Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis adalah sindrom klinis yang disebabkan respon inflamasi terhadap
infeksi.1 Sepsis adalah penyakit yang umum dijumpai di ruang perawatan intensif
(ICU). Hampir 1/3 pasien yang masuk ICU adalah pasien sepsis.2
Angka kejadian sepsis meningkat secara bermakna dalam dekade lalu.1,2
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Centers for Disease Control di
Amerika Serikat, dilaporkan bahwa insidensi septikemia meningkat dari 73,6 per
100.000 pasien pada tahun 1979 menjadi 175,9 per 100.000 pasien pada tahun
1987.1 Telah dilaporkan angka kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4
pasien per 100.000 populasi antara tahun 1979 2000 di Amerika Serikat di mana
kejadian sepsis berat berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi.2
Sepsis berat dan syok septik merupakan komplikasi yang mengancam jiwa
akibat suatu infeksi, dan merupakan penyebab kematian tersering di perawatan
intensif.1,3 Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian di Amerika
Serikat.1,2 Tingkat mortalitas akibat sepsis di Amerika mencapai 17,9% pada tahun
2000.3 Walaupun dukungan perawatan pendukung semakin maju, namun angka
kematian di rumah sakit akibat sepsis berat dan syok septik masing masing
sebesar 30% dan 60%.1
Manajemen sepsis berat dan syok septik bersifat kompleks dan
multidisipliner.1,4 Sesuai dengan panduan manajemen sepsis berat dan syok septik
dari the Surviving Sepsis Campaign pada tahun 2004 dan 2008, manajemen sepsis
berat, meliputi resusitasi cairan, pemberian antibiotika, pengendalian fokal
infeksi, penggunaan vasopressor, pada keadaan syok septik, terapi inotropik
(sesuai dengan indikasi), pemberian steroid, pemberian recombinant human
activated protein C (rhAPC) (yang berisiko mengalami mortalitas: skor APACHE
>25, syok septik atau mengalami ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome),
penggunaan ventilator mekanik pada ARDS, pengendalian ketat kadar gula darah,
pemberian transfusi darah sesuai indikasi, terapi hemodialisis sesuai dengan
indikasi dan pencegahan thrombosis vena dalam sesuai dengan indikasi dan

pencegahan perdarahan lambung (stress ulcer) dengan H2 bloker.1,5 Manajemen


ini bertujuan untuk meningkatkan penanganan dan luaran pasien.5
Anestesi memiliki peran penting dalam manajemen multidisipliner pasien
sepsis berat. Pasien sepsis sering kali harus menjalani operasi gawat darurat. 3,4
Manajemen anestesi memiliki peran dari perburukan awal di bangsal, pemindahan
pasien ke bagian pencitraan untuk kepentingan diagnostik, dan manajemen
intraoperatif pembedahan gawat darurat. Administrasi antibiotik intravena yang
tepat merupakan langkah penting dalam penanganan pasien sepsis berat yang
membutuhkan operasi untuk mengatasi sumber infeksi. Resusitasi preoperatif,
meliputi penggunaan cairan yang tepat, vasopressor, dan inotropik bertujuan
untuk mengoptimalisasi perfusi organ mayor. Manajemen anestesia intraoperatif
membutuhkan induksi secara hati-hati dan pemeliharaan anestesia yang tepat,
optimalisasi stasus volume intravaskuler, menghindari jejas pada paru-paru
selama ventilasi mekanik serta pemantauan analisis gas darah, konsentrasi laktat,
indikator hematologi dan fungsi ginjal, dan kadar elektrolit.4
Selain itu, manajemen anestesi memegang peranan penting dalam
perawatan pascaoperatif pasien sindrom sepsis berat pada ruang perawatan
intensif. Pasien yang berisiko tinggi membutuhkan dukungan multipel dan dokter
anestesi yang berpengalaman dan dapat mengambil keputusan yang tepat guna
mengoptimalisasi prognosis yang lebih baik.3,4 Sama halnya dengan infark
miokardium, stroke atau trauma akut, manajemen klinis sepsis berat memiliki
periode emas (golden hours) untuk menurunkan tingkat morbiditas dan
mortalitas.2,3 Penilaian klinis yang cepat, resusitasi dan manajemen bedah oleh tim
dokter multidisipler, dan terapi antibiotik yang efektif merupakan komponen
utama untuk meningkatkan prognosis pasien.1,4
2.2 Tujuan
Tujuan pembuatan refrat ini adalah memberikan informasi terkait sepsis berat,
terutama manajemen anestesi pada pasien sepsis berat

BAB II
SEPSIS BERAT
2.1 Definisi
Sepsis dapat diartikan sebagai respon sistemik terhadap infeksi. Apabila
terjadi respon sistemik tanpa adanya infeksi dikenal sebagai systemic
inflammatory response syndrome, yang ditandai dengan paling tidak 2 dari tanda
berikut: suhu >38C atau <36C, denyut nadi >90 kali/menit, pernafasan >20
kali/menit atau PaCO2<32 mm Hg, dan angka leukosit >12.000/mm3 atau
<4.000/mm3. Seseorang dinyatakan mengalami sepsis berat apabila mengalami
sepsis ditambah dengan adanya gagal organ multipel. Apabila seseorang
mengalami sepsis dengan tekanan darah <90 mmHg, atau Mean Arterial Pressure
(MAP) <60 yang tidak memberikan perbaikan dengan resusitasi cairan, dan
memerlukan vasopressor dinyatakan mengalami syok septik (tabel 1).1,2,4,5
Tabel 2.1 Terminologi dan definisi sepsis berdasarkan kriteria konsensus
American College of Clinical Pharmacy (ACCP) dan Society of Critical Care
Medicine (SCCM)1,2,4,5
Terminologi
Definisi
Systemic
inflammatory Dikatakan SIRS bila didapatkan 2 atau lebih:
response syndrome (SIRS) 1. Suhu >38C atau <36C
2. Denyut nadi >90x/menit
3. Respirasi >20x/menit atau PCO2<32 mmHg
4. Lekosit darah >12.000/mm3 atau <4.000 mm3
Sepsis
Sindrom klinis yang ditandai dengan adanya infeksi
dan SIRS
Sepsis berat
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ,
hipoperfusi atau hipotensi, termasuk asidosis laktat,
oliguria dan penurunan kesadaran
Syok septik
Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90
mmHg atau MAP <60) yang tidak membaik dengan
resusitasi cairan yang adekuat atau memerlukan
vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah
dan perfusi organ
Karena terbatasnya definisi SIRS dan infeksi, konsensus konferensi
menambahkan daftar tanda inflamasi sistemik yang dapat diamati pada pasien

sepsis pada tabel 2.2. Keadaan yang tergolong sebagai sepsis berat dapat dilihat
pada tabel 2.3.6
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Sepsis Berat6
Variabel Umum
Demam (>38,30C)
Hipotermia (temperatur inti < 360C)
Denyut jantung > 90 x/menit atau lebih dari 2SD dari nilai normal usia tersebut
Takipnea
Perubahan status mental
Edema signifikan atau keseimbangan cairan positif (>20 mL/kg/24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa riwayat
diabetes
Variabel inflamasi
Leukositosis (kadar leukosit > 12.000 /L)
Leukopenia (kadar leukosit < 4.000 /L)
Kadar leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur
Protein reaktif-C plasma lebih dari 2SD di atas nilai normal
Prokalsitonin plasma lebih dari 2 SD di atas nilai normal
Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (tekanan darah sistolik < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau
penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 SD
di bawah nilai normal)
Variabel disfungsi organ
Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
Oliguria akut (volume urin < 0,5 mL/kg/jam selama sedikitnya 2 jam walaupun
resusitasi cairan adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0.5 mg/dL atau 44,2 mol/L
Kelainan koagulasi (INR > 1.5 atau aPTT > 60 s)
Ileus (bising usus menghilang)
Trombositopenia (hitung platelet < 100.000 /L)
Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70 mol/L)
Variabel perfusi jaringan
Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
Berkurangnya pengisian kapiler atau bintik-bintik kemerahan

