Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1.

Definisi Perkosaan
Perkosaan merupakan bagian dari kejahatan seksual, yang berasal dari
bahasa latin yaitu rapere, yang artinya menangkap atau mengambil dengan
paksa. Kata-kata tersebut secara murni tidak memiliki konotasi seksual dan masih
dipergunakan secara luas dalam bahasa Inggris. (Araji,2000)
Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal di mana si korban dipaksa untuk
melakukan aktivitas seksual, khususnya penetrasi dengan alat kelamin, di luar
kemauannya sendiri. (McKib-bin et al., 2008)
Istilah perkosaan dapat pula digunakan dalam arti kiasan, misalnya untuk
mengacu

kepada

pelanggaran

yang

lebih

umum

seperti

perampokan,

penghancuran, penangkapan atas warga masyarakat yang terjadi pada saat


sebuah kota atau negara dilanda perang. Perkosaan sekarang dikenal sebagai
sebuah tindak kriminal perilaku penyerangan terhadap suatu anggota dari suatu
kelompok seksual oleh suatu anggota kelompok seksual lainnya. Dalam
pengertian lain, perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual.
Di dalam kebanyakan hukum tertulis, kasus tindak kriminal perkosaan jelas terjadi
apabila terdapat persetubuhan (atau terjadi penyerangan) tanpa adanya
persetujuan yang nyata dari salah satu pihak yang terlibat. Persetubuhan ini
sering diartikan sebagai penetrasi penis ke dalam anus atau vagina. Namun
bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan
atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi),
perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan.
Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. (Smith, ed., 2004)
Dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun. Pemerkosaaan tidak hanya menghilangkan keperawanan
seorang perempuan, namun telah memberi dampak besar bagi korban antaranya;
(1) pengucilan dalam keluarga, (2) pengucilan dalam masyarakat, (3) hilangnya

rasa percaya diri korban dikarenakan kesucian sebagai salah satu indentitas diri
perempuan telah hilang, dan (4) hilangnya hak dalam mengeyam pendidikan.
Dampak psikologis bagi korban sangat besar, korban depresi dan juga bisa
berakhir bunuh diri akibat beban mental yang dialami.
Pengertian pasal 285 KUHP, dimana perkosaan didefinisikan bila dilakukan
hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa
secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat
belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan
akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan. (Araji,2000)
2.
Jenis Perkosaan
a. Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam
kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau
tidak berdaya (pasal 89 KUHP). Hukuman maksimalnya adalah 12 tahun
penjara. Terdapat berbagai jenis perkosaan yang pada umumnya dikategorikan
berdasarkan hubungannya pada situasi dimana hal tersebut terjadi, jenis kelamin
atau karakteristik si korban, dan/atau jenis kelamin si pelaku. Jenis-jenis
perkosaan yang lain termasuk diantaranya adalah: perkosaan pada saat
berkencan (date rape), perkosaan yang dilakukan oleh suatu gang/kelompok
(gang rape), perkosaan dalam perkawinan (marital rape), perkosaan dibawah
umur (Statutory rape) dan lain sebagainya. Sangatlah penting untuk diketahui
bahwa hampir seluruh jenis penelitian dan kasus perkosaan yang dilaporkan
selama ini adalah terbatas pada bentuk perkosaan antara laki-laki dan
perempuan walaupun diketahui kejadian perkosaan sesama jenis juga terjadi
dan telah tertuang dalam pasal 292 KUHP, yaitu terdapat ancaman hukuman
bagi seseorang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain yang sama kelaminnya yang belum cukup umur. (Wauchope, 2005)

3.

Undang-Undang Tentang Kejahatan Seksual


2

Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh


undang-undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada bab XIV KUHP,
yaitu bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan; yang meliputi baik persetubuhan
di dalam perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan.
KUHP pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
KUHP pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah suatu hal tersebut pasal
291 dan pasal 294.
KUHP pasal 288
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin,
diancam, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling
lama delapan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
4.

Pemeriksaan dan Pembuktian dalam Kasus Perkosaan


Dalam sistem peradilan yang dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat
menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya
dua alat bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah
terjadi (pasal 183 KUHAP). Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa (pasal 184 KUHAP). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada suatu
kasus perkosaan dan kejahatan seksual lainnya perlu diperjelas keterkaitan
antara:

1)
2)
3)
4)
5.

Bukti-bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara,


Pada tubuh atau pakaian korban,
Pada tubuh atau pakaian pelaku dan
Pada alat yang digunakan pada kejahatan ini (yaitu penis).
Kendala Pembuktian dalam Kasus Perkosaan
Keterkaitan antara berbagai faktor inilah yang seringkali dijabarkan dalam
prisma (segiempat) bukti dan merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan
keyakinan hakim. Pada banyak kasus perkosaan keterkaitan empat faktor ini tidak
jelas atau tidak dapat ditemukan sehingga mengakibatkan tidak timbul keyakinan
pada hakim yang bermanifestasi dalam bentuk suatu hukuman yang ringan dan
sekadarnya. Beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya hal ini adalah
hal-hal sebagai berikut: (Araji,2000)

a. Masalah keutuhan barang bukti.


Seorang korban perkosaan setelah kejadian yang memalukan tersebut
umumnya akan merasa jijik dan segera mandi atau mencuci dirinya bersihbersih. Seprei yang mengandung bercak mani atau darah seringkali telah dicuci
dan diganti dengan seprei yang baru sebelum penyidik tiba di TKP. Lantai yang
mungkin mengandung benda bukti telah disapu dan dipel terlebih dahulu agar
"rapi" kelihatannya bila polisi datang. Ketika korban akan dibawa ke dokter
untuk diperiksa dan berobat seringkali ia mandi dan/atau mengganti pakaiannya
4

terlebih dahulu dengan yang baru dan bersih. Hal-hal semacam ini tanpa
disadari

akan

menyebabkan

hilangnya

banyak

benda

bukti

seperti

cairan/bercak mani, rambut pelaku, darah pelaku dsb yang diperlukan untuk
pembuktian di pengadilan. Adanya kelambatan korban untuk melapor ke polisi
karena perasaan malu dan ragu-ragu juga menyebabkan hilangnya benda bukti
karena berlalunya waktu.
b. Masalah tehnis pengumpulan benda bukti
Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal
amat mempengaruhi pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan
dan kejahatan seksual lainnya penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti
yang mungkin ditinggalkan di TKP seperti adanya sidik jari, rambut, bercak
mani pada lantai, seprei atau kertas tissue di tempat sampah dsb. Tidak
dilakukannya pencarian benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan,
kurang pengalaman atau kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak
data yang penting untuk pengungkanan kasus. Pada pemeriksaan terhadap
tubuh korban cara pengambilan sampel usapan vagina yang salah juga dapat
menyebabkan hasil negatif palsu. Pada persetubuhan dengan melalui anus
(sodomi) pengambilan bahan usapan dengan kapas lidi bukan dilakukan
dengan mencolokkan lidi ke dalam liang anus saja tetapi harus dilakukan juga
pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan yang pertama yang
akan didapatkan umumnya adalah tinja dan bukan sperma. Adanya bercak
mani pada kulit, bulu kemaluan korban yang menggumpal atau pakaian korban,
adanya rambut pada sekitar bulu kemaluan korban, adanya bercak darah atau
epitel kulit pada kuku jari (jika korban sempat mencakar pelaku) adalah hal-hal
yang tak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.
c. Masalah tehnis pemeriksaan forensik dan laboratorium
Kemampuan pemeriksaan pusat pelayanan perkosaan berbeda-beda dari
satu tempat ke tempat lainnya. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan
sperma sama sekali tentu tak dapat membedakan antara robekan selaput dara
atau robekan akibat benda tumpul pada masturbasi. Klinik yang hanya
melakukan pemeriksaan sperma langsung saja tentu tak dapat membedakan
5

tidak adanya persetubuhan dengan persetubuhan dengan ejakulasi dari orang


yang tak memiliki sel sperma (pasca vasektomi atau mandul tanpa sel sperma).
Suatu klinik yang hanya melakukan pemeriksaan sperma dengan uji fosfatase
asam saja misalnya tentu hanya dapat menghasilkan kesimpulan terbatas: ini
pasti bukan sperma atau ini mungkin sperma. Tetapi jika klinik tersebut juga
melakukan pemeriksaan lain seperti uji PAN, Berberio, Florence, pewarnaan
Baechi atau Malachite green maka kesimpulan yang dapat ditariknya adalah:
pasti sperma, cairan mani tanpa sperma (pelakunya mandul tanpa sel sperma
atau sudah disterilisasi) atau pasti bukan sperma. Pemeriksaan pada kasus
perkosaan untuk pencarian pelaku dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
pada bahan rambut atau bercak cairan mani, bercak/cairan darah atau kerokan
kuku. Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan pola
permukaaan luar (kutikula) rambut, pemeriksaan golongan darah dan
pemeriksaan sidik DNA. Pemeriksaan sidik DNA yang dilakukan pada bahan
yang berasal dari usapan vagina korban bukan saja dapat mengungkapkan
pelaku perkosaan secara pasti, tetapi juga dapat mendeteksi jumlah pelaku
pada kasus perkosaan dengan banyak pelaku (salome). (Shannon,2004).
Pemeriksaan golongan darah dan sidik DNA atas bahan kerokan kuku
(jika korban sempat mencakar) juga dapat digunakan untuk mencari pelakunya.
Jika hanya pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada bahan
usapan vagina, maka bahan liur dari korban dan tersangka pelaku perlu juga
diperiksa golongan darahnya untuk menentukan golongan sekretor atau non
sekretor. Orang yang termasuk golongan sekretor (sekitar 85% dari populasi)
pada cairan tubuhnya terdapat substansi golongan darah. Kelompok orang ini
jika melakukan perkosaan akan meninggalkan cairan mani dan golongan
darahnya sekaligus pada tubuh korban. Sebaliknya orang yang termasuk
golongan non-sekretor (15% dari populasi) jika memperkosa hanya akan
meninggalkan cairan mani saja tanpa golongan darah. Dengan demikian jika
pada tubuh korban ditemukan adanya substansi golongan darah apapun, maka
yang bersangkutan tetap harus dicurigai sebagai tersangkanya. Adanya
pemeriksaan sidik DNA telah mempermudah penyimpulan karena tidak dikenal
6

adanya istilah sekretor dan non~sekretor pada pemeriksaan DNA. Dalam hal
tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka
secara konvensional leher kepala penisnya dapat diusapkan ke gelas obyek
dan diberi uap lugol. Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap
merupakan bukti bahwa penis itu baru bersentuhan' dengan vagina alias baru
bersetubuh. Laporan terakhir pada tahun 1995, menunjukkan bahwa gambaran
epitel ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti adanya epitel vagina, karena
epitel pria baik yang normal maupun yang sedang mengalami infeksi kencing
juga mempunyai epitel dengan gambaran yang sama. Pada saat ini jika
searang pria diduga baru saja bersetubuh, maka kepala dan leher penisnya
perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air cucian ini diperiksa ada tidaknya sel epitel
secara mikroskopik dan jika ada maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan DNA dengan metode PCR (polymerase chain reaction)
d. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa
Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan
dan kejahatan seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan
dokter umum. Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang
sakit, maka biasanya yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban.
Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip pengumpulan benda bukti dan cara
pemeriksaannya membuat banyak bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi
selama pemeriksaan. Umumnya dokter kebidanan hanya memeriksa ada
tidaknya luka di sekitar kemaluan, karena merasa hanya daerah inilah bidang
keahliannya. Akibatnya tanda kekerasan didaerah lainnya tidak terdeteksi.
Pemeriksaan toksikologi atas bahan darah atau urin untuk mendeteksi
kekerasan berupa membuat korban pingsan atau tidak berdaya dengan obatobatan umumnya tak pernah dilakukan. Pemeriksaan ada tidaknya cairan mani
biasanya hanya dilakukan dengan pemeriksaan langsung saja, sehingga
adanya cairan mani tanpa sperma tak mungkin dideteksi. Pemeriksaan kearah
pembuktian pelaku seiauh ini boleh dikatakan tak pernah dilakukan karena
masih dianggap bukan kewajiban dokter. Dengan demikian selama ini dasar
7

dari tuduhan terhadap pelaku perkosaan umumnya adal,ah hanya dari


kesaksian korban dan pengakuan tersangka saja, padahal kedua alat bukti ini
seringkali sulit dipercaya karena sifatnya yang subyektif. (Jones,1999)
e. Masalah pengetahuan aparat penegak hukum
Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus jelas arahnya agar
pengumpulan bukti menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan dalam membuat
tuduhan, misalnya akan dapat membuat tersangka menjadi bebas sama sekali.
Jika penyidik, jaksa serta hakim hanya menganggap perlu mencari alat bukti
berupa pengakuan terdakwa dan mengabaikan pembuktian secara ilmiah lewat
pemeriksaan medis dan kesaksian ahli maka tentunya pembuktian dilakukan
seadanya.
6.

Kriteria Diagnostik
Yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan pada kasus perkosaan
adalah

setiap

pemeriksaan

yang

dimaksudkan

untuk

pengadilan

harus

berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik berwenang. Korban pada kasus ini
sebaiknya harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan barang bukti.
Kalau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, maka
sebaiknya pemeriksaan tidak dilakukan, dan sebaiknya korban disuruh kembali
kepada polisi. (Jay, 2004)
Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang
didapatkan pada tubuh korban pada waktu permintaan Visum et Repertum
diterima oleh dokter. Ijin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban
sendiri atau jika korban adalah anak-anak, maka ijin dapat diminta pada orang tua
atau walinya. Selain itu dalam pemeriksaan sesorang dokter harus didampingi
seorang perawat atau bidan, dan sebaiknya pemeriksaan dilakukan secepat
mungkin tanpa penundaan lagi untuk menghindari perasaan cemas si korban
sendiri. Visum et Repertum sebaiknya diselesaikan secepat mungkin, karena
dengan adanya Visum et Repertum maka perkara akan dapat cepat diselesaikan.
Dalam laporan perkosaan yang diharapkan dari dokter adalah: (Shannon,2004).
a. Menentukan adanya bukti persetubuhan
8

Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke


dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan
atau tanpa disertai ejakulasi. Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian
persetubuhan dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya:
Besarnya penis dan derajat penetrasinya
Bentuk dan elastisitas hymen

Bentuk Hymen

Keterangan
Hymen

Bentuk Hymen

Keterangan
Hymen

anular

cribriform

dimana

yang jarang,

lubang

dikarakteristikk

hymen

an oleh

berbentuk

beberapa

cincin.

lubang kecil.

Ketika
hymen
mulai robek
(akibat
hubungan
seksual atau
aktivitas
lain), maka
lubang
tersebut
tidak
berbentuk
cincin lagi.

Hymen

Hymen

crescentic

denticular

atau lunar

yang jarang,

berbentuk

berbentuk

bulan sabit.

seperti satu set


gigi yang
mengelilingi

Hymen

lubang vagina.
Hymen

seorang

fimbria yang

wanita yang

jarang,

pernah

berbentuk

melakukan

ireguler,

hubungan

mengelilingi

seksual atau

lubang vagina.

masturbasi
beberapa
kali
Hymen

Hymen

seorang

labialis yang

wanita yang

terlihat seperti

hanya

bibir vulva.

pernah
melakukan
aktivitas
seksual
sedikit atau
pernah
kemasukan
benda.

10

Vulva dari

Hymen

seorang

mikroperforat

wanita yang

us dengan

pernah

lubang sempit

melahirkan.

pada hymen

Hymen

sehingga

secara

memerlukan

lengkap

operasi

hilang atau
hampir
hilang
seluruhnya.
Satu dari

Hymen

2000 anak

bifenestratus

perempuan

atau bersepta

dilahirkan

yang jarang

dengan

sekali oleh

hymen

karena ada

imperforate

jembatan yang

menyeberangi
lubang vagina.

Hymen yang
jarang,
hymen
subsepta,
mirip
dengan
hymen
bersepta,
hanya septa
tidak
menyeberan
11

gi seluruh
lubang
vagina.

1. Gambar Hymen belum robek.

2. Hymen yang mengalami sedikit perubahan ( robek sedikit) karena kecelakaan,


terkena benda keras, jatuh, masturbasi, dll

3. Hymen yang sudah robek


12

4. Hymen Yang Sudah Pernah Melahirkan.

Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri


Posisi persetubuhan
Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan
Dengan demikian, tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat

dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya


robekan pada hymen hanya merupakan adanya suatu benda (penis atau benda
lain), yang masuk ke dalam vagina.

13

Gambar 1. Robekan hymen dengan dugaan kekerasan seksual


Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan
ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang
vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak
mengandung sperma maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut. Komponen yang
terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah enzim asam fosfatase,
kholin, dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kholin, maupun spermin bila
dibandingkan dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendah oleh karena
ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase
masih dapat diandalkan, oleh karena kadar asam fosfatase yang terdapat
dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri), jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan asam fosfatase yang berada dalam kelenjar prostat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin
dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat
secara pasti pula menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan;
maksimal dokter dapat mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya
tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan:
pertama, memang tidak ada persetubuhan dan kedua persetubuhan ada tetapi
tanda-tandanya tidak dapat ditemukan. (Jay,2004)
14

Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan


saat terjadinya persetubuhan, harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah
alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan. Sperma di dalam vagina
masih dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam post-coital, sperma masih dapat
ditemukan tidak bergerak sampai 24-36 jam post-coital, dan bila wanitanya
masih akan dapat ditemukan sampai 7-8 hari. Perkiraan saat terjadinya
persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan dari selaput
dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut akan tercapai dalam
waktu 7-10 hari post-coital. Hal lain yang dapat diperiksa untuk menentukan
terjadinya persetubuhan adalah pemeriksaan adanya kehamilan dan adanya
penyakit kelamin. Terjadinya kehamilan jelas merupakan tanda adanya
persetubuhan, akan tetapi oleh karena waktu yang dibuthkan untuk itu cukup
lama, dengan demikian nilai bukti ini menjadi kurang oleh karena kemungkinan
yang menadi tersangka pelaku kejahatan menjadi bertambah, hal mana
mempersulit penyidikan dan membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk
dapat mengungkapkan kasusnya. (Araji,2000)
Terjangkitnya penyakit kelamin pada wanita hanya merupakan petunjuk
bahwa wanita itu telah mengalami persetubuhan dengan laki-laki yang
menderita penyakit kelamin sejenis. Penyakit kelamin yang masa inkubasinya
singkat lebih bermakna di dalam upaya pembuktian bila dibandingkan dengan
penyakit kelamin yang masa inkubasinya lama. Tanda-tanda persetubuhan
dengan berlangsungnya waktu akan menghilang dengan sendirinya, luka-luka
akan sembuh dan mayat akan menjadi hancur. Dengan demikian pemeriksaan
sedini mungkin merupakan keharusan, bila dari pemeriksaan diharapkan hasil
yang maksimal.Pakaian korban yang telah diganti, tubuh wanita yang telah
dibersihkan akan menyulitkan pemeriksaan oleh karena keadaannya sudah
tidak asli. (Gelb,2007)
b. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Pada KUHP pasal 285 disebutkan kata kekerasan atau ancaman
kekerasan. Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi paksaan
dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan. Seorang dokter dapat

15

menentukan apakah ada tanda-tanda kekerasan. Tetapi ia tidak dapat


menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindakan ini. Ditemukannya
tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat paksaan,
mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan
paksaan. Demikian pula jika dokter tidak menemukan tanda kekerasan, maka
hal itu belum merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya,
seorang dokter tidak dapat menentukan unsur paksaan yang terdapat pada
tindak pidana ini. Oleh karena hal ini pada bagian kesimpulan suatu visum et
repertum hanya dituliskan ada tidaknya tanda-tanda kekerasan serta jenis
kekerasan yang menyebabkan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah
korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tandatanda telah berada di bawah pengaruh alkohol, hipnotik, narkotik. Apabila ada
petunjuk bahwa alkohol, hipnotik, atau narkotik telah dipergunakan, maka
dokter perlu mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan akan keadaan pingsan atau tidak berdaya ini merupakan hal yang
penting karena sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP pasal 89 bahwa
membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan.
c. Menentukan perkiraan umur korban
Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual
seperti yang dikehendaki pasal 284 dan pasal 287 KUHP adalah merupakan
hal yang tidak mungkin dapat dilakukan. Dengan teknologi kedokteran yang
canggih pun hanya sampai pada perkiraan umur saja. Dokter perlu
menyimpulkan apakah wajah dan bentuk badan korban sesuai dengan umur
yang dikatakannya. Keadaan perkembangan payudara dan pertumbuhan
rambut kemaluan perlu dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham
belakang ke-2 sudah tumbuh atau belum; yang terjadi pada usia kira-kira 12
tahun, sedangkan gigi geraham ke- 3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau
lebih. Untuk wanita yang telah tumbuh gigi geraham 2-nya, perlu dilakukan foto
ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota geraham 3 sudah
mengalami mineralisasi (terbentuk), tapi akarnya belum maka usianya kurang
dari 15 tahun. Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau
16

menarche tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat
ini tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda.
d. Menentukan pantas atau tidak perempuan dikawini
Bila pernikahan dimaksudkan sebagai perbuatan yang suci dan baik,
dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan maka
penentuan apakah seorang wanita itu sudah atau belum waktu untuk dikawin,
semata-mata atas dasar kesiapan biologis saja (yang dapat dibuktikan oleh
ilmu kedokteran), dalam hal ini menstruasi. Bila pada wanita itu telah
mengalami menstruasi, maka sudah waktunya untuk dikawin. Bila seorang
wanita menyatakan belum pernah menstruasi, maka penentuaan ada atau
tidaknya ovulasi masih diperlukan. Muller menganjurkan agar dilakukan
observasi selama 8 minggu di rumah sakit untuk menentukan adakah selama
itu wanita tadi mendapatkan menstruasi. Untuk menentukan apakah seorang
wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum, dapat dilakukan
pemeriksaan vaginal smear.
e. Menentukan apakah korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
Dari anamnesis dokter dapat menentukan apakah perkosaan dilakukan
pada korban dalam keadaan sadar ataupun pingsan. Dari pemeriksaan tubuh
korban dapat ditentukan apakah korban diperkosa dalam keadaan tidak
berdaya.
7.

Pemeriksaan Tersangka Pelaku Pesetubuhan Melawan Hukum


Pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kejahatan kesusilaan dapat
dilakukan melalui pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratorium, setelah
sebelumnya dapat dilakukan wawancara. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan
terhadap pakaian. Perlu dicatat adanya bercak semen, darah, dll pada pakaian
tersangka. Penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Mungkin dapat
ditentukan tanda-tanda bekas kekerasan akibat perlawanan oleh korban.
(Araji,2000)
Pemeriksaan laboratorium terhadap tersangka pelaku dilakukan untuk
menentukan apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan dengan mencari
ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Bahan pemeriksaan yang

17

digunakan adalah cairan yang masih melekat di sekitar corona glandis.


Pemeriksaan dilakukan dengan cara menekankan kaca objek pada glans penis,
daerah korona, atau frenulum, kemudian diletakkan terbalik di atas cawan yang
berisi larutan lugol. Uap yodium akan mewarnai lapisan pada kaca objek tersebut.
Sitoplasma sel epitel vagina akan berwarna coklat tua karena mengandung
glikogen. Warna coklat tadi cepat hilang namun dengan meletakkan kembali
sediaan di atas cairan lugol maka warna coklat akan kembali lagi.Pada sediaan ini
dapat pula ditemukan adanya spermatozoa.

Gambar 2. Pemeriksaan laboratorium pria tersangka pelaku kejahatan seksual


8.

Pemeriksaan pada Korban Persetubuhan Melawan Hukum


Seperti

halnya

pemeriksaan

terhadap

tersangka

pelaku

kejahatan

kesusilaan, pemeriksaan terhadap korban kejahatan kesusilaan juga dapat


dilakukan melalui pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratorium yang
didahului dengan wawancara. Berbeda dengan memeriksa pasien klinik seperti
yang biasa dilakukan seorang dokter, memeriksa korban kejahatan kesusilaan
harus dilakukan dengan lebih hati-hati dan seksama mengingat tubuh korban
merupakan barang bukti dan korban mungkin mengalami gangguan psikologis
setelah apa yang dialaminya. Untuk itu terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan sebelum pemeriksaan. Hal-hal tersebut adalah: (Jay,2004)
(1) Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis
dari jaksa atau magistrat pembantu. Lazimnya yang bertindak sebagai
magistrat pembantu adalah polisi. Polisi yang berpangkat serendah-rendahnya
pembantu letnan satu berwenang mengajukan permintaan tersebut.
18

(2) Korban harus diantar oleh polisi, karena tubuh korban merupakan korpus
delikti (barang bukti).
(3) Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan
pada tubuh korban pada waktu permintaan untuk visum et repertum
diterima.Jika dokter telah memeriksa seorang yang datang ke rumah sakit,
atau di praktik atas inisiatif sendiri, bukan atas permintaan polisi, dan
beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan
visum et repertum, dokter harus menolak. Karena segala sesuatu yang
diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada permintaan untuk dibuatkan
visum et repertum, merupakan rahasia kedokteran, dan ia wajib untuk
menyimpannya.
(4) Izin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri, atau jika
korban seorang anak, dari orang tua atau walinya. Jelaskan terlebih dahulu
tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan pada pemeriksaan dan jelaskan
bahwa keterangan-keterangan yang diberikan korban dan hasil pemeriksaan
akan disampaikan kepada pengadilan.
(5) Seorang perawat mendampingi dokter sewaktu korban diperiksa.
(6) Pemeriksaan jangan ditunda terlalu lama
(7) Segala sesuatu harus dicatat, jangan mengandalkan pada ingatan.
(8) Visum et repertum diselesaikan secepat mungkin.
(9) Kadang-kadang dokter yang berpraktik pribadi diminta oleh seorang ibu atau
ayah untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia merasa ragu apakah
anaknya masih perawan, atau karena ia curiga kalau-kalau atas diri anaknya
baru terjadi persetubuhan. Dalam hal seperti itu sebaiknya ditanyakan dahulu
maksud pemeriksaan apakah karena ia ingin mengetahui saja, atau ada
maksud untuk mengadakan penuntutan. Kalau yang tersebut belakangan
yang dimaksud, sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Apabila hal-hal
yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan telah terpenuhi,
maka dokter dapat memulai pemeriksaan terhadap korban. (Jay,2004)
Pemeriksaan hendaknya dilakukan secara sistematis dan cepat agar
korban tidak terlalu lama menunggu dalam perasaan cemas. Hal-hal yang harus
ada dalam pemeriksaan korban adalah sebagai berikut: (Jay,2004)
(1) Data-data

19

Data yang perlu dicantumkan dalam bagian pendahuluan visum et repertum


adalah:
a. Polisi yang meminta pemeriksaan
b. Nama, umur, alamat, pekerjaan korban (seperti tertulis dalam surat
permintaan)
c. Nama dokter yang memeriksa, tempat, tanggal, dan pukul pemeriksaan
dilakukan
d. Nama dan pangkat petugas polisi yang mengantar korban
e. Nama perawat yang menyaksikan pemeriksaan
(2) Anamnesis
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat
dipercaya. Sebaliknya anamnsesis yang diperoleh dari korban tidak selalu
benar. Terdorong oleh berbagai maksud atau perasaan, korban mungkin
mengemukakan hal-hal yang tidak benar. Anamnesis merupakan sesuatu
yang tidak dilihat dan ditemukan oleh dokter, bukan hasil pemeriksaan objektif,
jadi seharusnya anamnesis tidak dimasukkan dalam visum et repertum.
Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan pada visum et repertum di bawah
kalimat keterangan yang diperoleh dari korban. Dalam mengambil anamnesis
dokter meminta kepada korban untuk menceritakan segala sesuatu tentang
kejadian itu. Anamnesis terdiri atas bagian yang sifatnya umum dan yang
sifatnya khusus. (Shannon,2004).
a. Umum
Umur, tanggal lahir
Status perkawinan
Haid: siklus haid, haid terakhir
Penyakit kelamin dan penyakit kandungan
Penyakit lain
Apakah pernah bersetubuh, kapan persetubuhan terakhir, apakah
menggunakan kondom.
b. Khusus
Waktu kejadian
Kalau antara kejadian dan dilaporkannya kejadian pada berwajib
terpisah beberapa hari atau minggu, orang sudah dapat mengira bahwa
peristiwa itu bukan peristiwa perkosaan, tetapi persetubuhan yang pada
dasarnya telah disetujui oleh perempuan yang bersangkutan.
20

Dimana terjadinya
Informasi ini dapat memberi petunjuk dalam pencarian trace
evidence yang berasal dari tempat kejadian.
Apakah korban melawan
Jika korban mengadakan perlawanan, pada pakaian mungkin
didapatkan robekan, dan pada tubuh korban mungkin ditemukan tandatanda kekerasan. Nail scrapping (goresan kuku) menunjukkan adanya
sel-sel epitel dan darah yang berasal dari penyerang. Pada penyerang

mungkin dapat ditemukan tanda-tanda bekas dilawan.


Apakah korban pingsan
Ada kemungkinan korban menjadi pingsan karena ketakutan, tetapi
mungkin juga korban dibuat pingsan oleh pelaku dengan pemberian
obat-obatan. Dalam hal ini pengambilan sampel urin dan darah untuk

pemeriksaan toksikologi wajib dilakukan.


Apakah telah terjadi penetrasi dan ejakulasi
Apakah setelah kejadian korban mencuci, mandi, dan mengganti
pakaian.
(3) Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan pakaian
Pakaian dalam keadaan rapi atau tidak. Helai demi helai diteliti
apakah terdapat robekan: baru atau lama, sepanjang jahitan, atau
melintang pada bahan pakaian, kancing putus, bercak darah, air mani,
lumpur, dan sebagainya, benda-benda yang menempel. Pakaian yang
mengandung trace evidence dikirim ke laboratorium kriminologi untuk
diperiksa lebih lanjut. (Shannon,2004).
b. Pemeriksaan badan
1) Umum
Lukisan rupanya (rambut, wajah) rapi atau kusut.
Keadaan emosi: tenang, sedih, gelisah, dan sebagainya.
Adakah tanda-tanda bekas hilang kesadaran atau tanda-tanda bekas

berada di bawah pengaruh alkohol, obat tidur, atau obat bius.


Apakah ada tanda-tanda needle mark, bila ada maka merupakan

indikasi untuk mengambil sampel darah dan urin.


Adakah tanda-tanda bekas kekerasan. Memar atau luka lecet pada
daerah mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian
dalam, punggung.
21

Adakah trace evidence yang menempel pada tubuh


a) Perkembangan alat seks sekunder
b) Pupil
c) Tekanan darah, kor, pulmo, abdomen, refleks
2) Khusus (pemeriksaan daerah genital)
Adakah rambut kemaluan yang melekat menjadi satu karena air
mani yang mengering. Bila ada, rambut tadi digunting untuk

diperiksa.
Adakah bercak air mani di sekitar alat kelamin. Bila ada, hapus

dengan lidi berkapas yang dibasahi larutan garam fisiologis.


Pada vulva teliti adanya tanda bekas kekerasan seperti hiperemi,

edema, memar, dan luka lecet.


Periksa jenis selaput dara, adakah ruptur atau tidak. Bila ada,
tentukan ruptur lama atau baru dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti

apakah sampai insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium.


Periksa frenulum labiorum pudendi dan comissura labiorum posterior

utuh atau tidak.


Periksa vagina

dan

spekulum

bila

keadaan

alat

genital

memungkinkan : periksa tanda-tanda adanya penyakit kelamin dan


periksa tanda-tanda kehamilan.
(4) Pemeriksaan laboratorium cairan vagina
Sebelum

dilakukan

pemeriksaan

laboratorium

perlu

dilakukan

pengambilan sampel. Sampel didapat dari cairan vagina untuk pemeriksaan


air mani dan sekret uretra untuk pemeriksaan penyakit kelamin. Cairan vagina
disedot dengan pipet Pasteur, atau diambil dengan ose. Pada anak-anak, atau
jika selaput dara utuh sebaiknya pengambilan bahan dibatasi sampai
vestibulum. (Shannon,2004).

a. Penentuan spermatozoa
Tanpa pewarnaan
Setetes cairan vagina diletakkan di atas kaca benda dan diperiksa
dengan pembesaran 500x dengan kondensor diturunkan. Perhatikan
apakah spermatozoa bergerak.Dapat diambil sebagai patokan bahwa

spermatozoa masih bergerak kira-kira 4 jam postkoital.


Dengan pewarnaan

22

Buat sediaan apus dari cairan vagina pada kaca benda, keringkan
di udara, fiksasi dengan api, warnai dengan Malachite-green 1% dalam
air, tunggu 10- 15 menit, cuci dengan air, warnai dengan eosin-yellowish
1% dalam air, tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan dan diperikasa
di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah bagian basis kepala
sperma berwarna ungu, bagian hidung berwarna merah muda.
b. Penentuan cairan mani

Reaksi asam fosfatase


Cairan mani menunjukkan aktitifitas enzim fosfatase yang tinggi,
rata-rata 2500 unit K.A., sedangkan dalam sekret vagina, setelah 8 hari
abstinensia seksualis, ditemukan 0-6 unit. Sebagai reagen digunakan
brentamin fast blue b yang dilarutkan di dalam larutan buffer yang telah
ditambah sodium a-naphtyl fosfat. Enzim asam fosfatase menghidrolisis
a-naphty fosfat; a-naphtol yang telah dibebaskan bereaksi dengan
brentamine di atas kertas saring, disemprot dengan reagen, ditentukan
dalam berapa detik warna violet timbul (reaction time). Davis dan Wilson
menyatakan bahwa bila waktu reaksi kurang dari 30 detik dapat
dianggap indikasi baik dan adanya cairan mani, jika kurang dari 65 detik
dapat dianggap sebagai indikasi cukup, tetapi masih perlu dikuatkan
dengan pemeriksaan elektroforetik. Waktu reaksi yang lebih dari 65 detik
belum dapat menyingkirkan sepenuhnya adanya cairan mani, karena
pernah ditemukan waktu reaksi yang lebih dari 65 detik, tetapi

spermatozoa ditemukan.
Tes Florence
Cairan vagina ditetesi larutan yodium. Kristal yang terbentuk
diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan tampak kristal-kristal

kholin-peryodida tampak berbentuk jarum-jarum yang berwarna coklat.


Tes Berberio
Cairan vagina ditetesi larutan asam pikrat, kemudian kristal yang
terbentuk diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah
terbentuknya kristal-kristal spermin pikrat berbentuk rhombik atau jarum

kompas yang berwarna kuning kehijauan.


Elektroimmunodifusi

23

Digunakan serum anti air mani manusia. Selain spesifik terhadap


antigen manusia, serum ini juga mengandung zat anti terhadap enzim
fosfatase. Apabila serum ini direaksikan dengan air mani akan terbentuk
enzim antibodi kompleks yang ternyata masih memiliki sifat enzimatik
dan dapat dinyatakan dengan reagen asam phospatase. Sebagai
medium digunakan plat agar yang mengandung serum anti dalam

konsentrasi kecil.
Elektroforetik
Digunakan plat akrilamide, dikembangkan dalam suatu larutan
buffer pH 3 dan dilihat di bawah sinar ultraviolet. Asam fosfatese seminal

bergerak sejauh 4 cm dan asam fosfatase vaginal sejauh 3 cm.


(5) Pemeriksaan air mani yang terdapat pada pakaian
a. Visual
Tampak sebagai bercak yang berbatas jelas dan lebih gelap dari
sekitarnya. Bercak yang sudah agak tua berwarna sedikit kekuningkuningan. Pada bahan sutera atau nilon batasnya sering tidak jelas, tetapi
selalu lebih gelap dari sekitarnya.
b. Sinar ultraviolet
Menunjukkan flouresensi putih. Apa yang menyebabkan hal ini tidak
diketahui. Cara ini kurang memuaskan. Bercak air mani pada sutera
buatan, nilon, biasanya tidak memberikan flourosensi. Bahan makanan,
urine, sekret vagina juga sering menimbulkan flourosensi.
c. Taktil
Diraba dengan jari-jari tangan terasa kaku seperti cairan kanji yang
tidak menyerap. Bila diraba permukaan bercak terasa kasar.
d. Penapisan dengan reagen asam fosfatase
Selembar kertas saring yang dibasahi dengan aqua destilata dilekatkan
di atas pakaian atau sprei yang diperiksa. Setelah 5-10 menit kertas saring
diangkat, didiamkan sampai hampir kering dan disemprot dengan reagen.
jika terbentuk bercak violet, kertas saring diletakkan kembali di atas bahan
sesuai dengan letaknya semula. Dengan demikian letak bercak mani pada
bahan dapat dilokasi.
e. Pencairan spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa yang terbesar terdapat di bagian sentral dari
bercak. Dari bagian itu diambil sebagian kecil, dipulas dengan pewarnaan
24

Baeechi. Bahan dipulas selama 2 menit, dicuci di dalam HCl 1%, dihidrasi
dalam alkohol 70%, 80%, dan 95-100%, dan dijernihkan dengan xilol.
Kemudian dikeringkan dengan meletakkannya di atas kertas saring.
Dengan jarum preparir atau jarum suntik diambil sehelai atau dua benang,
diletakkan di atas kaca mikroskopik dan diurai sampai menjadi serabutserabut. Ditutup dengan balsem Kanada dan diperiksa dengan pembesaran
500x.
9.

Pemeriksaan DNA
Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau
menemukan bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan
pada banyak lokus sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang
diciptakannya. Pola DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang
berbaris membentuk susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang
di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu,
sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama persis dengan orang lain.
Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau karban
yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa
tersangkalah yang menjadi donor sperma. Adanya kemungkinan percampuran
antara sperma pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada
proses kedua jenis DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya
kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau pelakunya memiliki saudara kembar
identik. Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya
pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe). Berbeda
dengan tehnik Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul
hanya

dua.

Penggunaan

metode

ini

pada

kasus

perkosaan

sangat

menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk membuat perkiraan jumlah


pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu. (Jones,1999)
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (Polymerase
Chain Reaction atau PCR) membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan
DNA. Dengan metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi
menjadi masalah karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali
25

lipat di dalam mesin yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan
metode ini waktu pemeriksaan juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih
spesifik pula. Pada metode ini analisis DNA dapat dilakukan dengan sistem dotblot
yang berbentuk bulatan berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita
DNA atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing.
(Jones,1999)

26

Araji, Sharon K. (2000) Review Essay: A Natural History of Rape: Biological Bases of Sexual
Coercion by Randy Thornhill and Craig T. Palmer, Cambridge, Mass.: The MIT Press,
2000, Alaska Justice Forum, http://justice.uaa.alaska.edu/forum/17/2summer2000 /
172.summer2000.pdf. diakses pada 12 Mei 2016
Gelb, Karen. (2007). Recidivism of Sex Offenders, Research Paper, Sentencing Advis ory
Council, State of Victoria. http://www.sentencingcouncil.vic.gov.au/sites/ sentencingcouncil.vic.gov.au/files/recidivism_of_sex_offenders_research_ paper.pdf , diakses
pada 10 Mei 2016
Jay, John. (2004). THEORIES AND ETIOLOGY OF CHILD SEXUAL ABUSE BY MALES, lite-rature
Review, http://www.bishop-accountability.org/reports/2004_02_27_John-Jay/LitReview/
1_3_JJ_TheoriesAnd.pdf . diakses pada 10 Mei 2016
Runtu, Johan. (2012). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA
PERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA, Lex Crimen Vol.I/No.2/Apr-Jun, http:
//ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/ download/413/329, diakses pada
12 Mei 2016
Shannon. (2004). Theories of Sexual Coercion:Evolutionary, Feminist, and Biosocial Perspectives, http://www.pandys.org/theoriescoercion.pdf, , diakses pada 10 Mei 2016

27

Anda mungkin juga menyukai