Anda di halaman 1dari 6

Pertarungan Untuk Teluk

28DEC2014No Comments
sarasdewiPosted in Uncategorized

Betapa menyedihkannya, bila I Gusti Ngurah Made Agung, Dewa Agung Jambe, Gusti
Ngurah Jelantik, Ni Sagung Ayu Wah dan I Gusti Ngurah Rai melihat tanah dan masyarakat
yang mereka cintai sekarang? Apakah rakyat Bali masih mengenal nama-nama ini ?
Ataukah nama-nama mereka telah luntur dihapus hiruk pikuk modernitas? Lupakah rakyat
Bali terhadap sejarah kebesaran perang puputan? Pada perayaan Galungan tahun ini,
penting untuk mengkontemplasikan nama-nama ini dan melihat keterkaitannya dengan
Bali kini. Mereka pahlawan-pahlawan yang telah memperjuangkan tanah Bali dari
penjajahan. Lagipula, tidakah Galungan itu keyakinan di mana kebaikan akan berjaya dari
keburukan, Dharma diatas Adharma? Pemahaman Galungan tentunya jangan hanya
dimaknai secara terbatas sebagai ritus seremonial saja, tetapi secara kontekstual, Galungan
seharusnya mengingatkan masyarakat di Bali tentang penegakan Dharma.
I.
Tanah Dijunjung
Pagi hari pada tanggal 20 September 1906 Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung yang
berpakaian serba putih bersembahyang dengan khusyuk di Pura Satria. Ia tidak sendiri,
bersama dengannya, ratusan orang bersenjatakan tombak dan keris bersembahyang
bersamanya juga. Menjelang siang harinya, serdadu Belanda telah berhasil menggempur
para laskar Badung, mereka memasuki wilayah Taen Siat dengan mudah, target mereka
selanjutnya adalah menundukan Raja. Raja Badung duduk ditandu tanpa rasa gentar,
wajahnya penuh tekad perlawanan, di depan rakyatnya ia menunggu kedatangan musuh
dengan berani.
Di dalam laporannya, H.M van Weede seorang jurnalis berkebangsaan Belanda, ia
menuliskan kesaksiannya tentang Perang Puputan Badung. Tulisan ini kelak diterbitkan
dalam bukunya Indische Reisherinneringen , buku ini memuat kejadian penting
khususnya puncak peperangan di Denpasar yang berakhir dengan puputan, atau
pertarungan habis-habisan. Ia menulis, Perempuannya membusungkan dada siap untuk
ditusuk Apabila mereka tergeletak mati karena tembakan kami, yang lainnya berdiri lakilaki atau perempuan untuk melanjutkan tugas berdarah mereka. Bunuh diri juga dilakukan
oleh banyak orang. Semua orang nampaknya sangat ingin mati, beberapa perempuan
melempar mata uang emas kepada pasukan kami sebagai balasan jasa atas pembunuhan
mereka. Mereka menunjuk-nunjuk pada jantung mereka bermaksud ingin dibunuh.[1]
Betapa heroiknya para perempuan yang melempar uang kepeng, sebagai tanda bahwa
mereka menyambut kematian dengan sukacita, dan mereka tidak memiliki hutang piutang
dengan para tentara yang menembak mereka. Kematian menjadi jalan Dharma, jalan

pengabdian terhadap tanah yang mereka cintai. Selain laporan dari sisi Belanda, sumber
lainnya yang berharga mendokumentasikan Perang Puputan Badung termaktub dalam
Kidung Bhuwanawinasa yang ditulis oleh Ida Pedanda Ngurah dari Griya Gede Blayu.
Kidung Bhuwanawinasa memberikan perspektif bagaimana detik-detik Raja Badung
melakukan puputan. Dengan bahasa yang puitis dituliskan bagaimana Raja Badung siap
bertempur demi prinsip kebenaran, Menurut pikiran saya sekarang, mempertahankan
kebenaran ajaran agama, walaupun berakhir dengan kematian, adalah kebanggaan
mencapai sorga. Agar sungguh-sungguh memperoleh jalan kebebasan dan kemerdekaan,
kejayaan pikiran itulah tujuan, sesuai dengan apa yang telah diputuskan.[2] Ketika
puputan terjadi, Raja Badung menghadapi pasukan bersenjata dengan berani, ia hanya
memegang keris pusaka keluarganya. Keris itu menjadi simbol perlawanan sampai darah
penghabisan. Tidak lama setelah rombongan beriring-iringan berjalan mendatangi pasukan
bersenjata, bunyi tembakan meletus dan Raja pun gugur tertembak dikepalanya. Rakyat
dan keluarga puri yang melihat Rajanya tewas tertembak, berhamburan meraung menangis,
sebagian berlari menghampiri tembakan meriam dan peluru, sementara sebagian
menghunus keris ke dadanya sendiri.
Raja Badung memiliki kesempatan untuk berkompromi dengan pihak Belanda, bila ia
meminta maaf dan mengakui telah lalai mematuhi aturan Belanda untuk membekukan
hukum tawan karang. Tetapi, sebaliknya, Raja Badung bersikeras bahwa mengenai kapal Sri
Komala yang terdampar di Pantai Sanur, baik dirinya maupun rakyat Denpasar tidak
menjarah isi dari kapal yang karam tersebut. Dalam laporan yang ditulis pemimpin
ekspedisi penyerangan ke Bali, Jenderal Rost van Tonningen menjelaskan bahwa
dikarenakan pembangkangan yang dilakukan Raja, pemerintah Belanda menuntut ganti
rugi sebesar 3000 rijksdaalder, kemudian mereka juga memblokade jalur-jalur pelabuhan
di Sanur[3].
Raja Badung yang berlimpah emas dan perak tentunya dapat dengan mudah meredam
permasalahan dengan tunduk terhadap permintaan Belanda. Namun, ia menolak patuh
dengan kesewenangan yang dilakukan pihak Belanda, juga kebohongan dan hasutan yang
dianggap menjatuhkan harga diri Kerajaan Badung. Dalam Kidung Bhuwanawinasa
dituliskan bagaimana Raja Badung melakukan penyelidikan ke Sanur untuk memeriksa
ihwal tuduhan terjadinya penjarahan, ini jawaban dari punggawanya, Ida Bagus Ngurah;
Yang Mulia Tuanku Raja, konon begitulah tuduhan yang ditetapkan. Tetapi tidak ada
seorang pun yang mengambil, benda-benda seperti perak, emas, dan uang. Saya melihat
dengan mata kepala sendiri tentang isi muatan kapal itu, hanyalah batu-batu, dan barangbarang tak berharga lainnya.[4]
Begitulah, martabat diatas apapun, kehormatan leluhur dijunjung setinggi mungkin, dan
tanah mesti dibela. Itu pesan dari pertempuran Puputan Badung, dan betapa mulianya
mereka yang menyambut kematian dengan gagah demi kebenaran. Belanda yang berupaya

keras memperluas invasi memang menantikan pecahnya peperangan dengan Bali. Segala
taktik dilakukan agar Bali sepenuhnya jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. Jenderal Rost
van Tonningen menyampaikan dalam suratnya bahwa pendudukan Badung adalah prestasi
besar bagi Belanda, ia merasa bahwa momentum itulah puncak keberhasilan invasi tentara
Belanda. Tetapi, tidak bagi rakyat Bali, kematian Raja Badung memicu pemberontakanpemberontakan lainnya, pemberontakan di Tabanan yang memunculkan tokoh perempuan
Ni Sagung Ayu Wah, kemudian Puputan di Klungkung pada tahun 1908. Pemberontakan
yang dilakukan Raja Badung juga tidak jauh dari tradisi keberanian yang dilakukan saat
Puputan Jagaraga yang terjadi pada tahun 1849 yang dipimpin oleh Patih Buleleng, Gusti
Ngurah Jelantik. Hingga akhirnya, Puputan Margarana yang terjadi pada tanggal 20
November 1946 dipimpin seorang kolonel pemberani bernama I Gusti Ngurah Rai.
Bertempat di Desa Marga, pertarungan berdarah terjadi, yang mengakibatkan gugurnya
seluruh pasukan Ciung Wanara, begitu juga sang Kolonel I Gusti Ngurah Rai.
II.
Reklamasi Teluk Benoa dan Penjajahan
Apakah kini Bali telah merdeka dari penjajahan? Itu adalah pertanyaan kritis filosofis yang
menyoal pemahaman kita tentang apa penjajahan itu? Memang masyarakat Bali tidak lagi
berperang melawan kolonialisme, tidak ada lagi serdadu-serdadu Belanda yang menyerang
di laut, hutan dan jalan-jalan di Bali. Tetapi lihatlah ke sekeliling dan resapi keadaan Bali
sekarang, sudahkah masyarakatnya sejahtera? Apakah alamnya lestari? Apakah adat dan
budayanya tengah bertahan? Bali sedang berubah, dan perubahan itu tidak dalam arti yang
lebih baik. Pembangunan infrastruktur pariwisata yang lepas kendali menyebabkan
ketimpangan dalam struktur alam, budaya dan masyarakat Bali.
Bali sedang terjajah. Pendewaan terhadap uang juga ambisi rakus MP3EI adalah penjajahan
jenis baru. Tidakkah masyarakat Bali mengingat ajaran-ajaran para nenek moyang, Tri Hita
Karana, yang berulang-ulang kali diucapkan sebagai semboyan hidup orang Bali, tetapi
pemaknaannya nampak luruh dihadapkan proyek-proyek investor. Masihkah Tri Hita
Karana menggema di dalam tubuh dan pikiran masyarakat Bali? Tri Hita Karana yang
berarti tiga penyebab kebahagiaan, kebahagiaan yang datang dari keseimbangan hubungan
antara manusia, alam dan Tuhan.
Kesungguhan dihayatinya falsafah Tri Hita Karana oleh masyarakat Bali kini tengah diuji.
Semenjak dua tahun yang lalu, ketika bergulir rencana Gubernur Bali Mangku Pastika
untuk mereklamasi Teluk Benoa melalui diterbitkannya SK Gubernur hingga akhirnya
pertempuran diambil alih mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
menerbitkan Perpres No. 51 tahun 2014 yang mengubah tata ruang wilayah konservasi
Teluk Benoa. Pertempuran tengah terjadi, antara rakyat Bali, melawan kekuasaan kolusi
antara pemerintah korup dengan pihak konglemerasi yang ingin memeras Bali hingga ia

kering kerontang. Perjuangan masyarakat Bali dalam mempertahankan alamnya


mengalami berbagai intimidasi, kriminalisasi, hingga adu domba. Ingatkah bagaimana
lihainya pihak penjajah Belanda membenturkan desa-desa di Bali, menghasut raja-raja di
Bali agar saling berperang? Devide et impera, itu terjadi pula dalam penjajahan atas nama
reklamasi ini, politik pecah belah! Masyarakat dibenturkan dengan preman, kebohongan
demi kebohongan dilancarkan pihak pengusung reklamasi sebagai provokasi untuk
merusak kekuatan perlawanan.
Budayawan dan pakar lontar, Sugi Lanus menguraikan di dalam esainya, bagaimana
pertarungan sengit tengah terjadi untuk mempertahankan tanah dari penjarahan.
Penjarahan terhadap tanah, atau Karang Ketawan[5] menurut Sugi Lanus adalah
pengkerdilan peran Desa Pakraman. Desa Pakraman adalah penjelmaan dari keseimbangan
yang dicita-citakan dalam Tri Hita Karana. Masyarakat bertumpu pada keharmonisan yang
dituju dalam Desa Pakraman. Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa yang
melibatkan adat istiadat, juga pengembangan nilai spiritual yang menjadi substansi
kehidupan bermasyarakat. Rencana reklamasi melampaui semangat dari Desa Pakraman
itu sendiri, disampaikan oleh Sugi Lanus Mengurug sempadan sungai atau pantai, atau
perluasan pulau, oleh investor untuk diperjualbelikan. Sangat jelas bukan demi kepentingan
Pakraman.[6] Keputusan reklamasi yang penuh tipu daya, telah merobek sendi-sendi tata
bermasyarakat yang selama ini menjadi pertahanan budaya di Bali.
Meski bermacam-macam siasat dilancarkan untuk mereklamasi Teluk Benoa, nyatanya
rakyat berbalik melawan. Ini terbukti dengan terpilihnya Bendesa Adat Tanjung Benoa yang
baru. Bersamaan dengan perayaan hari raya Galungan pada tanggal 17 Desember 2014, I
Made Wijaya resmi menjadi pempimpin adat di Tanjung Benoa. Terpilihnya I Made Wijaya
merupakan kulminasi dari pertarungan desa untuk menolak reklamasi yang mengancam
perairan Benoa. Desa sedang melawan, ini tercermin dari pidato pelantikan yang dibacakan
oleh Bendesa Made Wijaya, Terpilihnya saya sebagai bendesa adat serta komitmen saya
tidak akan pernah luntur dalam menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa.[7] Bendesa
Made Wijaya memenangkan pemilihan secara aklamasi, sebelumnya sudah terjadi
kesepakatan antara empat banjar di Tanjung Benoa; Banjar Anyar, Banjar Kertha Pascima,
Banjar Purwa Santi dan Banjar Tengah. Sikap banjar-banjar ini tegas menolak reklamasi
Teluk Benoa, dan mereka mendaulat I Made Wijaya sebagai pemimpin baru dan pelindung
Teluk Benoa beserta masyarakat Tanjung Benoa.
III.
Kesimpulan : Hak Teluk
Dalam puisinya yang dibacakan pada acara Puisi Bumi petang solidaritas perlawanan
reklamasi Teluk Benoa, Rocky Gerung seorang filosof dan dosen Filsafat UI mengatakan;
Teluk adalah hak ombak, ombak adalah hak perahu, perahu adalah hak senja, senja adalah
hak hati.[8] Puisi dari Rocky Gerung menggugat cara pandang lama yang menganggap

bahwa teluk adalah benda mati semata. Teluk Benoa merupakan penyangga kehidupan. Ia
rumah bagi beragam biota laut, ikan-ikan, hutan bakau, burung bangau, umang. Tidak
terkecuali ia juga menjadi tumpuan para nelayan juga pengusaha lokal yang menawarkan
pariwisata bahari keindahan perairan Benoa. Manusia yang memiliki akal budi seharusnya
menyadari betapa berharganya keberlangsungan teluk bagi keseimbangan ekosistem. Hak
Teluk Benoa untuk tetap lestari semestinya menjadi kewajiban moral yang dipikul oleh
manusia.
Bali menjadi besar karena sejarahnya. Pulau yang dielu-elukan para seniman, penulis dan
penjelajah dunia. Keindahan alam, keramahan masyarakatnya, serta keanggunan
tradisinya. Mengingat sejarah pula yang akan menyelamatkan Bali dari krisis alam dan
kebudayaan ini. Sejarah hidup para leluhur, yang mengutamakan kehidupan yang
sederhana, jujur, dan berani melawan ketidakadilan, sepatutnya diingat dan ditanamkan di
dalam generasi teruna teruni Bali. Perlu ada penafsiran kritis tentang
pengertian Puputan dan Penjajahan untuk konteks Bali sekarang. Bahwa pertarungan
untuk Teluk Benoa adalah pertarungan habis-habisan, puputan untuk Teluk Benoa menjadi
amanah bagi mereka yang menyayangi Bali, terlepas dari perbedaan latar belakang etnis,
suku, agama maupun ras. Pertarungan mempertahankan Teluk Benoa kini bergaung-gaung,
tidak saja di Bali dan dikhususkan untuk masyarakat Bali, tapi bagi mereka yang memiliki
kenangan, kecintaan, dan pertautan hati dengan Bali. Suara solidaritas perlawanan muncul
di seluruh Indonesia; Jakarta, Lampung, Jogjakarta, Bandung, Gorontalo, begitu juga dunia
internasional; Australia, Belanda dan berbagai negara lainnya.
Penjajahan yang tengah terjadi adalah penghancuran alam oleh mesin kapitalisme.
Penjajahan ini terselubung dan menyergap disaat kita membiasakan diri melihat sawahsawah hijau digusur menjadi villa mewah, atau perairan teluk yang indah ditimbun untuk
dijadikan hotel dan pusat hiburan, atau nasib para petani rumput laut tradisional yang
tergilas industri dan pembangunan yang bengis. Kita harus bertanya, siapakah yang
diuntungkan dengan pembangunan tidak berkelanjutan ini? PT TWBI, juga pemerintah
daerah, DPRD, DPRRI yang berkonspirasi memenangkan proyek reklamasi harus paham
bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam. Bahwa gelombang perlawanan akan semakin
luas dan membesar. Sejarah pun akan mencatat, mereka yang memilih diam dan netral
melihat penjarahan keji yang dilakukan menggunakan bulldozer dan mesin keruk. Sejarah
pula yang akan menuliskan, bagaimana sikap Presiden baru Republik Indonesia Joko
Widodo menyikapi polemik ini. Apakah ia akan memunggungi laut, atau sebaliknya,
mencabut Perpres no. 51 tahun 2014 dan menyelamatkan wilayah konservasi Teluk Benoa.
Sebagai kesimpulan, masyarakat Bali harus mengingat! Ingatlah tanah yang telah
diperjuangkan dengan pengorbanan nyawa dan darah. Ingatlah perempuan-perempuan
yang melempar uang kepeng ke arah tentara dan menukarkan nyawanya demi membela

tanah. Ingatlah, agar pengorbanan mereka tidak sia-sia, dan monumen patung-patung
mereka tidak menjadi bangunan hampa.
Ingatlah, dan mulai bergerak!
Salam adil dan lestari,
Tolak Reklamasi Teluk Benoa!
Rahajeng Galungan Lan Kuningan.

[1] Seabad Puputan Badung, Perspektif Belanda dan Bali, (ed) Helen Creese, Darma Putra,
Henk Schulte Nordholt, hlm. 75, Pustaka Larasan, Bali, 2006
[2] ibid. hlm. 140
[3] ibid. hlm. 5
[4] ibid. hlm. 128
[5] Esai yang dipublikasi pada tanggal 3 Oktober 2014 di laman blog dengan judul, Ironi
Bali Abad 21: Dari Tawan Karang sampai Karang Ketawan (Reklamasi)
Lihat https://budaya.wordpress.com karya Sugi Lanus.
[6] Ibid.
[7] lihat http://suksesinews.com/berita-dilantik-bendesa-adat-tanjung-benoa-tetap-tolakreklamasi.html 18 Desember 2014-05:21:37 WIB
[8] Puisi Bumi merupakan salah satu rangkaian acara yang diselenggarakan ForBALI yang
bertujuan mengkampanyekan misi penyelamatan Teluk Benoa. Acara ini melibatkan
penyair, budayawan, musisi yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian alam Bali.

http://sarasdewi.blog.com/2014/12/28/pertarungan-untuk-teluk-2/ AKSES 27/1/2016

Anda mungkin juga menyukai