Anda di halaman 1dari 12

1

I. REKAM MEDIK ( 971923 / 7451 )


Penderita adalah seorang perempuan, Ny. S berusia 35 tahun, beralamat di dalam kota,
pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga, bersuamikan Tn. S berusia 36 tahun, pekerjaan
buruh. Masuk rumah sakit tanggal 30 April 2005 pukul 16.35 WIB, dikirim oleh bidan,
dengan keluhan mau melahirkan dengan anak sungsang dan tak lahir-lahir. Dari anamnesis
lebih lanjut didapatkan keterangan bahwa 10 jam sebelum masuk rumah sakit penderita
mengeluh perut mulas yang menjalar ke pinggang, hilang timbul, makin lama makin sering
dan kuat, riwayat keluar darah dan lendir (+), riwayat keluar air-air (-), lalu os ke bidan dan
dipimpin untuk melahirkan tapi anak tak lahir-lahir lalu os di rujuk ke RS. Riwayat kencing
manis (-), riwayat penyakit ginjal (-), riwayat batuk lama (-),riwayat demam (-). Penderita
mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak masih dirasakan.
Penderita mempunyai riwayat menarche pada usia 12 tahun dengan siklus haid yang
teratur 28 hari, lama haid 7 hari, hari pertama haid terakhir tanggal 20 Juli 2004 dan taksiran
persalinannya 27 April 2005. Penderita telah menikah 1 kali dan lamanya 12 tahun. Riwayat
gizi dan sosial ekonomi penderita kurang. Kehamilan ini adalah yang ketiga, penderita
memeriksakan kehamilannya ke bidan sebanyak 2 kali. Riwayat persalinan penderita :
1. 1999 / bidan / aterm / spontan / / 2800 gram
2. 2001 / bidan / aterm / spontan / / 3000 gram
3. Hamil ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 52 kg dan tinggi badan 141 cm dengan
tipe badan piknikus. Dari keadaan umum penderita tampak baik, kesadaran compos mentis,
keadaan gizi kurang, dari jantung murmur (-), gallop (-), dan paru paru ronkhi (-), wheezing
(-). Pada pemeriksaan tekanan darah didapatkan 140/90 mmHg, nadi 84x/menit, pernafasan
20 x/menit, suhu badan 37,2C, hepar dan lien sulit dinilai, edema (-/-), varises (-/-), reflek
fisiologis (+/+), dan reflek patologis (-/-), dan Hb sahli adalah 10,6 gr%.
Pada pemeriksaan obstetrik didapatkan fundus 3 jari bawah prosesus xyphoideus (35 cm),
letak janin memanjang, punggung kanan, bokong, his 2x /10/20, DJJ: 144x/mnt, TBJ: 3700
gram.
Pada pemeriksaan dalam didapatkan porsio tak teraba, pembukaan lengkap, ketuban (-),
jernih, bau (-), terbawah bokong, penurunan diatas spina, penunjuk sacrum kanan lintang.
Pada pemeriksaan panggul didapatkan promontorium tidak teraba, konjugata diagonalis 10,5
cm, konjugata vera 9 cm, linea innominata teraba 1/3-1/3, sacrum konkaf, spina iskhiadika tak

menonjol, arkus pubis > 900, dinding samping lurus sehingga diperoleh kesimpulan kesan
panggul sempit relatif.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan obstetric maka penderita ini
didiagnosis sebagai G3P2A0 hamil aterm dengan PER inpartu kala I, Janin tunggal hidup
presentasi bokong + FPD. Penderita ini ditatalaksanai dengan rencana terminasi
perabdominam.
Laporan Operasi ( Sabtu 30 April 2005 )
Pukul 20.00 WIB.

Operasi dimulai

Pukul 20.10 WIB.

Lahir bayi laki-laki dengan BB 3500 g, PB 50 cm, A/S 8/9.

Pukul 20.15 WIB.

