Anda di halaman 1dari 15

STRONGILOIDIASIS (4A)

Oleh : Monica Roly / 41110020

A. Etiologi/Faktor Resiko
Penyebab penyakit Strongiloidiasis adalah parasit cacing dari cacing nematoda
usus yaitu Strongyloides stercoralis atau cacing gelang. Strongyloides stercoralis
adalah cacing yang hidup daerah hangat, daerah lembab pada daerah yang dingin
jarang. Cacing masuk ke dalam tubuh ketika seseorang menyentuh tanah yang
terkontaminasi, jadi cacing ini termasuk Soil Transmitted Helminths.
Faktor Risiko :
Kurangnya penggunaan jamban.
Tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva Strongyloides
stercoralis.
Penggunaan tinja sebagai pupuk.
Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.
B. Gejala
Banyak orang yang terinfeksi biasanya tanpa gejala pada awalnya. Gejala
meliputi dermatitis: bengkak, gatal, currens larva, dan perdarahan ringan di
tempat di mana kulit telah ditembus. Jika parasit mencapai paru-paru, dada
mungkin merasa seolah-olah itu terbakar atau nyeri epigastrium, dan mengi atau
sesak nafas dan batuk bisa terjadi, bersama dengan gejala seperti pneumonia
(sindrom Lffler ). Jika cacing menjadi desawa di usus akhirnya bisa menyerang,
menyebabkan nyeri terbakar, kerusakan jaringan, sepsis, dan ulkus pada usus.
Dalam kasus yang parah, edema diusus dapat menyebabkan obstruksi pada
saluran usus, serta hilangnya kontraksi peristaltik.
Gejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti
gejala ulcus ventriculi, diare dan urticaria; kadang-kadang timbul nausea, berat
badan turun, lemah dan konstipasi. Timbulnya dermatitis yang sangat gatal
karena gerakan larva menyebar dari arah dubur; dapat juga timbul peninggian
kulit yang stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan
kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh.
Walaupun jarang terjadi, autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang
meningkat terutama pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah
dapat menyebabkan terjadinya strongyloidiasis diseminata, terjadi penurunan
berat badan yang drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir dengan
kematian. Pada keadaan seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan oleh
bakteri gram negatif. Pada stadium kronis dan pada penderita infeksi berulang
serta pada penderita infeksi human T-cell lymphotrophic virus (HTLV-1)
ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia ringan juga dijumpai pada
penderita yang mendapatkan kemoterapi kanker, sedangkan pada strongyloidiasis
disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun.
Berbagai gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh Strongyloidiasis
stercoralis

Manifestasi
gastrointestinal

Gejala gastrointestinal tidak jelas, termasuk kram


perut epigastrium, gangguan pencernaan, anoreksia,
penurunan berat badan, mual, muntah, diare kronis,
sembelit, pruritus ani, kembung dan, jarang
obstruksi usus halus. Strongyloides merupakan
penyebab penting gagal tumbuh dan cachexia di
anak imunokompeten.
Manifestasi paru
Gejala yang dihasilkan akibat dari migrasi larva.
Migrasi larva melalui paru-paru menghasilkan
pneumonitis yang menyerupai sindrom Loeffler.
Gejala-gejala termasuk batuk produktif, kadang
dengan dahak darah bisa bercampur darah, dyspnea,
nyeri pleuric dan demam. Strongyloidiasis juga
dapat menghasilkan sindrom klinis yang meniru baik
asma atau pneumonia.
Manifestasi
Penetrasi kulit dengan larva infektif dapat
Dermatologic
menimbulkan gatal, papul papul pada kulit atau lesi
papulovesikular. Biasanya, penetrasi larva pada kulit
terutama di kulit kaki yang sering bersentuhan
dengan tanah, tetapi mungkin juga dibagian tubuh
lain yang bersinggungan dengan tanah. bisa juga
disekitar anus, jika mengalami daur hidup
autoinfeksi
Manifestasi Neurologis Gangguan mental, kejang fokal, meningitis, abses
dan lainya
otak atau kaku kuduk mungkin menunjukkan
(strongyloidiasis parah) keterlibatan saraf pusat (SSP). Gejala meningitis
mungkin termasuk sakit kepala, mual, muntah, dan,
dalam kasus yang ekstrim, koma.
Granulomatosa hepatitis dan invasi parasit jantung,
ginjal, peritoneum, kelenjar getah bening, pankreas,
prostat, ovarium, tiroid, paratiroid atau mungkin
gangguan lainya.

C. Pemeriksaan Fisik
o Timbul kelainan pada kulit creeping eruption berupa papul eritema yang
menjalar dan tersusun linear atau berkelok-kelok meyerupai benang dengan
kecepatan 2 cm per hari. Predileksi penyakit ini terutama pada daerah telapak
kaki, bokong, genital dan tangan.
o Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium mikroskopik: menemukan larva rabditiform dalam
tinja segar, atau menemukan cacing dewasa Strongyloides stercoralis.

Pemeriksaan laboratorium darah: dapat ditemukan eosinofilia atau


hipereosinofilia, walaupun pada banyak kasus jumlah sel eosinofilia normal.
E. Terapi (Farmako/Non Farmako)
Karena adanya potensi untuk autoinfeksi dan penularan kepada orang lain, semua
penderita tanpa melihat jumlah cacing yang dikandungnya harus dilakukan
pengobatan dengan ivermectin (Mectizan), Thiabendazole (Mintezol) atau
albendazole (Zentel). Perlu diberikan pengobatan ulang.
Dahulu tiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg per kg berat
badan, satu atau dua kali sehari selama 2 atau 3 hari. Sekarang albendazol 400 mg
satu/dua kali sehari selama tiga hari merupakan obat pilihan. Mebendazol 100 mg
tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik.
Mengobati orang yang mengandung parasit, meskipun kadang-kadang tanpa
gejala, adalah penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus
ditujukan kepada pembersihan sekitar daerah anus dan mencegah terjadinya
konstipasi
F. Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan
diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban keluarga.
Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan
sabun.
Menggunakan alas kaki.

ALERGI MAKANAN (4A)


Oleh : Monica Roly / 41110020

Reaksi alergi makanan merupakan reaksi simpang makanan akibat respon imunologik
yang abnormal. Sebagian besar alergi makanan dasarnya reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang
diperankan oleh antibody IgE spesifik. Reaksi alergi makanan juga dapat dipengaruhi oleh non
IgE, seperi pada trombositopenia akibat alergi susu sapi yang diperankan oleh reaksi antigenantibodi-dependent cytotoxic (reaksi hipersensitivitas tipe II) dan reaksi hipersensitivitas tipe III
dan reaksi imunologik lain seperti terdapat anti IgA gliadin antibodi pada penyakit Celiac. Reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV) gejalanya timbul setelah beberapa
jam sampai beberapa hari kemudian dan sering memberikan gejala pada saluran cerna. Sampai
sekarang sulit membuktikan patogenesis alergi makanan yang disebabkan hipersensitivitas tipe II
dan tipe III. Diperkirakan sebagian besar alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas
tipe I yang diperankan oleh IgE dan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau kombinasi dari
keduanya.
A Etiologi/Faktor Resiko
Dipengaruhi oleh genetik,umur, jenis kelamin, pola makan, jenis makanan awal, jenis
makanan, dan faktor lingkungan.
Merupakan respon imunologik
Bahan makanan yang sering bersifat alergen adalah glikoprotein yang larut dalam air
dengan berat molekul antara 10.000 - 60.000 Dalton
B Gejala
Menurut Richard Mackarness tahun 1992 berpendapat terdapat 5 gejala kunci pada alergi
dewasa adalah :
1
2
3
4
5

Berat badan yang berlebihan atau sebaliknya berat badan kurang.


Kelelahan terus menerus dalam beberapa saat dan tidak lenyap walaupun telah beristirahat.
Terjadi pembengkakan di sekitar mata, tangan, abdomen, pergelangan kaki.
Denyut jantung yang cepat dan berdebar-debar, khususnya setelah makan
Keringat yang berlebihan walaupun tidak berolahraga.

C Pemeriksaan Fisik
Vital
Apakah terdapat tanda dari penyakit atopi seperti kulit kering, bersisik,
likenifikasi yang sering tampak pada pasien dermatitis atopik; allergic shiners,
Siemen grease , mukosa hidung bengkak dan pucat yang sering tampak pada
rinitis alergik; dan gejala mengi serta batuk berulang pada pasien asma. Juga
penting menilai status gizi anak apakah sudah terjadi kurang gizi akibat diet yang
diberikan.

Pemeriksaan fisik THT yang dapat dikerjakan meliputi rinoskopi anterior dan
posterior, otoskopi, pemeriksaan mukosa faring, dan laringoskopi tidak langsung.
Pada pemeriksaan hidung, dapat ditemukan allergic shiner, allergic salute, mukosa
hidung yang livide disertai dengan sekret encer dan jernih, atau polip nasi.
Rinoskopi dapat memperlihatkan hipertrofi konka atau polip, warna livide atau
hiperemis, sekret encer atau kental, dan meatus media yang menyempit atau terisi
jaringan patologik. Pada otoskopi, dapat terlihat membran timpani yang retraksi,
pergerakan membran timpani yang berkurang, perforasi, cairan di ruang timpani,
kulit daun telinga yang kemerahan dan bersisik, otitis eksterna kronik disertai
rasgatal tanpa tanda-tanda infeksi, dan adanya sekret yang menetap di telinga
tengah.
Pada pemeriksaan mulut dan tenggorok, dapat dijumpai hipertrofi gingiva,
geographic tongue, hipertrofi tonsil, arkus palatum tinggi, penebalan dinding
lateral faring, serta edema daerah epiglotis dan 15 pita suara. Pemeriksaan faring
dapat menunjukkan mukosa faring yang hiperemis, tertutup lendir kental, atau ada
granulasi. Pemeriksaan laringoskopi tidak langsung dapat memperlihatkan
timbunan saliva pada hipofaring dan edema pada pintu masuk esofagus atau pada
plika vokalis.
D Pemeriksaan Penunjang
Catatan buku harian pasien, untuk mencatat semua jenis makanan dan gejala yang
timbul dalam jangka waktu tertentu
Uji diagnostik
i. Tes alergi makanan tipe tetap
1. Tes cukit kulit (prick test)
2. Modifikasi tes cukit kulit (modified prick test)
3. Tes tempel (patch test)
4. Uji IgE spesifik
ii. Tes alergi makanan tipe siklik
1. Intracutaneousprogressive dilution food test (IPDFT)
2.Tes provokasi makanan (doubleblind placebo-controlled food challenge,
DBPCFC)
E Terapi (Farmako/Non Farmako)
Penghentian makanan tersangka.
Epinephrin 0,01 mg/kg dalam larutan 1:1000 diberikan subkutan, dapat diulang
setelah 10-15 menit, dan dirawat di ruang gawat darurat.
Antihistamin parenteral.
Kortikosteroid parenteral.
Diawasi minimal selama 4 jam setelah syok dapat diatasi.
F Edukasi
Berikan penjelasan mengenai penyakit dan penyebab alergi makanan
Jelaskan pada keluarga pasien untuk memastikan jenis alergi
Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga agar dapat mengurangi paparan
terhadap allergen

APPENDICITIS AKUT (3B)


Oleh : Monica Roly / 41110020

G Etiologi/Faktor Resiko
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit),
hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh,
cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi
lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.
H Gejala
Keluhan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc
Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan letak
nyeri, karena bersifat somatik.
Gejala Klinis:
Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus.
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.
Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare,
timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50C 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami
inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan
ureter.
I

Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing
Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri
pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang

terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada


apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang
kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium darah perifer lengkap


Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan
neutrofil akan meningkat, walaupun bukan penanda utama.
Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik untuk karakteristik apendisitis akut,
akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan
pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%.
Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan
peritonitis.
Penanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CRP?
Adakah di puskesms?.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan
urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
Pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur, dan lakukan
pengukuran kadar HCG yakin tidak ada di puskesmas.
Foto Polos abdomen
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu.
Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai
dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.
Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian
kanan bawah akan kolaps.
Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan
bawah abdomen kosong dari udara.
Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.
Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot
sehingga timbul skoliosis ke kanan.
Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut. Bila sudah terjadi perforasi,
maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma.
Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.
Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola
bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (decubitus), kalsifikasi
bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik.

Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari
appendikolit: kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.

K Terapi (Farmako/Non Farmako)


a. Non-farmakologis
o Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
o Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut.
o Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
o Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi
bahaya muntah pada waktu induksi anestesi.
o Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum
dilakukan pembedahan.
o Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi
distensi abdomen dan mencegah muntah.
b. Tata Laksana Farmakologi
o Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik.
o Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan
abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan
sekitar 20%.
o Antibiotik spektrum luas
L Edukasi
Edukasi pasien untuk selalu makan makanan yang tinggi serat dan bab secara
teratur.

ESOFAGITIS REFLUKS (3A)


Oleh : Monica Roly / 41110020

Refluks esofagitis merupakan kerusakan mukosa esofagus yang diakibatkan oleh refluks
cairan lambung ke dalam esofagus.
M Etiologi/Faktor Resiko
Gangguan fungsional esophagus atau gaster
Gangguan structural esophagus atau gaster
Kelainan anatomi kongenital
Tumor
Komplikasi operasi
Tertelan zat korosif
N Gejala

O Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Pemeriksaan fisik abdomen
Pemeriksaan tht (esophagus)
P Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk memastikan adanya RGE dan kerusakan
mukosa esofagus akibat RGE. Berbagai pemeriksaan penunjang pernah
dilaporkan sebagai alat bantu diagnosis esofagitis refluks, walaupun demikian
beberapa pemeriksaan tersebut mempunyai keterbatasan sebagai alat diagnostik.
Pemeriksaan penunjang yang tepat sangat diperlukan untuk membantu
menegakkan diagnosis esofagitis refluks.
Barium meal dan ultrasonografi dapat mendeteksi RGE tetapi tidak dapat
mendeteksi esofagitis refluks. Selain itu, nilai diagnostik kedua pemeriksaan
tersebut rendah karena hanya dapat menilai RGE postprandial sedangkan refluks
yang terjadi postprandial adalah fisiologis.20-23 Demikian pula dengan
skintigrafi, meskipun pemeriksaan ini dapat melihat klirens esofagus dan
aspirasi.15,22 Pemeriksaan manometri digunakan untuk mengetahui tekanan SEB
pada keadaan istirahat dan peristaltik serta memprediksi klirens abnormal.20,24
Manometri cukup invasif terutama pada bayi dan anak kecil, sehingga
pemeriksaan ini lebih sering digunakan untuk penelitian dibanding sebagai
prosedur diagnostik standar. Pemeriksaan penunjang yang digunakan sebagai alat
diagnostik esofagitis refluks, yaitu:
Pemantauan pH esophagus Meskipun masih terdapat keterbatasan,
pemantauan pH esofagus (pH-metri) saat ini dianggap sebagai baku emas

untuk mendeteksi adanya paparan asam pada esofagus, frekuensi dan lama
RGE, serta hubungan gejala klinis dengan kejadian RGE. Dalam keadaan
normal, pH esofagus adalah antara 5-7. Penurunan pH di bawah 4
merupakan petanda adanya RGE asam.
Endoskopi Endoskopi merupakan prosedur diagnostik yang perlu
dilakukan untuk melihat esofagitis. Walaupun demikian, gambaran normal
mukosa esofagus pada endoskopi tidak dapat menyingkirkan esofagitis.
Oleh karena itu, biopsi jaringan esofagus untuk pemeriksaan patologi
anatomi diperlukan pada setiap tindakan endoskopi. Pemeriksaan patologi
anatomi diperlukan untuk mendeteksi esofagitis refluks dan
menyingkirkan penyebab esofagitis lainnya. Biopsi jaringan dilakukan
dengan bantuan endoskopi pada lokasi 2 cm di atas SEB. Jaringan yang
dibiopsi harus cukup sehingga dapat memperlihatkan ada tidaknya
gambaran esofagitis.
Q Terapi (Farmako/Non Farmako)
Modifikasi pola hidup
Modifikasi pola hidup dilaporkan dapat menurunkan paparan asam pada esofagus.
Modifikasi pola hidup tersebut berupa meninggikan posisi kepala, punggung, dan
pinggang saat tidur (membentuk sudut 45-60 derajat dengan alas tempat tidur),
mengurangi asupan lemak, menghindarkan posisi berbaring terlentang selama 2-3
jam sesudah makan, dan mengurangi berat badan pada anak obes. Makanan
tertentu seperti coklat, alkohol, pepermint, kopi, makanan berbumbu, dan
mungkin bawang serta garlik harus dihindarkan karena dianggap meningkatkan
RGE. Beberapa penulis mengasumsikan bahwa 20%-30% respon plasebo adalah
akibat dari perubahan pola hidup, namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Terapi Farmakologis
Prokinetik
Prokinetik berperan pada peningkatan tekanan SEB, merangsang
peristaltik esofagus, dan memperbaiki pengosongan lambung.Cisaprid
merupakan prokinetik yang paling sering digunakan pada RGE karena
mempunyai efikasi yang lebih baik dibandingkan domperidon dan
metoklopramid. Cisaprid lebih efektif mengurangi RGE (berdasarkan
pHmetri), memiliki onset kerja yang lebih cepat, dan ditoleransi lebih baik
dibanding dengan metoklopramid. Sedangkan, domperidon dilaporkan
memiliki efektifitas yang sama dengan metoklopramid. Pada beberapa
penelitian dilaporkan bahwa cisaprid tidak secara substansial
menghilangkan gejala refluks, meskipun dapat mengurangi indeks refluks
(lamanya pH esofagus berada di bawah 4 yang dipantau dengan pHmetri)
dan meningkatkan klirens esofagus melalui peningkatan sekresi saliva.
Cisaprid juga dapat membantu menyembuhkan esofagitis.Tidak seperti
metoklopramid, cisaprid memberikan efek samping serius yang sangat
kecil. Beberapa keluhan pernah disampaikan oleh pasien yang mendapat
cisaprid, antara lain kram perut ringan, diare atau konstipasi. Efek
samping serius pada jantung tidak pernah dilaporkan pada bayi atau anak
yang mendapat cisaprid dengan dosis yang direkomendsikan
(0,8mg/kg/hari, maksimal 40mg/ hari). Oleh karena adanya laporan efek
samping serius pada orangtua yang menggunakan cisaprid, maka
pengadaan obat tersebut saat ini dibatasi hanya pada rumah sakit.

Walaupun demikian, penggunaan cisaprid pada bayi dan anak belum


dihilangkan dari rekomendasi tata laksana RGE pada anak.
Antagonis reseptor H2
Antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidin, famotidin, dsb) dapat
menurunkan sekresi asam lambung dengan menghambat reseptor
histamin-2 pada sel parietal lambung. Antagonis reseptor H2 (ARH2)
cukup efektif dalam menyembuhkan esofagitis pada bayi dan anak.
Beberapa penelitian menunjukan penurunan indeks refluks pada
pemberian ranitidin. Penggunaan famotidin pada anak masih sangat
terbatas. Antagonis reseptor H2 dapat digunakan sebagai terapi
pemeliharaan pada esofagitis refluks. Kombinasi dengan prokinetik akan
memberikan efek yang lebih baik dibanding dengan pemberian hanya
ARH2. Pemberian ranitidin saja memberikan remisi 49%, sedangkan
pemberian ranitidin dengan cisaprid memberikan remisi 66%. Untuk
pasien yang refrakter sebaiknya diberikan tambahan terapi lain atau
digunakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih poten seperti IPP
Inhibibitor pompa proton
Inhibitor pompa proton (omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, rabeprazol) merupakan obat pilihan pada esofagitis refluks.
Pada orang dewasa, efikasi terapi jangka pendek, jangka panjang, serta
pencegahan relaps esofagitis dari IPP lebih baik dibanding ARH2.
Antasid
Antasid berfungsi untuk menetralisir asam lambung sehingga dapat
mengurangi paparan asam terhadap esofagus dan mengurangi gejala
heartburn. Penggunaan antasid dosis tinggi (magnesium hidroksida dan
aluminium hidroksida; 700mmol/1,73m2/hari) sama efektifnya dengan
terapi cimetidin untuk esofagitis pada anak usia 2-42 bulan.23 Pemberian
antasid pada anak hanya dianjurkan untuk jangka pendek, tidak untuk
terapi jangka panjang karena peningkatan kadar aluminium plasma dapat
menyebabkan osteopeni, anemia mikrositik dan neurotoksik.
R Edukasi
Perubahan Gaya Hidup
Penderita penyakit refluks gastroesofagus dianjurkan untuk merubah beberapa
kebiasaan yang berhubungan dengan terjadinya gejala refluks gastroesofagus,
diantaranya adalah :
Meninggikan posisi kepala saat tidur, gunakan bantal sebagai penyangga dengan
tinggi sekitar 15-25 cm di bawah kepala.
Menghindari makanan dan minuman yang dapat menyebabkan naiknya asam
lambung seperti cokelat, kopi, teh, makanan berlemak, makanan asam, makanan
pedas, bawang merah, bawang putih dan alkohol.
Jangan makan terlalu kenyang dan jangan berbaring setelah makan. Tunggu
paling tidak dua hingga tiga jam setelah makan sebelum berbaring atau tidur.
Hindari makan larut malam.
Jangan merokok. Merokok dapat merangsang asam lambung dan menurunkan
kemampuan katup pembatas kerongkongan dengan lambung untuk berfungsi
dengan benar.

Menghindari obat-obatan yang dapat menurunkan tekanan katup pembatas


kerongkongan dengan lambung seperti kafein, acetylsalicylic acid dan
theophylline.

Anda mungkin juga menyukai