PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis adalah sindrom klinis yang disebabkan respon inflamasi terhadap
infeksi.1 Sepsis adalah penyakit yang umum dijumpai di ruang perawatan intensif
(ICU). Hampir 1/3 pasien yang masuk ICU adalah pasien sepsis.2
Angka kejadian sepsis meningkat secara bermakna dalam dekade lalu.1,2
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Centers for Disease Control di
Amerika Serikat, dilaporkan bahwa insidensi septikemia meningkat dari 73,6 per
100.000 pasien pada tahun 1979 menjadi 175,9 per 100.000 pasien pada tahun
1987.1 Telah dilaporkan angka kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4
pasien per 100.000 populasi antara tahun 1979 2000 di Amerika Serikat di mana
kejadian sepsis berat berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi.2
Sepsis berat dan syok septik merupakan komplikasi yang mengancam jiwa
akibat suatu infeksi, dan merupakan penyebab kematian tersering di perawatan
intensif.1,3 Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian di Amerika
Serikat.1,2 Tingkat mortalitas akibat sepsis di Amerika mencapai 17,9% pada tahun
2000.3 Walaupun dukungan perawatan pendukung semakin maju, namun angka
kematian di rumah sakit akibat sepsis berat dan syok septik masing masing
sebesar 30% dan 60%.1
Manajemen sepsis berat dan syok septik bersifat kompleks dan
multidisipliner.1,4 Sesuai dengan panduan manajemen sepsis berat dan syok septik
dari the Surviving Sepsis Campaign pada tahun 2004 dan 2008, manajemen sepsis
berat, meliputi resusitasi cairan, pemberian antibiotika, pengendalian fokal
infeksi, penggunaan vasopressor, pada keadaan syok septik, terapi inotropik
(sesuai dengan indikasi), pemberian steroid, pemberian recombinant human
activated protein C (rhAPC) (yang berisiko mengalami mortalitas: skor APACHE
>25, syok septik atau mengalami ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome),
penggunaan ventilator mekanik pada ARDS, pengendalian ketat kadar gula darah,
pemberian transfusi darah sesuai indikasi, terapi hemodialisis sesuai dengan
indikasi dan pencegahan thrombosis vena dalam sesuai dengan indikasi dan
BAB II
SEPSIS BERAT
2.1 Definisi
Sepsis dapat diartikan sebagai respon sistemik terhadap infeksi. Apabila
terjadi respon sistemik tanpa adanya infeksi dikenal sebagai systemic
inflammatory response syndrome, yang ditandai dengan paling tidak 2 dari tanda
berikut: suhu >38C atau <36C, denyut nadi >90 kali/menit, pernafasan >20
kali/menit atau PaCO2<32 mm Hg, dan angka leukosit >12.000/mm3 atau
<4.000/mm3. Seseorang dinyatakan mengalami sepsis berat apabila mengalami
sepsis ditambah dengan adanya gagal organ multipel. Apabila seseorang
mengalami sepsis dengan tekanan darah <90 mmHg, atau Mean Arterial Pressure
(MAP) <60 yang tidak memberikan perbaikan dengan resusitasi cairan, dan
memerlukan vasopressor dinyatakan mengalami syok septik (tabel 1).1,2,4,5
Tabel 2.1 Terminologi dan definisi sepsis berdasarkan kriteria konsensus
American College of Clinical Pharmacy (ACCP) dan Society of Critical Care
Medicine (SCCM)1,2,4,5
Terminologi
Definisi
Systemic
inflammatory Dikatakan SIRS bila didapatkan 2 atau lebih:
response syndrome (SIRS) 1. Suhu >38C atau <36C
2. Denyut nadi >90x/menit
3. Respirasi >20x/menit atau PCO2<32 mmHg
4. Lekosit darah >12.000/mm3 atau <4.000 mm3
Sepsis
Sindrom klinis yang ditandai dengan adanya infeksi
dan SIRS
Sepsis berat
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ,
hipoperfusi atau hipotensi, termasuk asidosis laktat,
oliguria dan penurunan kesadaran
Syok septik
Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90
mmHg atau MAP <60) yang tidak membaik dengan
resusitasi cairan yang adekuat atau memerlukan
vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah
dan perfusi organ
Karena terbatasnya definisi SIRS dan infeksi, konsensus konferensi
menambahkan daftar tanda inflamasi sistemik yang dapat diamati pada pasien
sepsis pada tabel 2.2. Keadaan yang tergolong sebagai sepsis berat dapat dilihat
pada tabel 2.3.6
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Sepsis Berat6
Variabel Umum
Demam (>38,30C)
Hipotermia (temperatur inti < 360C)
Denyut jantung > 90 x/menit atau lebih dari 2SD dari nilai normal usia tersebut
Takipnea
Perubahan status mental
Edema signifikan atau keseimbangan cairan positif (>20 mL/kg/24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa riwayat
diabetes
Variabel inflamasi
Leukositosis (kadar leukosit > 12.000 /L)
Leukopenia (kadar leukosit < 4.000 /L)
Kadar leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur
Protein reaktif-C plasma lebih dari 2SD di atas nilai normal
Prokalsitonin plasma lebih dari 2 SD di atas nilai normal
Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (tekanan darah sistolik < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau
penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 SD
di bawah nilai normal)
Variabel disfungsi organ
Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
Oliguria akut (volume urin < 0,5 mL/kg/jam selama sedikitnya 2 jam walaupun
resusitasi cairan adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0.5 mg/dL atau 44,2 mol/L
Kelainan koagulasi (INR > 1.5 atau aPTT > 60 s)
Ileus (bising usus menghilang)
Trombositopenia (hitung platelet < 100.000 /L)
Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70 mol/L)
Variabel perfusi jaringan
Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
Berkurangnya pengisian kapiler atau bintik-bintik kemerahan
kasus yang dirawat di rumah sakit disebabkan oleh sepsis berat dan syok septik.
Kebanyakan (66,7%) diagnosis sepsis ditegakkan saat hari pertama pasien dirawat
di ICU dan sisa 32,3% kasus sepsis didiagnosis pada hari-hari berikutnya. 3 Sepsis
berat umumnya dijumpai pada kalangan usia lanjut, pasien immunocompromised,
dan pasien dengan penyakit kritis.4
Sepsis merupakan penyebab utama kematian di ICU. Sepsis merupakan
penyebab kedua kematian terbanyak pada pasien ICU non-koroner. Walaupun
penangan sepsis telah berkembang dalam 10-15 tahun terakhir, angka mortalitas
akibat sepsis masih tinggi sekitar 30-50%.4 Tingkat mortalitas akibat sepsis di
Amerika Serikat, Brazil, dan Eropa masing-masing sekitar 28,6%, 52,5%, dan
55,9%.3 Selama Januari 2006-Disember 2007 di bagian PICU/NICU Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, terdapat angka kejadian sepsis 33,5%
dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2%.8
2.3 Etiologi
Sepsis berat dapat disebabkan oleh penyebab infeksi dan non-infeksi (tabel
2.4). Penyebab infeksi lebih sering dijumpai dan lebih mudah diterapi. Oleh
karena itu, pada pasien yang menunjukkan tanda klinis inflamasi sistemik (SIRS),
penyebab infeksi harus dicari secara aktif. Infeksi yang didapat dari komunitas
lebih mudah untuk dikenali daripada infeksi nosokomial. Infeksi yang
menyebabkan sepsis, meliputi infeksi sistem saraf pusat (meningitis atau
ensefalitis), infeksi kardiovaskuler (endokarditis infektif), infeksi saluran
pernapasan (pneumonia), infeksi traktus gastrointestinal (peritonitis) atau infeksi
traktus urinarius (pielonefritis). Penyebab non-infeksi, meliputi trauma atau
perdarahan hebat dan penyakit sistemik akut, seperti infark miokardium, emboli
paru, dan pankreatitis akut. 4
Sebagian besar kasus sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatif
(55,26%) diikuti oleh bakteri gram positif (39,47%) dan jamur atau sel ragi
(5,26%).9 Walaupun infeksi bakteri merupakan penyebab infeksi yang paling
sering ditemukan, infeksi virus, parasit, dan fungi juga dapat menyebabkan syok
septik.3 Jamur oportunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa (Falciparum
malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis. Bakteriemia gram negatif juga
berkaitan erat dengan syok septik dan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS). Syok septik terjadi pada 20%-35% penderita bakteriemia gram negatif.9
Tabel 2.4 Etiologi Sepsis Berat4
Penyebab Infeksi
Infeksi sistem saraf pusat
Infeksi sistem kardiovaskuler
Infeksi saluran pernapasan
Infeksi ginjal
Infeksi traktus gastrointestinal
Infeksi kulit dan jaringan lunak
Infeksi tulang dan sendi
Penyebab Non-infeksi
Trauma berat
Perdarahan
Komplikasi pembedahan
Komplikasi aneurisme aorta
Infark miokardium
Emboli paru
Tamponade jantung
Perdarahan subaraknoid
Luka bakar
Pankreatitis akut
Overdosis/toksisitas obat
Ketoasidosis diabetik
Insufisiensi adrenal
Anafilaksis
2.4 Patogenesis
Patofisiologi sepsis sangat kompleks karena melibatkan interaksi antara
proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi. 8,9 Faktor-faktor
penentu untuk terinfeksi atau tidak oleh mikroorganisme tergantung pada
patogenitas dari mikroorganisme, status pertahanan tubuh host, lingkungan
mikroorganisme, dan adanya benda asing. Mekanisme pertahanan normal tubuh
agar tidak terjadi infeksi terdiri atas kulit dan membran mukosa, sistem
fagositosis, imunitas humoral, dan imunitas seluler.10 Kaskade infamasi diinisiasi
oleh pelepasan sitokin, sedangkan kaskade koagulasi diinisiasi oleh adanya faktor
Hageman.8
Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai injury events yang disebut sebagai
aktivator yang terdiri atas mikroorganisme, produk dari mikroorganisme
(endotoksin dan eksotoksin), jaringan nekrotik, trauma pada jaringan lunak, dan
reperfusi iskemik. Seluruh aktivator tersebut dapat bertindak sendiri atau bersamasama sebagai pemicu untuk mulai terjadinya reaksi inflamasi yang memicu reaksi
berantai yang disebut inisiator sehingga menghasilkan respons reaksi inflamasi
SIRS.10
7
manifestasi
septikemia
melalui
produk
endotoksin
yang
dihasilkannya.9 Endotoksin berasal dari dinding sel bakteri gram negatif yang
terdiri atas lapisan membran terdalam dan membran terluar. Pada lapisan
membran terluar, terdapat protein lipopolisakarida. yang mempunyai efek toksik.
Bentuk molekul lipopolisakarida sangat kompleks dan terdiri dari 3 komponen
utama, yaitu polisakardia antigen O, inti, dan lipid A. Secara keseluruhan,
senyawa lipopolisakarida bersifat sangat toksik, baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap berbagai jenis sel efektor Hal yang sangat penting adalah
kemampuan lipopolisakarida sebagai pemicu terlepasnya mediator endogen dari
berbagai sel efektor, yaitu mediator primer. Target sel utama atau efektor utama
yang terpicu oleh endotoksin adalah sel endotel pembuluh darah.10
Endotoksin sendiri dapat menghasilkan efek toksik langsung terhadap sel,
sedangkan mediator yang terlepas akibat terpicu oleh endotoksin disebut sebagai
mediator sekunder yang terdiri dari berbagai sitokin yang diproduksi dan
dilepaskan secara luas oleh sel efektor, yaitu makrofag, monosit, dan bermacam
jenis sel lainnya yang menghasilkan gejala sepsis.9,10
Endotoksin merupakan stimulan langsung makrofag yang sangat kuat dan
mampu memprovokasi proses sekresi sitokin di dalam jaringan yang mengalami
9
inflamasi. Apabila sitokin dan mediator yang terbentuk dalam jumlah besar, akan
masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan merangsang sel-sel makrofag melalui
terjadinya reaksi reseptor-antigen dengan mekanisme yang sangat kompleks.
Terikatnya reseptor antigen lipopolisakarida tersebut menyebabkan terangsangnya
sekresi berbagai sitokin, yaitu faktor nekrosis tumor- (TNF- ), interleukin-1
(IL-1), IL-6, dan IL-8. Sel makrofag yang teraktivasi lipopolisakarida tersebut
segera meningkatkan regulasi transkripsi dan translasi dari gen TNF- sehingga
mampu dihasilkan 10.000 kali lipat peningkatan kadar ekspresi TNF-. Setelah
TNF- dan IL-1 dilepaskan, pengatuan efek mulai terikat serta berinteraksi
dengan reseptor spesifik seluler pada setiap jenis sitokin.9,10
Bakteri gram positif tidak memiliki endotoksin. Manifestasi yang terjadi
pada sepsis oleh bakteri ini disebabkan oleh adanya bakteri ini sendiri di dalam
darah. Syok septik yang terjadi pada infeksi bakteri gram positif diakibatkan oleh
adanya komponen spesifik eksotoksin. Beberapa peneliti lain menyimpulkan
bahwa ada komponen dinding sel maupun murein bakteri gram positif yang dapat
menggantikan endotoksin.9
Walaupun demikian, pada proses infeksi berat, dapat terjadi respons
sitokin yang berlebihan serta tidak terkontrol secara baik. Sekresi sitokin yang
berlebihan dan diikuti dengan sekresi antagonisnya dalam beberapa hari berturutturut akan menghasilkan akibat yang sangat berbahaya (auto toxicus).10
Kejadian jejas reperfusi iskemik dapat dijelaskan sebagai berikut.10
1. Terjadinya iskemik sebagai akibat hipoperfusi-hipotensi sehingga timbul
keadaan turunnya secara hebat oksigenasi jaringan/hipoksia yang berakibat
timbulnya perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob di tingkat seluler
dengan segala akibatnya.
2. Terjadinya reperfusi sebagai akibat membaiknya kembali hipoperfusihipotensi yang disertai oksigen dalam jumlah besar.
Saat ini, telah diketahui adanya 2 komponen dasar yang terjadi pada jejas
reperfusi iskemik, yaitu10
1. Pada saat terjadi gangguan reperfusi, sejumlah kapiler tertentu dan mungkin
cabang-cabang kecil arteriol tetap tertutup oleh trombus sehingga terjadi
10
Mekanisme
Perubahan
kadar
neurotransmitter
pada sawar darahotak;
ganguan
fungsi reseptor
Sistem kardiovaskuler
Hipovolemia,
gangguan
kontraktilitas, takikardia,
peningkatan curah jantung,
penurunan
resistensi
sistemik,
terganggunya
respons terhadap agen
vasopressor, sesak napas,
ortopnea,
peningkatan
tekanan vena
Community-acquired:
Enterococcus,
Streptococcus
bovis,
Streptococcus
sp;
Staphylococci
koagulase
negatif, Coxiella burnetii;
Staphylococcus
aureus,
Campylobacter, E.coli; fungus
Peningkatan
permeabilitas
mikrovaskuler dan
hipoalbunemia
Community-acquired:
Staphylococcus sp; S. aureus
resisten
metisilin,
Staphylococcus
epidermidis
resisten
metisilin;
Staphylococcus
koagulase
negatif resisten penisilin
Depresi miokardium
Disfungsi penurunan
reseptor adrenergik
katup jantung
11
Saluran pernapasan
Sistem pencernaan
Sistem
Hipoksemia,
sianosis,
takipnea, penggunaan otot
bantu napas, perubahan
sputum
(volume;
purulensi)
Peningkatan
permeabilitas
kapiler;
alveolar
flooding
Rekruitmen
neutrofil ke paru
Mikroemboli paru
akibat
agregasi
platelet
Muntah,
diare,
nyeri
abdomen, nyeri tekanan,
gagal hati, kolestasis
Frekuensi,
disuria,
hematuria, nyeri region
Flank, gagal ginjal
Community-acquired:
S.
pneumonia,
Haemophilus
influenza, Legionella sp
Nosokomial: basil gram negatif
aerob
Community-acquired: E. coli,
Bacteroides fragilis
Nosokomial: basil gram negatif
anaerob
Community-acquired: patogenpatogen di atas
Nosokomial:
di atas
patogen-patogen
Gangguan hati ditandai dengan adanya hepatomegali dan total bilirubin > 2mg/dl.
Adanya peningkatan bilirubin terkonjugasi dan peningkatan GGT sering terjadi.2,4
2.5.4 Gangguan Hematologi dan Koagulasi
Penurunan sel darah merah tanpa adanya perdarahan dan penurunan trombosit
<100.000/mm3 sering ditemukan. Sepsis menambah koagulasi dan menurunkan
fibrinolisis.
Endogenous-activated
protein
yang
mencegah
trombosis
2.6 Diagnosis
Pengenalan dini dan teliti dari tanda dan gejala sepsis diharuskan dalam
penerimaan pasien. Faktor risiko, seperti umur, jenis kelamin, ras, status
13
imunocompromised, dan pemakaian alat-alat invasif atau kondisi lain yang dapat
menyebabkan kolonisasi bakteri. Temuan klinis dan laboratorium sangat penting.2
Demam adalah salah satu tanda infeksi walaupun hipotermia dapat terjadi
pada pasien-pasien tertentu. Tanda-tanda nonspesifik lainnya, seperti takipneu dan
hipotensi sebaiknya juga diperiksa. Adanya gangguan organ dan beratnya
gangguan juga harus diperiksa.2
Penyebab infeksi juga dicari dengan pemeriksaan klinis yang cermat dan
dapat dilengkapi dengan pemeriksaan x-ray, CT-scan, ultrasonografi atau yang
lainnya.2 Pemeriksaan radiologi penting untuk mengkonfirmasi lokasi infeksi,
menyingkirkan diagnosis banding, dan membantu prosedur kontrol sumber infeksi
secar bedah dan radiologis. CT-scan merupakan modalitas pencitraan yang paling
baik untuk infeksi jaringan lunak kompleks dan infeksi pada organ dalam
abdomen dan toraks. Ultrasonografi pada traktus biliaris dan traktus urinarius
dapat dilakukan. Interpretasi ahli radiologi terhadap hasil pencitraan membantu
merencanakan strategi manajemen optimal dalam penanganan sepsis.4
Identifikasi sumber infeksi dan agen microbial penting selama sepsis.
Pemeriksaan mikrobiologi sangat diperlukan dan pemberian terapi antibiotik yang
adekuat harus dimulai sesegera mungkin. Kecurigaan sepsis harus diikuti dengan
pemeriksaan kultur yang diambil dari darah dan fokus lain yang dicurigai.
Pemeriksaan lainnya tidak boleh tertunda dan dapat melengkapi informasi. Kultur
darah yang positif hanya didapat pada 50% penderita. Sekitar 20-30% penderita
sepsis tidak ditemukan penyebab bakterial. Infeksi secara umum dapat disebabkan
oleh bakteri, virus dan jamur.1,2
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan sepsis berat dan syok septik saat ini bertujuan untuk
mangatasi infeksi, mencapai hemodinamik yang stabil, meningkatkan respon
imunitas, dan memberikan support untuk organ dan metabolisme. Surviving
Sepsis Campaign (SSC) adalah prakarsa global yang terdiri dari organisasi
internasional dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan
evidence-based dan rekomendasi untuk penanganan sepsis berat dan syok septik.
2.7.1 Sepsis Resuscitation Bundle (initial 6 h)
14
Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien
didiagnosis sepsis. Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien
masuk di ICU. Identifikasi awal dan resusitasi yang menyeluruh sangat
mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama (golden hours) merupakan
kesempatan yang kritis pada pasien. Resusitasi segera diberikan bila terjadi
hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/l. Resusitasi awal tidak hanya
stabilisasi hemodinamik, tetapi juga mencakup pemberian antibiotik empirik dan
mengendalikan penyebab infeksi.
2.7.1.1 Resusitasi Hemodinamik
Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan tidak
dapat memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat, vasopressor dapat
diberikan. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP 65mmHg, produksi urin 0,5
cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava superior 70% atau saturasi mixed vein
65%
2.7.1.2 Terapi Inotropik dan Pemberian PRC
Jika saturasi vena sentral <70% pemberian infus cairan dan/atau pemberian PRC
dapat dipertimbangkan. Hematokrit 30% diinginkan untuk menjamin hantaran
oksigen. Meningkatkan indeks jantung dengan pemberian dobutamin sampai
maksimum 20ug/kg/m dapat dipertimbangkan.2,14
2.7.1.3 Terapi Antibiotik
Terapi
antibiotika
hanya
merupakan
satu
komponen
penunjang
spesifik pasien (usia, fungsi organ, tempat infeksi dan derajat penyakit/sepsis), (2)
faktor
organisme
penyebab
komunitas/nosokomial)
dan
(peta
(3)
kuman/pola
faktor
antibiotika
resistensi,
kuman
(farmakokinetik-
BAB III
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN SEPSIS BERAT
3.1
Manajemen Perioperatif
17
Tabel 3.1 Manifestasi klinis, Patofisiologi dan Patogen pada Sepsis Berat
18
Terapi Antibiotik
Antibiotik intravena penting diberikan sedini mungkin setelah
diagnosis sepsis berat dan syok sepsis ditegakkan. Tidak ada bukti bahwa
pemberian antimikroba bermanfaat dengan menunda sampai pembedahan
dimulai atau sampai hasil kultur mikrobiologi tersedia. Sampel kultur yang
tepat harus didapatkan sebelum memberikan terapi antimikroba lini
pertama.17 Obat antimikroba lebih baik diberikan secara intravena dan
dengan dosis tepat untuk mencapai konsentrasi terapeutik. Pilihan terapi
harus berdasarkan riwayat klinis, pemeriksaan fisik, pathogen penyebab,
penetrasi optimal dari antimikroba ke jaringan yang terinfeksi, dan pola
sensitivitas agen antimikroba lokal. Mula-mula, agen spectrum luas harus
diberikan dengan satu atau lebih agen yang aktif melawan bakteri/ jamur
pathogen.13
Resusitasi Hemodinamik
19
Tujuan
penilaian
resusitasi
preoperatif
untuk
mengembalikan
keberhasilan
dan
keamanan
dengan
epinefrin
sendiri
pasien dengan syok sepsis dan fraksi ejeksi <45% menetap >48 h setelah
pengobatan konvensional menemukan bahwa indeks jantung dan indeks
fungsi renal berkembang setelah pemberian levosimendem, diabndingkan
dengan dobutamin.28,29 Walaupun demikian, uji klinis lebih lanjut
diperlukan sebelum levosimendem diterima sebagai terapi syok sepsis.
Terapi oksigen tambahan penting pada pasien dengan sepsis berat
bahkanjika mereka tidak memiliki tanda sulit bernafas. Intubasi trakea dan
ventilasi mekanik sesegera mungkin dapat dipertimbangkan jika tingkat
kesadaran pasien rendah atau jika terdapat distress yang progresif dan
hipoksia.30
3.2
Manajemen Intraoperatif
Tujuan utama dari periode intraoperatif adalah keselamatan dan perawatan
kehilangan
volume
intravaskular,
perdarahan,
dan
stres
pembedahan.
22
pasti menghasilkan hiperkapnia (khusunya PaCO2 > 8-9 kPa), yang ditoleransi
dan muncul dengan relatif aman pada jangka waktu pendek (lebih dari 3-4 hari).34
Pemeliharaan
Pilihan pemeliharaan anestesi termasuk agen inhalasi, intravena, dan opioid,
sebagai contoh infus remifentanil dengan dosis 0.250.5 g/kgmin. Dokter
anestesi harus memilih teknik yang menurutnya paling cocok dengan faktor resiko
dan komorbid pasien, dan sesuai pengalaman dan keahliannya. MAC agen
inhalasi berkurang pada pasien sepsis.35 Pada pasien dengan disfungsi paru yang
nyata, konsentrasi agen anestesi yang stabil di otak lebih mudah dicapai dengan
agen intravena dibanding inhalasi. Apapun teknik yang dipakai, kedalalaman
anestesi yang dicapai dapat diperkirakan dengan menggunakan indeks
Bisppectral. Selama operasi, status hemodinamik dapat dipersulit dengan
kehilangan darah atau pelepasan bakteri sistemik atau endotoksin. Transfusi darah
harus dilakukan jika prosedur bedah dipersulit dengan kehilangan darah yang
banyak.
Resusitasi volum intravaskuler harus dilanjutkan sesuai indikasi selama
prosedur pembedahan. Walaupun CVP cm H2O biasanya merupakan tujuan
hemodinamik resusitasi inisial pada pasien sepsis, nilai CVP intraoperatif dapat
naik dengan peningkatan tekanan intra thorakal dan intrabdomen. Perubahan
petanda dinamik (variasi tekanan nadi, variasi volume sekuncup) memprediksi
respon volum lebih akurat dibandingkan taksiran berdasarkan tekanan (CVP atau
tekanan oklusi arteri pulmoner). Perubahan pada petanda dinamik respon volum
dapat digunakan pada intraoperatif untuk memandu terapi volum intravena,
terutama pada pasien dengan irama sinus reguler dan paru-paru yang diventilasi
oleh ventilasi mekanik terkontrol.36,37
Ada banyak alat untuk memonitor perubahan pada curah jantung secara
berkelanjutan
(kateter
arteri
pulmoner,
Doppler
esofagus,
impedansi
plethysmography) atau jangaka waktu yang berlainan (ekokardiografi transthorakal atau transesofagus, atau saturasi O2 vena campuran yang dinilai secara
serial). Melalui prosedur pembedahan, parameter kardiovaskuler (denyut jantung,
tekanan pengisian jantung, status inotropik, tekanan arteri sistemik) dapat diatur
23
demikian, adanya koagulopati, infeksi lokal atau sistemik, dan anestesi lokal
mungkin tidak bekerja dengan adanya infeksi atau asidosis mungkin membatasi
penggunaan teknik regional pada pasien sepsis. Neuraxial block (anestesi spinal
dan epidural) harus diberikan dengan hati-hati, karena efek hemodinamiknya sulit
untuk dikembalikan. Tes koagulasi terbaru yang menunjukkan koagulasi normal
sangat penting. 12
Lebih dari 700000 neuraxial block dikonduksi setiap tahun di UK. Insiden
cedera permanen dari CNB sekitar 4,2 2 (95% CI 2.96.1) per 100 000 dan
paraplegia atau meninggal 1,8 (95% CI 1.03.1) per 100 000 kasus. 12
Tahap Akhir Tindakan Bedah
Sebagai kesimpulan pada prosedur pembedahan, pemberian agen blok
neuromuskular untuk memfasilitasi penutupan pembedahan di abdomen atau
thoraks dapat dipertimbangkan. Hilangnya darah harus minimal sebelum
meninggalkan ruang operasi. Pada pasien yang membutuhkan operasi tambahan,