Plasenta lahir lengkap dengan BP 500 g, PTP 50 cm dengan diameter


18 x 19 cm

Pukul 21.30 WIB

Operasi selesai

Diagnosa prabedah

G3P2A0 hamil aterm dengan PER inpartu kala II, JTH presbo + FPD

Diagnosa postbedah P3A0 pasca SSTP a/I FPD


Tindakan

Seksio Sesarea Transperitonealis Profunda

Selama di ruang pulih penderita mendapatkan terapi antibiotika Ampisillin 3 x 1 g,


Gentamicyn 2 x 80 mg dan Flagyl Supp 2 x 1 supp. Setelah pindah ke ruang perawatan pasca
operasi penderita mendapat terapi oral Amoksisilin 3 x 1 tab, Metronidazol 3 x 1 tab, Asam
mefenamat 3x1 tab. Pada hari ke 5 setelah operasi, dilakukan pergantian perban didapatkan
luka operasi kering. Pada hari kesembilan ( 9 Mei 2005) dilakukan pergantian perban pada
saat itu tampak luka operasi basah, dikonsulkan ke konsulen, disarankan rawat luka dengan
kompres rivanol. Beberapa hari kemudian didapatkan adanya jaringan granulasi pada luka
operasi, dikonsulkan ulang ke konsulen dan disarankan untuk kompres dengan Rivanol.
Pada perawatan lebih lanjut didapatkan omentum keluar dari rongga abdomen. Sehingga
diagnosa pasca bedah burst abdomen pasca SSTP a/I FPD. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan Total protein 6,2 g/dL, albumin 3,4 g/dL, globulin 2,8 g/dL

II. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah komplikasi ini dapat terjadi?

2. Apa yang menjadi dasar diagnosa dan bagaimana cara mencegahnya?


3. Apakah Penatalaksanaan kasus ini sudah adekuat?

III. ANALISIS KASUS


1. Bagaimanakah komplikasi ini dapat terjadi?
Dehisensi luka opersi merupakan komplikasi penyembuhan luka operasi yang
sering terjadi bersama-sama dengan infeksi. Hal ini akan menyebabkan proses
penyembuhan luka yang normal mengalami gangguan. Dehisensi luka opersi adalah
terpisahnya semua jahitan lapisan dinding perut yang meliputi kulit, jaringan
subkutan, fasia sampai peritoneum. Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya
dehisensi yang sering ditemui. Pada umumnya dehisensi luka operasi disebabkan
berbagai faktor, baik faktor lokal maupun faktor sistemik yang disertai faktor
predisposisi: usia, obesitas, infeksi perioperatif, penggunaan kortikosteroid, diabetes
mellitus, malnutrisi, dehidrasi, hematom, anemia, gangguan hati, perdarahan masif,
teknik operasi yang kurang baik, batuk pasca operasi, proses keganasan, jaringan
parut, dan radiasi.1,2,3,4
Upaya untuk mengurangi terjadinya dehisensi pada luka operasi adalah
pencegahan yang harus dimulai sebelum dilakukan tindakan operasi, yaitu dengan
cara mengenali sedini mungkin faktor-faktor resiko yang ada pada penderita tersebut,
teknik operasi dan cara operasi serta perawatan luka setelah operasi.1
Penderita-penderita resiko tinggi dilakukan dengan menggunakan irisan
khusus, teknik penutupan luka operasi dan pemilihan benang yang baik ternyata
menurunkan angka kejadian infeksi luka operasi yang selanjutnya dapat mengurangi
terjadinya wound dehiscence.4,5
Komplikasi luka operasi bermacam-macam diantaranya adalah infeksi luka
operasi (wound infection) jika luka operasi tercemar oleh kuman dengan tanda-tanda
luka kemerahan, membengkak dan bernanah. Abdominal wound dehiscence jika
semua lapisan jahitan dinding perut terpisah yang meliputi kulit, subkutan, fasia
sampai peritoneum. Bila isi perut keluar melalui luka operasi disebut wound eviserasi.
Istilah yang digunakan saat ini adalah wound dehiscence adalah terpisahnya kembali