Tabel 2.3 Sepsis Berat6


Sepsis berat adalah hiperperfusi jaringan atau disfungsi organ yang diinduksi oleh
sepsis
Hipotensi yang diinduksi sepsis
Laktat melebihi batas atas nilai laboratorium normal
Volume urin < 0,5 mL/kg/jam lebih dari 2 jam walaupun resusitasi cairan adekuat
Jejas paru akut dengan PaO2/FiO2 < 250 tanpa disertai pneumonia sebagai sumber
infeksi
Jejas paru akut dengan PaO2/FiO2 < 200 disertai pneumonia sebagai sumber
infeksi
Kreatinin > 2 mg/dL (176,8 mol/L)
Bilirubin > 2 mg/dL (34,2 mol/L)
Kadar platelet < 100.000 L
Koagulopati (INR > 1,5)
2.2 Epidemiologi
Secara umum, insidens sepsis meningkat 8,7% setiap tahunnya. 3 Insiden
tahunan sepsis di negara maju diperkirakan mencapai 2,8 juta kasus dengan
tingkat mortalitas sekitar 40%.5 Insidens sepsis berat dan syok septik di Amerika
Serikat dan Inggris diperkirakan masing-masing 66-132 per 100.000 penduduk.4
Pertambahan insidens tahunan sepsis di Amerika sekitar 1,5% setiap tahunnya. 3
Pada tahun 1996, dari 4774 pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam di
rumah sakit pendidikan dr. Soetomo Surabaya, terdapat 504 pasien terdiagnosis
sepsis dengan mortalitas sebesar 70,2%.7
Walaupun demikian, insiden sepsis di seluruh dunia lebih banyak terjadi di
negara berkembang. Sekitar 90% kasus kematian akibat pneumonia, meningitis
atau infeksi lainnya terjadi di negara berkembang. Secara global, 70% dari 90 juta
kematian neonatus dan bayi di dunia disebabkan oleh sepsis dan kebanyakan
kasus terjadi di Asia dan Afrika sub-Sahara. Perbedaan tingkat morbiditas dan
mortalitas di negara maju dan negara berkembang disebabkan oleh tingginya
insidens infeksi bakteri, parasit, dan HIV yang disertai dengan keadaan malnutrisi,
rendahnya tingkat higienitas dan vaksinasi, dan kurangnya tenaga kesehatan di
negara berkembang.5 Insidens dan tingkat mortalitas sepsis berat di unit perawatan
intensif rumah sakit pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan rumah sakit
swasta dengan perbandingan masing-masing 35%:16% dan 28,9%:12,5%.3
Sepsis berat merupakan 1-2% kasus di ruang perawatan rumah kasus dan
25% kasus di ruang perawatan intensif (ICU). 4 Di Eropa, sekitar 9,7 dari 100
5

kasus yang dirawat di rumah sakit disebabkan oleh sepsis berat dan syok septik.
Kebanyakan (66,7%) diagnosis sepsis ditegakkan saat hari pertama pasien dirawat
di ICU dan sisa 32,3% kasus sepsis didiagnosis pada hari-hari berikutnya. 3 Sepsis
berat umumnya dijumpai pada kalangan usia lanjut, pasien immunocompromised,
dan pasien dengan penyakit kritis.4
Sepsis merupakan penyebab utama kematian di ICU. Sepsis merupakan
penyebab kedua kematian terbanyak pada pasien ICU non-koroner. Walaupun
penangan sepsis telah berkembang dalam 10-15 tahun terakhir, angka mortalitas
akibat sepsis masih tinggi sekitar 30-50%.4 Tingkat mortalitas akibat sepsis di
Amerika Serikat, Brazil, dan Eropa masing-masing sekitar 28,6%, 52,5%, dan
55,9%.3 Selama Januari 2006-Disember 2007 di bagian PICU/NICU Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, terdapat angka kejadian sepsis 33,5%
dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2%.8
2.3 Etiologi
Sepsis berat dapat disebabkan oleh penyebab infeksi dan non-infeksi (tabel
2.4). Penyebab infeksi lebih sering dijumpai dan lebih mudah diterapi. Oleh
karena itu, pada pasien yang menunjukkan tanda klinis inflamasi sistemik (SIRS),
penyebab infeksi harus dicari secara aktif. Infeksi yang didapat dari komunitas
lebih mudah untuk dikenali daripada infeksi nosokomial. Infeksi yang
menyebabkan sepsis, meliputi infeksi sistem saraf pusat (meningitis atau
ensefalitis), infeksi kardiovaskuler (endokarditis infektif), infeksi saluran
pernapasan (pneumonia), infeksi traktus gastrointestinal (peritonitis) atau infeksi
traktus urinarius (pielonefritis). Penyebab non-infeksi, meliputi trauma atau
perdarahan hebat dan penyakit sistemik akut, seperti infark miokardium, emboli
paru, dan pankreatitis akut. 4
Sebagian besar kasus sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatif
(55,26%) diikuti oleh bakteri gram positif (39,47%) dan jamur atau sel ragi
(5,26%).9 Walaupun infeksi bakteri merupakan penyebab infeksi yang paling
sering ditemukan, infeksi virus, parasit, dan fungi juga dapat menyebabkan syok
septik.3 Jamur oportunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa (Falciparum
malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis. Bakteriemia gram negatif juga

berkaitan erat dengan syok septik dan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS). Syok septik terjadi pada 20%-35% penderita bakteriemia gram negatif.9
Tabel 2.4 Etiologi Sepsis Berat4
Penyebab Infeksi
Infeksi sistem saraf pusat
Infeksi sistem kardiovaskuler
Infeksi saluran pernapasan
Infeksi ginjal
Infeksi traktus gastrointestinal
Infeksi kulit dan jaringan lunak
Infeksi tulang dan sendi

Penyebab Non-infeksi
Trauma berat
Perdarahan
Komplikasi pembedahan
Komplikasi aneurisme aorta
Infark miokardium
Emboli paru
Tamponade jantung
Perdarahan subaraknoid
Luka bakar
Pankreatitis akut
Overdosis/toksisitas obat
Ketoasidosis diabetik
Insufisiensi adrenal
Anafilaksis

2.4 Patogenesis
Patofisiologi sepsis sangat kompleks karena melibatkan interaksi antara
proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi. 8,9 Faktor-faktor
penentu untuk terinfeksi atau tidak oleh mikroorganisme tergantung pada
patogenitas dari mikroorganisme, status pertahanan tubuh host, lingkungan
mikroorganisme, dan adanya benda asing. Mekanisme pertahanan normal tubuh
agar tidak terjadi infeksi terdiri atas kulit dan membran mukosa, sistem
fagositosis, imunitas humoral, dan imunitas seluler.10 Kaskade infamasi diinisiasi
oleh pelepasan sitokin, sedangkan kaskade koagulasi diinisiasi oleh adanya faktor
Hageman.8
Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai injury events yang disebut sebagai
aktivator yang terdiri atas mikroorganisme, produk dari mikroorganisme
(endotoksin dan eksotoksin), jaringan nekrotik, trauma pada jaringan lunak, dan
reperfusi iskemik. Seluruh aktivator tersebut dapat bertindak sendiri atau bersamasama sebagai pemicu untuk mulai terjadinya reaksi inflamasi yang memicu reaksi
berantai yang disebut inisiator sehingga menghasilkan respons reaksi inflamasi
SIRS.10
7

Terminologi sindrom sepsis adalah respons inflamasi dari respons


hipermetabolik di tingkat sel organ dan sistem organ akibat berbagai pemicu, baik
berasal dari mikroorganisme dan produknya atau stimuli eksogen (accidental
blunt and penetrating injuries, trauma operasi, luka bakar, pankreatitis,
inflammatory bowel disease), dan lain-lain. Jika bakteri, fungi, atau virus sebagai
penyebab terjadinya sindrom sepsis. Infeksi mikroorganisme menghasilkan
respons inflamasi secara lokal terhadap mikroorganisme atau invasinya ke
jaringan yang pada awalnya steril. Istilah bacteremia berarti adanya bakteri di
dalam aliran darah dengan adanya suatu fokus infeksi yang disertai dengan
adanya bakteri yang terlepas/lolos ke dalam sirkulasi. Kondisi viremia atau
fungemia merupakan hal yang serupa dengan kejadian bakteriemia, tetapi
mikroorganismenya saja yang berbeda. Walaupun pemicu yang berbentuk
aktivator berbeda-beda untuk terjadinya reaksi inflamasi tersebut, tetapi
patofisiologinya terlepas penyebab apakah infeksi atau non-infeksi, bentuk
akhirnya sama. Oleh karena itu, respons tersebut disebut common pathway of
inflammatory response.10
Sepsis dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan antara sitokin
proinflamasi seperti, faktor nekrosis tumor-a (TNF-), interleukin-1 (IL-1), IL6 dan interferon- (IFN) dengan sitokin antiinflamasi seperti IL-1 reseptor
antagonis (IL-1), IL-4 dan IL-10.8,11 Sitokin proinflamasi diwakili oleh TNF, IL1, IL6, IL-8 meningkatkan adhesi sel endotel leukosit, menginduksi pelepasan
kedua protease dan metabolit asam arakidonat dan mengaktifkan kaskade
koagulasi. Sitokin anti-inflamasi, yaitu IL-10, reseptor TNF dan IL-1 reseptor
antagonis (IL-1ra) menyediakan mekanisme umpan balik negatif untuk reaksi
inflamasi dan koagulasi, mengenali kompensasi sindrom anti-inflamasi (CARS)
dengan menghambat TNF, IL-6, limfosit-T dan fungsi makrofag, ketika
mengaugmentasi aksi kedua reaktan fase akut dan imunoglobulin.9
Overproduksi sitokin inflamasi sebagai hasil dari aktivasi nuclear faktor
B(NF-B) akan menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama
pada paru-paru, hati, ginjal usus dan organ lainnya yang mempengaruhi
permeabilitas vaskuler, fungsi jantung dan menginduksi perubahan metabolik