pasien sakit sangat berat, analgesik, sedasi dan ventilasi mekanik dipertahankan
setelah tahap akhir pembedahan. 12
3.3
APACHE rawat inap intensif dan bukan pada pasien yang tidak berkembang
setelah resusitasi dan prosedur pembedahan. Infus vasopresor yang berkelanjutan
harus diatur agar sesuai dengan volum intravaskuler sekarang dengan
menggunakan pengaturan tekanan rendah, FIO2 tinggi, dan alarm. Tidal volum
yang
rendah
(sampai
6 ml
kg-1) dan
permissive
hypercapnia
dapat
oleh derajat
25
SpO2 93-95%. Terapi antimikroba yang dimulai sebelum operasi harus diteruskan
di ICU.38,39,41
Durasi terapi harus dibatasi 7-10 hari.17,31 Pasien dengan strategi transfusi
sel darah merah restriksi (transfusi dihindari kecuali Hb <7 g/dL) memiliki angka
mortalitas lebih rendah (22 vs 28%) dibanding mereka yang ditransfusi dengan
level Hb yang lebih tinggi, dengan kemungkinan pengecualian pasien dengan
infark miokard akut dan unstable angina.42 FFP digunakan untuk mengkoreksi
abnormalitas pembekuan darah hanya jika perdarahan klinis atau direncanakan
tindakan invasif lainnya. Platelet ditransfusikan jika 5000 mm-3 atau jika antara
5000 dan 30 000 mm-3 dengan resiko perdarahan yang signifikan. Recombinant
human activated protein C (rhAPC) dapat dipertimbangkan pada pasien dewasa
dengan sepsis disertai disfungsi organ dengan penilaian klinis kematian resiko
tinggi. Kontrol glikemik yang adekuat (<8.5 mmol litre-1) penting untuk
mengontrol proses sepsis.43,42
Nutrisi enteral melaui selang nasogastrik merupakan pilihan terbaik untuk
mencapai integritas enterosit dan memberi makan pasien sepsis. Obat proteksi
gastrointestinal (profilaksis stres ulkus) dan obat antiemetik juga diresepkan.44
Hidrokortison intravena dapat dipertimbangkan ketika hipotensi tidak
berespon dengan resusitasi dan vasopresor. Selama 7 hari percobaan dengan dosis
rendah hidrokortison dan fludrkortison mengurangi risiko kematian pada pasien
dengan syok sepsis dan insufisiensi adrenal relatif tanpa meningkatkan efek
samping.33
Hidrokortison dengan dosis 200 mg per hari dibagi 4 dosis atau infus yang
berkelanjutan dengan dosis 240 mg per hari selama 7 hari direkomedasikan untuk
syok sepsis di ruang ICU.24,45 Terdapat penurunan mortalitas pada pasien yang
memperoleh vasopresin dibanding yang memperoleh norepinefrin (36% vs 45%,
P=0.03). pasien sepsis yang tidak menerima kortikosteroid, penggunaan
vasopresin dihubungkan dengan peningkatan mortalitas dibanding dengan
norepinefrin (34% vs 21%, P=0.05). 12
Gagal ginjal akut terjadi pada 23% pasien dengan sepsis berat. Terapi
penggantian ginjal dapat dilakukan untuk mengkoreksi asidosis, hiperkalemi atau
kelebihan cairan dan dapat berlanjut sampai nekrosis tubular akut sembuh.
26
perioperatif,
bertujuan
untuk
mengoptimalkan
perfusi
organ,
BAB IV
PENUTUP
27
infeksi
kuman
patogen, inflamasi
Sepsis
laboratorium,
pemeriksaan
radiologis,
dan
pemeriksaan
mikrobiologi.
Manajemen sepsis berat dan syok septik bersifat kompleks dan
multidisipliner. Manajemen sepsis berat, meliputi resusitasi cairan, pemberian
antibiotika, pengendalian fokal infeksi, penggunaan vasopressor, pada keadaan
syok septik, terapi inotropik, pemberian steroid, pemberian recombinant human
activated protein C (rhAPC), penggunaan ventilator mekanik pada ARDS,
pengendalian ketat kadar gula darah, pemberian transfusi darah sesuai indikasi,
terapi hemodialisis sesuai dengan indikasi dan pencegahan trombosis vena dalam
sesuai dengan indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suharjo JB, Cayono B. Terapi Antibiotika Empiris pada Sepsis Berdasarkan
Organ Terinfeksi. Dexa Media 2007; 2(20): 85-90.