semua lapisan jahitan dinding perut disertai keluarnya isi perut melalui luka operasi
istilah ini sama dengan burst abdomen4.
Menurut terjadinya dehisensi luka operasi dibagi menjadi dua, yaitu dehisensi
luka operasi dini ( early disruption ) yaitu bila terjadinya dehisensi sebelum hari
ketiga pasca operasi, biasanya diakibatkan oleh teknik atau cara penutupan dinding
perut tidak baik. Dehisensi luka operasi lambat ( late disruption ) yaitu bila terjadinya
setelah hari keduabelas pasca operasi. Hal ini biasanya dihubungkan dengan faktor
usia, adanya infeksi pada luka operasi, radiasi, hipoalbuminemia, dan faktor-faktor
lainnya. Akan tetapi umumnya dehisensi luka operasi antara hari ke 6 dan hari 9 pasca
operasi. Sedangkan menurut Baggish dan Lee, dehisensi luka operasi terjadi rata-rata
pada hari ke 7 pasca operasi.5
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dehisensi luka operasi, terbagi
menjadi faktor mekanik, faktor metabolik, dan faktor infeksi. Faktor mekanik seperti
adanya tekanan akan menyebabkan jahitan jaringan semakin merenggang dan
mempengaruhi penyembuhan luka operasi secara primer. Faktor mekanik ini dapat
terjadi karena batuk batuk yang hebat, obstruksi ileus, peritonitis dan hematom.2,5,6,7,8
Pada penderita ini diagnosis dehisensi luka operasi ditegakkan berdasarkan
temuan terbukanya atau terpisahnya kembali semua lapisan jahitan dinding perut yang
ditandai dengan keluarnya jaringan granulasi melalui terbukanya jahitan. Dehisensi
luka operasi pada penderita ini digolongkan pada dehisensi luka operasi lambat yaitu
terjadinya pada hari kesembilan.
Faktor yang ada pada penderita ini dimana memungkinkan terjadinya dehisensi
luka operasi adalah usia, dan faktor lainnya seperti faktor nutrisi, dan batuk-batuk.
Disamping itu faktor teknik seperti teknik penjahitan dan pemilihan jenis benang
memegang peranan yang juga sangat penting.
Nutrisi yang inadekuat memegang peranan penting karena nutrisi yang
inadekuat akan mengganggu sintesis protein, sintesis protein akan terganggu jika
terjadi kekurangan bahan pembuat protein itu sendiri dan berakibat memperlambat
proses penyembuhan luka.9 Faktor nutrisi yang berperan pada penderita ini adalah
keadaan penderita dengan gizi kurang. Proses penyembuhan luka operasi akan sangat
tergantung pada faktor nutrisi sebagai bahan bagi penyembuhan luka itu sendiri.

