Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Mata berair (epifora) sering kali menyolok pada konjungtivitis. Sekresi air
mata diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi terbakar atau tergores, atau
oleh rasa gatalnya. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh-pembuluh yang
hiperemik dan menambah jumlah air mata tersebut. Kurangnya sekresi air mata yang
abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sika (Vaughan, 2008).
Iritasi mata akibat kelainan di permukaan mata memberikan rasa tidak
nyaman yang superfisial. Gatal , sebagai gejala primer, sering kali merupakan tanda
adanya alergi. Rasa kering, perih, berpasir, dan sensasi benda-asing yang ringan dapat
terjadi pada mata kering atau jenis iritasi kornea ringan lainnya. Juga terdapat mata
berair, refleks berair mata mendadak umumnya disebabkan oleh iritasi di permukaan
mata. Tapi mata berair yang kronik dan epifora ( air mata mengalir turun dari pipi)
mungkin menunjukkan drainase lakrimal yang tidak normal (Vaughan, 2008).
Pada bayi dibawah satu tahun sering dijumpai mata lebih banyak berair tanpa
disertai mata merah yang disebabkan karena sistem aliran air mata yang belum
terbentuk sempurna (dakriostenosis) dan terjadi sumbatan kelenjar air mata oleh
penyebab yang tidak jelas. Umumnya keadaan ini menghilang sendiri atau dibantu
dengan pijatan halus pada daerah saluran air mata. Konsultasi segera ke dokter jika
mata terus menerus berair meski tanpa tanda infeksi karena tidak ditangani segera
dapat terjadi infeksi sekunder serius yang membutuhkan tindakan pembedahan. Bila
bayi sudah berusia 6-8 bulan, dan mata masih terus menerus berair, maka perlu
dilakukan tindakan pembedahan (Arifianto, 2012).
1

Riwayat penyakit adalah aspek terpenting untuk mengevaluasi pasien dengan


gejala epifora. Riwayat yang lengkap dapat melokalisasi penyebab epifora secara
mudah dan lebih efisien untuk menentukan tes evaluasi apa yang diperlukan
selanjutnya (Cohen AJ, 2006).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Lakrimasi


Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular, dan
drainase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas salah satu
saja dari keempat proses ini dapat menyebabkan mata kering (Kanski et al, 2011).
2.1.1. Aparatus Lakrimalis
Aparatus atau sistem lakrimalis terdiri dari aparatus sekretori dan aparatus
ekskretori (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004; AAO, 2007), yaitu :
1. Aparatus Sekretorius Lakrimalis.
Aparatus sekretorius lakrimalis terdiri dari kelenjar lakrimal utama, kelenjar
lakrimal assesoris (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra
(kelenjar Meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistem
sekresi terdiri dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah
sekresi air mata tanpa ada stimulus dari luar sedangkan refleks sekresi terjadi
hanya bila ada rangsangan eksternal (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004;
AAO, 2007).
2. Aparatus Ekskretorius Lakrimalis.
Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan
penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi
(Sullivan, 2004). Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus
3

kemudian bermuara di sakus lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang,


kanalikulus superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus
komunis sebeum ditampung dalam sakus lakrimalis. Di kanalikulus, terdapat
katup Rosenmuller yang berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata.
Setelah ditampung di sakus lakrimalis, air mata akan diekskresikan melalui
duktus nasolakrimalis sepanjang 12-18 mm ke bagian akhir di meatus inferior.
Disini juga terdapat katup Hasner untuk mencegah aliran balik (Sullivan et al,
2004; AOA, 2007).

Gambar 1. Anatomi Sistem Lakrimalis (Wagner et al, 2006)

2.1.2 Dinamika Sekresi Air Mata


Distribusi volume air mata pada permukaan okular umumnya sekitar 6-7 L
yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni (Sullivan, 2002) :
1. Mengisi sakus konjungtiva sebanyak 3-4 L.
2. Melalui proses berkedip sebanyak 1 L akan membentuk tear film dengan
tebal 6-10 m dan luas 260 mm.
3. Sisanya sebanyak 2-3 L akan membentuk tear meniscus seluas 29 mm
dengan jari-jari 0,24 mm (Yokoi et al, 2004). Tear film digabungkan dari tear
meniscus atas dan bawah saat berkedip.
Tear film berada dalam keadaan paling tebal saat segera setelah mengedip dan
berada dalam keadaan paling tipis saat kelopak mata terbuka. Dalam penelitian
mereka, angka perubahan ketebalan ini menunjukkan nilai yang sama dengan
kelompok yang disuruh melambatkan kedipan matanya. Mereka menyimpulkan hal
ini disebabkan oleh refleks berair yang segera (Palakuru et al, 2007).

2.1.3. Mekanisme Distribusi Air Mata


Mengedip berperan dalam produksi, distribusi dan drainase air mata (Palakuru
et al, 2007). Berbagai macam teori mengenai mekanisme distribusi air mata (AAO,
2007). Menurut teori Doane (1980), setiap berkedip, palpebra menutup mirip
retsleting dan menyebarkan air mata mulai dari lateral. Air mata yang berlebih
memenuhi sakus konjungtiva kemudian bergerak ke medial untuk memasuki sistem
ekskresi (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004). Sewaktu kelopak mata mulai
membuka, aparatus ekskretori sudah terisi air mata dari kedipan mata sebelumnya.
5

Saat kelopak mata atas turun, punkta akan ikut menyempit dan oklusi punkta akan
terjadi setelah kelopak mata atas telah turun setengah bagian . Kontraksi otot
orbikularis okuli untuk menutup sempurna kelopak mata akan menimbulkan tekanan
menekan dan mendorong seluruh air mata melewati kanalikuli, sakus lakrimalis,
duktus nasolakrimalis dan meatus inferior. Kanalikuli akan memendek dan
menyempit serta sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis akan tampak seperti
memeras. Kemudian setelah dua per tiga bagian kelopak mata akan berangsur-angsur
terbuka, punkta yang teroklusi akan melebar. Fase pengisian akan berlangsung
sampai kelopak mata terbuka seluruhnya dan siklus terulang kembali. Tear film
dibentuk kembali dari kedipan mata setiap 3-6 detik. Saat kelopak mata terbuka,
lapisan lemak ikut terangkat (Khurana, 2007).

2.1.4 Sekresi Air Mata


Air mata terus disekresikan sepanjang hari oleh kelenjar lakrimal asesori
(sekresi basal) dan utama (reflek sekresi). Refleks sekresi dalam menanggapi sensasi
dari kornea dan konjungtiva, mungkin dihasilkan oleh penguapan dan break-up dari
film air mata. Hiperlakrimasi terjadi karena sensasi iritasi dari kornea dan
konjungtiva. Jalur aferen sekresi ini dibentuk oleh saraf kelima dan eferen oleh
parasimpatis (secretomotor) pasokan kelenjar lakrimal (Khurana, 2007).

2.1.5 Mekanisme Pembuangan Air Mata


Air mata mengalir ke bawah dan secara medial melalui permukaan bola mata
untuk mencapai forniks bawah dan kemudian melalui lacus lacrimalis di canthus
6

bagian dalam. Dari mana mereka dialirkan oleh saluran-saluran lakrimalis ke dalam
rongga hidung. Hal ini disebabkan oleh mekanisme pompa lakrimal aktif yang
dibentuk oleh serat-serat orbikularis (terutama Horners muscle) yang kemudian
masuk pada sakus lakrimalis. Ketika kelopak mata menutup selama berkedip,
kontraksi serat-serat ini menyebabkan distensi fundus sakus, menciptakan dalamnya
tekanan negatif yang menyapu air mata melalui punctum dan canaliculi ke dalam
kantung. Ketika kelopak mata terbuka, otot Horner rileks, kantung lakrimal kolaps
dan terbentuk sebuah tekanan positif yang memaksa air mata turun ke duktus
nasolakrimalis ke dalam hidung. Oleh karena itu, pada atonia kantung lakrimalis, air
mata tidak dialirkan melalui saluran lakrimal, meskipun pada anatomi yang paten;
mengakibatkan epifora (Khurana, 2007).

