Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ANEMIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan survei kewsehatan rumah tangga (SKSRT) 2001, prevalensi
anemia pada balita 0-5 tahun sekitar 47%, anak usia sekolah dan remaja sekitar
26,5%. Sementara survei di DKI Jakarta 2004 menunjukkan angka prevalensi
anemia pada balita sebesar 26,5%, 35 juta remaja menderita anemia gizi besi, usia
6 bulan cadangan besi itu akan menipis, sehingga diperlukan asupan besi
tambahan untuk mencegah kekurangan besi.
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb
sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson,1999).
Kebanyakan anemia pada anak adalah anemia kekurangan zat besi atau iron
deficiency anemia. Penyebabnya umumnya adalah pola makan yang kurang tepat.
Anemia lainnya adalah anemia karena pendarahan, anemia karena pabriknya
mengalami gangguan (sumsum tulang tidak memproduksi sel-sel darah dengan
baik dan penyebabnya bermacam-macam), bisa juga anemia karena yang
bersangkutan menderita suatu penyakit keganasan seperti kangker, leukemia dll,
tapi biasanya dokter akan tahu karena hati dan limpanya membesar
Anemia bisa menyebabkan kerusakan sel otak secdara permanen lebih berbahaya
dari kerusakan sel-sel kulit. Sekali sel-sel otak mengalami kerusakan tidak
mungkin dikembalikan seperti semula. Karena itu, pada masa amas dan kritis
perlu mendapat perhatian.

B. Tujuan
a. Tujuan umum dari penulisan makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
membuat asuhan keperawatan penyakit anemia.
b. Tujuan dari penulisan makalah diharapkan mahasiswa mampu:
1. Mengetahui anatomi fisiologi darah
2. Mengetahui pengertian anemia
3. Mengetahui etiologi anemia
4. Mengetahui patofisologi anemia
5. Mengetahui manifestasi klinis anemia
6. Mengetahui macam-macam anemia
7. Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien
yang menderita anemia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem hematology tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi, termasuk
sumsum tulang dan nodus limfa. Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan
organ lain karena berbentuk cairan.

Darah adalah suspensi dari partikel dalam larutan koloid cair yang mengandung
elektrolit. Peranannya sebagai medium pertukaran antara sel-sel yang terfiksasi
dalam tubuh dan lingkungan luar serta memiliki sifat-sifat protektif terhadap
organisme sebagai suatu keseluruhan dan khususnya terhadap darahnya sendiri.
Unsur seluler darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis sel darah
putih (leukosit), dan pecahan sel yang disebut trombosit.

1. Sumsum tulang
Sumsum tulang menempati bagian dalam tulang spons dan bagian tengah rongga
tulang panjang. Sumsum merupakan 4 % sampai 5 % berat badan total,sehingga
merupakan yang paling besar dalam tubuh. Sumsum bisa berwarna merah atau
kuning. Sumsum merah merupakan tempat diproduksi sel darah merah aktif dan
merupakan organ hematopoetik (penghasil darah) utama. Sedang sumsum kuning,
tersusun terutama oleh lemak dan tidak aktif dalam produksi elemen darah.

2. Eritrosit
Sel darah merah atau eritrosit dalah merupakan cakram bikonkaf yang tidak
berinti yang kira-kira berdiameter 8 m, tebal bagian tepi 2m pada bagian tengah
tebalnya hanya 1m atau kurang. Karena sel itu lunak dan lentur maka dalam
perjalanannya melalui mikrosirkulasi konfigurasinya berubah. Stroma bagian luar
yang mengandung protein terdiri dari antigen kelompok A dan B serta faktor Rh
yang menentukan golongan darah seseorang. Komponen utama sel darah merah
adalah protein hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dan CO2 dan
mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar intraseluler. Molekul-
molekul Hb terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida (globin) dan 4 gugus hem,
masing-masing mengandung sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan
pertukaran gas yang sangat sempurna.
Pembentukan hemoglobin terjadi pada sumsum tulang melalui semua stadium
pematangan. Sel darah merah memasuki sirkulasi sebagai retikulosit dari sumsum
tulang. Retikulosit adalah stadium terakhir dari perkembangan sel darah merah
yang belum matang dan mengandung jala yang terdiri dari serat-serat retikular.
Sejumlah kecil hemoglobin masih dihasilkan selama 24 sampai 48 jam
pematangan, retikulum kemudian larut dan menjadi sel darah merah yang matang.

