Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

MANAJEMEN KEUANGAN II
“MENILAI INVESTASI DENGAN NET PRESENT VALUE”

KELOMPOK B
Deffila Syamarizanti Silondae B1C118 231
Putri Ani Lestari Mustari B1C118 241
Reza Anwar Eri B1C118 251
Muhammad Sidiq B1C118 255
Ryni Ramdhani Salim B1C118 256
Firdjinia Triezki B1C118 261
Apriyani Cahyaning B1C118 271

KELAS E

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

0
BAB 1
PENDAHULUAN

Secara teoritis penggunaan Net Present Value (NPV) akan memberikan hasil
terbaik dalam penilaian profitabilitas investasi. Meskipun secara teoritis penggunaan
NPV merupakan cara terbaik, dalam praktiknya tidak semua pemilik dana melakukan
perhitungan NPV. Nampaknya kesulitannya adalah bahwa dalam perhitungan NPV
perusahaan harus menentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang dipandang layak (dan
harus dipertimbangkan unsur risiko didalamnya). Karena kesulitan inilah banyak pihak
yang lebih menyukai penggunaan internal Rate of Return (IRR); sejauh pola arus
kasnya tidak berubah-ubah tandanya. Dengan menghitung IRR nampaknya pengambil
keputusan lebih mudah melakukan judgement.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam capital budgeting antara lain :
1. Metode penyusutan yang dipercepat
2. Keterbatasan dana
3. Modal kerja dalam capital budgeting
4. Pemilihan aktiva
5. Penggantian aktiva
6. Pengaruh inflasi pada penilaian investasi modal

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Metode Penyusutan yang Dipercepat


Apabila perusahaan diijinkan melakukan penyusutan dengan menggunakan
metode yang berbeda-beda, maka penggunaan penyusutan yang di percepat
(accelerated depreciation) akan lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh karena
perusahaan akan dapat membebankan penyusutan yang lebih besar pada periode awal,
sehingga akan melaporkan memperoleh laba yang lebih kecil. Karenanya pula
perusahaan akan membayar pajak yang lebih kecil pada periode awal dan besar pada
periode akhir. Walau secara keseluruhan jumlah pajak yang dibayar sama besarnya,
apapun metode penyusutan yang dipergunakan, pembayaran pajak yang lebih kecil pada
periode awal akan menguntungkan perusahaan dalam hal nilai waktu uang.
Misalnya, perusahaan menggunakan metode Double Decline Balance (DDB).
Pada contoh kasus perusahaan taksi sebelumnya; metode penyusutan DDB di rumuskan
sebagai 2(1/n). Dalam hal ini n adalah usia ekonomis. Penyusutan di hitung dari nilai
buku aktiva tetap yang disusut. Dengan demikian apabila usia ekonomis adalah 4 tahun,
maka penyusutan per tahun adalah 2(1/4) = 0,50 dari nilai buku. Pada tahun terakhir
besarnya penyusutan sama dengan seluruh nilai buku aktiva tersebut. Dengan demikian
maka beban penyusutan setiap tahunnya adalah (ingat perusahaan mempunyai 50 taksi)
sebagai berikut:
Tabel Besarnya penyusutan setiap tahun, usaha taksi dengan metode DDB
Tahun Besarnya penyusutan
1 0,50 × Rp26 × 50 = Rp650,0 juta
2 0,50 × Rp13 × 50 = Rp325,0 juta
3 0,50 × Rp6,5 × 50 = Rp162,5 juta
4 Sisanya = Rp162,5 juta

Dengan demikian, perhitungan laba rugi setiap tahun, mulai dari tahun 1 s/d
tahun 4, disajikan pada tabel berikut.
Tabel Perhitungan laba rugi dengan menggunakan metode penyusutan DDB
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4
Penghasilan 750,00 750,00 750,00 750,00
Biaya-biaya:
Tunai 150,00 150,00 150,00 150,00
Penyusutan 650,00 325,00 162,50 162,50
Total 800,00 475,00 312,50 312,50
Laba operasi (50,00) 275,00 437,50 437,50
Pajak 17,50 96,25 153,13 153,13
Laba setelah pajak (32,50) 178,75 284,37 284,37

Dengan demikian kas masuk bersih setiap tahunnya adalah :


Tahun 1 = -32,50 + 650,00 = Rp617,50 juta

2
Tahun 2 = 178,75 + 325,00 = Rp503,75 juta
Tahun 3 = 284,37 + 162,50 = Rp446,87 juta
Tahun 4 = 284,37 + 162,50 = Rp 446,87 juta
Nilai residu = Rp200,00 juta
Nilai keseluruhan kas masuk bersih selama empat tahun juga sebesar Rp2.215
juta, sama dengan sewaktu di pergunakan metode penyusunan garis lurus. Meskipun
demikian, dapat dilihat bahwa pada tahun awal perusahaan akan menerima kas masuk
yang lebih besar. Dengan demikian maka Present Value (PV) kas masuknya akan lebih
besar, dan NPV-nya akan lebih besar pula.
Apabila digunakan kinerja akuntansi, maka pada tahun-tahun awal akan Nampak
kinerja keuangannya lebih jelek (karena menanggung beban penyusutan lebih besar).
Meskipun demikian, penilaian profitabilitas suatu investasi dilakukan untuk sepanjang
usia ekonomi investasi tersebut, dan bukan per tahun. Bagi yang memusatkan
pandangan pada kinerja setiap tahun disebut berpandangan pendek (short-termism).
Pemusatan perhatian pada dampak jangka pendek mengakibatkan penolakan terhadap
rencana-rencana yang sebenarnya menguntungkan.
Direksi mungkin tidak bersedia mengambil suatu kesempatan investasi yang
sebenarnya diperkirakan menguntungkan (yaitu memberikan NPV positif) hanya karena
takut dampaknya pada kinerja keuangan tahunan. Penurunan kinerja tahunan mungkin
dikhawatirkan akan mengakibatkan direksi dinilai tidak baik, sehingga para direksi
menolak proyek-proyek yang membawa dampak menguntungkan jangka panjang.
MAsalah ini disebut sebagai agency cost, yang berarti bahwa manjemen (sebagai agent)
mengambil keputusan bukan untuk kepentingan para pemegang saham, tetapi untuk
kepentingan mereka sendiri.

2.2. Masalah Keterbatasan Dana


Nilai dari sumberdaya yang kita miliki saat ini sesuai harga pasar akan berbeda
dengan nilai pasar yang berlaku pada masa yang akan datang.
Masalah keterbatasan dana misalnya, perusahaan menghadapi beberapa proyek
yang di sususn peringkatnya sesuai dengan Profitability Index (PI).

Proyek 3 1 2 4
PI 1,15 1,13 1,11 1,08
Investasi awal Rp200 Rp125 Rp175 Rp150

Apabila dana terbatas hanya sebesar Rp300, maka proyek yang sebaiknya
diambil adalah proyek 1 dan 2, bukan proyek 3. Hal ini di sebabkan karena meskipun PI
proyek 3 yang tertinggi, tetapi dengan mengambil proyek 1 dan 2 perusahaan di
harapkan akan memperoleh NPV yang lebih besar (yaitu Rp16,25 + Rp19,25 = Rp32,5),
di bandingkan dengan kalau mengambil proyek 1 (NPV-nya hanya sebesar Rp30).
Batasan dana yang tetap untuk suatu periode biasanya jarang terjadi. Hal ini
disebabkan karena dengan berjalannya waktu, proyek yang sedang dilaksanakan
mungkin telah menghasilkan kas masuk bersih, dan arus kas tersebut bisa dipergunakan

3
untuk menambah anggaran yang di tetapkan. Masalah yang timbul dalam keadaan
keterbatasan dana adalah penentuan opportunity cost. Opportinity Cost menunjukkan
biaya yang ditanggung perusahaan karena memilih suatu alternatif. Contoh tersebut
diatas menunjukkan bahwa perusahaan tidak bisa mengambil proyek 1 dan 4 dan
memilih alternatif proyek 2 dan 3. Misalkan semua proyek tersebut dihitung dengan
menggunakan r=18%, opportinuty cost tidak sebesar 18%.

