Anda di halaman 1dari 4

Neoimperialisme Asing Berkedok Investasi

Oleh:
Waty Indriani*

Presiden Joko Widodo menyampaikan lima visi yang akan diusung di periode kedua
pemerintahannya saat berpidato dalam acara bertajuk “Visi Indonesia” di Sentul Internasional
Convention Center, Bogor, Jawa Barat.
Dalam salah satu visinya, Jokowi meminta seluruh pihak tidak alergi terhadap adanya investasi,
termasuk investasi asing. Jokowi mengklaim investasi menjadi salah satu kunci untuk membuka
lapangan kerja seluas-luasnya. Jokowi dalam pidatonya juga mengatakan, semua hal yang
menghambat investasi harus dipangkas. Misalnya perizinan yang lambat, berbelit-belit hingga
terdapat pungutan liar di dalamnya. Jokowi berjanji akan melakukan cek langsung ke lapangan
(tempo.co, 14 Juli 2019).
Terkait hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pemerintah
Indonesia ke depannya membutuhkan investasi sebesar Rp 5.832 triliun agar dapat mencapai
target pertumbuhan ekonomi tahun 2020 sekitar 5,3 persen hingga 5,6 persen. Investasi ini
mayoritas berasal dari swasta, sisanya dari pemerintah dan pasar modal.
“Untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 5,6 persen, investasi swasta jadi sangat
penting. Sehingga policy yang berhubungan dengan investasi jadi kunci, apakah perbaikan
infrastruktur, perbaikan tenaga kerja, maupun policy simplifikasi atau regulasi yang kondusif bagi
investasi,” ujar Sri (detik.com, 13 Juni 2019).
Dengan adanya stimulus kebijakan tersebut maka para investor, termasuk investor asing
diharapkan akan benar-benar tertarik merealisasikan investasinya di Indonesia.
Maraknya investasi asing di berbagai negara, termasuk Indonesia, tak lepas dari peran
IMF dan Bank Dunia melalui kebijakan-kebijakan neoliberal ala Kapitalisme yang disodorkan
kepada negara-negara ‘pasiennya’. Kebijakan neoliberal ini diadopsi juga oleh Cina setelah Cina
melakukan transformasi dari ekonomi sosialisme ke ekonomi kapitalisme.
Menurut logika neoliberal, liberalisasi ekonomi akan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada para korporat untuk berkontribusi dalam ekonomi. Kontribusi yang paling
utama adalah dalam wujud pertambahan investasi. Jika investasi terus mengalir dan bertambah,
akan membantu meningkatkan produksi, menambah lapangan kerja baru sehingga
meningkatkan pendapatan masyarakat dan perekonomian negara pun akan tumbuh. Namun,
bagaimana relitanya?
Ternyata, meningkatnya investasi di Indonesia berbanding terbalik dengan bertambahnya
lapangan kerja. Buktinya tingkat pengangguran di Indonesia tercatat paling tinggi dibanding
negara-negara ASEAN lainnya yaitu 5,34 persen, berada dibawah Filipina 5,20 persen dan
Malaysia 3,20 persen (indonesiainside.id, 19 Juli 2019). Selain itu angka kemiskinan di Indonesia
pun juga semakin naik. Data Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menyebutkan
bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen total kekayaan penduduk
dewasa di tanah air. Sementara 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3 persen
total kekayaan penduduk. Artinya, terjadi ketimpangan kekayaan yang sangat signifikan di
Indonesia. Jumlah penduduk miskin jauh lebih banyak dibanding penduduk yang kaya. Data yang
dikeluarkan oleh BPJS (Badan Pengelola Jaminan Sosial) pun juga menyebutkan adanya kenaikan
jumlah orang miskin (penerima bantuan iuran) sekitar 9 persen, yang sebelumnya 109 juta jiwa
(Juli 2017) menjadi 118 juta jiwa (September 2018).
Jelas bahwa investasi dalam sistem Kapitalisme neoliberal ternyata tidak dapat
merealisasikan janji-janji manisnya. Justru ini hanyalah kedok para pemodal besar atau
pengusaha untuk menguasai sumber daya ekonomi suatu negara, termasuk juga menguasai
kekuatan politiknya. Bagaimana bisa?
Perlu dipahami bersama bila dalam kebijakan neoliberal, perekonomian diarahkan
dengan meminimalisasi peran negara untuk digantikan dengan pasar bebas. Negara dianggap
sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi individu, swasta atau korporat (perusahaan).
Pengurangan peran negara dilakukan melalui privatisasi atas sektor publik, pencabutan subsidi
komoditas strategis, penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan
perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta.
Jadi, paham neoliberal sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah
menuju corporate state atau negara korporat (korporatokrasi). Ketika itu terjadi, negara akan
dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Konsekuensinya,
keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan
korporat baik domestik maupun asing.
Memang tak banyak disadari oleh umat, bahwa pemerintah telah lama diintervensi oleh
para korporat atau pemilik modal. Bukti riilnya adalah banyaknya produk-produk UU dan
kebijakan Pemerintah yang lebih memihak para pemilik modal atau pengusaha ketimbang rakyat
kebanyakan. Ada UU Minerba, UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU kelistrikan, UU
Sumber Daya Air, UU BUMN, dan lain-lain. Semua UU tersebut sarat dengan liberalisasi pada
sektor ekonomi strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. UU yang sangat liberal itu,
secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan jalan bagi pemilik modal besar, baik
nasional maupun asing untuk menguasai berbagai sumber daya alam di Indonesia. Inilah strategi
ideologi Kapitalisme untuk melakukan penjajahan gaya baru (neoimperialisme) di negeri ini.
Penjajahan gaya baru (neoimperialisme) ini telah didesain sedemikian rupa untuk
mencegah potensi indepeden negara miskin dan berkembang melakukan konsolidasi politik.
Neoimperialime juga dimaksudkan untuk mempertahankan ketergantungan negara miskin dan
berkembang secara penuh dalam Kapitalisme dunia. Negara digiring untuk berjalan sesuai
dengan arahan negara adidaya. Ketika negara sudah tidak lagi independen dan berjalan sesuai
dengan arahan penjajah, maka lewat banyak perusahaan multinasionalnya, negara penjajah
melakukan eksploitasi kekayaan sumber daya alam Indonesia. Akhirnya rakyat yang akan
dikorbankan. Rakyat akan terus menerus hidup dalam kesengsaraan dan kemelaratan. Tingginya
angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang menjadi-jadi, serta
kriminalitas yang merajalela merupakan sebagian dampak yang diciptakan oleh neoimperialisme
dan neoliberalisme.
Kenyataan pahit ini membuktikan bahwa Indonesia saat ini sedang dijajah dan
dimiskinkan. Untuk menyelamatkan negeri ini, umat harus memiliki kesadaran atas akar
persoalan yang terjadi. Penyebab utama persoalan tersebut adalah penerapan ideologi
Kapitalisme sekuler beserta turunannya, yaitu: demokrasi, liberalisme, dan lainnya.
Menyelesaikan problem ini butuh solusi yang hakiki, yaitu dengan kembali kepada Al Qur’an dan
Sunnah, menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan di bawah
naungan Khilafah.
Dalam hal ini, Khilafah akan menerapkan hukum-hukum syariah Islam untuk membangun
kemandirian ekonominya. Di antaranya adalah:

Pertama, mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam sesuai syariah Islam. Hanya
negara yang berhak mengelola sumber daya alam yang menjadi milik umum (milkiyyah ‘ammah),
seperti tambang tembaga dan emas. Korporasi swasta atau asing tidak boleh secara mutlak
mengeksploitasi sumber daya alam milik umum, seperti tambang emas dan tembaga di Papua
yang dikelola oleh PT Freeport.

Kedua, menolak investasi asing yang bertentangan dengan syariah. Misalnya, tidak
diperbolehkannya investasi asing masuk pada sektor-sektor milik umum, seperti pertambangan.
Sektor milik umum hanya boleh dikelola oleh negara saja. Contoh lain adalah investasi asing pada
sektor bisnis yang haram, baik itu bisnis barang haram (seperti daging babi, darah, bangkai,
patung, khamr) maupun bisnis jasa haram (seperti riba, judi, prostitusi, minuman keras). Selain
itu, investasi yang mendominasi umat Islam sehingga ekonomi rakyat tidak berkembang atau
bahkan mengalami kerugian. Investasi ini tidak dibolehkan syariah karena menimbulkan
mudharat (bahaya) dan juga menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya (pemilik
modal) saja.

Ketiga, menghentikan utang luar negeri, baik dari lembaga keuangan internasional seperti Bank
Dunia atau IMF maupun utang dari negara lain. Pasalnya, selama ini utang luar negeri tidak lepas
dari dua hal yang diharamkan oleh Islam, yaitu adanya syarat-syarat yang menghilangkan
kedaulatan ekonomi negara peminjam dan adanya bunga yang jelas-jelas merupakan riba yang
diharamkan Islam.

Keempat, memutus segala bentuk hubungan, baik itu hubungan diplomatik, hubungan dagang
dan hubungan budaya dengan negara-negara kafir (daulah muharibah fi’lan) yang memerangi
umat Islam, seperti Amerika Serikat dan Israel.

Kelima, keluar dari keanggotaan PBB, termasuk lembaga-lembaga internasional lainnya seperti
IMF, Bank Dunia, WTO karena lembaga-lembaga tersebut adalah instrumen negara Kapitalisme
penjajah untuk mendominasi umat Islam.

Keenam, keluar dari keanggotaan blok-blok perdagangan Kapitalis, seperti NAFTA, AFTA, MEA,
dan sebagainya karena telah terbukti mendatangkan dharar (bahaya) bagi umat Islam dengan
mendominasi perekonomian dalam negeri.

Ketujuh, membangun ketahanan pangan, yaitu memenuhi kebutuhan pangan bagi negeri sendiri
melalui peningkatan produksi pangan dan impor bahan pangan. Peningkatan produksi pangan
dilakukan dengan cara mengelola tanah pertanian secara optimal dengan memanfaatkan sains
dan teknologi modern. Adapun impor bahan pangan diperbolehkan secara syariah selama tidak
menimbulkan dominasi asing atas umat Islam.
Kedelapan, menerapkan mata uang berbasis emas dan perak. Mata uang berbasis emas dan
perak adalah mata uang negara Khilafah yang memiliki sifat universal. Mata uang dinar dan
dirham menjamin kebebasan setiap negara dan penduduk dunia untuk melakukan transaksi
ekonomi perdagangan tanpa harus takut mengalami gejolak kurs, kehilangan kekayaan, ataupun
penjajahan moneter.

Kesembilan, menghapus seluruh lembaga-lembaga keuangan kapitalis, seperti perbankan,


asuransi, pasar modal, perseroan terbatas (PT), dan sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut tidak
disyariatkan dalam Islam dan dimanfaatkan oleh kekuatan Kapitalisme untuk melakukan
penjajahan ekonomi atas umat.

Wallahu a’lam.

*diolah penulis dari berbagai sumber


*aktivis Muslimah Balikpapan

Anda mungkin juga menyukai