Anda di halaman 1dari 51

REFERAT THT

MENINGITIS ET CAUSA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

Disusun Oleh :
Cynthia Natalia (03007054)
Hairunnisa Bt. Arshad (03007291)
Ichwan Zuanto (107103003842)

Pembimbing :
dr. Sudjarwadi, Sp. THT, KL

KEPANITERAAN KLINIK THT RSUD KOTA BEKASI


PERIODE 12 SEPTEMBER 2011 15 OKTOBER 2011
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI UIN SYARIF HIDAYATULLAH

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul


MENINGITIS ET CAUSA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu THT di RSUD Kota Bekasi
periode 12 September 2011 15 Oktober 2011

Bekasi, 26 September 2011

(dr. Sudjarwadi Sp.THT, KL)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.


Salam sejahtera bagi kita semua.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa, atas segala
nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga pada akhirnya kami dapat menyelesaikan
referat ini dengan sebaik-baiknya.
Referat ini disusun untuk melengkapi tugas di kepanitraan klinik ilmu penyakit THT di
RSUD kota bekasi.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Sudjarwadi, Sp.THT, KL selaku pembimbing referat kami di Kepaniteraan Klinik THT RSUD
Bekasi yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan referat ini.
Kami sadari betul bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah yang
kami buat ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat dan khususnya bagi mahasiswa kedokteran.
Terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.

Jakarta, September 2011

Penyusun,
Cynthia Natalia (03007054)
Hairunnisa Bt. Arshad (03007291)
Ichwan Zuanto (107103003842)

DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1.
Latar Belakang ................................................................................
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
2
II.1. Anatomi Telinga Tengah dan Fisiologi Pendengaran ....................
2
II.1.1. Membran Timpani ... 3
II.1.2. Kavum Timpani ......
4
II.1.3. Tuba Eustachius .. 14
II.1.4. Prosesus Mastoideus ... 15
II.1.5. Fisiologi Pendengaran . 17
II.2. Otitis Media Supuratif Kronik 19
II.2.1. Definisi 19
II.2.2. Epidemiologi dan Etiologi ...... 19
II.2.4. Patogenesis .. 22
II.2.5. Klasifikasi ... 24
II.2.6. Manifestasi Klinis ... 26
II.2.7. Pemeriksaan Klinis .. 29
II.2.8. Penatalaksanaan .. 32
II.3. Meningitis Sebagai Komplikasi Intrakranial OMSK ...................... 39
II.3.1. Definisi Meningitis
39
II.3.2. Patofisiologi 39
II.3.3. Gejala Klinis 43
II.3.4. Penatalaksanaan .. 43
BAB III. KESIMPULAN ...................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 47

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ialah infeksi kronik di telinga tengah dengan

adanya perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau
hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (FKUI, 2007).
OMSK di dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah congek, teleran atau telinga
berair (Nursiah, 2003).
2

Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8 % dan pasien OMSK
merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia.
Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh dan status kesehatan serta gizi yang
jelek merupakan faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara
yang sedang berkembang (Aboet, 2007).
Kebanyakan penderita OMSK menganggap penyakit ini merupakan penyakit
yang biasa yang nantinya akan sembuh sendiri. Penyakit ini pada umumnya tidak
memberikan rasa sakit kecuali apabila sudah terjadi komplikasi (Nursiah, 2003).
OMSK mempunyai potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya yang dapat
mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Biasanya komplikasi didapatkan pada
pasien OMSK tipe bahaya, namun demikian OMSK tipe aman pun dapat menyebabkan suatu
komplikasi apabila terinfeksi kuman yang virulen (FKUI, 2007). Komplikasi ke intrakranial
merupakan penyebab utama kematian pada OMSK di negara sedang berkembang, yang sebagian
besar kasus terjadi karena penderita mengabaikan keluhan telinga berair. Berdasarkan data WHO
pada tahun 2004, meningitis atau radang selaput otak adalah komplikasi intrakranial OMSK
yang paling sering ditemukan di seluruh dunia, biasanya mempunyai gejala demam, sakit kepala
serta adanya tanda-tanda perangsangan meningen seperti kejang. Kematian terjadi pada 18,6 %
kasus OMSK dengan komplikasi intrakranial (Aboet, 2007).
Beberapa hal tersebut di atas menyebabkan pentingnya mengenal pola penyakit yang
berhubungan dengan komplikasi ini. Perburukan penyakit dan komplikasi akibat OMSK
harus dihindari, dengan demikian perlu ditegakkan diagnosis yang tepat dan dini pada
penderita OMSK sehingga penatalaksanaan yang tepat pun dapat segera dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.

Anatomi Telinga Tengah dan Fisiologi Pendengaran


Telinga adalah indra pendengaran. Pendengaran merupakan indra mekanoreseptor karena

memberikan respon terhadap getaran mekanik gelombang suara yang terdapat di udara. Telinga
menerima gelombang suara yang frekuensinya berbeda, kemudian menghantarkan informasi
pendengaran kesusunan saraf pusat. Telinga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam.
3

Gambar Anatomi Telinga


Telinga tengah terdiri dari : membran timpani, kavum timpani, prosesus mastoideus, dan
tuba eustachius.

Gambar Penampang Telinga Tengah


II.1.1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang
telinga luar dari kavum timpani. Membrana ini panjang vertical rata-rata 9-10 mm dan diameter
antero-posterior kira -kira 8-9 mm, ketebalannya rata-rata 0,1 mm.
Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang
arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan
horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol
kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo kemuka bawah tampak refleks
cahaya (cone of light).
4

Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :


1. Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
2. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3. Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan mukosum.
Lamina propria yang terdiri dari dua lapisan anyaman penyabung elastic yaitu: bagian
dalam sirkuler, dan bagian luar radier.
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian :
1. Pars tensa
Merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu permukaan yang tegang
dan bergetar sekeliling menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada sulkus timpanikus
bagian tulang dari tulang temporal.
2. Pars flasida atau membran Shrapnell,
Terletak dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa dan pars flasida
dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
a. Plika maleolaris anterior (lipatan muka).
b. Plika maleolaris posterior (lipatan belakang).
Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang dinamakan sulkus
timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini dan bagian ini disebut insisura
timpanika (Rivini).
Permukaan luar dari membrana timpani disarafi oleh cabang n. aurikulotemporalis dari
nervus mandibula dan nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh n. timpani cabang dari
nervus glosofaringeal.
Aliran darah membrana timpani berasal dari permukaan luar dan dalam. Pembuluhpembuluh epidermal berasal dari aurikula yang dalam cabang dari arteri maksilaris interna.
Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh timpani anterior cabang dari arteri maksilaris
interna dan oleh stylomastoid cabang dari arteri aurikula posterior.

Gambar Penampang Membran Timpani


II.1.2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf,
atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter
transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu : bagian atap, lantai, dinding
lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding posterior.

Gambar Kavum Timpani


a. Atap kavum timpani.
Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani
memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus temporalis dari otak. Bagian ini juga
dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura
6

petroskuama. Dinding ini hanya dibatasi oleh tulang yang tipis atau ada kalanya tidak ada tulang
sama sekali (dehisensi).
Pada anak-anak, penulangan dari sutura petroskuamosa belum terbentuk pada daerah
tegmen timpani, sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi dari kavum timpani ke
meningen dari fosa kranial media. Pada orang dewasa bahkan vena-vena dari telinga tengah
menembus sutura ini dan berakhir pada sinus petroskuamosa dan sinus petrosal superior dimana
hal ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari telinga tengah secara langsung ke sinus-sinus
venosus kranial.
b. Lantai kavum timpani
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus jugularis,
atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum timpani mudah merembet ke bulbus
vena jugularis.
c. Dinding medial.
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan
dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpanum menonjol kearah kavum
timpani, yang disebut promontorium Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea.
Didalam promontorium terdapat beberapa saluran-saluran yang berisi saraf-saraf yang
membentuk pleksus timpanikus.
Dibelakang dan atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau foramen ovale (oval
windows), bentuknya seperti ginjal dan berhubungan pada kavum timpani dengan vestibulum,
dan ditutupi oleh telapak kaki stapes dan diperkuat oleh ligamentum anularis. Foramen ovale
berukuran 3,25 mm x 1,75 mm. Diatas fenestra vestibuli, sebagai tempat jalannya nervus fasialis.
Kanalis ini didalam kavum timpani tipis sekali atau tidak ada tulang sama sekali (dehisensi).
Fenestra koklea atau foramen rotundum (round windows), ditutupi oleh suatu membran yang
tipis yaitu membran timpani sekunder, terletak dibelakang bawah. Foramen rotundum ini
berukuran 1,5 mm x 1,3 mm pada bagian anterior dan posterior 1,6 mm.
Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu sama lain pada batas
posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam yaitu sinus timpanikus. Suatu ruang
secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau resesus fasial yang didapat disebelah lateral
kanalis fasial dan prosesus piramidal.

Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah superior oleh
prosesus brevis inkus yang melekat kefosa inkudis. Lebar resesus fasialis 4,01 mm dan tidak
bertambah semenjak lahir. Resesus fasialis penting karena sebagai pembatas antara kavum
timpani dengan kavum mastoid sehingga bila aditus asantrum tertutup karena suatu sebab maka
resesus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan kavum timpani dengan kavum mastoid.
d. Dinding posterior
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang
menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui epitimpanum. Dibawah aditus
terdapat lekukan kecil yang disebut fosa inkudis yang merupakan suatu tempat prosesus brevis
dari inkus dan melekat pada serat-serat ligamen. Dibawah fosa inkudis dan dimedial dari korda
timpani adalah piramid, tempat terdapatnya tendon muskulus stapedius, tendon yang berjalan
keatas dan masuk ke dalam stapes. Diantara piramid dan anulus timpanikus adalah resesus
fasialis.
Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior dan sinus
sigmoid. Disebelah dalam dari piramid dan nervus fasialis merupakan perluasan kearah posterior
dari mesotimpani adalah sinus timpani. Perluasan sel-sel udara kearah dinding posterior dapat
meluas seperti yang dilaporkan Anson dan Donaldson (1981), bahwa apabila diukur dari ujung
piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9 mm kearah tulang mastoid. Dinding medial dari sinus
timpani kemudian berlanjut ke bagian posterior dari dinding medial kavum timpani dimana
berhubungan dengan dua fenestra dan promontorium.
e. Dinding anterior
Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya dinding medial dan
dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah adalah lebih besar dari bagian atas dan
terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotis pada saat memasuki tulang
tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior.
Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis superior dan inferior yang membawa
serabut-serabut saraf simpatis kepleksus timpanikus dan oleh satu atau lebih cabang timpani dari
arteri karotis interna.
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius. Tuba ini
berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai dua fungsi. Pertama menyeimbangkan tekanan
membran timpani pada sisi sebelah dalam, kedua sebagai drainase sekresi dari telinga tengah,
8

termasuk sel-sel udara mastoid. Diatas tuba terdapat sebeuah saluran yang berisi otot tensor
timpani. Dibawah tuba, dinding anterior biasanya tipis dimana ini merupakan dinding posterior
dari saluran karotis.
f. Dinding lateral
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian tulang berada
diatas dan bawah membran timpani.
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
1. Epitimpanum.
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian superior kavum timpani,
disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani. Sebagian besar atik diisi oleh maleus
inkus. Dibagian superior epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding
medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis semisirkularis
lateral.
Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior, dan lebih anterior ada ganglion
genikulatum, yang merupakan tanda ujung anterior ruang atik. Dinding anterior terpisah dari
maleus oleh suatu ruang yang sempit, disini dapat dijumpai muara sel-sel udara yang membuat
pneumatisasi pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang
berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang sebelah atas. Diposterior,
atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad antrum.
2. Mesotimpanum
Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial dibatasi oleh kapsul otik,
yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus fasialis pars timpani. Dinding anterior
mesotimpani terdapat orifisium timpani tuba eustachius pada bagian superior dan membentuk
bagian tulang dinding saluran karotis asendens pada bagian inferior. Dinding ini biasanya
mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian-bagian tulang lemah.
3.

Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus


Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus jugulare.
Kavum timpani terdiri dari :

1. Tulang-tulang pendengaran
9

a. Malleus (hammer/martil).
Malleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang-tulang
pendengaran dan terletak paling lateral, lehe r, prosesus brevis (lateral), prosesus anterior,
lengan (manubrium). panjangnya kira-kira 7,5 sampai 9,0 mm. kepala terletak pada
epitimpanum atau didalam rongga atik, sedangkan leher terletak dibelakang pars flaksida
membran timpani. Manubrium terdapat didalam membrane timpani, bertindak sebagai
tempat perlekatan serabut-serabut tunika propria. Ruang antara kepala dari maleus dan
membran Shrapnell dinamakan Ruang Prussak. Maleus ditahan oleh ligamentum maleus
anterior yang melekat ke tegmen dan juga oleh ligamentum lateral yang terdapat diantara
basis prosesus brevis dan pinggir lekuk Rivinus.

Gambar os malleus
b. Inkus (anvil/landasan)
Inkus terdiri dari badan inkus ( corpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus brevis dan
prosesus longus. Sudut antara prosesus brevis dan longus membentuk sudut lebih kurang
100 derajat. Inkus berukuran 4,8 mm x 5,5 mm pada pinggir dari corpus, prosesus longus
panjangnya 4,3 mm-5,5 mm.
Inkus terletak pada epitimpanum, dimana prosesus brevis menuju antrum,
prosesus longus jalannya sejajar dengan manubrium dan menuju ke bawah. Ujung
prosesus longus membengkok kemedial merupakan suatu prosesus yaitu prosesus
lentikularis. Prosesus ini berhubungan dengan kepala dari stapes.
Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon rotasi terhadap
gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis antara
ligamentum maleus anterior dan ligamentum inkus pada ujung prosesus brevis. Gerakangerakan tersebut tetap dipelihara berkesinambungan oleh inkudomaleus. Gerakan rotasi
tersebut

diubah

menjadi

gerakan

seperti

piston

pada

stapes

melalui

sendi

inkudostapedius.
10

Gambar os incus
c. Stapes (stirrup/pelana)
Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti sanggurdi
beratnya hanya 2,5 mg, tingginya 4mm-4,5 mm. Stapes terdiri dari kepala, leher, krura
anterior dan posterior dan telapak kaki ( foot plate), yang melekat pada foramen ovale
dengan perantara ligamentum anulare.
Tendon stapedius berinsersi pada suatu penonjolan kecil pada permukaan
posterior dari leher stapes. Kedua krura terdapat pada bagian leher bawah yang lebar dan
krura anterior lebih tipis dan kurang melengkung dari pada posterior.
Kedua berhubungan dengan foot plate yang biasanya mempunyai tepi superior
yang melengkung, hampir lurus pada tepi posterior dan melengkung di anterior dan ujung
posterior. panjang foot plat e 3 mm dan lebarnya 1,4 mm, dan terletak pada fenestra
vestibuli dimana ini melekat pada tepi tulang dari kapsul labirin oleh ligamentum anulare
Tinggi stapes kira-kira 3,25 mm.

Gambar os stapes
2. Dua otot.

11

Terdiri dari : otot tensor timpani ( muskulus tensor timpani) dan otot stapedius
( muskulus stapedius)
Otot tensor timpani adalah otot kecil panjang yang berada 12 mm diatas tuba
eustachius. Otot ini melekat pada dinding semikanal tensor timpani. Kanal ini terletak
diatas liang telinga bagian tulang dan terbuka kearah liang telinga sehingga disebut
semikanal. Serabut -serabut otot bergabung dan menjadi tendon pada ujung
timpanisemikanal yang ditandai oleh prosesus kohleoform. Prosesus ini membuat tendon
tersebut membelok kearah lateral kedalam telinga tengah. Tendon berinsersi pada bagian
atas leher maleus. Muskulus tensor timpani disarafi oleh cabang saraf kranial ke 5. kerja
otot ini menyebabkan membran timpani tertarik kearah dalam sehingga menjadi lebih
tegang dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara serta melemahkan
suara dengan freksuensi rendah.
Otot stapedius adalah otot yang relatif pendek. Bermula dari dalam kanalnya
didalam eminensia piramid, serabut ototnya melekat ke perios kanal tersebut.
Serabut-serabutnya bergabung membentuk tendon stapedius yang berinsersi pada apek
posterior leher stapes. M. Stapedius disarafi oleh salah satu cabang saraf kranial ke 7
yang timbul ketika saraf tersebut melewati m. stapedius tersebut pada perputarannya yang
kedua. Kerja m.stapedius menarik stapes ke posterior mengelilingi suatu pasak pada tepi
posterior basis stapes. Keadaan ini stapes kaku, memperlemah transmisi suara dan
meningkatkan frekuensi resonansi tulang-tulang pendengaran.

Gambar penampang otot pada telinga bagian tengah


3. Saraf korda timpani.
Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari kanalikulus
posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior. Korda timpani memasuki
telinga tengah bawah pinggir posterosuperior sulkus timpani dan berjalan keatas depan
12

lateral keprosesus longus dari inkus dan kemudian ke bagian bawah leher maleus
tepatnya diperlekatan tendon tensor timpani. Setelah berjalan kearah medial menuju
ligamentum maleus anterior, saraf ini keluar melalui fisura petrotimpani.
Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang
berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui ganglion
submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3 depan lidah bagian
anterior.
4. Saraf pleksus timpanikus.
Adalah berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan
nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis
interna. Saraf dari pleksus ini dan kemudian berlanjut pada :
a. Cabang-cabang pada membrana mukosa yamg melapisi kavum timpani, tuba
eustachius, antrum mastiod dan sel-sel mastoid.
b. Sebuah cabang yang berhubungan dengan nervus petrosus superfisial mayor.
Pada nervus petrosus superfisial minor, yang mengandung serabut-serabut
parasimpatis dari N. IX. Saraf ini meninggalkan telinga tengah melalui suatu saluran
yang kecil dibawah m. tensor timpani kemudian menerima serabut saraf parasimpatik
dari N. VII dengan melalui cabang dari ganglion genikulatum. Secara sempurna saraf
berjalan melalui tulang temporal, dilateral sampai nervus petrosus superfisial mayor,
diatas dasar fosa kranial media, diluar durameter.
Kemudian berjalan melalui foramen ovale dengan nervus mandibula dan arteri
meningeal assesori sampai ganglion otik. Kadang-kadang saraf ini tidak berjalan pada
foramen ovale tetapi melalui foramen yang kecil sampai foramen spinosum. Serabut post
ganglion dari ganglion otik menyuplai serabut-serabut sekremotor pada kelenjar parotis
melalui nervus aurikulotemporalis.
Saraf fasial
Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki tulang temporal melalui meatus
akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial terutama terdiri dari dua komponen
yang berbeda, yaitu :

13

1. Saraf motorik untuk otot-otot yang berasal dari lengkung brankial kedua (faringeal) yaitu
otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m. digastrik dan m. stapedius.
2. Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor parasimpatetis
preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah kecuali parotis.
Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum timpani melalui auditori meatus diatas
vestibula labirin tulang. Kemudian membelok kearah posterior dalam tulang diatas feromen
ovale terus ke dinding posterior kavum timpani. Belokan kedua terjadi dinding posterior
mengarah ke tulang petrosa melewati kanal fasial keluar dari dasar tengkorak melewati foramen
stilomastoidea.
Pada belokan pertama di dinding medial dari kavum timpani terdapat ganglion
genikulatum, yang mengandung sel unipolar palsu. Sel ini adalah bagian dari jaringan perasa dari
2/3 lidah dan palatum. Saraf petrosa superfisial yang besar bercabang dari saraf cranial VII pada
ganglion genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke fosa kranial tengah.
Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum dan jaringan sekremotor dari glandula atap
rongga mulut, kavum nasi dan orbita.
Bagian lain dari saraf kranial VII membentuk percabangan motor ke otot stapedius dan
korda timpani. Korda timpani keluar ke fosa intra temporal melalui handle malleus, bergerak
secara vertikal ke inkus dan terus ke fisura petrotimpanik. Korda timpani mengandung jaringan
perasa dari 2/3 anterior lidah dan jaringan sekretorimotor dari ganglion submandibula. Sel
jaringan perasanya terdapat di ganglion genikulatum.

14

Gambar saraf facialis, korda timpani, dan fleksus timpanikus


Perdarahan Kavum Timpani
Pembuluh-pembuluh darah yang memberikan vaskularis asi kavum timpani adalah arteriarteri kecil yang melewati tulang yang tebal. Sebagian besar pembuluh darah yang menuju
kavum timpani berasal dari cabang arteri karotis eksterna.
Pada daerah anterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika anterior, yang merupakan
cabang dari a. maksilaris interna yang masuk ke telinga tengah melalui fisura petrotimpanika.
Pada daerah posterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika psoterior, yang merupakan
cabang dari a. mastoidea yaitu a. stilomastoidea. Pada daerah superior mendapat perdarahan dari
cabang a. meningea media juga a. petrosa superior, a. timpanika superior dan ramus
inkudomalei.
Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan pembuluh arteri menuju
pleksus venosus pterigoid atau sinus petrosus superior.
Pembuluh getah bening kavum timpani masuk ke dalam pembuluh getah bening
retrofaring atau ke nodulus limfatikus parotis.
II.1.3. Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. bentuknya seperti
huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring.
Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga
tengah 13 dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.

15

Gambar perbandingan penampang tuba auditori pada bayi dan dewasa


Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani, dan bagian
tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini berjalan kearah posterior,
superior dan medial sepanjang 2/3 bagian keseluruhan panjang tuba (4 cm), kemudian bersatu
dengan bagian tulang atau timpani.
Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut ismus. Bagian tulang
tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup dan berakhir pada dinding lateral
nasofaring. Pada orang dewasa muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih
tinggi dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek, lebar dan letaknya
mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring ke telinga tengah. Tuba dilapisi oleh
mukosa saluran nafas yang berisi sel-sel goblet dan kelenjar mucus dan memiliki lapisan epitel
bersilia didasarnya. Epitel tuba terdiri dari epitel selinder berlapis dengan sel selinder. Disini
terdapat silia dengan pergerakannya ke arah faring. Sekitar ostium tuba terdapat jaringan limfosit
yang dinamakan tonsil tuba.
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu :
1. M. tensor veli palatini
2. M. elevator veli palatini
16

3. M. tensor timpani
4. M. salpingofaringeus
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan keseimbangan
tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari kavum
timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum timpani.
II.1.4. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap
mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior.
Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini.
Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Aditus antrum mastoid adalah
suatu pintu yang besar iregular berasal dari epitisssmpanum posterior menuju rongga antrum
yang berisi udara, sering disebut sebagai aditus ad antrum. Dinding medial merupakan
penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Dibawah dan sedikit ke medial dari promontorium
terdapat kanalis bagian tulang dari n. fasialis. Prosesus brevis inkus sangat berdekatan dengan
kedua struktur ini dan jarak rata-rata diantara organ : n. VII ke kanalis semisirkularis 1,77 mm;
n.VII ke prosesus brevis inkus 2,36 mm : dan prosesus brevis inkus ke kanalis semisirkularis
1,25 mm.
Antrum mastoid adalah sinus yang berisi udara didalam pars petrosa tulang temporal.
Berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel-sel udara mastoid yang
berasal dari dinding-dindingnya. Antrum sudah berkembang baik pada saat lahir dan pada
dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan kebelakang sekitar 14 mm, daria atas
kebawah 9mm dan dari sisi lateral ke medial 7 mm. Dinding medial dari antrum berhubungan
dengan kanalis semisirkularis posterior dan lebih ke dalam dan inferiornya terletak sakus
endolimfatikus dan dura dari fosa kranii posterior. Atapnya membentuk bagian dati lantai fosa
kranii media dan memisahkan antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding posterior terutama
dibentuk oleh tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral merupakan bagian dari pars skumosa
tulang temporal dan meningkat ketebalannya selama hidup dari sekitar 2 mm pada saat lahir
hingga 12-15 mm pada dewasa. Dinding lateral pada orang dewasa berhubungan dengan
trigonum suprameatal ( Macewens) pada permukaan luar tengkorak. Lantai antrum mastoid

17

berhubungan dengan otot digastrik dilateral dan sinus sigmoid di medial, meskipun pada aerasi
tulang mastoid yang jelek, struktur ini bisa berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding
anterior antrum memiliki aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dilalui n.fasialis
dalam perjalanan menuju ke foramen stilomastoid.

Gambar penampang Prosesus Mastoideus


Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga. Pneumatisasi
didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau perkembangan rongga-rongga udara
didalam tulang temporal, dan sel-sel udara yang terdapat didalam mastoid adalah sebagian dari
sistem pneumatisasi yang meliputi banyak bagian dari tulang temporal. Sel-sel prosesus mastoid
yang mengandung udara berhubungan dengan udara didalam telinga tengah. Bila prosesus
mastoid tetap berisi tulang-tulang kompakta dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel-sel
yang berpneumatisasi terbatas pada daerah sekitar antrum. Prosesus mastoid berkembang setelah
lahir sebagai tuberositas kecil yang berpneumatisasi secara sinkron dengan pertumbuhan antrum
mastoid. Pada tahun pertama kehidupan prosesus ini terdiri dari tulang-tulang seperti spon
sehingga mastoiditis murni tidak dapat terjadi. Diantara usia 2 dan 5 tahun pada saat terjad i
pneumatisasi prosesus terdiri atas campuran tulang-tulang spon dan pneumatik. Pneumatisasi
sempurna terjadi antara usia 6 12 tahun. Luasnya pneumatisasi tergantung faktor herediter
18

konstitusional dan faktor peradangan pada waktu umur muda. Bila ada sifat biologis mukosa
tidak baik maka daya pneumatisasi hilang atau kurang. Ini juga terjadi bila ada radang pada
telinga yang tidak menyembuh. Maka nanti dapat dilihat pneumatisasi yang terhenti atau
pneumatisasi yang tidak ada sama sekali (teori dari Wittmack).
Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas :
1. Proesesus Mastoideus Kompakta (sklerotik), diomana tidak ditemui sel-sel.
2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.
3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini besar.
Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan dengan kavum timpani. Dekat antrum selselnya kecil tambah keperifer sel-selnya bertambah besar. Oleh karena itu bila ada radang pada
sel-sel mastoid, drainase tidak begitu baik hingga mudah terjadi radang pada mastoid
(mastoiditis).
Menurut tempatnya sel-sel ini dapat dibedakan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Terminal
Zygomatic
Perisinus
Facial
Sudut petrosal
Periantral
Sub dural
Perilabirinter

II.1.5. Fisiologi Pendengaran


Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan keliang telinga dan mengenai
membran timpani, sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang
pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap
lonjong (foramen ovale) yang juga menggerakkan perilimf dalam skala vestibuli. Getaran
diteruskan melalui membrane Reissener yang mendorong endolimf dan membran basal kearah
bawah, perilimf dalam skala timpani akan bergerak sehingga tingkap (foramen rotundum)
terdorong ke arah luar.
Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan mendorong membran basal,
sehingga menjadi cembung kebawah dan menggerakkan perilimf pada skala timpani. Pada waktu
istirahat ujung sel rambut berkelok-kelok, dan dengan berubahnya membran basal ujung sel
rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion Kalium dan ion
19

Natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang-cabang n.VII, yang kemudian
meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran diotak ( area 39-40) melalui saraf
pusat yang ada dilobus temporalis.

Gambar Transmisi Suara

II.2.

Otitis Media Supuratif Kronik

II.2.1. Definisi
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan suatu radang
kronis

telinga

tengah

dengan perforasi

membran

timpani dan

riwayat

keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul.
II.2.2. Epidemiologi
Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden
OMSK dipengaruhi oleh ras dan faktor sosio-ekonomi. Misalnya, OMSK lebih
20

sering dijumpai pada orang Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin
Australia dan orang kulit hitam di Afrika Selatan. Walaupun demikian, lebih dari 90% beban
dunia akibat OMSK i n i d i p i k u l o l e h n e g a r a - n e g a r a d i As i a Ten g g a r a , d a e r a h
P a s i f i k B a r a t , Af r i k a , d a n beberapa daerah minoritas di Pasifik. Kehidupan sosial
ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh dan status kesehatan serta gizi yang jelek
merupakan faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara
yang sedang berkembang.
Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal
definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban
dunia akibat OMSK melibatkan 65330 juta orang dengan telinga berair, 60% di
antaranya (39200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan. Secara
umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan pasien OMSK merupakan
25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia.
II.2.3. Etiologi
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang
dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis,
rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang
abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan
Downs syndrom. Adanya tuba patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan
faktor insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor Host yang berkaitan dengan insiden
OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Kelainan humoral (seperti
hipogammaglobulinemia) dan cell- mediated ( seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit)
dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis.
Penyebab OMSK antara lain:
Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok
sosioekonomi rendah memi liki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini
berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal yang padat.
Genetik
21

Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel
udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer
atau sekunder.
Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari

otitis

media

akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan
satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis
Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mu kosa telinga tengah hampir tidak bervariasi
pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode kultur yang digunakan adalah
tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif, flora tipe-usus, dan beberapa
organisme lainnya.
Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan
tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga
memudahkan pertumbuhan bakteri. Organisme-organisme dari meatus auditoris eksternal
termasuk

Staphylococcus,

Pseudomonas

aeruginosa,

B.proteus,

B.coli

dan

Aspergillus. Organisme dari nasofaring diantaranya Streptococcus viridians (Streptococcus


-hemolitikus, Streptococcus -hemolitikus dan Pneumococcus).
Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis
media kronis.
Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang
bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap
antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti
kemungkinannya.
Gangguan fungsi tuba eustachius.
22

Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi
apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga
yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan
umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi
normal.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada
OMSK :
1. Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret
telinga purulen berlanjut.
2. Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada
perforasi.
3. Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi
epitel.
4. Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat
diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan
dari perforasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis
majemuk, antara lain :
1. Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis atau berulang.
a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang.
b. Obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya pada telinga
tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan
oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten di mastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan
mekanisme pertahanan tubuh.
II.2.4. Patogenesis
Banyak penelitian pada hewan percobaan dan preparat tulang temporal menemukan
bahwa adanya disfungsi tuba Eustachius, yaitu suatu saluran yang menghubungkan

23

rongga di belakang hidung (nasofaring) dengan telinga tengah (kavum timpani),


merupakan penyebab utama terjadinya radang telinga tengah ini (otitis media).
Pada keadaan normal, muara tuba Eustachius berada dalam keadaan tertutup dan akan
membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan
udara telinga tengah dengan tekanan udara luar (tekanan udara atmosfer). Fungsi tuba yang
belum sempurna, tuba yang pendek, penampang relatif besar pada anak dan posisi
tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi saluran nafas atas pada
anak akan

lebih

mudah

menjalar

ke

telinga

tengah

sehingga

lebih

sering

menimbulkan Otitis Media daripada dewasa.

Gambar Anatomi Tuba Eustachius Anak dan Dewasa


Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring
melalui tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan terjadinya infeksi dari
telinga tengah. Pada saat ini terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator peradangan pada
telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti netrofil, monosit, d a n
leukosit serta sel lokal seperti keratinosit dan sel mastosit akibat proses
infeksi

tersebut

akan

menambah

permiabilitas

pembuluh

darah

dan

m e n a m b a h p e n g e l u a r a n sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya peningkatan


beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan mukosa telinga tengah karena stimulasi
bakteri menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah.
Bagan perjalanan penyakit Otitis Media Supuratif Kronik

24

Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari


satu l a p i s a n , e p i t e l s k u a m o s a s e d e r h a n a , m e n j a d i pseudostratified respiratory
epithelium dengan banyak lapisan sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini
mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia, mempunyai stroma yang banyak serta
pembuluh darah. Penyembuhan Otitis Media ditandai dengan hilangnya sel-sel
tambahan tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.
II.2.5 Klasifikasi
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala
klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain
25

yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi Tuba eustachius, infeksi


saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada
pasien dengan daya tahan t u b u h y a n g r e n d a h , d i s a m p i n g i t u c a m p u r a n
bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta
migrasi

sekunder

dari

epitel

skuamous.

Sekret

mukoid

kronis

berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga


tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:
A. Kongenital
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan Clemis (1965)
adalah :

Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.


Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel undiferential

yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan. Kongenital kolesteatom lebih
sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks
petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan
keseimbangan.
B. Didapat.
Kolesteatoma yang didapat seringnya berkembang dari suatu kantong
retraksi. Jika telah terbentuk adhesi antara permukaan bawah kantong retraksi
dengan komponen telinga tengah, kantong tersebut sulit untuk mengalami perbaikan
bahkan jika ventilasi telinga tengah kembali normal : mereka menjadi area kolaps
pada segmen atik atau segmen posterior pars tensa membrane timpani.
Epitel skuamosa pada membrane timpani normalnya membuang lapisan sel-sel
mati dan tidak terjadi akumulasi debris, tapi jika terbentuk kantong retraksi d a n p r o s e s
p e m b e r s i h a n i n i g a g a l , d e b r i s k e r a t i n a k a n t e r k u m p u l d a n p a d a akhirnya
membentuk kolesteatoma.
Pengeluaran epitel melalui leher kantong yang sempit menjadi sangat sulit dan lesi
tersebut membesar. Membran timpani tidak mengalami perforasi dalam arti kata yang
26

sebenarnya : lubang yang terlihat sangat kecil, merupakan suatu lubang sempit yang
tampak seperti suatu kantong retraksi yang berbentuk seperti botol, botol itu sendiri penuh
dengan debris epitel yang menyerupai lilin.
Teori lain pembentukan kolesteatoma menyatakan bahwa metaplasia skuamosa
pada mukosa telinga tengah terjadi sebagai respon terhadap infeksi kronik atau
adanya suatu pertumbuhan ke dalam dari epitel skuamosa di sekitar pinggir perforasi,
terutama pada perforasi marginal.
Destruksi tulang merupakan suatu gambaran dari kolesteatoma didapat, yang
dapat terjadi akibat aktivitas enzimatik pada lapisan subepitel. Granuloma
kolesterol tidak memiliki hubungan dengan kolesteatoma, meskipun namanya
hampir mirip dan kedua kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan pada telinga
tengah atau mastoid.
Granuloma kolesterol, disebabkan oleh adan ya kri stal kolesterol dari
eksudat serosanguin yang ada sebelumnya. Kristal ini menyebabkan reaksi benda asing, dengan
cirsi khas sel raksasa dan jaringan granulomatosa.

Gambar 2: perjalanan penyakit OMSK


II.2.6 Manifestasi Klinis
27

1. Telinga berair (otorrhoe)


Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air
d a n e n c e r ) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan
oleh aktivitas kelenjar s e k r e t o r i k t e l i n g a t e n g a h d a n m a s t o i d .
P a d a O M S K t i p e j i n a k , c a i r a n y a n g k e l u a r mukopus yang tidak
berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah
oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya secret biasanya
hilang-timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran
nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada
OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang
sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan
produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih,
mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah
berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang
bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip tel inga
dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret
yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya
dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan
pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah
yang sakit ataupun k o l e s t e a t o m , d a p a t m e n g h a m b a t b u n yi d e n g a n e f e k t i f
k e f e n e s t r a o v a l i s . B i l a t i d a k dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang
dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan
dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih
dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli k o n d u k t i f b e r a t
karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatom

bertindak

sebagai

penghantar

suara

sehingga

ambang

pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.

28

Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan


berulangnya i n f e k s i k a r e n a p e n e t r a s i t o k s i n m e l a l u i j e n d e l a b u l a t
(foramen

rotundum)

atau

fistel

labirin tanpa terjadinya labirinitis

supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat,
hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.
3. Otalgia ( nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan
suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya
drainase pus. N y e r i d a p a t b e r a r t i a d a n y a a n c a m a n k o m p l i k a s i a k i b a t
h a m b a t a n p e n g a l i r a n s e k r e t , terpaparnya durameter atau dinding sinus
lateralis, atau ancaman pembentukan absesotak. Nyeri telinga mungkin ada
tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis
sinus lateralis.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan
vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udarayang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani
yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan
temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga
tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana
mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus
OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif
dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga
telinga tengah.
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna

Adanya Abses atau fistel retroaurikular


Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani
Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma kolesteatom)
29

Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom

30

Bagan manifestasi klinis Otitis Media Supuratif Kronik

II.2.7 Pemeriksaan Klinis


Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli
konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya

31

ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan
dan mobilitas sistim penghantaran s u a r a d i t e l i n g a t e n g a h .
Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita
OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk
toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga
menyebabkan

penurunan

ambang

hantaran

tulang

secara

t e m p o r e r / p e r m a n e n y a n g p a d a f a s e a w a l terbatas pada lengkung basal


kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea.
Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang
berat, dan ketulian total, t e r g a n t u n g d a r i h a s i l p e m e r i k s a a n ( a u d i o m e t r i
a t a u t e s t b e r b i s i k ) . D e r a j a t k e t u l i a n ditentukan dengan membandingkan
rata-rata kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan
terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat
ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran

Normal : -10 dB sampai 26 Db


Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea.

Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara


dan

tulang

serta

pendengaran

dapat

penilaian

tutur,

diperkirakan,

dan

biasanya
bisa

kerusakan

ditentukan

tulang-tulang

manfaat

operasi

rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi


ini, observasi berikut bisa membantu:
1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif 30-50
dB apabila disertai perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masihutuh
menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.

32

4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan


hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan

audiologi

pada

OMSK

harus

dimulai

oleh

penilaian

pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur dengan
maskingadalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli campur.
2. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilai
diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak
sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid
yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi
kesan kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah :
1. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah
lateraldan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi
sinus lateral d a n t e g m e n . P a d a k e a d a a n m a s t o i d y a n g s k l e r i t i k ,
g a m b a r a n r a d i o g r a f i i n i s a n g a t membantu ahli bedah untuk menghindari
dura atau sinus lateral.
2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan
tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat
diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus
dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan
kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan
melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom.
4 . P r o ye k s i C h a u s e I I I , m e m b e r i g a m b a r a n a t i k s e c a r a l o n g i t u d i n a l
sehingga

d a p a t memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik.

Politomografi dan atau CT scandapat menggambarkan kerusakan tulang


oleh karena kolesteatom, ada atau tidak tulang- t u l a n g p e n d e n g a r a n d a n
beberapa

kasus

terlihat

fistula

pada

kanalis

semisirkularis

horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan hanya

33

dengan hasilX - r a y s a j a . P a d a k e a d a a n t e r t e n t u s e p e r t i b i l a d i j u m p a i
s i n u s l a t e r a l i s t e r l e t a k l e b i h anterior menunjukan adanya penyakit mastoid.
Cholesteatoma yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida. Banyak
teori yang diajukan sebagai penyebab cholesteatoma didapat primer, tetapi sampai
sekarang belum ada yang bisa menunjukan penyebab yang sebenarnya.
Secondary acquired cholesteatoma. Berkembang dari suatu kantong retraksi
yang disebabkan peradangan kronis biasanya bagian posterosuperior dari pars
tensa. Khasnya perforasi marginalpada bagian posterosuperior. Terbentuknya dari
epitel kanal aurikula eksternay a n g

masuk

ke

kavum

timpani

melalui

p e r f o r a s i m e m b r a n t i m p a n i a t a u kantong retraksi membran timpani pars tensa.


II.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMSK yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebab
dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian haruslah dievaluasi faktor-faktor
yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang
menghalangi penyembuhan serta mengganggu fungsi, dan proses infeksi yang
terdapat ditelinga. Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi
obat-obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana
pengobatan dapat dibagi atas:
1. Konservatif
2. Operasi
Penatalaksanaan OMSK Benigna Tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera
berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya
dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah
infeksi berulang serta gangguan pendengaran.
Penatalaksanaan OMSK Benigna Aktif
Prinsip pengobatan OMSK benigna aktif adalah:
34

1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (aural toilet)


Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang
baik bagi perkembangan mikroorganisme.
Bagan pengerjaan aural toilet

Cara pembersihan liang telinga (aural toilet)


a. Aural toilet secara kering ( dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat
di beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di klinik
atau dapat juga dilakukan olehanggota keluarga. Pembersihan liang telinga
dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering.
b. Aural toilet secara basah ( syringing)
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah,
kemudian dengan k a p a s

lidi

steril

dan

diberi

serbuk

antibiotik.

M e s k i p u n c a r a i n i s a n g a t e f e k t i f u n t u k membersihkan telinga tengah, tetapi


dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid. Pemberian
serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi sensitifitas
pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam
boric dengan Iodine.
c. Aural toilet dengan pengisapan ( suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis
operasi adalah metode yang paling populer saat ini. Kemudian dilakukan
pengangkatan mukosa yangberproliferasi dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat
dihilangkan. Akibatnya terjadi d r a i n a s e y a n g b a i k d a n r e s o r b s i m u k o s a .
35

P a d a o r a n g d e w a s a y a n g k o p e r a t i f c a r a i n i dilakukan tanpa anastesi


tetapi pada anak-anak diperlukan anastesi. Pencucian telinga d e n g a n H 2 O 2
3% akan mencapai sasarann ya bila dilakukan dengan displacement
methode seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
2. Pemberian antibiotika :
a. Antibiotika/antimikroba topikal
Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotika
topikal untuk OMSK. Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dengan secret
yang

banyak tanpa

dibersihkan

dulu,

adalah

tidak

efektif.

Bila

sekret

berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan
kortikosteroid. Dianjurkan irigasi d e n g a n g a r a m f a a l a g a r l i n g k u n g a n b e r s i f a t
a s a m d a n m e r u p a k a n m e d i a y a n g b u r u k untuk tumbuhnya kuman. Selain itu
dikatakan bahwa tempat infeksi pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal.
Djaafar dan Gitowirjono menggunakan antibiotik topical s e s u d a h i r i g a s i s e k r e t
p r o f u s d e n g a n h a s i l c u k u p m e m u a s k a n , k e c u a l i k a s u s d e n g a n jaringan
patologis yang menetap pada telinga tengah dan kavum mastoid. Mengingat
pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah,
m a k a t i d a k dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya
tidak lebih dari 1minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah dengan
berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi. Obat-obatan topikal dapat
berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai setelah telinga dibersihkan dahulu.
Bubuk telinga yang digunakan seperti:
1) Acidum boricum dengan atau tanpa iodine
2) Terramycin
3) Acidum boricum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg
Pengobatan antibiotika topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK aktif,
dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Neomisin
dapat melawan kuman Proteus dan Staphylococcus aureus tetapi tidak aktif
melawan gram n e g a t i f a n a e r o b d a n m e m p u n y a i k e r j a y a n g t e r b a t a s m e l a w a n
Pseudomonas
Pseudomonas

karena

meningkatnya

aeruginosa dan b e b e r a p a

resistensi.
gram

Polimiksin

negatif

tetapi

efektif
tidak

melawan
efektif
36

melawan

organisme

gram

positif.

Seperti

aminoglikosida

yang

lain,

Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif melawan basil gram negative. Tidak ada satu pun
aminoglikosida yang efektif melawan kuman anaerob.
Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan
hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-steroid tetes
mata. K l o r a m f e n i k o l t e t e s t e l i n g a t e r s e d i a d a l a m a c i d c a r r i e r d a n t e l i n g a
a k a n s a k i t b i l a diteteskan. Kloramfenikol aktif melawan basil gram positif dan
gram negative kecuali Pseudomonas aeruginosa, tetapi juga efektif melawan kuman
anaerob,

khususnya. Pemakaian jangka panjang lama obat tetes telinga yang

mengandung aminoglikosida akan merusak foramen rotundum, yang akan menyebabkan


ototoksik.
Antibiotika topikal yang sering digunakan pada pengobatan Otitis
M e d i a S u p u r a t i f Kronik (OMSK) adalah
Bagan antibiotika topikal pada pengobatan OMSK

Sebagai catatan, terapi topikal lebih baik dibandingkan dengan terapi sistemik.
Tujuannya untuk mendapatkan konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi. Pilihan
antibiotik yang memilikiaktifitas terhadap bakterigram negatif, terutama pseudomonas, dan
gram positifterutamaStaphylococcus aureus. Pemberian antibiotik seringkali gagal, hal
ini dapat disebabkanadanya debris selain juga akibat resistensi kuman. Terapi sistemik
37

diberikan pada pasienyang gagal dengan terapi topikal. Jika fokus infeksi di mastoid,
tentunya tidak dapathanya dengan terapi topikal saja, pemberian antibiotik sistemik
(seringkali IV) dapatmembantu mengeliminasi infeksi. Pada kondisi ini sebaiknya pasien di
rawat di RS untuk m e n d a p a t k a n a u r a l t o i l e t y a n g l e b i h i n t e n s i f .

Ter a p i

d i l a n j u t k a n h i n g g a 3 - 4 m i n g g u setelah otore hilang.


Antibiotika sistemik
Pemilihan antibiotika sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan
kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus
disertaipembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan , perlu diperhatikan
faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Dalam penggunaan antimikroba, perlu diketahui daya bunuh antimikrobaterhadap
masing- masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap masing-masing kuman
penyebab, daya penetrasi antimikroba di masing-masing jaringan tubuh dan toksisitas
obat terhadap kondisi tubuh. Berdasarkan konsentrasi obat dan daya bunuh t e r h a d a p
mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama
antimikroba dengan daya bunuh yang tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat,
makin

banyak

kuman

terbunuh,

misalnya

golongan

aminoglikosida

dan kuinolon.

Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya


b u n u h n y a paling baik. Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba
golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah

Tabel pilihan antibiotic sistemik dalam pengobatan OMSK

38

Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) mempunyai aktifitas anti


pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan diberikan untuk anak dengan
umur dibawah 16 tahun. Golongan sefalosforin generasi III (sefotaksim, seftazidim dan
seftriakson) juga aktif terhadap Pseudomonas, tetapi harusdiberikan secara parenteral.
Terapi ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMSK belum pasti cukup, meskipun
dapat mengatasi OMSK. Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman
anaerob. Metronidazol dapat diberikan pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam
selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.
Penatalaksanaan OMSK Maligna
Pengobatan
konservatif

dengan

yang

tepat

untuk

medikamentosa

OMSK

hanyalah

maligna
merupakan

adalah
terapi

operasi.

Pengobatan

sementara sebelum

dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses


sebaiknyadilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.
Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan
pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)


Mastoidektomi radikal
Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
Miringoplasti
Timpanoplasti
Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty)

39

Bagan pembedahan pada tatalaksana OMSK

Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki


membrantimpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaranyang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.
Algoritma pedoman umum pengobatan penderita OMSK

II.3.

Meningitis Sebagai Komplikasi Intrakranial OMSK

II.3.1. Definisi Meningitis


40

Komplikasi otitis media ke susunan saraf pusat yang paling sering ialah meningitis.
Keadaan ini dapat terjadi oleh otitis media akut maupun kronis, serta dapat terlokalisasi, atau
umum (general). Walau secara klinik kedua bentuk ini mirip, pada pemeriksaan likuor
serebrospinal terdapat bakteri pada bentuk yang umum, sedangkan pada bentuk yang
terlokalisasi tidak ditemukan bakteri.
Meningitis adalah infeksi akut pada sistem saraf, dimana meninges berfungsi untuk
melindungi otak dan medula spinalis. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan infeksi
lokal misalnya abses otak.

II.3.2. Patofisiologi
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar pertahanan telinga tengah yang normal
dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya. Pertahanan pertama
ini adalah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran napas, mampu melokalisasi
infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan
sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur lunak disekitarnya akan terkena. Runtuhnya
periosteum akan menyebabkan terjadinya abses subperiosteal, suatu komplikasi yang relatif tidak
berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke dalam, ke tulang temporal, maka akan menyebabkan
parese nervus fasialis atau labirinitis. Bila ke arah kranial, akan menyebabkan abses ekstradural,
tromboflebitis sinus lateralis, meningitis, dan abses otak.
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi
akan terbentuk. Pada otitis media supuratif akut atau suatu eksarsebasi akut penyebaran biasanya
melalui osteotromboflebitis (hematogen). Sedangkan pada kasus yang kronis, penyebaran terjadi
melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya adalah toksin masuk melalui jalan yang sudah ada,
misalnya melalui fenestra rotundum, meatus akustikus eksternus, duktus perilimfatik, dan duktus
endolimfatik.
Dari gejala dan tanda yang ditemukan, dapat diperkirakan jalan penyebaran suatu infeksi
telinga tengah ke intrakranial.

41

Penyebaran hematogen
Penyebaran melalui osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya (1) komplikasi
terjadi pada awal suatu infeksi atau eksarsebasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau kedua
sampai hari kesepuluh (2) gejala prodromal tidak jelas seperti yang didapatkan pada gejala
meningitis lokal. (3) pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga tengah utuh, dan tulang
serta lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah berdarah, sehingga disebut juga mastoiditis
hemoragika.
Penyebaran melalui erosi tulang
Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui, bila (1) komplikasi terjadi beberapa
minggu atau lebih setelah awal penyakit, (2) gejala prodromal infeksi lokal biasanya mendahului
gejala infeksi yang lebih luas, misalnya parese nervus fasialis ringan yang hilang timbul
mendahului parese nervus fasialis yang total, atau gejala meningitis lokal mendahului meningitis
purulen, (3) pada operasi dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak di antara fokus supurasi
dengan struktur sekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka biasanya dilapisi oleh jaringan
granulasi.
Penyebaran melalui jalan yang sudah ada
Penyebaran cara ini dapat diketahui bila (1) komplikasi terjadi pada awal penyakit, (2)
ada serangan labirinitis atau meningitis berulang, mungkin dapat ditemukan fraktur tengkorak,
riwayat operasi tulang atau riwayat otitis media yang sudah sembuh. Komplikasi intrakranial
mengikuti komplikasi labirinitis supuratif. (3) pada operasi dapat ditemukan jalan penjalaran
melalui sawar tulang yang bukan oleh karena erosi
Diagnosis komplikasi yang mengancam
Pengenalan yang baik terhadap perkembangan suatu penyakit telinga merupakan
prasyarat untuk mengetahui timbulnya komplikasi. Bila dengan pengobatan medikamentosa
tidak berhasil mengurangi gejala klinik dengan tidak berhentinya otorea dan pada pemeriksaan
otoskopik tidak menunjukkan berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan maka
harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh,
nyeri kepala atau adanya tanda toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk (drowsiness),
42

somnolen atau gelisah yang menetap dapat merupakan tanda bahaya. Timbulnya nyeri kepala di
daerah parietal atau oksipital dan adanya keluhan mual, muntah yang proyektil serta kenaikan
suhu tubuh yang menetap selama terapi diberikan merupakan tanda komplikasi intrakranial.
Pada OMSK, tanda-tanda penyebaran penyakit dapat terjadi setelah sekret berhenti
keluar. Hal ini menandakan adanya sekret purulen yang terbendung.
Pemeriksaan radiologik dapat membantu memperlihatkan kemungkinan kerusakan
dinding mastoid, tetapi untuk yang lebih akurat diperlukan pemeriksaan CT Scan. Erosi tulang
merupakan tanda nyata komplikasi dan memerlukan tindakan operasi segera. CT Scan berfaedah
untuk menentukan letak anatomi lesi. Walaupun mahal, pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menegakkan diagnosis sehingga terapi dapat diberikan secara cepat dan efektif.
Untuk melihat lesi di otak, misalnya abses otak, hidrosefalus dan lain-lain dapat
dilakukan pemeriksaan CT Scan otak tanpa dan dengan kontras.
Klasifikasi komplikasi otitis media supuratif kronis
Beberapa penulis mengemukakan klasifikasi komplikasi otitis media yang berlainan,
tetapi dasarnya tetap sama.
Adams dkk (1989) mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:
Komplikasi di

Komplikasi di telinga Komplikasi

Komplikasi ke

telinga tengah
1. Perforasi

dalam
1. Fistula labirin
2. Labirinitis

susunan saraf pusat


1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hidrosefalus

membran
timpani
persisten
2. Erosi tulang

supuratif
3. Tuli saraf
sensorineural

ekstradural
1. Abses
ekstradural
2. Trombosis
sinus lateralis
3. Petrositis

otitis

pendengaran
3. Paralisis
nervus
fasialis

43

Souza dkk (1999) membagi komplikasi otitis media menjadi:


Komplikasi intratemporal
1. Komplikasi di telinga tengah
Perforasi
membran

Komplikasi ekstratemporal
1. Komplikasi intrakranial
timpani
Abses ekstradura
Abses subdura
persisten
Abses otak
Erosi tulang pendengaran
Meningitis
Paralisis nervus fasialis
Tromboflebitis sinus lateralis
2. Komplikasi ke rongga mastoid
Hidrosefalus otitis
Petrositis
2.
Kompleks ekstrakranial
Mastoiditis kcalesen
Abses retroaurikuler
3. Komplikasi ke telinga dalam
Abses Bezolds
Labirinitis
Abses zygomaticus
Tuli saraf/ sensorineural
Selain komplikasi-komplikasi tersebut, dapat juga terjadi komplikasi pada perubahan tingkah
laku.
Shambough (2003) membagi komplikasi otitis media sebagai berikut:
Komplikasi intratemporal
Komplikasi ekstratemporal
1. Perforasi
membran
1. Abses subperiosteal
timpani
2. Labirinitis
3. Paralisis
fasialis
4. Petrositis
5. Mastoiditis akut

nervus

Komplikasi intrakranial
1. Abses
ekstradura/
2.
3.
4.
5.

subdura
Abses otak
Empiema subdura
Tromboflebitis
Hidrosefalus otitis

44

II.3.3. Gejala Klinis


Gambaran klinik meningitis biasanya berupa kaku kuduk, kenaikan suhu tubuh, mual,
muntah yang kadang-kadang muntahnya bersifat proyektil, serta nyeri kepala yang hebat. Pada
kasus yang berat biasanya kesadaran menurun (delirium sampai koma). Pada pemeriksaan klinik
terdapat kaku kuduk waktu difleksikan dan terdapat tanda kernig positif. Biasanya kadar gula
menurun dan kadar protein meninggi di likuor serebrospinal.
II.3.4. Tatalaksana
Secara umum, pengobatan komplikasi telinga harus mencakup dua hal. Tidak hanya
penanganan yang efektif terhadap komplikasinya yang harus diperhatikan tetapi juga usaha
untuk penyembuhan infeksi primernya. Seringkali beratnya komplikasi mengharuskan kita
menunda mastoidektomi sampai keadaan umum pasien mengizinkan. Di samping itu, bila ada
ancaman terhadap terjadinya komplikasi atau bila ditemukan komplikasi pada stadium dini dapat
dikontrol dengan cara pengobatan seperti pengobatan untuk penyakit primernya. Singkatnya,
pengobatan terdiri dari pemberian antibiotik dosis tinggi secepatnya, penatalaksanaan operasi
infeksi primer di mastoid pada saat yang optimum, dan bedah saraf bila diperlukan. Karena
kerjasama bedah saraf dan otologi telah dijalin pada saat pemeriksaan pasien, maka hal tersebut
harus dipertahankan untuk mendapatkan hasil yang maksimum.
Pengobatan antibiotika pada komplikasi intrakranial sulit, karena adanya sawar darah
otak yang menghalangi banyak jenis antibiotika untuk mencapai konsentrasi yang tinggi di
cairan serebrospinal. Dulu sering dipakai cara pemberian penisilin intratekal untuk mempertinggi
konsentrasi penisilin, tetapi ternyata terlalu mengiritasi, sehingga sekarang biasanya diberikan
derivat penisilin dosis tinggi secara intravena. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotika
dosis secara intravena. Pemberian antibiotika dimulai dengan ampisilin 4 x 200-400
mg/kgBB/hari, kloramfenikol 4 x -1 g/hari untuk orang dewasa atau 60-100 mg/kgBB/hari
untuk anak. Pemberian metronidazol 3 x 400-600 mg/hari juga dapat dipertimbangkan.
Antibiotika yang diberikan disesuaikan dengan kemajuan klinis dan hasil biakan dari
sekret telinga ataupun likuor serebrospinal. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium,
foto mastoid, tomografi komputer kepala yang terutama untuk melihat kemungkinan terdapat
abses otak, serta konsultasi ke bagian saraf atau saraf anak. Bila pada tomografi komputer
terlihat tanda-tanda ensefalitis atau abses intrakranial, maka pasien dikonsulkan ke bagian bedah

saraf untuk dilakukan tindakan bedah otak untuk drainase dengan segera. Mastoidektomi dapat
dilakukan bersama-sama atau kemudian. Bila bagian bedah saraf tidak melakukan bedah segera,
maka pengobatan dilanjutkan sampai 2 minggu, kemudian dikonsulkan kembali ke bagian bedah
saraf. Mastoidektomi dilakukan sebelum atau sesudah bedah saraf melakukan operasi otak. Bila
pada saat itu keadaan umum pasien buruk atau suhu tinggi, maka mastoidektomi dilakukan
dengan analgesia lokal.
Bila pada tomografi komputer tidak terlihat abses otak dan keadaan umum pasien baik,
maka segera lakukan mastoidektomi dengan analgesia umum atau analgesia lokal. Bila keadaan
umum pasien buruk atau suhu tetap tinggi, maka pengobatan medikamentosa dilanjutkan sampai
2 minggu, kemudian segera dilanjutkan dengan mastoidektomi yang dilakukan dalam analgesia
lokal.
Bila pemeriksaan tomografi komputer tidak dapat dibuat, maka pengobatan
medikamentosa diteruskan sampai 2 minggu untuk kemudian dilakukan mastoiodektomi. Bila
keadaan umum pasien tetap buruk atau suhu tinggi maka mastoidektomi dilakukan dengan
analgesia lokal.
Terapi bedah idealnya dilakukan pada stadium dini komplikasi. Dalam prakteknya hal
tersebut merupakan masalah untuk menentukan saat yang optimum. Hal yang ikut menentukan
keputusan yang diambil tindakan bedah atau tidak adalah diagnosis, kondisi pasien, dan respons
pasien terhadap pengobatan antibiotika. Rangsangan yang kontinu dari kolesteatoma di mastoid
dapat menyebabkan meningitis berulang atau progresivitas abses otak. Oleh sebab itu, kontrol
terhadap penyakit primernya merupakan suatu keharusan untuk penyembuhan yang lengkap.
Seringkali drainase empiema subdura atau abses otak harus didahulukan, tetapi mastoidektomi
harus segera dilakukan setelah kondisi pasien mengizinkan.
Pendekatan bedah mastoidektomi harus dapat menjamin eradikasi seluruh jaringan
patologik di mastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi modifikasi radikal, walaupun
kadang-kadang mastoidektomi simpel yang baik dapat dipakai. Tujuan operasi ini adalah
memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang mungkin digunakan oleh invasi infeksi.
Tulang yang melapisi sinus sigmoid haris ditipiskan dan dibuang. Lempeng dura posterior pada
segitiga Trautman harus ditipiskan dan tegmen mastoid harus dikupas pada setiap kasus.
Kecurigaan terhadap penyakit dasar harus timbul dengan adanya jaringan tulang yang nekrotik
atau jaringan granulasi yang kadang-kadang diselimuti oleh eksudat purulen. Dura biasanya

tampak kuat dan biru atau kemerahan, sinus biasanya lebih biru. Permukaan dura yang tampak
meradang dan berdarah menandakan adanya infeksi. Seringkali dengan membuang lapisan
tulang yang nekrotik akan mengalirkan pus dari dalam abses ekstradura atau perisinus.
Pengobatan meningitis otogenik ini ialah dengan mengobati meningitisnya dulu dengan
antibiotik yang sesuai, kemudian infeksi di telinganya ditanggulangi dengan operasi
matoidektomi.
Meningitis diobati terutama dengan pemberian antibiotik. Kemungkinan adanya
komplikasi lain seperti abses atau tromboflebitis harus selalu dipikirkan dan harus dilakukan
operasi bila hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan. Meningitis otogenik yang berulang
sering terjadi dan pada keadaan begini harus dilakukan mastoidektomi dengan tidak
mengindahkan tipe penyakit telinganya. Pada kasus begini biasanya terdapat suatu daerah
nekrosis tulang kadang-kadang ditemukan suatu abses ekstradura.

BAB III
KESIMPULAN
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah r a d a n g k r o n i s t e l i n g a t e n g a h
d e n g a n p e r f o r a s i m e m b r a n t i m p a n i d a n riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea)
lebih dari dua bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. OMSK mempunyai potensi untuk
menjadi serius karena komplikasinya yang dapat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan
kematian. Komplikasi intrakranial dari OMSK yang paling sering ditemukan adalah meningitis.
Gejala klinis dari meningitis dijumpai adanya demam, sakit kepala, kaku kuduk, muntah,
perubahan dari status mental ataupun kesadaran menurun. Sedangkan pada otogenik dijumpai
adanya otorrhoe, otalgi, gangguan pendengaran, dan vertigo. Pengobatan meningitis otogenik ini
ialah dengan mengobati meningitisnya dulu dengan antibiotik yang sesuai, kemudian infeksi di
telinganya ditanggulangi dengan operasi matoidektomi.

DAFTAR PUSTAKA

Aboet, Askarullah. 2007. Radang Telinga Tengah Menahun dalam: Pidato Pengukuhan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher FK USU. Medan: FK-USU.
Adams GL,Boeis LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT BOEIS Edisi keenam:Anatomi dan
Fisiologi Telinga.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.1997.p; 30-38.
Braunwald, Eugene et al. 2009. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 17. Amerika
Serikat: McGraw-Hill.
Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna Restuti. 2007. Komplikasi Otitis Media Supuratif. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 6. Jakarta:
Balai Penerbit FK-UI; 78 85.
Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna Restuti. 2007. Otitis Media Supuratif Kronis. Dalam: Kelainan
Telinga Tengah, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan
Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 69 74.
Ganong, William. 2008. Pendengaran dan Keseimbangan dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC; 179 185.
Nursiah, Siti. 2003. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap Beberapa
Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: FK-USU.

Anda mungkin juga menyukai