2.3 Masalah Modal Kerja


Setiap investasi modal umumnya akan memerlukan tambahan modal kerja.
Tidak mungkin suatu investasi hanya akan memerlukan pembelian aktiva tetap tanpa
harus memiliki aktiva lancar. Jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai aktiva
lancar ini (setelah dikurangi dengan pendanaan spontan, kalau ada), merupakan
kebutuhan akan modal kerja. Untuk memperjelas pembahasan marilah kita perhatikan
contoh berikut ini.
Misalkan suatu rencana investasi modal diperkirakan memerlukan pembelian
aktiva tetap senilai Rp 300 juta. Usia ekonomis 3 tahun, dan untuk menyerdehanakan ,
dianggap tidak ada nilai sisa. Penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus. Pada
awal investasi , diperkirakan akan diperlukan aktiva lancar sebesar Rp 200 juta. Untuk
memudahkan analisis dianggap tidak ada pendanaan spontan.
Jumlah aktiva lancar sebesar Rp200 juta ini dikaitkan dengan estimasi penjualan
pada tahun pertama sebesar Rp 1.000 juta. Dengan demikian apabila penjualan
diperkirakan naik, maka jumlah aktiva lancar juga akan naik. Sebagai. Sebagai
akibatnya, kebutuhan modal kerja akan berubah dari waktu ke waktu, dan tidak hanya
terbatas pada awal usia proyek (tahun ke -0). Proporsi aktiva lancar untuk tahun-tahun
berikutnya diestimasi meningkat secara proporsional dengan penjualan. Taksiran laba
rugi dan kas masuk operasional untuk tahun 1 s/d 3 adalah sebagai berikut.

Tabel Taksiran laba rugi dan kas masuk operasional


Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3
Penjualan Rp1.000 Rp 1.200 Rp 2,000
Biaya-biaya
Tunai Rp 700 Rp 820 Rp 1.300
Penyusutan Rp 100 Rp 100 Rp 100
Total Rp 800 Rp 920 Rp 1.400
Laba operasi Rp 200 Rp 280 Rp 600
Pajak(35%) Rp 70 Rp 98 Rp 210
Laba setelah pajak Rp 130 Rp 182 Rp 39
Kas masuk operasional Rp 230 Rp 282 Rp 490

Untuk menaksir arus kas secara keseluruhan, baik kas keluar maupun kas masuk
perlu diperhatikan masalah penambahan aktiva lancar (atau modal kerja). Selama
berjalannya usia investasi, jumlah aktiva lancar akan meningkat dari tahun ke tahun

4
(karena penjualan diharapkan meningkat). Pada akhir usia proyek, modal kerja tersebut
akan kembali sebagai terminal cash flow. Masalah tersebut bisa disajikan sebagai
berikut.
Tabel Perhitungan arus kas
Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3
Aktiva tetap (nilai buku) Rp 300 Rp 200 Rp 100 0
Aktiva lancar Rp 200 Rp 240 Rp 400 0
Penambahan aktiva lancar Rp 200 Rp 40 Rp 160 (Rp 400)

Arus kas
Pembelian aktiva tetap -300 - - -
Penambahan aktiva lancar -200 40 -160 -
Kembalinya modal kerja - - - +400

Arus kas operasional - +230 +282 +490


Total arus kas -500 +190 +122 +890
Apabila tingkat bunga yang dipandang layak(=r) sebesar 18%, maka NPV proyek
tersebut adalah
NPV = -500 + 790
= + 290

2.4. Pemilihan Aktiva


Masalah yang sering dihadapi perusahaan adalah memilih aktiva (mesin
misalnya) yang mempunyai karakteristik yang berbeda, tetap kapasitasnya sama.
Sebagai missal, apakah kita akan menggunakan printer merek A ataukah B. Apakah kita
akan memilih mesin ketik merek C ataukah D. Apabila kapasitas kedua aktiva tersebut
sama, maka kita tinggal melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang berbeda.
Faktor-faktor tersebut biasanya. (1) harga, (2) biaya operasi, dan (3) usia ekonomis.
Apabila ada dua mesin yang mempunyai kapasitas yang sama, mempunyai
harga yang sama usia ekonomis yang sama pula, tetapi dengan biaya operasi yang lebih
rendah,maka tanpa melakukan analisis yang terlalu rumit kita dengan mudah memilih
mesin yang mempunyai biaya operasi yang lebih rendah. Pertimbangan kita adalah
memilih mesin yang mempunyai present value kas yang keluar yang paling kecil.
Meskipun demikian pedoman ini perlu berhati-hati dalam menerapkannya. Marilah kita
perhatikan contoh berikut ini.
Ada dua mesin A dan B yang mempunyai kapasitas yang sama. Bedanya adalah
bahwa harga mesin A lebih mahal atau Rp 15juta, sedangkan B hanya Rp 10juta.
Karena harga yang lebih mahal usia ekonomis mesin A sampai 3 tahun, sedangkan
mesin B hanya 2 tahun. Biaya operasi per tahun mesin A adalah Rp4juta ,sedangkan
msin B Rp 6 juta . mesin mana yang seharusnya dipilih , kalau r=10%?
Kalau kita membandingkan begitu saja antara kedua mesin tersebut, maka kita
mungkin akan melakukan analisis data sebagai berikut.

5
Mesin Kas Keluar (dalam jutaan Rupiah)
Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 PV pada r=10%
A 15 4 4 4 24,95
B 10 6 6 - 20,41

Kalau membandingkan begitu saja antara kedua masin tersebut, kita mungkin
mungkin mengambil kesimpulan yang salah yaitu memilih mesin B karena memberikan
PV kas keluar yang terkecil. Mengapa pilihan tersebut salah? Karena kita menggunakan
dasar usia ekonomis yang tidak sama. Dengan membeli mesin B pada akhir tahun ke-2
(atau awal tahun ke-3) kita harus membeli mesin baru lagi , sedangkan mesin A belum
perlu diganti. Untuk itulah salah satu cara yang bisa dipergunakan adalah menggunakan
basis waktu yang sama ,yang disebut sebagai common horizon approach.
Pendekatan ini mengatakan bahwa kalau kita ingin membandingkan dua
laternatif. Gunakan dasar waktu yang sama. Kalau mesin A mempunyai usia ekonomis
3 tahun, sedangkan B mempunyai usia ekonomis 2 tahun ,maka kita bisa menggunakan
common horizon 6 tahun. Dalam periode tersebut, mesin A berganti 2 kali. Dengan
demikian bisa dilakukan analisis sebagai berikut.

Mesin 0 1 2 3 4 5 6 PV
r=10%
A 15 4 4 4+15 4 4 4 43,69
B 6 6 6+10 6 6+10 6 6 51,22

Dengan menggunakan basis waktu yang sama,maka pilihan seharusnya adalah


pada mesin A. sayangnya penggunaan pendekatan ini akan memakan waktu yang cukup
lama kalau usia ekonomis antara dua aktiva yang diperbandingkan ternyata agak
“unik”. Misalnya bahwa usia ekonomis mesin C adalah 7 tahun, sedangkan mesin D
adalah 8 tahun. Berapa common horizon-nya? Kita terpaksa menggunakan basis waktu
56 tahun . ini berarti mesin C akan berganti sebanyak 8 kali sedangkan mesin D
sebanyak 7 kali.
Untuk mempresingkat perhitungan, digunakanlah pendekatan yang disebut
equivalent annual cost approach. Pendekatan ini menghitung berapa pengeluaran
tahunan yang ekuivalen dengan PV kas keluar. PV kas keluar mesin A adalah Rp24,95
juta, untuk 3 tahun. Untuk menghitung kas keluar tahun (yang jumlahnya sama) yang
akan sama nilainya dengan PV kas keluar selama 3 tahun tersebut , maka persoalan
tersebut dapat mmenggunakan rumus sebagai berkut:
X X
24,95= +
(1+ 0,10) ¿¿

Dengan demikian bisa kita dapatkan nilai X = Rp 10,03 juta.


Dengan cara yang sama kita lakukan untuk mesin B (tetapi ingat usia
ekonomisnya hanya 2 tahun), dan kita akan medapatkan nilai equivalent annual cost-

6
nya sebesar Rp11,76 juta. Dengan demikian kita akan memilih mesin A karena
memberikan equivalent annual cost terkecil.

2. 5 Penggantian Aktiva
Misalkan suatu perusahaan sedang mempertimbangkan untuk mengganti mesin
lama dengan mesin baru yang lebih efisen (ditunjukkan dari biaya operasi yang lebih
rendah). Nilai buku mesin lama sebesar Rp80 juta, dan masih bisa dipergunakan empat
tahun lagi, tanpa nilai sisa. Untuk keperluan analisi dan pajak, metode penyusutan garis
lurus dipergunakan. Kalau mesin baru dipergunakan, perusahaan bisa menghemat biaya
operasi sebesar Rp25 juta per tahun. Mesin lama kalau dijualn saat ini diperkirakan juga
akan laku terjual dengan harga Rp80 juta. Anggaplah bahwa usia ekonomis mesin baru
juga empat tahun.
Kalau kita ingin menggunakan penaksiran kas secara incremental (selisih atau
perbedaan), maka kita bisa melakukan sebagai berikut.
Kalau mesin lama diganti dengan mesin baru, maka akan terdapat tembahan
pengeluaran sebesar Rp120 – Rp80 juta = Rp40 juta. Taksiran arus kas operasional per
tahun sebagai berikut:

Tambahan keuntungan karena penghematan biaya operasional Rp25,0 juta


Tambahan Mesin baru Rp30 juta
Penyusutan :
Mesin lama Rp20 juta Rp10,0 juta
Tambahan laba sebelum pajak Rp15,0 juta
Tambahan pajak (misal 30%) Rp 4,5 juta
Tambahan laba setelah pajak Rp10,5 juta

Tambahan kas masuk operasional = Rp10,5 juta + Rp10 Rp20,5 juta

Apabila tingkat bunga yang relevan (r) = 20%, maka perhitungan NPV adalah
sebagai berikut:
4
20,5
NPV =−40+ ∑ ¿ ¿ ¿
t =1
¿−40+53,07
¿+ Rp 13,07 juta

Karena NPV positif, maka penggantian mesin dinilai menguntungkan.


Apabila usia ekonomis tidak sama analisis incremental dengan cara di atas tidak
bisa dilakukan. Hal tersebut dikarenakan ada perbedaan incremental cash flow pada
tahun-tahun pada saat (umumnya) usia ekonomis mesin lama sudah berakhir, sedangkan
mesin baru masih beroperasi. Untuk itu perhatikan contoh berikut ini:
Suatu perusahaan transportasi sedang mempertimbangkan untuk mengganti bis
lama dengan bis baru. Perusahaan saat ini terkena tarif pajak penghasilan sebesar 35%
dan untuk memudahkan analisis, penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus.

7
Perbandingan antara bis lama dengan bis baru adalah sebagai betikut:
Bis lama Bis baru
Harga bis Rp50 juta Rp80 juta
Usia ekonomis 5 tahun 7 tahun
Nilai residu Rp 5 juta Rp10 juta
Biaya-biaya tunai per tahun Rp50 juta Rp45 juta
Penghasilan per tahun Rp80 juta Rp80 juta

Tingkat keuntungan yang dipandang layak adalah 18%. Apakah perusahaan


sebaiknya mengganti bis lama dengan bis baru? Analisis baik dengan menggunakan
NPV masing-masing bis incremental-nya akan nampak sebagai berikut :
Bis lama Bis baru
Penghasilan Rp80,00 juta Rp80,00 juta
Biaya-biaya:
Tunai Rp50,00 juta Rp45,00 juta
Penyusutan Rp 9,00 juta Rp10,00 juta
Total Biaya Rp59,00 juta Rp55,00 juta
Laba sebelum pajak Rp21,00 juta Rp35,00 juta
Pajak penghasilan Rp 7,35 juta Rp12,00 juta
Laba setelah pajak Rp13,65 juta Rp22,75 juta
Arus masuk bersih Rp22,65 juta Rp32,75 juta
Dengan demikian maka,
NPV Bislama =−50+¿
NPV Bisbaru =−80+¿
Karena NPV bis baru lebih besar, maka penggantian bis lama dapat dibenarkan.
NPV incremental-nya dapat dihitung sebagai berikut. Kalau perusahaan
mengganti bis lama dengan bis baru. Perusahaan harus mengeluarkan tambahan
investasisenilai Rp30 juta (yaitu selisih antara bis baru dengan bis lama). Disamping itu
taksiran tambahan kas masuk bersih setiap tahun dari tahun 1 s/d 5 adalah sebagai
berikut:
Incremental pertahun
Tambahan penghasilan Rp10,0 juta
Penghasilan biaya tunai Rp 5,0 juta
Tambahan penyusutan Rp 1,0 juta
Penghematan biaya Rp 4,0 juta
Tambahan laba sebelum pajak Rp14,0 juta
Tambahan pajak penghasilan Rp 4,9 juta
Tambahan laba setelah pajak Rp 9,1 juta
Tambahan kas masuk bersih Rp10,1 juta

