan efektif jika pemakainnya 15-30 menit sebelum makan untuk menghindari efek hipoglikemi.

Efek samping glibenklamid adalah hipoglikemia yang menyebabkan berdebar debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar (PERKENI, 2011). Oleh karena itu, pemberian harus dimulai
pada dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap untuk mencapai gula darah dan tetap dilakukan
monitoring efek samping ( Nathan, 2009).
2.2.1.2. Sikap Petugas Kesehatan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mirawati (2013) di ruang Poli Penyakit Dalam
RSUD Kepahiang terhadap 39 responden bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap
petugas kesehatan dengan kepatuhan responden minum obat. Dari hasil uji statistik didapatkan
nilai p = 0,022 berarti P value <0,05. Responden yang menyatakan sikap petugas kesehatan yang
tidak mendukung mempunyai resiko 9,33 kali beresiko tidak patuh minum obat antidiabetes oral
dibandingkan dengan responden yang menyatakan sikap petugas kesehatan mendukung. Sikap
adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).
Sikap Petugas kesehatan berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dan pasien.
Keterkaitan antara manusia yang baik menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara
menghargai yang dapat dilihat melalui penerimaan, kepercayaan, empati, menjaga rahasia,
menghormati, dan responsife serta memberikan perhatian terhadap pasien (Wijono,1999).
Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatantingkatan berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut: dimana petugas kesehatan mau menerima
stimulus yang diberikan pasien, memberikan jawaban atau tanggapan tehadap pertanyaan dari
pasien, memberikan nilai yang positif terhadap pasien, bahkan mengajak, mempengaruhi atau
menganjurkan pasien untuk melakukan saran pengobatan dari dokter atau dari pengetahuannya.
Menurut penelitian Gendhis (2011) ada hubungan yang signifikan antara sikap petugas dengan
kepatuhan minum obat diabetes melitus di BKKM Pati. Semakin baik sikap petugas kesehatan
maka kepatuhan penderita diabetes melitus untuk datang berobat semakin tinggi. Hal ini bisa
diasumsikan bahwa sikap seseorang yang baik akan meningkatkan kepatuhan minum obat. Sikap
merupakan keteraturan antara komponen-komponen pemikiran (kognitif), hal perasaan (afektif),
dan predisosisi tindakan yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berprilaku
terhadap suatu objek dilingkungan sekitarnya. Sikap yang buruk akan berkontribusi juga
terhadap perilaku pasien diabetes melitus dalam minum obat. Hasil ini sama dengan yang

dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu yang hasilnya menunjukan ada hubungan antara
pelayanan perawat poliklinik yang profesional terhadap kepatuhan dalam berobat (Widagdo,
2002).
2.2.1.3. Durasi Penyakit
Durasi penyakit tampaknya memiliki hubungan negatif dengan kepatuhan: semakin lama
pasien durasi sakit diabetes, semakin kecil kemungkinan pasien patuh untuk pengobatan
diabetes. Durasi penyakit ini akan mempengaruhi sikap pasien terhadap pengobatan penyakitnya.
Dimana pasien yang masih tergolong baru didiagnosa diabetes melitus pada umumnya mereka
sangat terbuka dan senang untuk diberikan konseling obat, karena mereka masih belum paham
mengenai penyakit dan pengobatan yang dideritanya, sehingga mereka mempunyai rasa ingin
tahu yang besar terhadap itu dan cendrung mau mengikuti semua saran petugas kesehatan dalam
menjalankan terapi. Pasien dengan durasi sakit diabetes melitus yang lebih panjang dilaporkan
lebih banyak makan makanan yang tidak sesuai dengan diet diabetes seperti memakan makanan
dalam jumlah yang besar dan banyak mengandung lemak jenuh, hal tersebut karena pasien sudah
merasa bosan dalam menjalani pengobatan yang disarankan. Baru-baru ini, dalam sebuah studi
yang dilakukan pada anak-anak Polandia dan Amerika dengan diabetes tipe I, durasi penyakit
dikaitkan dengan kepatuhan terhadap pemakaian insulin. Anak-anak yang lebih panjang durasi
sakitnya lebih mungkin untuk melupakan suntikan insulin mereka daripada anak-anak yang baru
terdiagnosis.
2.2.2. Intra-personal
Adapun variabel penting telah dikaitkan dengan kepatuhan: usia, jenis kelamin, pekerjaan,
pengetahuan, pendidikan dan penyalahgunaan alkohol.
2.2.2.1.Usia Pasien
Salah satu faktor risiko diabetes melitus ialah usia, yang merupakan faktor yang tidak
dapat diubah. Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau
makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Usia kronologis adalah perhitungan usia yang
dimulai dari saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghitungan usia. Kategori usia
menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009, dapat dibedakan menjadi:
masa balita yaitu 0 5 tahun, masa kanak kanak yaitu 5 11 tahun, masa remaja awal yaitu
12 1 6 tahun,

