TINJAUAN PUSTAKA
1.
Definisi Perkosaan
Perkosaan merupakan bagian dari kejahatan seksual, yang berasal dari
bahasa latin yaitu rapere, yang artinya menangkap atau mengambil dengan
paksa. Kata-kata tersebut secara murni tidak memiliki konotasi seksual dan masih
dipergunakan secara luas dalam bahasa Inggris. (Araji,2000)
Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal di mana si korban dipaksa untuk
melakukan aktivitas seksual, khususnya penetrasi dengan alat kelamin, di luar
kemauannya sendiri. (McKib-bin et al., 2008)
Istilah perkosaan dapat pula digunakan dalam arti kiasan, misalnya untuk
mengacu
kepada
pelanggaran
yang
lebih
umum
seperti
perampokan,
rasa percaya diri korban dikarenakan kesucian sebagai salah satu indentitas diri
perempuan telah hilang, dan (4) hilangnya hak dalam mengeyam pendidikan.
Dampak psikologis bagi korban sangat besar, korban depresi dan juga bisa
berakhir bunuh diri akibat beban mental yang dialami.
Pengertian pasal 285 KUHP, dimana perkosaan didefinisikan bila dilakukan
hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa
secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat
belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan
akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan. (Araji,2000)
2.
Jenis Perkosaan
a. Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam
kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau
tidak berdaya (pasal 89 KUHP). Hukuman maksimalnya adalah 12 tahun
penjara. Terdapat berbagai jenis perkosaan yang pada umumnya dikategorikan
berdasarkan hubungannya pada situasi dimana hal tersebut terjadi, jenis kelamin
atau karakteristik si korban, dan/atau jenis kelamin si pelaku. Jenis-jenis
perkosaan yang lain termasuk diantaranya adalah: perkosaan pada saat
berkencan (date rape), perkosaan yang dilakukan oleh suatu gang/kelompok
(gang rape), perkosaan dalam perkawinan (marital rape), perkosaan dibawah
umur (Statutory rape) dan lain sebagainya. Sangatlah penting untuk diketahui
bahwa hampir seluruh jenis penelitian dan kasus perkosaan yang dilaporkan
selama ini adalah terbatas pada bentuk perkosaan antara laki-laki dan
perempuan walaupun diketahui kejadian perkosaan sesama jenis juga terjadi
dan telah tertuang dalam pasal 292 KUHP, yaitu terdapat ancaman hukuman
bagi seseorang yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain yang sama kelaminnya yang belum cukup umur. (Wauchope, 2005)
3.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
4.
1)
2)
3)
4)
5.
terlebih dahulu dengan yang baru dan bersih. Hal-hal semacam ini tanpa
disadari
akan
menyebabkan
hilangnya
banyak
benda
bukti
seperti
cairan/bercak mani, rambut pelaku, darah pelaku dsb yang diperlukan untuk
pembuktian di pengadilan. Adanya kelambatan korban untuk melapor ke polisi
karena perasaan malu dan ragu-ragu juga menyebabkan hilangnya benda bukti
karena berlalunya waktu.
b. Masalah tehnis pengumpulan benda bukti
Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal
amat mempengaruhi pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan
dan kejahatan seksual lainnya penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti
yang mungkin ditinggalkan di TKP seperti adanya sidik jari, rambut, bercak
mani pada lantai, seprei atau kertas tissue di tempat sampah dsb. Tidak
dilakukannya pencarian benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan,
kurang pengalaman atau kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak
data yang penting untuk pengungkanan kasus. Pada pemeriksaan terhadap
tubuh korban cara pengambilan sampel usapan vagina yang salah juga dapat
menyebabkan hasil negatif palsu. Pada persetubuhan dengan melalui anus
(sodomi) pengambilan bahan usapan dengan kapas lidi bukan dilakukan
dengan mencolokkan lidi ke dalam liang anus saja tetapi harus dilakukan juga
pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan yang pertama yang
akan didapatkan umumnya adalah tinja dan bukan sperma. Adanya bercak
mani pada kulit, bulu kemaluan korban yang menggumpal atau pakaian korban,
adanya rambut pada sekitar bulu kemaluan korban, adanya bercak darah atau
epitel kulit pada kuku jari (jika korban sempat mencakar pelaku) adalah hal-hal
yang tak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.
c. Masalah tehnis pemeriksaan forensik dan laboratorium
Kemampuan pemeriksaan pusat pelayanan perkosaan berbeda-beda dari
satu tempat ke tempat lainnya. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan
sperma sama sekali tentu tak dapat membedakan antara robekan selaput dara
atau robekan akibat benda tumpul pada masturbasi. Klinik yang hanya
melakukan pemeriksaan sperma langsung saja tentu tak dapat membedakan
5
adanya istilah sekretor dan non~sekretor pada pemeriksaan DNA. Dalam hal
tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka
secara konvensional leher kepala penisnya dapat diusapkan ke gelas obyek
dan diberi uap lugol. Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap
merupakan bukti bahwa penis itu baru bersentuhan' dengan vagina alias baru
bersetubuh. Laporan terakhir pada tahun 1995, menunjukkan bahwa gambaran
epitel ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti adanya epitel vagina, karena
epitel pria baik yang normal maupun yang sedang mengalami infeksi kencing
juga mempunyai epitel dengan gambaran yang sama. Pada saat ini jika
searang pria diduga baru saja bersetubuh, maka kepala dan leher penisnya
perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air cucian ini diperiksa ada tidaknya sel epitel
secara mikroskopik dan jika ada maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan DNA dengan metode PCR (polymerase chain reaction)
d. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa
Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan
dan kejahatan seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan
dokter umum. Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang
sakit, maka biasanya yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban.
Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip pengumpulan benda bukti dan cara
pemeriksaannya membuat banyak bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi
selama pemeriksaan. Umumnya dokter kebidanan hanya memeriksa ada
tidaknya luka di sekitar kemaluan, karena merasa hanya daerah inilah bidang
keahliannya. Akibatnya tanda kekerasan didaerah lainnya tidak terdeteksi.
Pemeriksaan toksikologi atas bahan darah atau urin untuk mendeteksi
kekerasan berupa membuat korban pingsan atau tidak berdaya dengan obatobatan umumnya tak pernah dilakukan. Pemeriksaan ada tidaknya cairan mani
biasanya hanya dilakukan dengan pemeriksaan langsung saja, sehingga
adanya cairan mani tanpa sperma tak mungkin dideteksi. Pemeriksaan kearah
pembuktian pelaku seiauh ini boleh dikatakan tak pernah dilakukan karena
masih dianggap bukan kewajiban dokter. Dengan demikian selama ini dasar
7
Kriteria Diagnostik
Yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan pada kasus perkosaan
adalah
setiap
pemeriksaan
yang
dimaksudkan
untuk
pengadilan
harus
berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik berwenang. Korban pada kasus ini
sebaiknya harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan barang bukti.
Kalau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, maka
sebaiknya pemeriksaan tidak dilakukan, dan sebaiknya korban disuruh kembali
kepada polisi. (Jay, 2004)
Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang
didapatkan pada tubuh korban pada waktu permintaan Visum et Repertum
diterima oleh dokter. Ijin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban
sendiri atau jika korban adalah anak-anak, maka ijin dapat diminta pada orang tua
atau walinya. Selain itu dalam pemeriksaan sesorang dokter harus didampingi
seorang perawat atau bidan, dan sebaiknya pemeriksaan dilakukan secepat
mungkin tanpa penundaan lagi untuk menghindari perasaan cemas si korban
sendiri. Visum et Repertum sebaiknya diselesaikan secepat mungkin, karena
dengan adanya Visum et Repertum maka perkara akan dapat cepat diselesaikan.
Dalam laporan perkosaan yang diharapkan dari dokter adalah: (Shannon,2004).
a. Menentukan adanya bukti persetubuhan
8
Bentuk Hymen
Keterangan
Hymen
Bentuk Hymen
Keterangan
Hymen
anular
cribriform
dimana
yang jarang,
lubang
dikarakteristikk
hymen
an oleh
berbentuk
beberapa
cincin.
lubang kecil.
Ketika
hymen
mulai robek
(akibat
hubungan
seksual atau
aktivitas
lain), maka
lubang
tersebut
tidak
berbentuk
cincin lagi.
Hymen
Hymen
crescentic
denticular
atau lunar
yang jarang,
berbentuk
berbentuk
bulan sabit.
Hymen
lubang vagina.
Hymen
seorang
fimbria yang
wanita yang
jarang,
pernah
berbentuk
melakukan
ireguler,
hubungan
mengelilingi
seksual atau
lubang vagina.
masturbasi
beberapa
kali
Hymen
Hymen
seorang
labialis yang
wanita yang
terlihat seperti
hanya
bibir vulva.
pernah
melakukan
aktivitas
seksual
sedikit atau
pernah
kemasukan
benda.
10
Vulva dari
Hymen
seorang
mikroperforat
wanita yang
us dengan
pernah
lubang sempit
melahirkan.
pada hymen
Hymen
sehingga
secara
memerlukan
lengkap
operasi
hilang atau
hampir
hilang
seluruhnya.
Satu dari
Hymen
2000 anak
bifenestratus
perempuan
atau bersepta
dilahirkan
yang jarang
dengan
sekali oleh
hymen
karena ada
imperforate
jembatan yang
menyeberangi
lubang vagina.
Hymen yang
jarang,
hymen
subsepta,
mirip
dengan
hymen
bersepta,
hanya septa
tidak
menyeberan
11
gi seluruh
lubang
vagina.
13
15
menarche tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat
ini tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda.
d. Menentukan pantas atau tidak perempuan dikawini
Bila pernikahan dimaksudkan sebagai perbuatan yang suci dan baik,
dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan maka
penentuan apakah seorang wanita itu sudah atau belum waktu untuk dikawin,
semata-mata atas dasar kesiapan biologis saja (yang dapat dibuktikan oleh
ilmu kedokteran), dalam hal ini menstruasi. Bila pada wanita itu telah
mengalami menstruasi, maka sudah waktunya untuk dikawin. Bila seorang
wanita menyatakan belum pernah menstruasi, maka penentuaan ada atau
tidaknya ovulasi masih diperlukan. Muller menganjurkan agar dilakukan
observasi selama 8 minggu di rumah sakit untuk menentukan adakah selama
itu wanita tadi mendapatkan menstruasi. Untuk menentukan apakah seorang
wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum, dapat dilakukan
pemeriksaan vaginal smear.
e. Menentukan apakah korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
Dari anamnesis dokter dapat menentukan apakah perkosaan dilakukan
pada korban dalam keadaan sadar ataupun pingsan. Dari pemeriksaan tubuh
korban dapat ditentukan apakah korban diperkosa dalam keadaan tidak
berdaya.
7.
17
halnya
pemeriksaan
terhadap
tersangka
pelaku
kejahatan
(2) Korban harus diantar oleh polisi, karena tubuh korban merupakan korpus
delikti (barang bukti).
(3) Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan
pada tubuh korban pada waktu permintaan untuk visum et repertum
diterima.Jika dokter telah memeriksa seorang yang datang ke rumah sakit,
atau di praktik atas inisiatif sendiri, bukan atas permintaan polisi, dan
beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan
visum et repertum, dokter harus menolak. Karena segala sesuatu yang
diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada permintaan untuk dibuatkan
visum et repertum, merupakan rahasia kedokteran, dan ia wajib untuk
menyimpannya.
(4) Izin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri, atau jika
korban seorang anak, dari orang tua atau walinya. Jelaskan terlebih dahulu
tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan pada pemeriksaan dan jelaskan
bahwa keterangan-keterangan yang diberikan korban dan hasil pemeriksaan
akan disampaikan kepada pengadilan.
(5) Seorang perawat mendampingi dokter sewaktu korban diperiksa.
(6) Pemeriksaan jangan ditunda terlalu lama
(7) Segala sesuatu harus dicatat, jangan mengandalkan pada ingatan.
(8) Visum et repertum diselesaikan secepat mungkin.
(9) Kadang-kadang dokter yang berpraktik pribadi diminta oleh seorang ibu atau
ayah untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia merasa ragu apakah
anaknya masih perawan, atau karena ia curiga kalau-kalau atas diri anaknya
baru terjadi persetubuhan. Dalam hal seperti itu sebaiknya ditanyakan dahulu
maksud pemeriksaan apakah karena ia ingin mengetahui saja, atau ada
maksud untuk mengadakan penuntutan. Kalau yang tersebut belakangan
yang dimaksud, sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Apabila hal-hal
yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan telah terpenuhi,
maka dokter dapat memulai pemeriksaan terhadap korban. (Jay,2004)
Pemeriksaan hendaknya dilakukan secara sistematis dan cepat agar
korban tidak terlalu lama menunggu dalam perasaan cemas. Hal-hal yang harus
ada dalam pemeriksaan korban adalah sebagai berikut: (Jay,2004)
(1) Data-data
19
Dimana terjadinya
Informasi ini dapat memberi petunjuk dalam pencarian trace
evidence yang berasal dari tempat kejadian.
Apakah korban melawan
Jika korban mengadakan perlawanan, pada pakaian mungkin
didapatkan robekan, dan pada tubuh korban mungkin ditemukan tandatanda kekerasan. Nail scrapping (goresan kuku) menunjukkan adanya
sel-sel epitel dan darah yang berasal dari penyerang. Pada penyerang
diperiksa.
Adakah bercak air mani di sekitar alat kelamin. Bila ada, hapus
dan
spekulum
bila
keadaan
alat
genital
dilakukan
pemeriksaan
laboratorium
perlu
dilakukan
a. Penentuan spermatozoa
Tanpa pewarnaan
Setetes cairan vagina diletakkan di atas kaca benda dan diperiksa
dengan pembesaran 500x dengan kondensor diturunkan. Perhatikan
apakah spermatozoa bergerak.Dapat diambil sebagai patokan bahwa
22
Buat sediaan apus dari cairan vagina pada kaca benda, keringkan
di udara, fiksasi dengan api, warnai dengan Malachite-green 1% dalam
air, tunggu 10- 15 menit, cuci dengan air, warnai dengan eosin-yellowish
1% dalam air, tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan dan diperikasa
di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah bagian basis kepala
sperma berwarna ungu, bagian hidung berwarna merah muda.
b. Penentuan cairan mani
spermatozoa ditemukan.
Tes Florence
Cairan vagina ditetesi larutan yodium. Kristal yang terbentuk
diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan tampak kristal-kristal
23
konsentrasi kecil.
Elektroforetik
Digunakan plat akrilamide, dikembangkan dalam suatu larutan
buffer pH 3 dan dilihat di bawah sinar ultraviolet. Asam fosfatese seminal
Baeechi. Bahan dipulas selama 2 menit, dicuci di dalam HCl 1%, dihidrasi
dalam alkohol 70%, 80%, dan 95-100%, dan dijernihkan dengan xilol.
Kemudian dikeringkan dengan meletakkannya di atas kertas saring.
Dengan jarum preparir atau jarum suntik diambil sehelai atau dua benang,
diletakkan di atas kaca mikroskopik dan diurai sampai menjadi serabutserabut. Ditutup dengan balsem Kanada dan diperiksa dengan pembesaran
500x.
9.
Pemeriksaan DNA
Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau
menemukan bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan
pada banyak lokus sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang
diciptakannya. Pola DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang
berbaris membentuk susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang
di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu,
sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama persis dengan orang lain.
Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau karban
yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa
tersangkalah yang menjadi donor sperma. Adanya kemungkinan percampuran
antara sperma pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada
proses kedua jenis DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya
kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau pelakunya memiliki saudara kembar
identik. Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya
pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe). Berbeda
dengan tehnik Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul
hanya
dua.
Penggunaan
metode
ini
pada
kasus
perkosaan
sangat
lipat di dalam mesin yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan
metode ini waktu pemeriksaan juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih
spesifik pula. Pada metode ini analisis DNA dapat dilakukan dengan sistem dotblot
yang berbentuk bulatan berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita
DNA atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing.
(Jones,1999)
26
Araji, Sharon K. (2000) Review Essay: A Natural History of Rape: Biological Bases of Sexual
Coercion by Randy Thornhill and Craig T. Palmer, Cambridge, Mass.: The MIT Press,
2000, Alaska Justice Forum, http://justice.uaa.alaska.edu/forum/17/2summer2000 /
172.summer2000.pdf. diakses pada 12 Mei 2016
Gelb, Karen. (2007). Recidivism of Sex Offenders, Research Paper, Sentencing Advis ory
Council, State of Victoria. http://www.sentencingcouncil.vic.gov.au/sites/ sentencingcouncil.vic.gov.au/files/recidivism_of_sex_offenders_research_ paper.pdf , diakses
pada 10 Mei 2016
Jay, John. (2004). THEORIES AND ETIOLOGY OF CHILD SEXUAL ABUSE BY MALES, lite-rature
Review, http://www.bishop-accountability.org/reports/2004_02_27_John-Jay/LitReview/
1_3_JJ_TheoriesAnd.pdf . diakses pada 10 Mei 2016
Runtu, Johan. (2012). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA
PERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA, Lex Crimen Vol.I/No.2/Apr-Jun, http:
//ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/ download/413/329, diakses pada
12 Mei 2016
Shannon. (2004). Theories of Sexual Coercion:Evolutionary, Feminist, and Biosocial Perspectives, http://www.pandys.org/theoriescoercion.pdf, , diakses pada 10 Mei 2016
27