sehingga terjadi apoptosis maupun nekrosis jaringan, Multiple Organ Failure


(MOF), syok septik serta kematian.8
Pada sepsis, mekanisme antikoagulan dan profibrinolitik ini diatur untuk
turun pada keadaan resultan prokoagulan. Tissue factor (TF), terpapar pada
permukaan sel endotel setelah distimulasi oleh endotoksin atau mediator
proinflamasi tertentu (termasuk TNF, IL-1, IL-6, faktor pengaktivasi plasminogen,
dan lain-lain) mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik, sehingga terjadi pelepasan
trombin dan konversi fibrinogen menjadi fibrin.9
Faktor-faktor yang terdapat dalam kaskade inflamatori maupun kaskade
koagulasi akan saling berinteraksi. Interaksi ini akan menimbulkan lingkaran
setan peradangan dan koagulasi yang menyebabkan hipoperfusi organ, kegagalan
organ dan akhirnya kematian.9
Pada sepsis bakterial, manifestasi septikemia diakibatkan oleh adanya
toksin bakteri, respon inang, maupun keduanya. Infeksi bakteri gram negatif
memberikan

manifestasi

septikemia

melalui

produk

endotoksin

yang

dihasilkannya.9 Endotoksin berasal dari dinding sel bakteri gram negatif yang
terdiri atas lapisan membran terdalam dan membran terluar. Pada lapisan
membran terluar, terdapat protein lipopolisakarida. yang mempunyai efek toksik.
Bentuk molekul lipopolisakarida sangat kompleks dan terdiri dari 3 komponen
utama, yaitu polisakardia antigen O, inti, dan lipid A. Secara keseluruhan,
senyawa lipopolisakarida bersifat sangat toksik, baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap berbagai jenis sel efektor Hal yang sangat penting adalah
kemampuan lipopolisakarida sebagai pemicu terlepasnya mediator endogen dari
berbagai sel efektor, yaitu mediator primer. Target sel utama atau efektor utama
yang terpicu oleh endotoksin adalah sel endotel pembuluh darah.10
Endotoksin sendiri dapat menghasilkan efek toksik langsung terhadap sel,
sedangkan mediator yang terlepas akibat terpicu oleh endotoksin disebut sebagai
mediator sekunder yang terdiri dari berbagai sitokin yang diproduksi dan
dilepaskan secara luas oleh sel efektor, yaitu makrofag, monosit, dan bermacam
jenis sel lainnya yang menghasilkan gejala sepsis.9,10
Endotoksin merupakan stimulan langsung makrofag yang sangat kuat dan
mampu memprovokasi proses sekresi sitokin di dalam jaringan yang mengalami
9

inflamasi. Apabila sitokin dan mediator yang terbentuk dalam jumlah besar, akan
masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan merangsang sel-sel makrofag melalui
terjadinya reaksi reseptor-antigen dengan mekanisme yang sangat kompleks.
Terikatnya reseptor antigen lipopolisakarida tersebut menyebabkan terangsangnya
sekresi berbagai sitokin, yaitu faktor nekrosis tumor- (TNF- ), interleukin-1
(IL-1), IL-6, dan IL-8. Sel makrofag yang teraktivasi lipopolisakarida tersebut
segera meningkatkan regulasi transkripsi dan translasi dari gen TNF- sehingga
mampu dihasilkan 10.000 kali lipat peningkatan kadar ekspresi TNF-. Setelah
TNF- dan IL-1 dilepaskan, pengatuan efek mulai terikat serta berinteraksi
dengan reseptor spesifik seluler pada setiap jenis sitokin.9,10
Bakteri gram positif tidak memiliki endotoksin. Manifestasi yang terjadi
pada sepsis oleh bakteri ini disebabkan oleh adanya bakteri ini sendiri di dalam
darah. Syok septik yang terjadi pada infeksi bakteri gram positif diakibatkan oleh
adanya komponen spesifik eksotoksin. Beberapa peneliti lain menyimpulkan
bahwa ada komponen dinding sel maupun murein bakteri gram positif yang dapat
menggantikan endotoksin.9
Walaupun demikian, pada proses infeksi berat, dapat terjadi respons
sitokin yang berlebihan serta tidak terkontrol secara baik. Sekresi sitokin yang
berlebihan dan diikuti dengan sekresi antagonisnya dalam beberapa hari berturutturut akan menghasilkan akibat yang sangat berbahaya (auto toxicus).10
Kejadian jejas reperfusi iskemik dapat dijelaskan sebagai berikut.10
1. Terjadinya iskemik sebagai akibat hipoperfusi-hipotensi sehingga timbul
keadaan turunnya secara hebat oksigenasi jaringan/hipoksia yang berakibat
timbulnya perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob di tingkat seluler
dengan segala akibatnya.
2. Terjadinya reperfusi sebagai akibat membaiknya kembali hipoperfusihipotensi yang disertai oksigen dalam jumlah besar.
Saat ini, telah diketahui adanya 2 komponen dasar yang terjadi pada jejas
reperfusi iskemik, yaitu10
1. Pada saat terjadi gangguan reperfusi, sejumlah kapiler tertentu dan mungkin
cabang-cabang kecil arteriol tetap tertutup oleh trombus sehingga terjadi

10

iskemia yang persisten pada mikrosirkulasi sel-sel organ yang dialiri


pembuluh-pembuluh darah tersebut
2. Terjadi jejas sel endotel secara generalisata sebagai akibat dilepaskannya
mediator oksigen reaktif dan faktor aktivasi platelet. Interaksi sel endotelleukosit polimorfonuklear menyebabkan edema akibat kebocoran kapiler dan
kerusakan jaringan yang berlanjut terus.
2.5 Manifestasi Klinis
Spektrum sepsis bervariasi dari invasi mikroba ke aliran darah dengan
tanda awal gangguan sirkulasi (takikardia, takipnu, vasodilatasi perifer, demam
atau hipotermi) hingga kolaps sirkulasi, kegagalan sistem multiorgan bahkan
kematian.11
Tabel 2.5 merangkum gambaran klinis sindrom sepsis berat, patofisiologi
yang mendasari tanda dan gejala, dan organisme yang paling sering ditemukan.4
Tabel 2.5 Manifestasi umum, patofisiologi, dan patogen pada sepsis berat4
Sistem yang terkena
Sistem saraf pusat

Tanda dan gejala


Bingung,
penurunan
kesadaran, iritabilitas, sakit
kepala,
kaku
leher,
fotofobia

Mekanisme
Perubahan
kadar
neurotransmitter
pada sawar darahotak;
ganguan
fungsi reseptor

Patogen yang paling sering


Community-acquired:
Streptococcus
pneumonia;
Neiserria
meningitides;
Listeria monocytogenes
Nosokomial:
Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli

Sistem kardiovaskuler

Hipovolemia,
gangguan
kontraktilitas, takikardia,
peningkatan curah jantung,
penurunan
resistensi
sistemik,
terganggunya
respons terhadap agen
vasopressor, sesak napas,
ortopnea,
peningkatan
tekanan vena

Asupan yang buruk,


penggantian
yang
tidak
adekuat,
insensible
losses
yang berlebihan

Community-acquired:
Enterococcus,
Streptococcus
bovis,
Streptococcus
sp;
Staphylococci
koagulase
negatif, Coxiella burnetii;
Staphylococcus
aureus,
Campylobacter, E.coli; fungus

Peningkatan
permeabilitas
mikrovaskuler dan
hipoalbunemia

Community-acquired:
Staphylococcus sp; S. aureus
resisten
metisilin,
Staphylococcus
epidermidis
resisten
metisilin;
Staphylococcus
koagulase
negatif resisten penisilin

Depresi miokardium
Disfungsi penurunan
reseptor adrenergik
katup jantung

11

Saluran pernapasan

Sistem pencernaan

Sistem

Hipoksemia,
sianosis,
takipnea, penggunaan otot
bantu napas, perubahan
sputum
(volume;
purulensi)

Peningkatan
permeabilitas
kapiler;
alveolar
flooding
Rekruitmen
neutrofil ke paru
Mikroemboli paru
akibat
agregasi
platelet

Muntah,
diare,
nyeri
abdomen, nyeri tekanan,
gagal hati, kolestasis

Frekuensi,
disuria,
hematuria, nyeri region
Flank, gagal ginjal

Community-acquired:
S.
pneumonia,
Haemophilus
influenza, Legionella sp
Nosokomial: basil gram negatif
aerob

Community-acquired: E. coli,
Bacteroides fragilis
Nosokomial: basil gram negatif
anaerob
Community-acquired: patogenpatogen di atas
Nosokomial:
di atas

patogen-patogen

2.5.1 Acute Lung Injury atau Acute Respiratory Distress Syndrome


(ALI/ARDS)
Acute lung injury tampak pada 60%-70% pasien dengan sepsis berat. Kelainan ini
ditandai dengan adanya infiltrat paru pada rontgen tanpa adanya gagal jantung kiri
(PaWP<18 mmHg). Adanya kegagalan dalam pertukaran gas paru yang ditandai
rasio PaO2/FiO2 < 300 untuk ALI atau < 200 untuk ARDS. Tingkat keparahan
ALI/ARDS menentukan ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik akan memulihkan
pertukaran gas paru dan mengurangi kebutuhan metabolik. Efek merugikan
sebaiknya dihindarkan dengan Protective Ventilatory Strategies.2,4
2.5.2 Gangguan Sistem Saraf Pusat (Ensefalopati Septik)
Jika sumber infeksi di luar sistem saraf pusat, gangguan neurologik dapat
dianggap sebagai ensefalopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat menambah
efek sekunder, seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, dan
hipoperfusi serebral selama keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari
agitasi, confusion, delirium, dan koma. Walaupun tidak terlihat defisit neurologis,
mioklonus dan kejang dapat terjadi. Gangguan sistem saraf pusat berat
memerlukan proteksi jalan napas dan support ventilasi.2,4
2.5.3 Gangguan Hati
12

Gangguan hati ditandai dengan adanya hepatomegali dan total bilirubin > 2mg/dl.
Adanya peningkatan bilirubin terkonjugasi dan peningkatan GGT sering terjadi.2,4
2.5.4 Gangguan Hematologi dan Koagulasi
Penurunan sel darah merah tanpa adanya perdarahan dan penurunan trombosit
<100.000/mm3 sering ditemukan. Sepsis menambah koagulasi dan menurunkan
fibrinolisis.