Pada kejadian dehisensi luka operasi ini, faktor teknik memegang peranan
yang cukup penting. Kekurangwaspadaan terhadap resiko yang akan dihadapi pada
penutupan luka operasi telah menjadi kontributor yang cukup bermakna. Teknik
penjahitan dinding perut, serta pemilihan benang telah menjadi suatu tolak ukur bagi
keberhasilan dalam mengatasi kemungkinan dehisensi luka operasi pada resiko tinggi.
Galen menyatakan satu dari sepuluh dehisensi luka yang disebabkan oleh faktor
teknik seperti penjahitan yang tidak tepat, ikatan yang tidak kuat atau jahitan yang
terputus. Pemilihan benang akan mempengaruhi faktor mekanik ini, dimana catgut
kromik lebih sering berhubungan dengan dehisensi karena cepat diserap dan
kecepatannya tidak dapat diperkirakan.4,6
Faktor metabolik yang turut berperan dalam terjadinya dehisensi luka operasi
adalah hipoproteinemia, anemia dan gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi
vitamin. Hipoproteinemia akan menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan
luka. Hipoalbuminemia dan hipoglobuminemia yang merupakan komponen sulfasi
mukopolisakarida adalah merupakan bahan dasar penyembuhan luka, dimana
kekurangan albumin dan globulin di dalam darah akan mempengaruhi proses
fibroplasi dan kekuatan jaringan akan menurun sehingga proses penyembuhan luka
operasi akan terlambat. Defisiensi vitamin akan menghambat proses sintesa kolagen
yang merupakan substansi dasar proses penyembuhan luka. Anemia akan
menyebabkan sirkulasi darah yang tidak baik dapat mengakibatkan proses
penyembuhan luka operasi terlambat, hal ini dikarenakan terbatasnya oksigenasi
jaringan, dan juga bila disertai dengan faktor-faktor yang lainnya maka kejadian
dehisensi luka operasi semakin meningkat, separti halnya umur yang tua, malnutrisi,
terapi radiasi, pemakaian kortikosteroid yang lama. Semuanya akan meningkatkan
resiko untuk terjadinya dehisensi luka operasi. Semua faktor yang menyebabkan
infeksi luka operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Infeksi luka
operasi berhubungan dengan klasifikasi operasi dalam kaitannya dengan kontaminasi
dan peningkatan resiko terjadinya infeksi. Berdasarkan National Nosocomial Infection
Survaeillance system, Culver dkk membedakan luka operasi menjadi bersih, bersih
terkontaminasi, terkontaminasi. Infeksi luka operasi yang terjadi dini ditandai dengan
adanya peningkatan temperatur dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah
operasi. Dehisensi akan segera terjadi jika tidak dilakukan pengobatan secara cepat.
Pada infeksi dini seringkali disebabkan oleh grup A Streptokokus B Hemolitik yang

rentan terhadap Penisilin. Pada infeksi luka operasi lanjut ditandai dengan tidak
adanya peningkatan temperatur dan ditemukan drainase purulen dari luka insisi,
sebanyak 25% infeksi lanjut disebabkan Streptokokus aureus. Infeksi luka operasi
lanjut ini sebaiknya insisi dibiarkan terbuka untuk drainase dengan menjamin bahwa
fasia intak, pembersihan dengan hydrogen peroksida, povidon iodine, debridemen dan
perawatan luka. Luka diharapkan akan mengalami penyembuhan per secundum.
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh adanya infeksi yang secara klinis
terjadi pada hari ke 6 dan hari ke 9 pasca operasi dengan gejala suhu badan sedikit
meningkat, nyeri pada luka operasi, luka operasi kemerahan, membengkak dan adanya
indurasi dan fluktuasi jaringan subkutan kadang-kadang bernanah dan disertai
peningkatan leukosit pada pemeriksaan laboratorium.4,10
Faktor metabolik dan infeksi pada penderita ini juga mendukung kejadian
dehisensi luka operasi. Terbukti dari hasil laboratorium yang mendukung tentang
adanya gangguan metabolik. Kadar protein darah yang rendah baik albumin maupun
globulin telah menunjukkan bahwa faktor metabolik berperan. Pada penderita ini
ditemukan tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi pada luka operasi berupa
nanah, tanda-tanda radang berupa kemerahan, pembengkakan dan fluktuasi yang
memungkinkan adanya faktor infeksi yang berperan.

2. Apa yang menjadi dasar diagnosis dan bagaimana cara mencegahnya?


Dehisensi luka operasi bisa terjadi tanpa gejala awal tetapi diagnosis dapat
ditegakkan bila terdapat tanda-tanda antara lain suhu badan yang meningkat, nadi
yang meningkat, nafsu makan menurun, badan lemah, rasa nyeri pada luka operasi,
luka operasi kemerahan dan membengkak, indurasi dan fluktuasi jaringan subkutan,
kadang bernanah dan secara laboratoris adanya leukositosis. Jika dicurigai adanya
dehisensi penting untuk melakukan eksplorasi luka untuk melihat apakah lapisan fasia
intak karena kerusakan pada lapisan ini dapat menyebabkan hernia ventralis.4,5,6
Pencegahan dehisensi luka operasi harus mengetahui penyebabnya, yaitu
faktor mekanik, metabolik, dan infeksi. Melakukan evaluasi ketat terhadap keadaan
respirasi prabedah dan pasca bedah untuk menghindari efek samping dari pernafasan
tersebut dianjurkan. Pemberian obat batuk dapat dibenarkan untuk mengurangi batuk
setelah operasi, bila didapatkan batuk sebelum operasi diberikan obat batuk yang

