Anda di halaman 1dari 32

BAB 4

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN


4.1

Pemodelan Sistem Maglev


Data pada awal penelitian didapatkan dengan memodelkan sistem maglev.

Pemodelan diawali dengan mengetahui faktor-faktor yang menghasilkan gaya


levitasi. Levitasi yang dihasilkan oleh maglev mempunyai dua cara yaitu tarimenarik (attractive) dan dorongan (repulsive). Perbandingan dari kedua sistem
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Perbandingan dari Sistem Maglev.

Sumber : Chen dkk, 1999.

Repulsive maglev mempunyai dua tipe magnet yang digunakan, yaitu


magnet permanen dan DC elektromagnet. Kedua tipe magnet mempunyai cara
pembangkitan yang berbeda. Magnet permanen mempunyai gaya sendiri yang
dihasilkan dari karakter material magnet, sedangkan DC elektromagnet dihasilkan
dari arus listrik yang mengalir melalui tembaga yang dililitkan. Selain itu, kedua
tipe magnet ini juga mempunyai perbedaan pada sistem pengendaliannya. Gaya
yang dihasilkan magnet permanen berasal dari material magnet, sehingga sulit
untuk dikendalikan. Gaya yang dihasilkan DC elektromagnet sebagian besar
dipengaruhi oleh arus listrik, sehingga pengaturan dari sistem menjadi lebih
mudah.
Attractive maglev mempunyai tiga tipe magnet yaitu AC elektromagnet,
DC elektromagnet dan Hybrid magnet (gabungan antara magnet permanen dengan
elektromagnet). Hampir semua gaya yang dihasilkan attractive maglev dapat

43

dengan mudah dikendalikan, kecuali hybrid magnet. Kemudahan pengendalian


dari attractive maglev yang menjadi alasan untuk menggunakan model maglev ini.
Selain itu, kepadatan medan magnet (magnet field) juga menjadi alasan digunakan
attractive model dalam proses pengujian. Perbedaan kepadatan medan magnet
menghasilkan variasi gaya dorong (repulsive) antara magnet permanen dengan
elektromagnet. Hasil pengujian sistem maglev dengan metode repulsive tidak
mampu menghasilkan celah (gap) dan kedua jenis magnet ini menempel satu
dengan yang lain.
Hasil Tabel 4.1 dan pengujian awal membuktikan bahwa magnet
permanen dengan elektromagnet sulit untuk mendapatkan levitasi dengan gaya
dorong (repulsive). Model yang digunakan pada penelitian menggunakan
attractive maglev. Tiga bagian utama sistem maglev yang digunakan pada
penelitian ini yaitu: solenoid, magnet permanen dan mikrokontroler seperti terlihat
pada Gambar 3.10.
Gaya magnet dapat dihasilkan oleh arus listrik, sebaliknya listrik juga
dapat dihasilkan dari gaya magnet. Gaya magnet yang dihasilkan oleh arus listrik
disebut elektromagnet, sehingga gaya magnet dapat dikendalikan dengan mudah.
Salah satu perangkat elektronik yang dapat menghasilkan gaya magnet adalah
solenoid. Medan magnet yang dihasilkan dari solenoid didapat dengan cara
persamaan (18):
=
dimana


adalah permeabilitas udara yang besarnya 1.256 . 10 .

adalah arus yang melewati solenoid dan

adalah jumlah lilitan.

Pemodelan berikutnya adalah dengan membandingkan besar lilitan dengan


medan magnet yang dihasilkan. Banyak lilitan yang digunakan dalam pengujian
medan magnet adalah 400, 450, 500, 550 dan 600. Medan magnet dan pengaruh
terhadap sistem maglev yang diamati pada pengujian ini, sehingga didapatkan
kisaran medan magnet yang ingin digunakan pada sistem maglev. Tabel 4.2

44

menunjukan perbandingan medan magnet yang dihasilkan dengan jumlah lilitan


yang diberikan.

Tabel 4.2. Perbandingan besar lilitan dengan medan magnet yang dihasilkan.
Jumlah Lilitan

Medan Magnet

400

0.015 T

450

0.016 T

500

0.018 T

550

0.020 T

600

0.022 T

Hasil pada tabel 4.2 menunjukan bahwa medan magnet semakin besar jika jumlah
lilitan yang diberikan pada solenoid semakin banyak. Setiap penambahan 50
lilitan pada solenoid menyebabkan pertambahan besar rata-rata pada medan
magnet sekitar 0.014 T. Namun jumlah lilitan yang semakin besar menyebabkan
panas berlebih, sehingga perlu diperhitungkan jumlah lilitan agar energi yang
digunakan tidak berubah menjadi panas.
Satuan unit

dalam bentuk (Newton/coulomb)/(meter/scond)-1, dalam

satuan SI biasa dinamakan tesla (T). Satuan ampere didapatkan dari


coulomb/second, sehingga 1 T = 1 Newton/ampere meter. Pada satuan lain yang
masih digunakan nilai

adalah gauss: 1 T = 104 gauss. Dari hubungan satuan unit

dapat disimpulkan bahwa semakin besar arus yang diberikan pada solenoid, maka
semakin besar juga gaya yang dihasilkan. Gaya pada elektromagnet dapat dilihat
pada persamaan (19):
= .

= 0.022 30 = 0.66
dimana

adalah medan magnet pada solenoid, dan adalah arus yang diberikan

pada solenoid.

45

Arus listrik yang diberikan pada solenoid mempengaruhi gaya yang


dihasilkan. Pemberian arus pada solenoid diberikan secara bertahap untuk
mengetahui apakah besar-kecil arus mempengaruhi gaya. Permberian arus listrik
pada solenoid dilakukan sebagai berikut: 10, 15, 20, 25 dan 30 A. Pada Tabel 4.3
menunjukan gaya solenoid yang dipengaruhi oleh besarnya arus.

