Anda di halaman 1dari 29

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS

Kelompok F3
Priscilia Lewerissa (102011093)
Yuni Inri Yanti (102012146)
Oktarita Gracia Nenobaes (102013126)
Steven Kristanto Yaputra (102013231)
Clara Shinta Tandi Rante (102013264)
Ayu Prisilia Todingrante (102013315)
Harun Gani(102013410)
Stevia Artha Natalia Purba (102013453)
Amuza Lechimi Kanthan(102013530)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Penyakit HIV-AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan
masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Penyakit HIV-AIDS bisa terjadi akibat
perilaku seks bebas, penggunaan obat suntik, serta dapat ditularkan dari ibu ke anak.
Dari beberapa cara penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko
penularan cukup besar. Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan agar
penyebaran mengalami perlambatan. Tentunya juga sudah banyak dibuatnya program
penanggulangan HIV AIDS namun tetap saja kasusnya terus meningkat dari tahun ke
tahun. Oleh karena itu, perlunya pengetahuan luas tentang penyakit ini, terkhusus
kepada kelompok beresiko tinggi, dan adanya upaya dalam pencegahan penyakit
HIV-AIDS baik secara primer, sekunder, dan tersier.

Skenario 6
Angka kejadian HIV-AIDS semakin hari semakin memprihatinkan. Sampai
dengan triwulan III tahun 2014 jumlah kasus baru HIV 7335 kasus, infeksi tertinggi
menurut golongan umur adalah 25-49 tahun mencapai 69,1%, 20-24 = 17,2%, umur
>=50 tahun = 5,5%. Rasio laki-laki : perempuan = 1 : 1. Sementara itu kasus AIDS
dari bulan Juli sampai September 2014 telah bertambah 176 orang. Persentase
tertinggi kasus AIDS pada usia 30-39 tahun (42%) umur 20-29 tahun (36,9%) dan
umur 40-49 (13,1%). Rasio AIDS laki-laki:perempuan adalah 2:1. Yang menarik
adalah adanya 4% kasus berasal dari ibu yang HIV positif yang menularkan kepada
anaknya. Pemerintah saat ini sedang melaksanakan program yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat terhadap penyakit HIV-AIDS
ini, antara lain dengan program VCT (Voluntary, Counseling and Test). Diharapkan
mampu menjaring sebanyak mungkin kasus HIV-AIDS sedini mungkin untuk
mencegah penularan lebih lanjut. Selain itu sasaran lainnya adalah usia muda dan
remaja agar mampu melaksanakan upaya promosi dan prevensi terhadap penyakit ini.
Pembahasan
1. Penyakit HIV-AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV tergolong dalam
kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk
mengkopi-cetak materi genetik diri di dalam materi genetik sel-sel yang
ditumpanginya. Melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T-4.1
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV. Istilah AIDS meliputi
tidak saja adanya manifestasi gejala klinik yang khusus yaitu sindroma menurunnya
sistem kekebalan tubuh, tetapi juga mengenai spectrum keseluruhan masalah
kesehatan yang berhubungan dengan infeksi HIV. AIDS kurang tepat jika disebut
sebagai penyakit sebab penyakit yang menyerang sangat bervariasi. Defenisi yang
benar adalah Syndrom atau kumpulan gejala penyakit.1
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV yang merupakan virus dari
kelompok retro virus yang berinti RNA dan sangat mudah mengalami mutasi. Satu
virus yang masuk ke dalam sel dapat menginfeksi dan bersifat permanen. Walaupun
pada awalnya virus ini tidak menimbulkan gejala klinis dalam beberapa tahun, namun

kemudian pada kondisi yang sesuai dapat membentuk virus baru dalam sel inang,
kemudian keluar dan menginfeksi sel lain, sehingga mampu menyebabkan timbulnya
gejala klinis.1
Perjalanan Alamiah Penyakit
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Pertama kali ditemukan pada
tahun 1983 oleh Montagnier dari Institute Pasteur Prancis diberi nama
Lymphadenopathy Associated Virus dari penderita AIDS dan diberi nama Human T
cell Leukaemia Virus type III (HTLV-III). Pada tahun 1996 atas kesepakatan
internasional nama virus itu ditetapkan menjadi Human Immunodeficiency Virus
(HIV).1
Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun.
Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS
dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat
AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama.1
Setelah virus HIV masuk ke dalam target, akan melepas bungkusnya dan
merubah bentuk dari RNA menjadi DNA agar dapat bergabung dan menyatukan diri
dengan DNA sel target. Dari DNA sel target yang telah diinfeksi akan diproduksi
virus-virus HIV baru yang mempunyai potensi untuk menginfeksi sel target baru dan
dapat berlangsung seumur hidup. Akibat infeksi HIV ini akan merusak sel limfosit-T
sehingga imun rusak dan daya tahan tubuh menjadi berkurang atau hilang. Penderita
menjadi mudah terserang penyakit lain seperti infeksi. Banyak penderita AIDS
meninggal karena juga menderita penyakit yang lain.1
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan
sebelum titer antibodi terhadap HIV positif. Fase ini disebut periode jendela
(window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih
kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap
positif (fase ini disebut fase laten).1
Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap
(merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIV sampai
menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari
10 tahun setelah diketahui HIV positif.1

Etiologi dan Temuan Klinis


HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa
seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan
peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar
mandi atau WC/Jamban yang sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA). ODHA yaitu pengidap HIV atau AIDS. Sedangkan OHIDA
(Orang hidup dengan HIV atau AIDS) yakni keluarga (anak, istri, suami, ayah, ibu)
atau teman-teman pengidap HIV atau AIDS.2
Lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama
laki-laki, tetapi proporsi penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi
pada bayi dan anak, 90 % terjadi dari Ibu pengidap HIV. Hingga beberapa tahun,
seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala-gejala klinis tertular HIV, namun
demikian orang tersebut dapat menularkan kepada orang lain. Setelah itu, AIDS
mulai berkembang dan menunjukkan tanda-tanda atau gejala-gejala.2
HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok rawan
mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS, yaitu2 :
a. Orang yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa
menggunakan kondom
b. Pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bersamasama
c. Pasangan seksual pengguna narkoba suntik
d. Bayi yang ibunya positif HIV

Para ahli menjelaskan bahwa Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang
yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan
gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu
tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah
kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa
tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena
serangan demam yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan
menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan
aktivitas yang berisiko terkena virus HIV.2
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS
diantaranya adalah seperti dibawah ini2 :
1.

Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas

sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya
(Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga
sebagai TBC.
2.

Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda

dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami
penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang
kronik.
3.

Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga

wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal
karena gangguan pada sistem protein dan energi didalam tubuh seperti yang dikenal
sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan
pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah
kurang bertenaga.
4.