Tambahan kas masuk bersih per tahun, dari tahun 1 s/d 5, adalah Rp10,1 juta.
Disamping itu, pada tahun ke- 5, apabila bis lama diganti dengan bis baru, akan

8
menimbulkan arus kas –Rp5,0 juta dari kehilangan penjualan nilai residu bis lama.
Sedangkan pada tahun ke-6 diharapkan akan memperoleh Rp32,75 juta, dan pada tahun
ke-7 juta sebesar Rp32,75 juta plus Rp 10 juta nilai residu bis baru. Dengan demikian
perhitungan NPV incremental-nya adalah sebagai berikut:

NPV incrl =−30+ ¿


NPV Incremental=−30+54,9=+24,9

Dengan demikian penggantian bis lama dengan bis baru akan memberikan NPV
yang positif sebesar Rp24,9 juta. Perhatikan bahwa NPV incremental sama dengan
selisih NPV bis baru dengan bis lama.

2.6 Pengaruh Inflasi


Inflasi akan mempengaruhi dua faktor, yaitu (1) arus kas, (2) tingkat keuntungan
yang dipandang layak (r). Semakin besar inflasi yang diharapkan, semakin tinggi
tingkat keuntungan yang disyaratkan. Sedangkan pengaruh terhadap arus kas terutama
akan disebabkan oleh (1) pembebanan pajak yang cenderung dihitung berdasar atas nilai
historis, dan (2) Intensitas inflasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi arus kas.
Misalkan suatu rencana investasi memerlukan dana sebagai berikut:
1) Untuk aktiva tetap sebesar Rp300 juta, usia ekonomis 3 tahun tanpa nilai
sisa. Penyusutan menggunakan metode garis lurus.
2) Modal kerja, sebsar 20% dari taksiran penjualan tahun yang akan datang.
3) Penjualan (dalam unit) untuk masing-masing tahun ditaksir sebagai berikut:
Tahun 1 100.000 unit
Tahun 2 120.000 unit
Tahun 3 200.000 unit
4) Harga jual pada tahun 1 diperkirakan sebesar Rp10.000. Harga jual ini
diperkirakan akan naik sebesar 10% setiap tahun (mencerminkan adanya
inflasi 10%).
5) Biaya tunai diperkirakan sebesar 70% dari penjualan. Ini berarti bahwa
biaya-biaya tunai jua akan naik sebesar 10% per unitnya.
6) Dengan tingkat inflasi sebesar 10%, tingkat keuntungan yang dipandang
laya ditentukan sebesar 20%.
7) Tarif pajak pemghasilan sebesar 35%.
Untuk menghitung NPV proyek tersebut, kita perlu menaksir masuk, operasional
terlebih dahulu.
Tabel Taksiran kas masuk operasional dengan memperhatikan inflasi
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3
Penjualan (dalam unit) 100.000 120.000 200.000
Harga jual per unit Rp10.000 Rp11.000 Rp12.100
Penghasilan penjualan (juta RP) 1.000,00 1.320,00 2.420,00
Biaya-biaya:

9
Tunai (70%) dari penjualan 700,00 924,00 1.694,00
Penyusutan 100,00 100,00 100,00
Total (juta RP) 800,00 1,024,00 1.796,00
Laba operasi(juta RP) 200,00 296,00 626,00
Pajak (juta RP) 70,00 103,60 219,10
Laba setelah pajak (juta RP) 130,00 192,40 406,90
Kas masuk operasional 230,00 292,40 506,90