3. Leukosit (sel darah putih)


Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit
ini sebagian di bentuk di sumsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit
limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah
dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju bagian tubuh untuk di gunakan.
Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah bahwa kebanyakan di transpor
secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius, jadi
menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap bahan infeksius yang
mungkin ada. Ada 6 macam sel darah putih yang secara normal di temukan dalam
darah. Keenam sel tersebut ialah netrofil polimorfonuklir, eosinofil
polimorfonuklir, basofil polimorfonuklir, monosit, limfosit, dan kadang-kadang
sel plasma. Selain itu terdapat juga sejumlah besar trombosit, yang merupakan
pecahan dari tipe ketujuh sel darah putih yang dijumpai dalam sumsum tulang,
yakni megakariosit. Ketiga tipe dari sel, yaitu sel polimorfonuklir, seluruhnya
mempunyai gambaran granular, karena alasan itu mereka disrbut granulosit atau
dalam terminologi klinis disebut “poli” karena intinya multipel.

Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama


dengan cara mencernakannya yaitu melalui fagositosis. Fungsi utama limfosit dan
sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imun.

4. Trombosit
Trombosit merupakan partikel kecil, berdiameter 2 sampai 4 µm, yang terdapat
pada sirkulasi plasma darah. Karena dapat mengalami disintegrasi cepat dan
mudah, jumlahnya selalu berubah antara 150.000 dan 450.000 per mm³ darah,
tergantung jumlah yang dihasilkan, bagaimana digunakan, dan kecepatan
kerusakan. Dibentuk oleh fragmentasi sel raksasa sumsum tulang, yang disebut
megakariosit. Produksi trombosit diatur oleh trombopotein.

Trombosit berperan penting dalam mengotrol pendarahan. Apabila terjadi


pendarahan cedera vascular, trombosit mengumpul pada pada tempat edera
tersebut. Subtansi yang dilepaskan dari granula trombosit dan sel darah lainnya
menyebabkan trombosit menempel satu sama lain dan membentuk tambalan atau
sumbatan, yang sementara menghentikan pendarahan. Subtansi lain dilepaskan
dari trombosit untuk mengaktifasi factor pembekuan dalam plasma darah.

5. Plasma darah
Apabila elemen seluler diambil dari darah, bagian cairan yang tersisa dinamakan
plasma darah. Plasma darah mengandung ion, protein, dan zat lain. Apabila
plasma dibiarkan membeku, sisa cairan yang tertinggal dinamakan serum. Serum
mempunyai kandungan yang sama dengan plasma, keuali kandungan fibrinogen
dan beberapa factor pembekuan.

Protein plasma tersusun terutama oleh albumin dan globulin. Globulin tersusun
atas fraksi alfa, beta dan gama yang dapat dilhat dari laboratorium yang
dinamakan elektroforesis protein. Masing-masing kelompok disusun oleh protein
tertentu.
Gama globulin, yang tersusun terutama oleh anti bodi, dinamakan
immunoglobulin. Protein ini dihasilkan oleh limfosit dan sel plasma. Protein
plasma penting dalam fraksi alfa dan beta adalah globulin transpor dan nfaktor
pembekuan yang dibentuk di hati. Globulin transpor membawa berbagai zat dalam
bentuk terikat sepanjang sirkulasi. Misalnya tiroid terikat globulin, membawa
tiroksin, dan transferin membawa besi. Faktor pembekuan, termasuk fibrinogen,
tetap dalam keadaan tidak aktif dalam plasma darah sampai diaktifasi pada reaksi
pada tahap-tahap pembekuan.
Albumin terutama penting untuk pemeliharaan volume cairan dalam system
vaskuler. Dinding kapiler tidak permeabel terhadap albumin, sehingga
keberadaannya dalam plasma menciptakan gaya onkotik yang menjaga cairan
dalam rongga vaskuler. Albumin, yang dihasilkan oleh hati, memiliki kapasitas
mengikat berbagai zat yang ada dalam plasma. Dalam hal ini, albumin berfungsi
sebagai protein transpor untuk logam, asam lemak, bilirubin, dan obat-obatan,
diantara zat lainnya.