Sistem Persarafan. Terjadinya gangguan pada persarafan central yang

mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak


kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada sistem persarafan ujung
(Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki,
reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
5.

Sistem Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan

virus cacar air (herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam
penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah

mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak
(kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.
6.

Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali

mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus
HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit sifilis dan dibandingkan Pria
maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah
penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic
dikenal sebagai istilah 'pelvic inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid
yang tidak teratur (abnormal).

2. Epidemiologi
Berdasarkan statistik kasus HIV-AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Depkes RI
secara triwulan dari Juli sampai dengan September 2014 bahwa ada sekitar 7.335
kasus HIV dan 176 kasus AIDS. Berikut ini penyebaran penularan HIV-AIDS
berdasarkan jenis kelamin, factor resiko dan golongan umur yang dilaporkan Depkes
September 2014.4

(Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 18 November 2014)


Di Indonesia gambaran penularan epidemiologi HIV yang perlu dicatat dari laporan
Depkes tahun 2014 berdasarkan tabel di atas adalah cukup tingginya kelompok usia

produktif yang menjadi keganasan HIV. Secara kumulatif, penderita HIV-AIDS di


Indonesia lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio
2 : 1. Selain itu, dihitung secara kumulatif menurut faktor resiko, didapat penderita
HIV-AIDS, ialah heteroseksual, artinya para pekerja seks bebas yang senang gontaganti pasangan. Berdasarkan usia, terlihat bahwa penderita adalah kelompok usia
produktif (20-29 tahun). Menyerang kelompok usia produktif merupakan suatu
tantangan yang perlu segera diatasi mengingat kelompok penduduk ini adalah asset
pembangunan bangsa.4
Dari hasil survei Departemen Kesehatan, epidemi HIV/AIDS berpotensi meluas di
masa-masa mendatang. Ini didasarkan pada penularan HIV/AIDS di Indonesia yang
tergolong tinggi. Selain mudah menular di kalangan orang yang suka melakukan
hubungan seks secara bebas, epidemi HIV/AIDS mudah meluas di kalangan
pengguna narkoba, khususnya yang biasa memanfaatkan jarum suntik secara
bersama-sama. Perilaku seks dengan gonta-ganti pasangan (khususnya kaum pria)
berpotensi besar tertular HIV/AIDS, apalagi kalau mereka tidak menggunakan
kondom. Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia berpotensi meluas, karena kesadaran
memakai kondom masih kurang.4
Faktor Agent (Penyebab)
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali di isolasi oleh
Montagnier dan kawankawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada Tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
pada Tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV. Muman Immunodeficiency Virus
adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam Bentuknya yang asli merupakan partikel
yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel
target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti
retrovirus yang lain, dapat tetap Hidup lama dalam sel dengan keadaan in aktif.
Walaupun demikian virus dalam tubuh Pengidap HIV selalu dianggap infectious yang
setiap saat dapat aktif dan dapat Ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara
mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan Bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA

(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian
selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 Berhubungan
dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak
tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap Pengaruh
lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan Dengan
berbagai disinfektan seperti eter , aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan Sebagainya,
tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar
Tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan
otak.2
Faktor Host ( Penjamu )
Wanita lebih rentan terhadap penularan HIV akibat faktor anatomis-biologis dan
faktor sosiologis-gender.Kondisi anatomis-biologis wanita menyebabkan struktur
panggul wanita dalam posisi menampung, dan alat reproduksi wanita sifatnya
masuk kedalam dibandingkan pria yang sifatnya menonjol keluar. Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi infeksi khronik tanpa diketahui oleh ybs. Adanya
infeksi khronik akan memudahkan masuknya virus HIV. Mukosa (lapisan dalam) alat
reproduksi wanita juga sangat halus dan mudah mengalami perlukaan pada proses
hubungan seksual. Perlukaan ini juga memudahkan terjadinya infeksi virus HIV.
Faktor sosiologis-gender berkaitan dengan rendahnya status sosial wanita
(pendidikan, ekonomi, ketrampilan). Akibatnya kaum wanita dalam keadaan rawan
yang menyebabkan terjadinya pelcehan dan penggunaan kekerasan seksual, dan
akhirnya terjerumus kedalam pelacuran sebagai strategi survival.
Status yang rawan terjangkit HIV :
(1) Bayi dan anak dari ibu yang menderita HIV
(2) paling luas pada masa remaja dan dewasa muda, karena maraknya pergaulan
bebas.
(3) PSK ( Pekerja Seks Komersial) dan pelanggannya
(4) TKI/TKW
(5) Biseksual yang sering berganti-ganti pasangan.2
Faktor Environment ( Lingkungan )

Kondisi lingkungan dapat pula menjadi faktor penyebab penularan HIV.


Kondisi lingkungan yang selalu berubah dapat menurunkan kondisi fisik manusia
sehingga dia rentan terhadap penyakit atau kondisi lingkungan yang berubah sehingga
agent dapat berkembang biak dengan pesat pada lingkungan tersebut yang
menyebabkan timbulnya penyakit.
Seseorang yang tinggal dengan lingkungan orang-orang yang terjangkit HIV akan
beresiko lebih tinggi untuk tertular Virus HIV.2
Cara Penularan HIV
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre).
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh.
Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan
kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti
menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.3
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara
penularan H IV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui

hubungan

seksual

baik

Homoseksual

maupun

Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.


Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi
dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya.
Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan
seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko
seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual
yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan
seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko
tinggi terinfeksi virus HIV.
Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua
golongan rusial.

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan


resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif
menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini
sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali

mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.4


Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok
umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak
pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual

Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan
narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara
bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko

tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.


Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara

barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di
negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih
dari 90%.4

Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan
dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan
dengan resiko rendah.4

3. Konsep Surveilans HIV dan AIDS


Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data
secara terus menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan)
kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit dan masalah
kesehatan. Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit,

mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang


mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen,
vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut
kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan
pengendalian penyakit. Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik
surveilans kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama
saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk
mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal
sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health).5
Tujuan dari surveilans AIDS ini adalah memberikan suatu data terhadap pelayanan
kesehatan di Indonesia agar melakukan suatu perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan terhadap penanggulangan AIDS di Indonesia. Sedangkan definisi kasus
AIDS guna keperluan surveilans sendiri adalah seseorang yang HIV positif dan
didapatkan minimal 2 tanda mayor seperti diare kronis selama 1 bulan, berat badan
menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan, demam berkepanjangan, dll disertai dengan 1
tanda minor yaitu seperti salah satunya batuk menetap selama kuarang lebih 1 bulan
dan dermatitis generalisata yang disertai sensasi gatal.5
Dasar surveilans
a. Prosedur pemeriksaan darah untuk penderita AIDS adalah yang pertama harus
mengisi informed consent yang artinya ketersediaan subjek untuk diambil
darahnya kemudian diberikan konseling sebelum serta sesudah test terhadap
subjek dan yang terpenting harus rahasia agar subjek yag diambil darahnya
merasa nyaman dan tidak timbul rasa khawatir misalnya tidak di beri nama bisa
langsung nama kota atau nama samara saja.6
b. Cara pencatatan kasus surveilans AIDS yaitu yang pertama malakukan
pemeriksaan fisik terhadap penderita yang mencurigakan terkena AIDS seperti
terdapat 2 tanda mayor serta 1 tanda minor, kedua yaitu pemeriksaan
laboratorium untuk menguatkan dugaan terhadap penderita, selanjutnya
pemeriksaan laboratorium akan menghasilkan data apakah penderita positif AIDS
atau tidak. Apabila penderita positif menderita AIDS maka wajib mengisi formuir
penderita AIDS agar semua kasus dapat dilaporkan baik yang sudah meninggal
atau yang masih hidup, untuk yang sudah meninggal meskipun sebelumnya sudah

lapor pada saat meninggal juga wajib lapor, karena penguburan mayat positif
AIDS berbeda dengan yang biasa.
c. Pelaporan kasus surveilans AIDS yaitu dengan menggunakan formulir dari
laporan penderita positif AIDS yang kemudian laporan kasus ini dikirim
secepatnya tanpa menunggu suatu periode waktu dan harus dilaporkan pada saat
menemukan penderita positif AIDS bisa melalui fax atauemail untuk sementara
tetapi kemudian disusul dengan data secara tertulis.6

Prosedur dan Ketentuan Surveilans Sentinel HIV/AIDS


Prosedur pelaksanaan Surveilans Sentinel HIV adalah sebagai berikut :
1. Menentukan populasi sentinel berdasarkan sub-populasi sasaran dan lokasi
tertentu (misalnya : PSK, pengguna NAPZA suntik, narapidana pria, waria,
ibu hamil pengunjung klinik KIA yang ditetapkan sebagai lokasi sentinel,
pasien IMS pria pada klinik IMS, pria dengan mobilitas tinggi).
2. Menentukan jumlah sampel yang akan diperiksa dari spesimen yang rutin
diambil pada sub-populasi dan lokasi tertentu tersebut. Spesimen rutin adalah
sample darah yang diambil untuk pemeriksaan rutin untuk tujuan lain,
misanya pada pemeriksaan sifilis rutin pada PSK atau pasien di klinik IMS.
3. Tes HIV/AIDS tersebut dilaksanakan secara unlinked anonymous (tanpa nama
dan tidak dapat dikaitkan dengan pemilik spesimennya) untuk mengurangi
bias partisipasi. Dengan cara ini identitas pasien tidak dapat diketahui,
sehingga hasil tes tidak dapat diberitahukan kepada pasien tersebut. Dengan
kata lain hasil yang didapatkan hanya jumlah yang positif bukan siapa yang
positif.
4. Surveilans

sentinel

HIV/AIDS dimulai

pada

beberapa

lokasi

dan

dikembangkan berdasarkan kebutuhan.


5. Surveilans HIV/AIDS tidak dapat dan tidak boleh digunakan untuk pencarian
kasus HIV/AIDS.
6. Surveillans HIV/AIDS harus menjamin kerahasiaan identitas sasaran dengan
cara menghilangkan identitas masing-masing sasaran dari specimen yang
diambil untuk pemeriksaan HIV/AIDS.6

4. Strategi dalam Penanggulangan HIV-AIDS

Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh Pemerintah dan


masyarakat dalam bentuk layanan komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri
atas:3
Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan
komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta
diskriminasi. Promosi kesehatan diberikan dalam bentuk advokasi, bina suasana,
pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat sesuai dengan kondisi sosial
budaya serta didukung kebijakan publik.3
Advokasi merupakan upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari para pengambil keputusan dan pihakpihak yang terkait (stakeholders) dalam pengendalian HIV dan AIDS. Strategi ini
dilakukan untuk intervensi kebijakan berupa7 :

Penguatan kebijakan yang sudah ada agar mampu mendukung program.

Perubahan/revitalisasi kebijakan lama agar lebih kuat.

Pembuatan kebijakan baru jika diperlukan. Yang dimaksud kebijakan di


sini adalah semua produk hukum yang dikeluarkan oleh pejabat negara
baik

berupa

undang-undang,

peraturan

pemerintah,

peraturan

perundangan, perda, keputusan, instruksi maupun surat edaran.


Bina Suasana merupakan upaya menciptakan opini dan atau mengkondisikan
lingkungan sosial, baik fisik maupun non fisik agar mampu mendorong individu,
keluarga dan kelompok untuk mau melakukan perilaku pencegahan dan berperan
serta dalam pengendalian HIV dan AIDS. Kegiatan Bina suasana antara lain melalui7:
Mass Media Campaign (MMC). Strategi ini menggunakan media massa sebagai
kendaraan utama untuk menyampaikan pesan-pesan pencegahan HIV dan AIDS.
Penggunaan media ini memungkinkan pesan-pesan disampaikan secara luas antara
lain TV, radio, koran, majalah. Sasaran utama penyampaian pesan melalui media
massa adalah penduduk usia 15-24 tahun.
Targeted-Multi Media Campaign (TMMC). Sedikit berbeda dengan MMC di atas,
penggunaan berbagai media dalam TMMC akan lebih segmented dan terfokus,
yakni pada populasi tertentu di daerah tertentu dengan jenis media tertentu. Jenisjenis media yang akan dimanfaatkan dalam TMMC ini adalah: Website, Facebook,
Twitter, SMS gateway, Hotline. Pengelola Program akan mengembangkan dan

