Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN TN.S DENGAN BENIGNA


PROSTAT HIPERPLASIA DI RUANG ALAMANDA 1 RSUD SLEMAN

DISUSUN OLEH :
Nama : Anugrahani Kadanti Arifah
Kelas : 2D/2520142578

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2015/2016

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Asuhan Keperawatan pada Tn.S dengan Benigna Prostat Hiperplasia disusun untuk
memenui tugas kelompok PKK KMB 1 Semester IV, pada
Hari

Tanggal

Tempat

:
Praktikan I,

Pembimbing Lahan,

Pembimbing Akademik,

BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering terjadi pada berbagai masalah
saluran kemih pada pria,Pria yang berusia 60 tahun beresiko terkena penyakit ini.
Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ yang
mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatik,
keadaan ini menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi traktus
urinarius memerlukan tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting dan sering
dari timbulnya gejala dan tanda ini adalah hiperlasia prostat dan karsinoma
prostat. Radang prostat yang mengenai sebagian kecil prostat sering ditemukan
secara tidak sengaja pada jaringan prostat yang diambil dari penderita hiperlasia
prostat atau karsinoma prostat (J.C.E Underwood, 1999).
Peran perawat pada klien meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Secara promotif perawat dapat memberikan penjelasan pada klien
tentang penyakit BPH mulai dari penyebab sampai dengan komplikasi yang akan
terjadi bila tidak segera ditangani. Kemudian pada aspek preventif perawat
memberikan penjelasan bagaimana cara penyebaran penyakit BPH, misalnya cara
pembesaran prostat akan menyebabkan obstruksi uretra. Secara kuratif perawat
berperan memberikan obat-obatan sebagai tindakan kolaborasi dengan tim dokter.
Aspek rehabilitatif meliputi peran perawat dalam memperkenalkan pada anggota
keluarga cara merawat klien dengan BPH dirumah.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Memberikan asuhan keperawatan yang maksimal pada klien dengan Benigna
Prostat Hiperplasia
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan BPH
b. Mengetahui Penyebab BPH
c. Mengetahui Manifestasi klinis BPH
d. Mengetahui Komplikasi BPH
e. Mengetahui Patofisiologi BPH
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang BPH
BAB 2
KONSEP DASAR
A. Definisi

Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria tua lebih dari 50 tahun) menyebabkan derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Marilyn E. Doenges. 1999)
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada
pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di
atas usia 60 tahun. (Brunner dan Suddarth. 2001).
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pertumbuhan dari nodul- nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. (Sylvia A. Prince. 2005).
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang nonneuplastik, yang sering terjadi setelah umur 50 tahun. (J.C.E Underwood. 1999).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate
(sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin
dan menghilangkan retensi urinaria akut.
B. Etiologi
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi
prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada
usia lanjut;
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat;
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor
pencetus lain.
Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi

kelenjar periuretral.
Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa
jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi

sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan

sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa
dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan

terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995).


C. Manifestasi Klinis
Walaupun hyperplasi prostat selalu terjadi pada orangtua, tetapi tidak selalu disertai
gejala-gejala klinik.
Gejala klinik terjadi terjadi oleh karena 2 hal, yaitu :
1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.
2. Retensi air kemih dalam kandung kemih yang menyebabkan dilatasi kandung
kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.
Gejala klinik dapat berupa :
Frekuensi berkemih bertambah
Berkemih pada malam hari.
Kesulitan dalam hal memulai dan menghentikan berkemih.
Air kemih masih tetap menetes setelah selesai berkemih.
Rasa nyeri pada waktu berkemih.
Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, penderita sama sekali tidak dapat
berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Selain gejala-gejala di atas oleh
karena air kemih selalu terasa dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi
cystitis dan selanjutnya kerusakan ginjal yaitu hydroneprosis, pyelonefritis.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
a. Gejala Obstruktif yaitu :
1. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
3. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
b. Gejala Iritasi yaitu :
1. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

D. Komplikasi
1. Inkontinensia
2. Pendarahan
3. Batu kandung kemih
4. Retensi urine
5. Impotensi
6. Epididimitis
7. Haemoroid,Hernia,prolaps redum akibat mengendap
8. Infeksi saluran kemih disebabkan catherisasi
E. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip
dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara
lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini
sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan diubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini
dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung

kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka suatu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
Pathways

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase
pada tulang.

b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume


dan

besar prostat juga keadaan buli buli termasuk residual urin.

Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra


pubik.
c. IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat
hidronefrosis.
4. Pemeriksaan Panendoskop : untuk

fungsi

ekskresi

ginjal

dan

adanya

mengetahui keadaan uretra dan buli

buli.
5. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran
adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital
pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena
mahal biayanya.
6. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi
gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber
perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu
radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi
keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars
prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
G. PENATALAKSANAAN
a. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
b. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
c. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,
uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke

kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui /pada ujung kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

H. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Retensi Urin ( Akut/kronik ) b.d pembesaran prostat
2. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih,
3. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi diuresis

I. Rencana Keperawatan
NO

Diagnosa Keperawatan
1.

Tujuan (NOC)

Retensi urine b.d pembesaran Setelah


prostat

Intervensi (NIC)

dilakukan 1. Dorong pasien

tindakan

untuk berkemih

keperawatan selama

tiap 2 4 jam

3 x 24 jam masalah

atau bila pasien

dapat

tiba-tiba merasa

teratasi

dengan kriteria hasil

untuk

:
berkemih.
1. Peningkatan pola 2. Awasi dan catat
BAK
2. Tidak

waktu,
teraba

distensi abdomen
3. Menunjukan
residu

setelah

berkemih kurang
dari 50 ml, tidak
adanya
tetesan/kelebihan

jumlah

setiap
berkemih,
perhatikan
penurunan
haluaran urin.
3. Palpasi
area
supra pubik.
4. Anjurkan
pasien

untuk

aliran.

mengintake
cairan

3000

ml/hari ( 10
15

gelas

perhari.
5.
Observasi
tanda-tanda
vital

setiap

jam.Awasi
terjadinya
hipertensi,
edema

perifer,

perubahan
mental.Timbang
berat

badan

setiap hari,ukur
intake

dan

output

cairan

setiap hari.
6. Lakukan
kompres hangat
atau

rendam

duduk.
7. Tindakan
kateterisasi
menggunakan
Kateter coude
8. Kolaborasi
pemberian
antispasmodik
misalnya
oksibutinin
klorida
(Ditropan).
9. Memberiakan

antibiotik
10. Siapkan untuk
drainase

urin,

misalnya
sistostomy.
11. Lakukan
hipertermi
transuretral
(

pemanasan

bagian sentral
prostat dengan
memasukan
elemen
pemanas
melalui uretra)
1.

Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; Setelah


distensi kandung kemih,

dilakukan

1. Kaji dan catat

tindakan

kualitas, lokasi

keperawatan selama

dan

3 x 24 jam masalah

nyeri.

dapat

teratasi

Gunakan skala

dengan kriteria hasil

nyeri (0-10) 0

:
1. Memberitahukan

(tidak

ada

nyeri)

10

(nyeri

yang

nyeri

hilang/

terkontrol
2. Tampak rileks
3. Istirahat dengan
tenang.

durasi

paling hebat).
2. Jelaskan
penyebab rasa
sakit dan cara
menguranginy
a
3. Kolaborasi
terapi dengan
pemberian
Analgesik

sesuai
program.
4. Ajarkan teknik
mengatasi rasa
nyeri : napas
dalam

untuk

menurunkan
stress

dan

membantu
rilaks

otot

yang tegang
5. Kompres

es

pada

daerah

yang

sakit

untuk
mengurangi
nyeri
6. Ciptakan
lingkungan
yang tenang
2.

Risiko

tinggi

terhadap

Setelah

dilakukan

kekurangan volume cairan b.d.

tindakan

pasca obstruksi diuresis

keperawatan

pengeluaran

selama 3 x 24 jam
masalah
teratasi

1. Monitor
urin tiap jam.
2. Monitor tandatanda vital

dapat

nadi,

dengan

pengisian

akan

kapiler

mempertahanka

dengan

mukosa oral

yang

dibuktikan
tanda-

dan

membran

n hidrasi yang
adekuat

tekanan

darah; evaluasi

kriteria hasil :
1. Pasien

3.

Motivasi
pasien

untuk

tanda

vital

meningkatkan

dalam

batas

intake

normal,
2. pengisian
kapiler
dan

peroral
4. Berikan

posisi

semi

fowler

baik,

membran

mukosa

kepala pasien
5. Berikan

lembab.

Carpenito,

Linda

Jual.

cairan

cairan

Intravena

DAFTAR PUSTAKA
(1995). Rencana Asuhan

&

Dokumentasi

Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.


Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC.
Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.Volume I
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press.
Surabaya
Long, Barbara

C.

(terjemahan).Yayasan

(1996). Perawatan
Ikatan Alumni

Medikal

Pendidikan

Bedah.
Keperawatan

Volume

I.

Pajajaran.

Bandung.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Guyton, Arthur C, Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit, EGC Penerbit
buku kedokteran, Jakarta, 1987.
Johnson.,
Mass. 1997.
Nursing

Outcomes

Classification,

Availabel

on:www.Minurse.com, 28 Oktober 2009


McCloskey, Joanne C,. Bulecheck, Gloria M. 1996. Nursing Intervention
Classsification (NIC). Mosby, St. Louise.
NANDA, 2002. Nursing Diagnosis : Definition and Classification (2001-2002),
Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai