Anda di halaman 1dari 33

GAMBARAN RADIOLOGIS

PADA SPONDILITIS TUBERKULOSA

Dosen Pembimbing:
dr. Rudolf H. Pakpahan, Sp.Rad (K)
Oleh:
Lia Oktavia Sari

: 110100120

Ressa Hana Natasa

: 100100100

Elvira

: 110100333

Shinta Pedia Dinanti

: 110100324

Sri Ganes A/L Nachimutu

: 110100479

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015

GAMBARAN RADIOLOGIS

PADA SPONDILITIS TUBERKULOSA


Paper ini diajukan sebagai salah satu syarat
Untuk memperoleh kelulusan Progam Pendidikan Profesi Dokter
di Departemen Radiologi
Oleh:
Lia Oktavia Sari

: 110100120

Ressa Hana Natasa

: 100100100

Elvira

: 110100333

Shinta Pedia Dinanti

: 110100324

Sri Ganes A/L Nachimutu

: 110100479

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul

Gambaran Radiologis pada Spondilitis Tuberkulosa. Penulisan makalah ini


adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior
Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Radiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, dr. Rudolf H. Pakpahan, Sp. Rad (K) yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan makalah sehingga
penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar.................................................................................................
Daftar Isi...............
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................
1Latar Belakang....................................................................................
BAB 2 PEMBAHASAN.....................
2.1. Anatomi Vetebra.............................................................................
2.2. Spondilitis Tuberkulosa..................................................................
2.2.1 Definisi..................................................................................
2.2.2 Etilogi....................................................................................
2.2.3 Faktor Resiko........................................................................
2.2.4 Patogenesis............................................................................
2.2.5 Gejala Klinis..........................................................................

11

2.2.6 Gambaran Radiologis............................................................

12

2.2.7 Penatalaksanaan....................................................................

20

BAB 3 KESIMPULAN.....................................................................................

28

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................

29

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1,2,3
Spondilitis tuberkulosa (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Spondilitis tuberkulosis
dapat menjadi sangat destruktif. Berkembangnya tuberkulosis di tulang belakang
berpotensi meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologi yang permanen
dan deformitas yang berat
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun
1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak
bawah dengan

kurvatura

tulang

belakang,

tetapi

hal

tersebut

tidak

dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut


oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi
jelas.
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun.
Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan
China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB
menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun. Kejadian TB
ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling
sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian
TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi. Tuberkulosis ekstrapulmonal
dapat terjadi pada 25%-30% dari yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi
pada 5%-10% dari yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun,
namun dapat juga 2-3 tahun kemudian.

Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis


secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi,
gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray,
CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis
spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium
tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti.
Penatalaksanaan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang
berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi
medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi
terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien.
Pasien spondilitis TB pada umumnya bisa diobat secara rawat jalan, kecuali
diperlukan tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan
penatalaksanaan spondylitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB,
mencegah dan mengobati defi sit neurologis, serta memperbaiki kifosis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Vertebralis4,5
Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebra, yaitu 7 vertebra cervicalis, 12
vertebra thoracicus, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacralis (yang bersatu
membentuk os sacrum), dan 4 vertebra coccygis. Struktur columna ini fleksibel,
karena columna ini bersegmen-segmen dan tersusun atas vertebrae, sendi-sendi,
dan bantalan fibrokartilago yang disebut diskus intervertebralis.

Discus intervertebralis menyusun seperempat dari panjang columna


vertebralis. Discus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat paling
tebal di daerah cervical dan lumbal. Setiap discus terdiri dari atas bagian pinggir,

annulus fibrosus teridiri atas jaringan fibrocartilago, dan bagian tengah yaitu
nucleus pulposus yang merupakan massa lonjong dari zat gelatin yang banyak
mengandung air, sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-sel tulang rawan.

Ligamentum longitudinal anterius dan posterius berjalan turun pada


permukaan anterior dan posterior columna vertebralis dari cranium sampai ke
sacrum. Selain itu juga dikelilingi oleh ligamentum supraspinale, ligamentum
interspinale, ligamentum intertransversaria, dan ligamentum flavum.
Otot-otot punggung dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama:
1. Otot-otot superficial
Otot-otot ini merupakan bagian ekstremitas superior, yaitu m.trapezius, m.
latissimus dorsi, m. levator scapulae, dan m.rhomboideus major dan
minor.
2. Otot-otot intermedia
Otot-otot ini berhubungan dengan respirasi dan terdiri atas m. serratus
posterior superior, m. serratus posterior inferior, dan levator costarum.

