Anda di halaman 1dari 4

Page 1 of 4/040901

Hukum Syara tentang


Pemilihan Umum Di Indonesia
Tahun
2004
Indonesia
akan
menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu).
Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu
kali ini selain untuk memilih anggota
parlemen, yakni Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
juga memilih presiden. Pemilihan anggota
MPR yang terdiri atas DPR dan DPD
dijadualkan akan diselenggarakan pada 5
April
2004.
Sedang
pemilihan
presiden/wapres putaran pertama akan
diselenggarakan pada 5 Juli 2004, dan
pemilihan presiden/wapres putaran kedua 20
September 2004.
Pemilu di Indonesia
Pemilu 5 April 2004 nanti akan memilih
anggota DPR dan DPD dimana keduanya akan
secara bersama membentuk MPR. Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3 hasil
amandemen ditetapkan bahwa wewenang
MPR adalah mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar, melantik Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden,
dan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar. Pasal 11 ayat 2
menegaskan DPR melakukan persetujuan
bersama Presiden dalam membuat perjanjian
internasional,
keuangan
negara,
dan
perubahan atau pembentukan undangundang. Jadi, DPR memegang kekuasaan
membentuk
undang-undang,
membahas
bersama Presiden setiap rancangan undangundang untuk mendapat persetujuan bersama
(Pasal 20); memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan; memiliki
hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat; hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat
serta hak imunitas (Pasal 20A). Sedangkan,
secara umum tugas Presiden melaksanakan
Undang-Undang Dasar, menjalankan segala
undang-undang dan peraturan yang dibuat
tersebut.
Dengan demikian, wakil rakyat
memiliki tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi
legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2)
melantik presiden/wakil presiden, dan (3)

fungsi pengawasan,
terhadap pemerintah.

koreksi

dan

kontrol

Hukum Syara Tentang Pemilu


Pemilu
merupakan
perwakilan
(wakalah). Hukum asal wakalah adalah mubah
(boleh). Dalil yang membolehkan wakalah
diantaranya adalah:

:













:

Dari jabir bin Abdillah radliyallhu


anhum, dia berkata: Aku hendak
berangkat ke Khaibar, lantas aku
menemui Nabi SAW. Seraya beliau
bersabda: Jika engkau menemui wakilku
di Khaibar maka ambillah olehmu darinya
lima belas wasaq (HR. Abu Dawud
yang menurutnya shahih).
Begitu juga, dalam Baiatul Aqobah II,
Rasulullah SAW meminta 12 orang sebagai
wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap
beliau saat itu yang dipilih oleh mereka
sendiri. Kedua hadits di atas menunjukkan
bahwa hukum asal wakalah dalam syariat Islam
adalah boleh. Wakalah yang hukum asalnya
boleh tersebut akan sah apabila semua rukunrukunnya dipenuhi. Sebaliknya, bila ada rukun
yang tidak terpenuhi maka akad wakalah
tersebut menjadi tidak sah, dan karenanya
menjadi tidak boleh. Rukun-rukun tersebut
adalah adanya akad atau ijab qabul; dua pihak
yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan
(muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakl);
perkara yang diwakilkan; serta bentuk redaksi
akad perwakilannya (shigat taukl). Semua
rukun tersebut harus sesuai dengan syariat
Islam.
Menyangkut pemilu, bila ada muwakkil,
wakl dan shighat taukl, maka yang menjadi
sorotan
utama
adalah
perkara
yang
diwakilkan, yakni dalam rangka untuk
melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu
dilaksanakan. Apakah aktivitas itu sesuai
dengan syariat Islam atau tidak. Bila sesuai,
maka wakalah tersebut boleh dilakukan,

Page 2 of 4/040901

sebaliknya bila tidak sesuai dengan syariat


Islam maka wakalah tersebut batil yang
karenanya tidak boleh dilakukan.
Berkaitan dengan fungsi legislasi di
atas perlu diingatkan bahwa setiap muslim
yang beriman kepada Allah SWT, wajib taat
kepada syariat yang telah ditetapkan oleh
Allah dalam al-Quran dan As Sunnah, baik
dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun
dalam
kehidupan
bermasyarakat
dan
bernegara. Tidak ada pilihan lain bagi seorang
muslim
dalam
mengatur
kehidupan
pribadinya, masyarakat, dan negaranya
kecuali dengan menggunakan syariat Allah
SWT. Firman Allah SWT:

itu berdasarkan wahyu dan menggunakan


metode yang benar. Tidak boleh ia
menggunakan sumber lain selain wahyu Allah
(al-Quran dan As Sunnah) atau menggunakan
metode yang tidak benar dalam menetapkan
hukum. Penggunaan sumber selain wahyu
dalam penetapan hukum tidak akan
menghasilkan kesimpulan hukum yang sesuai
dengan syariat Allah. Ini bertentangan dengan
perintah Allah dan bertentangan pula dengan
keimanan seorang muslim kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT:

Keputusan
(hukum)
itu
hanyalah
kepunyaan Allah. (QS. Yusuf [12]: 40)

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap


apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta ini halal dan ini haram, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah tiadalah beruntung. (QS. an-Nahl
[16]: 116)

Firman Allah Swt lainnya:



Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya. (QS. an-Nisa [4]: 65)

Juga firman-Nya:

Begitu pula pertanyaan Rasulullah saw kepada


Adi bin Hatim:

Bukankah mereka (para pendeta dan


rahib,pen) telah menghalalkan yang haram
buat mereka dan mengharamkan yang halal
atas mereka?

Adi bin Hatim menjawab: Ya.

Maka Rasul saw bersabda:

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang


mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata (TQS. Al Ahzab[33]: 36).

Hal itu dikatakan tatkala beliau membaca


firman Allah SWT:

Untuk perkara yang hukumnya belum


ditetapkan secara terang (sharaahah) dalam alQuran dan As Sunnah, seorang muslim (yang
berkualifikasi mujtahid) dengan menggunakan
segenap kemampuannya berijtihad guna
mendapatkan keputusan hukum atas perkara

Itulah ibadah mereka (masyarakat ahlul


kitab) kepada mereka (para rahib dan
pendeta mereka)

Mereka menjadikan orang-orang alimnya


dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Oleh karena itu, menetapkan hukum
yang bukan bersumber dari wahyu adalah
perbuatan yang dilarang oleh syara. Seorang
muslim sejak awal wajib terikat kepada syariat
Allah, wajib mengambil hukum dari wahyu

Page 3 of 4/040901

Allah semata, dan menolak undang-undang


buatan manusia yang bertentangan dengan
hukum syariat Islam. Berdasarkan hal itu kita
paham secara pasti bahwa satu-satunya yang
berhak
mengeluarkan
undang-undang
hanyalah Allah Dzat Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Dan, setiap aktivitas
pembuatan perundang-undangan dari selain
Al Kitab dan As Sunnah merupakan aktivitas
menyekutukan Allah Taala.
Bila menetapkan hukum yang tidak
bersumber dari wahyu Allah dilarang, maka
meridlai aktivitas seperti itu juga dilarang oleh
syara. Kaedah syara menyatakan:

[
]

Wasilah (perantaraan) yang pasti


menghantarkan kepada perbuatan haram
adalah juga haram
Jadi, menetapkan hukum dari selain
Allah, yakni selain Al Quran dan As Sunnah,
adalah haram. Karenanya, kedaulatan dalam
Islam adalah milik syara bukan milik rakyat
sebagaimana yang terdapat dalam sistem
demokrasi sekuler Barat.
Maka, terdapat perbedaan yang sangat
mendasar antara sistem politik Islam yang
menyatakan bahwa kedaulatan di tangan
syariat Islam dengan sistem politik lain, yakni
sistem sekuler demokratis, yang menyatakan
bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Kaum
muslim menerapkan syariat Islam pada sistem
politik Islam dalam kedudukannya sebagai
hukum syara, dan sumbernya adalah wahyu
dari Allah SWT. Halal dan haram, baik dan
buruk, haq dan batil, serta terpuji dan tercela
dalam sistem Islam berasal dari Allah saja.
Sementara, semua itu dalam sistem
demokrasi berasal dari manusia.
Kenyataan
menunjukkan
bahwa
sesungguhnya manusia manapun, muslim
ataukah kafir, tidak mampu membedakan
hakikat kebaikan dan keburukan dalam
berbagai urusan tadi, betapapun besar
kemampuan dan pengalamannya. Sebab,
akalnya serba terbatas dan kurang, serta
dipengaruhi oleh keinginan dan hawa
nafsunya. Sungguh Allah SWT telah
menjelaskan hal tersebut dalam seruannya
kepada kaum Mukmin:

Telah diwajibkan kepada kalian berperang,


padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kalian benci. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui
(TQS. Al Baqarah[2]:216).
Karenanya,
menyerahkan
urusan
tersebut kepada pemerintah hukumnya haram
menurut
Islam,
khususnya
kepada
pemerintahan sekuler yang tidak menghukumi
dengan apa yang diturunkan Allah, untuk
menentukan kepala negara, menandatangani
perjanjian dan persetujuan, dan membuat
perundang-undangan dari luar Al Kitab dan
As Sunnah.
Berdasarkan hal tersebut, aktivitas
memilih penguasa dan wakil rakyat untuk
melaksanakan
hukum
sekuler
tidaklah
dibolehkan. Karenanya, akad wakalah untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tersebut juga
tidak dibolehkan. Sebab, ada rukun wakalah
yang tidak sah menurut syariat Islam, yakni
adanya perbuatan yang melanggar syariat
berupa ijab qabul untuk menerapkan sistem
pemerintahan sekuler. Allah SWT menegaskan
hal ini:

Barangsiapa yang tidak menghukumi


dengan apa yang diturunkan Allah maka
mereka itulah orang-orang kafir (Al
Midah[5]: 44)

Barangsiapa yang tidak menghukumi


dengan apa yang diturunkan Allah maka
mereka itulah orang-orang zhalim (Al
Midah[5]: 45)

Barangsiapa yang tidak menghukumi


dengan apa yang diturunkan Allah maka
mereka itulah orang-orang fasik (Al
Midah[5]: 47)
Adapun fungsi pengawasan berupa
koreksi dan kritik (muhasabah) terhadap
pemerintah dan para penguasa diwajibkan
secara syariy. Dalam syariat Islam ini disebut
amar maruf nahi munkar, yang wajib dilakukan
oleh setiap muslim, apalagi oleh para wakil

Page 4 of 4/040901

rakyat. Oleh karena itu, pencalonan dalam


rangka melaksanakan fungsi pengawasan
termasuk perkara yang dibolehkan. Hanya saja
pencalonan tersebut terikat dengan syaratsyarat syariy, bukan dibolehkan secara mutlak.
Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Tidak menjadi calon partai sekuler dan
tidak menempuh cara haram seperti
penipuan, pemalsuan dan penyuapan,
serta tidak bersekutu dengan orang
sekuler.
2. Harus menyuarakan secara terbuka
targetnya menegakkan sistem Islam,
mengubah sistem sekuler menjadi sistem
Islam, serta mengumumkan perjuangannya
untuk melawan dominasi asing dan
membebaskan negerinya dari pengaruh
asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat
itu mengumumkan bahwa dia menjadikan
parlemen sebagai mimbar (sarana) untuk
mendakwahkan Islam dan mengoreksi
penguasa.
3. Dalam kampanye pemilu dia harus
menyampaikan ide-ide dan programprogram yang bersumber dari syariat
Islam.
Sikap Muslim Menghadapi Pemilu
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sikap
yang harus ditunjukkan oleh setiap muslim
adalah:
1. Tidak memilih calon manapun yang tidak
memenuhi syarat-syarat tersebut, tidak
mendukung kampanyenya, dan tidak
mengucapkan selamat saat ia berhasil
memenangkan suara pemilihan.
2. Berjuang secara serius untuk penerapan
syariat Islam dan mengubah sistem sekuler
ini
menjadi
sistem
Islam
dengan
menempuh thariqah dakwah Rasulullah
saw melalui pergulatan pemikiran (asshirul fikriy) dan perjuangan politik (alkifh
as-siysi).
Perjuangannya
itu
diwujudkan dengan mendukung individu,
kelompok, jamaah, dan partai politik yang
nyata dan konsisten berjuang demi
tegaknya Khilafah dan diterapkannya
syariat Islam; serta sebaliknya menjauhi
individu, kelompok, jamaah dan partai
politik yang justru berjuang untuk
mengokohkan sistem sekuler. Hal ini harus
dia lakukan dengan sungguh-sungguh.
3. Secara sendiri-sendiri atau bersama
melakukan kritik dan koreksi terhadap
para penguasa atas setiap aktivitas dan

kebijakan mereka yang bertentangan


dengan Islam.
4. Tidak terpengaruh oleh propaganda orangorang atau kelompok tertentu yang
menyatakan bahwa mengubah sistem
sekuler dan mewujudkan sistem Islam
mustahil dilakukan. Tidak boleh ada rasa
putus asa dan berhenti berjuang, sebab
kaum muslimin bisa melakukan perubahan
bila berusaha keras, sungguh-sungguh, dan
ikhlas karena Allah dalam berjuang.
Sebab,Allah pasti akan menolong orang
yang menolong (agama)-Nya. Termasuk
merealisasikan
tegaknya
Khilafah
Islamiyah bagi kaum Muslim untuk
melanjutkan kembali kehidupan Islam
(istinfu al-hayah al- Islmiyah) melalui
penerapan syariat Islam di dalam negeri
dan mengemban risalah Islam ke seluruh
dunia dibawah panji Islam, dan dengan
kepemimpinan
seorang
Khalifah
menyatukan umat Islam untuk kembali
menjadi umat terbaik yang dikeluarkan
bagi manusia, serta memenangkan dinul
Islam di atas semua agama dan ideologi
sekalipun orang-orang kafir benci.
Allah SWT berfirman:

Dan di hari itu bergembiralah orang-orang


beriman karena pertolongan Allah. Dia
menolong siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang (sebagai) janji yang sebenarbenarnya dari Allah. Allah tidak akan
menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Ruum
[30]: 4-6)
Hizbut Tahrir Indonesia
17 Dzul Qadah 1424 H/
9 Januari 2004 M

Anda mungkin juga menyukai