mengoperasionalkan berbagai media di atas untuk tujuan intervensi pengendalian


HIV dan AIDS, dengan sasaran utama penduduk usia 15-24 tahun.
Pengembangan kapasitas utamanya ditujukan bagi staf pelaksana program HIV
dan AIDS serta pelaksana promosi kesehatan di tingkat kabupaten/kota sampai
tingkat lapangan sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Pelaksanaan strategi
ini akan menggunakan cara : Orientasi, Pelatihan, Magang di lembaga/program
lain, On the job traning. Diskusi rutin pengkayaan, Pelibatan dalam berbagai
seminar, lokakarya dan konferensi, serta penerbitan/pengadaan sumber pustaka:
buletin, jurnal, buku, majalah, dll.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya menumbuhkan kesadaran, kemauan,
kemampuan masyarakat dalam upaya pengendalian HIV dan AIDS. Pemberdayaan
masyarakat dilakukan melalui7 :
Intervensi Berbasis Sekolah akan merupakan strategi utama dan langsung kepada
penduduk usia 15-24 tahun yang masih di bersekolah atau kuliah. Intervensi jenis
ini akan dilakukan oleh lembaga pelaksana mitra yang profesional dengan cara
tatap muka, baik secara individual maupun kelompok kecil dan besar. Lembaga ini
akan bekerja menggunakan dan memanfaatkan infrastruktur yang telah ada.
Pelaksanaan strategi dalam intervensi ini dilakukan langsung di lingkungan
sekolah memanfaatkan kegiatan intra dan ekstrakurikuler. Strategi ini juga akan
mewadahi serangkaian kegiatan intervensi kebijakan dan kemitraan agar
lingkungan yang kondusif di sekolah dapat diciptakan dan diadopsi oleh sekolah
atau kampus tersebut. Harapannya akan muncul keberlanjutan kegiatan dan
terbentuk Health Promoting School/Campus.
Intervensi Berbasis Luar Sekolah (Tempat Kerja, Komunitas dan Tempat
Nongkrong). Strategi ini dilakukan bagi penduduk usia 15-24 tahun yang tidak
bersekolah atau mereka yang bersekolah tetapi lebih strategis disasar di luar
sekolah. Penduduk kategori ini termasuk: mereka yang ada di tempat kerja, mal,
warnet, kaf, bioskop, tempat-tempat ibadah, jalanan, dll. Penciptaan lingkungan
yang kondusif akan dilakukan dengan cara bekerja sama dengan pengelola/pemilik
tempat-tempat nongkrong tersebut sehingga tercapai health promoting workplace
atau health promoting public space. Strategi ini akan dijalankan oleh lembaga
pelaksana mitra yang professional yang bertugas melakukan kegiatan sehari-hari

dengan cara kontak langsung kepada sasaran secara individual maupun kelompok
kecil dan besar.
Kemitraan dilakukan untuk mendukung upaya advokasi, bina suasana dan
pemberdayaan masyarakat. Kemitraan yang dibangun terutama kemitraan di tingkat
lapangan dengan organisasi kemasyarakatan/lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang pengendalian HIV dan AIDS, kelompok profesi, media massa dan
swasta/dunia usaha. Tujuan pengembangan atau penguatan kemitraan adalah7 :

Memperoleh dukungan politik yang memadai

Memperoleh dukungan dana yang memadai

Memperoleh dukungan SDM yang memadai

Memperoleh dukungan technical assistance yang memadai, termasuk


pelatihan-pelatihan

Memperoleh dukungan media yang positif

Memperoleh dukungan koordinasi antara lembaga pemerintah dan


lembaga pelaksana pengendalian HIV dan AIDS agar tidak terjadi
tumpang tindih program dan sumber daya.

Pencegahan penularan HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan
pola hidup aman dan tidak berisiko. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan
seksual dilakukan melalui upaya untuk3 :
tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia);
setia dengan pasangan (Be Faithful);
menggunakan kondom secara konsisten (Condom use);
menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug);
meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati
IMS sedini mungkin (Education);
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual ditujukan untuk mencegah
penularan HIV melalui darah. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non
seksual dilakukan dengan3 :
uji saring darah pendonor;

pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai
tubuh;
pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui 4 kegiatan yang
meliputi3 :
pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV;
pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya;
pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan
HIV beserta anak dan keluarganya.
Terhadap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan harus dilakukan promosi
kesehatan dan pencegahan penularan HIV melalui pemeriksaan diagnostis HIV
dengan tes dan konseling. Ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus
diberikan konseling mengenai3 :
pemberian ARV (Anti Retroviral) kepada ibu;
pilihan cara persalinan;
pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau
pemberian susu formula yang dapat diterima, layak, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman (acceptable, feasible, affordable, sustainable, and
safe).
pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah usia
6 bulan;
pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada anak; dan
pemeriksaan HIV pada anak.
Setiap bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV harus dilakukan tes virologi HIV
(DNA/RNA) dimulai pada usia 6 (enam) sampai dengan 8 (delapan) minggu atau tes
serologi HIV pada usia 18 (delapan belas) bulan ke atas.3
Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV. Diagnosa adanya infeksi dengan
HIV ditegakkan di laboratorium dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap

virus

tersebut.

Pemeriksaan

untuk

menemukan

adanya

antibodi

tersebut

menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test
ELISA positif maka dilakukan pengulangan dan bila tetap positif setelah pengulangan
maka harus dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western
Blot. Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah2 :

Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium)

Adanya tanda-tanda Immunodeficiency

Adanya gejala infeksi oportunistik

Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik atau
sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi
zat anti HIV.
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi
yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai
minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena
alasan inilah maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah
minggu ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum
suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena,
air liur, atau air kencing.2
Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini
sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah
jari dan air liur. Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang
diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot
atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA
menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya
tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.2
Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi
tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik,
sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil. Walaupun demikian,
pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.2
IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi
ELISA positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat
mahal.2

Pengobatan HIV bertujuan untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat


perburukan infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup pengidap HIV.
Pengobatan HIV harus dilakukan bersamaan dengan penapisan dan terapi infeksi
oportunistik, pemberian kondom dan konseling. Pengobatan AIDS bertujuan untuk
menurunkan sampai tidak terdeteksI jumlah virus (viral load) HIV dalam darah
dengan menggunakan kombinasi obat ARV.3
Pengobatan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan terapeutik, profilaksis
dan penunjang. Pengobatan terapeutik meliputi pengobatan ARV, pengobatan IMS,
dan pengobatan infeksi oportunitis. Pengobatan profilaksis meliputi pemberian ARV
pasca pajanan dan kotrimoksasol untuk terapi dan profilaksis. Pengobatan penunjang
meliputi pengobatan suportif, adjuvant dan perbaikan gizi.3
Pengobatan ARV diberikan setelah mendapatkan konseling, mempunyai pengingat
minum obat (PMO) dan pasien setuju patuh terhadap pengobatan seumur hidup.
Pengobatan ARV harus diindikasikan bagi3 :

penderita HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel
Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3;

ibu hamil dengan HIV

penderita HIV dengan tuberculosis

5. Program Pencegahan Penyakit


Pengetahuan tentang perjalanan penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi
berguna untuk menemukan strategi pencegahan penyakit yang efektif. Pencegahan
penyakit adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah, menunda, mengurangi,
membasmi, mengeliminasi penyakit dan kecacatan, dengan menerapkan sebuah atau
sejumlah intervensi yang telah dibuktikan efektif.8
Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor risiko
atau mencegah berkembangnya faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan
patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, dengan tujuan
mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit. Terma yang berkaitan
dengan pencegahan primer adalah pencegahan primordial dan reduksi kerugian.
Pencegahan primordial adalah strategi pencegahan penyakit dengan menciptakan