3. Otot-otot profunda
Terdiri dari mm. interspinales dan m. intertransversarii
Perdarahan punggung
Perdarahan daerah cervical, cabang-cabang yang berasal dari a.occipitalis,
sebuah cabang a. carotid externa; dari a. vertebralis, sebuah cabang a. subclavia.
Perdarahan daerah thoracal, cabang-cabang berasal dari aa. Intercostales posterior.
Perdaraha daerah lumbal, cabang-cabang dari a.subcostalis dan lumbalis. Di
daerah sacrum, berasal dari a.iliolumbalis dan a. sacralis lateralis, cabang-cabang
dari a.iliaca interna.
Vena-vena yang mengalirkan darah dari struktur punggung membentuk
pleksus rumit yang terbentang sepanjang columna vertebralis dari cranium sampai
ke os coccygis. Vena-vena ini dapat dibagi menjadi:
a. Yang terletak di luar columna vertebralis dan mengelilinginya membentuk
plexus venosus vertebralis externus
b. Yang terletak di dalam canalis vertebralis tetapi di luar duramater medulla
spinalis yang membentuk plexus venosus vertebralis internus
Pembuluh-pembuluh limfe profunda mengikuti vena dan bermuara ke dalam
nodi lymphoidei cervicales profunda, mediastinales posterior, aortic laterals, dan
sacrales. Pembuluh limfe dari kulit leher bermuara ke nodus cervicales; yang
berasal dari batag tubuh di atas crista iliaca bermuara ke nodus axillaris; dan yang
berasal dari daerah di bawah crista iliaca bermuara ke nodus inguinalis
superficialis.
Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang n. spinalis melalui radix
anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Kulit dan otot-otot
punggung dipersarafi secara segmental oleh rami posterior 31 pasang saraf
spinalis. Radix n.spinalis berjalan dari masing-masing segmen medulla spinalis ke
foramen intervertebralis yang sesuai dimana serabut-serabut motorik dan sensorik
bercampur.

Permukaan
luar corpus
vertebrae

Foramen
vertebrale

Processus
transversus

7 buah, Vertebrae 12 buah,


cervicales I-VII
Vertebra
thoracicae IXII
Persegi panjang,
Bentuk dasar
kecil, dengan
segitiga, ke arah
Uncus corporis
kaudal semakin
pada bagian atas
membulat
permukaan luar
corpus vertebrae
Besar, pada
bulat
potongan
melintang
berbentuk segitiga
Memiliki sebuah
tuberculum
anterius, sebuah
Tuberculum

Menyerupai
gada dengan
foveae costales

5 buah,
Vertebra
lumbales I-V

Os sacrum dari
lima vertebrae
[Vertebrae
sacrales I-V]

Berbentuk
kacang, besar

Kecil, pada
potongan
melintang
berbentuk
segitiga
Procc.
Mamillares et
accessorii

Canalis sacralis

Crista sacralis
lateralis

Processus
spinosus
Rudimen iga

Ciri khas

posterior, sebuah
Sulcus mervi
spinalis, dan satu
Foramen
transversarium
Horizontal,
pendek, terbagi
dua
Bagian ventral
dari Proc.
Transversus dan
tuberculum
dorsale
Foramen
transversarium

Terjal, mengarah
ke kaudal

Horizontal, di
sisi agak datar,
padat
Tidak ada karena Procc. Costales
iganya
berbentuk baik

Foveae costales Procc.


superior et
Mamillares et
inferior
accessorii
Tabel 2.1.1 Perbedaan tulang vertebrae

Crista sacralis
mediana
Partes laterales

Vertebra
dihubungkan
secara sinostosis

2.2. SpondilitisTuberkulosa
2.2.1. Definisi1,2,3
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Spondilitis tuberkulosis
dapat menjadi sangat destruktif. Berkembangnya tuberkulosis di tulang belakang
berpotensi meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologi yang permanen
dan deformitas yang berat
2.2.2. Etiologi1,3
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab
sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering

tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous


mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Mycobacterium
tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnonmotile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.
Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh
secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi
niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu
untuk membedakannnya dengan spesies lain. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 104 yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.
2.2.3 Faktor Resiko2
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa
pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan
yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang
berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari
penyebaran secara hematogen. Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak
yang terinfeksi dapat terkena penyakit tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun
juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa seperti infeksi ke nodus
limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi primer di paru merupakan
lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat
juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama perempuan
usia 10-14 tahun. Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan
dalam mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam
mencegah penyebaran penyakit di paru-paru. Angka kejadian pada pria terus
meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun
dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat kembali
pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar
antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.

2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan
resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan
tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan
lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan
pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya
malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika
asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.
2.2.4. Patogenesis3
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena
ukuran bakteri sangat kecil 1-5 , kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan
segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan
kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular. Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas
terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem
imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus tersebut umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi
berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus Simon.
Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon

ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,


misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan
pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah8 peridiskal terjadi
pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan
penyebaran melalui ligamentum longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus
spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior
longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral
terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah
dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang
menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular
yang akan membatasi pertumbuhan.
2.2.5 Gejala Klinis1,3
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami
keadaan sebagai berikut:

Berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
Demam lama tanpa sebab yang jelas
Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit
Batuk lebih dari 30 hari

Diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai


benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen.

Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1


tahun. Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat.
Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang
disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan
menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak
jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri
tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang
belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu
punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak
stabil serta dapat berkembang secara progresif.
Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun
tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke
rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal. Paraplegia pada
pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah
Potts paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal
dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang
telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer
sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat

2.2.6. Pemeriksaan Radiologis1,6,7


Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang
untuk diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik
pada tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat
digunakan seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan
penyempitan jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan
vertebra, sekuestrasi, serta massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra

akan kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai. Akordion (concertina),


sehingga disebut juga concertina collapse.
a. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya
dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik
pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang
diskus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan
jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis. Pada fase lanjut,
kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik
(gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang
merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold
abscess dengan baik. Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi
kifotik diukur dengan metode Konstam.

Gambar 2.2.6.1. Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB. Sinar-X


memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra T9
(tanda bintang), serta juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang
merupak cold abscess (panah putih).

Gambar 2.2.6.2. Area lusen di lateral corpus vertebra

Erosi (*)

Hilangnya diskus vertebra (*)

Gambar 2.2.6.3. Fraktur Kompresi dan Osteosklerosis

Gambar 2.2.6.4 Kolaps multiple vertebra toraks dengan hasil kifosis

Gambar 2.2.6.5. Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam. Pertama, tarik


garis khayal sejajar end-plate superior badan vertebra yang sehat di atas dan di
bawah lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang ke anterior sehingga bersilangan.
Sudut K pada gambar adalah sudut Konstam, sedangkan Sudut A adalah angulasi
aktual yang dihitung. Pada contoh gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30.

b. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT
myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras
melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT
scan. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk
memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan
tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk
visualisasi jaringan lunak.

Gambar 2.2.6.6. Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial


setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3
(panah hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan
medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah putih besar).

Gambar 2.2.6.7. Noncontrast axial CT : Abses psoas dengan kalsifikasi sentral

2.2.6.8. Noncontrast axial CT : Extensive vertebral body destruction causing


bony fragments (*); Destruction of cancellous bone indicated by
hypoattenuation of central vertebral body (*)
3. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi
badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses

paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi
spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang
meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan
sinyal-T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan radang
granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan
gejala klinis. Bagaimana membedakan spondilitis TB dari spondilitis lainnya
melalui MRI akan dijelaskan pada bagian diagnosis diferensial setelah ini.

Gambar 2.2.6.9. Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada
MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis
berat (gibbus), infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis
spinalis, dan penjepitan medula spinalis.19 Gambaran ini khas menyerupai
akordion yang sedang ditekuk.

Gambar 2.2.6.10. Sagittal T2W : High intensity activity T12-L3 vertebra


indicative of infection (*) (*). Complete destruction of vertebral bodies with
osseus retropulsion into the spinal canal, causing cauda equina (*).

Gambar 2.2.6.11. Axial T1W : Destruction of vertebral body with loss of


circular shape

2.2.7. Penatalaksanaan1,7,8
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi
menjadi :
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi
pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat
antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi
dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang
memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum
berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang
baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian
terapi.
Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu
pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas
terhadap obat anti tuberculosa memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu)
dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya
terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang
adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga
merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik.
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :
1. Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang
sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu
obat baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau

EMB(Glassroth et al. 1980). Regimen dengan dua obat yang biasa diberikan tidak
dapat dijalankan pada kasus ini.
2. Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi
yang awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut. The Medical
Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa
spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan
regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 9 bulan. Pemberian kemoterapi saja
dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai dengan
pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto
rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul dari
pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien. Durasi terapi pada
tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang
lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup
tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien
yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin
(RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). Obat
antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,
cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
Isoniazid (INH)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler


Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
Relatif aman untuk kehamilan
Dosisnya : 10 mg/kg/hari 600 mg/hari.
Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak
pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi
piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen
piridoksin).

8.
9.

Relatif aman untuk kehamilan


Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari 300 mg/hari.

