43
adalah permeabilitas udara yang besarnya 1.256 . 10 .
44
Tabel 4.2. Perbandingan besar lilitan dengan medan magnet yang dihasilkan.
Jumlah Lilitan
Medan Magnet
400
0.015 T
450
0.016 T
500
0.018 T
550
0.020 T
600
0.022 T
Hasil pada tabel 4.2 menunjukan bahwa medan magnet semakin besar jika jumlah
lilitan yang diberikan pada solenoid semakin banyak. Setiap penambahan 50
lilitan pada solenoid menyebabkan pertambahan besar rata-rata pada medan
magnet sekitar 0.014 T. Namun jumlah lilitan yang semakin besar menyebabkan
panas berlebih, sehingga perlu diperhitungkan jumlah lilitan agar energi yang
digunakan tidak berubah menjadi panas.
Satuan unit
dapat disimpulkan bahwa semakin besar arus yang diberikan pada solenoid, maka
semakin besar juga gaya yang dihasilkan. Gaya pada elektromagnet dapat dilihat
pada persamaan (19):
= .
= 0.022 30 = 0.66
dimana
adalah medan magnet pada solenoid, dan adalah arus yang diberikan
pada solenoid.
45
Tabel 4.3. Pengaruh Besarnya Arus Terhadap Gaya yang Dihasilkan Solenoid.
Arus Listrik
Gaya
10 A
0.22 N
15 A
0.33 N
20 A
0.44 N
25 A
0.55 N
30 A
0.66 N
Hasil pada Tabel 4.3 menunjukan pengaruh arus terhadap besarnya gaya pada
sistem maglev. Setiap pemberian arus sebesar 5 A ada kenaikan gaya 0.11 N. Dari
hasil tersebut, pemberian arus pada sistem maglev hendaknya disesuaikan dengan
massa dari objek levitator. Dengan begitu gaya yang dihasilkan tidak terbuang,
karena memberikan arus secara berlebihan.
Gaya yang dihasilkan oleh magnet permanen sangat bergantung pada jenis
material dan dimensinya. Pada Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa neodymium
mempunyai kekuatan 300 kJm-3. Jika volume pada magnen permanen sebesar 1 x
10-6 m3, maka gaya yang dihasilkan pada magnet permanen sebesar 0.3 N. Hasil
tersebut kemudian digunakan untuk memodelkan gaya yang terjadi pada sistem
maglev.
Material dari magnet mempengaruhi gaya yang dihasilkan oleh magnet
permanen. Namun pada sistem maglev pengaruh dari material perlu diuji terlebih
dahulu. Pada Tabel 3.1 dapat dilihat kekuatan dari berbagai mavam jenis magnet.
Dari Tabel 3.1 dan volume dari magnet permanen sebesar 1 x 10-6 m3, makan
perhitungan gaya magnet dengan persamaan (20) hasilnya dapat dilihat pada
46
Tabel4.4. Tabel 4.4 menunjukan gaya yang dihasilkan magnet permanen dengan
jenis material yang berbeda.
Gaya
0.034 N
Alnico
0.043 N
0.15 N
0.3 N
Dimana
gravitasi dan
yang kedua dapat digunakan untuk memodelkan sistem, sehingga dapat diperoleh
persamaan:
= !" #$
Atau
+ ! = !#
!# didapatkan dari gaya yang dihasilkan elektromagnet yaitu sebesar 0.66 N
dengan gaya dari. Untuk ! adalah faktor gaya yang mempengaruhi perpindah
&'(' =
)"*$
"*$
!+
0.66
=
, + !0.05, + 0.30
48
apakah arus mempengaruhi levitasi sitem maglev. Tahap ketiga menguji apakah
jenis material dari sistem maglev mempengaruhi levitasi dari sistem maglev.
Ketiga tahap tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai dari jumlah lilitan, arus
dan jenis material pada saat pembuatan sistem maglev.
Hasil dari simulasi maglev dengan variasi jumlah lilitan dapat dilihat pada
Gambar 4.3. Jumlah lilitan yang diberikan adalah 400, 450, 500, 550 dan 600.
Arus yang diberikan pada pengujian ini adalah 30 ampere.
49
hasil dari pengujian ini terjadi osilasi pada sistem maglev. Penambahan lebar
celah pada sistem maglev disebabkan bertambah besar medan magnet. Medan
magnet yang tidak seimbang antara elektromagnet dengan magnet permanen
menjadi salah satu penyebab tidak seimbangnya posisi celah.
Bagian berkutnya adalah dengan menguji sistem maglev dengan
pemberian arus yang berbeda. Arus yang diberikan pada sistem maglev dilakukan
secara bertahap, yaitu dengan memberikan 10, 15, 20, 25 dan 30. Hasil dari
pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Alloys dan Rare-Earth Iron Alloys (neodymium). Pada Tabel 4.4 menunjukan
bahwa tiap jenis material menghasilkan gaya yang berbeda, sehingga pada
pengujian ini mengamati apakah jenis material tersebut berpengaruh pada sistem
maglev. Gambar 4.5 menunjukan pengaruh jenis material terhadap sistem maglev.
Gambar 4.5. Pengaruh Jenis Material yang Berbeda pada Sistem Maglev.
51
Penambahan kontrol umpan balik pada sistem maglev close loop menjadi
bagian yang penting untuk mendapatkan gaya levitasi yang stabil. Simulasi
berikutnya adalah mencari kontrol umpan balik pada sistem maglev supaya
mendapatkan levitasi dari benda sesuai dengan setpoint yang diinginkan.
Spesifikasi pemodelan yang digunakan adalah dengan memberi lilitan sebesar 600
putaran, arus yang diberikan sebesar 30 A dan neodymium yang digunakan
sebagai magnet permanennya. Gambar 4.6 menunjukkan diagram sistem
pengendalian maglev close loop.
" $
+ 15
56"7$
57
52
gangguan. Terdapat beberapa metode tuning pada kontroler PID, salah satunya
adalah dengan menggunakan metode Ziegler-Nichols.
Metode tuning Ziegler-Nichols adalah metode yang cukup populer dalam
melakukan tuning kontroler PID. dilakukan melalui eksperimen, yaitu dengan
memberikan kontroler P pada suatu sistem close loop dengan plant atau proses
yang sudah terpasang, seperti pada Gambar 4.7. Metode ini berguna untuk sistem
yang mempunyai respon osilasi terus menerus.
53
Nilai dari Kcr adalah 3 dan Pcr adalah 0.9, langkah berikutnya adalah
menentukan nilai Kp, Ti dan Td. Cara menentukan nilai-nilai tersebut adalah
dengan melihat tabel yang sudah ditentukan oleh Ziegler-Nichols. Tabel tersebut
dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 digunakan juga untuk menentukan nilai
dari Ti dan Td pada penggunaan kontroler Ki dan Kd untuk mengetahui hasil dari
simulasi sistem maglev.
KP
Ti
Td
0.5 Kcr
PI
0.45 Kcr
1/1.2 Pcr
PID
0.6 Kcr
0.5 Pcr
0.125 Pcr
54
kontrol P pada sistem maglev adalah dengan mengatur terlebih dahulu setpoint
dari jarak levitator dengan objek levitasi. Setpoint yang diberikan adalah 5 mm,
yang diwakili dengan 1.00 V. Jarak diketahui dengan membaca hall effect sensor.
Tegangan pada sensor yang akan dikendalikan oleh konrtoler. Pada persamaan
(25) error kontrol e pada tegangan dapat ditulis dalam persamaan berikut:
= <*2 <
Ketika error sudah didapatkan maka variabel kontrol P untuk sistem maglev dapat
ditulis sebagai berikut:
#2 " ; $ = 1 " ; $ + #=
Hasil dari pengujian sistem maglev dengan kontrol P dapat dilihat pada
gambar 4.9. Pengujian dengan kontrol P diharapkan sistem maglev mampu
menghasilkan lebar celah sesuai dengan setpoint yaitu 5 mm. Waktu yang
digunakan untuk menguji sistem maglev adalah 10 detik. Ketika lebar celah yang
dihasilkan oleh sistem maglev dapat sesuai dengan setpoint selama 10 detik, maka
sistem maglev dapat dikatakan stabil.
55
1
#/ " $ = ? " $
>3
Dalam perhitungan numerik dapat ditulis sebagai berikut:
#/ " ; $
A
7B C
" ;$ .
Pada pengujian kontrol I diperlukan juga kontrol P atau yang disebut juga
kontrol PI. Kontrol P diberi nilai sebesar 1. Kontrol I yang digunakan diberi nilai
secara bertahap antara 1, 1.5 dan 2. Metode Ziegler-Nichols digunakan untuk
mendapatkan nilai kontroler.. Hasil dari pengujian kontrol I pada sistem maglev
dapat dilihat pada Gambar 4.10.
56
Dimana
" ;$
;
56 "7$
57
57
lim
7
56 "7$
"
+ ;$ " ;$
;
57
" ;$
;
" ;$
;
"
+ ;$ " ;$
;
" ;$
;
" ;$
M
;
.
Sinyal kontrol tersesebut menjadi pembanding dalam memprediksi error kontrol
pada waktu >5 , dimana perkiraan tersebut didapatkan dari perhitungan linier.
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan kontrol D dilakukan
dengan memberi nilai Kp terlebih dahulu. Kontrol P yang diberikan sama dengan
pengujian pada kontrol I yaitu 3, hal ini dilakukan untuk membandingkan hasil
dari kontrol I dan kontrol D. Pemberian kontrol D diberi secara bertahap yaitu
dengan memberi nilai 0.25, 0.5 dan 0.75.
Hasil dari pengujian dengan kontrol D dapat dilihat pada Gambar 4.11,
dimana overshoot yang terjadi pada kontrol P dan I tidak terjadi pada kontroler
ini. Pada saat Kd = 0.25 menunjukan respon yang cepat dari kontroler, namun
terdapat osilasi pada sistem. Untuk Kd = 0.5 dan 0.75 tidak terjadi osilasi, namun
tidak mampu untuk bisa mencapai setpoint. Gambar 4.11 menunjukan juga bahwa
kelemahan dari kontrol D adalah lambatnya settling time atau waktu dalam
mencapai keadaan tunak, hal ini dapat dilihat pada penambahan nilai Kd. Hasil
dari Gambar 4.11 menunjukan bahwa respon dari maglev dengan kontrol D
menunjukan perbaikan yaitu dengan berkurangnya overshoot dan mampu
mendekati nilai referensi, namun perlu adanya perbaikan untuk mempercepat
respon.
58
" " ; $. ; $ + 15
;CN
" ;$
;
.
Gambar 4.12 menampilkan hasil dari pengujian sistem maglev dengan
kontrol PID yang menggunakan metode tuning Ziegler-Nichols. Hasil respon
yang kurang stabil diperbaiki dengan manual tuning. Nilai yang didapat dari
manual tuning adalah Kp = 2, Ki = 1.5 dan Kd = 0.8. Kedua metode ini digunakan
karena dapat diatur secara langsung dan tidak membutuhkan perhitungan
matematika yang rumit. Selain itu, metode Ziegler-Nichols yang digunakan sudah
terbukti mampu memperbaiki respon. Metode Ziegler-Nichols membutuhkan
proses yang panjang untuk menentukan nilai tunning. Keahlian pengguna
diperlukan dalam menentukan nilai pada manual tunning.
Hasil yang didapat dari metode Ziegler-Nichols kurang baik dimana masih
ada sedikit overshoot pada sistem maglev, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.12.
59
berikutnya
dalam
pengujian
adalah
dengan
memberikan
penambahan massa pada sistem maglev. Sistem maglev yang diberi penambahan
massa menggunakan PID dengan metode manual tuning untuk menentukan nilai
Kp, Ki dan Kd. Penambahan massa pada sistem maglev diberikan secara bertahap
60
Hasil pengujian, seperti yang terlihat pada Gambar 4.13, menunjukan bahwa
penambahan massa pada sistem maglev tidak terlalu mempengaruhi lebar celah
(gap). Lebar celah yang dihasilkan berkisar + 6 mm pada detik pertama dan
berangsu-angsur
mengikuti
lebar
celah
yang
diberikan
oleh
referensi.
Penambahan massa sebesar 150 g atau lebih besar 50 g dari objek levitasi tidak
terlalu mempengaruhi lebar celah dari sistem maglev ini.
Pengujian simulasi membuktikan bahwa sistem maglev dengan PID
kontrol dapat menjaga lebar celah antara levitator dengan objek levitasi sekalipun
ada penambahan massa objek levitasi. Penambahan massa digunakan sebagai
simulasi apakah dengan adanya gangguan sistem maglev masih mampu menjaga
lebar celah.
4.2
sistem maglev yang stabil. Bagian pertama yang dirancang adalah pembuatan
elektromagnet. Elektromagnet yang dipilih dalam penelitian adalah solenoid
61
seperti telah dijabakan pada bab 3.2. Besar gaya medan magnet yang dihasilkan
oleh solenoid banyak dipengaruhi oleh arus yang masuk dan besarnya lilitan pada
solenoid.
Material yang digunakan mempunyai pengaruh untuk mengalirkan arus
pada solenoid, karena itu untuk mendapatkan arus yang kuat memerlukan material
dengan konduktivitas yang baik. Inti pada solenoid menggunakan baut dengan
material dasar berupa baja, sedangkan untuk lilitan menggunakan tembaga.
Dengan material tersebut, solenoid dapat dialiri arus sebesar 30 ampere.
Lilitan yang digunakan pada solenoid adalah tembaga dengan diameter
0.75 mm dan panjang 25 m. Besar-kecil diameter yang digunakan pada solenoid
akan mempengaruhi panas arus yang mengalir. Apabila arus yang diberikan
terlalu besar maka diameter yang kecil akan mengalami panas berlebihan.
Panjangnya tembaga akan mempengaruhi jumlah lilitan, bila lilitan kecil maka
medan magnet yang dihasilkan lebih kecil dengan arus yang sama. Gambar 4.14
menunjukan solenoid yang dibuat.
62
yang dibuat tidak langsung bersentuhan dengan tangan saat pengujian. Hal ini bisa
berbahaya karena arus yang diberikan pada solenoid cukup besar (30 ampere).
Hasil dari pemodelan memperlihatkan sistem maglev tidak akan bisa stabil
apabila tidak diberi kontrol umpan balik (berjalan dengan sistem open loop).
Solenoid yang sudah dibuat ditambahkan dengan sensor sebagai umpan balik,
sehingga sistem maglev bekerja secara closed loop. Sensor yang digunakan adalah
hall effect sensor. Sensor digunakan untuk mengetahui posisi dari objek levitasi.
Cara kerja sensor tersebut dipengaruhi oleh ketinggian objek levitasi.
Hall effect sensor yang digunakan adalah HAL 103. HAL 103 mempunyai
tiga kaki yang berfungsi sebagi V input, ground dan data. Tegangan input yang diberikan
pada HAL 103 antara 3 12 V. Data yang dihasilkan oleh HAL 103 berupa tegangan
antara 0.01 5 V. Data pada sensor kemudian diolah oleh mikrokontroler untuk mengatur
lebar celah pada maglev. Sensor ini dapat bekerja dengan baik apabila objek levitasi
berupa magnet atau benda yang dapat ditarik oleh magnet. Semakin baik benda dapat
menghantar medan magnet semakin besar juga pengaruhnya terhadap sensor.
Data dari sensor kemudian diolah oleh mikrokontroler. Mikrokontroler yang
digunakan adalah Arduino uno. Arduino uno digunakan pada sistem maglev karena
interface dengan komputer dapat dilakukan dengan mudah, menggunakan bahasa C
dalam pemrograman dan terdapat serial monitor yang dapat digunakan untuk melihat data
yang dihasilkan pada sensor. Gambar 4.15 menunjukan pin input sensor dari Arduino
uno. Pin yang digunakan pin Vcc dengan input sebesar 5 V, pin ground dan pin A0 yang
digunakan sebagai input dari data sensor.
Gambar 4.15. Pin yang Digunakan sebagai Input Sensor pada Arduino uno.
63
Sinyal output pada Arduino uno tidak bisa langsung digunakan untuk
menghasilkan medan magnet, karena sinyal dari Arduino uno tidak dapat
langsung digunakan untuk mengatur solenoid. Alat yang diperlukan untuk
mengatur sinyal tersebut adalah driver motor. Gambar 4.16 memperlihatkan
driver motor dari EMS 30 A H-Bridge.
64
dengan input-output digital serta output analog dari modul H-Bridge. Tabel 4.6
menunjukan fungsi dari masing-masing interface header.
Power dan motor con mempunyai 5 konektor yang berfungsi sebagai catu
daya dan memiliki pengaruh dalam pemberian beban. Deskripsi dari masingmasing konektor power dan motor con dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Fungsi dari Masing-masing Konektor Power dan Motor Connector.
65
Gambar 4.17. Arduino uno dan Driver Motor yang Sudah Terpasang.
66
untuk menentukan setpoint dan pemberian nilai pada kontroler PID. Program
yang digunakan pada Arduino uno dapat dilihat pada lampiran 1.
Perlengkapan yang diperlukan untuk menguji maglev sudah didapatkan,
sehingga sistem maglev dapat di uji. Komponen utama dari sistem maglev seperti:
solenoid, mikrokontroler dan sensor kemudian digabung dengan komponen yang
pendukung yaitu driver motor, power supply dan port USB. Setelah komponen
utama dan pendukung digabung sistem maglev dapat dilakukan pengujian.
Gambar 4.18 menunjukan konfigurasi keseluruhan dari sistem maglev.
4.2
didapat dari sensor. Hall effect sensor berfungsi ketika medan magnet mendekat
dan mengubah tegangan output pada sensor tersebut. Perubahan tegangan diukur
dengan mengukur lebar celah dan melihat tegangan ouput dari sensor. Data
didapatkan dengan cara mengubah lebar celah dan mengamati tegangan yang
keluar pada output sensor. Gambar 4.19 memperlihatkan cara mengukur tegangan
output pada sensor.
67
Hasil dari pengukuran tegangan output dan lebar celah levitasi dapat
dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 menunjukan pengaruh antara ketinggian objek
levitasi dengan tegangan pada sensor. Perubahan tegangan output disebabkan oleh
mendekatnya objek levitasi terhadap sensor.
Tegangan (V)
0.82
1.00
10
1.98
15
2.02
20
2.9
25
3.04
30
3.95
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa dengan lebar celah sebesar 5mm, sensor
akan menghasilkan tegangan sebesar 1.00 V. Tegangan tersebut kemudian
digunakan sebagai setpoint dari sistem maglev yang digunakan, sehingga nilai
1.00 V adalah nilai referensi yang harus dijaga. Nilai tersebut kemudian
digunakan sebagai setpoint referensi pada pengendalian sistem maglev.
68
69
tepat berada pada posisi 5 mm, namun karena begitu kecil perbedaan tegangan
perubahan lebar celah juga sangat kecil. Untuk penelitian berikutnya diharapkan
tegangan pada sensor mampu dijaga sesuai dengan referensi dengan
menggunakan metode pengendalian yang lebih handal, supaya lebar celah pada
maglev benar-benar sesuai dengan setpoint. Bagian ini menjadi penting karena
levitasi yang akan digunakan pada kereta maglev sangat kecil dan memiliki tingat
presisi yang tinggi.
4.3
= 0.0171 >
30 455
Bila arus yang diberikan adalah 30 A maka gaya yang dihasilkan dari
electromagnet adalah:
ST
= 0.0171 30 = 0.513
Dengan gaya yang dihasilkan oleh elektromagnet sebesar 0.513 N, sistem
maglev mampu mengangkat benda yang mempunyai massa 52.3 g. Hal ini
menyebabkan massa yang ditambahkan pada sistem maglev juga harus diperkecil.
Sedangkan magnet permanen sulit untuk diukur dan dianalisa, karena magnet
permanen yang digunakan pada pemodelan tidak didapatkan dan diganti dengan
magnet permanen yang ada.
70
71
72
detik. Selama 10 detik terdapat perubahan lebar celah pada sistem maglev, namun
sangat kecil dan sulit untuk diamati. Hal ini terjadi karena fungsi dari kontrol D
mempunyai mencegah osilasi pada sinyal kontrol, namun efek yang terjadi adalah
respon
menjadi
lambat.
Pada penelitian
berikutnya
diharapkan
proses
pengambilan data dapat lebih akurat, sehingga dapat mengetahui faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi lebar celah dari sistem maglev.
Pengujian berikutnya adalah dengan menambahkan massa pada sistem
maglev. Penambahan massa yang diberikan sama dengan metode pada simulasi,
yaitu diberikan secara bertahap. Penambahan massa diberikan untuk menguji
apakah sistem maglev ini dapat diandalkan ketika mendapat gangguan. Gambar
4.23 menunjukan grafik dari pengujian sistem maglev dengan penambahan massa.
73
74