bersifat menekan batuk sehingga faktor mekanik yang disebabkan oleh batuk dapat
dikurangi. Faktor mekanik yang berpengaruh pada saat bedah adalah teknik penjahitan
luka operasi, pemilihan benang yang kurang tepat. Menurut Braun TE, pada kasuskasus resiko tinggi. Maka teknik penjahitan luka sangat berperan terhadap timbulnya
dehisensi. Dianjurkan penjahitan fasia dan peritoneum cara Smead Jones yang
menggunakan benang non absorbable, sedang subkutan dipasang drain kateter
sebelum menutup kulit. 2,6,10,11,12
Faktor metabolik yang dapat mempengaruhi terjadinya dehisensi luka operasi
adalah defisiensi protein yang merupakan komponen sulfasi mukopolisakarida sebagai
bahan dasar proses penyembuhan luka operasi. Dengan terjadinya perlambatan masa
penyembuhan luka operasi, infeksi dan disertai tekanan mekanik atau meningkatnya
tekanan dinding abdomen seperti batuk, muntah, meteorismus maka akan
menyebabkan jahitan pada jaringan akan meregang dan sebagai akibatnya akan terjadi
dehisensi luka operasi. Dehisensi luka operasi biasanya terjadi pada hari ke 6 9
pascabedah. Hipoproteinemia harus dikoreksi sebelum dilakukan operasi bedah, oleh
karena pada keadaan pasca bedah terutama keadaan terinfeksi maka metabolisme
protein akan meningkat bahkan terjadi nitrogen balans yang negatif, yang dapat
menghambat proses penyembuhan luka operasi. Sedangkan dalam keadaan normal
akan terjadi balans nitrogen positif .6,9,13
Pada kasus risiko tinggi pemberian antibiotika dosis terapeutik diberikan
sebelum tindakan operasi. Jenis antibiotika yang diberikan sebagai tindakan
profilaksis sampai saat ini belum diketahui secara pasti dan berapa dosis diberikan
sebelum dilakukan operasi. Pada beberapa penelitian dikatakan generasi pertama
sefalosporin efektif untuk mengatasi infeksi.5,6

3. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah adekuat?


Pada dehisensi luka operasi, teknik operasi ulangan tidak seluruhnya
dilakukan. Dalam perencanaan operasi ulangan (rehechting) perlu dilakukan
pemeriksaan yang baik seperti laboratorium darah rutin, urin rutin, kimia darah, toraks
foto serta pemeriksaan lainnya yang diperlukan. Tindakan yang dilakukan adalah
eksplorasi melalui dehisensi luka operasi secara berhati-hati dan perlebar sayatan
operasi dan dicari sumber terjadinya dehisensi luka operasi. Tindakan eksplorasi

seharusnya dilakukan 48 72 jam setelah dehisensi luka di diagnosis, serta dilakukan


pemasangan drainase abdomen dibawah kulit dan jahitan (Penrose drain), dan
pencucian antiseptik dalam abdomen.11,12
Pada penderita ini tidak dilakukan tindakan penjahitan kembali (rehechting)
terhadap dehisensi luka operasi setelah kejadian, hanya dilakukan perawatan luka
dengan kompres rivanol saja. Apabila terjadi dehisensi luka operasi komplit maka
tindakan eksplorasi dan penjahitan kembali merupakan tindakan emergency yang
dikerjakan dalam lindungan antibiotika.
Masih ada kontroversi tentang dehisensi luka operasi inkomplit tentang waktu
yang tepat untuk dilakukan eksplorasi dan penjahitan kembali dehisensi.
Teknik penjahitan dan pemilihan jenis benang merupakan pertimbangan yang
sangat penting dalam menghindari komplikasi pasca operasi terutama kasus-kasus
dengan risiko tinggi tinggi terjadinya infeksi, disamping faktor kemampuan operator,
sterilitas alat, waktu operasi dilakukan. Pada kasus dehisensi luka operasi dipilih
benang yang nonabsorbable atau sintetic absorbable seperti dexon atau vicryl , dan
disertai jahitan penunjang (through and through) dan pemasangan drain. Braun TE,
menganjurkan jahitan Smead-Jones untuk fascia dan peritonium, serta pada kasus
risiko tinggi dipasang drain kateter pada subkutis. 2,6,11

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.

Kasus ini merupakan kasus morbiditas atas kejadian dehisensi luka operasi.
Komplikasi ini terjadi karena faktor mekanik (batuk), faktor metabolik
(hipoproteinemia), faktor predisposisi (usia, infeksi).

2. Diagnosa dalam kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya fascia yang tidak menyatu
dan adanya omentum yang keluar melalui fascia yang tidak menyatu. Cara
pencegahan yang diharapkan pada kasus dehisensi luka operasi adalah persiapan
sebelum operasi yang baik sehingga mampu membuat penderita dalam keadaan
yang sangat optimal dalam menjalani operasi.

3. Penatalaksanaan pada kasus ini kurang adekuat karena tidak dilakukan penjahitan
kembali luka operasi dalam waktu yang tepat tetapi hal ini harus didukung dengan
pemeriksaan penunjang dalam rangka mencari penyebab dehisensi luka operasi.

V.

RUJUKAN
1.

Hiyama DT, Zinner MJ. Surgical complication. In: Scwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Husser
WC, eds. Principles of surgery. 6 th ed. New York: McGraw-Hill, 1994;455-460

2.

Ethicon. Wound closure manual. Johnson & Johnson co. Ethicon Inc, 4-12

3.

Marzoeki D. Ilmu bedah luka dan perawatannya. Surabaya: Airlangga University Press,1993; 1-9

4.

Aronson MP, Chelmow D, Pearson JW. Intraoperative and postoperative complication of


gynecologic surgery, In: Decheney AH, Pernoll ML. Current obstetrics and gynecologic.
Diagnostic & treatment 8th ed. Appleton & Lange, 1994;881-882

5.

Aronson MP, Garry BP, Summers P. Perioperative consideration in gynecologic, In: Decheney AH,
Pernoll ML. Current obstetrics and gynecologic. Diagnostic & treatment 8 th ed. Appleton & Lange,
1994;862

6.

Galen LH. Dehisensi. Dalam: Friedman EA, Borten M, Chapin DS. Seri skema diagnosis dan
penatalaksanaan ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: Binarupa Aksara, 1998;292-293

7.

Wallace D. Prevention of abdominal wound disruption utilizing smead jones closure technique.
Obstet Gynecol 1980;56:226-230

8.

Naumann RW, Hauth JC, Owen J, Hodgkins PM. Subcutaneus tissue approximation in relation to
wound disruption after caesarean delivery in obese woman. Obstet Gynecol 1995;85:412-416

9.

MacBurney M, Wilmore DW, Maguire D. Nutritional support of the patient with cancer. In: Knapp
CK, Berkowitz RS, eds. Gynecology oncology. Singapore: Mc Graw Hill Inc,1993;432-449

10. Hager WD. Postoperative infection: prevention and management. In: Rock JA, Thompson JD, eds.
Te Lindes operative gynecology.8 th ed. New York: Lippincott-Raven, 1997; 233-237
11. Lipscomb GH, Ling FW. Wound healing, suture material and surgical instrumentation. In: Rock
JA, Thompson JD, eds. Te Lindes operative gynecology.8

th

ed. New York: Lippincott-

Raven,1997;263-266
12. Gallup DG. Incision for gynecologic surgery. In: Rock JA, Thompson JD, eds. Te Lindes operative
gynecology.8 th ed. New York: Lippincott-Raven,1997;290-291
13. Harding KG, Morris HL, Patel GK. Healing chronic wounds. Birth Med J 2002;324 : 160-163

10

LAPORAN OPERASI
Konsulen Jaga: Dr. Taufiqqurahman Rahim, SpOG
No. Operasi
Hari/tanggal
NamaPasien

