Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Hipertensi yang dikenal sebagai tekanan darah tinggi merupakan masalah
kesehatan yang banyak di masyarakat. Penyakit ini disebut sebagai the silent
killer karena penyakit mematikan ini sering sekali tidak menunjukkan gejala atau
tersembunyi. Kriteria hipertensi adalah tekanan darah sistolik (TDS) 140 mmHg
atau tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg (JNC-8, 2014). Penderita
hipertensi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 77,9 juta atau 1 dalam 3
pendudu pada tahun 2010. Prevalensi hipertensi pada tahun 2030 diperkirakan
meningkat sebanyak 7,2% dari estimasi 2010 (Go dkk., 2013).
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan menjadi dua
golongan yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer
meliputi lebih kurang 90-95% dari seluruh pasien hipertensi dan 5-10% lainnya
disebabkan oleh hipertensi sekunder. Hipertensi primer merupakan hipertensi
yang tidak diketahui penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, disebut
juga dengan hipertensi esensial atau hipertensi idiopatik. Hipertensi primer ini
tidak dapat diobati, namun dapat dikontrol dengan terapi yang tepat (Onusco,
2010).
Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang diakibatkan oleh suatu
penyakit atau kelainan yang mendasari ataupun oleh obat-obatan tertentu. Rimoldi
dan kawan-kawan (2013) dalam European Heart Journal menyebutkan bahwa
penyakit atau kelainan yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder meliputi
obstructive sleep apnea, kelainan parenkim ginjal, stenosis renovaskuler,
aldosteronisme primer, penyakit tiroid, sindrom Cushing, feokromositoma, dan
koartasio aorta. Gejala klinis hipertensi sekunder bergantung pada tingginya
tekanan darah sehingga gejala timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang gejala
didominasi penyakit dasarnya dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi
pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung (Yusuf, 2008).

Hipertensi sekunder ditegakkan jika pada pasien dengan kenaikan tekanan


darah ditemukan (1) umur, riwayat, pemeriksaan fisik, keparahan hipertensi, hasil
pemeriksaan laboratorium mengindikasikan sebab tertentu; (2) hipertensi yang
tidak respon pada pengobatan hipertensi; (3) hipertensi yang muncul karena
alasan yang tidak jelas dirasakan ketika kontrol pada pasien hipertensi yang
semulanya stabil; (4) onset terjadinya tiba-tiba (JNC-7, 2004)
Pengobatan hipertensi sekunder bergantung pada penyakit penyebab atau
kondisi yang mendasari terjadinya hipertensi. Jika penyakit atau kelainan yang
mendasari tersebut ditatalaksana dengan baik atau penghentian konsumsi obatobatan yang dapat memicu terjadinya hipertensi, maka hal ini akan menurunkan
tekanan darah sehingga mengatasi hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder yang
disebabkan oleh tumor atau kelainan pembuluh darah, operasi menjadi tatalaksana
yang direkomendasikan. Namun pada beberapa pasien, penggunaan antihiperensi
lebih aman jika dibandingkan dengan tindakan operasi (Bell et.al., 2015).
Bila hipertensi sekunder tidak ditangani dengan baik maka akan
menimbulkan masalah lain berupa komplikasi berbagai organ penting. Memang
tidak mudah untuk menentukan apakah hipertensi yang diderita pasien adalah
hipertensi primer atau sekunder. Oleh karena itu, referat ini disusun untuk
mengetahui cara penegakan diagnosis hipertensi sekunder. Dengan mengetahui
penyebab hipertensi sekunder, maka penatalaksanaan hipertensi akan lebih baik
dan dapat mencegah terjadinya komplikasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang
menetap di atas batas normal yang disepakati, yaitu sistolik 140 mmHg atau
diastolik di 90 mmHg (Price dan Wilson, 2012). Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi digolongkan menjadi 2, hipertensi primer atau esensial yaitu
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yaitu
hipertensi yang disebabkan oleh kondisi medik tertentu atau karena
pengobatan.
Menurut The Eighth Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Bood Pressure
(JNC 8) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, Hipertensi derajat 1 dan derajat 2
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 8
Klasifikasi Tekanan

Tekanan Darah

Tekanan Darah

Darah
Normal

Sistolik (mmHg)
<120

dan

Diastolik (mmHg)
<80

Prahipertensi

120-139

atau

80-89

Hipertensi derajat 1

140-159

atau

90-99

Hipertensi derajat 2

160

atau

100

2.2 Epidemiologi
Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90-95% dari seluruh pasien
hipertensi dan 5-10% lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Prevalensi
hipertensi sekunder dipengaruhi oleh umur dan karakteristik klinik yang ada
di populasi.

Tabel 2. Penyakit tersering penyebab hipertensi sekunder berdasarkan umur


(Viera, A.J. dan Neutze, D.M. 2010)
Kelompok umur
Children (dari

Persentase
70-85%

Penyebab tersering
Penyakit parenkim ginjal,

lahir-12 tahun
Adolescents (12-18

10-15%

koartasio aorta
Penyakit parenkim ginjal,

tahun)
Young adults (19-

koartasio aorta
Disfungsi tiroid,

5%

39 tahun)
Middle-aged adults

Fibromskular displasia,
8-12%

40-64 tahun

penyakit parenkim ginjal


Aldosteronisme, disfungsi
tiroid, sleep apnea obstruktif,
sindrom cushing,

Older adults ( 65

17%

tahun)

feokromositoma
Stenosis arteri renalis, gagal
ginjal, hipotiroid

2.3 Etiologi
Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang diakibatkan oleh
suatu penyakit atau kelainan yang mendasari ataupun oleh obat-obatan
tertentu. Rimoldi dan kawan-kawan (2013) dalam European Heart Journal
menyebutkan bahwa penyakit atau kelainan yang dapat menyebabkan
hipertensi sekunder meliputi: obstructive sleep apnea, kelainan parenkim
ginjal, stenosis renovaskuler, aldosteronisme primer, penyakit tiroid, sindrom
Cushing, feokromositoma, dan koartasio aorta.
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Obstructive sleep apnea
Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan
ditemukannya episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea
dapat disebabkan kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau
campuran. Obstruktif apnea adalah berhentinya aliran udara pada
hidung dan mulut walaupun dengan usaha nafas, sedangkan central
apnea adalah penghentian pernafasan yang tidak disertai dengan usaha
4

bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas (Supriyatno dan


Deviani, 2005).
Obstruksi mekanik berulang pada saluran napas atas yang
terjadi saat tidur merupakan faktor risiko hipertensi yang independen.
Sekurangnya seperdua dari pasien dengan sleep apnea memiliki
hipertensi. Pengobatan obstruktif apnea dengan operasi atau nasal
continuous positive air way pressure akan mengurangi hipertensi pada
pasien ini (Rimoldi dkk., 2013).
2.4.2 Kelainan parenkim ginjal
Kelainan pada parenkim ginjal juga dapat menimbulkan
hipertensi renal, misalnya pada pielonefritis kronis. Infeksi kronis
akan merusak parenkim dan akhimya membentuk jaringan parut.
Jaringan parut itu akan menarik jaringan sekitarnya termasuk jaringan
vaskular arteri interlobaris yang akan mengganggu vaskularisasi ginjal
yang berakibat timbulnya hipertensi (Nadeak 2012).
Tumor pada parenkim ginjal akan menekan dan mendesak
arteri intra renal, menimbulkan iskemi parenkim aparatus juksta
glomerular dan hiperfungsi sel juksta glomerular dalam memproduksi
renin, akibatnya angiotensin II dalam darah meninggi hingga terjadi
hipertensi renal. Ginjal polikistik, dapat menyebabkan hipertensi renal
karena kista yang besar dapat mendesak atau menekan arteri intra
renal terutama daerah korteks sehingga timbul iskemi parenkim dan
glomerulus, sehingga sekresi renin meningkat. Selain itu. terjadi
retensi air dan garam yang menyebabkan cairan ekstra selular
bertambah (Nadeak 2012).