Sedangkan taksiran arus kas karena investasi disajikan dalam tabel berkut.
Tabel Taksiran arus kas karena investasi, dengan memperhatikan faktor inflasi
Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3
Aktiva tetap (nilai buku) Rp300 Rp200 Rp100 0
Aktiva lancar Rp200 Rp264 Rp484 0
Penambahan aktiva lancar Rp200 Rp 64 Rp220 (Rp484)
Arus kas
Pembelian aktiva tetap -300 - -
Penambahan aktiv lancar -200 -64 -220
Kembalinya modal kerja - - - +484
Arus kas operasional - +230,0 +292,41 +506,9
Total Arus kas -500 +166 + 72,4 +990,9

Dengan demikian perhitungan NPV investasi tersebut bisa dinyatakan sbb :


NPV = - 500 + 762
= + 262
Dalam keadaan terdapat inflasi (yang mungkin cukup serius), kita perlu
menggunakan dasar penaksiran yang sama. Maksudnya adalah bahwa tingkat
dicerminkan pada penentuan r. Semakin tinggi expected inflation, semakin tinggi Kalau
kita menggunakan r yang telah memasukkan faktor inflasi, maka dalam menaks arus kas
kita juga harus telah memasukkan faktor inflasi.
Yang sering terjadi adalah bahwa r telah memasukkan faktor inflasi, sedangkan
arus kas tidak memasukkan faktor inflasi. Arus kas mungkin ditaksir pada real value,
dan bukan pada nominal value. Perhatikan contoh berikut ini untuk menggambarkan
perbedaa antara real dan nominal value.
Misalkan tahun depan kita mengharapkan akan menerima Rp100 real value.
Apabil tingkat inflasi diperkirakan sebesar 10%, maka nominal value-nya akan Rp100
(1 + 0,1 = Rp110. Misalkan real interest rate = 6%. Dengan inflasi sebesar 10%, maka
nomin. interest rate = (1 + 0,06)(1 + 0,1) = 1,166.
Dengan demikian apabila dihitung PV penerimaan tersebut, maka dengan
menggunaka nominal value akan diperoleh,

PV = 110/(1 + 0,166) = 94,34

Dengan menggunakan dasar real value, PV-nya adalah

10
PV = 100/(1 +0,06) = 94,34

Hasil tersebut akan sama sejauh menggunakan dasar yang konsisten. Sayangnya
dalam penaksiran arus kas, penggunaan nominal value seperti yang telah kita lakukan
ddiatas, tidak akan menghasilkan hasil yang sama dengan perhitungan atas dasar real
value karena terdapat distorsi dalam beban penyusutan yang dihitung atas dasar nilai
historis (perolehan).

BAB 3
PENUTUP

Berbagai variasi dalam analisis investasi dibicarakan pada bab ini. Apabila
perusahaan diijinkan melakukan penyusutan yang dipercepat untuk maksud-maksud
pajak, maka penyusutan tersebut akan meningkatkan profitabilitas investasi tersebut.
Penaksiran modal kerja yang diperlukan untuk suatu proyek perlu dikaitkan dengan
estimasi tingkat kegiatan proyek tersebut. Sedangkan analisis pemilihan proyek yang
mempunyai umur ekonomis yang berbeda, dapat dilakukan dengan membandingkan sisi
biayanya apabila diasumsikan manfaatnya sama. Untuk itu dapat dipergunakan metode
common horizon atau equivalent annual cost.
Sedangkan pada saat pemilihan proyek yang mempunyai usia ekonomis, nilai
investasi, biaya, dan penghasilan yang berbeda, analisis dapat dilakukan dengan
membandingkan NPV masing-masing proyek, maupun menaksir NPV incremental-nya.
Akhirnya pada saat faktor inflasi dimasukkan dalam analisis, kita perlu memperlakukan
faktor tersebut secara konsisten. Ini berarti bahwa apabila estimasi arus kas didasarkan
atas nilai nominal, maka tingkat bunga yang dipergunakan juga tingkat bunga nominal.
Tetapi kalau dipergunakan tingkat bunga riil, arus kaspun harus ditaksir tanpa
memasukkan unsur inflasi.