B. DEFINISI
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di
bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson,1999).
Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat di sebabkan oleh
hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel
darah merah. (Guyton,1997). Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah
merah atau konsentrasi hemoglobin turun dibawah normal.(Wong, 2003)

Anemia adalah penurunan dibawah normal dadam jumlah eritrosit, banyaknya


hemoglobin, atau volume sel darah merah, sistem berbagai jenis penyakit dan
kelainan (Dorlan, 1998)

C. PATOFISIOLOGI
1. Jumlah efektif eritrosit berkurang menyebabkan jumlah O2 ke jaringan
berkurang
2. Kehilangan darah yang mendadak (> 30%) mengakibatkan pendarahan
menimbulkan simtomatologi sekunder hipovolemi dan hipoksia
3. Tanda dan gejala: gelisah, diaforesis (keringat dingin),
takikardi,dyspne, syok
4. Kehilangan darah dalam beberapa waktu (bulan) sampai dengan 50%
terdapat kompensasi adalah:
a. Peningkatan curah jantung dan pernafasan
b. Meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin
c. Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari
sela-sela jaringan
d. Redistribusi aliran darah ke organ vital

Salah satu tanda yang sering di kaitkan dengan anemia adalah pucat, ini umumnya
sering di kaitkan dengan volume darah, berkurangnya hemoglobin dan
vasokontriksi untuk memperbesar pengiriman O2 ke organ-organ vital. Karena
faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi kapiler
mempengaruhi warna kulit maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang
dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan dan membran mukosa mulut serta
konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.

D. MANIFESTASI KLINIK
1. Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb, vasokontriksi
2. Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah)
Angina (sakit dada)
3. Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2
berkurang)
4. Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan
berkurangnya oksigenasi pada SSP
5. Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi
atau diare)
E. KLASIFIKASI ANEMIA
1. Anemia pasca-pendarahan (post hemorrhagi)
a. Etiologi
Kehilangan darah karena kecelakaan, operasi, pendarahan usus, ulkus
peptikum, pendarahan karena kelainan obstetric, hemoroid,
ankilostomiasis. Jadi umumnya karena kehilangan darah yang mendadak
atau menahun
1) Kehilangan darah mendadak
a) Pengaruh yang timbul segera
Akibat kehilangan darah yang cepat, terjadi reflek kardiovaskular
yang fisiolgis berupa kontraksi arteriola, pengurangan aliran darah
atau komponennya ke organ tubuh yang kurang vital (anggota
gerak, ginjal dan sebagainya) dan penambahan alran darah ke
organ vital (otak dan jantung)

Gejala yang timbul tergantung dari cepat dan banyaknya darah


yang hilang dan apakah tubuh masih dapat mengadakan
kompensasi.

Kehilangan darah sebanyak 12-15 % akan memperlihatkan gejala


pucat, transpirasi, takikardi, tekanan darah normal atau merendah.
Kehilangan sebanyak 15-20 % akan mengakibatkan tekanan darah
menurun dan dapat terjadi renjatan (shock) yang masih reversibel.
Kehilangan lebih dari 20% akan menimbulkan renjatan yang
ireversibel dengan angka kematian yang tinggi.

Pengobatan yang terbaik ialah dengan transfusi darah. Pilihan


kedua adalah plasma (plasma expanders atau plasma substitute).
Dalam pemberian darurat cairan intravena dengan cairan infus apa
saja yang tersedia

b) Pengaruh lambat
Beberapa jam setelah pendarahan, terjadi pergeseran cairan
ekstravaskular ke intravaskular yaitu agar isi intravaskular dan
tekanan osmotik dapat dipertahankan, tetapi akibatnya terjadi
hemodilusi.

Gejala yang ditemukan ialah leukositosis (15.000-20.000/mm3).


Nilai hemoglobin, erirosit dan hematokrit merendah akibat
hemodilusi. Untuk mempertahankan metabolisme, sebagai
kompensasi sistem eritropoetik menjadi hiperaktif. Kadang-kadang
terlihat gejal gagal jantung