2.4.3 Stenosis renovaskuler


Hipertensi renovaskular merupakan penyebab tersering dari
hipertensi sekunder. Diagnosa hipertensi renovaskular penting karena

kelainan ini potensial untuk disembuhkan dengan menghilangkan


penyebabnya yaitu stenosis arteri renalis. Stenosis arteri renalis adalah
suatu keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri
renalis. Sedangkan hipertensi renovaskular adalah hipertensi yang
terjadi akibat fisiologis adanya stenosis arteri renalis.
Lesi aterosklerotik arteri renalis merupakan penyebab
hipertensi renovaskuler yang paling sering mencapai 90%. Lesi
umumnya terjadi bilateral dan biasanya pada daerah ostium, baik fokal
atau merupakan lanjutan dari plak aorta serta pada 1/3 bagian
proksimal arteri renalis. Biasanya berhubungan dengan adanya
aterosklerosis secara umum dan sering ditemukan pada pasien dengan
riwayat infark miokard, strok, dan klaudikasi intermiten.
Fase akut. Kontriksi arteri renalis segera akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan juga renin serta aldosteron. Pemberian
angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) atau saralasin (suatu
angiotensin receptor blockers = ARB) dapat mencegah peningkatan
tekanan darah ini, mengindikasikan bahwa peningkatan tekanan darah
ini merupakan akibat dari hiperreninemia.
Fase kronik. Setelah beberapa hari, tekanan darah tetap meningkat
tetapi renin dan aldosteron mulai menurun ke nilai normal. Pada fase
ini perlangsungan dari hipertensi berbeda tergantung dari apakah
ginjal kontralateral intak atau tidak, serta dari spesies yang diteliti.
2.4.4 Aldosteronisme primer
Hiperaldosteronisme adalah sindrom yang disebabkan oleh
hiperekskresi aldosteron yang tak terkendali umumnya berasal dari
kelenjar korteks adrenal. Hiperaldosteronisem primer secara klinis
dikenal dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemi, dan alkalosis.
Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau
adenoma menghasilkan hormon aldosteron secara berlebihan.
Peningkatan kadar serum aldosteron akan merangsang penambahan

jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran


luminal dari duktus kolektikus bagian korteks ginjal. Akibat
penambahan jumlah ini, reabsorbsi natrium mengalami peningkatan.
Absorbsi natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi
cenderung hipovolemia.
Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus berubah menjadi
bermuatan lebih negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium
dari duktus kolektikus masuk ke dalam lumen tubuli melalui saluran
kalium. Akibat peningkatan ekskresi kalium di urin kadar kalim darah
menjadi berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh
peningkatan aliran cairan menuju tubulus distal. Hipokalemi yang
terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion-H di tubulus
proksimal, sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus
proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolik.
2.4.5 Penyakit tiroid
Hipertiroid dan hipotiroid memiliki hubungan dengan
hipertensi arteri. Pada hipotiroidisme, tekanan darah diastolik
biasanya meningkat akibat vaskonstriksi arteri perifer sebagai
kompensasi menurunnya cardiac output untuk perfusi jaringan yang
lebih adekuat. Sebaliknya pada hipertiroidisme terjadi peningkatan
cardiac output dan biasanya juga terjadi peningkatan tekanan darah
sistolik.
2.4.6 Sindrom Cushing
Kortisol plasma berlebihan (hiperkortisolisme) menyebabkan
suatu keadaan yang dikenal sebagai sindrom cushing. Cushing
melukiskan suatu sindrom yang ditandai dengan obesias badan,
hipertensi, mudah lelah, amenorea, hirsutisme, striae abdomen
berwarna ungu, edema, glukosuria, osteoporosis, dan tumor basofilik
hipofisis. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:

a. Hiperplasia Adrenal
Sekunder terhadap kelebihan produksi ACTH hipofisis, yaitu
berupa disfungsi hipothalamik-hipofisa dan mikro dan
makroadenoma yang menghasilkan ACTH hipofisis.
Sekunder terhadap Tumor non endokrin yang menghasilkan
ACTH atau CRH, yaitu karsinoma Bronkhogenik, karsinoid
Thymus, karsinoma pankreas, dan adenoma bronkhus.
b. Hiperplasia noduler adrenal, yaitu neoplasia adrenal berupa
adenoma dan karsinoma
c. Penyebab eksogen atau iatrogenik yang disebabkan penggunaan
glukokortikoid jangka lama penggunaan ACTH jangka lama
2.4.7 Feokromositoma
Feokromositoma adalah suatu tumor medula adrenal yang
mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin dalam jumlah yang
berlebihan.

Peningkatan abnormal kadar kedua hormon ini

mencetuskan peningkatan curah jantung dan vasokontriksi umum,


keduanya menimbulkan hipertensi yang khas untuk penyakit ini.
Penyebab hipertensi karena feokromositoma hanya 0,1%.
Tumor pada medulla adrenal atau dari sel kromafil ektopik akan
menyebabkan kontraksi pembuluh darah. Sel adenokortikal
berperan dalam sintesis epinefrin akan menyebabkan peningkatan
curah jantung dan gangguan toleransi glukosa.
2.4.8 Koartasio aorta
Pada fetus, gangguan hemodinamik yang terjadi ringan
dikarenakan hanya 10% dari cardiac output yang melewati istmus.
Namun setelah lahir, akibat penutupan duktus menyebabkan obstruksi
aorta hingga terjadi pengurangan output ventrikel kiri, peningkatan
tekanan pada diastolik akhir dari ventrikel kiri, dilatasi miokard,
gejala dari gagal jantung. Pada obstruksi berat akan terjadi disfungsi
miokard, pengurangan stroke volume dan terjadi syok kardiogenik.

Mekanisme kompensasi untuk membantu dan memperkuat kontraksi


jantung diaktivasi meliputi mekanisme Frank Starling, sistem renin
angiotensin, dan aktivasi sistem simpatis. Namun mekanisme ini
mungkin tidak efektif pada miokard neonatus yang masih imatur,
dikarenakan berkurangnya reseptor saraf adrenergik dan komplians
ventrikel kiri yang lebih rendah dibandingkan miokard dewasa.
Pada bayi dan anak yang lebih tua dengan adanya obstruksi
yang kronis dan berkelanjutan, maka mekanisme lainnya turut
diaktivasi yaitu hipertrofi ventrikel kiri. Beberapa abnormalitas
vaskular yang terjadi pada ventrikel kiri dengan Koartasio aorta
dengan pembuluh darah proksimal dan distal dari obstruksi. Neonatus
dan anak dengan Koartasio aorta juga terjadi pengurangan
distensibilitas dan peningkatan reaktivitas terhadap norepinephrin
pada pembuluh darah proksimal dari letak obstruksi. Aktivitas renin
plasma meningkat dan reflek baroreseptor diatur pada tekanan darah
yang lebih tinggi. Kondisi ini akan menetap cukup lama setelah
dilakukan repair operasi dan berkontribusi pada hipertensi sistemik,
dan kematian disebabkan penyakit koroner dan serebrovaskular
(Hadman, 2006).
2.4.9 Obat-obatan
Hipertensi sekunder juga dapat dsebabkan oleh obat-obatan
tertentu, sehingga penghentian konsumsi dapat menurunkan tekanan
darah pada pasien hipertensi sekunder.

Tabel 3. Obat yang dapa meningkatkan tekanan darah


(Viera, A.J. dan Neutze, D.M. 2010)
Kelas obat
Estrogen
Herbal

Contoh obat yang biasa digunakan


Kontrasepsi oral
Ephedra, ginseng, ma huang

Illicit
NSAID

Amfetamin, kokain
Inhibitor siklooksigenase-2, ibuprofen,

Psikiatrik

naproxen (naprosyn)
Buspiron (buspar), karbamazepin (tegretol),
klozapin (klozaril), fluoxetine (prozac),

Steroid
Simpatomimeti

litium, tricyclic antidepresan


Metilprednisolon, prednison
Dekongestan

2.5 Penegakan diagnosis


Karakteristik klinis umum penanda hipertensi sekunder:
a. Tidak respon pada terapi (hipertensi resisten).
b. Memburuknya gejala yang dirasakan ketika kontrol pada pasien
hipertensi yang semulanya stabil.
c. Hipertensi derajat 3 (tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan
d.
e.
f.
g.

darah diastolik > 110 mmHg).


Onset terjadinya pada usia < 20 atau > 50 tahun.
Kerusakan organ target yang signifikan pada hipertensi
Tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga
Ditemukan tanda-tanda hipertensi sekunder pada riwayat, pemeriksaan
fisik, atau hasil laboratorium
Untuk menentukan apakah hipertensi yang diderita pasien adalah

hipertensi primer atau sekunder dibutuhkan kriteria penegakan diagnosis


hipertensi sekunder.

2.5.1

Obstructive sleep apnea


Riwayat: episode apnea pada saat tidur, snoring, sakit kepala di pagi

hari
Temuan klinis: peningkatan lingkar leher, obesitas, edema perifer.
Skrining: polisomnografi, skor penilaian klinis sleep apnea dengan

pulse oximeter di malam hari


Temeuan laboratorium: tidak spesifik

10

Gambar 1. Riwayat, temuan klinis dan skrining pasien dengan suspek obstructive
sleep apnoea.

2.5.2

Kelainan parenkim ginjal


Riwayat: kehilangan kontrol tekanan darah yang baik, diabetes,

merokok, aterosklerosis, riwayat gagal ginjal sebelumnya, nokturia.


Temuan klinis: edema perifer, pucat, kehilangan massa otot.
Skrining: kreatinin, USG ginjal.
Temeuan laboratorium: peningkatan kreatinin, proteinuria,
hipokalsemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia

2.5.3

Stenosis renovaskuler
Riwayat: aterosklerosis, diabetes, merokok, serangan edema pulmonal

yang berulang
Temuan klinis: bruit abdominal, peripheral vascular disease
Skrining: duplex, CT, MRI, angiografi
Temeuan laboratorium: aldosteronisme sekunder, hipokalemia,
hiponatremia

11

Gambar 2. Riwayat, temuan klinis dan skrining pasien dengan suspek stenosis
renovaskuler aterosklerosis

2.5.4

Aldosteronisme primer
Riwayat: kelelahan, konstipasi, poliuria, polidipsia.
Temuan klinis: kelemahan otot
Skrining: kadar renin dan aldosteron untuk menghitung (Aldosterone

Renin Ratio)
Temuan laboratorium: hipokalemia, peningkatan ARR

12

Gambar 3. Riwayat, temuan klinis dan skrining pasien dengan suspek aldosteronisme
primer

2.5.5

Penyakit tiroid
Riwayat:
Hipertiroid: palpitasi, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan

panas
Hipotiroid: kenaikan berat badan, kelelahan, obstipasi
Temuan klinis:
Hipertiroid: takikardi, Atrial fibrilasi, accentuated heart
sounds, eksoftalmus
Hipotiroid: bradikardi, kelemahan otot, myxedema
Skrining: TSH
Temeuan laboratorium
Hipertiroid: penurunan TSH, peningkatan fT4 and/or fT3
Hipotiroid: peningkatanTSH, penurunan fT4, peningkatan
kolesterol

2.5.6

Sindrom Cushing
Riwayat: kenaikan berat badan, impoten, kelelahan, perubahan
emosional, polidipsi, poliuria

13

Temuan klinis: obesitas, hirsutisme, atrofi kulit, striae rubra,

kelemahan otot, osteopenia, moon face, bufflo hump


Skrining: pengukuran kortisol bebas dalam urin 24 jam, uji

dexamethasone
Temeuan laboratorium: peningkatan kortisol bebas dalam urin 24 jam
peningkatan kadar glukosa, peningkatan kolesterol, hipokalemia

2.5.7

2.5.8

Feokromositoma
Riwayat: sakit kepala, palpitasi, cemas, tekanan darah yang tidak

stabil, hipotensi ortostatik, berkeringat, sinkop


Temuan klinis: hipertensi paroksismal, pounding headache,

berkeringat, palpitasi, pucat


Skrining: metanefrin plasma, katekolamin dalam urin 24 jam
Temeuan laboratorium: peningkatan metanefrin

Koartasio aorta
Riwayat: sakit kepala, epistaksis, kelemahan pada kaki atau

klaudikasio
Temuan klinis: perbedaan tekanan darah (20/10 mmHg) antara
ekstremitas superior dan inferior dan/atau antara lengan kanan dan
kiri, penurunan pulsasi femoral, murmur ejeksi interskapular, rib

notching pada rontgen thoraks


Skrining: USG jantung, MRI (dewasa), ekokardiografi transthorakal

(anak-anak)
Temeuan laboratorium: tidak spesifik

2.6 Penatalaksanaan
Penanggulangan hipertensi

sekunder secara umum adalah

pengobatan kausal penyebab dari hipertensi sekunder, berbeda dengan


hipertensi primer yang bertujuan menghilangkan gejala agar tidak
memperburuk kondisi organ lain.
Tujan penatalaksanaan hipertensi renovaskular adalah mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat peningkatan tekanan darah dan iskemik
ginjal. Melalui pemberian obat antihipertensi, revaskularisasi dengan

14

angioplasti atau operasi. Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis
Intervention Cooperative study, pengobatan medikamentosa dengan 3 atau
lebih jenis obat antihipertensi dapat mengontrol tekanan darah pada lebih dari
separuh pasien. Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan
revaskularisasi dapat merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan
tekanan darah. Berbeda dengan fibromuskular displasia, pasien dengan
penyakit renovaskular aterosklerotik biasanya tetap membutuhkan obat
antihipertensi walaupun tindakan revaskularisasinya berhasil. ACEI atau ARB
merupakan pilihan obat pada pasien stenosis unilateral dimana ginjal
kontralateral berfungsi baik. Sebalknya merupakan kontraindikasi pada
stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada pasien dengan satu
ginjal, oleh karena akan menyebabkan perburukan dari fungsi ginjal bahkan
gagal ginjal akut (Bakri, 2009).
Pada pasien dengan hiperaldoseron primer, tujuan terapi adalah
menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar aldosteron. Pada
hiperplasia kelenjar aldsteron hal ini dicapai dengan pemberian obat
antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah
cukup efektif mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kalium plasma.
Saat ini ada obat baru eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan
efek samping yang lebih ringan daripada ringan daripada spironolakton
sehingga dapat dipakai dalam jangka panjang. Selain terpai farmakologi perlu
dikurangi asupan garam dalam makanan, berolahraga secara teratur,
menormalkan berat badan dan menghindari konsumsi alkohol (Nainggolan,
2009).
Bila

penyebabnya

adalah

suatu

adenoma,

pembedahan

merupakan pengobatan pilihan, walaupun tidak semua pasien berhasil


menjadi normotensi. Pada bentuk hiperplasia pengobatan ditujukan untuk
memperbaiki keseimbangan elektrolit yaitu dengan pemberian antagonis
aldosteron (spironolakton) atau diuretik hemat kalium (amilorid).
Pada tumor adrenal dilakukan tindakan pembedahan dan
pemberian kortikosteroid sebagai subtitusi. Pada kasus hyperplasia akibat

15

rangsangan ACTH, pengobatan ditujukan baik terhadap kelenjar adrenal


maupun terhadap hipofisis. Bila harus dilakukan pembedahan terhadap
kelenjar adrenal, harus diikuti dengan pemberian kortkosteroid subtitusi.
Jika tumor sudah ditegakkan dan dilokalisasi pada pasien
feokromositoma,

pasien

disiapkan

untuk

operasi.

