Spondilitis TB
Spondilitis TB
Dosen Pembimbing:
dr. Rudolf H. Pakpahan, Sp.Rad (K)
Oleh:
Lia Oktavia Sari
: 110100120
: 100100100
Elvira
: 110100333
: 110100324
: 110100479
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
GAMBARAN RADIOLOGIS
: 110100120
: 100100100
Elvira
: 110100333
: 110100324
: 110100479
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar.................................................................................................
Daftar Isi...............
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................
1Latar Belakang....................................................................................
BAB 2 PEMBAHASAN.....................
2.1. Anatomi Vetebra.............................................................................
2.2. Spondilitis Tuberkulosa..................................................................
2.2.1 Definisi..................................................................................
2.2.2 Etilogi....................................................................................
2.2.3 Faktor Resiko........................................................................
2.2.4 Patogenesis............................................................................
2.2.5 Gejala Klinis..........................................................................
11
12
2.2.7 Penatalaksanaan....................................................................
20
BAB 3 KESIMPULAN.....................................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
29
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1,2,3
Spondilitis tuberkulosa (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Spondilitis tuberkulosis
dapat menjadi sangat destruktif. Berkembangnya tuberkulosis di tulang belakang
berpotensi meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologi yang permanen
dan deformitas yang berat
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun
1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak
bawah dengan
kurvatura
tulang
belakang,
tetapi
hal
tersebut
tidak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Vertebralis4,5
Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebra, yaitu 7 vertebra cervicalis, 12
vertebra thoracicus, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacralis (yang bersatu
membentuk os sacrum), dan 4 vertebra coccygis. Struktur columna ini fleksibel,
karena columna ini bersegmen-segmen dan tersusun atas vertebrae, sendi-sendi,
dan bantalan fibrokartilago yang disebut diskus intervertebralis.
annulus fibrosus teridiri atas jaringan fibrocartilago, dan bagian tengah yaitu
nucleus pulposus yang merupakan massa lonjong dari zat gelatin yang banyak
mengandung air, sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-sel tulang rawan.
3. Otot-otot profunda
Terdiri dari mm. interspinales dan m. intertransversarii
Perdarahan punggung
Perdarahan daerah cervical, cabang-cabang yang berasal dari a.occipitalis,
sebuah cabang a. carotid externa; dari a. vertebralis, sebuah cabang a. subclavia.
Perdarahan daerah thoracal, cabang-cabang berasal dari aa. Intercostales posterior.
Perdaraha daerah lumbal, cabang-cabang dari a.subcostalis dan lumbalis. Di
daerah sacrum, berasal dari a.iliolumbalis dan a. sacralis lateralis, cabang-cabang
dari a.iliaca interna.
Vena-vena yang mengalirkan darah dari struktur punggung membentuk
pleksus rumit yang terbentang sepanjang columna vertebralis dari cranium sampai
ke os coccygis. Vena-vena ini dapat dibagi menjadi:
a. Yang terletak di luar columna vertebralis dan mengelilinginya membentuk
plexus venosus vertebralis externus
b. Yang terletak di dalam canalis vertebralis tetapi di luar duramater medulla
spinalis yang membentuk plexus venosus vertebralis internus
Pembuluh-pembuluh limfe profunda mengikuti vena dan bermuara ke dalam
nodi lymphoidei cervicales profunda, mediastinales posterior, aortic laterals, dan
sacrales. Pembuluh limfe dari kulit leher bermuara ke nodus cervicales; yang
berasal dari batag tubuh di atas crista iliaca bermuara ke nodus axillaris; dan yang
berasal dari daerah di bawah crista iliaca bermuara ke nodus inguinalis
superficialis.
Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang n. spinalis melalui radix
anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Kulit dan otot-otot
punggung dipersarafi secara segmental oleh rami posterior 31 pasang saraf
spinalis. Radix n.spinalis berjalan dari masing-masing segmen medulla spinalis ke
foramen intervertebralis yang sesuai dimana serabut-serabut motorik dan sensorik
bercampur.
Permukaan
luar corpus
vertebrae
Foramen
vertebrale
Processus
transversus
Menyerupai
gada dengan
foveae costales
5 buah,
Vertebra
lumbales I-V
Os sacrum dari
lima vertebrae
[Vertebrae
sacrales I-V]
Berbentuk
kacang, besar
Kecil, pada
potongan
melintang
berbentuk
segitiga
Procc.
Mamillares et
accessorii
Canalis sacralis
Crista sacralis
lateralis
Processus
spinosus
Rudimen iga
Ciri khas
posterior, sebuah
Sulcus mervi
spinalis, dan satu
Foramen
transversarium
Horizontal,
pendek, terbagi
dua
Bagian ventral
dari Proc.
Transversus dan
tuberculum
dorsale
Foramen
transversarium
Terjal, mengarah
ke kaudal
Horizontal, di
sisi agak datar,
padat
Tidak ada karena Procc. Costales
iganya
berbentuk baik
Crista sacralis
mediana
Partes laterales
Vertebra
dihubungkan
secara sinostosis
2.2. SpondilitisTuberkulosa
2.2.1. Definisi1,2,3
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Spondilitis tuberkulosis
dapat menjadi sangat destruktif. Berkembangnya tuberkulosis di tulang belakang
berpotensi meningkatkan morbiditas, termasuk defisit neurologi yang permanen
dan deformitas yang berat
2.2.2. Etiologi1,3
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab
sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan
resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan
tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan
lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan
pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya
malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika
asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.