Tabel 4.3. Pengaruh Besarnya Arus Terhadap Gaya yang Dihasilkan Solenoid.
Arus Listrik

Gaya

10 A

0.22 N

15 A

0.33 N

20 A

0.44 N

25 A

0.55 N

30 A

0.66 N

Hasil pada Tabel 4.3 menunjukan pengaruh arus terhadap besarnya gaya pada
sistem maglev. Setiap pemberian arus sebesar 5 A ada kenaikan gaya 0.11 N. Dari
hasil tersebut, pemberian arus pada sistem maglev hendaknya disesuaikan dengan
massa dari objek levitator. Dengan begitu gaya yang dihasilkan tidak terbuang,
karena memberikan arus secara berlebihan.
Gaya yang dihasilkan oleh magnet permanen sangat bergantung pada jenis
material dan dimensinya. Pada Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa neodymium
mempunyai kekuatan 300 kJm-3. Jika volume pada magnen permanen sebesar 1 x
10-6 m3, maka gaya yang dihasilkan pada magnet permanen sebesar 0.3 N. Hasil
tersebut kemudian digunakan untuk memodelkan gaya yang terjadi pada sistem
maglev.
Material dari magnet mempengaruhi gaya yang dihasilkan oleh magnet
permanen. Namun pada sistem maglev pengaruh dari material perlu diuji terlebih
dahulu. Pada Tabel 3.1 dapat dilihat kekuatan dari berbagai mavam jenis magnet.
Dari Tabel 3.1 dan volume dari magnet permanen sebesar 1 x 10-6 m3, makan
perhitungan gaya magnet dengan persamaan (20) hasilnya dapat dilihat pada

46

Tabel4.4. Tabel 4.4 menunjukan gaya yang dihasilkan magnet permanen dengan
jenis material yang berbeda.

Tabel 4.4. Gaya yang Dihasilkan Jenis Material Magnet Permanen.


Jenis Material

Gaya

Ferro Oxide ( SrFe12O19)

0.034 N

Alnico

0.043 N

Rare Earth Cobalt Alloys (SmCo5)

0.15 N

Rare Earth-Iron Alloys (Nd2Fe14B)

0.3 N

Hasil pada Tabel 4.4 menunjukan bahwa jenis material mempengaruhi


gaya yang dihasilkan magnet permanen. Rare Earth-Iron Alloys atau neodymium
mempunyai gaya paling besar. Namun neodymium di Indonesia masih sulit
didapatkan, selain itu harga dari neodymium masih relatif mahal jika
dibandingkan dengan jenis magnet lainya.
Setelah gaya dari elektromagnet dan magnet permanen didapatkan, proses
berikutnya adalah pemodelan sistem maglev. Sistem maglev dapat digambarkan
secara sederhana seperti sistem pegas. Gambar 4.1 menunjukan diagram benda
bebas dari sistem maglev yang disederhanakan kedalam bentuk pegas dan massa.

Gambar 4.1. Diagram Benda Bebas dari Sitem Maglev.


47

Persamaan sistem maglev

dapat menggunakan sistem translasi pada hukum

newton yang kedua yaitu:


=
adalah massa dari objek levitasi sebesar 50 g, a adalah percepatan dari

Dimana

gravitasi dan

adalah jumlah gaya yang bekerja pada massa. Hukum Newton

yang kedua dapat digunakan untuk memodelkan sistem, sehingga dapat diperoleh
persamaan:

= !" #$
Atau
+ ! = !#
!# didapatkan dari gaya yang dihasilkan elektromagnet yaitu sebesar 0.66 N
dengan gaya dari. Untuk ! adalah faktor gaya yang mempengaruhi perpindah

posisi z. Gaya yang mempengaruhi perpindahan z adalah gaya yang dihasilkan


medan magnet, dengan menggunakan gaya yang dihasilkan neodymium nilai kz
adalah 0.3 N.
Persamaan linier di atas ditransfomasikan ke dalam persamaan Laplace
sehingga diperoleh fungsi alih sistem maglev sebagai berikut:

&'(' =

)"*$
"*$

!+
0.66
=
, + !0.05, + 0.30

Fungsi alih yang didapatkan dapat digunakan untuk menyimulasikan sistem


maglev. Gambar 4.2 memperlihatkan sistem maglev yang disimulasikan dengan
open loop. Simulasi dilakukan secara bertahap. Pertama adalah menguji apakah
jumlah lilitan mempengaruhi levitasi dari sistem maglev. Tahap kedua menguji

48

apakah arus mempengaruhi levitasi sitem maglev. Tahap ketiga menguji apakah
jenis material dari sistem maglev mempengaruhi levitasi dari sistem maglev.
Ketiga tahap tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai dari jumlah lilitan, arus
dan jenis material pada saat pembuatan sistem maglev.

Gambar 4.2. Simulasi Sistem Maglev Open Loop.

Hasil dari simulasi maglev dengan variasi jumlah lilitan dapat dilihat pada
Gambar 4.3. Jumlah lilitan yang diberikan adalah 400, 450, 500, 550 dan 600.
Arus yang diberikan pada pengujian ini adalah 30 ampere.

Gambar 4.3. Pengaruh Penambahan Lilitan pada Sistem Maglev.

Hasil pada Gambar 4.3 menunjukan bahwa penambahan lilitan pada


sistem maglev mengakibatkan adanya penambahan lebar celah. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 4.3, dimana setpoint dari pengujian ini adalah 5 mm. Namun

49

hasil dari pengujian ini terjadi osilasi pada sistem maglev. Penambahan lebar
celah pada sistem maglev disebabkan bertambah besar medan magnet. Medan
magnet yang tidak seimbang antara elektromagnet dengan magnet permanen
menjadi salah satu penyebab tidak seimbangnya posisi celah.
Bagian berkutnya adalah dengan menguji sistem maglev dengan
pemberian arus yang berbeda. Arus yang diberikan pada sistem maglev dilakukan
secara bertahap, yaitu dengan memberikan 10, 15, 20, 25 dan 30. Hasil dari
pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Pengaruh Penambahan Arus Terhadap Sistem Maglev.

Hasil pemberian arus yang berbeda menunjukan adanya pengaruh terhadap


sistem maglev. Hasil tersebut didapatkan dari lilitan solenoid sebesar 600 putaran
dengan arus yang divariasikan. Pada arus sebesar 10 A osilasi yang dihasilkan
oleh sistem maglev tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan pemberian arus
15, 20, 25 dan 30. Pemberian arus semakin besar menyebabkan semakin besar
lebar celah yang dihasilkan, hal ini terjadi karena bertambah besar gaya yang
dihasilkan oleh sistem maglev.
Pengujian berikutnya adalah mengamati pengaruh sistem maglev pada
jenis material magnet permanen yang berbeda. Ada empat jenis material yang
diujikan pada sistem maglev, yaitu Ferrite Oxide, Alnico, Rare-Earth Cobalt
50

Alloys dan Rare-Earth Iron Alloys (neodymium). Pada Tabel 4.4 menunjukan
bahwa tiap jenis material menghasilkan gaya yang berbeda, sehingga pada
pengujian ini mengamati apakah jenis material tersebut berpengaruh pada sistem
maglev. Gambar 4.5 menunjukan pengaruh jenis material terhadap sistem maglev.

Gambar 4.5. Pengaruh Jenis Material yang Berbeda pada Sistem Maglev.

Dengan jenis material yang berbeda ternyata dapat mempengaruhi kinerja


dari sistem maglev. Gambar 4.5 menunjukan bahwa material yang dihasilkan
oleh ferro oxide dan alnico memperbesar lebar celah pada sistem maglev. Padahal
gaya yang dihasilkan oleh kedua material tersebut lebih kecil jika dibandingkan
dengan 2 jenis material lainnya. Sedangkan jenis material neodymium dan
samarium cobalt lebar celah yang dihasilkan lebih kecil. Hal ini disebabkan gaya
yang dihasilkan oleh jenis material ini berbeda-beda dan semakin besar gaya pada
magnet permanen mempengaruhi juga gaya pada elektromagnet. Levitasi yang
stabil didapatkan apabila gaya pada magnet permanen dan elektromagnet harus
sama dengan gaya berat dari objek levitasi, sehingga adanya keseimbangan gaya.
Namun dari ketiga pengujian sistem maglev yang dihasilkan masih belum mampu
menjaga lebar celah sesuai setpoint, oleh sebab itu penambahan kontrol umpan
balik sangat diperlukan pada pembuatan sistem maglev.

51

Penambahan kontrol umpan balik pada sistem maglev close loop menjadi
bagian yang penting untuk mendapatkan gaya levitasi yang stabil. Simulasi
berikutnya adalah mencari kontrol umpan balik pada sistem maglev supaya
mendapatkan levitasi dari benda sesuai dengan setpoint yang diinginkan.
Spesifikasi pemodelan yang digunakan adalah dengan memberi lilitan sebesar 600
putaran, arus yang diberikan sebesar 30 A dan neodymium yang digunakan
sebagai magnet permanennya. Gambar 4.6 menunjukkan diagram sistem
pengendalian maglev close loop.

Gambar 4.6. Diagram Sistem Pengendalian yang Digunakan.

Kontrol umpan balik yang digunakan pada sistem maglev menggunakan


kontrol PID. Kontroler PID sebenarnya digunakan dengan cara analog, namun
kerena implementasi pada alat menggunakan mikrokontroler maka kontrol PID
juga diubah kedalam digital. Kontrol PID harus di diskritkan untuk dapat
digunakan pada sistem digital. Pada persamaan (33) kemudian diubah kedalam
bentuk digital menjadi persamaan sebagai berikut:
#./0 " $ = 12 " $ + 13 4

" $

+ 15

56"7$
57

Permasalahan dalam desain kontroler PID adalah melakukan tuning atau


menentukan nilai Ki, Kp dan Kd. Tujuan tuning kontroler PID adalah
menghasilkan sistem yang dapat bekerja sesuai tujuan awal meski terdapat

52

gangguan. Terdapat beberapa metode tuning pada kontroler PID, salah satunya
adalah dengan menggunakan metode Ziegler-Nichols.
Metode tuning Ziegler-Nichols adalah metode yang cukup populer dalam
melakukan tuning kontroler PID. dilakukan melalui eksperimen, yaitu dengan
memberikan kontroler P pada suatu sistem close loop dengan plant atau proses
yang sudah terpasang, seperti pada Gambar 4.7. Metode ini berguna untuk sistem
yang mempunyai respon osilasi terus menerus.

Gambar 4.7. Cara Menentukan Nilai Kp pada Metode Tuning Ziegler-Nichols.

Langkah berikutnya adalah dengan menambahkan nilai Kp sampai sistem


berosilasi berkesinambungan. Respon yang didapat dapat dilihat pada Gambar 4.8
dengan nilai Kcr = 3, dengan hasil tersebut dapat menentukan nilai Kcr dan Pcr.
Kcr adalah penguatan kritis dan Pcr adalah periode kritis, untuk mengetahui
perhitungan Pcr dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Cara Mengetahui Nilai Pcr.

53

Nilai dari Kcr adalah 3 dan Pcr adalah 0.9, langkah berikutnya adalah
menentukan nilai Kp, Ti dan Td. Cara menentukan nilai-nilai tersebut adalah
dengan melihat tabel yang sudah ditentukan oleh Ziegler-Nichols. Tabel tersebut
dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 digunakan juga untuk menentukan nilai
dari Ti dan Td pada penggunaan kontroler Ki dan Kd untuk mengetahui hasil dari
simulasi sistem maglev.

Tabel 4.5. Metode Tuning Ziegler-Nichols.


Tipe Kontroler

KP

Ti

Td

0.5 Kcr

PI

0.45 Kcr

1/1.2 Pcr

PID

0.6 Kcr

0.5 Pcr

0.125 Pcr

Kp, Ti dan Td dengan menggunakan metode tuning Ziegler-Nichols


didapatkan nilai sebagai berikut: Kp = 1.8, Ki = 2.2 dan Kd = 0.6. Nilai tersebut
dapat digunakan untuk menguji apakah sistem maglev.
Setelah kontrol PID diubah dalam bentuk digital, maka efek yang
dihasilkan oleh P, I dan D juga diubah kedalam bentuk diskret. Persamaan pada
proporsional adalah:
#2 = 1 "9. :*2 :$
Persamaan ini kemudian diimplementasikan dengan mengubah variabel kontiyu
kedalam versi sampel. Persamaan sampel dapat dilihat pada persamaan:
#2 " ; $ = 1 "9. :*2 " ; $ :" ; $$
Dimana " ; $ adalah contoh sampling dari pembacaan input analog.
Setelah persamaan dari kontrol P didapatkan, proses berikutnya adalah
mensimulasikan sistem maglev dengan memberikan kontrol P. Cara pemberian

54

kontrol P pada sistem maglev adalah dengan mengatur terlebih dahulu setpoint
dari jarak levitator dengan objek levitasi. Setpoint yang diberikan adalah 5 mm,
yang diwakili dengan 1.00 V. Jarak diketahui dengan membaca hall effect sensor.
Tegangan pada sensor yang akan dikendalikan oleh konrtoler. Pada persamaan
(25) error kontrol e pada tegangan dapat ditulis dalam persamaan berikut:
= <*2 <
Ketika error sudah didapatkan maka variabel kontrol P untuk sistem maglev dapat
ditulis sebagai berikut:
#2 " ; $ = 1 " ; $ + #=
Hasil dari pengujian sistem maglev dengan kontrol P dapat dilihat pada
gambar 4.9. Pengujian dengan kontrol P diharapkan sistem maglev mampu
menghasilkan lebar celah sesuai dengan setpoint yaitu 5 mm. Waktu yang
digunakan untuk menguji sistem maglev adalah 10 detik. Ketika lebar celah yang
dihasilkan oleh sistem maglev dapat sesuai dengan setpoint selama 10 detik, maka
sistem maglev dapat dikatakan stabil.

Gambar 4.9. Hasil simulasi sistem maglev dengan kontrol P.

55

Hasil simulasi pada Gambar 4.7 menunjukan sistem maglev dengan


kontrol P didapatkan bahwa kontrol P masih belum bisa menjaga lebar celah dari
maglev. Pada Gambar 4.7 dapat dilihat juga bahwa kontrol P mampu memperkecil
osilasi. Permberian nilai Kp = 1 membuat error pada sistem berkurang yang.
Namun saat nilai Kp ditambahkan pada sistem, sistem menghasilkan osilasi
semakin besar, karena Kp berfungsi untuk mepercepat respon dari suatu sistem.
Ketika kontrol P memliliki error terlalu besar maka kontrol P bekerja seperti onoff kontrol, sehingga osilasi pada sistem maglev terus tejadi. Dari hasil pemodelan
dan simulasi didapatkan bahwa kontrol P tidak mampu menjaga lebar celah pada
sistem maglev.
Pengujian berikutnya adalah dengan menggunakan kontrol I. Fungsi utama
dari kontrol I adalah untuk memastikan output proses mendekati setpoint pada
posisi steady state. Kontrol I dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut:
7

1
#/ " $ = ? " $
>3
Dalam perhitungan numerik dapat ditulis sebagai berikut:

#/ " ; $

A
7B C

" ;$ .

Pada pengujian kontrol I diperlukan juga kontrol P atau yang disebut juga
kontrol PI. Kontrol P diberi nilai sebesar 1. Kontrol I yang digunakan diberi nilai
secara bertahap antara 1, 1.5 dan 2. Metode Ziegler-Nichols digunakan untuk
mendapatkan nilai kontroler.. Hasil dari pengujian kontrol I pada sistem maglev
dapat dilihat pada Gambar 4.10.

56

Gambar 4.10. Pengujian Sistem Maglev dengan Kontrol I.

Gambar 4.10 menunjukan bahwa pemberian nilai pada Ki = 1


menghasilkan berkurangnya error pada steady state jika dibandingkan dengan
menggunakan Kp saja. Pada nilai Ki = 1.5 error pada steady state berkurang,
namun osilasi semakin besar. Saat Ki = 2 sinyal yang dihasilkan terjadi osilasi
yang semakin besar. Osilasi terjadi secara eksponensial terhadap waktu. Pada
penambahan nilai Ki pada kontroler akan mempercepat respon, tetapi osilasi yang
terjadi juga semakin besar terhadap waktu.
Pemberian kontrol I pada sistem dapat mengurangi error pada posisi
steady state, namun tidak memiliki stabilitas. Sedangkan kontrol D digunakan
untuk memperbaiki stabilitas pada sistem close-loop. Hasil dari pengujian kontrol
I tidak menghasilkan lebar celah yang stabil, sehingga pengujian kontrol D
digunakan pada pemodelan berikutnya. Stuktur dasar dari kontroler PD adalah :
#0 " $ = 1 E " $ + >5

Dimana
" ;$
;

56 "7$
57

57

dalam perhitungan numerik mempunyai persamaan:

lim
7

56 "7$

"

+ ;$ " ;$
;

57

" ;$
;

" ;$
;

"

+ ;$ " ;$
;

" ;$
;

Sehingga persamaan kontrol PD dapat ditulis sebagai berikut:

#5 " ; $ = 1 L " ; $ + >5

" ;$
M
;

.
Sinyal kontrol tersesebut menjadi pembanding dalam memprediksi error kontrol
pada waktu >5 , dimana perkiraan tersebut didapatkan dari perhitungan linier.
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan kontrol D dilakukan
dengan memberi nilai Kp terlebih dahulu. Kontrol P yang diberikan sama dengan
pengujian pada kontrol I yaitu 3, hal ini dilakukan untuk membandingkan hasil
dari kontrol I dan kontrol D. Pemberian kontrol D diberi secara bertahap yaitu
dengan memberi nilai 0.25, 0.5 dan 0.75.
Hasil dari pengujian dengan kontrol D dapat dilihat pada Gambar 4.11,
dimana overshoot yang terjadi pada kontrol P dan I tidak terjadi pada kontroler
ini. Pada saat Kd = 0.25 menunjukan respon yang cepat dari kontroler, namun
terdapat osilasi pada sistem. Untuk Kd = 0.5 dan 0.75 tidak terjadi osilasi, namun
tidak mampu untuk bisa mencapai setpoint. Gambar 4.11 menunjukan juga bahwa
kelemahan dari kontrol D adalah lambatnya settling time atau waktu dalam
mencapai keadaan tunak, hal ini dapat dilihat pada penambahan nilai Kd. Hasil
dari Gambar 4.11 menunjukan bahwa respon dari maglev dengan kontrol D
menunjukan perbaikan yaitu dengan berkurangnya overshoot dan mampu
mendekati nilai referensi, namun perlu adanya perbaikan untuk mempercepat
respon.

58

Gambar 4.11. Pengujian Sistem Maglev dengan Kontrol D

Pengujian berikutnya dengan menggunakan kontrol PID pada sistem


maglev. Kontrol PID adalah gabungan dari kontrol proporsi (P), kontrol integral
(I) dan kontrol derivative (D). Ketiga kontrol ini saling melengkapi dan
mengurangi kelemahan dari respon masing-masing kontroler. Persamaan kontrol
PID dapat dinyatakan juga sebagai berikut:
#./0 " ; $ = 1. " ; $ + 13

" " ; $. ; $ + 15

;CN

" ;$
;

.
Gambar 4.12 menampilkan hasil dari pengujian sistem maglev dengan
kontrol PID yang menggunakan metode tuning Ziegler-Nichols. Hasil respon
yang kurang stabil diperbaiki dengan manual tuning. Nilai yang didapat dari
manual tuning adalah Kp = 2, Ki = 1.5 dan Kd = 0.8. Kedua metode ini digunakan
karena dapat diatur secara langsung dan tidak membutuhkan perhitungan
matematika yang rumit. Selain itu, metode Ziegler-Nichols yang digunakan sudah
terbukti mampu memperbaiki respon. Metode Ziegler-Nichols membutuhkan
proses yang panjang untuk menentukan nilai tunning. Keahlian pengguna
diperlukan dalam menentukan nilai pada manual tunning.
Hasil yang didapat dari metode Ziegler-Nichols kurang baik dimana masih
ada sedikit overshoot pada sistem maglev, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.12.

59

Hasil dari metode Ziegler-Nichols kemudian diperbaiki dengan manual tuning,


yaitu dengan mengubah nilai Ki dan Kd pada kontroler. Hasil yang didapat
menunjukan respon yang lebih baik dimana overshoot yang terjadi pada metode
Ziegler-Nichols dapat dikurangi dengan metode manual tuning. Salah satu
kelemahan metode manual tuning adalah perlunya keahlian untuk menentukan
nilai Ki dan Kd supaya hasil dari respon dari metode Ziegler-Nichols mampu
untuk diperbaiki. Kelemahan tersebut yang menyebabkan adanya variasi dalam
menentukan nilai Ki, Kd dan hasil respon. Variasi dari hasil respon menyebabkan
sulitnya menentukan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem maglev.

Gambar 4.12. Pengujian Sistem maglev dengan Kontrol PID.

Gambar 4.12 menunjukan adanya perbaikan jika hasil tuning dengan


Ziegler-Nichols diperbaiki dengan manual tuning. Salah satu kelemahan dari
metode tuning Ziegler-Nichols adalah masih terdapat overshoot. Namun
overshoot yang terjadi tidak terlalu besar sehingga masih dapat digunakan untuk
referensi dalam proses tuning berikutnya. Proses tuning berikutnya adalah dengan
memperbaiki respon yang didapat dari Ziegler-Nichols, ketika terjadi overshoot
maka nilai kontroler yang perlu dikurangi adalah kontrol I.
Proses

berikutnya

dalam

pengujian

adalah

dengan

memberikan

penambahan massa pada sistem maglev. Sistem maglev yang diberi penambahan
massa menggunakan PID dengan metode manual tuning untuk menentukan nilai
Kp, Ki dan Kd. Penambahan massa pada sistem maglev diberikan secara bertahap
60

mulai 25 g, 50 g, 75 g, 100 g, dan 150 g. Penambahan massa ini digunakan untuk


mengamati apakah sistem maglev dengan PID kontrol dapat mengatur lebar celah
antara levitator dengan objek levitasi. Gambar 4.13 menunjukan hasil dari
pengujian sistem maglev dengan penambahan massa.

Gambar 4.13. Pengujian Kontrol PID dengan Massa yang Diubah.

Hasil pengujian, seperti yang terlihat pada Gambar 4.13, menunjukan bahwa
penambahan massa pada sistem maglev tidak terlalu mempengaruhi lebar celah
(gap). Lebar celah yang dihasilkan berkisar + 6 mm pada detik pertama dan
berangsu-angsur

mengikuti

lebar

celah

yang

diberikan

oleh

referensi.

Penambahan massa sebesar 150 g atau lebih besar 50 g dari objek levitasi tidak
terlalu mempengaruhi lebar celah dari sistem maglev ini.
Pengujian simulasi membuktikan bahwa sistem maglev dengan PID
kontrol dapat menjaga lebar celah antara levitator dengan objek levitasi sekalipun
ada penambahan massa objek levitasi. Penambahan massa digunakan sebagai
simulasi apakah dengan adanya gangguan sistem maglev masih mampu menjaga
lebar celah.

4.2

Pembuatan Sistem Maglev


Hasil dari pemodelan kemudian digunakan sebagai dasar untuk membuat

sistem maglev yang stabil. Bagian pertama yang dirancang adalah pembuatan
elektromagnet. Elektromagnet yang dipilih dalam penelitian adalah solenoid

61

seperti telah dijabakan pada bab 3.2. Besar gaya medan magnet yang dihasilkan
oleh solenoid banyak dipengaruhi oleh arus yang masuk dan besarnya lilitan pada
solenoid.
Material yang digunakan mempunyai pengaruh untuk mengalirkan arus
pada solenoid, karena itu untuk mendapatkan arus yang kuat memerlukan material
dengan konduktivitas yang baik. Inti pada solenoid menggunakan baut dengan
material dasar berupa baja, sedangkan untuk lilitan menggunakan tembaga.
Dengan material tersebut, solenoid dapat dialiri arus sebesar 30 ampere.
Lilitan yang digunakan pada solenoid adalah tembaga dengan diameter
0.75 mm dan panjang 25 m. Besar-kecil diameter yang digunakan pada solenoid
akan mempengaruhi panas arus yang mengalir. Apabila arus yang diberikan
terlalu besar maka diameter yang kecil akan mengalami panas berlebihan.
Panjangnya tembaga akan mempengaruhi jumlah lilitan, bila lilitan kecil maka
medan magnet yang dihasilkan lebih kecil dengan arus yang sama. Gambar 4.14
menunjukan solenoid yang dibuat.

Gambar 4.14. Solenoid yang Digunakan pada Penelitian.

Proses berikutnya adalah dengan melilitkan tembaga pada baut. Tembaga


yang dililitkan harus dikupas terlebih dahulu pada bagian ujungnya, supaya
lapisan isolator terkelupas dan tembaga dapat dialiri listrik. Jumlah lilitan yang
dibutuhkan sebanyak 590 lilitan. Diperlukan adanya pengaman supaya solenoid

62

yang dibuat tidak langsung bersentuhan dengan tangan saat pengujian. Hal ini bisa
berbahaya karena arus yang diberikan pada solenoid cukup besar (30 ampere).
Hasil dari pemodelan memperlihatkan sistem maglev tidak akan bisa stabil
apabila tidak diberi kontrol umpan balik (berjalan dengan sistem open loop).
Solenoid yang sudah dibuat ditambahkan dengan sensor sebagai umpan balik,
sehingga sistem maglev bekerja secara closed loop. Sensor yang digunakan adalah
hall effect sensor. Sensor digunakan untuk mengetahui posisi dari objek levitasi.
Cara kerja sensor tersebut dipengaruhi oleh ketinggian objek levitasi.
Hall effect sensor yang digunakan adalah HAL 103. HAL 103 mempunyai
tiga kaki yang berfungsi sebagi V input, ground dan data. Tegangan input yang diberikan
pada HAL 103 antara 3 12 V. Data yang dihasilkan oleh HAL 103 berupa tegangan
antara 0.01 5 V. Data pada sensor kemudian diolah oleh mikrokontroler untuk mengatur
lebar celah pada maglev. Sensor ini dapat bekerja dengan baik apabila objek levitasi
berupa magnet atau benda yang dapat ditarik oleh magnet. Semakin baik benda dapat
menghantar medan magnet semakin besar juga pengaruhnya terhadap sensor.
Data dari sensor kemudian diolah oleh mikrokontroler. Mikrokontroler yang
digunakan adalah Arduino uno. Arduino uno digunakan pada sistem maglev karena
interface dengan komputer dapat dilakukan dengan mudah, menggunakan bahasa C
dalam pemrograman dan terdapat serial monitor yang dapat digunakan untuk melihat data
yang dihasilkan pada sensor. Gambar 4.15 menunjukan pin input sensor dari Arduino
uno. Pin yang digunakan pin Vcc dengan input sebesar 5 V, pin ground dan pin A0 yang
digunakan sebagai input dari data sensor.

Gambar 4.15. Pin yang Digunakan sebagai Input Sensor pada Arduino uno.

63

Interface antara Arduino uno dengan komputer dapat dilakukan dengan


menghubungkan kabel printer. Kabel printer dihubungkan dengan cara soket untuk
printer dihubungkan pada Arduino uno sedangkan soket untuk USB dihubungkan pada
komputer. Setelah proses interface dilakukan, bagian berikutnya adalah dengan
menginstal program Arduino uno. Program Arduino dapat diunduh di website
www.arduino.cc. Program yang sudah diunduh kemudian dinstal dan inisal komunikasi
pada komputer. Inisial komunikasi pada komputer sering kali menggunakan serial COM.
Arduino menggunakan bahasa C untuk membuat program dari sebuah sistem.
Ada beberapa contoh program yang terdapat pada Arduino, sehingga memudahkan dalam
membuat program yang sesuai dengan sistem yang diperlukan. Output dari Arduino uno
dapat berupa digital dan analog.

Sinyal output pada Arduino uno tidak bisa langsung digunakan untuk
menghasilkan medan magnet, karena sinyal dari Arduino uno tidak dapat
langsung digunakan untuk mengatur solenoid. Alat yang diperlukan untuk
mengatur sinyal tersebut adalah driver motor. Gambar 4.16 memperlihatkan
driver motor dari EMS 30 A H-Bridge.

Gambar 4.16. Driver Motor EMS 30 A H-Bridge.

Driver motor EMS 30 A H-Bridge mempunyai 10 pin interface header


dan 6 power dan motor con. Interface header berfungsi sebagai input antarmuka

64

dengan input-output digital serta output analog dari modul H-Bridge. Tabel 4.6
menunjukan fungsi dari masing-masing interface header.

Tabel 4.6. Funsi dari Masing-masing Interface Header.

Sumber: Data sheet.

Power dan motor con mempunyai 5 konektor yang berfungsi sebagai catu
daya dan memiliki pengaruh dalam pemberian beban. Deskripsi dari masingmasing konektor power dan motor con dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Fungsi dari Masing-masing Konektor Power dan Motor Connector.

Sumber: Data sheet.

65

Interface header pada driver motor kemudian dihubungkan dengan


Arduino uno. Dari 10 konektor hanya 5 konektor saja yang digunakan, yaitu: pin
no 1,2,3,4 dan 6. Tabel 4.7 digunakan sebagai petunjuk dalam pemasangan kabel
pada power dan motor con. Gambar 4.17 menunjukan konektor yang sudah
terpasang pada sistem dan power supply.
Vcc pada Arduino uno didapatkan dari tegangan pada USB sebesar 5 V.
Vcc juga dapat diberikan dari power supply asal tegangan yang diberikan sebesar
5 V. Namun pada penelitian ini Vcc pada Arduino uno diberikan melalui port
USB pada komputer. Tegangan 5 V diberikan untuk mengaktifkan Arduino uno.
Pada driver motor dan solenoid tegangan didapatkan dari power supply, karena
pada driver motor dan solenoid membutuhkan arus yang besar untuk
menghasilkan levitasi yang stabil. Arus maksimum yang dapat masuk pada
solenoid ialah sebesar 30 A, sedangkan pada driver motor sebesar 5 A. Arus yang
sebesar itu tidak bisa didapatkan dari port USB pada komputer.

Gambar 4.17. Arduino uno dan Driver Motor yang Sudah Terpasang.

Penentuan kontroler dan setpoint dilakukan dengan menghubungkan


Arduino uno dengan personal komputer, kemudian program dapat diupload
kedalam Arduino uno. Program yang di upload kedalam Arduino uno berfungsi

66

untuk menentukan setpoint dan pemberian nilai pada kontroler PID. Program
yang digunakan pada Arduino uno dapat dilihat pada lampiran 1.
Perlengkapan yang diperlukan untuk menguji maglev sudah didapatkan,
sehingga sistem maglev dapat di uji. Komponen utama dari sistem maglev seperti:
solenoid, mikrokontroler dan sensor kemudian digabung dengan komponen yang
pendukung yaitu driver motor, power supply dan port USB. Setelah komponen
utama dan pendukung digabung sistem maglev dapat dilakukan pengujian.
Gambar 4.18 menunjukan konfigurasi keseluruhan dari sistem maglev.

Gambar 4.18. Sistem Maglev yang Akan Diuji.

4.2

Data Hasil Pengukuran


Pengukuran dilakukan dengan mengamati perubahan tegangan yang

didapat dari sensor. Hall effect sensor berfungsi ketika medan magnet mendekat
dan mengubah tegangan output pada sensor tersebut. Perubahan tegangan diukur
dengan mengukur lebar celah dan melihat tegangan ouput dari sensor. Data
didapatkan dengan cara mengubah lebar celah dan mengamati tegangan yang
keluar pada output sensor. Gambar 4.19 memperlihatkan cara mengukur tegangan
output pada sensor.

67

Gambar 4.19. Mengukur Tegangan yang Terjadi Pada Celah Levitasi.

Hasil dari pengukuran tegangan output dan lebar celah levitasi dapat
dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 menunjukan pengaruh antara ketinggian objek
levitasi dengan tegangan pada sensor. Perubahan tegangan output disebabkan oleh
mendekatnya objek levitasi terhadap sensor.

Tabel 4.8. Data Hasil Pengukuran.


Lebar celah (mm)

Tegangan (V)

0.82

1.00

10

1.98

15

2.02

20

2.9

25

3.04

30

3.95

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa dengan lebar celah sebesar 5mm, sensor
akan menghasilkan tegangan sebesar 1.00 V. Tegangan tersebut kemudian
digunakan sebagai setpoint dari sistem maglev yang digunakan, sehingga nilai
1.00 V adalah nilai referensi yang harus dijaga. Nilai tersebut kemudian
digunakan sebagai setpoint referensi pada pengendalian sistem maglev.

68

Pengendalian digunakan untuk mengatur tegangan pada solenoid dimana


umpan balik diberikan oleh hall effect sensor. Pengaturan tegangan pada solenoid
memiliki persamaan dengan sistem pengaturan pada motor DC. Untuk mencapai
posisi referensi pada sistem maglev, tegangan harus diberikan secara terus
menerus dan konstan.
Tegangan pada solenoid diukur untuk mengetahui berapa besar tegangan
untuk menghasilkan levitasi. Hasil pengambilan data berupa tegangan pada
solenoid digunakan untuk mengetahui daya yang diperlukan. Ketika daya yang
digunakan dapat diketahui, pada penelitian berikutnya sistem maglev dapat
dikembangkan untuk efisiensi energi. Gambar 4.20 dapat dilihat tegangan yang
digunakan solenoid dalam menghasilkan levitasi.

Gambar 4.20. Tegangan pada Solenoid.

Tegangan yang digunakan untuk menghasilkan levitasi pada maglev tidak


terlalu besar. Hal ini disebabkan karena ada gaya tarik dari magnet permanen dan
objek levitasi yang diberikan tidak telalu berat sehingga tidak memerlukan daya
yang besar. Gambar 4.20 juga menunjukan bahwa tegangan tidak stabil sesuai
dengan referensi yaitu 1 V. Hal ini menunjukan lebar levitasi tidak benar-benar

69

tepat berada pada posisi 5 mm, namun karena begitu kecil perbedaan tegangan
perubahan lebar celah juga sangat kecil. Untuk penelitian berikutnya diharapkan
tegangan pada sensor mampu dijaga sesuai dengan referensi dengan
menggunakan metode pengendalian yang lebih handal, supaya lebar celah pada
maglev benar-benar sesuai dengan setpoint. Bagian ini menjadi penting karena
levitasi yang akan digunakan pada kereta maglev sangat kecil dan memiliki tingat
presisi yang tinggi.

4.3

Data Hasil Pengujian Alat


Pengujian alat dimulai dengan menghitung gaya yang dihasilkan oleh

elektromagnet yang dibuat. Gaya yang dihasilkan oleh electromagnet banyak


dipengaruhi oleh arus yang masuk pada kumparan dan jumlah lilitan. Arus yang
masuk antara pemodelan dan alat yang dibuat sama yaitu 30 A. Namun jumlah
lilitan pada pemodelan dan pembuatan terdapat perbedaan, 590 untuk pemodelan
dan 455 pada pembuatan. Hal ini jelas mempengaruhi gaya yang dihasilkan oleh
elektromagnet. Medan magnet yang dihasilkan oleh electromagnet yang dibuat
sebagai berikut:
= 4P . 10

= 0.0171 >

30 455

Bila arus yang diberikan adalah 30 A maka gaya yang dihasilkan dari
electromagnet adalah:
ST

= 0.0171 30 = 0.513
Dengan gaya yang dihasilkan oleh elektromagnet sebesar 0.513 N, sistem

maglev mampu mengangkat benda yang mempunyai massa 52.3 g. Hal ini
menyebabkan massa yang ditambahkan pada sistem maglev juga harus diperkecil.
Sedangkan magnet permanen sulit untuk diukur dan dianalisa, karena magnet
permanen yang digunakan pada pemodelan tidak didapatkan dan diganti dengan
magnet permanen yang ada.

70

Bagian berikutnya adalah dengan mengukur tegangan pada sensor.


Pengukuran tegangan pada sensor ditujukan untuk mengetahui lebar celah pada
maglev. Pengujian dilakukan dengan memberikan setpoint pada sistem maglev,
dilanjutkan dengan pengukuran tegangan pada sensor. Setpoint pada sistem
maglev diberikan dengan cara menentukan tegangan sebagai referensi. Tegangan
pada sistem adalah cara untuk mengetahui jarak dari objek levitasi dengan
levitator, karena dengan mengetahui adanya perubahan tegangan berarti lebar
celah juga berubah.
Pengujian alat dilakukan dengan cara memberikan nilai sebesar 2 V
sebagai setpoint. Permberian 2 V sebagai setpoint menunjukan lebar celah sebesar
10 mm. Perubahan lebar celah dari 5 mm pada pemodelan dan 10 mm pada
pengujian alat dilakukan karena pemberian setpoint sebesar 5 mm menyebabkan
objek levitasi dan levitator menempel. Levitator dan objek levitasi menempel
dikarenakan medan magnet yang dihasilkan lebih besar terdapat pada sisi tembaga
daripada yang ada pada sensor.
Proses berikutnya adalah dengan memberikan nilai Kp, Kid an Kd pada
kontroler. Pemberian nilai Kp, Ki dan Kd berdasarkan metode Ziegler-Nichols
dengan nilai sebagai berikut: Kp = 1.8, Ti = 0.45 dan Td = 0.6. Hasil peengujian
dengan alat dapat dilihat pada Gambar 4.21.

Gambar 4.21. Hasil Pengukuran Tegangan pada Sensor.

71

Hasil pengujian menunjukan bahwa tegangan mengalami lonjakan


tegangan pada awal respon dan penurunan secara tegangan secara drastis pada
satu detik kemudian. Hasil respon tersebut terjadi dikarenakan kontrol I
mempercepat respon dari sistem maglev supaya tidak terjadi error pada posisi
steady state. Namun hal tersebut membuat kontroler mematikan sistem ketika
sudah mencapai tegangan sesuai referensi.
Kontrol I pada sistem maglev menyebabkan respon yang terlalu cepat,
sehingga sistem maglev tidak mampu menghasilkan levitasi. Pengujian berikutnya
sistem maglev tidak menggunakan kontrol I dan hanya menggunakan kontrol PD.
Dengan mengurangi kecepatan respon diharapkan mampu untuk menghasilkan
levitasi pada sistem maglev. Penempatan objek levitasi juga perlu dijaga, karena
objek levitasi akan menempel jika terlalu dekat dan jatuh jika terlalu jauh. Hasil
pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.22.

Gambar 4.22. Pengujian Alat dengan Kontrol PD

Hasil yang didapat dari Gambar 4.22 menunjukan kontrol PD dapat


menjaga tegangan dari sensor sistem maglev. Dengan tegangan yang mampu
dijaga menunjukan bahwa lebar celah dari sistem maglev mengalami sedikit
perubahan. Data didapatkan dengan mengukur tegangan pada sensor selama 10

72

detik. Selama 10 detik terdapat perubahan lebar celah pada sistem maglev, namun
sangat kecil dan sulit untuk diamati. Hal ini terjadi karena fungsi dari kontrol D
mempunyai mencegah osilasi pada sinyal kontrol, namun efek yang terjadi adalah
respon

menjadi

lambat.

Pada penelitian

berikutnya

diharapkan

proses

pengambilan data dapat lebih akurat, sehingga dapat mengetahui faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi lebar celah dari sistem maglev.
Pengujian berikutnya adalah dengan menambahkan massa pada sistem
maglev. Penambahan massa yang diberikan sama dengan metode pada simulasi,
yaitu diberikan secara bertahap. Penambahan massa diberikan untuk menguji
apakah sistem maglev ini dapat diandalkan ketika mendapat gangguan. Gambar
4.23 menunjukan grafik dari pengujian sistem maglev dengan penambahan massa.

Gambar 4.23. Sistem Maglev dengan Penambahan Massa.

Gambar 4.23 menunjukan bahwa sistem maglev mampu menjaga tegangan


sekalipun massa yang di tambah, bertambahnya massa membuat tegangan pada
sensor naik. Bertambahnya tegangan pada sensor membuat bertambah lebarnya
celah. Pada penambahan massa sebesar 8 gram membuat tegangan pada sensor
naik drastis, hal ini mengakibatkan objek levitator jatuh.

73

Pengujian dengan alat ternyata menghasilkan respon yang berbeda dengan


simulasi. Hal ini disebabkan karena range dari sensor yang pendek. Range sensor
yang pendek menyebabkan kontroler tidak mampu bekerja maksimal sehingga
sulit untuk mendapatkan levitasi yang stabil. Dalam penelitian ini didapatkan
bahwa sistem maglev tidak mampu menghasilkan levitasi jika tidak diberi kontrol
umpan balik.

74

Anda mungkin juga menyukai