Pengobatan

medikamentosa mendahului tindakan pembedahan sangat bermanfaat.


Fenoksibenzamin (dibenzilin) atau prazosin oral sangat efektif. Persiapan
sebelum operasi perlu dilakukan pengontrolan tekanan darah memakai dan
blocker. Operasi dapat dilakukan secara konvensional maupn laparaskopi
(Effendi, 2009).

BAB III
KESIMPULAN
. Hipertensi primer merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebab
dari peningkatan tekanan darah tersebut, disebut juga dengan hipertensi esensial
atau hipertensi idiopatik. Hipertensi sekunder diakibatkan oleh suatu penyakit atau
kelainan yang mendasari ataupun oleh obat-obatan tertentu. Penyakit atau
kelainan yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder meliputi obstructive sleep

16

apnea, kelainan parenkim ginjal, stenosis renovaskuler, aldosteronisme primer,


penyakit tiroid, sindrom Cushing, feokromositoma, dan koartasio aorta.
Menurut JNC-7, hipertensi sekunder ditegakkan jika pada pasien dengan
kenaikan tekanan darah ditemukan (1) umur, riwayat, pemeriksaan fisik,
keparahan hipertensi, hasil pemeriksaan laboratorium mengindikasikan sebab
tertentu; (2) hipertensi yang tidak respon pada pengobatan hipertensi; (3)
hipertensi yang muncul karena alasan yang tidak jelas dirasakan ketika kontrol
pada pasien hipertensi yang semulanya stabil; (4) onset terjadinya tiba-tiba.
Penanggulangan hipertensi sekunder secara umum adalah pengobatan
kausal penyebab dari hipertensi sekunder, berbeda dengan hipertensi primer
yang bertujuan menghilangkan gejala agar tidak memperburuk kondisi organ
lain.

DAFTAR PUSTAKA
Bakri, S. Dalam: Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, L. Alwi, K.M. Simadibrata dan S.
Setiati. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Interna Publishing,
Jakarta, Indonesia
Hamdan MA. Koartasio aortarctation of the Aorta: A comprehensive review. J
Arab Neonatal Forum 2006;3:5-1
Jun R. Chiong, Wilbert S. Aronow, Ijaz A. Khan, Chandra K. Nair, Krishnaswami
Vijayaraghavan e, Richard A. Dart f, Thomas R. Behrenbeck g, Stephen A.

17

Geraci. Secondary hypertension: Current diagnosis and treatment.


International Journal of Cardiology (2007). IJCA-09600; No of Pages 16
Massie B.M, Systemic Hypertension, CMDT 2003, Current Medical dIagnosis &
Treatment 42nd edition, International edition, Lange Medical
Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division, 2003 : 409 34
Nainggolan, G. Dalam: Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, L. Alwi, K.M. Simadibrata
dan S. Setiati. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Interna
Publishing, Jakarta, Indonesia
Piliang, S. dan Bahri, C. Dalam: Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, L. Alwi, K.M.
Simadibrata dan S. Setiati. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Interna Publishing, Jakarta, Indonesia
Rimoldi, S.F., Scherrer, U., dan Messerl, F.H. 2013. Secondary arterial
hypertension: when, who, and how to screen? European Heart Journal,
doi:10.1093/eurheartj/eht534
Supriyatno, B. dan Deviani, R. 2005. Obstructive sleep apnea syndrome pada
Anak. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2
Viera, A.J. dan Neutze, D.M. 2010. Diagnosis of Secondary Hypertension: An
Age-Based Approach. American Family Physician, Vol. 82, No. 12
Yusuf , I. 2008. Hipertensi Sekunder. Jurnal Ilmu Penyakit Dalam, Vol. 21, No. 3

18

Anda mungkin juga menyukai