2) Kehilangan darah menahun


Pengaruhnya terlihat sebagai gejala akibat defisiensi besi, bila tidak
diimbangi dengan masukan besi yang cukup.
2. Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi zat besi sering ditemukan di Indonesia. Anemia defisiensi
zat besi merupakan suatu penyakit yang dapat mengakibatkan efeka yang
sangat serius pada fungsi jantung dan paru jika tidak segera ditangani. Selain
itu juga dapat menyebabkan kematian. Anemia defisiensi besi sering terjadi
pada pria atau wanita pasca menopause. Menurut Sneltzer (2002) bahwa
penyebab tersering pada anemia yang dialami oleh pria ataupun wanita pasca
menopause disebabkan karena kurangnya masukan nutrisi. Selain pada pasca
menopause juga dapat terjadi pada bayi. Anemia akibat defesiensi besi untuk
sisntesis Hb merupakan penyakit darah yang paling sering pada bayi dan anak.
Frekuensinya berkaitan dengan aspek dasar metabolisme besi dan nutrisi
tertentu. Tubuh bayi baru lahir mengandung kira-kira 0,5 g besi, sedangkan
dewasa kira-kira 5 g. untuk mengejar perbedaan itu rata-rata 0,8 mg besi harus
direabsorbsi tiap hari selama 15 tahun pertam kehidupan. Disamping
kebutuhan pertumbuhan ini, sejumlah kecil diperlukan untuk
menyeimbangkan kehilangan besi normal oleh pengelupasan sel, karena itu
untuk mempertahankan keseimbangan besi positif pada anak, kira-kira 1 mg
besi harus direabsorbsi setiap hari.
a. Etiologi
Menurut patogenesisnya, etiologi anemia defisiensi besi dibagi:
 Masukan kurang: MEP, defisiensi diet relatif yang disertai
pertumbuhan yang cepat
 Absorsi kurang: MEP: diare kronis, sindrom malabsorbsi lainnya
 Sintesis kurang: transferin (hipotransferinemia congenital)
 Kebutuhan yang bertambah: infeksi, pertumbuhan yang cepat
 Pengeluaran yang bertambah: kehilangan darah karena
ankilostomiasis, amubiasis yang menahun, polip, hemolisis
intravascular kronis yang menyebabkan hemosiderinemia
b. Manifestasi klinik
Penderita tampak lemas, sering berdebar-debar, lekas lelah, pucat, sakit
kepala, iritabel dan sebagainya. Mereka tidak tampak sakit karena
perjalanan penyakitnya bersifat menahun. Tampak pucat terutama pada
mukosa bibir dan faring, telapak tangan dan dasar kuku, konjungtiva
ocular berwarna kebiruan atau putih mutiara (pearly white). Papil lidah
tampak atrofi. Jantung tampak membesar dan terdengar murmur sistolik
yang fungsionil. Pada MEP dengan infestasi ankylostoma akan
memperlihatkan perut buncit yang disebut pot belly dan dapat terjadi
edema. Tidak ada pembesaran limpa dan hepar dan tidak terdapat diatesis
hemoragik. Pemeriksaan radiologis tulang tengkorak akan menunjukkan
pelebaran diploe dan penipisan tabula eksterna sehingga mirip dengan
perubahan tulang tengkorak dari talasemia
c. Pemeriksaan laboratorium
Kadar Hb< 10 g%; MCV < 79 cµ; MCHC < 32%, mikrositik, hipokromik,
poikilositosis, sel target. Kurve Price Jones bergeser kekiri. Leukosit dan
trombosit normal. Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan system
eritropoetik hiperaktif dengan sel normoblas polikromatofil yang
predominan. Dengan demikian terjadi maturation arrest pada tingkat
normoblas polikromatofil. Dengan pewarnaan khusus dapat dibuktikan
tidak terdapat besi dalam sumsum tulang. Serum iron (SI) merendah dan
iron binding capacity (IBC) meningkat (kecuali pada MEP, SI dan IBC
rendah)
d. Diagnosis
Ditegakkan atas dasar ditemukannya penyebab defisiensi besi, gambaran
eritrosit mikrositik hipokromik, SI rendah dan IBC meningkat, tidak
terdapat besi dalam sumsum tulang dan reaksi yang baik terhadap
pengobatan denan besi
e. Pengobatan
Pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr%
per bulan. Kini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg besi dan
500 µg asam folat. (Saiffudin 2002). Selain itu dapat pula diberikan
preparat besi parenteral. Obat ini lebih mahal harganya dan
penyuntikannya harus intra muscular dalam atau ada pula yang dapat
diberikan secara intravena. Preparat besi parenteral hanya diberikan bila
pemberian peporal tidak berhasil

Tranfusi darah hanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 5 g% dan


disertai dengan keadaan umum yang tidak baik, misalnya gagal jantung,
bronkopneumonia dan sebagainya. Umumnya jarang diberikan transfusi
darah karena perjalanan penyakitnya menahun

3. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik secara umum mempunyai abnormalitas morfologi dan
pematangan eritrosit tertentu. Morfologi megaloblastik dapat dijumpai pada
sejumlah keadaan.
a. Defisiensi asam folat
Folat berlimpah dalam berbagai makanan termasuk sayuran hijau, buah
dan orgn binatang (ginjal, hati).
Defisiensi dalam makanan biasanya disertai pertumbuhan cepat atau
infeksi yang dapat menaikan kebutuhan asam folat.
Kebutuhan atas dasar berat badan pada anak lebih besar dibandingkan
pada orang dewasa. Karena kebutuhan yang meningkat untuk
pertumbuhan. Kebutuhan juga meningkat sejalan dengan pergantian
(turnover) jaringan. Susu manusia dan binatang memberi pasokan asam
folat dalam jumlah yang memadai. Susu domba jelas defisien,
suplementasi asam folat harus diberikan bila susu domba merupakan
makanan pokok. Jika tidak diberi suplemen, susu bubuk juga mungkin
sumber yang miskin asam folat.

