Anda di halaman 1dari 3

BEBERAPA tahun belakangan PT Kereta Api Indonesia (KAI) menjadi

buah bibir. Ini terkait dengan perubahan besar-besaran (transformation)


yang dilakukan perusahaan.
Seperti sulap, bimsalabim dalam waktu yang terbilang sangat cepat, PT
KAI kini sudah berubah wajah 180 derajat; dari perusahaan yang dicaci,
kini menjadi dipuja-puji. Kereta api yang dulu identik dengan jadwal yang
sering molor seperti kereta api Jabodetabek, penumpang berjubelan,
pelayanan dan sarana-prasarana di bawah standar, pedagang kaki lima
yang bebas keluar-masuk menginjak-injak penumpang, sudah menjadi
masa lalu.
Kini kereta api menjadi sarana transportasi yang sangat manusiawi dan
bisa dinikmati karena gerbong hanya diisi sesuai kapasitas kursi, AC yang
menyejukkan, dan toilet yang sudah tidak lagi berbau bahkan tanpa asap
rokok. Pemandangan stasiun kereta api yang kumuh, yang halamannya
dipenuhi gelandang dan kaki lima, pun kini tinggal cerita.
Di Jabodetabek, misalnya. Semua stasiun sudah bersolek cantik, dengan
halaman yang bisa dimanfaatkan penumpang untuk memarkir kendaraan.
Sistem ticketing pun mengadopsi sistem canggih yang semakin
mempermudah penumpang. Pendek kata, ibarat raksasa tidur, PT KAI
telah bangun kembali menunjukkan kekuatannya sebagai perusahaan
transportasi

massal

yang

siap

mengangkut

sebanyak-banyaknya

penumpang dengan sebaik-baiknya pelayanan.


Di Jabodetabek, melalui KRL Commuter mulai menunjukkan jati dirinya
sebagai solusi strategis kemacetan. Semua perubahan yang terjadi di era
kepemimpinan Ignasius Jonan tentu tidak semudah membalik telapak
tangan.

Faktanya,

berbagai

pembenahan

yang

dilakukan

era

kepemimpinan sebelumnya tidak pernah menuai hasil. Penyebabnya,


perubahan yang dilakukan sifat parsial dan bahkan arahnya tidak jelas.

Sedangkan di era Jonan ini, perubahan terlihat dramatis karena


melibatkan semua komponen di dalamnya secara komprehensif. Dengan
bekal pengalaman memimpin PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia
(persero), dan memegang kendali Private Equity, Citibank dan Citicorp
Securities Indonesia serta latar pendidikan berkualitas, di antaranya
Kennedy School of Government Columbia Business School, tentunya
tidak sulit bagi lelaki kelahiran Surabaya ini untuk menyusun konsep
perubahan.
Misalnya dengan menggunakan pelanggan sebagai basis perubahan,
Jonan bisa saja melakukan perubahan hanya sekedar mengubah sistem
informasi, ticketing, membeli kereta api baru, memasang pendingin pada
semua gerbong penumpang, atau lebih jauh membenahi manajemen
keuangan. Namun, pembenahan sebatas mikro manajemen tersebut
sifatnya jangka pendek.
Bersyukurlah PT KAI kedatangan seorang Jonan yang dengan cepat
memahami tetek bengek persoalan PT KAI, dukungan pemerintah yang
sangat minim, dan posisi strategis PT KAI dalam konteks dalam saing
global Indonesia. Bersyukurlah PT KAI mendapat pemimpin (leader),
bukan sekadar manajer yang mengejar keuntungan jangka pendek atau
malah politikus yang bekerja atas dasar pencitraan.
Dalam melakukan perubahan, Jonan fokus pada tugasnya seperti
diamanatkan aturan perundangan. Karena itu, dia berani melakukan
apapun tindakan selama itu dalam koridor yang diamanatkan. Sebagai
pemimpin, dia paham harus memberi teladan pada bawahan.
Untuk hal ini, dia mendasarkan diri pada filosofi kepemimpinan Arnold
Glasgow, Ideas not coupled with action never become bigger than the
brain cells they occupy, dan Mahatma Gandhi yang mengatakan, You
must be the change you wish to see in the world . Sebagai pemimpin,
Jonan juga paham untuk mengubah sistem manajemen, informasi, dan

pelayanan kereta api, hingga kemudian terbentuk budaya baru yang fokus
pada stakeholder, dalam hal ini pelanggan, dia juga harus menyentuh
manusianya.
Jonan paham betul, sebelum mengajak bawahannya untuk mewujudkan
perubahan, dia terlebih dulu harus memahami apa yang mereka
butuhkan, mendidiknya, dan baru kemudian menanganinya.

Anda mungkin juga menyukai