Kelompok F3
Priscilia Lewerissa (102011093)
Yuni Inri Yanti (102012146)
Oktarita Gracia Nenobaes (102013126)
Steven Kristanto Yaputra (102013231)
Clara Shinta Tandi Rante (102013264)
Ayu Prisilia Todingrante (102013315)
Harun Gani(102013410)
Stevia Artha Natalia Purba (102013453)
Amuza Lechimi Kanthan(102013530)
Pendahuluan
Penyakit HIV-AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan
masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Penyakit HIV-AIDS bisa terjadi akibat
perilaku seks bebas, penggunaan obat suntik, serta dapat ditularkan dari ibu ke anak.
Dari beberapa cara penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko
penularan cukup besar. Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan agar
penyebaran mengalami perlambatan. Tentunya juga sudah banyak dibuatnya program
penanggulangan HIV AIDS namun tetap saja kasusnya terus meningkat dari tahun ke
tahun. Oleh karena itu, perlunya pengetahuan luas tentang penyakit ini, terkhusus
kepada kelompok beresiko tinggi, dan adanya upaya dalam pencegahan penyakit
HIV-AIDS baik secara primer, sekunder, dan tersier.
Skenario 6
Angka kejadian HIV-AIDS semakin hari semakin memprihatinkan. Sampai
dengan triwulan III tahun 2014 jumlah kasus baru HIV 7335 kasus, infeksi tertinggi
menurut golongan umur adalah 25-49 tahun mencapai 69,1%, 20-24 = 17,2%, umur
>=50 tahun = 5,5%. Rasio laki-laki : perempuan = 1 : 1. Sementara itu kasus AIDS
dari bulan Juli sampai September 2014 telah bertambah 176 orang. Persentase
tertinggi kasus AIDS pada usia 30-39 tahun (42%) umur 20-29 tahun (36,9%) dan
umur 40-49 (13,1%). Rasio AIDS laki-laki:perempuan adalah 2:1. Yang menarik
adalah adanya 4% kasus berasal dari ibu yang HIV positif yang menularkan kepada
anaknya. Pemerintah saat ini sedang melaksanakan program yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat terhadap penyakit HIV-AIDS
ini, antara lain dengan program VCT (Voluntary, Counseling and Test). Diharapkan
mampu menjaring sebanyak mungkin kasus HIV-AIDS sedini mungkin untuk
mencegah penularan lebih lanjut. Selain itu sasaran lainnya adalah usia muda dan
remaja agar mampu melaksanakan upaya promosi dan prevensi terhadap penyakit ini.
Pembahasan
1. Penyakit HIV-AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV tergolong dalam
kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk
mengkopi-cetak materi genetik diri di dalam materi genetik sel-sel yang
ditumpanginya. Melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T-4.1
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV. Istilah AIDS meliputi
tidak saja adanya manifestasi gejala klinik yang khusus yaitu sindroma menurunnya
sistem kekebalan tubuh, tetapi juga mengenai spectrum keseluruhan masalah
kesehatan yang berhubungan dengan infeksi HIV. AIDS kurang tepat jika disebut
sebagai penyakit sebab penyakit yang menyerang sangat bervariasi. Defenisi yang
benar adalah Syndrom atau kumpulan gejala penyakit.1
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV yang merupakan virus dari
kelompok retro virus yang berinti RNA dan sangat mudah mengalami mutasi. Satu
virus yang masuk ke dalam sel dapat menginfeksi dan bersifat permanen. Walaupun
pada awalnya virus ini tidak menimbulkan gejala klinis dalam beberapa tahun, namun
kemudian pada kondisi yang sesuai dapat membentuk virus baru dalam sel inang,
kemudian keluar dan menginfeksi sel lain, sehingga mampu menyebabkan timbulnya
gejala klinis.1
Perjalanan Alamiah Penyakit
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Pertama kali ditemukan pada
tahun 1983 oleh Montagnier dari Institute Pasteur Prancis diberi nama
Lymphadenopathy Associated Virus dari penderita AIDS dan diberi nama Human T
cell Leukaemia Virus type III (HTLV-III). Pada tahun 1996 atas kesepakatan
internasional nama virus itu ditetapkan menjadi Human Immunodeficiency Virus
(HIV).1
Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun.
Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS
dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat
AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama.1
Setelah virus HIV masuk ke dalam target, akan melepas bungkusnya dan
merubah bentuk dari RNA menjadi DNA agar dapat bergabung dan menyatukan diri
dengan DNA sel target. Dari DNA sel target yang telah diinfeksi akan diproduksi
virus-virus HIV baru yang mempunyai potensi untuk menginfeksi sel target baru dan
dapat berlangsung seumur hidup. Akibat infeksi HIV ini akan merusak sel limfosit-T
sehingga imun rusak dan daya tahan tubuh menjadi berkurang atau hilang. Penderita
menjadi mudah terserang penyakit lain seperti infeksi. Banyak penderita AIDS
meninggal karena juga menderita penyakit yang lain.1
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan
sebelum titer antibodi terhadap HIV positif. Fase ini disebut periode jendela
(window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih
kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap
positif (fase ini disebut fase laten).1
Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap
(merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIV sampai
menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari
10 tahun setelah diketahui HIV positif.1
Para ahli menjelaskan bahwa Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang
yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan
gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu
tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah
kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa
tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena
serangan demam yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan
menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan
aktivitas yang berisiko terkena virus HIV.2
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS
diantaranya adalah seperti dibawah ini2 :
1.
sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya
(Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga
sebagai TBC.
2.
dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami
penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang
kronik.
3.
wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal
karena gangguan pada sistem protein dan energi didalam tubuh seperti yang dikenal
sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan
pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah
kurang bertenaga.
4.
virus cacar air (herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam
penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah
mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak
(kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.
6.
mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus
HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit sifilis dan dibandingkan Pria
maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah
penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic
dikenal sebagai istilah 'pelvic inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid
yang tidak teratur (abnormal).
2. Epidemiologi
Berdasarkan statistik kasus HIV-AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Depkes RI
secara triwulan dari Juli sampai dengan September 2014 bahwa ada sekitar 7.335
kasus HIV dan 176 kasus AIDS. Berikut ini penyebaran penularan HIV-AIDS
berdasarkan jenis kelamin, factor resiko dan golongan umur yang dilaporkan Depkes
September 2014.4
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian
selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 Berhubungan
dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak
tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap Pengaruh
lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan Dengan
berbagai disinfektan seperti eter , aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan Sebagainya,
tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar
Tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan
otak.2
Faktor Host ( Penjamu )
Wanita lebih rentan terhadap penularan HIV akibat faktor anatomis-biologis dan
faktor sosiologis-gender.Kondisi anatomis-biologis wanita menyebabkan struktur
panggul wanita dalam posisi menampung, dan alat reproduksi wanita sifatnya
masuk kedalam dibandingkan pria yang sifatnya menonjol keluar. Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi infeksi khronik tanpa diketahui oleh ybs. Adanya
infeksi khronik akan memudahkan masuknya virus HIV. Mukosa (lapisan dalam) alat
reproduksi wanita juga sangat halus dan mudah mengalami perlukaan pada proses
hubungan seksual. Perlukaan ini juga memudahkan terjadinya infeksi virus HIV.
Faktor sosiologis-gender berkaitan dengan rendahnya status sosial wanita
(pendidikan, ekonomi, ketrampilan). Akibatnya kaum wanita dalam keadaan rawan
yang menyebabkan terjadinya pelcehan dan penggunaan kekerasan seksual, dan
akhirnya terjerumus kedalam pelacuran sebagai strategi survival.
Status yang rawan terjangkit HIV :
(1) Bayi dan anak dari ibu yang menderita HIV
(2) paling luas pada masa remaja dan dewasa muda, karena maraknya pergaulan
bebas.
(3) PSK ( Pekerja Seks Komersial) dan pelanggannya
(4) TKI/TKW
(5) Biseksual yang sering berganti-ganti pasangan.2
Faktor Environment ( Lingkungan )
hubungan
seksual
baik
Homoseksual
maupun
Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan
narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara
bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko
barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di
negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih
dari 90%.4
Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan
dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan
dengan resiko rendah.4
lapor pada saat meninggal juga wajib lapor, karena penguburan mayat positif
AIDS berbeda dengan yang biasa.
c. Pelaporan kasus surveilans AIDS yaitu dengan menggunakan formulir dari
laporan penderita positif AIDS yang kemudian laporan kasus ini dikirim
secepatnya tanpa menunggu suatu periode waktu dan harus dilaporkan pada saat
menemukan penderita positif AIDS bisa melalui fax atauemail untuk sementara
tetapi kemudian disusul dengan data secara tertulis.6
sentinel
HIV/AIDS dimulai
pada
beberapa
lokasi
dan
berupa
undang-undang,
peraturan
pemerintah,
peraturan
dengan cara kontak langsung kepada sasaran secara individual maupun kelompok
kecil dan besar.
Kemitraan dilakukan untuk mendukung upaya advokasi, bina suasana dan
pemberdayaan masyarakat. Kemitraan yang dibangun terutama kemitraan di tingkat
lapangan dengan organisasi kemasyarakatan/lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang pengendalian HIV dan AIDS, kelompok profesi, media massa dan
swasta/dunia usaha. Tujuan pengembangan atau penguatan kemitraan adalah7 :
Pencegahan penularan HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan
pola hidup aman dan tidak berisiko. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan
seksual dilakukan melalui upaya untuk3 :
tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia);
setia dengan pasangan (Be Faithful);
menggunakan kondom secara konsisten (Condom use);
menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug);
meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati
IMS sedini mungkin (Education);
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual ditujukan untuk mencegah
penularan HIV melalui darah. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non
seksual dilakukan dengan3 :
uji saring darah pendonor;
pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai
tubuh;
pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui 4 kegiatan yang
meliputi3 :
pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV;
pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya;
pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan
HIV beserta anak dan keluarganya.
Terhadap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan harus dilakukan promosi
kesehatan dan pencegahan penularan HIV melalui pemeriksaan diagnostis HIV
dengan tes dan konseling. Ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus
diberikan konseling mengenai3 :
pemberian ARV (Anti Retroviral) kepada ibu;
pilihan cara persalinan;
pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau
pemberian susu formula yang dapat diterima, layak, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman (acceptable, feasible, affordable, sustainable, and
safe).
pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah usia
6 bulan;
pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada anak; dan
pemeriksaan HIV pada anak.
Setiap bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV harus dilakukan tes virologi HIV
(DNA/RNA) dimulai pada usia 6 (enam) sampai dengan 8 (delapan) minggu atau tes
serologi HIV pada usia 18 (delapan belas) bulan ke atas.3
Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV. Diagnosa adanya infeksi dengan
HIV ditegakkan di laboratorium dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap
virus
tersebut.
Pemeriksaan
untuk
menemukan
adanya
antibodi
tersebut
menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test
ELISA positif maka dilakukan pengulangan dan bila tetap positif setelah pengulangan
maka harus dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western
Blot. Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah2 :
Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik atau
sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi
zat anti HIV.
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi
yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai
minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena
alasan inilah maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah
minggu ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum
suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena,
air liur, atau air kencing.2
Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini
sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah
jari dan air liur. Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang
diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot
atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA
menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya
tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.2
Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi
tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik,
sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil. Walaupun demikian,
pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.2
IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi
ELISA positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat
mahal.2
penderita HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel
Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3;
yang ditemukan positif mengidap HIV. Selain itu, skrining HIV tidak etis dilakukan
jika hasilnya mengakibatkan individu yang ditemukan positif mengalami stigmatisasi,
pengucilan, dan diskriminasi pekerjaan, asuransi kesehatan, pendidikan, dan berbagai
aspek kehidupan lainnya. Deteksi dini pada tahap preklinis memungkinkan dilakukan
pengobatan segera (prompt treatment) yang diharapkan memberikan prognosis yang
lebih baik tentang kesudahan penyakit daripada diberikan terlambat.8
Pencegahan tersier. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan progresi penyakit
ke arah berbagai akibat penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien. Pencegahan tersier biasanya dilakukan oleh para dokter dan
sejumlah profesi kesehatan lainnya. Pencegahan tersier dibedakan dengan pengobatan
(cure), meskipun batas perbedaan itu tidak selalu jelas. Jenis intervensi yang
dilakukan sebagai pencegahan tersier bisa saja merupakan pengobatan. Tetapi dalam
pencegahan tersier, target yang ingin dicapai lebih kepada mengurangi atau mencegah
terjadinya kerusakan jaringan dan organ, mengurangi sekulae, disfungsi, dan
keparahan akibat penyakit, mengurangi komplikasi penyakit, mencegah serangan
ulang penyakit, dan memperpanjang hidup. Sedang target pengobatan adalah
menyembuhkan pasien dari gejala dan tanda klinis yang telah terjadi.8
6. Program khusus puskesmas untuk HIV
VCT ( Voluntary, Counseling and Test)
HIV/AIDS memiliki dampak besar pada penderita, keluarganya, dan
masyarakat. Pencegahan penyebaran infeksi dapat diupayakan melalui peningkatan
akses perawatan dan dukungan pada penderita dan keluarganya. Voluntary Conseling
and Testing (VCT) adalah salah satu bentuk upaya tersebut. VCT adalah proses
konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang
bersifat confidental dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV.
Dalam tahapan VCT, konseling dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah tes
HIV. Pada tahap pre konseling dilakukan pemberian informasi tentang HIV dan AIDS,
cara penularan, cara pencegahan dan periode jendela. Kemudian konselor melakukan
penilaian klinis. Pada saat ini klien harus jujur menceritakan kegiatan yang beresiko
HIV/AIDS seperti aktivitas seksual terakhir, menggunakan narkoba suntik, pernah
menerima produk darah atau organ, dan sebagainya. Konseling pra testing
kesehatan
Menyelenggarakan
Paket
layanan
HIV
komprehensif
yang
kebutuhan di Masyarakat
Akses Layanan Terjamin, yaitu Terjangkaunya layanan baik dari sisi
KonselingdanTesHIV
Layanan ini sebenarnya telah dilaksanakan sebelum program Layanan
Komprehensif Berkesinambungan. Puskesmas melalui klinik HIV IMSnya
memberikan layanan Konseling dan Tes HIV secara sukarela (KTS) pada
masyarakatyangdatangsecarasukareladanmemintauntukdiberikankonseling
tentang HIV/AIDS dan melakukan pemeriksaan tes HIV. Dengan LKB ini,
Puskesmas tidak hanya memberikan layanan KTS tadi tetapi juga petugas
kesehatan di Puskesmas dapat menawarkan konseling dan tes HIV atas
inisiatifnyabilamencurigaipasientersebut,iniyangdisebutKTIP(Konseling
danTestHIVatasInisiatifPetugasKesehatan)yaitupetugaskesehatanyangada
dipolipoliPuskesmasdapatmenawarkanlayananinikepasienyangdatangbaik
diPoliGigi,PoliDewasa,PoliLansia,PoliKIAKBdanPoliObginyangadadi
Puskesmas.AnjurantesHIViniterutamaditujukanpadaibuhamil,pasienIMS,
pasienTB,pasanganODHA,pasienhepatitis.Setelahmengetahuihasiltes,maka
terhadappasientersebutdiberikankonselingpascatesolehkonselorPuskesmas
untukmendapatkanlayananPerawatan,DukungandanPengobatan(PDP).Bagi
populasikunciyanghasiltesHIVnyamasihnegatif,makadapatdilakukantes
ulangminimalsetiap6bulan.3
Perawatan,DukungandanPengobatan(PDP)
Sebagaitindaklanjutterhadaphasiltes HIV yangdilakukanPuskesmas
LKB Kota Medan, maka Puskesmas merujuk pasien tersebut ke rumah sakit
rujukan yaitu RS Pirngadi RSU H Adam Malik, RSU Haji Medan, Rumkit
Bhayangkara Medan, Rumkit Tk II Putri Hijau Medan untuk mendapatkan
pengobatan ARV. Pasien dapat memilih apakah ia akan melanjutkan
pengobatannyadiRumahSakitataukembalikePuskesmasyangmerujuknya.
