menonjol, arkus pubis > 900, dinding samping lurus sehingga diperoleh kesimpulan kesan
panggul sempit relatif.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan obstetric maka penderita ini
didiagnosis sebagai G3P2A0 hamil aterm dengan PER inpartu kala I, Janin tunggal hidup
presentasi bokong + FPD. Penderita ini ditatalaksanai dengan rencana terminasi
perabdominam.
Laporan Operasi ( Sabtu 30 April 2005 )
Pukul 20.00 WIB.
Operasi dimulai
Operasi selesai
Diagnosa prabedah
G3P2A0 hamil aterm dengan PER inpartu kala II, JTH presbo + FPD
II. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah komplikasi ini dapat terjadi?
semua lapisan jahitan dinding perut disertai keluarnya isi perut melalui luka operasi
istilah ini sama dengan burst abdomen4.
Menurut terjadinya dehisensi luka operasi dibagi menjadi dua, yaitu dehisensi
luka operasi dini ( early disruption ) yaitu bila terjadinya dehisensi sebelum hari
ketiga pasca operasi, biasanya diakibatkan oleh teknik atau cara penutupan dinding
perut tidak baik. Dehisensi luka operasi lambat ( late disruption ) yaitu bila terjadinya
setelah hari keduabelas pasca operasi. Hal ini biasanya dihubungkan dengan faktor
usia, adanya infeksi pada luka operasi, radiasi, hipoalbuminemia, dan faktor-faktor
lainnya. Akan tetapi umumnya dehisensi luka operasi antara hari ke 6 dan hari 9 pasca
operasi. Sedangkan menurut Baggish dan Lee, dehisensi luka operasi terjadi rata-rata
pada hari ke 7 pasca operasi.5
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dehisensi luka operasi, terbagi
menjadi faktor mekanik, faktor metabolik, dan faktor infeksi. Faktor mekanik seperti
adanya tekanan akan menyebabkan jahitan jaringan semakin merenggang dan
mempengaruhi penyembuhan luka operasi secara primer. Faktor mekanik ini dapat
terjadi karena batuk batuk yang hebat, obstruksi ileus, peritonitis dan hematom.2,5,6,7,8
Pada penderita ini diagnosis dehisensi luka operasi ditegakkan berdasarkan
temuan terbukanya atau terpisahnya kembali semua lapisan jahitan dinding perut yang
ditandai dengan keluarnya jaringan granulasi melalui terbukanya jahitan. Dehisensi
luka operasi pada penderita ini digolongkan pada dehisensi luka operasi lambat yaitu
terjadinya pada hari kesembilan.
Faktor yang ada pada penderita ini dimana memungkinkan terjadinya dehisensi
luka operasi adalah usia, dan faktor lainnya seperti faktor nutrisi, dan batuk-batuk.
Disamping itu faktor teknik seperti teknik penjahitan dan pemilihan jenis benang
memegang peranan yang juga sangat penting.
Nutrisi yang inadekuat memegang peranan penting karena nutrisi yang
inadekuat akan mengganggu sintesis protein, sintesis protein akan terganggu jika
terjadi kekurangan bahan pembuat protein itu sendiri dan berakibat memperlambat
proses penyembuhan luka.9 Faktor nutrisi yang berperan pada penderita ini adalah
keadaan penderita dengan gizi kurang. Proses penyembuhan luka operasi akan sangat
tergantung pada faktor nutrisi sebagai bahan bagi penyembuhan luka itu sendiri.
Pada kejadian dehisensi luka operasi ini, faktor teknik memegang peranan
yang cukup penting. Kekurangwaspadaan terhadap resiko yang akan dihadapi pada
penutupan luka operasi telah menjadi kontributor yang cukup bermakna. Teknik
penjahitan dinding perut, serta pemilihan benang telah menjadi suatu tolak ukur bagi
keberhasilan dalam mengatasi kemungkinan dehisensi luka operasi pada resiko tinggi.