: --/RSAM/4/05
: Sabtu, 30 April 2005
: Ny suwartiah / 35 tahun

Operator
Asisten I
Asisten II

: Dr. Aneta Budi Putra


: Dr. Amalia Susanti
: Iman Firmansyah,S.Ked

Alamat
Med.Rec/Reg
Premedikasi
Induksi
Maintenance

:
:
:
:
:

Anestesi
Instrumen

: Br. Sulaiman
: Br. A. Rafiq

LK
7451/971923
SA 0,25 mg + Pethidine 50 mg
Safol 100 mg
O2+N2O+Fluthane+Tracrium

Pkl. 20:00 WIB Operasi dimulai


Penderita dalam posisi terlentang. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah operasi
dan sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.
Dilakukan narkose umum.
Dilakukan insisi mediana 2 jari diatas simfisis sampai di bawah umbilicus 10 cm.
Kemudian fascia dibuka secara tajam, otot dipisahkan secara tumpul dan peritoneum disayat secara
tajam.
Setelah peritoneum dibuka tamppak uterus sebesar kehamilan aterm, maka dilakukan SSTP dengan
cara :
Menggunting dan membuka plika vesiko uterine, kandung kemih didorong kebawah dan dilindungi
dengan hak besar
Dilakukan insisi pada Segmen Bawah Rahim (SBR) secara konkaf keatas 10 cm sampai
menembus kavum uteri, ketuban jernih, bau (-)
Anak dilahirkan dengan cara menarik kaki
Pkl. 20:10 WIB.
Lahir bayi laki laki dengan berat badan 3500 gram dan panjang badan 50 cm, A/S 8/9
- Kedalam cairan infus infus ibu dimasukkan oxytocin 20 IU
- Plasenta dilahirkan dengan tarikan dengan ringan pada tali pusat
Pkl. 20:15 WIB.
Lahir Plasenta lengkap, Berat Plasenta 500 gram, Panjang Tali Pusat 50 cm dengan diameter 18 X 19
cm, kavum uteri dibersihkan dari bekuan darah
- Setelah diyakini tidak ada sisa jaringan plasenta, dilakukan jahitan pada SBR lapis demi lapis dengan
cara sbb :
SBR I dijahit secara jelujur feston dengan chromic catgut no.2. 0
SBR II dijahit secara jelujur feston dengan chromic catgut no.2. 0
- Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya, setelah diyakini tidak ada perdarahan lagi,
rongga abdomen dibersihkan dari sisa sisa bekuan darah dan yakini tidak ada alat yang
tersisa maka dilakukan penutupan cavum abdomen dengan cara :
Peritoneum dijahit secara jelujur dengan plain catgut No. 2.0
Otot dijahit secara jelujur dengan plain catgut No. 2.0
Fascia dijahit jelujur feston dengan Dexon No. 2.0
Subkutis dijahit secara terputus dengan plain catgut No. 2.0
Kutis dijahit secara subkutikuler dengan dexon No. 3.0
Luka operasi ditutup dengan kasa Betadine dan Hypafix
Pukul 21:00 WIB operasi selesai
D/ Pre Op
: G3P2A0 hamil aterm dengan PER inpartu kala II, JTH presbo + FPD
D/ post Op
: P3A0 Pasca SSTP a/i FPD

Tindakan

: SSTP

11

PRESENTASI KASUS II

BURST ABDOMEN PASCA SEKSIO SESARIA

Presentan:
Dr. Azman Roni
Pembimbing:
Dr. Idris HS, SpOG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNSRI PALEMBANG


RS. MUHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan: Selasa 31Mei 2005

12

LEMBAR PENGESAHAN

BURST ABDOMEN PASCA


SEKSIO SESARIA

Telah dipresentasikan pada hari Senin 30 Mei 2005

Pembimbing:

Presentan:

Dr. Idris HS, SpOG

Dr. Azman Roni

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNSRI PALEMBANG


RS. MUHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Anda mungkin juga menyukai