Endogenous-activated

protein

yang

mencegah

trombosis

mikrovaskular juga turun selama sepsis. Ketika terjadi penyumbatan pembuluh


darah kecil, dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi yang akan menyebabkan
disoksia jaringan. Dalam sepsis berat, pemberian rhAPC dapat membantu
memperbaiki gangguan koagulasi.2,4
2.5.5 Gangguan Ginjal
Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang normal maupun
berkurang. Peningkatan kreatinin > 0,3mg/dl dari nilai sebelumnya atau
peningkatan > 50% atau oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan
gangguan ginjal akut dan dapat mempengaruhi keluaran yang buruk.2,4
2.5.6 Gangguan Traktus Gastrointestinal
Iskemia splanknik dan asidosis intramukosa terjadi selama sepsis. Tanda klinis
mencakup perubahan fungsi otot halus usus dan terjadi diare. Perdarahan traktus
gastrointestinal disebabkan stress ulcer gastritis akut yang juga manifestasi sepsis.
Monitoring pH intramukosa lambung digunakan untuk mengenali dan petunjuk
terapi resusitasi. Peningkatan pCO2 intraluminal dikaitkan dengan adanya iskemia
jaringan dan asidosis mukosa.2,4
2.5.7 Gangguan Neuromuskular
Otot skeletal juga dipengaruhi oleh mediator inflamasi dan oksigen reaktif yang
secara simultan menurunkan sintesa protein dan proteolisis. Faktor-faktor ini
dapat menurunkan kekuatan otot, termasuk otot pernapasan yang dapat
mempengaruhi atau menyebabkan gagal napas akut.2,4

2.6 Diagnosis
Pengenalan dini dan teliti dari tanda dan gejala sepsis diharuskan dalam
penerimaan pasien. Faktor risiko, seperti umur, jenis kelamin, ras, status
13

imunocompromised, dan pemakaian alat-alat invasif atau kondisi lain yang dapat
menyebabkan kolonisasi bakteri. Temuan klinis dan laboratorium sangat penting.2
Demam adalah salah satu tanda infeksi walaupun hipotermia dapat terjadi
pada pasien-pasien tertentu. Tanda-tanda nonspesifik lainnya, seperti takipneu dan
hipotensi sebaiknya juga diperiksa. Adanya gangguan organ dan beratnya
gangguan juga harus diperiksa.2
Penyebab infeksi juga dicari dengan pemeriksaan klinis yang cermat dan
dapat dilengkapi dengan pemeriksaan x-ray, CT-scan, ultrasonografi atau yang
lainnya.2 Pemeriksaan radiologi penting untuk mengkonfirmasi lokasi infeksi,
menyingkirkan diagnosis banding, dan membantu prosedur kontrol sumber infeksi
secar bedah dan radiologis. CT-scan merupakan modalitas pencitraan yang paling
baik untuk infeksi jaringan lunak kompleks dan infeksi pada organ dalam
abdomen dan toraks. Ultrasonografi pada traktus biliaris dan traktus urinarius
dapat dilakukan. Interpretasi ahli radiologi terhadap hasil pencitraan membantu
merencanakan strategi manajemen optimal dalam penanganan sepsis.4
Identifikasi sumber infeksi dan agen microbial penting selama sepsis.
Pemeriksaan mikrobiologi sangat diperlukan dan pemberian terapi antibiotik yang
adekuat harus dimulai sesegera mungkin. Kecurigaan sepsis harus diikuti dengan
pemeriksaan kultur yang diambil dari darah dan fokus lain yang dicurigai.
Pemeriksaan lainnya tidak boleh tertunda dan dapat melengkapi informasi. Kultur
darah yang positif hanya didapat pada 50% penderita. Sekitar 20-30% penderita
sepsis tidak ditemukan penyebab bakterial. Infeksi secara umum dapat disebabkan
oleh bakteri, virus dan jamur.1,2
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan sepsis berat dan syok septik saat ini bertujuan untuk
mangatasi infeksi, mencapai hemodinamik yang stabil, meningkatkan respon
imunitas, dan memberikan support untuk organ dan metabolisme. Surviving
Sepsis Campaign (SSC) adalah prakarsa global yang terdiri dari organisasi
internasional dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan
evidence-based dan rekomendasi untuk penanganan sepsis berat dan syok septik.
2.7.1 Sepsis Resuscitation Bundle (initial 6 h)
14

Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien
didiagnosis sepsis. Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien
masuk di ICU. Identifikasi awal dan resusitasi yang menyeluruh sangat
mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama (golden hours) merupakan
kesempatan yang kritis pada pasien. Resusitasi segera diberikan bila terjadi
hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/l. Resusitasi awal tidak hanya
stabilisasi hemodinamik, tetapi juga mencakup pemberian antibiotik empirik dan
mengendalikan penyebab infeksi.
2.7.1.1 Resusitasi Hemodinamik
Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan tidak
dapat memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat, vasopressor dapat
diberikan. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP 65mmHg, produksi urin 0,5
cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava superior 70% atau saturasi mixed vein
65%
2.7.1.2 Terapi Inotropik dan Pemberian PRC
Jika saturasi vena sentral <70% pemberian infus cairan dan/atau pemberian PRC
dapat dipertimbangkan. Hematokrit 30% diinginkan untuk menjamin hantaran
oksigen. Meningkatkan indeks jantung dengan pemberian dobutamin sampai
maksimum 20ug/kg/m dapat dipertimbangkan.2,14
2.7.1.3 Terapi Antibiotik
Terapi

antibiotika

hanya

merupakan

satu

komponen

penunjang

keberhasilan dalam pengobatan sepsis.1 Antibiotik segera diberikan dalam jam


pertama resusitasi awal.2 Terapi antibiotika empirik harus segera dimulai dalam 12 jam jam pertama sepsis berat ditegakkan, sambil menunggu hasil pemeriksaan
kultur.1
Pemberian antibiotik sebaiknya mencakup patogen yang cukup luas. 2
Terdapat bukti bahwa pemberian antibiotik yang adekuat dalam jam pertama
resusitasi mempunyai korelasi dengan mortalitas.2 Keterlambatan dalam
pemberian antibiotika dalam waktu 24 jam setelah sepsis berat ditegakkan
berkorelasi kuat dengan meningkatnya kematian dalam kurun 28 hari (r2 = 0,72).1
Pemilihan antibiotik secara empiris harus rasional, adekuat dan tepat.
Antibiotika yang dipilih harus memperhatikan beberapa hal, seperti: (1) faktor
15

spesifik pasien (usia, fungsi organ, tempat infeksi dan derajat penyakit/sepsis), (2)
faktor

organisme

penyebab

komunitas/nosokomial)

dan

(peta
(3)

kuman/pola

faktor

antibiotika

resistensi,

kuman

(farmakokinetik-

farmakodinamik, profil tolerabilitas dan keamanan, penetrasi ke jaringan, dan azas


biaya manfaat).1
Pemberian antibiotika yang tidak tepat dan tidak adekuat (dosis,
keterlambatan, dan pemberian antibiotik tidak sesuai dengan kuman penyebab
atau kuman sudah resisten) di samping memicu terjadinya resistensi, peningkatan
biaya perawatan, juga meningkatkan risiko mortalitas. Contohnya, mortalitas
akibat pneumonia akan meningkat dari 30% menjadi 90% apabila antibiotika yang
diberikan tidak tepat.1
2.7.1.4 Identifikasi dan Kontrol Penyebab Infeksi
Identifikasi sumber atau tempat infeksi memegang peran penting dalam
manajemen pasien sepsis.1 Diagnosis tempat penyebab infeksi yang tepat dan
mengatasi penyebab infeksi dalam 6 jam pertama. Prosedur bedah dimaksudkan
untuk drainase abses, debridemen jaringan nekrotik atau melepas alat yang
potensial terjadi infeksi.2,14
2.7.2 Sepsis Management Bundle (24 h bundle)
2.7.2.1 Steroid
Steroid diberikan bila pemberian vasopressor tidak respon terhadap hemodinamik
pada pasien syok septik. Hidrokortison intravena dosis rendah (<300mg/hari)
dapat dipertimbangkan pada pasien syok septik dengan hipotensi yang tidak
respon terhadap resusitasi cairan dan vasopressor.2,14
2.7.2.2 Ventilasi Mekanik
Lung Protective strategies untuk pasien dengan ALI/ARDS yang menggunakan
ventilasi mekanik sudah diterima secara luas. Volume tidal rendah (6cc/kg) dan
batas plateau pressure 30 cmH2O diinginkan pada pasien dengan ALI/ARDS.
Pola pernapasan ini dapat meningkatkan PaCO2 atau hiperkapnia permisif.
Pemberian PEEP secara titrasi dapat dicoba untuk mencapai sistem pernapasan
yang optimal.
2.7.2.3 Kontrol Gula Darah
16