Terapi
Bila diagnosis telah ditegakkan dengan sakit berat, anemia diberikan
secara oral atau parenteral dengan dosis 1-5 mg/24 jam. Jika diagnosis
spesifik belum diragukan 50-100 µg/24 jam folat dapat diberikan selam 1
minggu sebagai uji diagnostic, atau 1 µg/ 24 jam sianokobalamin
parenteral untuk kecurigaan defisiensi vitamin B12. karena respon
hematology dapat diharapkan dalam waktu 72 jam, transfusi hanya
terindikasi jika anemia berat atau anak sakit berat. Terapi asam folat harus
diteruskan sampai 3-4 minggu.
b. Defisiensi B12 (kobalamin)
Vitamin B12 dihasilkan dari kobalamin dalam makanan, terutama sumber
hewani, produksi skunder oleh mikiroorganisne.
Defisiensi vitamin B12 dapat disebabkan karena kurang masukan,
pembedahan lambung, konsumsi atau inhibisi kompleks B12- factor
intrinsic, abnormalitas yang melibatkan sisi reseptor di ileum terminal,
atau abnormalitas TCII. Meskipun TCI mengikat 80% kobalamin serum,
defisiensi protein ini menyebabkan kadar penurunan B12 tetapi tidak pada
anemia megaloblastik.
Kasus defisiensi terdapat pada bayi minum ASI yang ibunya mempunyai
diet kurang atau yang menderita anemia pernisiosa.

Terapi
Respon hematologist segera akan mengikut pemberian parenteral vitamin
B12 (1 mg), biasanya dengan retikulositosis dalam 2-4 hari, bila tidak ada
penyakit peradangan yang menyertai. Kebutuhan fisiologis vitamin B12
adalah 1-5 µg/ 24 jam, dan respon hematologist telah diamati dengan dosis
kecil ini, ini menunjukan bahwa pemberian minim dosis dapat digunakan
sebagai uji terapeutik bila diagnosis defisiensi vitamin B12 diragukan. Jika
ada bukti keterlibatan neurologis, 1 mg harus disuntikkan intramuscular
harian selama 2 minggu. Terapi rumatan perlu selama hidup penderita,
pemberian bulanan intramuscular vitamin B12 cukup.

4. Anemia Hemolitik
Pada anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur
eritrosit 100-120 hari)
Penyakit ini dapat dibagi menjadi dalam 2 golongan besar yaitu:
 Golongan dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit
sendiri. Umumnya penyebab hemolisis dalam golongan ini ialah kelainan
bawaan (konginetal)
 Golongan dengan penyebab hemolisis ekstraseluler. Biasanya
penyebabnya merupakan faktor yang didapat (acquired)
 Gangguan intrakorpuskuler (konginetal)
Kelainan ini umumnya disebabkan oleh karena adanya gangguan
metabolisme dalam eritrosit itu sendiri
Keadaan ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
 Gangguan pada struktur dinding eritrosit
 Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme
dalam eritrosit
 Hemoglobinopatia

a. Gangguan struktur dinding eritrosit


 Sferositosis
Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh kelainan
membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini berlangsung ringan
sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala anemianya lebih menyolok
daripada dengan ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa sebaliknya.
Suatu infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan krisis aplastik

Pengobatan
Transfusi darah terutama dalam keadaan krisis. Pengangkatan limpa
pada keadaan yang ringan dan anak yang agak besar (2-3 tahun).
Sebaiknya diberikan roboransia

 Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval (lonjong).
Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20%
saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum mendel.
Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang
ditemukan kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya dapat
mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
 Beta Lipropoteinemia
Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang menyebabkan
umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga kelainan bentuk
eritrosit tersebut disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada
dinding sel
 Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah,
misalnya pada panmielopatia tipe fanconi

Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim


 Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
 Defisiensi Glutation reduktase
 Defisiensi Glutation
 Defisiensi Piruvatkinase
 Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
 Defisiensi difosfogliserat mutase
 Defisiensi Heksokinase
 Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya
(95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya konsentrasi HbF akan
menurun, sehingga pada umur satu tahun telah mencapai keadaan yang
normal. Sebenarnya terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan
hemoglobin ini, yaitu:
 Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
 Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin.
Misal talasemia

b. Gangguan ekstrakorpuskuler
Gangguan ini biasanya didapat (acquired) dan dapat disebabkan oleh:
 Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin,
saponin, air), toksin(hemolisin) streptococcus, virus, malaria, luka
bakar juga dapat menyebabkan anemia hemolitik
 Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya
sering menyebabkan penghancuran eritrosit
 Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit
akibat terjadinya reaksi antigen-antibodi.
 Antagonisme ABO atau inkompatibilitas golongan
darah lain seperti Rhesus dan MN
 Alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, tetapi
dalam tubuh akan melekat pada permukaan eritrosit dan menimbulkan
reaksi antigen-antibodi pada permukaan eritrosit dan hal ini dapat
menyebabkan hemolisis. Kejadian tersebut dapat ditimbulkan oleh
virus, bakteri atau obat-obatan seperti kina, PAS dan insektisida.
 Hemolisis dapat pula timbul akibat adanya reaksi
autoimun.

Perjalanan penyakitnya bergantung pada penyebab hemolisisnya, bisa


berlangsung ringan tetapi dapat juga terjadi akut, cepat dan dapat
menyebabkan kematian. Pada keadan yang sangat berat sering terjadi
hemoglobinuria dan hemoglobin yang bebas ini diduga merusak tubulus ginjal
sehingga terjadi oliguria, bahkan kerusakan ginjal itu bukan disebabkan oleh
hemoglobin bebas semata-mata, tetapi juga oleh karena terjadinya
mikroangiopatia dari pembuluh darah ginjal. Oleh karena terjadi pembuatan
trombin yang berlebihan, maka dalam hal ini diperlukan pemberian heparin.

Pengobatan
Pada keadaan yang berat, akibat keracunan obat-obatan, pemberian transfusi
darah dapat menolong penderita. Kadang-kadang diperlukan pula transfusi
tukar. Pada anemia hemolitik oleh karena proses imun maka pemberian darah
harus hati-hati oleh karena hal ini dapat menambah proses hemolisis. Dalam
hal ini sebaiknya diberikan transfusi eritrosit yang telah dicuci.

Diberikan pula prednison atau hidrokortison dengan dosis tinggi pada anemia
hemolitik imun ini. Bila perlu diberikan preparat kortikosteroid secara
intravena. Apabila didapatkan gagal ginjal akut, maka diberikan cairan dan
obat-obatan sesuai dengan penatalaksanaan dari gagal ginjal akut. Pada
anemia hemolitik autoimun yang biasanya berlangsung lama, maka disamping
pemberian prednison, juga diberikan azatioprin (imuran).

5. Anemia Aplastik
Merupakan keaadan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam darah
tepi, akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang.
Sistim limfopoetik dan RES sebenarnya dalam keadaan aplastik juga, tetapi
relatif lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem hemopoetik lainnya.
Aplasia ini hanya dapat terjadi pada satu, dua atau ketiga sistem hemopoetik
(eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik)
Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoetik disebut eritroblastopenia
(anemia hipoplastik), yang hanya mengenai sistem granulopoetik saja disebut
agranulositosis (penyakit schultz), sedangkan yang hanya mengenai sistem
trombopoetik disebut amegakariostik trombositopenik purpura (ATP). Bila
mengenai sistem disebut panmiel optisis atau lazimnya disebut anemia
aplastik.

Panmieloptisis (anemia aplastik)