Rifampin (RMP)
Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat
dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
1. Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling
rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
2. Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam
bentuk sediaan oral dan intravena.
3. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
4. Efek samping yang paling sering terjadi: perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent
peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan
Pyrazinamide (PZA)
1. Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang
bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau
dalam lesi perkijuan.
2. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
3. Efek samping :Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini
yang dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah
bila diberikan dalam jangka pendek.
4. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
5. Dosis : 15-30mg/kg/hari
Ethambutol (EMB)
1. Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
2. Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
3. Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi
buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central
scotoma.
4. Relatif aman untuk kehamilan
5. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
6. Dosis : 15-25 mg/kg/hari
Streptomycin (STM)

1. Bersifat bakterisidal
2. Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
3. Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal.
4. Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo
(terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
5. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
6. Dosis : 15 mg/kg/hari 1 g/kg/hari
Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih
kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinal block
disamping mengurangi oedema jaringan (Ogawa et.al 1987). Pada pasien-pasien
yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis
dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan
bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi
radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi
tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau
fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan
mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat
berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat
tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan
berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan
berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan
penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan
radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun
sekuester. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal
dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah

lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket
atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Potts paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi
di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama
tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami
paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi
dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60%
kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh
karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan
dekompresi. Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita
harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis
dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan halhal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang
mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya
kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di
tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4
minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif)
dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling
efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi
pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi
dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.

Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi


juga diindikasikan bila:
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini.
5. Penyakit yang rekuren Potts paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi
perlunya suatu tindakan operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon
mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi :
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila
timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi
kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi
konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah
diberi terapi konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah
baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau
terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar
yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga
disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari
6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi
konservatif)
B. Indikasi relatif

1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya.


2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi.
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf.
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu.
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease.
2. Spinal tumor syndrome.
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal.
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina.
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui
pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di
anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan
anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi dengan
pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan
pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur
yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa
tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah
direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6
minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan
pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang
mati

dan jaringan

granulasi dievakuasi yang

kemudian

rongga yang

ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan
langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya
stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi
spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus
vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi
tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.

Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi


tambahan dan bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat
kesehatan yang tidak mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior.
Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai pemberian kemoterapi,
dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya
menggunakan spinal bracing.
Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu
periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO
direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi.
Operasi

pada

kondisi

tuberculous

radiculomyelitis

tidak

banyak

membantu. Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya


diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan
lesinya bersifat soliter.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai
prosedur utama terapi Potts paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan
elemen neural posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang
tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya diindikasikan
pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda
spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta
mielografi menunjukkan adanya sumbatan.

BAB 3
KESIMPULAN
1.

Spondilitis TB, atau dikenal juga dengan Potts disease, merupakan penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Area torakal bagian bawah (umumnya T-10) dan

2.

lumbal bagian atas merupakan tempat yang paing sering terlibat.


Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

Spondilitis TB, anatara lain pemeriksaan Foto sinar-x, CT-scan, dan MRI.
3. Pemeriksaan Foto sinar-x, CT scan, dan MRI dapat memperlihatkan kompresi
medulla spinalis, lesi osteosklerosis, penyempitan diskus intervertebralis,
terbentuknya cold abses dan gibbus. Namun, gold standard pemeriksaan untuk
tuberkulosis TB yaitu MRI.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Zuwanda, Janitra,R., 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis


Tuberkulosis.

CDK-208/

vol.

40:9.

Available

http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_208Diagnosis%20dan

from:

%20Penatalaksanaan%20Spondilitis%20Tuberkulosis.pdf [Accessed: 23 June


2.

2015]
Vitriana.

2002.

Spondilitis

Tuberkulosa.

Available

from:

http://pustaka.unpad.ac.id/wp3.

content/uploads/2009/05/spondilitis_tuberkulosa.pdf. [Accessed: 23 June 2015]


Paramarta,I.G.E,P urniti,P.S, Subanada,I.B, Astawa,P. 2008. Spondilitis
Tuberkulosis.

4.

Sari

Pediatri

;10(3):177-83.

Available

from:

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/10-3-6.pdf. [Accessed: 23 June 2015]


Snell, R.S., 2012. Punggung. In: Snell, W. ed. Anatomi Klinik. Jakarta: ECG,

hal. 880-911
5. Putz, R., Pabst, R. 2006. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Ed. 22. Jakarta:
6.

EGC
Sinan, T., Al-Khawari, H., Ismail,M. 2004. Spinal Tuberculosis: CT and MRI
features.

Ann

Saudi

Med

24(6).

Available

from:

http://www.kfshrc.edu.sa/annals/articles/24_6/03-359.pdf?report=reader
7.

[Accessed: 23 June 2015]


Safo, S., Lieberman, G. 2009. Potts diasease of: A Radiological Review of
Tuberculous

Spondylitis.

Available

from:

http://eradiology.biolmc.harvad.edu/LearningLab/Musculo/Safo.pdf.
8.

[Accessed: 21 June 2015]


Kavanagh, J., Dunne, R. 2011. Tuberculous Spondylitis: What Every
Radiologist Should. European Society of Radiology. Available from:
www.myESR.org. [Accessed: 21 June 2015]

Anda mungkin juga menyukai