lingkungan yang dapat mengeliminasi faktor risiko, sehingga tidak diperlukan


intervensi preventif lainnya.8
Reduksi kerugian (harm reduction) adalah program yang bertujuan untuk
mereduksi kerugian kesehatan pada populasi, meskipun mungkin tidak mengubah
perilaku. Sebagai contoh, pada tahun 1990an sejumlah kota di AS melakukan
eksperimen berupa program penukaran jarum (needle exchange program). Dalam
program itu jarum bekas pengguna obat intravena ditukar dengan jarum bersih yang
diberikan gratis oleh pemerintah kota. Tujuan program adalah memperlambat
penyebaran HIV, meskipun tidak menurunkan dan bahkan bisa mendorong
peningkatan penyalahgunaan obat. Argumen yang dikemukakan untuk membenarkan
strategi tersebut, kerugian yang dialami oleh penerima lebih rendah jika
menggunakan jarum bersih. Program seperti itu menjadi kontroversial jika sebagian
masyarakat memandang dana publik telah digunakan untuk mendukung aktivitas/
perilaku yang tidak sehat.8
Pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada
fase penyakit asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejalagejala penyakit secara klinis melalui deteksi dini (early detection). Jika deteksi tidak
dilakukan dini dan terapi tidak diberikan segera maka akan terjadi gejala klinis yang
merugikan. Deteksi dini penyakit sering disebut skrining. Skrining adalah
identifikasi yang menduga adanya penyakit atau kecacatan yang belum diketahui
dengan menerapkan suatu tes, pemeriksaan, atau prosedur lainnya, yang dapat
dilakukan dengan cepat. Tes skrining memilah orang-orang yang tampaknya
mengalami penyakit dari orang orang yang tampaknya tidak mengalami penyakit. Tes
skrining tidak dimaksudkan sebagai diagnostik. Orang-orang yang ditemukan positif
atau mencurigakan dirujuk ke dokter untuk penentuan diagnosis dan pemberian
pengobatan yang diperlukan. Skrining yang dilakukan pada subpopulasi berisiko
tinggi dapat mendeteksi dini penyakit dengan lebih efisien daripada populasi umum.
Tetapi skrining yang diterapkan pada populasi yang lebih luas (populasi umum) tidak
hanya tidak efisien tetapi sering kali juga tidak etis. Skrining tidak etis dilakukan jika
tidak tersedia obat yang efektif untuk mengatasi penyakit yang bersangkutan, atau
menimbulkan trauma, stigma, dan diskriminasi bagi individu yang menjalani
skrining. Sebagai contoh, skrining HIV tidak etis dilakukan pada kelompok risiko
tinggi jika tidak tersedia obat antiviral yang efektif, murah, terjangkau oleh individu

yang ditemukan positif mengidap HIV. Selain itu, skrining HIV tidak etis dilakukan
jika hasilnya mengakibatkan individu yang ditemukan positif mengalami stigmatisasi,
pengucilan, dan diskriminasi pekerjaan, asuransi kesehatan, pendidikan, dan berbagai
aspek kehidupan lainnya. Deteksi dini pada tahap preklinis memungkinkan dilakukan
pengobatan segera (prompt treatment) yang diharapkan memberikan prognosis yang
lebih baik tentang kesudahan penyakit daripada diberikan terlambat.8
Pencegahan tersier. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan progresi penyakit
ke arah berbagai akibat penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien. Pencegahan tersier biasanya dilakukan oleh para dokter dan
sejumlah profesi kesehatan lainnya. Pencegahan tersier dibedakan dengan pengobatan
(cure), meskipun batas perbedaan itu tidak selalu jelas. Jenis intervensi yang
dilakukan sebagai pencegahan tersier bisa saja merupakan pengobatan. Tetapi dalam
pencegahan tersier, target yang ingin dicapai lebih kepada mengurangi atau mencegah
terjadinya kerusakan jaringan dan organ, mengurangi sekulae, disfungsi, dan
keparahan akibat penyakit, mengurangi komplikasi penyakit, mencegah serangan
ulang penyakit, dan memperpanjang hidup. Sedang target pengobatan adalah
menyembuhkan pasien dari gejala dan tanda klinis yang telah terjadi.8
6. Program khusus puskesmas untuk HIV
VCT ( Voluntary, Counseling and Test)
HIV/AIDS memiliki dampak besar pada penderita, keluarganya, dan
masyarakat. Pencegahan penyebaran infeksi dapat diupayakan melalui peningkatan
akses perawatan dan dukungan pada penderita dan keluarganya. Voluntary Conseling
and Testing (VCT) adalah salah satu bentuk upaya tersebut. VCT adalah proses
konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang
bersifat confidental dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV.
Dalam tahapan VCT, konseling dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah tes
HIV. Pada tahap pre konseling dilakukan pemberian informasi tentang HIV dan AIDS,
cara penularan, cara pencegahan dan periode jendela. Kemudian konselor melakukan
penilaian klinis. Pada saat ini klien harus jujur menceritakan kegiatan yang beresiko
HIV/AIDS seperti aktivitas seksual terakhir, menggunakan narkoba suntik, pernah
menerima produk darah atau organ, dan sebagainya. Konseling pra testing

memberikan pengetahuan tentang manfaat testing, pengambilan keputusan untuk


testing, dan perencanaan atas issue HIV yang dihadapi.4
Setelah tahap pre konseling, klien akan melakukan tes HIV. Pada saat
melakukan tes, darah akan diambil secukupnya dan pemeriksaan darah ini bisa
memakan waktu antara setengah jam sampai satu minggu tergantung metode tes
darahnya. Dalam tes HIV, diagnosis didasarkan pada antibodi HIV yang ditemukan
dalam darah. Tes antibodi HIV dapat dilakukan dengan tes ELISA, Westren Blot
ataupun Rapid. Setelah klien mengambil hasil tesnya, maka klien akan menjalani
tahapan post konseling. Apabila hasil tes adalah negatif (tidak reaktif) klien belum
tentu tidak memiliki HIV karena bisa saja klien masih dalam periode jendela, yaitu
periode dimana orang yang bersangkutan sudah tertular HIV tapi antibodinya belum
membentuk sistem kekebalan terhadap HIV. Klien dengan periode jendela ini sudah
bisa menularkan HIV. Kewaspadaan akan periode jendela itu tergantung pada
penilaian resiko pada pre konseling. Apabila klien mempunyai faktor resiko terkena
HIV maka dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu,
bersama dengan klien, konselor akan membantu merencanakan program perubahan
perilaku. Apabila pemeriksaan pertama hasil tesnya positif (reaktif) maka dilakukan
pemeriksaan kedua dan ketiga dengan ketentuan beda sensitifitas dan spesifisitas pada
reagen yang digunakan. Apabila tetap reaktif klien bebas mendiskusikan perasaannya
dengan konselor. Konselor juga akan menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut
dan dukungan. Misalnya, jika klien membutuhkan terapi ARV ataupun dukungan dari
kelompok sebaya. Selain itu, konselor juga akan memberikan informasi tentang cara
hidup sehat dan bagaimana agar tidak menularkannya ke orang lain.
Pemeriksaan dini terhadap HIV/AIDS perlu dilakukan untuk segera mendapat
pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan bagi mereka yang diidentifikasi terinfeksi
karena HIV/AIDS belum ditemukan obatnya, dan cara penularannya pun sangat cepat.
Memulai menjalani VCT tidaklah perlu merasa takut karena konseling dalam VCT
dijamin kerahasiaannya dan tes ini merupakan suatu dialog antara klien dengan
petugas kesehatan yang bertujuan agar orang tersebut mampu untuk menghadapi
stress dan membuat keputusan sendiri sehubungan dengan HIV/AIDS.4
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKBI)
Dalam rangka melaksanakan program pencegahan dan penangulangan HIVAIDS, Konsep Layanan yang komprehensif dan Berkesinambungan di gagas oleh