Beberapa penelitian menunjukkan penurunan angka kematian di ICU dengan


menggunakan terapi insulin intensif. Peneliti menemukan target GD < 180mg/dl
menurunkan mortalitas daripada target antara 80-108mg/dl. Banyaknya episode
hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC adalah
mempertahankan gula darah < 150 mg/dl.
2.7.2.4 Recombinant Human-Activated Protein C (rhAPC)
Pemberian rhAPC tidak dianjurkan pada pasien dengan risiko kematian yang
rendah atau pada anak- anak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada
pasien dengan risiko kematian tinggi (APACHE II25 atau gagal organ multipel)
2.7.2.5 Pemberian Produk Darah
Pemberian PRC dilakukan bila Hb turun di bawah 7 g/dl. Direkomendasikan
target Hb antara 7-9 g/dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan fresh
frozen plasma untuk memperbaiki hasil laboratorium dengan masa pembekuan
yang abnormal, kecuali ditemukan adanya perdarahan atau direncanakan prosedur
invasif. Pemberian trombosit dilakukan bila hitung trombosit < 5000/mm3 tanpa
memperhatikan perdarahan.

BAB III
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN SEPSIS BERAT
3.1

Manajemen Perioperatif
17

Meskipun tidak semua pasien dengan sepsis berat memiliki fokus


infeksi, merupakan hal yang bijaksana memeriksa pasien secara sistematis
untuk mencari sumber infeksi (Tabel 4). Sumber primer mungkin jelas
(misalnya trauma, luka bakar, operasi terakhir) atau mungkin lebih sulit
untuk diidentifikasi (misalnya empiema dari kandung empedu, pankreatitis,
sepsis ginekologi, jaringan lunak, dan infeksi tulang), khususnya pada
pasien gelisah yang tidak kooperatif. Pemeriksaan harus fokus pada
keparahan SIRS, keadaan hidrasi intravaskular, adanya syok atau disfungsi
multi-organ, dan kecukupan resusitasi hemodinamik.13
Surviving Sepsis Campaign
Mengikuti proses internasional untuk konsultasi untuk menstandarkan
manajemen pasien dengan sakit kritis, Surviving Sepsis Campaign
menyarankan terapi dikelompokkan sesuai pasien. Konsepnya tidak seperti
ATLS, ketika terapi yang diberikan sesuai situasi klinis. Walaupun
kekurangannya menunjukkan bahwa berbagai bermacam terapi tidak sesuai
dengan kebutuhan pasien secara individu dan kekurangan pengobatan
berdasarkan bukti untuk mendukung pedoman, tetap ada bukti bahwa proses
perawatan dan hasil meningkat setelah program edukasi diberikan
berdasarkan Surviving Sepsis Campaign.14-16

Tabel 3.1 Manifestasi klinis, Patofisiologi dan Patogen pada Sepsis Berat

18

Terapi Antibiotik
Antibiotik intravena penting diberikan sedini mungkin setelah
diagnosis sepsis berat dan syok sepsis ditegakkan. Tidak ada bukti bahwa
pemberian antimikroba bermanfaat dengan menunda sampai pembedahan
dimulai atau sampai hasil kultur mikrobiologi tersedia. Sampel kultur yang
tepat harus didapatkan sebelum memberikan terapi antimikroba lini
pertama.17 Obat antimikroba lebih baik diberikan secara intravena dan
dengan dosis tepat untuk mencapai konsentrasi terapeutik. Pilihan terapi
harus berdasarkan riwayat klinis, pemeriksaan fisik, pathogen penyebab,
penetrasi optimal dari antimikroba ke jaringan yang terinfeksi, dan pola
sensitivitas agen antimikroba lokal. Mula-mula, agen spectrum luas harus
diberikan dengan satu atau lebih agen yang aktif melawan bakteri/ jamur
pathogen.13
Resusitasi Hemodinamik

19

Tujuan

penilaian

resusitasi

preoperatif

untuk

mengembalikan

pengiriman oksigen yang adekuat ke jaringan perifer. Jika hemodinamik


pasien tidak stabil, pengawasan tekanan arteri, akses vena sentral harus
dipertimbangkan. Penempatan central venous catheter (CVC) bertujuan
mengukur central venous pressure (CVP), saturasi oksigen vena campuran
(SVO2), pemberian cairan intravena dan vasopresor.18-20 Resusitasi yang
dimulai di ruang gawat darurat dapat dilanjutkan bahkan jika pasien
memerlukan pemeriksaan penunjang ataipindahkan ke ICU sebelum
dioperasi. Enam jam pertama pada resusitasi sepsis (golden hours),
merupakan waktu yang penting dan terkadang bersamaan dengan waktu
operasi gawat darurat.14,21 Ada sedikit ketidaksepakatan antara klinisi
bahwa pasien sepsis hipotensi dengan laktat >3 mmol/liter, diawali dengan
resusitasi volum menggunakan kristaloid atau koloid, bertujuan untuk
mencapai target klinis berikut: CVP 8-12 mmHg, MAP 65 mmHg, urin
output 0,5 ml/KgBB per jam, saturasi oksigen vena sentral > 70% (Tabel
5). Pemberian koloid dengan pentastarch berkaitan dengan resiko tinggi
terjadinya gagal ginjal akut dann terapi penggantian ginjal dibanding
dengan RL dan toksisitasnya meningkat dengan dosis berlebihan.23
Pemberian vasopresor dengan norepinefrin dapat dipertimbangkan
bahkan sebelum pemberian cairan intravena yang optimal dicapai.
Vasopresin dosis rendah (0,03 units/menit) dapat diberikan untuk
menurunkan kebutuhan norepinefrin dosis tinggi.21,24,25 Inotropik diberikan
untuk resusitasi volum dan vasopresor, jika ada bukti curah jantung rendah
meskipun pengisian jantung dan resusitasi cairan adekuat. The Surviving
Sepsis Campaign merekomendasikan dobutamin sebagai lini pertama
terapi inotropik untuk vasopresor pada pasien sepsis.14 Walaupun
demikian, sebuah penelitian pada pasien sepsis menunjukkan tidak adanya
perbedaan

keberhasilan

dan

keamanan

dengan

epinefrin

sendiri

dibandingkan norepinepfrin ditambah dobutamin (28 hari mortalitas: 40%


dibanding 34%, P=0,31) pada manajemen syok sepsis.25 Usaha resusitasi
harus dilanjutkan selama hemodinamik berkembang di setiap tahapnya. 20-22
Pemberian cairan intravena dihentikan ketika tekanan pengisian sudah
kuat dan tidak ada perkembangan pada perfusi jaringan (contoh laktat
20

serum tidak menurun). Transfusi sel darah merah dapat dipertimbangkan


jika pengiriman oksigen tetap inadekuat.26,27
Levosimendan berguna sebagai tambahan untuk terapi inotropik
konvensional pada kasus disfungsi miokardium refrakter pada sepsis. Efek
inotropiknya dianggap meningkatkan sensitivitas troponin C jantung ke
kalsium. Efek vasodilator sistemik dan pulmoner dianggap berhubungan
dengan kanal potassium

ATP-dependent.28 Sebuah uji klinis pada 28

pasien dengan syok sepsis dan fraksi ejeksi <45% menetap >48 h setelah
pengobatan konvensional menemukan bahwa indeks jantung dan indeks
fungsi renal berkembang setelah pemberian levosimendem, diabndingkan
dengan dobutamin.28,29 Walaupun demikian, uji klinis lebih lanjut
diperlukan sebelum levosimendem diterima sebagai terapi syok sepsis.
Terapi oksigen tambahan penting pada pasien dengan sepsis berat
bahkanjika mereka tidak memiliki tanda sulit bernafas. Intubasi trakea dan
ventilasi mekanik sesegera mungkin dapat dipertimbangkan jika tingkat
kesadaran pasien rendah atau jika terdapat distress yang progresif dan
hipoksia.30
3.2

Manajemen Intraoperatif
Tujuan utama dari periode intraoperatif adalah keselamatan dan perawatan

yang optimal pada pasien dengan kondisi kritis.