Kecuali jenis kongenital, anemia aplastik biasanya terdapat pada anak berumur
lebih dari 6 tahun. Depresi sumsum tulang oleh obat atau bahan kimia,
meskipun ,dengan dosis rendah tetapi berlangsung sejak usia muda secara
terus-menerus, baru akan terlihat pengaruhnya setelah beberapa tahun
kemudian. Misalnya pemberian kloramfenikol yang terlampau sering pada
bayi (sejak umur 2-3 bulan), baru akan menyebabkan gejala anemia aplastik
setelah ia berumur lebih dari 6 tahun. Disamping itu pada beberapa kasus
gejala sudah timbul hanya beberapa saat setelah ia kontak dengan gen
penyebabnya.
a. Etiologi
 Faktor konginetal
Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti
mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.
 Faktor didapat
 Bahan kimia: benzene, insektisida, senyawa As, Au,
Pb.
 Obat: kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan),
piribenzamin (antihistamin), santonin-kalomel, obat sitostatika
(myleran, methrotrexate, TEM, vincristine, rubidomycine, dan
sebagainya)
 Radiasi: sinar, rontgen, radioaktif
 Faktor individu: alergi terhadap obat, bahan kimia dan
lain-lain
 Infeksi: tuberkolosis milier, hepatitis dan sebagainya
 Lain-lain: keganasan, penyakit ginjal, gangguan
endokrin
 Idiopatik: merupakan penyebab yang paling sering.
Akhir-akhir ini faktor imunologis telah dapat menerangkan etiologi
golongan idiopatik ini.
6. Gejala klinis dan Hematologis
Pada prinsipnya berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia
sistem eritropoetik, granulopoetik dan trompoetik, serta aktifitas relatif sistem
limfopoetik dan RES Aplasia sistem eritropoetik dalam darah tepi akan terlihat
sebagai retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar Hb,
hematrokit dan hitung eritrosit. Klinis klien akan terlihat pucat dan berbagai
gejala anemia lainya seperti anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal
jantung dan sebagainya.
7. Pengobatan
 Prednison dan testosteron
Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgbb/hari peroral, sedangkan
testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgbb/hari sebaiknya secara parenteral.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa testosteron lebih baik diganti
dengan oksimetolon yang mempunyai daya anabolik dan merangsng
sistem. Hematopoetik lebih kuat dan diberikan dengan dosis 1-2
mg/kgbb/hari peroral. Pada pemberian oksimetolon ini hendaknya
diperhatikan fungsi hati.
Pengobatan biasanya berlangsung berbulan-bulan, bahkan dapat sampai
bertahun-tahun. Bila telah terdapat remisi, dosis obt diberikan separuhnya
dan jumblah sel darah diawasi setiap minggu. Kemudian jika terjadi relaps,
dosis obat harus diberikan penuh kembali.

 Transfusi darah
Transfusi darah diberikan jika hanya diperlukan. Pada keadaan yang
sangat gawat (pendarahan masif, pendarahan otak dan sebagainya) dapat
diberikan suspensi trombosit
 Pengobatan terhadap infeksi sekunder
Untuk menghindarkan dari infeksi, sebaiknya diisolasi dalam ruangan
yang ’suci hama’. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih yang tidak
menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh
diberikan.
 Makanan
Disesuaikan dengan keadaan, umumnya diberikan makanan lunak. Hati-
hati pada pemberian makanan melalui pipa lambung karena mungkin
menyebabkan luka/pendarahan pada waktu pipa dimasukkan
 Istirahat
Untuk mencegah terjadinya pendarahan, terutama pendarahan otak.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi umum anemia meliputi:
1. Gagal jantung
Gagal jantung adalah pemberhentian sirkulasi normal darah dikarenakan
kegagalan dari ventrikel jantung untuk berkontraksi secara efektif pada saat
systole. Akibat kekurangan penyediaan darah, menyebabkan kematian sel dari
kekurangan oksigen. Cerebral hypoxia, atau kekurangan penyediaan oksigen
ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernafas
dengan tiba-tiba.
2. Kejang
Gerakan yang tidak dikendalikan karena ada masalah di otak disebut kejang.
3. Perestesia
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Lakukan pengkajian fisik
b. Dapatkan riwayat kesehatan, termasuk riwayat diet
c. Observasi adanya manifestasi anemia

a) Manivestasi umum
 Kelemahan otot
 Mudah lelah
 Kulit pucat
b) Manivestasi system saraf pusat
 Sakit kepala
 Pusing
 Kunang-kunang
 Peka rangsang
 Proses berpikir lambat
 Penurunan lapang pandang
 Apatis
 Depresi
c) Syok (anemia kehilangan darah)
 Perfusi perifer buruh
 Kulit lembab dan dingin
 Tekanan darah rendah dan tekanan darah setral
 Peningkatan frekwensi jatung

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigenasi ke sel/hipoksi
b. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan umum.
c. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan sistem
pertahanan tubuh.
d. Resiko perdarahan b/d penurunan faktor pembekuan darah

3. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL


1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigenasi ke
sel/hipoksia.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan
menunjukkan tingkat perfusi jaringan yang sesuai.
Kriteria Hasil:
a. Tidak ada sianosis sentral atau perifer.
b. Kulit hangat atau kering.
c. Status mental biasa.
d. Observasi perubahan status mental.
e. Observasi warna dan suhu kulit atau membrane mukosa.
f. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
g. Tinggikan kaki atau telapak bila di tempat tidur atau kursi.
h. Kaji untuk respon verbal melambat, mudah terangsang,
bingung.
i. Gelisah, bingung, disorientasi atau perubahan sensori atau
motor dapatmenunjukkan aliran darah, hipoksia atau cidera faskuler
serebral (CSV) sebagai akibat emboli sistemik.
j. Kulit pucat/sianosis, kaku membrane bibir atau lidah
menunjukkan vasokontriksi/ syok dan gangguan aliran sistemik.
k. Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.
l. Menurunkan status vena di kaki dan pengumpulan darah pada
vena pelvis untuk menurunkan resiko pembentukan thrombus.
m. Dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena
hipoksia atau defisiensi vitamin B12.
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan klien
melaporkan peningkatan intoleransi aktifitas.
Kriteria Hasil:
a. Menunjukkan pernafasan normal.
b. Mendapatkan istirahat yang cukup.
c. TD dalam keadaan normal
d. Observasi adanya tanda kerja fisik (dispnea, sesak
nafas, kunang-kunang, keletihan.
e. Antisipasi dan bantu dalam aktifitas kehidupan sehari-
hari.
f. Beri pengalihan aktifitas.
g. Pilih teman sekamar yang sesuai dengan usia dan minat
yang sama.
h. Pertahankan posisi fowler tinggi.
i. Ukur tanda vital selama istirahat.
j. Merencanakan istirahat yang tepat.
k. Untuk mencegah kelelahan.
l. Meningkatkan istirahat dengan tenang serta mencegah
kebosanan dan menarik diri.
m. Untuk mendorong kepatuhan pada kebutuhan istirahat.
n. Untuk pertukaran udara ug optimal.
o. Untuk menentukan nilai dasar perbandingan selama
periode aktifitas.
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan sistem
pertahanan tubuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
mampu untuk mengidentifikasi perilaku untuk mencegah menurunkan infeksi.
Kriteria Hasil:
a. Klien.
b. Klien tidak menunjukkan bukti infeksi. 1. Tingkatkan
cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan klien.
c. Pertahankan teknik aseptik ketat pada prosedur
perawatan.
d. Berikan perawatan kulit.
e. Lindungi anak dari kontak dengan individu yang
terinfeksi.
f. Pantau suhu.
g. Mencegah terjadinya kontaminasi bakterial.
h. Menurunkan resiko infeksi bakteri.
i. Menurunkan resiko kerusakan kulit atau jaringan.
j. Untuk meminimalkan pemejanan pada organisme
infektif.
k. Adanya bukti infeksi dan membutuhkan pengobatan.
l. Resiko perdarahan b/d penurunan faktor pembekuan
darah

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam diharapkan klien dapat


menurunkan resiko perdarahan.
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan homeastasis dengan tanpa perdarahan.
b. Menunjukkan perilaku penurunan resiko perdarahan.
Mandiri
a. Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada.
b. Catat perubahan mental atau tngkat kesadaran
c. Dorong menggunakan sikat gigi halus
d. Gunakan jarum kecil untuk injeksi, tekan lebih lama
pada bagian bekas suntikan.
e. Hindarkan penggunaan produk yang mengandung
aspirin kolaborasi
f. Awasi Hb/Ht dan faktor pembekuan
g. Berikan obat sesuai indikasi. Vitamin tambahan
(contoh: vit K, D, C)
h. Peningkatan nadi dengan penurunan TD dan CVP dapat
menunjukkan kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan evaluasi lanjut.
i. Perubahan dapat menunjukkan perbahan perfusi
jaringan serebral sekunder terhadap hipoolemia, hipoksemia.
j. Pada adanya gangguan faktor pembekuan, trauma
minimal dapat menyebabkan perdarahan mukosa.
k. Meminimalkan kerusakan jaringan, menurunkan resiko
perdarahan/hematoma
l. Koagulasi memanjang, berpotensi untuk resiko
perdarahan.
m. Indikator anemia, perdarahan aktif/ terjadinya
komplikasi (contoh: KID)
n. Menungkatkan sintesis protombin dan koagulasi
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di
bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson,1999).

Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat di sebabkan oleh hilangnya
darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah.
(Guyton,1997).

Macam-macam atau klasifikasi dari anemia berdasarkan etiolognya yaitu: anemia


pasca pendarahan (kehilangan darah mendadak, kehilangan darah menahun), anemia
defisiensi besi, anemia megaloblastik (defisiensi asam folat dan B12), anemia
hemolitik dan anemia aplastik
DAFTAR PUSTAKA

Abdulrrahman, dkk. 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unifersitas.


Jakarta
Behrman, Ricard E et all. Ilmu Kesehatan Anak. Vol 2. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. 1997. Fisiologi Kedokteran. Ed 9. Jakarta: EGC.
Price & Wilson. 1995. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik/ Donna L. Wong: alih
bahasa Monika ester, editor edisi bahasa indonesia, Sari kurniasih. Ed 4. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai