menekankan dari sisi profitabilitas penggunaan hutang tersebut. Disamping itu juga diketahui
bahwa penggunaan hutang akan menimbulkan kewajiban finansial, baik dalam bentuk
pembayaran bunga maupun angsuran pokok pinjaman. Karena itu tidak diinginkan penggunaan
hutang akan menimbulkan kesulitan likuiditas bagi perusahaan, dalam artian tidak mampu
membayar bunga dan angsuran pokok pinjaman. Untuk memperkirakan apakah penggunaan
hutang akan menimbulkan kesulitan likuiditas atau tidak, bisa ditaksir rasio keuangan yang
disebut sebagai debt service coverage (DSC).
DSC dirumuskan sebagai, DCS =
(EBIT+Penyusutan)
Bunga + sewa guna +angsuran pokok pinjaman
(1-T)
dimana t = tarif pajak
Misalkan perusahaan memerlukan tambahan dana sebesar Rp.200 juta, yang akan dipergunakan
untuk penambahan aktiva tetap Rp. 120 juta dan modal kerja Rp.80 juta. Aktiva tetap tersebut
diperkirakan akan berusia 4 tahun, dan karenanya beban penyusutan per tahun Rp.30 juta.
Perusahaan ditawari hutang dari suatu bank dengan bunga 18% per tahun, jangka waktu dua
tahun, dan untuk tahun pertama harus membayar 50% dari pokok pinjaman.. Dengan demikian
apabila kredit tersebut diambil, akan menimbulkan beban finansial sebagai berikut
Tahun
Bunga
Misalkan rentabilitas ekonomi dari penggunaan hutang tersebut setiap tahun diharapkan sebesar
25%, dan perusahaan membayar pajak penghasilan sebesar 25%. Apakah penggunaan hutang
tersebut akan menimbulkan beban i finansial yang lebih besar dari pemasukan keuangannnya?
Jika Rentabilias Ekonomi 25%, maka LABA OPERASI adalah 200 juta/0,25 = Rp 50 juta
Maka besar DSC adalah :
DCS = (50juta+30 juta)
36 juta +0+100 juta
1-0,25
= 0, 472
Rasio ini menunjukkan bahwa apabila penggunaan hutang tersebut diperlakukan sebagai suatu
cash flow yang terpisah dari cash flow perusahaan, maka penggunaan hutang tersebut akan
menimbulkan kesulitan likuiditas (ingat bahwa DSC < 1,00 berarti dana dari Laba Operasi dan
penyusutan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban finansial). Penyebabnya adalah karena
antara lain kredit tersebut harus diangsur dalam dua tahun, sedangkan aktiva tetapnya berusia
empat tahun.
25
10
35
25
10
35
25
10
35
25
10
35
25
25
35
10
10
35
25
10
35
25
10
35
10
3
10
23
8
3,4
10
21,4
6
3,8
10
19,8
4
4,2
10
18,2
2
4,6
10
16,6
5
5
5
5
5
5
12
13,6
15,2
16,8
18,4
30
30
30
Taksiran aliran kas di dalam Tabel tersebut menggunakan anggapan bahwa semua penghasilan
dan biaya yang dikeluarkan pada suatu tahun dianggap terjadi pada tahun tersebut juga. Kalau
ternyata anggapan ini tidak terpenuhi, penyusunan anggaran kas akan mengalami modifikasi.
Karena perusahaan mengangsur pokok pinjaman sebesar Rp 10 juta setiap tahunnya, maka beban
bunga juga menjadi makin berkurang setiap tahunnya. Karena jumlah kas masuk masih lebih
besar daripada jumlah kas keluar, maka perusahaan masih memperoleh surplus setiap tahunnya.
Dengan demikian perusahaan tidak mengalami kesulitan keuangan (likuiditas) apabila EBIT
setiap tahunnya Rp 25 juta. Tetapi apabila EBIT tahun 1 merosot menjadi 10 juta, maka taksiran
kas masuk = 20 juta. Sedangkan taksiran kas keluar akan sebesar Rp 22 juta yang terdiri dari
bunga Rp 10 juta, pajak Rp 2 juta, dan angsuran pokok Rp 10 juta. Karena itu pada tahun
pertama perusahaan mengalami kesulitan keuangan yaitu mengalami defisit. Dalam keadaan ini,
penggunaan hutang dikatakan tidak seharusnya digunakan.