Sebelum Induksi
Konsentrasi terapeutik agen antimikroba harus dipertahankan selama
periode perioperatif karena tindakan bedah dapat menyebabkan bakterimia. 31
Pengawasan hemodinamik dilakukan sebagai upaya intraoperatif standar.
Pengawasan AGD dan konsentrasi laktat secara serial sudah harus tersedia. Jika
kemungkinan banyak darah yang keluar, disarankan untuk mempersiapkan alat
resusitasi intravaskuler yang sesuai.
Induksi Anestesi dan Inisiasi Ventilasi Mekanik
Pasien yang menjalani tindakan pembedahan berada dalam kondisi
kardiovaskular yang tidak stabil karena efek kombinasi sepsis, anestesi,
21

kehilangan

volume

intravaskular,

perdarahan,

dan

stres

pembedahan.

Denitrogenasi paru-paru, O2 100% melalui facemask yang rapat selama 3 menit,


dapat dilakukan sebelum induksi anestesi. Tindakan bedah pada pasien dengan
sepsis biasanya gawat darurat, sehingga mungkin dapat menggunakan rocuronium
untuk intubasi dibandingkan suksinilkolin. Banyak pilihan teknik induksi,
termasuk ketamin, etomidate, dan propofol. Sebagian besar obat anestesi
intravena dan inhalasi menyebabkan vasodilatasi atau gangguan kontraktilitas
ventrikuler. Idealnya, induksi anestesi dilakukan dengan hati-hati, menggunakan
dosis intravena kecil, dititrasi sampai tercapai respon klinis. Ketamin atau
midazolam menghasilkan stabilitas hemodinamik dan opioid kerja cepat seperti
fentanyl atau alfentanil dapat mengurangi dosis agen induksi. Efek dan durasi
opioid intravena dapat meningkat dengan gangguan hati dan perfusi ginjal kecuali
remifentanil. Infus remifentanil, sebagai agen primer atau tambahan untuk obat
induksi lain, lebih direkomendasikan pada induksi pasien dengan sepsis, pasien
yang tidak stabil. Walaupun dapat menyebabkan bradikardi, kebanyakan pasien
sepsis takikardi dan efeknya pada kontraktilitas otot jantung minimal.
Remifentanil mencegah penurunan resistensi pembuluh darah sistemik yang tibatiba.32 Penempatan balon tracheal tube dipermudah dengan penggunaan agen blok
neuromuskular (lebih baik dengan agen yang tidak melepas histamin).
Resusitasi volum dan dosis vasopresor tambahan yang berkelanjutan
berguna untuk melawan efek hipotensi dari agen anestesi dan ventilasi tekanan
positif. Pilihan vasopresor antara lain efedrin, fenilefrin dan metaraminol. Infus
norepinefrin dapat digunakan untuk efek yang lebih lama. 21,24 Tujuan melakukan
ventilasi mekanik pada pasien sepsis berat adalah untuk menggunakan FIO 2 yang
cukup tinggi untuk memperoleh oksigenasi yang adekuat (PaO 2 > 12 kPa).
Sekarang, terdapat bukti kuat mengenai strategi ventilasi volum tidal yang rendah,
untuk meminimalkan dampak ventilasi tekanan positif pada paru-paru dan venous
return serta cardiac output.33 Gaya gesek yang disebabkan volum tidal yang tinggi
atau tekanan inspirasi yang tinggi akan memperburuk cedera paru. Oleh karena
itu, ketika oksigenasi adekuat, konsep permissive hypercapnia muncul, di mana
ventilasi alveolar per menit yang rendah untuk meminimalkan kerusakan paru,

22

pasti menghasilkan hiperkapnia (khusunya PaCO2 > 8-9 kPa), yang ditoleransi
dan muncul dengan relatif aman pada jangka waktu pendek (lebih dari 3-4 hari).34
Pemeliharaan
Pilihan pemeliharaan anestesi termasuk agen inhalasi, intravena, dan opioid,
sebagai contoh infus remifentanil dengan dosis 0.250.5 g/kgmin. Dokter
anestesi harus memilih teknik yang menurutnya paling cocok dengan faktor resiko
dan komorbid pasien, dan sesuai pengalaman dan keahliannya. MAC agen
inhalasi berkurang pada pasien sepsis.35 Pada pasien dengan disfungsi paru yang
nyata, konsentrasi agen anestesi yang stabil di otak lebih mudah dicapai dengan
agen intravena dibanding inhalasi. Apapun teknik yang dipakai, kedalalaman
anestesi yang dicapai dapat diperkirakan dengan menggunakan indeks
Bisppectral. Selama operasi, status hemodinamik dapat dipersulit dengan
kehilangan darah atau pelepasan bakteri sistemik atau endotoksin. Transfusi darah
harus dilakukan jika prosedur bedah dipersulit dengan kehilangan darah yang
banyak.
Resusitasi volum intravaskuler harus dilanjutkan sesuai indikasi selama
prosedur pembedahan. Walaupun CVP cm H2O biasanya merupakan tujuan
hemodinamik resusitasi inisial pada pasien sepsis, nilai CVP intraoperatif dapat
naik dengan peningkatan tekanan intra thorakal dan intrabdomen. Perubahan
petanda dinamik (variasi tekanan nadi, variasi volume sekuncup) memprediksi
respon volum lebih akurat dibandingkan taksiran berdasarkan tekanan (CVP atau
tekanan oklusi arteri pulmoner). Perubahan pada petanda dinamik respon volum
dapat digunakan pada intraoperatif untuk memandu terapi volum intravena,
terutama pada pasien dengan irama sinus reguler dan paru-paru yang diventilasi
oleh ventilasi mekanik terkontrol.36,37
Ada banyak alat untuk memonitor perubahan pada curah jantung secara
berkelanjutan

(kateter

arteri

pulmoner,

Doppler

esofagus,

impedansi

plethysmography) atau jangaka waktu yang berlainan (ekokardiografi transthorakal atau transesofagus, atau saturasi O2 vena campuran yang dinilai secara
serial). Melalui prosedur pembedahan, parameter kardiovaskuler (denyut jantung,
tekanan pengisian jantung, status inotropik, tekanan arteri sistemik) dapat diatur
23

untuk mengoptimalkan penghantaran oksigen jaringan dibanding mencapai nilai


set curah jantung atau tekanan arteri. Kecukupan pengiriman oksigen global dapat
diukur dengan laktat serum < 2 mmol litre-1 dan saturasi vena campuran > 70%.12
Oksigenasi dapat diperburuk oleh edema pulmoner non-kardiogenik, yang
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler pada sepsis. Pilihan
manajemen untuk hipoksemia selama pemeliharaan anestesi meliputi peningkatan
konsentrasi oksigen inspirasi dan meningkatkan PEEP secara bertahap.
Konsentrasi oksigen inspirasi dapat ditingkatkan sampai SaO2 minimal 90% dan
penggunaan PEEP dapat dipertimbangkan selama prosedur pembedahan. PEEP
dapat naik perlahan pada pasien yang stabil hemodinamiknya jika masih terdapat
hipoksia meskipun meningkatkan FIO2. Hiperkarbi harus dihindari terutama pada
pasien dengan peningkatan intrakranial, asidosis metabolik kompensata, atau
stadium akhir kehamilan. Pada semua keadaan, hiperkarbi dapat ditoleransi
dengan baik dan ada beberapa bukti bahwa permissive hypercapnia mungkin
memiliki efek protektif.34,38
Strategi proteksi paru dianjurkan untuk menggunakan ventilasi mekanik
paru. Perbedaan antara tekanan di dalam dan di luar rongga udara alveolar di
inspirasi akhir adalah tekanan transpulmoner. Di sisi lain, tekanan transpulmoner
yang tinggi dihubungkan dengan cedera paru. Pada pasien dengan cedera paru
awal, strategi ventilasi harus bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara
reduksi yang signifikan pada tekanan nafas transpulmoner (<2025 cm H 2O), and
tekanan transpulmoner yang berlebihan ( >2530 cm H2O).12
Penyembuhan alveoli yang kempes dengan ventilasi manual pada pasien
sampai tekanan nafas puncak 30-40 mmHg dalam waktu pendek dapat
mengurangi terusan dan meningkatkan oksigenasi intraoperatif. Manuver ini harus
dilakukan dengan hati-hati pada pasien pneumothoraks, seperti pasien dengan
bula emfisematous atau PPOK. Selama prosedur pembedahan, test AGD, hitung
jenis darah, koagulasi, elektrolit, laktat, dan kadar glukosa harus ada di samping
pasien. 12
Peran Anestesi Regional dan Blok Saraf pada Pasien Sepsis
Blok saraf perifer mungkin efektif dalam meminimalkan respon simpatis
terhadap rangsang nyeri, dan disesuaikan dengann kondisi pasien. Walaupun
24

demikian, adanya koagulopati, infeksi lokal atau sistemik, dan anestesi lokal
mungkin tidak bekerja dengan adanya infeksi atau asidosis mungkin membatasi
penggunaan teknik regional pada pasien sepsis. Neuraxial block (anestesi spinal
dan epidural) harus diberikan dengan hati-hati, karena efek hemodinamiknya sulit
untuk dikembalikan. Tes koagulasi terbaru yang menunjukkan koagulasi normal
sangat penting. 12
Lebih dari 700000 neuraxial block dikonduksi setiap tahun di UK. Insiden
cedera permanen dari CNB sekitar 4,2 2 (95% CI 2.96.1) per 100 000 dan
paraplegia atau meninggal 1,8 (95% CI 1.03.1) per 100 000 kasus. 12
Tahap Akhir Tindakan Bedah
Sebagai kesimpulan pada prosedur pembedahan, pemberian agen blok
neuromuskular untuk memfasilitasi penutupan pembedahan di abdomen atau
thoraks dapat dipertimbangkan. Hilangnya darah harus minimal sebelum
meninggalkan ruang operasi. Pada pasien yang membutuhkan operasi tambahan,
pasien sakit sangat berat, analgesik, sedasi dan ventilasi mekanik dipertahankan
setelah tahap akhir pembedahan. 12
3.3

Manajemen Pasca Operasi


Penilaian pre resusitasi penting dilakukan untuk menghitung skor

APACHE rawat inap intensif dan bukan pada pasien yang tidak berkembang
setelah resusitasi dan prosedur pembedahan. Infus vasopresor yang berkelanjutan
harus diatur agar sesuai dengan volum intravaskuler sekarang dengan
menggunakan pengaturan tekanan rendah, FIO2 tinggi, dan alarm. Tidal volum
yang

rendah

(sampai

6 ml

kg-1) dan

permissive

hypercapnia

dapat

dipertimbangkan, asalkan pH arteri tidak menurun di bawah 7,20. 39 Mode


Pressure-controlled atau volume-control pada ventilasi mekanik dapat digunakan.
Tekanan transpulmoner dibatasi 25-30 cm H2O untuk meminimalkan kerusakan
parenkim.41 Penggunaan PEEP tinggi (10-15 cmH2O) dibatasi

oleh derajat

instabilitas hemodinamik. FIO2 dapat diturunkan (contoh 60%) untuk mencapai

25

SpO2 93-95%. Terapi antimikroba yang dimulai sebelum operasi harus diteruskan
di ICU.38,39,41
Durasi terapi harus dibatasi 7-10 hari.17,31 Pasien dengan strategi transfusi
sel darah merah restriksi (transfusi dihindari kecuali Hb <7 g/dL) memiliki angka
mortalitas lebih rendah (22 vs 28%) dibanding mereka yang ditransfusi dengan
level Hb yang lebih tinggi, dengan kemungkinan pengecualian pasien dengan
infark miokard akut dan unstable angina.42 FFP digunakan untuk mengkoreksi
abnormalitas pembekuan darah hanya jika perdarahan klinis atau direncanakan
tindakan invasif lainnya. Platelet ditransfusikan jika 5000 mm-3 atau jika antara
5000 dan 30 000 mm-3 dengan resiko perdarahan yang signifikan. Recombinant
human activated protein C (rhAPC) dapat dipertimbangkan pada pasien dewasa
dengan sepsis disertai disfungsi organ dengan penilaian klinis kematian resiko
tinggi. Kontrol glikemik yang adekuat (<8.5 mmol litre-1) penting untuk
mengontrol proses sepsis.43,42
Nutrisi enteral melaui selang nasogastrik merupakan pilihan terbaik untuk
mencapai integritas enterosit dan memberi makan pasien sepsis. Obat proteksi
gastrointestinal (profilaksis stres ulkus) dan obat antiemetik juga diresepkan.44
Hidrokortison intravena dapat dipertimbangkan ketika hipotensi tidak
berespon dengan resusitasi dan vasopresor. Selama 7 hari percobaan dengan dosis
rendah hidrokortison dan fludrkortison mengurangi risiko kematian pada pasien
dengan syok sepsis dan insufisiensi adrenal relatif tanpa meningkatkan efek
samping.33
Hidrokortison dengan dosis 200 mg per hari dibagi 4 dosis atau infus yang
berkelanjutan dengan dosis 240 mg per hari selama 7 hari direkomedasikan untuk
syok sepsis di ruang ICU.24,45 Terdapat penurunan mortalitas pada pasien yang
memperoleh vasopresin dibanding yang memperoleh norepinefrin (36% vs 45%,
P=0.03). pasien sepsis yang tidak menerima kortikosteroid, penggunaan
vasopresin dihubungkan dengan peningkatan mortalitas dibanding dengan
norepinefrin (34% vs 21%, P=0.05). 12
Gagal ginjal akut terjadi pada 23% pasien dengan sepsis berat. Terapi
penggantian ginjal dapat dilakukan untuk mengkoreksi asidosis, hiperkalemi atau
kelebihan cairan dan dapat berlanjut sampai nekrosis tubular akut sembuh.
26

Sodium bikarbonat tidak dianjurkan untuk mengkoreksi asidosis kecuali pH <7,1.


Terapi ginjal berkelanjutan lebih praktis pada pasien yang hemodinamik tidak
stabil. Sementara itu, penelitian menunjukkan bahwa hemodialisis setiap hari
memberikan hasil lebih baik dibanding hemodialisis 2 hari sekali, kontrol uremia,
hipotensi lebih sedikit selama hemodialisis dan kesembuhan gagal ginjal akut
lebih cepat.46 Analgesik dan sedatif dilanjutkan melalui infus, tetapi penggunaan
berlebihan tidak dianjurkan.
Kesimpulannya, sepsis berat merupakan masalah utama kesehatan, dengan
angka kematian tinggi. Pasien dengan sindrom sepsis berat sering membutuhkan
pembedahan untuk mengontrol sumber infeksi. Dokter anestesi memiliki peran
penting dalam mengkoordinasi dan melakukan resusitasi dan strategi terapeutik
untuk mengoptimalkan hasil. Pemberian antimikroba intravena penting dilakukan.
Resusitasi

perioperatif,

bertujuan

untuk

mengoptimalkan

perfusi

organ,

berdasarkan penggunaan cairan, vasopresor dan inotrop. Manajemen intraoperatif


memerlukan induksi anestesi yang hati-hati, menggunakan dosis efektif terendah.
Pada pemeliharaan anestesi, mengoptimalkan status volum, menghindari cedera
paru selama ventilasi mekanik dan pengawasan terus menerus dari AGD, indeks
hematologi dan ginjal, dan level elektrolit. Perawatan pasca operasi tumpang
tindih dengan manajemen berkelanjutan pada pasien sindrom sepsis berat yang
dirawat di ICU. Perawatan pasien sakit kritis yang membutuhkan anestesi dan
pembedahan akan ditingkatan dengan mencoba strategi terapi yang menjanjikan,
sebagi contoh levosimendem atau dukungan inotropik intraoperatif, pada
percobaan uji klinis yang telah didesain dengan baik.

BAB IV
PENUTUP

27

Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan adanya hiperperfusi jaringan


atau gagal organ multipel. Sepsis berat umumnya dijumpai pada kalangan usia
lanjut, pasien immunocompromised, dan pasien dengan penyakit kritis. Sepsis
berat dapat disebabkan oleh penyebab infeksi dan non-infeksi. Penyebab infeksi
terbanyak adalah bakteri gram negatif disusul oleh bakteri gram positif, jamur,
virus, dan parasit. Penyebab non-infeksi, meliputi trauma atau perdarahan hebat
dan penyakit sistemik akut, seperti infark miokardium, emboli paru, dan
pankreatitis akut.
Patofisiologi sepsis sangat kompleks karena melibatkan interaksi antara
proses

infeksi

kuman

patogen, inflamasi

dan jalur koagulasi.

Sepsis

dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi dan


sitokin antiinflamasi.

Interaksi sitokin akan menimbulkan peradangan dan

koagulasi yang menyebabkan hipoperfusi organ, kegagalan organ dan akhirnya


kematian. Manifestasi klinis sepsis berat bervariasi dari invasi mikroba ke aliran
darah dengan tanda awal gangguan sirkulasi (takikardia, takipnu, vasodilatasi
perifer, demam atau hipotermi) hingga kolaps sirkulasi, kegagalan sistem
multiorgan bahkan kematian.
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
pemeriksaan

laboratorium,

pemeriksaan

radiologis,

dan

pemeriksaan

mikrobiologi.
Manajemen sepsis berat dan syok septik bersifat kompleks dan
multidisipliner. Manajemen sepsis berat, meliputi resusitasi cairan, pemberian
antibiotika, pengendalian fokal infeksi, penggunaan vasopressor, pada keadaan
syok septik, terapi inotropik, pemberian steroid, pemberian recombinant human
activated protein C (rhAPC), penggunaan ventilator mekanik pada ARDS,
pengendalian ketat kadar gula darah, pemberian transfusi darah sesuai indikasi,
terapi hemodialisis sesuai dengan indikasi dan pencegahan trombosis vena dalam
sesuai dengan indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suharjo JB, Cayono B. Terapi Antibiotika Empiris pada Sepsis Berdasarkan
Organ Terinfeksi. Dexa Media 2007; 2(20): 85-90.
28

2. Napitupulu HH. Sepsis. Anestesia & Critical Care 2010; 3(28): 1-9.
3. Battaglina FS, Filhob GRO. SBA Recommendations for Anesthetic
Management of Septic Patient. Rev Bras Anestesiol 2013;63(5):377-384.
4. Eissa D, Carton EG, Buggy DJ. Anaesthetic management of patients with
severe sepsis. Br J Anaesth 2010; 105: 73443.
5. Dunser MW, Festic E, Dondorp A, et. al. Recommendations for sepsis
management in resource-limited settings. Intensive Care Med 2012; 38:557
574.
6. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003; 31:1250
1256.
7. Sodik DC, Pradipta IS, Lestari K. Manajemen Terapi Sepsis. Bandung:
Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran; 2010. h. 1-2.
8. Farhana N. Hubungan Pemberian Beras Angkak Merah (Monascus purpureus)
Terhadap Hitung Limfosit pada Mencit Balb/C Model Sepsis [skripsi].
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret; 2010. h. 7, 17-19.
9. Saraswati PFD. Faktor yang Berhubungan Dengan Hasil Tes Prokalsitonin
pada Sepsis: Studi Kasus di RSUP Dr. Kariadi [laporan akhir penelitian].
Semarang: Fakultas Kedokteran Diponegoro; 2012. h. 23-28.
10. Sander MA. Konsep Baru dalam Penanganan Sepsis pada Pasien Bedah:
Aplikasi Klinis Berdasarkan Ilmu Pengetahuan Dasar. 2005; 1(1): 12-17.
11. Oematan Y, Manoppo YIC, Runtunuwu AL. Peran Inflamasi dalam
Patofisiologi Sepsis dan Syok Septik pada Anak. Jurnal Biomedik 2009;
1(3):166-173.
12. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et. al. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine 2013;
41 (2): 582-637.
13. D. Eissa, E. G. Carton and D. J. Buggy. Anaesthetic management of patients
with severe sepsis. British Journal of Anaesthesia 105 (6): 73443 (2010)
14. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. International Surviving Sepsis
Campaign Guidelines Committee; American Association of Critical-Care
29

Nurses; American College of Chest Physicians; American College of


Emergency Physicians; Canadian Critical Care Society; European Society of
Clinical Microbiology and Infectious Diseases; European Society of Intensive
Care Medicine; European Respiratory Society; International Sepsis Forum;
Japanese Association for Acute Medicine; Japanese Society of Intensive Care
Medicine; Society of Critical Care Medicine; Society of Hospital Medicine;
Surgical Infection Society; World Federation of Societies of Intensive and
Critical Care Medicine. Surviving Sepsis Campaign: international guidelines
for management of severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care Med 2008;
36: 296327. Erratum in: Crit Care Med 2008; 36: 13946
15. Ferrer R, Artigas A, Levy MM, et al. Edusepsis Study Group. Improvement in
process of care and outcome after a multicenter severe sepsis educational
program in Spain. J Am Med Assoc 2008; 299: 2294303
16. Levy MM, Dellinger RP, Townsend SR, et al. Surviving Sepsis Campaign.
The Surviving Sepsis Campaign: results of an international guideline-based
performance improvement program targeting severe sepsis. Crit Care Med
2010; 38: 6834
17. Handelsman J, Maki DG. Does combination antimicrobial therapy reduce
mortality in Gram-negative bacteraemia? A meta-analysis. Lancet Infect Dis
2004; 4: 51927
18. Finfer S, Bellomo R, Boyce N, et al. The SAFE study: a comparison of
albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit. N Engl J
Med 2004; 350: 224756
19. Gattinoni L, Brazzi L, Pelosi P, et al. A trial of goal-oriented hemodynamic
therapy in critically ill patients. N Engl J Med 1995; 333: 102532
20. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early Goal-Directed Therapy
Collaborative Group. Early goal-directed therapy in the treatment of severe
sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001; 345: 136877
21. LeDoux D, Astiz ME, Carpati CM, et al. Effects of perfusion pressure on
tissue perfusion in septic shock. Crit Care Med 2000; 28: 272932
22. Kern JW, Shoemaker WC. Meta-analysis of hemodynamic optimization in
high-risk patients. Crit Care Med 2002; 30: 168692
30

23. Brunkhorst FM, Engel C, Bloos F, et al. German Competence Network Sepsis
(SepNet). Intensive insulin therapy and pentastarch resuscitation in severe
sepsis. N Engl J Med 2008; 358: 12539
24. Russell JA, Walley KR, Gordon AC, et al. Dieter Ayers for the Vasopressin
and Septic Shock Trial Investigators. Interaction of vasopressin infusion,
corticosteroid treatment, and mortality of septic shock. Crit Care Med 2009;
37: 811
25. Djillali A, Vigno P, Renault A, et al. for the CATS Study Group.
Norepinephrine plus dobutamine versus epinephrine alone for management of
septic shock: a randomized trial. Lancet 2007; 370: 67684
26. American Society of Anaesthesiologists: Task Force on Blood Component
Therapy: practice guidelines for blood component therapy. Anesthesiology
1996; 84: 73247
27. Fernandes CJ, Akamine N, DeMarco FVC, et al. Red blood cell transfusion
does not increase oxygen consumption in critically ill septic patients. Crit Care
2001; 5: 3627
28. Hunter JD, Doddi M. Sepsis and the heart. Br J Anaesth 2010; 104: 311
29. Morelli A, De CS, Teboul JL, et al. Effects of levosimendan on systemic and
regional haemodynamics in septic myocardial depression. Intensive Care Med
2005; 31: 63844
30. Hayes MA, Timmins AC, Yau EHS, et al. Elevation of systemic oxygen
delivery in the treatment of critically ill patients. N Engl J Med 1994; 330:
171722
31. Kumar A. Optimizing antimicrobial therapy in sepsis and septic shock. Crit
Care Clin 2009; 25: 73351, viii
32. Kollef MH, Levy NT, Ahrens TS, et al. The use of continuous IV sedation is
associated with prolongation of mechanical ventilation. Chest 1998; 114: 541
8
33. The Acute Respiratory Distress Syndrome Network: ventilation with lower
tidal volumes as compared with traditional tidal volumes for acute lung injury
and the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med 2000; 342: 13018

31

34. Laffey JG, OCroinin D, McLoughlin P, Kavanagh BP. Permissive


hypercapniarole in protective lung ventilatory strategies. Intensive Care
Med 2004; 30: 34756
35. Allaouchiche B, Duflo F, Tournadre JP, Debon R, Chassard D. Influence of
sepsis on sevoflurane minimum alveolar concentration in a porcine model. Br
J Anaesth 2001; 86: 8326
36. Biais M, Nouette-Gaulain K, Cottenceau V, Revel P, Sztark F. Uncalibrated
pulse contour-derived stroke volume variation predicts fluid responsiveness in
mechanically ventilated patients undergoing liver transplantation. Br J
Anaesth 2008; 101: 7618
37. Derichard A, Robin E, Tavernier B, et al. Automated pulse pressure and stroke
volume variations from radial artery: evaluation during major abdominal
surgery. Br J Anaesth 2009; 103: 67884
38. Grasso S, Stripoli T, De Michele M, et al. ARDSnet ventilatory protocol and
alveolar hyperinflation: role of positive end-expiratory pressure. Am J Respir
Crit Care Med 2007; 176: 7617
39. Hager DN, Krishnan JA, Hayden DL, et al. Tidal volume reduction in patients
with acute lung injury when plateau pressures are not high. Am J Respir Crit
Care Med 2005; 172: 12415
40. Insler SR, Sessler DI. Perioperative thermoregulation and temperature
monitoring. Anesthesiol Clin 2006; 24: 82337
41. Ferguson ND, Frutos-Vivar F, Esteban A, et al. Airway pressures, tidal
volumes, and mortality in patients with acute respiratory distress syndrome.
Crit Care Med 2005; 33: 2130
42. Hebert PC, Wells G, Blajchman MA, et al. A multicenter, randomized,
controlled clinical trial of transfusion requirements in critical care. N Engl J
Med 1999; 340: 40917
43. Farimani MR, Bajestani NN. Comparison of early enteral feeding versus
parenteral nutrition after resection of esophageal cancer. J Crit Care 2008; 23:
4489
44. Laterre PF, Levy H, Clermont G, et al. Hospital mortality and resource use in
subgroups of the Recombinant Human Activated Protein C Worldwide
32

Evaluation in Severe Sepsis (PROWESS) trial. Crit Care Med 2004; 32:
220718
45. Annane D, Sebille V, Charpentier C, et al. Effect of treatment with low doses
of hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic
shock. J Am Med Assoc 2002; 288: 86271
46. Schiffl H, Lang SM, Fischer R. Daily hemodialysis and the outcome of acute
renal failure. N Engl J Med 2002; 346: 30510

33

Anda mungkin juga menyukai