Kementerian Kesehatan melalui upaya-upaya promotif, preventif kuratif, dan


rehabilitatif agar Masyarakat yang belum terinfeksi tidak tertular HIV-AIDS. Bagi
Masyarakat yang sudah terinfeksi dapat meningkatkan kualitas hidupnya di masa
yang akan datang. Secara teknis upaya-upaya tersebut dilakukan dengan menyediakan
layanan HIV yang komprehensif atau paripurna sejak terjadi kasus HIV-AIDS di
rumah/komunitas hingga ke layanan kesehatan seperti Puskesmas/Rumah Sakit. Baik
selama perjalanan infeksi HIV sampai dengan si pasien dapat kembali lagi ke
rumah.Sesuai dengan perannya yang diatur dalam undang-undang kesehatan dan
standar pelayanan minimal (SPM) yang sudah ditetapkan, maka Dinas Kesehatan
wajib meningkatkan akses dan cakupan upaya promosi, pencegahan, perawatan dan
pengobatan HIV & IMS yang berkualitas dengan memperluas layanan hingga tingkat
layanan kesehatan primer (Puskesmas) yang diperuntukan bagi semua orang yg
berisiko terinfeksi HIV & IMS sehingga pemerintah mampu meningkatkan tanggung
jawabnya dan mendorong masyarakat dalam program penanggulangan AIDS.4
Prinsip utama penyelenggaraan Layanan Komprehensif Berkesinambungan ini
adalah menyediakan layanan sedekat mungkin dengan tempat tinggal Masyarakat
sesuai dengan kebutuhan dan tingkat prevalensi HIV-AIDS di daerah. Prinsip tersebut
didukung dengan 6 pilar layanan, diantaranya adalah :
Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap
lini, pilar ini dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan dan keterlibatan

aktif dari semua pemangku kepentingan.


Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat, yaitu

Tersedianya layanan terintegrasi sesuai dengan kondisi setempat.


Adanya Sistem rujukan dan jejaring kerja, pemerintah menjamin adanya
jaminan kesinambungan dan linkage antara komunitas dan layanan

kesehatan
Menyelenggarakan

Paket

layanan

HIV

komprehensif

yang

berkesinambungan, dengan tersedianya layanan yang sesuai dengan

kebutuhan di Masyarakat
Akses Layanan Terjamin, yaitu Terjangkaunya layanan baik dari sisi

geografis, finansial dan sosial, termasuk bagi kebutuhan populasi kunci.4


Keterlibatan ODHA dan Keluarga, yaitu Meningkatnya kemitraan, dan
akseptabilitas layanan, meningkatkan cakupan, dan retensi pada perawatan
dan pengobatan, serta mengurangi stigma dan diskriminasi.

Layanan Komprehensif Berkesinambungan dilaksanakan oleh peran ketiga


Lembaga pelaksanan yaitu LSM, Dinas Kesehatan dan KPA dengan membangun
pemahaman HIV-AIDS secara benar di masyarakat melalui penjangkauan dan
pengorganisasian masyarakat agar dapat menciptakan potensi-potensi keterlibatan
warga dengan melibatkan kader-kader yang mampu mengelola Pusat-Pusat Informasi
Kesehatan Masyarakat dan disertai dengan tanggung jawab pemerintah melalui
penyediaan layanan yang komprehensif dan mudah diakses.4
Dalam implementasinya LKB ini harus melibatkan seluruh pihak baik
pemerintah,swasta,maupunmasyarakat(kader,LSM,kelompokdampingansebaya,
tokohmasyarakatdantokohlainnya).DarikonsepkonseptentangLKBdiatas,dapat
dipahami sebenarnya program LKB ini merupakan suatu bentuk integrasi upaya
penanggulanganHIVAIDSdalamkerangkaSistemKesehatanNasional.4
7. LayananPuskesmasRujukansebagaiFasilitasLayananKesehatanPrimer
PuskesmasRujukanmerupakanpuskesmasterpilihyangmemilikisaranadan
tenaga tertentu sesuai dengan standar yang ditetapkan. Puskesmas tersebut
dikembangkanuntukmemberikanlayanandasarHIVIMSyangakanmenjalankan
programLKB.
Pelayanan di tingkat puskemas ini merupakan pelayanan HIV IMS dasar yang
tentunyapadatahaptertentumemerlukanrujukanketingkatpelayanansekunderatau
tertier (Rumah Sakit Kab/Kota atau RS Propinsi) serta melibatkan seluruh pihak
seperti KPA, SKPD lainnya, LSM, Kelompok Dampingan Sebaya, masyarakat
maupunkeluarga.4
LayananterkaitHIVyangdilakukanPuskesmasmeliputi:

KonselingdanTesHIV
Layanan ini sebenarnya telah dilaksanakan sebelum program Layanan
Komprehensif Berkesinambungan. Puskesmas melalui klinik HIV IMSnya
memberikan layanan Konseling dan Tes HIV secara sukarela (KTS) pada
masyarakatyangdatangsecarasukareladanmemintauntukdiberikankonseling
tentang HIV/AIDS dan melakukan pemeriksaan tes HIV. Dengan LKB ini,
Puskesmas tidak hanya memberikan layanan KTS tadi tetapi juga petugas
kesehatan di Puskesmas dapat menawarkan konseling dan tes HIV atas

inisiatifnyabilamencurigaipasientersebut,iniyangdisebutKTIP(Konseling
danTestHIVatasInisiatifPetugasKesehatan)yaitupetugaskesehatanyangada
dipolipoliPuskesmasdapatmenawarkanlayananinikepasienyangdatangbaik
diPoliGigi,PoliDewasa,PoliLansia,PoliKIAKBdanPoliObginyangadadi
Puskesmas.AnjurantesHIViniterutamaditujukanpadaibuhamil,pasienIMS,
pasienTB,pasanganODHA,pasienhepatitis.Setelahmengetahuihasiltes,maka
terhadappasientersebutdiberikankonselingpascatesolehkonselorPuskesmas
untukmendapatkanlayananPerawatan,DukungandanPengobatan(PDP).Bagi
populasikunciyanghasiltesHIVnyamasihnegatif,makadapatdilakukantes

ulangminimalsetiap6bulan.3
Perawatan,DukungandanPengobatan(PDP)
Sebagaitindaklanjutterhadaphasiltes HIV yangdilakukanPuskesmas
LKB Kota Medan, maka Puskesmas merujuk pasien tersebut ke rumah sakit
rujukan yaitu RS Pirngadi RSU H Adam Malik, RSU Haji Medan, Rumkit
Bhayangkara Medan, Rumkit Tk II Putri Hijau Medan untuk mendapatkan
pengobatan ARV. Pasien dapat memilih apakah ia akan melanjutkan
pengobatannyadiRumahSakitataukembalikePuskesmasyangmerujuknya.
SaatinidikotaMedanterdapattigaPuskesmasyangsudahdapatmemberikan
layanan terapi ARV yaitu Puskesmas Teladan, Puskesmas Padang Bulan dan
Puskesmas Helvetia. Dalam layanan LKB pemberian ARV dapat langsung
diberikantanpamemandangjumlahCD4nyakepadamerekayangHIV(+)yaitu
padaibuhamil,pasienkoinfeksiTB,pasienkoinfeksiHepatitisBdanC,LSL,
WPS,Penasun,ODHAyangpasangantetapnyamemilikistatusHIV()dantidak
menggunakankondomsecarakonsisten.
Puskesmas akan bekerjasama dengan LSM atau Kelompok Dampingan
Sebaya(KDS)untukmemberikanlayanankonseling,pendampingan,perawatan
danuntukmemastikankepatuhanpasiendalamminumobatseumurhidupdengan
memberikanpendampinganterutamapadaawalpengobatan,sertamemberikan
dukunganyangtepatdarikeluarga,komunitas,kelompokdukungansebayadan

layanankesehatan.4
PencegahanPenularanHIVdariIbukeAnak(PPIA)
LayananinimencakuppelayananANCdanmelakukantesHIVbagiibu
hamil, mengingat status epidemi Kota Medan yang tergolong epidemi
terkonsentrasi.PuskesmasLKBKotaMedantelahmelaksanakanlayananPPIA

dengan menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif. Sedangkan bila


diperlukanrujukan,terdapat2rumahsakityaituRSAdamMalikMedandanRS
HajiMedanyangtelahmemilkipengalamandalammelakukanprogramPPIA,

misalnyadalammelakukantindakansectiocaesarpadaibuhamildenganHIV.4
PencegahanHIVMelaluiTransmisiSeksual(PMTS)
Puskesmas bekerjasama dengan LSM/KDS dalam memberikan layanan
konselinguntukperubahanperilakudanpenyediaankondomdanpelicin.LSM
yangterlibatantaralainGSMdengankelompokdampinganpadawaria,LSLdan
pelanggan,H2OdengankelompokdampinganpadaWPSdanpelanggan,Medan

PlusdengankelompokdampinganwariadanODHA.4
ProgramTerapiRumatanMetadon
LayananinidilaksanakandalamrangkamengurangirisikopenularanHIV
melaluipenggunaanjarumsuntikpadakelompokPenasun.Pencanduobatopiat
yang menggunakan jarum suntik akan beralih meminum obat dan secara
perlahanlahan diharapkan dapat terlepas dari kecanduan obat. Puskesmas
Teladan,PuskesmasPadangBulandanPuskesmasMedanSunggaltelahbekerja
samadenganLSMpendampingpenasun(Caritas,Galatea,Jarkons)memberikan
layanan alat suntik steril (LASS) untuk mengurangi pemakaian jarum suntik

secarabergantiandantidaksteril.4
Dukungansosialdanekonomi
Layananinitersediadenganbaik,dimanakerjasamalintassektoralDinas
Kesehatan/Puskesmas dengan pihak swasta maupun SKPD terkait belum
terimplementasidenganbaikterutamadalamanggaranyangmendukungprogram
penanggulanganHIVAIDS.DukunganpadakelompokODHAdankeluarganya
misalnyadenganmemberikanpelatihanketrampilan,hibahuntukmodalusaha,
yang seyogyanya dapat melibatkan Dinas Sosial dan CRS dari pihak swasta
belumterealisasi.DemikianjugakerjasamadenganSKPDlainnyasepertiDinas
Pendidikan,DinasPariwisata,danDinasPerhubunganmasihsebataskomitmen
menyokongkegiatanDinasKegiatan.4
8. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)
SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga

dan upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua
data hasil kegiatan Puskesmas (termasuk Puskesmas dengan tempat tidur, Puskesmas
Pembantu, Puskesmas keliling, bidan di Desa dan Posyandu) dan data yang berkaitan,

serta dilaporkannya data tersebut kepada jenjang administrasi diatasnya sesuai


kebutuhan secara benar, berkala dan teratur, guna menunjang pengelolaan upaya
kesehatan masyarakat.
Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas adalah kegiatan
pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya pelayanan kesehatan
di Puskesmas yang ditetapkan melalui SK MENKES/SK/II/1981. Data SP2PT berupa
Umum dan demografi, Ketenagaan, Sarana, Kegiatan pokok Puskesmas. Menurut
Yusran (2008) Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)
merupakan kegiatan pencatatan dan pelaporan puskesmas secara menyeluruh
(terpadu) dengan konsep wilayah kerja puskesmas. Sistem pelaporan ini ini
diharapkan mampu memberikan informasi baik bagi puskesmas maupun untuk
jenjang administrasi yang lebih tinggi, guna mendukung manajemen kesehatan.
Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas merupakan sumber
pengumpulan data dan informasi ditingkat puskesmas. Segala data dan informasi baik
faktor utama dan tenaga pendukung lain yang menyangkut puskesmas untuk dikirim
ke pusat serta sebagai bahan laporan untuk kebutuhan. Menurut Bukhari Lapau
(1989) data yang dikumpul oleh puskesmas dan dirangkum kelengkapan dan
kebenaranya. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) ialah
laporan yang dibuat semua puskesmas pembantu, posyandu, puskesmas keliling
bidan-bidan desa dan lain-lain yang termasuk dalam wilayah kerja puskesmas.
Pencatatan dan pelaporan mencangkup: b.1: Data umum dan demografi wilayah kerja
puskesmas, b.2: Data ketenagaan puskesmas, dan b.3: Data sarana yang dimiliki
puskesmas.
Tujuan SP2TP
Tujuan

Sistem

Informasi

Manajemen

di

Puskesmas

adalah

untuk

meningkatkan kualitas manajemen Puskesmas secara lebih berhasil guna dan berdaya
guna, melalui pemanfaatan secara optimal data SP2TP dan informasi lain yang
menunjang. Tujuan dimaksud dapat terwujud apabila:
1)

Data SP2TP dan data lainnya diolah disajikan dan diinterprestasikan sesuai

dengan petunjuk Pengolahan dan Pemanfaatan data SP2TP.