11
CONTOH SOAL DAN PENYELESAIAN

Perusahaan “Sari Delima” sedang memperhitungkan dua proyek yang memungkinkan


untuk investasi, yaitu Proyek A dan Proyek B. Proyek A membutuhkan Initial
Investment sebesar Rp 6.000.000,- sedangkan proyek B membutuhkan Initial
Investment sebesar Rp 7.200.000,-.
Perusahaan menggunakan metode garis lurus untuk mendepresiasikan kedua proyek
tersebut. Umur ekonomis masing-masing proyek 6 tahun, dan tidak ada nilai residu pada
akhir tahun keenam. Earning After Taxes kedua proyek tersebut adalah sbb :
Proyek A Proyek B
Initial Investment Rp 6.000.000,- Initial Investment Rp 7.200.000,-
Tahun EAT (Rp.) Tahun EAT (Rp.)
1 1.000.000 1 3.300.000
2 1.000.000 2 1.000.000
3 1.000.000 3 800.000
4 1.000.000 4 100.000
5 1.000.000 5 100.000
6 1.000.000 6 100.000

12
Ditanyakan bila perusahaan menetapkan Cost of Capital sebesar 10%, maka berapa
NPV untuk masing-masing proyek?

Penyelesaian :
Perhitungan NPV kedua alternatif proyek:

1) Besaran Cash Inflow kedua proyek tersebut :


Proyek A Proyek B
Initial Investment Rp 6.000.000,- Initial Investment Rp 7.200.000,-
Depresiasi = (Rp.6.000.000/ 6th) Depresiasi = (Rp.7.200.000/ 6th)
Tahun
Cash Inflow Cash Inflow
EAT Depresiasi EAT Depresiasi
(Rp) (Rp)
(Rp.) (Rp.) (Rp.) (Rp.)
= EAT + Dep. = EAT + Dep.
1 1.000.000 1.000.000 2.000.000 3.300.000 1.200.000 4.500.000
2 1.000.000 1.000.000 2.000.000 1.000.000 1.200.000 2.200.000
3 1.000.000 1.000.000 2.000.000 800.000 1.200.000 1.000.000
4 1.000.000 1.000.000 2.000.000 100.000 1.200.000 1.300.000
5 1.000.000 1.000.000 2.000.000 100.000 1.200.000 1.300.000
6 1.000.000 1.000.000 2.000.000 100.000 1.200.000 1.300.000
Rata2 1.000.000 2.000.000 900.000 2.100.000

2) Besaran NPV kedua proyek tersebut :

Proyek A
Cash in Flow /th = Rp. 2.000.000
PVIA 10%, 6 = 4,355 x
PV Cash Inflow = Rp. 8.710.000
Present Value Investment = Rp. 6.000.000 -
NPV = Rp. 2.170.000

Proyek B
Tahun Cash Inflow PVIF 10% Present Value
a b c=axb
1 Rp 4.500.000 0,909 Rp 4.090.500
2 Rp 2.200.000 0,826 Rp 1.817.200
3 Rp.2.000.000 0,751 Rp 1.502.000
4 Rp 1.300.000 0,683 Rp 887.900
5 Rp 1.300.000 0,621 Rp 887.900
6 Rp 1.300.000 0,564 Rp 773.200
Present Value Cash Inflow Rp 9.838.100

13
Present Value Internal Investment Rp 7.200.000
NPV Rp 2.638.100

Jadi, NPV untuk masing-masing proyek adalah :


Proyek A = Rp. 2.170.000
Proyek B = Rp. 2.638.100

Pilihan pada NPV Proyek B, karena lebih besar dari NPV Proyek A

DAFTAR PUSTAKA

Fadah, Isti. 2013. Manajemen Keuangan (Suatu Konsep Dasar). Jember.


Husnan, Suad & Enny Pudjiastuti. 2013. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan.
Penerbit UPPAMPYKPN: Yogyakarta
Syaifuddin, Dedy Takdir. 2008. Manajemen Keuangan (Teori dan Aplikasi).
Unhalu Press. Kendari

14

Anda mungkin juga menyukai