Gambar 2. Eliminasi air mata oleh mekanisme pompa lakrimalis (Khurana, 2007).

2.2 Komposisi Air Mata


Air mata merupakan salah satu proteksi mata atau daya pertahanan mata
disamping tulang rongga mata, alis dan bulu mata, kelopak mata, refleks mengedip
dan adanya sel-sel pada permukaan kornea dan konjungtiva (AAO, 2009).

Sebagai salah satu alat proteksi, air mata berfungsi : (1) mempertahankan integritas
kornea dan konjungtiva dengan meniadakan ketidakteraturan pada sel epitel
permukaan guna mempertahankan permukaan kornea agar tetap licin dan rata. Fungsi
ini memperbaiki penglihatan terutama pada saat setelah mengedip; (2) membasahi
dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut atau lubrikasi
agar gerakan bola mata serta mengedip terasa nyaman dan membersihkan kotoran
yang masuk mata; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mencegah
kemungkinan

infeksi

karena

mengandung

antibakteri

termasuk

laktoferin,

imunoglobulin, lisozim dan lipokalin; (4) memberi kornea substansi nutrien, dan
sebagai media transport produk mikroorganisme ke dan dari sel-sel epitel kornea dan
konjungtiva terutama oksigen dan karbondioksida (AAO, 2009).
Lapisan air mata terdiri atas tiga lapisan. Lapisan superfisial adalah lapisan lipid,
dengan ketebalan kurang lebih 0,1 m yang berasal dari kelenjar Meibom. Lapisan
ini berfungsi menghambat penguapan air dan merupakan sawar kedap bila palpebra
ditutup. Disfungsi kelenjar Meibom dapat menyebabkan lapisan air mata tidak stabil
dan berakibat terjadi gangguan permukaan kornea dan konjungtiva (AAO,2009).
Lapisan tengah adalah lapisan akuos dengan ketebalan kurang lebih 7 m
dihasilkan oleh kelenjar lakrimal utama, yang terletak pada orbita serta kelenjar
lakrimal asesorius Kraus dan Wolfring pada konjungtiva. Lapisan akuos
mentransportasikan nutrien-nutrien yang larut dalam air; defisiensi lapisan akuos,
yang dapat terjadi bersamaan dengan disfungsi kelenjar Meibom merupakan
penyebab paling sering terjadinya dry eye (AAO, 2009).
Lapisan paling dalam adalah lapisan musin dengan ketebalan 20-50 nm yang
8

dihasilkan oleh sel goblet konjungtiva dan sel epitel permukaan. Lapisan ini terdiri
atas glikoprotein yang melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel
epitel terdiri atas lipoprotein sehingga relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian
tidak dapat dibasahi dengan larutan berair saja. Musin diabsorbsi sebagian pada
membran sel epitel kornea dan tertambat oleh mikrofili sel-sel epitel permukaan. Ini
menyebabkan permukaan menjadi hidrofilik agar airmata menyebar ke bagian yang
dibasahinya dengan menurunkan tegangan permukaan. Lapisan musin juga berfungsi
memerangkap berbagai faktor pertumbuhan, leukosit dan sitokin (AAO, 2009).
PH air mata normal adalah berkisar 7.2, dengan osmolaritas sebesar 302 mOsm/L,
dan indeks refraksi sebesar 1,336 (AAO, 2009).