28
2. Napitupulu HH. Sepsis. Anestesia & Critical Care 2010; 3(28): 1-9.
3. Battaglina FS, Filhob GRO. SBA Recommendations for Anesthetic
Management of Septic Patient. Rev Bras Anestesiol 2013;63(5):377-384.
4. Eissa D, Carton EG, Buggy DJ. Anaesthetic management of patients with
severe sepsis. Br J Anaesth 2010; 105: 73443.
5. Dunser MW, Festic E, Dondorp A, et. al. Recommendations for sepsis
management in resource-limited settings. Intensive Care Med 2012; 38:557
574.
6. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS
International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003; 31:1250
1256.
7. Sodik DC, Pradipta IS, Lestari K. Manajemen Terapi Sepsis. Bandung:
Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran; 2010. h. 1-2.
8. Farhana N. Hubungan Pemberian Beras Angkak Merah (Monascus purpureus)
Terhadap Hitung Limfosit pada Mencit Balb/C Model Sepsis [skripsi].
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret; 2010. h. 7, 17-19.
9. Saraswati PFD. Faktor yang Berhubungan Dengan Hasil Tes Prokalsitonin
pada Sepsis: Studi Kasus di RSUP Dr. Kariadi [laporan akhir penelitian].
Semarang: Fakultas Kedokteran Diponegoro; 2012. h. 23-28.
10. Sander MA. Konsep Baru dalam Penanganan Sepsis pada Pasien Bedah:
Aplikasi Klinis Berdasarkan Ilmu Pengetahuan Dasar. 2005; 1(1): 12-17.
11. Oematan Y, Manoppo YIC, Runtunuwu AL. Peran Inflamasi dalam
Patofisiologi Sepsis dan Syok Septik pada Anak. Jurnal Biomedik 2009;
1(3):166-173.
12. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et. al. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine 2013;
41 (2): 582-637.
13. D. Eissa, E. G. Carton and D. J. Buggy. Anaesthetic management of patients
with severe sepsis. British Journal of Anaesthesia 105 (6): 73443 (2010)
14. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. International Surviving Sepsis
Campaign Guidelines Committee; American Association of Critical-Care
29
23. Brunkhorst FM, Engel C, Bloos F, et al. German Competence Network Sepsis
(SepNet). Intensive insulin therapy and pentastarch resuscitation in severe
sepsis. N Engl J Med 2008; 358: 12539
24. Russell JA, Walley KR, Gordon AC, et al. Dieter Ayers for the Vasopressin
and Septic Shock Trial Investigators. Interaction of vasopressin infusion,
corticosteroid treatment, and mortality of septic shock. Crit Care Med 2009;
37: 811
25. Djillali A, Vigno P, Renault A, et al. for the CATS Study Group.
Norepinephrine plus dobutamine versus epinephrine alone for management of
septic shock: a randomized trial. Lancet 2007; 370: 67684
26. American Society of Anaesthesiologists: Task Force on Blood Component
Therapy: practice guidelines for blood component therapy. Anesthesiology
1996; 84: 73247
27. Fernandes CJ, Akamine N, DeMarco FVC, et al. Red blood cell transfusion
does not increase oxygen consumption in critically ill septic patients. Crit Care
2001; 5: 3627
28. Hunter JD, Doddi M. Sepsis and the heart. Br J Anaesth 2010; 104: 311
29. Morelli A, De CS, Teboul JL, et al. Effects of levosimendan on systemic and
regional haemodynamics in septic myocardial depression. Intensive Care Med
2005; 31: 63844
30. Hayes MA, Timmins AC, Yau EHS, et al. Elevation of systemic oxygen
delivery in the treatment of critically ill patients. N Engl J Med 1994; 330:
171722
31. Kumar A. Optimizing antimicrobial therapy in sepsis and septic shock. Crit
Care Clin 2009; 25: 73351, viii
32. Kollef MH, Levy NT, Ahrens TS, et al. The use of continuous IV sedation is
associated with prolongation of mechanical ventilation. Chest 1998; 114: 541
8
33. The Acute Respiratory Distress Syndrome Network: ventilation with lower
tidal volumes as compared with traditional tidal volumes for acute lung injury
and the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med 2000; 342: 13018
31
Evaluation in Severe Sepsis (PROWESS) trial. Crit Care Med 2004; 32:
220718
45. Annane D, Sebille V, Charpentier C, et al. Effect of treatment with low doses
of hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic
shock. J Am Med Assoc 2002; 288: 86271
46. Schiffl H, Lang SM, Fischer R. Daily hemodialysis and the outcome of acute
renal failure. N Engl J Med 2002; 346: 30510
33