2) Pengolahan, analisis, interprestasi dan penyajian dilakukan oleh para penanggung
jawab masing-masing kegiatan di Puskesmas dan mengelola program disemua
jenjang administrasi.

3)

Informasi yang diperoleh dari pengolahan dan interprestasi data SP2TP dan

sumber lainnya dapat bersifat kualitatif (seperti meningkat, menurun, dan tidak ada
perubahan) dan bersifat kuantitatif dalam bentuk angka seperti jumlah, persentase dan
sebagainya.
Tujuan umum dari Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas
(SP2TP) ini ialah data dan informasi yang akurat tepat waktu dan mutakhir secara
periodik dan teratur pengolahan program kesehatan masyarakat melalui puskesmas
di berbagai tingkat administrasi. Adapun tujuan khususnya ialah:

Tersedianya data secara akurat yang meliputi segala aspek.

Terlaksananya pelaporan yang secara teratur diberbagai jenjang administrasi


sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Digunakan data tersebut sebagai alat pengambilan keputusan dalam rangka


pengelolaan rencana dalam bidang program kesehatan.
Pelaporan SP2TP
Pelaporan terpadu Puskesmas menggunakan tahun kalender yaitu dari bulan
Januari sampai dengan Desember dalam tahun yang sama. Adapun formulir Laporan
yang digunakan untuk kegiatan SP2TP adalah: 1) Laporan bulanan, yang mencakup:
Data Kedakitan (LB.1), Data Obat-Obatan (LB.2), Gizi, KIA, Imunisasi dan
Pengamatan Penyakit menular (LB.3) serta Data Kegiatan Puskesmas (LB.4); 2)
laporan Sentinel, yang mencakup: Laporan Bulanan Sentinel (LB1S) dan, Laporan
Bulanan Sentinel (LB2S); 3) Laporan Tahunan, yang mencakup: Data dasar
Puskesmas (LT-1), Data Kepegawaian (LT-2) dan, Data Peralatan (LT-3). Laporan
Bulanan (LB) dilakukan setiap bulan dan baling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dikirim ke Dinas Kesehatan Dati II. Laporan bulanan sentinel LB1S dan LB2S setiap
tanggal 10 bulan berikutnya dikirim ke Dinas Kesehatan Dati II, Dati I dan Pusat
(untuk LB1S ke Ditjen PPM dan LB2S ke Ditjen Binkesmas), sedangkan Laporan
Tahunan (LT) dikirim selambat-lambatnya tanggal 31 januari tahun berikutnya.
Khusus untuk laporan LT-2 (data Kepegawaian) hanya di isi bagi pegawai yang
baru/belum mengisi formulir data Kepegawaian.
Ada juga jenis laporan lain seperti laporan triwulan, laporan semester dan
laporan tahunan yang mencakup data kegiatan progam yang sifatnya lebih
komprehensif disertai penjelasan secara naratif. Yang terpenting adalah bagaimana

memanfaatkan semua jenis data yang telah dibuat dalam laporan sebagai masukan
atau input untuk menyusun perencanaan puskesmas ( micro planning) dan lokakarya
mini puskesmas (LKMP). Analisis data hasil kegiatan progam puskesmas akan diolah
dengan menggunakan statistic sederhana dan distribusi masalah dianalisis
menggunakan pendekatan epidemiologis deskriptif. Data tersebut akan disusun dalam
bentuk table dan grafik informasi kesehatan dan digunakan sebagai masukkan untuk
perencanaan pengembangan progam puskesmas. Data yang digunakan dapat
bersumber dari pencatatan masing-masing kegiatan progam kemudian data dari
pimpinan puskesmas yang merupakan hasil supervisi lapangan. Dinas kesehatan
kabupaten/kota mengolah kembali laporan puskesmas dan mengirimkan umpan
baliknya ke Dinkes Provinsi dan Depkes Pusat. Feed back terhadap laporan
puskesmas harus dikirimkan kembali secara rutin ke puskesmas untuk dapat
dijadikan evaluasi keberhasilan program. Sejak otonomi daerah mulai dilaksanakan,
puskesmas tidak wajib lagi mengirimkan laporan ke Depkes Pusat. Dinkes
kabupaten/kotalah yang mempunyai kewajiban menyampaikan laporan rutinnya ke
Depkes.

Kesimpulan
Penyakit HIV-AIDS merupakan penyakit yang masih menjadi perhatian khusus bagi
masyarakat dunia, karena jumlah kasusnya yang meningkat setiap tahun, termasuk di
Indonesia. Epidemi HIV/AIDS muncul dan menyebar melalui perilaku, menyimpang
seks bebas homoseks atau heteroseks dengan pasangan berganti dan penyalah-gunaan
narkoba suntik. Oleh karena itu, perlunya promosi kesehatan dari pemerintah melalui
puskesmas diharapkan dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat hingga
turunnya prevalensi penyakit ini. Hali ini dapat terbantu dengan adanya pendataan
yang baik melalui SP2TP sebagai indicator keberhasilan program penanggulangan
HIV/AIDS.

Daftar Pustaka
1. Merati TP, Djauzi S. HIV.Respon imun infeksi HIV. Sudoyo AW, editor. Dalam buku
ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.4217.
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Sudoyo AW, editor. Dalam buku ajar :
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2861-8.
3. Syamsudin A. Penanggulan HIV dan AIDS. Jakarta: Peraturan Menteri Kesehatan;
2013.
4. Notoadmojo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.h.2659,274-7.
5. Magnus M, Lukman A, editor. Surveilans Penyakit Menular. Jakarta: EGC;
2010.h.282-317.
6. Anastasya G. Penelitian HIV/AIDS (Frekuensi dan Distribusi). Fakultas Kedokteran:
Universitas

Sumatera

Utara,

2010.

Melalui

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16364/4/Chapter%20II.pdf diakses 05 Juli


2015.
7. Sulistyowati LS. Rencana Operasional Promosi Kesehatan dalam pengendalian HIVAIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.h.19-22.
8. Sulistyowati LS. Promosi Kesehatan di daerah bermasalah kesehatan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.h.24-33.
9. Jenkins SK. AIDS : education and prevention. South Africa: AuthorHouse;
2009.p.220-3.

Anda mungkin juga menyukai