2.2.4. Patogenesis3
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena
ukuran bakteri sangat kecil 1-5 , kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan
segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan
kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular. Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas
terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem
imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus tersebut umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi
berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus Simon.
Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon
Berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
Demam lama tanpa sebab yang jelas
Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit
Batuk lebih dari 30 hari
Erosi (*)
b. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT
myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras
melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT
scan. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk
memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan
tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk
visualisasi jaringan lunak.
paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi
spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang
meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan
sinyal-T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan radang
granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan
gejala klinis. Bagaimana membedakan spondilitis TB dari spondilitis lainnya
melalui MRI akan dijelaskan pada bagian diagnosis diferensial setelah ini.
Gambar 2.2.6.9. Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada
MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis
berat (gibbus), infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis
spinalis, dan penjepitan medula spinalis.19 Gambaran ini khas menyerupai
akordion yang sedang ditekuk.
2.2.7. Penatalaksanaan1,7,8
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi
menjadi :
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi
pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat
antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi
dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang
memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum
berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang
baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian
terapi.
Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu
pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas
terhadap obat anti tuberculosa memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu)
dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya
terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang
adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga
merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik.
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :
1. Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang
sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu
obat baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau
EMB(Glassroth et al. 1980). Regimen dengan dua obat yang biasa diberikan tidak
dapat dijalankan pada kasus ini.
2. Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi
yang awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut. The Medical
Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa
spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan
regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 9 bulan. Pemberian kemoterapi saja
dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai dengan
pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto
rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul dari
pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien. Durasi terapi pada
tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang
lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup
tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien
yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin
(RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). Obat
antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,
cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
Isoniazid (INH)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Rifampin (RMP)
Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat
dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
1. Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling
rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
2. Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam
bentuk sediaan oral dan intravena.
3. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
4. Efek samping yang paling sering terjadi: perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent
peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan
Pyrazinamide (PZA)
1. Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang
bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau
dalam lesi perkijuan.
2. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
3. Efek samping :Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini
yang dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah
bila diberikan dalam jangka pendek.
4. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
5. Dosis : 15-30mg/kg/hari
Ethambutol (EMB)
1. Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
2. Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
3. Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi
buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central
scotoma.
4. Relatif aman untuk kehamilan
5. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
6. Dosis : 15-25 mg/kg/hari
Streptomycin (STM)
1. Bersifat bakterisidal
2. Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
3. Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal.
4. Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo
(terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
5. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
6. Dosis : 15 mg/kg/hari 1 g/kg/hari
Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih
kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinal block
disamping mengurangi oedema jaringan (Ogawa et.al 1987). Pada pasien-pasien
yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis
dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan
bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi
radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi
tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau
fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan
mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat
berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat
tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan
berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan
berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan
penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan
radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun
sekuester. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal
dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah
lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket
atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Potts paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi
di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama
tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami
paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi
dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60%
kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh
karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan
dekompresi. Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita
harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis
dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan halhal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang
mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya
kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di
tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4
minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif)
dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling
efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi
pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi
dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.
dan jaringan
kemudian
rongga yang
ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan
langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya
stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi
spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus
vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi
tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.
pada
kondisi
tuberculous
radiculomyelitis
tidak
banyak
BAB 3
KESIMPULAN
1.
Spondilitis TB, atau dikenal juga dengan Potts disease, merupakan penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Area torakal bagian bawah (umumnya T-10) dan
2.
Spondilitis TB, anatara lain pemeriksaan Foto sinar-x, CT-scan, dan MRI.
3. Pemeriksaan Foto sinar-x, CT scan, dan MRI dapat memperlihatkan kompresi
medulla spinalis, lesi osteosklerosis, penyempitan diskus intervertebralis,
terbentuknya cold abses dan gibbus. Namun, gold standard pemeriksaan untuk
tuberkulosis TB yaitu MRI.
DAFTAR PUSTAKA
1.
CDK-208/
vol.
40:9.
Available
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_208Diagnosis%20dan
from:
2015]
Vitriana.
2002.
Spondilitis
Tuberkulosa.
Available
from:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp3.
4.
Sari
Pediatri
;10(3):177-83.
Available
from:
hal. 880-911
5. Putz, R., Pabst, R. 2006. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Ed. 22. Jakarta:
6.
EGC
Sinan, T., Al-Khawari, H., Ismail,M. 2004. Spinal Tuberculosis: CT and MRI
features.
Ann
Saudi
Med
24(6).
Available
from:
http://www.kfshrc.edu.sa/annals/articles/24_6/03-359.pdf?report=reader
7.
Spondylitis.
Available
from:
http://eradiology.biolmc.harvad.edu/LearningLab/Musculo/Safo.pdf.
8.