2.3 Epifora
2.3.1 Definisi dan Etiologi Epifora
Epifora didefinisikan sebagai tanda luapan air mata, dan dapat disebabkan
oleh hal-hal berikut: (Kanski, 2011)
1 Hipersekresi sekunder disertai peradangan okuler atau penyakit pada permukaan
mata. Dalam kasus ini epifora dikaitkan dengan gejala yang mendasari penyebab dan
pengobatan biasanya bersifat medis.
2 Kelainan drainase akibat kompromi sistem drainase lakrimal. Hal ini cenderung
diperburuk oleh suasana dingin dan berangin, dan paling jelas di ruang yang hangat
dan kering. Ini mungkin disebabkan oleh:
a) Malposisi dari puncta lakrimal (misalnya ektropion sekunder).

b) Obstruksi sepanjang sistem drainase lakrimal, dari puncta ke saluran


nasolakrimalis.
c) kegagalan pompa lacrimal, yang dapat terjadi secara sekunder pada
kelemahan kelopak mata bagian bawah atau kelemahan otot orbicularis
(misalnya kelumpuhan saraf wajah).
2.3.2 Diagnosa
EPIPHORA

UNILATERAL

BILATERAL

UJI MATA
NORMAL

OBSTRUKSI
DUKTUS
NASOLAKRIMALIS
KARENA PENYEBAB
KONGENITAL,
NEOPLASMA CALCULUS,
DACRYOSISTITIS
TRAUMA

UJI MATA
ABNORMAL

MASALAH
PADA
BOLA MATA

OBAT PSIKOGENIK

MASALAH
PADA
KELOPAK

KONJUNGTIVITIS ECTROPION,
KRONIS, BENDA ENTROPION,
ASING, ULKUS
BELLS PALSY
KORNEA
( Collins RD, 2013)

2.3.3 Penyebab Hiperlakrimasi


1. Hiperlakrimasi Primer. Ini adalah kondisi yang jarang terjadi karena stimulasi
langsung kelenjar lakrimalis. Hal ini dapat terjadi pada tahap awal tumor kelenjar
lakrimal dan kista dan karena pengaruh obat parasimpatomimetik yang kuat.

10

2. Reflex hyperlacrimation. Ini hasil dari stimulasi cabang sensorik saraf kelima
akibat iritasi kornea atau konjungtiva. Ini dapat terjadi pada banyak kondisi yang
meliputi:

Pengaruh pada kelopak: stye, hordeolum internum, meibomitis akut, trichiasis,

concretions dan entropion.


Pengaruh pada konjungtiva: konjungtivitis yang mungkin bersifat infektif,

alergika, toksik, iritasi atau traumatis.


Pengaruh pada kornea: Ini termasuk, abrasi kornea, ulkus kornea dan keratitis

non-ulseratif.
Pengaruh pada sklera: Episkleritis dan skleritis.
Pengaruh pada uveal: Iritis, siklitis, iridosiklitis.
Glaukoma akut.
Endophthalmitis dan panophthalmitis.
Selulitis orbita.

3. Sentral lakrimasi (psychical lacrimation). Daerah yang tepat berkaitan dengan


lakrimasi pusat masih tidak diketahui. Hal ini terlihat dalam status emosional,
voluntary lacrimation dan hysterical lacrimation (Khurana,2007).

2.4 Evaluasi
1.Tear film break-up time
Tear film break up time (BUT) adalah indeks dari stabilitas lapisan airmata pre
korneal. Diukur sebagai berikut :
a)Fluorescein diteteskan pada forniks inferior
b)Pasien diinstruksikan untuk berkedip beberapa kali kemudian berhenti
c)Lapisan airmata diperiksa dengan cahaya yang luas dan cobalt blue filter.

11

Setelah interval beberapa waktu, titik-titik atau garis-garis hitam yang


mengindikasikan daerah dry eye akan timbul. BUT merupakan interval antara
kedipan terakhir dengan munculnya dry spot pertama yang terdistribusi secara acak.
BUT yang kurang dari 10 detik adalah abnormal (AAO, 2009).

2. Uji Rose Bengal


Pewarnaan ini memiliki afinitas terhadap sel epitel yang telah mati dan mukus. Rose
bengal mewarnai konjungtiva bulbi yang terpapar, menghasilkan pola pewarnaan
yang khas dari dua buah segitiga dengan dasarnya di limbus. Filamen-filamen dan
plak pada kornea juga tampak lebih jelas dengan pewarnaan ini. Satu kekurangan dari
pewarnaan dengan rose bengal ini adalah dapat menyebabkan iritasi okular yang
dapat bertahan selama satu hari, khususnya pada dry eye yang berat. Untuk
meminimalisasi iritasi yang dapat terjadi diberikan hanya satu tetes kecil saja, namun
penggunaan anastesi topikal tidak diberikan oleh karena dapat memberikan hasil
positif palsu (AAO, 2009).

3.Tes Schirmer
Tes Schirmer dilakukan dengan meletakkan kertas strip tipis pada kuldesak inferior.
Jumlah pembasahan dapat diukur untuk mengetahui jumlah produksi akuos. Terdapat
berbagai macam cara melakukan tes Schirmer. Tes sekresi basal (Basal secretion test)
dilakukan setelah diteteskan anastetik topikal. Kertas strip tipis (lebar 5 mm, panjang
35 mm) diletakkan pada pertemuan antara pertengahan dan 1/3 lateral palpebra
inferior untuk meminimalisasi iritasi pada kornea selama tes berlangsung. Tes ini
12

dapat dilakukan dengan mata tertutup ataupun terbuka, meskipun beberapa ahli
merekomendasikan dengan mata yang tertutup untuk membatasi efek dari berkedip.
Meskipun pengukuran normal cukup bervariasi, pemeriksaan yang telah diulang
dengan hasil pembasahan 5 mm dengan anastesi, dapat merupakan sugesti yang
besar terhadap defisiensi lapisan akuos, sedangkan 5-10 mm masih meragukan
(AAO, 2009).
Tes Schirmer I, dimana cara pemeriksaannya serupa dengan tes sekresi basal
namun dilakukan tanpa anastetik topikal, mengukur keduanya baik basal sekresi dan
refleks sekresi dikombinasikan. Pembasahan 10 mm setelah 5 menit merupakan
diagnostik untuk defisiensi lapisan akuos. Tes Schirmer II yang mengukur refleks
sekresi, dilakukan dengan cara yang serupa tanpa anastetik topikal. Namun setelah
kertas filter diletakkan pada forniks inferior, aplikator dengan ujung kapas digunakan
untuk mengiritasi mukosa nasal. Pembasahan 15 mm setelah 5 menit konsisten
dengan adanya defek pada reflex sekresi (AAO, 2009).

13

4.Tear Meniscus
Dilakukan dengan inspeksi tinggi tear meniscus antara bola mata dengan kelopak
mata bawah (normal tingginya adalah 1,0 mm dan konveks). Tear meniscus 0,3 mm
atau kurang dianggap abnormal (AAO, 2009).

5.Dakriosistografi
Tes untuk melihat struktur sistem ekskresi lakrimal yang patologik dengan kontras
pemeriksaan radiologik foto posteroanterior Caldwell atau water , untuk mengetahui
susunan anatomi sistem saluran air mata. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menggunakan bahan kontras yang dimasukkan ke dalam kantung air mata. Pada
keadaan normal, sakus lakrimal terlihat terdapat dalam orbita, duktus nasolakrimalis
dalam tulang kanal nasolakrimal yang masuk pada turbinat nasi inferior. Dalam
keadaan abnormal dapat terlihat penyumbatan, divertikulum, fistul ke dalam sinus,
adanya dakriolit dan bentuk septum nasi abnormal.
6.Tes Dye Primer-Jones Test
Tes untuk mengetahui kelainan fungsi ekskresi sistem lakrimal.Zat warna fluoresein
diteteskan pada konjungtiva, kawat dengan kapas dimasukkan pada meatus inferior.
Ditunggu 2 menit. Bila setelah 2 menit, kapas yang dikeluarkan berwarna hijau tes
bernilai positif. Tes yang positif berarti tidak ada penyumbatan duktus lakrimal dan
bila ada epifora berarti karena hipersekresi kelenjar air mata.Tes yang negatif berarti
terdapat penyumbatan yang mengakibatkan epifora.

2.5 Abnormalitas Sekresi Lakrimal dan Sistem Drainase


14

1.Obstruksi Saluran Lakrimal Kongenital


Disebabkan oleh penyumbatan membran pada katup Hasner pada bagian akhir
saluran lakrimal di hidung. Umumnya membuka spontan 4-6 minggu setelah lahir
dan membaik dalam tahun pertama kehidupan. Penanganan konservatif termasuk
observasi, massage kantung lakrimal dan antibiotik topikal untuk menekan chronic
mucoid discharge. Jika dengan konservatif tidak membaik, dilakukan probing untuk
merobek membran

yang menutup saluran nasolakrimal pada saluran keluar di

hidung.
2.Obsruksi Saluran Lakrimal Didapat
Keluhan mata berair dapat disebabkan karena hipersekresi air mata(lakrimasi) da
gangguan drainase(epifora). Lakrimasi dapat disebabkan oleh kelainan pada Sistem
Saraf Pusat, stimulasi langsung pada kelenjar lakrimal karena tumor dan keradangan,
refleks lakrimasi ( keratokonjungtivitis, abnormalitas air mata). Epifora disebabkan
karena ada hambatan pada semua titik sistem drainase saluran lakrimal misalnya
gangguan pompa lakrimal, kelemahan kelopak mata, hambatan pada meatus inferior
hidung.
a) Trauma
Trauma pada mata dapat menyebabkan kerusakan saluran air mata. Trauma
pada daerah medial menyebabkan kerusakan pada kanalis lakrimalis, fraktur
pada daerah naso-orbita bisa menyebabkan kerusakan pada sakus lakrimal
maupun duktus naso lakrimalis. Terapi awala yang baik dan tepat waktu
dengan reposisi fraktur dan jaringan lunak dengan intubasi silikon ke dalam

15

saluran

drainase

saluran

lakrimal

atau

bila

gagal,

dilakukan

dacrycystorhinostomy agar kerusakan yang terjadi tidak menetap.


b) Infeksi
1) Dacryoadenitis
Peradangan akut pada kelenjar lakrimal jarang terjadi, paling sering
terlihat pada anak-anak sebagai komplikasi mumps, virus Epstein-Bart,
campak, atau influenza dan pada orang dewasa karena gonore.
Dacryoadenitis kronis terjadi karena infiltrasi limfositik jinak, limfoma,
leukemia, atau TB. Jika karena infeksi bakteri, diberi antibiotik sistemik,
jarang dilakukan pembedahan untuk drainase infeksi.
2) Kanalikulitis
Infeksi kronis pada kanalikuli lakrimalis yang disebabkan oleh
Actinomyces israelii, Candida albicans, atau spesies aspergillus. Keluhan
berupa mata agak merah dengan sedikit sekret. Punctum meninggi dan
material dapat dikeluarkan dari kanalikuli tersebut. Kuretase dan irigasi
efektik untuk mempertahankan patensi. Jika tidak diobati, akan
mengakibatkan stenosis kanalikuli.
3) Dacryocystitis
Keradangan pada sakus lakrimal yang disebabkan oleh obstruksi total
duktus naso lakrimalis yang menghambat drainasae dari sakus lakrimalis
ke hidung yang dapat menyebabkan infeksi sekunder. Dacryocystitis
biasanya disebabkan oleh Staphylococus aureus, Streptococus hemolitik,
Streptococus pneumoniae, dan jarang Candida albicans. Keluhan berupa
mata berair dan terdapat sekret purulen. Saat akut, terjadi peradangan,
bengkak, distensi sakus lakrimalis di bawah tendon kantus medial, dan
nyeri di daerah sakus lakrimalis. Saat kronis, hanya terjadi mata berair.
16

Terapi utama dengan dacryocystorhinostomy, serta diberikan antibiotik


sistemik dan topikal.
c) Neoplasma
Tumor sakus lakrimal jarang terjadi, berupa massa di atas tendon kantus
medial. Tumor paling banyak di sakus adalah Squamous cell papillomas dan
carcinomas. Pengobatan tumor jinak dengan dacryocystectomy dan tumor
ganas dengan dacryocystectomy ditambah rhinotomy lateral. Jika tumor
meluas ke tulang dan jaringan lunak orbita,

dilakukan eksenterasi

pembersihan tulang di kantus medial. Lesi limfomatous dan terapi paliatif lesi
epitel luas dengan radiasi.
(Hoesin RG, 2013)

BAB III
RINGKASAN

Epifora dapat disebabkan oleh stimulasi langsung kelenjar lakrimalis. Hal ini dapat
terjadi pada tahap awal tumor kelenjar lakrimal dan kista dan karena pengaruh obat
parasimpatomimetik yang kuat dan karena pengaruh status emosional. Stimulasi
cabang sensorik saraf kelima akibat iritasi kornea atau konjungtiva. Ini dapat terjadi
pada banyak kondisi yang meliputi:

Pengaruh pada kelopak: stye, hordeolum internum, meibomitis akut, trichiasis,

concretions dan entropion.


Pengaruh pada konjungtiva: konjungtivitis yang mungkin bersifat infektif,
alergika, toksik, iritasi atau traumatis.

17

Pengaruh pada kornea: Ini termasuk, abrasi kornea, ulkus kornea dan keratitis

non-ulseratif.
Pengaruh pada sclera: Episkleritis dan skleritis.
Pengaruh pada uveal: Iritis, cyclitis, iridocyclitis.
Glaucoma akut.
Endophthalmitis dan panophthalmitis.
Selulitis orbita.

(Khurana,2007).

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology, International Ophthalmology, Basic and
Clinical Science Course 2002-2003, Section 13, p. 135,145, 203 -- 23.
Bahar, IM 2010, Prevalensi Kebutaan Kelainan Kornea di Kabupaten Tapanuli
Selatan, Tesis, Universitas Sumatera Utara.
Chaironika, N 2011, Insidensi dan Derajat Dry Eye pada Menopause di RSU. H.
Adam Malik Medan, Tesis, Universitas Sumatera Utara.
Collins RD, 2013. Algorithmic diagnosis of symptoms and signs. A Cost Effective
th
Approach 3 ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins
Hoesin RG, Wahjudi BS H, Doemilah R, Sutjipto, 2013. Rekonstruksi Okuloplastik
dan Orbita. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press
Kanski, J.J. and B. Browling, 2011. Lacrimal Drainage System and Dry Eye
Disorders. In : Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 7th Ed.,
Philadelphia: Elsevier, 66-67: 122-123.
Khurana, AK 2007, Comprehensive Ophtalmology, 4th edition, New Age
International, New Delhi
Olver, J, Cassidy, L 2005, Ophthalmology At a Glance, Blackwell Science, USA.
Palakuru, J.R.; J. Wang and J.V. Aquavella, 2007. Effect of Blinking on Tear
Dynamics. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 48: 3032-3037.
18

Sadri, Irsad 2003, Uji Schirmer I Sebelum dan Sesudah 2 Jam Menggunakan
Komputer, Bagian Ilmu Penyakit Mata, Universitas Sumatera Utara.
Sullivan, D.A., 2004. Androgen Deficiency and Dry Eye Syndromes. Arch. Soc. Exp.
Ophthalmol. 79: 49-50.
Sullivan, D.A.; J.A. Stern; D.A. Dartt; R.M. Sullivan and B.B. Bromberg, 2002.
Lacrimal Gland Tear Film, and Dry Eye Syndrome 3. New York, Plenum Publ.
Vaughan D, Asbury T. Oftamologi Umum. Edisi ke-17. Alih bahasa: dr.Brahm
U;2008; Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta
Zubaidah, SH 2012, Pengaruh Lama Terpapar dan Jarak Monitor Komputer Terhadap
Gejala Computer Vision Syndrome Pada Pegawai Negeri Sipil di Kantor Pemerintah
Kota Medan, Tesis, Universitas Sumatera Utara.

19

Anda mungkin juga menyukai