Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999
sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun
ada juga lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi. MK
didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya.
Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya
konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan
kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi.
Kiprah MK sejak kehadirannya sepuluh tahun silam (2003-2013) banyak dinilai cukup signifikan terutama
dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan demokrasi. Oleh karena itu, kita sebagai Mahasiswa
Program Studi Ilmu Kelembagaan Negara harus paham tetang seluk beluk tentang MK ini, dalam tulisan ini
penulis bermaksud mengemukakan Sejarah Pembentukan, Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat di tarik sebuah rumusan
masalah untuk memperjelas materi yang akan di bahas dalam tulisan ini sebagai berikut :
1.
Bagaimana Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi?
2. Apa saja asas-asas dalam Mahkamah Konstitusi?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini antara lain sebagai berikut :
1.
Salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Acara MK.
2.
Mengetahui sejarah pembentukan MK.
3.
Mengetahui asas-asas yang ada dalam MK

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai
judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah
histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria,
gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam
rangka amandemen UUD 1945.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban
tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern
nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum
yang lebih tinggi.[1] Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah
Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury
versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John
Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh
kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia Harper)[2]
memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya memerintahkan pemerintah mengeluarkan
write of mandamus[3] dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan mereka. tetapi Mahkamah Agung
dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang
ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat
pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada
aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa
yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana
ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena ketentuan Judiciary Act
itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.[4] Atas dasar penafsiran
terhadap konstitusi-lah perkara ini diputus oleh John Marshall.
Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian
berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undangundang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh
Supreme Court.
Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20 (1881-1973) juga pakar
konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna, diminta untuk menyusun
sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919.
Sama dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum
yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian). Kelsen juga
mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas
penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan
biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan UndangUndang Dasar. Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi
berdasar model itu untuk pertama kali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan
Oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria.
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review menyebar keseluruh Eropa,
dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis
mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Constitutional Council (Conseil Constitutional).

Negara-negara bekas jajahan Perancis mengikuti pola Perancis ini. Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang
mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan negara ke 78 yang
mengadopsikannya.[6]
Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas
lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut
constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya
diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah
Agung diberi wewenang membanding undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan
empat alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan
kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii)
tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk
melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat,
dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman
mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah
Agung. Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang
memperjuangkan agar Mahkamah Agung Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap
Undang Undang Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh suasana dan
paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik waktu itu. Juga tidak
diperkenankannya adanya perubahan konstitusi, bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan..
Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang menghantam berbagai
aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD
1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam
lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas
pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK
diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang,
pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai
negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan
mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil
Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah
Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24
ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengalami perubahan mendasar sejak Perubahan Pertama pada
tahun 1999 sampai Perubahan Keempat pada tahun 2002. Undang-undang Dasar 1945 setelah Perubahan
Keempat tahun 2002, saat ini boleh dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali, dengan resmi disebut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat
jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat
kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan, menyisakan
hanya 25 butir yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir ketentuan dapat
dikatakan merupakan materi atau ketentuan yang baru.
Sri Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem perubahan Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya
merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan

adanya perubahan.[9] Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan UUD 1945 sejak Perubahan Pertama
sampai Perubahan Keempat, tentunya harus mempengaruhi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai lembaga
Negara.
Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah Perubahan
Keempat UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Perubahan itu juga mempengaruhi
mekanisme struktural organ-organ Negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara
berpikir lama. Ada pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu; pokok
pikiran tersebut antaranya adalah :
a) Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara
komplementer;
b)
Pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances'
c) Pemurnian sistem pemerintah presidential; dan
d) Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk
maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim
konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.[11]
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan
bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.[12] Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara
yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah
Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan
modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang
membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
b. Alasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul
pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju
demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai
perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi
pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik[13],
juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hakhak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm,
yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan
apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the
sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian
sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk
penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi,
merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan

bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar
pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah
terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan
perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan
wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang
terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan
perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu
kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945
akhirnya menyepakati organ baru bernama MK.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada
saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi
yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis
tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan
lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan
Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan
(separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap
ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan
paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang
berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh
MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang
digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan
alasan politis semata.Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden
dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di
berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan
mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga
UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal
24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
B.

Asas-asas Dalam Mahkamah Konstitusi

1)

Persidangan Terbuka untuk Umum

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa sidang
pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara
universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan. Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK) menentukan secara khusus bahwa sidang Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini
merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk akuntabilitas Hakim. Transparansi dan akses publik
secara luas yang dilakukan MK dengan membuka, bukan hanya sidang tetapi juga proses persidangan yang
dapat dilihat atau dibaca melalui transkripsi, berita acara dan putusan yang dipublikasikan lewat dunia maya.
Tersedianya salinan putusan dalam bentuk hard copy yang dapat diperoleh pihak Pemohon dan Termohon
setelah sidang pembacaan putusan yang dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum merupakan

interpretasi MK terhadap keterbukaan dan asas sidang terbuka untuk umum tersebut serta sebagai pelaksanaan
Pasal 14 UU MK.
2)

Independen dan Imparsial

Pasal 2 UUMK menyatakan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pada
Pasal 33 UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim wajib
menjaga kemandirian peradilan. Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap
imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.
Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya
cita-cita negara hukum. Indenpendensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan
pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan dalam hal ini
adalah MK sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan
terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari
berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan
halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari
pemerintah atau kekuatan politik yang berkausa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau
kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau
bentuk lainnya (dikutip dari bukunya Prof Jimly Asshidiqie Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara (hal. 53).
3)

Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah

Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat
dan biaya ringan. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah
pemeriksaan dan penyelesaian perkara dialakukan dengan acara yang efisien dan efektif sedangkan biaya murah
adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh raktyat.
Dalam hukum acara MK tidak dikenal adanya biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon.
Semua biaya yang menyangkut persidangan di MK dibebankan pada biaya negara. Menurut Prof. Jimly,
ketentuan mengenai biaya perkara dibebankan pada negara alasannya adalah bahwa proses peradilan di
lingkungan MK pada pokoknya bukanlah mengadili kepentingan umum atau kepentingan lembaga-lembaga
negara yang juga bersifat publik. Karena itu, orang berurusan dengan MK tidak perlu dibebani dengan beban
biaya sama sekali. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan MK, lebih baik
jika MK dibebaskan dari keharusan berhubungan keuangan dengan pihak lain. Biarlah seluruh kebutuhan MK
dibebankan saja kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
4)

Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)

Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di persidangan biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut
umum maupun terdakwa mempunyai hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang dan
masing-masing pihak mempunyai kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil
masing-masing.

Dalam nuansa yang sedikit berbeda, pada pengujian undang-undang maka pemohon dan pemerintah serta DPR
maupun pihak yang berkaitan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi hak
yang sama untuk didengar. Bahkan stakeholder lain yang merasa mempunyai kepentingan dengan undangundang yang diuji tersebut harus didengar jika pihak yang terkait tersebut mengemukakan keinginannya untuk
memberi keterangan. Setidak-tidaknya memberi keterangan secara tertulis yang wajib dipertimbangkan MK jika
keterangan tersebut mengandung nilai yuridis yang dapat membuat jelas permasalahan yang berkaitan denagn
prosedur pembuatan undang-undang tersebut maupun muatan materi atau bagian pasal maupun ayat undangundang yang diuji tersebut.
Asas ini berkaitan dengan asas Independen dan Imparsial. Dalam proses perkara, pihak terkait yang tidak secara
langsung ikut, keterangannya akan dinilai Mahkamah sebagai ad informabdum. Kegagalan hakim untuk
melaksanakan asas ini secara baik akan menimbulkan kesan bahkan tuduhan bahwa hakim atau Mahkamah
tidak imparsial bahkan tidak adil. Dalam peradilan biasa hal demikian pun dapat dijadikan alasan untuk
membatalkan putusan yang telah dijatuhkan.
5)

Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan

Asas ini menarik, karena dalam hukum acara MK hakim tidak hanya bersikap pasif saja, tetapi sekaligus harus
bersikap aktif. Hal ini karena karakteristik khusus perkara konstitusi yang kental dengan kepentingan umum
ketimbang kepentingan perorangan telah menyebabkan proses persidangan tidak dapat diserahkan hanya pada
inisiatitif pihak-pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan
dan dalam hal demikian hakim bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk
menggerakkan mekanisme MK memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali
permohonan tersebut didaftar dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat
didalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses
dan tidak menguntungkan proses hanya pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka menggali keterangan
maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal yang diajukan dalam permohnan
tersebut.
6)

Ius Curia Novit

Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan kata lain bahwa Mahkamah dianggap
mengetahui hukum yang diperlukan. Mahkamah tidak dapat menolak memeriksa, mengadili dan memutus setiap
perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada atau hukumnya kurang jelas.

Sejarah dan Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah


Konstitusi
Makalah,
Disusun untuk memenuhu salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Oleh :
Dimas Saptono Abioso (131000021)
Dibawah bimbingan :
Firdaus Arifin, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG

Anda mungkin juga menyukai