SaatinidikotaMedanterdapattigaPuskesmasyangsudahdapatmemberikan
layanan terapi ARV yaitu Puskesmas Teladan, Puskesmas Padang Bulan dan
Puskesmas Helvetia. Dalam layanan LKB pemberian ARV dapat langsung
diberikantanpamemandangjumlahCD4nyakepadamerekayangHIV(+)yaitu
padaibuhamil,pasienkoinfeksiTB,pasienkoinfeksiHepatitisBdanC,LSL,
WPS,Penasun,ODHAyangpasangantetapnyamemilikistatusHIV()dantidak
menggunakankondomsecarakonsisten.
Puskesmas akan bekerjasama dengan LSM atau Kelompok Dampingan
Sebaya(KDS)untukmemberikanlayanankonseling,pendampingan,perawatan
danuntukmemastikankepatuhanpasiendalamminumobatseumurhidupdengan
memberikanpendampinganterutamapadaawalpengobatan,sertamemberikan
dukunganyangtepatdarikeluarga,komunitas,kelompokdukungansebayadan
layanankesehatan.4
PencegahanPenularanHIVdariIbukeAnak(PPIA)
LayananinimencakuppelayananANCdanmelakukantesHIVbagiibu
hamil, mengingat status epidemi Kota Medan yang tergolong epidemi
terkonsentrasi.PuskesmasLKBKotaMedantelahmelaksanakanlayananPPIA
misalnyadalammelakukantindakansectiocaesarpadaibuhamildenganHIV.4
PencegahanHIVMelaluiTransmisiSeksual(PMTS)
Puskesmas bekerjasama dengan LSM/KDS dalam memberikan layanan
konselinguntukperubahanperilakudanpenyediaankondomdanpelicin.LSM
yangterlibatantaralainGSMdengankelompokdampinganpadawaria,LSLdan
pelanggan,H2OdengankelompokdampinganpadaWPSdanpelanggan,Medan
PlusdengankelompokdampinganwariadanODHA.4
ProgramTerapiRumatanMetadon
LayananinidilaksanakandalamrangkamengurangirisikopenularanHIV
melaluipenggunaanjarumsuntikpadakelompokPenasun.Pencanduobatopiat
yang menggunakan jarum suntik akan beralih meminum obat dan secara
perlahanlahan diharapkan dapat terlepas dari kecanduan obat. Puskesmas
Teladan,PuskesmasPadangBulandanPuskesmasMedanSunggaltelahbekerja
samadenganLSMpendampingpenasun(Caritas,Galatea,Jarkons)memberikan
layanan alat suntik steril (LASS) untuk mengurangi pemakaian jarum suntik
secarabergantiandantidaksteril.4
Dukungansosialdanekonomi
Layananinitersediadenganbaik,dimanakerjasamalintassektoralDinas
Kesehatan/Puskesmas dengan pihak swasta maupun SKPD terkait belum
terimplementasidenganbaikterutamadalamanggaranyangmendukungprogram
penanggulanganHIVAIDS.DukunganpadakelompokODHAdankeluarganya
misalnyadenganmemberikanpelatihanketrampilan,hibahuntukmodalusaha,
yang seyogyanya dapat melibatkan Dinas Sosial dan CRS dari pihak swasta
belumterealisasi.DemikianjugakerjasamadenganSKPDlainnyasepertiDinas
Pendidikan,DinasPariwisata,danDinasPerhubunganmasihsebataskomitmen
menyokongkegiatanDinasKegiatan.4
8. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)
SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga
dan upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua
data hasil kegiatan Puskesmas (termasuk Puskesmas dengan tempat tidur, Puskesmas
Pembantu, Puskesmas keliling, bidan di Desa dan Posyandu) dan data yang berkaitan,
Sistem
Informasi
Manajemen
di
Puskesmas
adalah
untuk
meningkatkan kualitas manajemen Puskesmas secara lebih berhasil guna dan berdaya
guna, melalui pemanfaatan secara optimal data SP2TP dan informasi lain yang
menunjang. Tujuan dimaksud dapat terwujud apabila:
1)
Data SP2TP dan data lainnya diolah disajikan dan diinterprestasikan sesuai
3)
Informasi yang diperoleh dari pengolahan dan interprestasi data SP2TP dan
sumber lainnya dapat bersifat kualitatif (seperti meningkat, menurun, dan tidak ada
perubahan) dan bersifat kuantitatif dalam bentuk angka seperti jumlah, persentase dan
sebagainya.
Tujuan umum dari Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas
(SP2TP) ini ialah data dan informasi yang akurat tepat waktu dan mutakhir secara
periodik dan teratur pengolahan program kesehatan masyarakat melalui puskesmas
di berbagai tingkat administrasi. Adapun tujuan khususnya ialah:
memanfaatkan semua jenis data yang telah dibuat dalam laporan sebagai masukan
atau input untuk menyusun perencanaan puskesmas ( micro planning) dan lokakarya
mini puskesmas (LKMP). Analisis data hasil kegiatan progam puskesmas akan diolah
dengan menggunakan statistic sederhana dan distribusi masalah dianalisis
menggunakan pendekatan epidemiologis deskriptif. Data tersebut akan disusun dalam
bentuk table dan grafik informasi kesehatan dan digunakan sebagai masukkan untuk
perencanaan pengembangan progam puskesmas. Data yang digunakan dapat
bersumber dari pencatatan masing-masing kegiatan progam kemudian data dari
pimpinan puskesmas yang merupakan hasil supervisi lapangan. Dinas kesehatan
kabupaten/kota mengolah kembali laporan puskesmas dan mengirimkan umpan
baliknya ke Dinkes Provinsi dan Depkes Pusat. Feed back terhadap laporan
puskesmas harus dikirimkan kembali secara rutin ke puskesmas untuk dapat
dijadikan evaluasi keberhasilan program. Sejak otonomi daerah mulai dilaksanakan,
puskesmas tidak wajib lagi mengirimkan laporan ke Depkes Pusat. Dinkes
kabupaten/kotalah yang mempunyai kewajiban menyampaikan laporan rutinnya ke
Depkes.
Kesimpulan
Penyakit HIV-AIDS merupakan penyakit yang masih menjadi perhatian khusus bagi
masyarakat dunia, karena jumlah kasusnya yang meningkat setiap tahun, termasuk di
Indonesia. Epidemi HIV/AIDS muncul dan menyebar melalui perilaku, menyimpang
seks bebas homoseks atau heteroseks dengan pasangan berganti dan penyalah-gunaan
narkoba suntik. Oleh karena itu, perlunya promosi kesehatan dari pemerintah melalui
puskesmas diharapkan dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat hingga
turunnya prevalensi penyakit ini. Hali ini dapat terbantu dengan adanya pendataan
yang baik melalui SP2TP sebagai indicator keberhasilan program penanggulangan
HIV/AIDS.
Daftar Pustaka
1. Merati TP, Djauzi S. HIV.Respon imun infeksi HIV. Sudoyo AW, editor. Dalam buku
ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.4217.
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Sudoyo AW, editor. Dalam buku ajar :
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2861-8.
3. Syamsudin A. Penanggulan HIV dan AIDS. Jakarta: Peraturan Menteri Kesehatan;
2013.
4. Notoadmojo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.h.2659,274-7.
5. Magnus M, Lukman A, editor. Surveilans Penyakit Menular. Jakarta: EGC;
2010.h.282-317.
6. Anastasya G. Penelitian HIV/AIDS (Frekuensi dan Distribusi). Fakultas Kedokteran:
Universitas
Sumatera
Utara,
2010.
Melalui