Kabuki (?) adalah seni teater tradisional khas Jepang. Aktor kabuki terkenal dengan
kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok.
Etimologi
Banyak pendapat mengenai asal kata dari Kabuki ini, salah satunya adalah kabusu yang
ditulis dengan karakter kanji dengan ditambahkan akhiran sehingga menjadi kata
kerja yang berarti bernyanyi dan menari.[1] Selanjutnya disempurnakan menjadi,
kabuki yang ditulis dengan tiga karakter kanji, yaitu uta () (lagu), mai
() (tarian), dan ki () (tehnik).
Selain yang telah dijelaskan diatas, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa kata
kabuki ini berasal dari kata kabuki , kabuku , kabukan , atau kabuke
yang ditulis dengan karakter kanji katamuku ().[2] Karakter kanji katamuku yang
dibaca kabuku ini secara harfiah berarti cenderung, condong, miring atau tidak sama dengan
pemikiran umum (Kira-kira sama dengan kata iyou yang ditulis dengan kanji , yang
berarti aneh, asing, atau tidak sama dengan keadaan masyarakat disekitarnya pada waktu itu).
Kata ini digunakan untuk menyebutkan orang-orang yang cenderung atau condong ke arah
duniawi, dan orang-orang yang berpakaian dan bertingkah laku aneh. Pendapat yang
mengatakan penamaan kabuki berasal dari kata katamuku ini dikarenakan pada saat kabuki
pertama kali diperkenalkan oleh Okuni, seorang Miko (pendeta wanita) dari daerah
Izumo, Okuni memakai kostum laki-laki dengan membawa pedang dan mengenakan
aksesoris-aksesoris yang tidak lazim pada zaman tersebut, seperti rosario yang dikenakan di
pinggang bukan digantungkan dileher. Ceritanya pun berkisar tentang seorang laki-laki yang
pergi bermain-main ke kedai teh untuk minum-minum bersama para wanita penghibur. Hal
ini kemudian diasosiasikan dengan kumpulan orang-orang yang berpakaian dan bertingkahlaku aneh serta tidak lazim yang muncul pada saat itu, yang dikenal dengan nama
kabukimono .
Setelah melalui beberapa perkembangan akhirnya kabuki ditulis dengan tiga karakter kanji
yaitu uta (lagu), mai (tarian), dan ki (seniman wanita) yang kemudian karakter
kanji ki diubah menjadi ki , sehingga kabuki ditulis menjadi () yang
sekarang ini. Penamaan kabuki dengan menggunakan tiga karakter kanji di atas, dikarenakan
tiga karakter di atas dianggap sesuai dengan unsur-unsur yang ada di dalam pertunjukan
teater kabuki itu tersebut. Adapun pada awalnya karakter ki, ditulis dengan dikarenakan
kabuki pada awalnya lahir dari seorang seniman wanita yang bernama okuni ()
dari kuil Izumo.[3]
Sejarah
Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua karya yang dihasilkan
di zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan. Kelompok pertama Kabuki-kyogen disebut
Maruhon mono yang mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jruri (Bunraku).
Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Kabuki Maruhon mono juga dikenal sebagai
Gidayu-kygen, tapi Gidayu-kygen tidak selalu sama dengan Maruhon mono. Pada Gidayukygen, aktor kabuki membawakan dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang
bisa berputar, dari arah penonton terletak di sisi kanan panggung) penyanyi yang disebut
Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik Gidayu-bushi. Pada
Ningyo Jruri yang semua penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan oleh Tayu. Pada kabuki
kreasi baru, musik pengiring dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang
dari arah penonton terletak di sisi kiri panggung).
Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono. Cerita kabuki
dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut Sewamono. Selain itu, penulis
cerita kabuki juga senang menggunakan istilah sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita,
misalnya karya kabuki berjudul Taiheiki no sekai ( Dunia Taiheiki?), Heike
monogatari no sekai ( Dunia Kisah klan Heike?), Sogamono no sekai (
Dunia Sogamono?), atau Sumidagawamono no sekai ( Dunia
Sumidagawamono?). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab dengan tokohtokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati jalan cerita seperti yang
dikisahkan penulis cerita kabuki.
Di zaman Edo, pementasan Kabuki-kyogen perlu mendapat izin dari instansi yang
berwenang. Keshogunan Edo biasanya mengizinkan sebagian besar pementasan yang
diadakan sejak matahari terbit hingga sebelum matahari terbenam asalkan materi pementasan
tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Pementasan yang dilakukan malam hari
sesudah matahari terbenam tidak diizinkan. Alasannya pertunjukan kabuki banyak diminati
orang dan pemerintah kuatir kerumunan orang dapat melakukan kegiatan melawan
pemerintah. Pertunjukan kabuki pada masa itu memerlukan waktu istirahat yang lama, antara
lain untuk mengganti set panggung. Bagi penonton yang datang menyaksikan kabuki,
menonton kabuki perlu sehari penuh dan merupakan satu-satunya kegiatan yang bisa
dilakukan pada hari itu.
Sebagian penonton menyukai Jidaimono sedangkan sebagian lagi menyukai Sewamono,
sehingga kabuki dalam pementasannya dituntut untuk bisa memuaskan selera semua
kalangan penonton. Dalam usaha memuaskan selera penonton, pada pementasan kabuki
sering dipertunjukkan dua cerita sekaligus, Jidaimono dan Sewamono yang dipisahkan
dengan waktu istirahat. Pementasan dengan jalan cerita yang campur aduk juga tidak sedikit
asalkan penonton senang. Ada juga pementasan yang bagaikan bunga rampai dari berbagai
cerita dan hanya mengambil bagian-bagian cerita yang disukai penonton saja. Pertunjukan
seperti ini disebut Midori-kygen (konon berasal dari kata Yoridori midori yang dalam
bahasa Jepang berarti serbaneka atau aneka ragam). Sebaliknya kyogen yang mementaskan
keseluruhan cerita secara lengkap disebut Tshi-kygen.
Musik kabuki
Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi
kanan panggung dari arah penonton disebut Gidaybushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan
untuk Gidaybushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri
panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas
panggung disebut Debayashi.
Judul
Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai (?) yang kemungkinan besar berasal dari kata
Geidai ( nama pertunjukan?). Judul pertunjukan (gedai) biasanya ditulis dalam aksara
kanji berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul Musume djji (?) (4 aksara
kanji) harus ditambah dengan Kykanoko (?) (3 aksara kanji) menjadi
(Kykanoko musume djji?), supaya bisa menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara kanji.
Selain judul pertunjukan yang resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki judul alias dan
keduanya dianggap sebagai judul yang resmi. Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare
no siranami (?) dikenal dengan judul lain Shinobu no Sda (?).
Pertunjukan berjudul Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (?) juga dikenal
sebagai Chijimiya Shinsuke (?). Judul pertunjukan yang harus ditulis dalam aksara
kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering ditulis dengan cara penulisan ateji,
akibatnya orang sering mendapat kesulitan membaca judul pertunjukan kabuki.
Istilah bahasa Jepang asal kabuki
Beberapa di antara istilah kabuki diserap ke dalam perbendaharaan kata bahasa Jepang,
misalnya:
Sashigane
Di atas panggung bila perlu adegan yang melibatkan aktor kabuki mengejar kupukupu atau burung, pembantu yang disebut Kken (asisten di panggung yang sering
berpakaian hitam) memegangi tongkat panjang yang diujungnya terdapat kupu-kupu
atau burung yang disebut Sashigane. Dalam bahasa Jepang, istilah "sashigane"
digunakan dalam konotasi negatif "orang yang mengendalikan".
Kuromaku
Di panggung pertunjukan kabuki, malam dinyatakan dengan tirai (maku) berwarna
hitam (kuro). Dalam bahasa Jepang, dalam istilah "sekai no kuromaku" (dunia tirai
hitam) kata "kuro" (hitam) berubah arti menjadi "jahat". Dalam bahasa Jepang
"kuromaku" berarti "dalang" seperti dalam arti "dalang kejahatan".
Akibat kritik yang diterima, dunia showbiz kabuki sejak zaman Meiji berusaha mengadakan
gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan pembaruan yang disebut
Engeki Kairy Und juga melibatkan pemerintah Meiji yang memang bermaksud mengontrol
pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang
pantas dan bisa dinikmati kalangan menengah dan kalangan atas suatu "masyarakat yang
bermoral". Salah satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za
sebagai tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre baru teater
kabuki yang disebut Shimpa.
Karya kabuki yang diciptakan di tengah gerakan pembaruan disebut Shin-kabuki, dengan
karya-karya baru banyak bermunculan hingga di awal zaman Showa. Penggemar kabuki
biasanya tidak menyukai sebagian besar karya kabuki yang mendapat pengaruh gerakan
pembaruan dan dipentaskan sebagai Shin-kabuki. Penggemar Shin-kabuki cuma penulis
terkenal seperti Tsubouchi Shoyo, Osanai Kaoru, dan Okamoto Kido yang begita suka hingga
menulis naskah baru untuk kabuki. Sampai sekarang, karya-karya yang tergolong ke dalam
Shin-kabuki yang tidak disukai penggemar hampir tidak pernah dipentaskan.
Setelah Perang Dunia II, orang Jepang akhirnya mulai menyadari pentingnya bentuk kesenian
kabuki yang asli. Pada tahun 1965, pemerintah Jepang menunjuk kabuki sebagai warisan
agung budaya nonbendawi dan pemerintah membangun Teater Nasional Jepang di Tokyo
yang di antaranya digunakan untuk pentas kabuki.
Selain itu, Ichikawa Ennosuke III berusaha menghidupkan kembali naskah-naskah kabuki
lama yang sudah jarang dipentaskan. Naskah kabuki yang jarang dipentaskan dan dihidupkan
kembali oleh Ichikawa Ennosuke III dikenal sebagai Fukkatsu-kygen (kyogen yang
dihidupkan kembali). Kabuki yang dipentaskan Ichikawa Ennosuke III disebut Supa-kabuki
(kabuki super), karena Ennosuke mencoba teknik pementasan lebih berani dengan
menghidupkan kembali trik panggung (krn) yang dulunya pernah dianggap selera rendah
oleh banyak orang. Belakangan ini, pertunjukan kabuki juga sering menampilkan dramawan
dan sutradara teater di luar lingkungan kabuki sebagai sutradara tamu.
Pementasan kabuki di zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan pementasan kabuki di
zaman Edo. Kelompok kabuki berusaha memodernisasi pertunjukan sekaligus memelihara
tradisi pementasan. Kabuki sekarang sudah dianggap sebagai seni pertunjukan tradisional
yang sesuai dengan kemajuan zaman.
Asosiasi
Organisasi Pelestarian Kabuki Tradisional (Dent Kabuki Hzonkai) beranggotakan tokohtokoh dari dari dunia kabuki. Pemerintah Jepang menunjuk organisasi sebagai pelestari Karya
Agung Warisan Budaya Oral serta Nonbendawi Manusia kabuki sejak tahun 1965. Pada
bulan Januari 2006, organisasi beranggotakan 169 orang.