Preskas THT Subang
Preskas THT Subang
Oleh:
Malen Saga Imartha
110.2009.164
Devy Andika
110.2010.068
Pembimbing:
dr. Kresna Hadiputra, Sp.THT
STATUS PASIEN
KEPANITERAAN THT RSUD SUBANG
FK UNIVERSITAS YARSI
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. V
Usia
: 13 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Suku / bangsa
: Sunda
Pendidikan
: SLTA
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
Keluhan utama
Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Subang dengan keluhan terasa ada yang
mengganjal di tenggorokannya sejak 3 hari SMRS. Keluhan dirasakan terutama bila
pasien sedang menelan makanan. Keluhan tersebut disertai dengan demam, nafsu makan
menurun dan badan lemas. Demam tersebut dirasakan naik turun terutama pada malam
hari. Menurut Ibunya pasien sering bernafas melalui mulut ketika pasien sedang tidur dan
terdengar suara ngorok.Nafsu makan pasien dirasakan menurun karena kesulitan menelan
makanan. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk dan pilek.
Keluhan adanya nyeri saat menelan ataupun sakit pada tenggorokannya. 2 bulan
sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan nyeri saat menelan, terasa bengkak dan
nyeri pada bagian tenggorokannya yang dirasakan terutama setelah pasien minuman
dingin dan terkadang keluhan tersebut hilang sendiri tanpa pengobatan. Menurut ibunya
belakangan ini pasien sering mengkonsumsi minuman dingin, makanan pedas,ceblak,dan
basreng hampir tiap hari. Pasien juga mempunyai kebiasaan jajan sembarangan di sekitar
sekolahnya. Riwayat pegal-pegal disangkal. Riwayat nyeri telinga disangkal. Riwayat
merokok disangkal
Riwayat Kebiasaan :
Pasien senang mengkonsumsi minuman dingin, makanan pedas, ceblak dan basreng.
Pasien senang jajan sembarangan di sekitar sekolahnya.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
Keadaan umum
: Sakit sedang
Kesadaran
: Kompos mentis
Tanda vital
Suhu
:
Nadi
:
Respirasi
:
Tekanan darah :
37,3 0 C
80 x / menit
22 x/ menit
110 / 70 mmHg
B. STATUS LOKALIS
1. TELINGA
TELINGA KANAN
TELINGA KIRI
Daun telinga
massa (-)
massa (-)
Liang Telinga
Gendang Telinga
2.
TEST PENALA
RINNE
: Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
WEBER
: Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
SCHWABACH
: Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
TEST BERBISIK
AUDIOGRAM
: Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
HIDUNG
2.1.
Rhinoskopi Anterior
Hidung Luar
Vestibulum
Lubang Hidung
Rongga Hidung
: Sempit
Septum
: Deviasi (-)
Konka Inferior
: Hiperemis (-/-),
hipertrofi (-/-)
Meatus Inferior
Pasase Udara
: +/+
: Tidak ada
Konka
Torus Tubarius
Fossa Rosenmuller
Adenoid
3. FARING
Arkus faring
Uvula
: Berada di tengah
Dinding Faring
: Hiperemis (-)
Tonsil
Palatum
: Tenang
: (-)
Reflek Muntah
: (+)
4. LARING
Laringoskopi Indirek
Epiglotis
Plika Ariepiglotika
Aritenoid
Rima Glotis
Fossa Piriformis
Trakhea
5. MAKSILOFASIAL
Simetris
KGB
:-
Letak
:-
Massa
:-
IV.
RESUME
Telah diperiksa pasien perempuan berumur 13 tahun, seorang pelajar datang ke
Poliklinik THT RSUD Subang dengan keluhan terasa ada yang mengganjal di
tenggorokannya sejak 3 hari SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan demam yang naik
turun, nafsu makan menurun dan badan lemas. Menurut Ibunya pasien sering bernafas
melalui mulut saat tidur dan terdengar suara ngorok. Keluhan disertai dengan batuk dan
pilek.
Keluhan adanya nyeri saat menelan ataupun sakit pada tenggorokannya disangkal. 2
bulan lalu pasien pernah mengalami keluhan nyeri saat menelan, terasa bengkak dan nyeri
pada bagian tenggorokannya yang dirasakan terutama setelah pasien minuman dingin dan
terkadang keluhan tersebut hilang sendiri tanpa pengobatan. Menurut ibunya pasien sering
mengkonsumsi minuman dingin, makanan pedas , ceblak dan basreng. Pasien juga senang
jajan sembarangan di sekitar sekolah. Riwayat pegal-pegal disangkal. Riwayat nyeri
telinga disangkal. Riwayat merokok disangkal
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang
dengan kesadaran compos mentis. Suhu : 37.3 0C , nadi 80 x/ menit , respirasi : 22x/menit
dan tekanan darah : 110/70 mmHg. Pada pemeriksaan fisik telinga dan hidung dalam batas
normal. Sedangkan dalam pemeriksaan tenggorok didapatkan arkus faring, uvula, dinding
faring dan palatum dalam batas normal. Pada inspeksi tonsil didapatkan T3-T3 terdapat
kripta melebar, terlihat detritus pada penekanan dan hiperemis. Refleks muntah positif.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan darah rutin
- Usap tonsil
- Kultur resistensi
VI. DIAGNOSA KERJA
Tonsilitis Kronik Hipertrofi
VII. DIAGNOSA BANDING
VIII. PENATALAKSAAAN
Non medikamentosa:
o Kurangi atau hindari konsumsi gorengan, makanan pedas dan minum es.
o Hindari jajan sembarangan, membiasakan membawa bekal dari rumah
o Memperbaiki hygiene mulut
o Istirahat yang cukup
o Minum obat yang teratur
o Mengkonsumsi makanan bergizi seperti buah-buahan dan sayuran
Medikamentosa :
o Clindamycin 3 x 150 mg/ hari
o Paracetamol 3 x 500 mg/ hari
Operatif
Tonsilektomi
IV. PROGNOSA
Quo ad Vitam
: ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
Quo ad sanactionam
: dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
TONSILITIS KRONIK
I.
PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlachs tonsil).
Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran
infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain
bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, dan virus
herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri grup A
Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan
juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan antara
nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik. 5 Tonsilitis
kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan
terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data
dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi
berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi
ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam
berulang,
odynophagia,
sulit
menelan,
halitosis
dan
limfadenopati
servikal
dan
submandibula.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1
II.
ANATOMI
PHARYNX
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Bentuknya mirip
corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya
yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding
pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu mucosa, fibrosa, dan muscular.7
mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso
epiglotica mediana disebut vallecula.7
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx
(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding
posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra
cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan
tonsila palatina diantaranya.7
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,
tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila
lingual dan foramen sekum.1
Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral
oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus
dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 7
Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila.
Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah
keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari
fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul
yang sebenarnya.1
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal
VASKULARISASI PHARYNX
Suplai arteri pharynx berasal dari cabang-cabang arteri pharyngea ascendens,
arteri palatina ascendens, arteri facialis, arteri maxillaris, dan arteri lingualis. Vena bermuara
ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian bermuara ke vena jugularis interna.7
SISTEM LIMFATIK PHARYNX
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelanjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelanjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir
ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.1
IMUNOLOGI
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di
kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina
lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul
tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein
asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan
antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila
patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan
mengenal dan mengeliminasi antigen.9
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%.
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,
sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing
dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.9,10
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada
kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah
terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang
masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk
memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara
mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi tonsil
sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel
limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun.9,10
IV.
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan temuan
penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan pada
penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ; sebagai salah satu penyebab adalah
rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga
disebabkan ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering
menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.9
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika
Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik
sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008
Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada
periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh
657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315
(48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India
dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%)
berjenis kelamin wanita.9
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anakanak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih
sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa
muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang
asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 %
usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % .
Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak
sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang
dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh
38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.9
V. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring
terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan 9.
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna.13
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman
yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus
grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen
infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan
Haemophilus
influenzae,
Staphylococcus
aureus,
S.
Pneumoniae
dan
Morexella
catarrhalis.8,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu
Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus
grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.9
Infeksi
virus
biasanya
ringan
dan
dapat
tidak
memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja).
Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan
timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi
mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan
obstruksi jalan napas yang akut. 14
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi
atau pada anak-anak dengan immunocompromised.14
VI. PATOMEKANISME
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. 9 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1
VII.FAKTOR PREDISPOSISI
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik
maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis
Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan
lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya
keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat
VIII. GEJALA KLINIK
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas.
Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.16
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga
sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal. 2 Pada umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik
berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsil bed dengan bagian tepinya
hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17
Gambar 9. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) GradeIIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (kissing tonsils)
IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis
tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan
odinofagia.Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta
pembesaran kelanjar limfa servikal.1
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok
dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan
jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.
XII.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap,
pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.
1,8
1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang diikutkan dalam
review hanya 2 studi (Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak
memenuhi kriteria. Studi pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang
dengan infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang
tegas tentang tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya
perbedaan kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode
infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit
yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status
sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi dilaporkan sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu, studi ini
meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak
kelompok kontrol yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi
kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak dapat
dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari desain dan
bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk abstrak).9
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini
masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi. Indikasi absolut: a) Hiperplasia
tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang terkait dengan cor
pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral). c) Tonsilitis yang
menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan
tonsil yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang
(Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).
tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau adenitis
cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada orofacial atau gigi
(mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier streptococcus tidak berespon
terhadap terapi). h). otitis media recuren atau kronik.8,9,10
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang
adekuat
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1
Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di
Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.9, 21
Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil
dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran
mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai
mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk
menggangkat tonsil.
Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila
tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan
pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar.
Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser
KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag
dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi.
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang
berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator
yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan
kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang
terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan
atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari
pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila
dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam
kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan
ligasi arteri karotis eksterna.21
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara
guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan
jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi
patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication. 21
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi.
Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.
21
perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan
mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 22
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate complication) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma
akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang
menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di
bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan
primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis
uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah
yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat
mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis.
Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadangkadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius.
Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru
jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. 21
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila
berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya
sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup
banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 21
Dehidrasi
Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang
obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan penurunan
mendadak tekanan intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan peningkatan
tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan
jalan napas.
I.
Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah
KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis,
uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
e) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada
43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus
beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan 18).
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan
18). Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited, 2012 Jan
17). Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
6. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
7. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
ECG, 2006. p795-801.
8. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340
9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
10. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
11. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum
Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
12. Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of OtolaryngologyHead & Neck Surgery. Pdf.
13. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20). Available from: URL:
http://www.entfastbleep.com
14. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. [online].2000.
[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.pediatricsinrewiew.com
15. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kvrner, Espen Rysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.
Archotolaryngelheadnecksurg.com
16. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In:
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
17. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
18. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: OtolaryngologyHead and Neck Surgery. p158-165
19. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and
Neck Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
20. Ura, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
[online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline
International .com
21. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. [online].1993.[cited,
2012 Jan 25]. Available from: URL: http://www. cerminduniakedokteran .com
22. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and
Adenoidectomy. In: Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates
601. pdf.
23. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.