masa remaja akhir yaitu

17

25 tahun,

masa dewasa awal 26- 35 tahun,

masa dewasa akhir yaitu 36 45 tahun, masa lansia awal yaitu 46 55 tahun, masa lansia
akhir yaitu 56 65 tahun, masa manula yaitu 65 sampai atas.18
Adib (2011) menyatakan bahwa diabetes melitus tipe II dapat terjadi pada anak anak
dan dewasa tetapi biasanya setelah 30 tahun. Pada umumnya pada anak-anak tingkat kepatuhan
dalam menjalani terapi masih rendah, hal ini disebabkan karena pada usia anak-anak belum
terbentuk sikap untuk memperhatikan diri sendiri, sehingga masih diperlukan peran orang tua
dalam menjalani suatu terapi. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin terbentuk sikap
untuk memperhatikan diri sendiri, sehingga hal tersebut juga akan meningkatkan kepatuhan
seseorang dalam menjalani terapi pengobatan, namun pertambahan usia seseorang tidak serta
merta akan meningkatkan kepatuhan, karena masih ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi
tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalani suatu terapi pengobatan.
Pada penelitian I Putu Angga Pradana disebutkan terdapat perbedaan karakteristik yang
dimiliki oleh masing-masing penderita diabetes melitus, secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi obat. Pada penelitian itu disebutkan
kelompok usia di bawah 45 tahun memiliki kepatuhan yang lebih tinggi yaitu sebesar 72,80%
dibandingkan kelompok usia di atas 45 tahun. Hal ini menunjukkan kecendrungan antara
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat diabetes, di mana semakin muda usia pasien maka
semakin besar kemungkinan patuh dalam mengkonsumsi obat diabetes. Dalam sebuah penelitian
yang menilai kepatuhan untuk selfmonitoring glukosa darah, remaja muda dilaporkan lebih patuh
untuk melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah mereka daripada usia tua.
2.2.2.2. Jenis kelamin
Jenis kelamin juga telah dikaitkan dengan kepatuhan. Laki-laki dalam sampel penelitian
dari pasien dengan diabetes tipe I ditemukan lebih aktif secara fisik daripada perempuan, tetapi
mereka juga mengkonsumsi lebih banyak kalori, makan makanan yang lebih banyak
mengandung lemak dan memiliki tingkat kepatuhan yang lebih rendah dari perempuan.
Perempuan dijelaskan lebih teliti dalam merawat diri dan lebih rajin untuk mengikuti perintah
dari tenaga kesehatan. Pada hasil penelitian Puji Indriani dkk, pada tahun 2007 jenis kelamin
perempuan lebih mendominasi dalam hal kepatuhan untuk minum obat, jumlahnya yaitu sebesar
13 orang (59,1%) sedangkan jenis kelamin laki- laki hanya 9 orang (40,9 %). Berbeda dengan
penelitian Irawan, berdasarkan hasil uji Koefisian Kontingensi C didapat nilai p = 0,414 (p >

0,05) maka tidak terbukti ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian
minum obat diwilayah kerja Puskesmas Mataram.
2.2.2.3. Pengetahuan
Pengetahuan yang baik tentang diabetes melitus merupakan salah satu upaya mencegah
terjadinya komplikasi dari penyakit. Kurangnya pengetahuan mengenai regimen pengobatan,
obat atau terapi menyebabkan pasien tidak patuh sepenuhnya melaksanakan anjuran pengobatan.
Hal ini disebabkan karena pengetahuan merupakan dasar bagi pasien dalam menjalani
pengobatan. Pengetahuan yang baik mengenai pengobatan akan menjadikan perilaku pengobatan
baik, sebaliknya pengetahuan yang kurang dapat menyebabkan perilaku pengobatan yang kurang
baik pula. Tingkat pengetahuan yang rendah akan dapat mempengaruhi pola makan yang salah
sehingga menyebabkan kegemukan. Diperkirakan sebesar 80-85% penderita diabetes melitus
tipe II mengalami kegemukan. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang diabetes melitus,
mengakibatkan masyarakat baru sadar terkena penyakit diabetes melitus setelah mengalami sakit
parah.
Berdasarkan hasil penelitian Raharjo Apriatmoko dkk, tahun 2007 yang telah dilakukan
terhadap 53 responden didapatkan sebagian besar tingkat pengetahuan masyarakat tentang
diabetes melitus di Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang dalam
kategori kurang baik, yaitu sejumlah (82,7 %) dari 53 responden. Berdasarkan hasil observasi
peneliti tentang tingkat pengetahuan masyarakat tentang diabetes melitus disebabkan oleh 2
faktor yang saling berhubungan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang meliputi
pendidikan, beban kerja dan usia, sedangkan faktor eksternalnya yaitu meliputi lingkungan dan
sosial budaya. Adapun sumber belajar untuk meningkatkan pengetahuan antara lain: sumber
pertama yaitu kepercayaan berdasarkan tradisi, adat dan agama warisan nenek moyang. Sumber
ini berupa norma-norma dan kaidah baku yang berlaku didalam kehidupan sehari-hari. Menurut
Widiyanto (2003), dikatakan bahwa kepatuhan seseorang terhadap suatu standar atau peraturan
dipengaruhi juga oleh pengetahuan dan pendidikan individu tersebut. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan, maka semakin mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap peraturan atau standar
yang berlaku.
2.2.2.4. Pendidikan

Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan


tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan
tertentu. Gunarso (1990 dalam Suparyanto, 2010) mengemukakan bahwa semakin tua usia
seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada usia-usia
tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat ketika berusia belasan
tahun, dengan demikian dapat disimpulkan faktor usia akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
seseorang yang akan mengalami puncaknya pada usia-usia tertentu dan akan menurun
kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini
menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah. Lanjut usia sebagai kelompok usia
yang telah lanjut mengalami kemunduran daya ingat, sehingga terkadang tidak dapat mencerna
kepatuhan untuk minum obat antidiabetes dengan sempurna.
Berdasarkan penelitian Irawan, tahun 2010 tentang faktor risiko kejadian diabetes melitus
tipe II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat menyatakan terdapat hubungan
antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan minum obat antidiabetes oral. Dikatakan orang
dengan tingkat pendidikan rendah 1,27 kali beresiko tidak patuh dalam menjalani pengobatan
daripada orang yang berpendidikan tinggi (81,0%). Orang dengan tingkat pendidikan rendah
biasanya memiliki pengetahuan yang sedikit. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi
kepedulian terhadap kesehatan. Namun tidak dapat di pungkiri masih ada orang berpendidikan
tinggi mengabaikan kesehatan dengan berbagai alasan yang menyebabkannya, salah satunya
berhubungan dengan beban kerja dimana dengan adanya kesibukan yang tinggi sehingga pola
hidup yang tidak teratur atau tidak teraturnya pola makan menyebabkan gangguan
kesehatan.Biasanya orang dengan kegiatan yang padat lebih sering lupa untuk makan namun
lebih banyak makan cemilan.21
2.2.2.5. Pekerjaan
Menurut Lee et al pekerjaan dikatakan mempengaruhi kepatuhan minum obat, karena
dengan adanya kesibukan dalam bekerja membuat penderita sulit untuk meluangkan waktu untuk
kontrol dan sering lupa minum obat. Dari penelitian Lee ini digunakan 150 responden dengan
nilai p=0,04. Penelitian dari Putri Rasajati,dkk orang yang bekerja cenderung memiliki sedikit
waktu bahkan tidak ada waktu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan. Orang yang bekerja
cenderung memiliki sedikit waktu bahkan tidak ada waktu untuk mengunjungi fasilitas
kesehatan. Responden yang tidak bekerja cenderung lebih patuh melakukan pengobatan

dibandingkan dengan responden yang bekerja .Hal tersebut dikarenakan responden yang bekerja
lebih memiliki kesibukan sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk memeriksakan diri ke
Puskesmas. Responden yang bekerja juga minum obat tidak sesuai dengan anjuran dokter karena
alasan padatnya aktivitas yang dilakukan setiap harinya sehingga membuat responden lupa untuk
minum obat.
Berdasarkan hasil penelitian Qorry Putri Rasajati, Bambang Budi Rahajo, dan Dina Nur
Anggraini Ningrum pada tahun 2013 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan pengobatan pada penderita diabetes melitus tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas
Kedungmundu Kota Semarang, menunjukkan ada hubungan antara status pekerjaan dengan
kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,035 (p<0,05).28
2.2.3. Inter-personal
Salah satu faktor penting inter-personal adanya dukungan sosial salah satunya keluarga,
telah ditemukan berkorelasi dengan kepatuhan.
2.2.3.1. Dukungan Keluarga
Keterlibatan orang tua, sebagai ukuran dukungan sosial, juga telah dikaitkan dengan
kepatuhan terhadap pemantauan glukosa darah. Remaja dan anak-anak dengan diabetes tipe I
yang mendapatkan perhatian dalam proses pengobatan dari orang tua yang dilihat dari
pemantauan glukosa darah mereka, sisa obat yang diminum, ketepatan dosis obat dilaporkan
lebih tinggi dari tingkat pemeriksaan harian konsentrasi gula darah. Peran dari keluarga sangat di
butuhkan dalam memberikan dukungan rutin berupa motivasi untuk sehat, mengingatkan kontrol
ke pelayanan kesehatan, mengingatkan untuk selalu minum obat serta membiayai pengobatan
pasien diabetes melitus. Keluarga dapat menjadi penentu berhasil tidaknya pengobatan yang
dilakukan oleh seseorang dalam menjalani suatu pengobatan karena keluarga dapat menjadi yang
sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga
menentukan tentang program kesehatan yang dapat mereka terima. Peran keluarga dianggap
sebagai salah satu variabel penting yang mempengaruhi hasil perawatan pasien.
Berdasarkan hasil penelitian Agnes Stella Koyongian, Rina Kondre dan Jill Lolong pada
tahunn 2009 yang dilakukan pada pasien diabetes melitus di desa Batu Kecamatan Likupang
Selatan Kabupaten Minahasa Utara didapatkan hasil analisis statistik yang menggunakan uji chisquare diperoleh nilai p= 0,000 yang berarti nilai p lebih kecil dari (0,05) dengan nilai

kemaknaan 90%, sehingga kesimpulan terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat
responden pasien diabetes melitus yang berada di desa Batu Kecamatan Likupang Selatan
Kabupaten Minahasa Utara dengan peran keluarga baik.
Hasil penelitian dari Mubarak dan Chayatin yaitu salah satu atau beberapa anggota
keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lain
serta keluarga lain di sekitarnya. Dukungan dari anggota keluarga pada penderita diabetes
melitus sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan untuk minum obat teratur, penderita diabetes
melitus yang mendapat dukungan keluarga akan lebih teratur berobat dan minum obat sehingga
gula darahnya dapat terkendali. Penderita diabetes melitus yang memiliki dukungan keluarga
cenderung lebih patuh melakukan pengobatan dibandingkan dengan responden yang tidak
memiliki dukungan keluarga.

2.3. Kerangka Teori

Kepatuhan minum
obat antidiabetes
oral
I
K
F
S
JU
P
D
esiurona
t
knirem
edgiakpru
nriespulak
gjdtiep
aikpne
nakhepsr
aulteisn
knau,tos
gyaet
nm
liads
nskolu
aisr
ktierp
ges
as,in
eg
m
eo
hw
anb
tka
tpa
nuea
n
g
od
ba
an
t
ap
ne
n
y
a
k
i
t

2.4. Kerangka Konsep

V ari b e l In d e p n d e n

4 . S ik a p e tu g a s k e s h a t n
7 . U s ia
1. D osi obat

8 . J e n is k e la m in
10 Pendi kan
1 . P e k rja n
3 . W a k tu m in u m o b a t

V a ri b e l D e p n d e n

K e p a tu h a n m in u m o b a t n tid a b e t s o ra l

Anda mungkin juga menyukai