Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme
otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah
begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat
disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal
tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi
pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk
mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk
mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan
yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat
menjadi lebih optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan.1
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus
the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad
abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone
menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci Percobaan. Kitasato (1889)
pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama dengan
von Behring melaporkan adanya antitoksin spesifik pada serum binatang yang
telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun1926, mulai dikembangkan
toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.2
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir,
hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus
yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang
berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum
yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh

Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di
seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun.3
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak
memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program
imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk
perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal
imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusakmisalnya akibat perang
dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih
berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program
imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi
primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun
seiring berjalannya waktu.4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium
tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular
junction) dan saraf otonom.6
2.2 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman ini
berbentuk batang dengan ukuran panjang 25 m dan lebar 0,30,5 m memiliki
sifat:1,2,3

Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran khas seperti pemukul genderang (drum stick).

Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan


anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.

Menghasilkan eksotoksin yang kuat.

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121C selama 1015 menit), kekeringan dan
desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.

Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah
di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada
tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing,
tikus, babi, dan ayam.

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan


tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga
dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat

menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang


dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan
protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas
dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak


memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani


Sumber:Commons Wikimedia. http://www.google.co.id/upload.wikimedia.Clostridium_tetani.jpg3

2.3 Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah
angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas
fisiknya.1
Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian
akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan
masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang

diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan


kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah
kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus
neonatorum. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di
seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Grafik 1. Data Insiden Tetanus Menurut WHO

Ssumber: Tetanus (Lockjaw).2006 (1).RedBook

Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda
dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar.
Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran

di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik


(dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.1
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan
attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port dentre tak
selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:1,2
1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik),
patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang
luas.
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan
(debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan
merupakan penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang
menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.
2.4 Patogenesis
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor, luka bakar dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob
yang ideal untuk pertumbuhan Clostridium tetani ini. Walaupun demikian lukaluka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga, atau tonsil dan traktus
digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan port dentr (tempat
masuk) dari Clostridium tetani.
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anerobik,
berubah menjadi vegetatif dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam
jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan
dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya benda asing, seperti bambu,
pecahan kaca dan sebagainya.1,2
Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin:1,2,5

1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis


silindrik dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang
belakang dan menyebar ke seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut
daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf
motorik, terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan
fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan
dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan
menimbulkan perubahan potensial membrane dan gangguan enzim yang
menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat
tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang
menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang,
terutama pada otot yang besar.
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamine, dan noradrenalin.GABA
adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah
sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan
cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.4
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan
listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological
enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi
tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin
banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus
seperti suara, emosi, raba, dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena
motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal

ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa
yang resisten terhadap toksin.5
Dampak Toksin
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh
karena

eksotoksin

memblok

sinaps

jalur

antagonis,

mengubah

keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan


otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral
gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada
tetanus.
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gaya keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block atau takikardia.
2.5 Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.
Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat
penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari
lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot
setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai
gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.1,2,4,7
Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1. Localized Tetanus
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator). Hal ini
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progres dan biasanya menghilang secara
bertahap.
Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini

dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.1,5
2. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung. Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII yang
paling sering terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang
setelah menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf
kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X,
XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari
bahkan berbulan-bulan. Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Pada umumnya prognosisnya buruk.1,5
3. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diamdiam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan
dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan
kesulitan menelan. Gejala lain berupa risus sardonicus (Sardonic grin),
opistotonus, dan kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan
bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai 40 o C.
Bila dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai
takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.1,5
Klasifikasi

tetanus

umum berdasarkan

derajat

panyakit

menurut

modifikasi dari klasifikasi Abletts dapat dibagi menjadi 4 bagian (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat
I: Ringan

Manifestasi Klinis
Trismus ringan sampai sedang (3 cm); spastisitas umum tanpa spasme atau

II: Sedang

gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan.


Trismus sedang (3 cm atau lebih kecil); rigiditas dengan spasme ringan

III: Berat

sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan.


Trismus berat (1 cm); spastisitas umum; spasmenya lama; laju

IV: Sangat berat

napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat.


(Derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi
berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap.

Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat keparahan, menurut skoring black (lihat


Tabel 2).
Tabel 2. Scoring Black
Sistem skoring
Masa inkubasi
Awitan penyakit
Tempat masuk

1
< 7 hari
< 48 jam
Luka bakar, luka operasi,

0
7 hari
48 jam
Selain tempat tersebut

bagian dari fraktur, tali pusat


Spasme
Suhu
Aksilar
Rektal

38,4C
40C

38,4C
40C

Takikardia dengan frekuensi >


120x/menit.

(-)

(+)

(Pada

(-)

(+)

neonatus

>150x/menit)

(-)

(+)

Tetanus umum
Total skor
0-1
2-3
4
5-6

Derajat Keparahan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat

Tingkat Mortalitas
< 10%
10-20%
20-40 %
>50%

Sumber: Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991

4. Tetanus Neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang
tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah

ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan


spasme. Posisi tubuh klasik yaitu trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi,
dan kegagalan jantung paru.1
2.6 Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang
khas terutama pada rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah
selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti
diagnostik dan prognostik.
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:1

Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka

dengan nanah atau gigitan binatang


Apakah pernah keluar nanah dari telinga
Apakah menderita gigi berlubang
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi

yang terakhir
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit
ini menjadi nyata dengan:1

Trismus
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada
neonates kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan

sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan

kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.


Risus sardonikus
Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik
ke atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah,

bibir tertekan kuat pada gigi.


Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot
leher (kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak
jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi

perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.


Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.
Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior),
misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat.
Lambat laun masa istirahat kejang semakin pendek sehingga anak jatuh

dalam status konvulsivus.


Asfiksia dan sianosis
Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot
pernapasan dan laring (spasme laring). Retensi urin dapat terjadi karena
spasme otot sfingter uretra.Fraktur tulang panjang dan kolumna vertebralis

dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.


Gangguan saraf autonom
Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama
jantung atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris)
atau keringat banyak.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1

Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka


tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang
yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada
pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman

anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak
mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada

luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat normal atau tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai

imunisasi dan bukan tetanus.


Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat
meningkat.

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Diagnosis Banding


PENYAKIT

GAMBARAN DIFFERENTIAL

INFEKSI
Meningoencephalitis

Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF

Polio

Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal CSF

Rabies

Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasm

Lesi oropharyngeal

Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada

Peritonitis

Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK
Tetani

Hanya carpopedal dan laryngeal spasm, hipokalsemia

Keracunan strihnin

Relaksasi komplit diantara spasme

Relaksasi phenothiazine

Distonia, respons dengan diphenhydramine

PENYAKIT CNS
Stastus epilepticus

Sensorium depressi

Hemorrhage atau tumor

Trismus tidak ada, sensorium depressi

KELAINAN PSIKIATRIK
Hysteria

Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme

KELAINAN

Trauma: hanya lokal

MUSKULOSKLETAL

2.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada:
-

Sistem saluran pernafasan


Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi
saliva serta sukar menelan air liur, makanan, dan minuman sehingga sering
terjadi pneumonia aspirasi dan atelektasis akibat obstruksi oleh sekret.
Pneumotoraks dan emfisema mediastinal biasanya terjadi akibat dilakukannya

trakeostomi.
Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia,

hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.


Sistem muskuloskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang
terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti

melaporkan dapat terjadi miositis osifikans sirkumskripta.


Komplikasi yang lain :
Laserasi lidah akibat kejang
Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar
luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa

bronkopneumonia, cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.5,6


2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri
dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi,

mengatasi kejang, perawatan luka atau

portd entre lain. Sedangkan

penatalaksanaan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.1
2.9.1 Penatalaksanaan umum
-

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang

pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.


Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat
ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot
yang

kuat

tanpa

menekan

pusat

kortikal.

Dosis

diazepam

yang

direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai


gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera
dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 10 kg
dan 10 mg untuk BB > 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3
mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien. Alternatif lain untuk bayi
diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui
OGT. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang spontan, badan masih
kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan nafas. Bila dosis
diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami
spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan
mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap
2 hari).9
2.9.2 Penatalaksanaan khusus
- Antibiotik

Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,


bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
a) Antibiotik lini pertama yang diberikan adalah metronidazole IV/oral
dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam
dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam
selama 7-10 hari.
b) Lini kedua dapat

diberikan

penisilin

prokain

50.000-

100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif


terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk
anak usia> 8 tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang
-

sesuai.1
Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi
aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat
diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000 IU IM.1,9

2.10 Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa
inkubasi pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of
onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48
jam), frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, adanya komplikasi
terutama spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas, semua ini
prognosisnya buruk.1,9,10

2.11 Pencegahan
Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk
pencegahan, perlu dilakukan:1,2,4

Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Luka
dibersihkan atau dilakukan debridement. Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob.

Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka


Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang
dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau Toksoid Tetanus. Jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin
DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia
18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan
dT. Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12
tahun, dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan
imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak
menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

BABIII
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
1.

2.

Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Alamat
BB masuk
TB masuk
Tanggal masuk

: An. T
: 8 tahun
: Perempuan
: Islam
: Solok
: 25 kg
: 127 cm
: 1 April 2016

Anamnesis
1. Keluhan utama : kejang sejak 2 hari SMRS
2. RPS:

Kejang sejak 1 hari SMRS, kejang hilang timbul, biasanya


timbul setelah anak dipijit atau setelah dipaksa makan

(membuka mulut) saat kejang anak sadar .


mulut rapat, muka dan kening mengkerut sejak 3 hari SMRS
kaki serta tangan kaku serta badan kaku agak melengkung sejak

1 hari SMRS
Anak mengalami demam kira-kira sejak 7 hari sebelum masuk

rumah sakit, demam tinggi, turun dengan obat penurun panas.


Riwayat keluar cairan dari telinga (+), sejak 6 hari sebelum

masuk rumah sakit, cairan telinga bewarna putih dan berbau.


Riwayat luka di badan dan di kaki tidak ada.
Tidak ada menderita gigi berlubang
Imunisasi tidak dilakukan
3. Riwayat pengobatan
Belum pernah diobati
4. RPD
Belum pernah sakit seperti ini sebelumnya
Pernah keluar cairan ditelinga sewaktu demam 2 tahun yang
lalu, tidak ada kejang
5. RPK
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami kejang
3.

4.

5.

Riwayat kelahiran
Tanggal lahir

:27 februari 2008

Jenis persalinan
Tempat persalinan
Ditolongoleh
BB lahir
PB lahir
Usia kehamilan

: per vaginam
: rumah bidan
: bidan
: 3900 gram
: 50 cm
: 40 minggu

Anamnese makanan
0- 6 bulan
: ASI semaunya
6- 8 bulan
: ASI + nasi tim halus
6- 10 bulan
: ASI + nasi tim halus
10- 12 bulan
: ASI + nasi tim kasar
13 bulan
: Nasi
Imunisasi
Campak
:DPT
:Polio
:BCG
:Hepatitis
:-

6.

Kesan imunisasi tidak dilakukan..


Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalisata
KU
:berat
Kesadaran
: kompos mentis
Pulse
: 124 x/menit
RR
: 44 x/menit
Temperatur : 38,5C
BB masuk
: 25 kg
TB masuk
: 127 cm

anemis :
icterus :
dyspnoe:
cyanosis:
oedem:

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

2. Status Lokalisata
a. Kepala
Wajah
: risus sardonichus (+)
Mata
: RC +/+, pupil pinpoint, Conj.anemis (-/-)
Hidung
: Simetris, Pernafasan cuping hidung (-), massa (-),
Telinga
Mulut
b. Leher

epistasis (-) Terpasang O2 nasal kanul.


: cairan dari telinga tidak dijumpai.
: sulit membuka (trismus) 1 cm.
: Kaku (+) opistotonus (+)Pembesaran KGB (-)
Pembesaran kelenjer thyroid (-)

c. Thorax
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi
: fremitus normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP: vesikuler, ronki (-/-)
HR : 124 x/menit, reguler
RR : 44x/menit, reguler.
d. Abdomen
Inspeksi : simetris,retraksi epigastrium(-),
Palpasi
: tegang seperti papan (+), H/ L tidak teraba.
Perkusi : sulit dinilai
Auskultasi : peristaltik (+) normal
e. Ektremitas
Atas
: Pulse 124 x/menit, regular, akral hangat,
Bawah
: Akral hangat
f. Genitalia : perempuan, tidak dilakukan pemeriksaan
7.

Status Neurologi
a. Syaraf otak
b. System motorik
Pertumbuhan otot
Kekuatan otot
Neuromuskular
Involuntary movement
c. Koordinasi
d. Sensibilitas

Tidak dilakukan pemeriksaan

8.

Pemeriksaan khusus
1. Pungsi lumbal : tidak dilakukan pemeriksaan
2. Kimia darah
3. EKG
4. Pungsi sumsum tulang
5. Mikrobiologi
6. CT scan
Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Biopsi
8. EEG
9. Screning perdarahan

Pemeriksaan laboratorium

Urine : tidak dilakukan pemeriksaan


Feces : tidak dilakukan pemeriksaan
Darah :
Tanggal : 1 April 2016
Hasil:
Leukosit

11700uL

Eritrosit

4,04 x 106/dl

Hb

11,4 gr/dl

Hematokrit

37,5 %

9.

Diagnosa kerja

10.

Terapi

: tetanus derajat 3 (berat) + omsk

Bedrest
O2 nasal kanul
Jaga jalan nafas (isap lendir bila perlu)
Diazpam per rectal 10mg
Diazepam 7,5 mg iv dapat diberikan tiap 3 jam
Metronidazol iv, dosis inisial 375mg, lanjut 750mg terbagi 3
dosis selama 10 hari.

11.
12.

Anjuran : konsul THT


Prognosa : dubia ad malam

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Seorang anak perempuan, umur 8 th dibawa ke rumah sakit dengan
keluhan utama kejang sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang hilang
timbul, terjadi ketika setelah dipijit dan setelh dipaksakan membuka mulut, saat
kejang anak sadar. Mulut kaku susah dibuka serta wajah kaku sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Badan kaku dan melengkung. Demam sejak 7 hari
sebelum masuk rumah sakit demam tinggi. Keluar cairan dari telinga sejak 6 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik ditemukantrismus, risus
sardonikus, opistotonus, ketegangan otot dinding perut. Dari pemeriksaan diatas
ditegakan diagnosis tetanus derajat 3 atau berat pada pasien.
Pasien diterapi dengan terapi umum dan terapi khusus dengan pemberian
antibiotik metronidazol selama 10 hari. Pasien dianjurkan konsultasi kebagian
THT untuk masalah keluarnya cairan dari telinga.

Anda mungkin juga menyukai