Galen menyatakan satu dari sepuluh dehisensi luka yang disebabkan oleh faktor
teknik seperti penjahitan yang tidak tepat, ikatan yang tidak kuat atau jahitan yang
terputus. Pemilihan benang akan mempengaruhi faktor mekanik ini, dimana catgut
kromik lebih sering berhubungan dengan dehisensi karena cepat diserap dan
kecepatannya tidak dapat diperkirakan.4,6
Faktor metabolik yang turut berperan dalam terjadinya dehisensi luka operasi
adalah hipoproteinemia, anemia dan gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi
vitamin. Hipoproteinemia akan menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan
luka. Hipoalbuminemia dan hipoglobuminemia yang merupakan komponen sulfasi
mukopolisakarida adalah merupakan bahan dasar penyembuhan luka, dimana
kekurangan albumin dan globulin di dalam darah akan mempengaruhi proses
fibroplasi dan kekuatan jaringan akan menurun sehingga proses penyembuhan luka
operasi akan terlambat. Defisiensi vitamin akan menghambat proses sintesa kolagen
yang merupakan substansi dasar proses penyembuhan luka. Anemia akan
menyebabkan sirkulasi darah yang tidak baik dapat mengakibatkan proses
penyembuhan luka operasi terlambat, hal ini dikarenakan terbatasnya oksigenasi
jaringan, dan juga bila disertai dengan faktor-faktor yang lainnya maka kejadian
dehisensi luka operasi semakin meningkat, separti halnya umur yang tua, malnutrisi,
terapi radiasi, pemakaian kortikosteroid yang lama. Semuanya akan meningkatkan
resiko untuk terjadinya dehisensi luka operasi. Semua faktor yang menyebabkan
infeksi luka operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Infeksi luka
operasi berhubungan dengan klasifikasi operasi dalam kaitannya dengan kontaminasi
dan peningkatan resiko terjadinya infeksi. Berdasarkan National Nosocomial Infection
Survaeillance system, Culver dkk membedakan luka operasi menjadi bersih, bersih
terkontaminasi, terkontaminasi. Infeksi luka operasi yang terjadi dini ditandai dengan
adanya peningkatan temperatur dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah
operasi. Dehisensi akan segera terjadi jika tidak dilakukan pengobatan secara cepat.
Pada infeksi dini seringkali disebabkan oleh grup A Streptokokus B Hemolitik yang
rentan terhadap Penisilin. Pada infeksi luka operasi lanjut ditandai dengan tidak
adanya peningkatan temperatur dan ditemukan drainase purulen dari luka insisi,
sebanyak 25% infeksi lanjut disebabkan Streptokokus aureus. Infeksi luka operasi
lanjut ini sebaiknya insisi dibiarkan terbuka untuk drainase dengan menjamin bahwa
fasia intak, pembersihan dengan hydrogen peroksida, povidon iodine, debridemen dan
perawatan luka. Luka diharapkan akan mengalami penyembuhan per secundum.
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh adanya infeksi yang secara klinis
terjadi pada hari ke 6 dan hari ke 9 pasca operasi dengan gejala suhu badan sedikit
meningkat, nyeri pada luka operasi, luka operasi kemerahan, membengkak dan adanya
indurasi dan fluktuasi jaringan subkutan kadang-kadang bernanah dan disertai
peningkatan leukosit pada pemeriksaan laboratorium.4,10
Faktor metabolik dan infeksi pada penderita ini juga mendukung kejadian
dehisensi luka operasi. Terbukti dari hasil laboratorium yang mendukung tentang
adanya gangguan metabolik. Kadar protein darah yang rendah baik albumin maupun
globulin telah menunjukkan bahwa faktor metabolik berperan. Pada penderita ini
ditemukan tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi pada luka operasi berupa
nanah, tanda-tanda radang berupa kemerahan, pembengkakan dan fluktuasi yang
memungkinkan adanya faktor infeksi yang berperan.
bersifat menekan batuk sehingga faktor mekanik yang disebabkan oleh batuk dapat
dikurangi. Faktor mekanik yang berpengaruh pada saat bedah adalah teknik penjahitan
luka operasi, pemilihan benang yang kurang tepat. Menurut Braun TE, pada kasuskasus resiko tinggi. Maka teknik penjahitan luka sangat berperan terhadap timbulnya
dehisensi. Dianjurkan penjahitan fasia dan peritoneum cara Smead Jones yang
menggunakan benang non absorbable, sedang subkutan dipasang drain kateter
sebelum menutup kulit. 2,6,10,11,12
Faktor metabolik yang dapat mempengaruhi terjadinya dehisensi luka operasi
adalah defisiensi protein yang merupakan komponen sulfasi mukopolisakarida sebagai
bahan dasar proses penyembuhan luka operasi. Dengan terjadinya perlambatan masa
penyembuhan luka operasi, infeksi dan disertai tekanan mekanik atau meningkatnya
tekanan dinding abdomen seperti batuk, muntah, meteorismus maka akan
menyebabkan jahitan pada jaringan akan meregang dan sebagai akibatnya akan terjadi
dehisensi luka operasi. Dehisensi luka operasi biasanya terjadi pada hari ke 6 9
pascabedah. Hipoproteinemia harus dikoreksi sebelum dilakukan operasi bedah, oleh
karena pada keadaan pasca bedah terutama keadaan terinfeksi maka metabolisme
protein akan meningkat bahkan terjadi nitrogen balans yang negatif, yang dapat
menghambat proses penyembuhan luka operasi. Sedangkan dalam keadaan normal
akan terjadi balans nitrogen positif .6,9,13
Pada kasus risiko tinggi pemberian antibiotika dosis terapeutik diberikan
sebelum tindakan operasi. Jenis antibiotika yang diberikan sebagai tindakan
profilaksis sampai saat ini belum diketahui secara pasti dan berapa dosis diberikan
sebelum dilakukan operasi. Pada beberapa penelitian dikatakan generasi pertama
sefalosporin efektif untuk mengatasi infeksi.5,6
IV.
Kasus ini merupakan kasus morbiditas atas kejadian dehisensi luka operasi.
Komplikasi ini terjadi karena faktor mekanik (batuk), faktor metabolik
(hipoproteinemia), faktor predisposisi (usia, infeksi).
2. Diagnosa dalam kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya fascia yang tidak menyatu
dan adanya omentum yang keluar melalui fascia yang tidak menyatu. Cara
pencegahan yang diharapkan pada kasus dehisensi luka operasi adalah persiapan
sebelum operasi yang baik sehingga mampu membuat penderita dalam keadaan
yang sangat optimal dalam menjalani operasi.
3. Penatalaksanaan pada kasus ini kurang adekuat karena tidak dilakukan penjahitan
kembali luka operasi dalam waktu yang tepat tetapi hal ini harus didukung dengan
pemeriksaan penunjang dalam rangka mencari penyebab dehisensi luka operasi.
V.
RUJUKAN
1.
Hiyama DT, Zinner MJ. Surgical complication. In: Scwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Husser
WC, eds. Principles of surgery. 6 th ed. New York: McGraw-Hill, 1994;455-460
2.
Ethicon. Wound closure manual. Johnson & Johnson co. Ethicon Inc, 4-12
3.
Marzoeki D. Ilmu bedah luka dan perawatannya. Surabaya: Airlangga University Press,1993; 1-9
4.
5.
Aronson MP, Garry BP, Summers P. Perioperative consideration in gynecologic, In: Decheney AH,
Pernoll ML. Current obstetrics and gynecologic. Diagnostic & treatment 8 th ed. Appleton & Lange,
1994;862
6.
Galen LH. Dehisensi. Dalam: Friedman EA, Borten M, Chapin DS. Seri skema diagnosis dan
penatalaksanaan ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: Binarupa Aksara, 1998;292-293
7.
Wallace D. Prevention of abdominal wound disruption utilizing smead jones closure technique.
Obstet Gynecol 1980;56:226-230
8.
Naumann RW, Hauth JC, Owen J, Hodgkins PM. Subcutaneus tissue approximation in relation to
wound disruption after caesarean delivery in obese woman. Obstet Gynecol 1995;85:412-416
9.
MacBurney M, Wilmore DW, Maguire D. Nutritional support of the patient with cancer. In: Knapp
CK, Berkowitz RS, eds. Gynecology oncology. Singapore: Mc Graw Hill Inc,1993;432-449
10. Hager WD. Postoperative infection: prevention and management. In: Rock JA, Thompson JD, eds.
Te Lindes operative gynecology.8 th ed. New York: Lippincott-Raven, 1997; 233-237
11. Lipscomb GH, Ling FW. Wound healing, suture material and surgical instrumentation. In: Rock
JA, Thompson JD, eds. Te Lindes operative gynecology.8
th
Raven,1997;263-266
12. Gallup DG. Incision for gynecologic surgery. In: Rock JA, Thompson JD, eds. Te Lindes operative
gynecology.8 th ed. New York: Lippincott-Raven,1997;290-291
13. Harding KG, Morris HL, Patel GK. Healing chronic wounds. Birth Med J 2002;324 : 160-163
10
LAPORAN OPERASI
Konsulen Jaga: Dr. Taufiqqurahman Rahim, SpOG
No. Operasi
Hari/tanggal
NamaPasien
: --/RSAM/4/05
: Sabtu, 30 April 2005
: Ny suwartiah / 35 tahun
Operator
Asisten I
Asisten II
Alamat
Med.Rec/Reg
Premedikasi
Induksi
Maintenance
:
:
:
:
:
Anestesi
Instrumen
: Br. Sulaiman
: Br. A. Rafiq
LK
7451/971923
SA 0,25 mg + Pethidine 50 mg
Safol 100 mg
O2+N2O+Fluthane+Tracrium
Tindakan
: SSTP
11
PRESENTASI KASUS II
Presentan:
Dr. Azman Roni
Pembimbing:
Dr. Idris HS, SpOG
12
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing:
Presentan: