Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.Asfiksia pada BBL
merupakan penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian BBL setiap tahun.Resusitasi
merupakan tindakan utama pada asfiksia.
Ikterus neonatorum adalah warna kuning yang terlihat pada kulit atau selaput
lendir oleh karena adanya penimbunan bilirubin di jaringan bawah kulit atau selaput
lendir sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila tidak
terkendali. Bayi dikatakan hiperbilirubinemia bila mengalami peningkatan kadar
bilirubin total >13 mg/dL. Penanganan pada bayi dengan ikterus yang fisiologis dapat
dilakukan rawat jalan, pemberian ASI/PASI yang lebih ditingkatkan dan pemberian
sinar matahari yang cukup pada bayi.Penangan hiperbilirubinemia dapat berupa terapi
sinar atau fototerapi untuk mengurangi kadar bilirubin yang ada di dalam sirkulasi.
Berikut akan dibahas laporan kasus mengenai Bayi Prematur dengan asfiksia
berat ,ikterus neonatorum, di ruangan Perinatal Resiko Tinggi (PERISTI) RSUD
Tugurejo Semarang.

BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama anak
: By. Ny W
Umur
: 0 hari / 20 mei 2016
Jenis Kelamin
: laki laki
Alamat
: Cangkiran, bonroto
Agama
: Islam
No RM
: 504944
Tgl masuk bangsal : 20 Mei 2016
Orang tua / Wali
Nama bapak : Tn. S
Nama ibu
: Ny. K
Umur
: 25 tahun
Umur
: 23 tahun
Pendidikan
: Sarjana
Pendidikan
: Sarjana
Pekerjaan
: Swasta
Pekerjaan
: Swasta
Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien dan petugas Peristi
RSUD Tugurejo pada tanggal 23 Mei 2016 jam 13.00 WIB di Ruang Peristi RSUD
Tugurejo Semarang.
1. Keluhan Utama
: Bayi biru seluruh badan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien seorang bayi perempuan usia 0 hari, datang ke IGD RSUD
Tugurejo Semarang, dirujuk dari puskesmas boja dengan asfiksia.
Bayi lahir tanggal 20 Mei 2016 (1 jam SMRS) lahir secara spontan,
ibu G1P0A0 hamil 35 minggu, keadaan bayi saat lahir yaitu air ketuban
jernih, petugas mengatakan APGAR 5-6-7, dengan berat lahir 2500 gram dan
panjang badan 42 cm.
Saat datang keadaan bayi sesak, merintih, menangis tidak kuat,
gerakan tidak aktif, dan bayi berwarna biru seluruh tubuh.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pasien riwayat penyakit dahulu belum dapat dievaluasi

4.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat tekanan darah tinggi

: disangkal

Riwayat sakit jantung dan paru

: disangkal

Riwayat Alergi (obat, makanan)

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

5. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Penderita tinggal serumah dengan kedua orang tua. Tempat tinggal di
lingkungan padat penduduk. Ventilasi serta higiene-sanitasi diakui bersih.
Biaya kesehatan memakai BPJS, kesan ekonomi cukup.
6. Data Khusus
a. Riwayat Kehamilan/Prenatal
By, Ny W adalah anak pertama dari Ny.W saat berusia 23 tahun. Ibu
rutin periksa kehamilan lebih dari 4 kali di dokter. Waktu hamil tidak
pernah sakit, mengkonsumsi obat-obatan Vitamin dan Zat Besi dari
dokter, tidak mengkonsumsi alkohol, maupun rokok. Suntik TT sebanyak
dua kali. Kehamilan 35 minggu.
b. Riwayat persalinan/natal
Lahir spontan di puskesmas, ditolong oleh bidan, lahir merintih,
menangis tidak kuat, gerakan tidak aktif, dan bayi berwarna biru seluruh
tubuh. dengan BBL 2500 gram, Panjang Badan 42 cm.
c. Riwayat Post Natal
Perdarahan post partum disangkal.
d. Riwayat Imunisasi
Usia

Imunisasi

0 bulan

1 bulan

2 bulam

3 bulan

4 bulan

9 bulan

Kesan : imunisasi dasar belum diberikan


e. Riwayat makan dan minum
Asi (+)
f. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak
Perkembangan

: belum dapat dinilai

Pertumbuhan

: BBL 2500 gram usia kehamilan 35 minggu

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 13.15 WIB di
Ruang Peristi RSUD Tugurejo Semarang
a. Keadaan Umum
Kesan Sakit
: menangis merintih, kurang aktif
b. Vital Sign
Heart rate
: 144 kali/menit
Laju Pernapasan
: 54 kali/menit
Suhu
: 36,6 oC (aksiler)
c. Status Generalis
1. Kepala
: kesan mesosefal
2. Mata
: konjungtiva anemis (-/-)
3. Hidung
: sekret (-), deformitas (-)

4. Telinga: normotia, sekret (-)


5. Mulut
: sianosis (+)
6. Kulit
: warna kulit kekuningan ikterik (+) kramer IV, lanugo (+) di
dada dan lengan,
7. Leher
: pembesaran Kelenjar limfe (-), deviasi Trakea (-), otot bantu
napas (+)

8. Thorax

Pulmo :

Sinistra

Dextra

Normochest

Normochest,

Depan
1. Inspeksi

Simetris

statis-dinamis Simetris

sinistra = dextra
diameter

AP

statis-dinamis

sinistra = dextra
<

lateral, diameter

AP

<

lateral,

retraksi suprasternal (+), retraksi suprasternal (+),


2. Palpasi

retraksi substernal (+),

retraksi substernal (+),

retraksi intercostal (+)

retraksi intercostal (+)

3. Perkusi
Pergerakan
4. Auskultasi

hemithorak Pergerakan

hemithorak

sinistra = dextra

sinistra = dextra

Tidak dilakukan pemeriksaan

Tidak dilakukan pemeriksaan

Suara dasar bronkovesikuler Suara dasar bronkovesikuler


(+), Ronki (-) , hantaran (+)

(+), Ronki (-) , hantaran (+)


5

Belakang
1. Inspeksi

Normochest
Simetris

Normochest,
statis-dinamis Simetris

sinistra = dextra

statis-dinamis

sinistra = dextra

2. Auskultasi
Suara dasar bronkovesikuler Suara dasar bronkovesikuler
(+), Wheezing (-), ronki halus (+), Wheezing (-), ronki halus
(-) hantaran (+)

ronki (-) hantaran +


Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
9. Abdomen
- Inspeksi
- Auskultasi
- Perkusi
- Palpasi

(-) hantaran (+)

Ronki (-) hantaran +

: ictus cordis tak tampak


: ictus cordis teraba
: tidak dilakukan
: bunyi jantung I dan II, reguler, bising (-)
: cembung, ikterik (+), tali pusat terawat
: Bising usus (+)
: timpani seluruh regio abdomen
: supel, hepar dan lien tidak teraba

10. Vertebrae
11. Urogenital

: Spina bifida (-), meningocele (-)


: perempuan, labium mayus belum menutupi labium
minus,

12. Anus dan rectum


13. Ekstremitas

: Anus (+)

Akral hangat

Superior
+/+

Inferior
+/+
6

Sianosis
Edema
Capillary Refill

-/-/<2 detik

-/-/<2 detik

14. Pemeriksaan khusus


a. Berat Badan Lahir
b. Usia Gestasi

: 2500
: 35 minggu

Anak perempuan usia 7 tahun


Berat Badan
: 20 kg
Tinggi Badan
: 93 cm
Status Gizi menggunakan grafik CDC
- BB / U = _20_ x 100% = 83 % (Gizi baik)
24
- TB / U = _93_ x 100% = 75 % (Perawakan pendek)
123
- BB / TB = _20_ x 100% = 142 % (obesitas)
14

Kesan : Neonatus Kurang Bulan, sesuai untuk masa kehamilan

New Ballard score

= maturitas fisik + maturitas neuromuskular


= 15 + 16 = 31 36 - 38 Minggu

Tanda

Nilai O

Nilai 1

Nilai 2

Appearace
Seluruh tubuh biruBadan
atau putih
merah kaki biru
Seluruh tubuh merah
(warna kulit)

Pulse
(Denyut Nadi)

Grimece
(Refleks)
Activity
(Tonus Otot)

A
R

Tidak ada

< 100x/menit

> 100x/menit

Tidak ada Perubahan mimik Bersin/menangis


LumpuhEkstremitas sedikit fleksi
Gerakan aktif
Ekstremitas fleksi

Respiration effort
(Usaha bernafas)

Tidak ada

Lemah

Menangis kuat

APGAR Score (20 Mei 2016) : 3 (Asfiksia Berat)


0

Frekuensi
Napas

< 60 x/menit

Retraksi

Tidak
ada Retraksi ringan
retraksi

Sianosis

Tidak
sianosis

Air Entry

Udara masuk Penurunan


udara masuk

Merintih

Tidak
merintih

60-80 x/menit

> 80 x/menit
Retraksi berat

Sianosis hilang dengan Sianosis


menetap
O2
walaupun diberi O2
ringan Tidak ada udara masuk

Dapat didengar dengan Dapat didengar tanpa


stethoscope
alat bantu

Downe Score (saat datang) : 7 (gawat napas)


9

Skor Gupte
Prematuritas
:3
Riwayat air ketuban keruh
:0
Asfiksia
:2
Partus lama
:0
Riw pemeriksaan vagina tidak bersih : 0
Ketuban Pecah Dini
:0
Total skor
:5
Kesan : Screening neonatal infeksi

Laboratorium Darah 22 Mei 2016


Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Leukosit

8,63

103/ul

Eritrosit

4,85

106/ul

Hemoglobin

16,8

g/dl

Hematokrit

49,40

RDW

15,40

MCV

101,90

MCH

34,60

Pcg

MCHC

34,0

g/dl

Trombosit

173

103/ul

17 ()

mg/dl

Glukosa Sewaktu

10

Elektrolit darah

Hasil

Satuan

Kalium

8,38 ()

mmol/L

Natrium

136,5

mmol/L

Chlorida

104,1

mmol/L

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Bilirubin total

23.20 (H)

mg/dL

Bilirubin direct

0,94 (H)

mg/dL

22,26 (H)

mg/dL

Bilirubin indirect

Foto Thorax 22 Mei 2016

11

Interpretasi

Pulmo : Corakan bronkovaskular meningkat, kesan Bronkopneumonia


Cor
: jantung dalam batas normal

D. RESUME
Bayi perempuan usia 0 hari dengan asfiksia., lahir secara spontan, ibu
G1P0A0 hamil 35 minggu, keadaan saat lahir ; air ketuban jernih skor APGAR 5-6-7,
dengan berat lahir 2500 gram dan panjang badan 42 cm. datang dengan nafas sesak,
merintih, menangis tidak kuat, gerakan tidak aktif, dan bayi berwarna biru seluruh
tubuh.
Penriksaan fisik didapatkan keadaan umum menangis merintih, kurang aktif
Heart rate 144 kali/menit, Laju Pernapasan 54 kali/menit, Suhu 36,6 oC (aksiler),
warna kulit kekuningan ikterik (+) kesan kramer IV, otot bantu nafas suprasternal (+),
retraksi substernal (+), retraksi intercostal (+), suara tambahan paru hantaran (+/+),
saat datang di IGD RSUD Tugurejo didapatkan APGAR score 3 (asfiksia berat),
Downe Score 7 (gawat napas), pemeriksaan laboratorium didapatkan GDS 17,
Kalium 8,38 (), bilirubin total 23,20 , bilirubin direct 0,94 , bilirubin indirect 22,26
12

kesan

foto

thorax

corakan

bronkovaskular

meningkat

dengan

kesan

bronkopneumonia.
E. DIAGNOSIS BANDING
1) Asfiksia Berat
Faktor tali pusat
Faktor umur kehamilan
Faktor persalinan
Distress respiratory
2) Hiperbilirubinemia
Fisiologis / Patologis / Kombinasi
3) Neonatus Preterm
Bayi sesuai untuk masa kehamilan
Bayi kecil untuk masa kehamilan
Bayi besar untuk masa kehamilan
F. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Klinis

Diagnosis Tumbang
Diagnosis Gizi
Diagnosis Imunisasi

: Asfiksia berat, Hiperbilirubinemia, Neonatus


Preterm, Berat Badan Lahir Cukup,
Hipoglikemi, Hipokalemi
: belum dapat dievaluasi
: belum dapat dieavaluasi
: imunisasi dasar belum diberikan

G. INITIAL PLAN
Initial Plan Terapi
1. Nonmedikamentosa
a. Oksigenasi
b. Rawat diruang PICU / Perinatal Risiko Tinggi
c. Hangatkan bayi + inkubator
d. Pasang OGT
e. Diet per oral ASI 8 x 5-10cc
f. Fototerapi
2. Medikamentosa
a. IVFD D10% 10tpm
b. Drip KCL
c. Injeksi IV Aminophilin 3 x 2,5 mg
d. Injeksi IV Cefotaxime 2 x 125 mg

13

e. Injeksi IV Ranitidine 2 x 3 mg
Initial Plan Monitor
1.
2.
3.
4.

Pengawasan tanda-tanda vital


Pengawasan tanda tanda henti napas
Awasi hipoglikemi dan hipotermi
Ulang darah rutin, elektrolit, Gula Darah Sewaktu

Initial Plan Edukasi


1. Memberitahukan kepada orang tua bahwa bayi lahir mengalami
gangguan napas berat
2. Menjelaskan kepada orang tua tentang pemeriksaan pemeriksaan
yang akan dilakuakan guna menunjang diagnosis dan terapi yang akan
diberikan.
H. PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Sanationam
Ad Fungtionam

: dubia ad Bonam
: dubia ad Bonam
: dubia ad Bonam

20 Mei 2016 ( 18.20)


S

Rujukan Puskesmas Boja dengan asfiksia, dan neonatus preterm. nafas


sesak, merintih, menangis tidak kuat, gerakan tidak aktif, dan bayi

berwarna biru seluruh tubuh.


KU: Menangis kurang kuat, gerak tidak aktif, biru seluruh tubuh
TTV: HR 144x/m, RR 50x/m, S 36,9 C, BB 2,5 Kg, SpO2 : 81% GDS :
71 mg/dl
Kepala : Mesosefali, UUB datar, tegang (-), molase (-)
Bibir
: sianosis
Pulmo : Retraksi Substernal (+), Retraksi Intercostal (+), Retraksi
Suprasternal (+)
Bising paru Ronki -/-, Hantaran +/+, Bronchovesikuler
Abdomen: Peristaltik (+) kesan Normal
Ekstremitas : Sianosis, CRT > 2 detik

Asfiksia Berat, NKB SMK

14

Advis dr. SpA


Observasi dengan CPAP PEEP 8, FiO2 40%, jika memburuk rujuk

S
O

A
P

dengan intubasi SpO2 yang diharapkan 90%


Dopamin 3 Mg/KgBB/Menit
Aminofilin 3 x 2,5mg
Ranitidine 2 x 3 mg
Dexamethason 3 x 0,5 mg
Inform consent keluarga

23 Mei 2016 (07.00)


Terpasang CPAP 8, FiO2 40% dan OGT terbuka
KU
Kulit
TTV

: merintih, bergerak kurang aktif


: sianosis (-) Ikterik (+) Kremer III
: HR 150 x/m, RR 44 x/m, S 37,7 C, BB 2,500 gram , SpO2

91%
Pulmo : retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+) retraksi
Suprasternal (+) Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-),
Hantaran (+/+)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi Ikterik

Fototerapi
Tx lain lanjut

24 Mei 2016
-

15

A
P

S
O

A
P

KU
Kulit
TTV

: Gerak aktif, Menangis kuat, Terpasang CPAP dan OGT terbuka


: sianosis (-) Ikterik (+) Kremer III
: HR 140 x/m, RR 30 x/m, S 36,5 C, BB 2,500 gram , SpO2

94%
Pulmo : retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+) retraksi
Suprasternal (+) Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-),
Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik

KCL drip
Tx lain lanjut

25 Mei 2016
KU
Kulit
TTV

: Gerak aktif, Menangis kuat, Terpasang CPAP dan OGT terbuka


: sianosis (-) Ikterik (+) Kremer II
: HR 130 x/m, RR 38 x/m, S 36,7 C, BB 2,500 gram , SpO2

94%
Pulmo : retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+) retraksi
Suprasternal (+) Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-),
Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik

CPAP diturunkan
Fototerapi Stop
Tx lain lanjut

26 Mei 2016
-

16

A
P

S
O

A
P

S
O

KU
Kulit
TTV

: menangis kuat, gerak kurang aktif, sesak berkurang


: sianosis (-) Ikterik (+) Kremer III
: HR 140 x/m, RR 37 x/m, S 36,7 C, BB 2,500 gram , SpO2

94%
Pulmo : retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+)
Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-), Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik

PEEP 5, FiO2 21%


Tx lain lanjut

27 Mei 2016
KU
Kulit
TTV

: menangis kuat, gerak aktif.


: sianosis (-) Ikterik (+) Kremer III
: HR 140 x/m, RR 40 x/m, S 36,7 C, BB 2,500 gram , SpO2

97%
Pulmo : retraksi (-)
Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-), Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik

Lepas CPAP
Tx lain lanjut

28 Mei 2016
KU
Kulit
TTV

: menangis kuat, gerak aktif.


: sianosis (-) Ikterik (+) Kremer III
: HR 140 x/m, RR 40 x/m, S 36,7 C, BB 2,500 gram , SpO2 97%
17

A
P

Pulmo : retraksi (-)


Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-), Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik

O2 Nasal canul
Latihan menetek
Pemeriksaan Bilirubin
Fototerapi 1 x 24 jam
Tx lain lanjut
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Asfiksia neonatorum
1. Definisi
Asfiksia adalah Suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksemia dan
hiperkapnea yang disertai dengan perkembangan progresif dari asidosis
metabolik.
2. Etiologi
a. Faktor Ibu
1) Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan
segala akibatnya
2) Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini sering
ditemukan pada (a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni,
hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b) Hipotensi
mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) Hipertensi pada penyakit
akiomsia dan lain-lain.
b. Faktor Plasenta
18

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.

c.

Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara
ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan :
tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar

janin dan jalan lahir dan lain-lain.


d. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu : (a) Pemakaian obat anestesia/analgetika yang
berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat
pernafasan janin. (b) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya
perdarahan intrakranial.(c) Kelainan konginental pada bayi, misalnya
hernia diafrakmatika atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru
dan lain-lain.
3. Patofisiologi
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh
yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke
aorta.4
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan
paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan
memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli. 4
19

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan


pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat
tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru
akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. 4
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada
duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh
darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali
ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir.
Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat
dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit.
Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru,
akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. 4
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan. 4
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung
kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu
periode apnu (Primany apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung
selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian
diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini
tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua
20

(Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan bradikardi dan penurunan


tekanan darah. 3
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula G3 metabolisme dan
pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama
dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris respiratorik, bila G3
berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme anaerobik yang berupa
glikolisis glikogen tubuh , sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan
hati akan berkuang.asam organik terjadi akibat metabolisme ini akan
menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan
terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan
diantaranya hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi
fungsi jantung terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya
sel jaringan termasuk otot jantung sehinga menimbulkan kelemahan jantung
dan pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan akan
tingginya resistensinya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru
dan kesistem tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan
kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak.
Kerusakan sel otak yang terjadi menimbuikan kematian atau gejala sisa pada
kehidupan bayi selanjutnya. 3

4. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir

dan lahir tidak bernafas/menangis.4 Pada anamnesis juga diarahkan untuk


mencari faktor resiko.
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia

21

Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi


adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan
kompleks untuk kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung,
sirkulasi darah dan refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari
puting susu, salah satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar.
(IDAI, 1998)2
1. Skor apgar 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat
dan tidak memerlukan tindakan istimewa. 5
2. Skor apgar 4-6 (Mild-moderate asphyxia)- Asfiksia sedang. Pada
pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada. 5
3. A. Asfiksia berat. Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat
frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
B. Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti
jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih
dari 10 menit sebelum ;ahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi
menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya
sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat. 5

22

Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit


ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan
tiap 5 menit sampai skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah
lahir bila bayi tidak menangis. 6
Pemeriksaan Penunjang
- Foto Polos dada
- Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah
ada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil :
1) Pa O2 < 50 mm H2O
2) PaCO2> 55 mm H2O
3) pH < 7,30
5. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan hidup
bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul dikemudian hari.
Tindakan yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.5
a. Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4 pertanyaan:4
a. apakah bayi cukup bulan?
b. apakah air ketuban jernih?
c. apakah bayi bernapas atau menangis?
d. apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ya maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur
perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di
dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila
terdapat jawaban tidak dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan
satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan4 :
(1) langkah awal dalam stabilisasi4
(a) memberikan kehangatan4
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan
telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh
tubuh. 4
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus
mendapat perlakuan khusus.23 Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian
23

teknik penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan


meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR.24,25
Alat lain yang bisa digunakan adalah alas penghangat. 4
(b) memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya4
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar
posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah
masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan
balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.4
(c) membersihkan jalan napas sesuai keperluan4
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi.16 Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi
adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu
(intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa senter menunjukkan
bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi
mekonium. 4
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan
bayi dan ada/tidaknya mekonium. 4
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami
depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit)
segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom

aspirasi

mekonium.

Penghisapan

trakea

meliputi

langkah-langkah

pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan


kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai
glotis. 4
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar,
pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.4
(d) mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang
benar4
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan
memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah
posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat,

24

maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak
kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. 4
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan,
sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan
menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada
telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga
dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil. 4
(2) ventilasi tekanan positif4
Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutan
bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi
jantungnya tetap kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP harus dipastikan
tidak ada kelainan congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan hernia
diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP. Bila bayi
diperkirakan akan mendapat VTP dalam waktu yang
cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan selang orogastrik
untuk menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan ventilasi tekanan
positif adalah hernia diafragma.4
(3) kompresi dada4
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac
massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung
ke arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki
sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika
paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi
dada yang efektifsatu orang menekan dada dan yang lainnya melanjutkan
ventilasi.Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan frekuensi jantung, dan suara
napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara
bergantian.4
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena akan
menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar. 4
(4) pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander) 4
25

Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya


ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi
jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu
nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya (lihat bagan 1).
4

26

(1) Epinefrin

27

Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin
tidak boleh diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin akan
meningkatkan beban dan konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan 0,10,3 ml/kgBB larutan1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau
melalui selang endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila
frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal diberikan jika pemberian
dilakukan melalui selang endotrakeal. 4
(2) Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru lahir yang
dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi,
hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai
adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil atau lemah, dan pada resusitasi tidak
memberikan respon yang adekuat. Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10
menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan yang diberikan
dapat berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi
golongan darah O negatif jika diduga kehilangan darah banyak. 4
(3) Bikarbonat
Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik pada bayi baru lahir yang
mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan
bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang digunakan adalah 2 mEq/kg
BB atau 4 ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya terdapat BicNat
dengan konsetrasi 7,4 % maka diencerkan dengan aquabides atau dekstrosa 5% sama
banyak. Pemberian secara intra vena dengan kecepatan tidak melebihi dari 1
mEq/kgBB/menit. 4
(4) Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan dengan indikasi
depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan

28

narkotik dalam waktu 4 jam sebelum melahirkan. Sebelum diberikan nalokson


ventilasi harus adekuat dan stabil. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya
dicurigai sebagai pecandu obat narkotika, sebab akan menyebabkan gejala putus obat
pada sebagian bayi. Cara pemberian intravena atau melalui selang endotrakeal. Bila
perfusi baik dapat diberikan melalui intramuskuler atau subkutan. Dosis yang
diberikan 0,1 mg/kg BB, perlu diperhatikan bahwa obat ini tersedia dalam 2
konsentrasi yaitu 0,4 mg/ml dan 1 mg/ml. 4
B. Hiperbilirubinemia
1. Definisi
Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam
darah, sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak
kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >
2 mg/dL(> 17 mol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin > 5 mg/dL( >86mol/L).2
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice.
Digolongkan

sebagai

hiperbilirubinemia

patologis

(Non

Physiological

Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut
Normogram Bhutani

29

2. Metabolisme bilirubin
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme,
yang sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim
sitokrom, katalase, dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak
efektif di sumsum tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan4:
a.
b.
c.
d.
e.

Transport bilirubin
Pengambilan bilirubin oleh sel hati
Konjugasi
Sekresi bilirubin terkonjugasi
Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme

dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar
terdapat dalam sel hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi
yang digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida
(CO) yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam
air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase.
Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen

30

serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari
katabolisme heme haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan
menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin
yang berasal dari pelepasan heamoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di
dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin,
sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. Bayi baru lahir akan
memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4
mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan
masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang
dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui
sirkulasi enterohepatik.1
Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi
baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin
karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang.
Bilirubin yang berikatan dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf
pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas tinggi
terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obatan
tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin
sehingga bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan
albumin. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara
menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:

31

Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan

membentuk sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum


Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida)
yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem

bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, -bilirubin tidak akan tampak.
Peningkatan kadar -bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada
bayi baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya
meningkat bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi
persisten karena berbagai kelainan pada hati.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma

hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin


ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y),
mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara
jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi
enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin
oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin
tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak
normal.
Berkurangnya

kapasitas

pengambilan

hepatik

bilirubin

tak

terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.


Penelitian menunjukkan hal ini terjadi karena adanya defisiensi ligandin,
tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan dengan defisiensi konjugasi
bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke empedu selama
3-4 hari pertama kehidupan.
Konjugasi Bilirubin

32

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi


yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine
diphosphate glucoronyl transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan
mengubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan
dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian
dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin
tak terkonjugasi akan kembali ke dalam retikulum endoplasmik untuk
rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang
dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti
halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat pigmen yang tertahan
adalah bilirubin monoglukoronida.
Ekskresi (Sekresi )Bilirubin dan Sirkulasi Enterohepatik
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke
dalam kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan
melalui feses. Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan
energi. Setelah berada di usus halus, bilurubin terkonjugasi tidak langsung
diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak
terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus.
Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk
dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu
pada mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim glukoronidase yang dapat mengidrolisia monoglukoronida dan diglukoronida
kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat
diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril
sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi
yang relatif tinggi di dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang
33

meningkat, hidrolisis bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi


bilirubin yang tinggi ditemukan di dalam mekonium. Pada bayi baru lahir,
kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi bilirubin menjadi
urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus dibandingkan
dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis
bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas glukoronidase

mukosa

yang

tinggi

dan

ekskresi

monoglukoronida

terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang
aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin tinja
dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran
kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi pada bayi baru lahir

34

3.

Ikterus neonatorum (neonatal jaundice)

35

Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum
adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit
dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus lebih
mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan
hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice
akan timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk
membersihkan bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya,
hampir semua bayi mengalami peningkatan bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan
meningkatnya bilirubin serum kulit menjadi jaundice dengan urutan sefalokaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala dan bergerak ke arah kaudal ke
telapak tangan dan telapak kaki. Hal ini ditentukan oleh kramer yang menentukan
kadar bilirubin indirek di dalam serum.

Kramer 1: kepala-leher = 4-8 mg/dl


Kramer 2: tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl
Kramer 3: tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl
Kramer 4: lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl
Kramer 5: telapak tangan dan telapak kaki = > 15 mg/dl

36

Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hatihati dengan jari dibawah penerangan yang cukup.

4.

Klasifikasi
a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi
kurang bulan maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Pada
bayi cukup bulan yang mendapat susu formulakadar bilirubin akan mencapai
puncak sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar
1 mg/dL selama 1-2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI
kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL)
dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa sampai 2-4 minggu, bahkan
mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula
juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih
lama, begitu pula dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi
pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis,
bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin.
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin

Peningkatan

resirkulasi

Penyebab

Peningkatan sel darah merah


Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
`
Peningkatan aktifitas -glukoronidase
Tidak adanya flora bakteri
melalui Pengeluaran mekonium yang terlambat

37

enterohepatik shunt

Penurunan bilirubin clearance


Penurunan clearance dari plasma
Penurunan metabolisme hepatik

Defisiensi protein karier


Penurunan aktifitas UDPGT

Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih
sering dan bayi dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih
awal cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus
fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula cenderung
mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan jika dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang
mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya
lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering
terjadi ikterus fisiologis.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice
yaitu early (berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan
dengan ASI). Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses
pemberian minum. Bentuk late onset diyakini dipengaruhi oleh kandungan
ASI ibu yang memperngaruhi proses konjugasi dan ekskresi. Penyebab late
onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor spesifik
dari ASI yaitu: 2-20-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT
atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas
lipoprotein lipase yang kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam
usus halus; penghambatan konjugasi akibat peningkatan asam lemak
unsaturated; atau -glukorunidase atau adanya faktor lain yang mungkin
menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
38

b. Ikterus Patologis
Ikterus patologis atau disebut juga ikterus non-fisiologis mempunyai
tanda-tanda sebagai berikut :
a) Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
b) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
c) Peningkatan kadar bilirubin total serum lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari seperti muntah, letargi,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau
suhu yang tidak stabil
e) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan.
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau
patologis atau kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat
pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan bayi mendekati cukup
bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau
penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; frekuensi menyusui yang tidak
adekuat, kehilangan berat badan/dehidrasi
Asupan cairan:
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik

Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor

39

Intestinal reabsorption of bilirubin

5.

Pasase mekonium terlambat


Pembentukan urobilinoid bakteri
Beta-glukoronidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu

Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat

disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum
dapat dibagi:
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase
(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam
hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke
sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan.

40

Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain. Selain itu, neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin
intestinal

karena

empedu

neonatus

mengandung

kadar

bilirubin

monoglukoronida yang tinggi sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi


bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase dalam lumen intestinal
yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang mudah
diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora
intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilid dan
mekonium. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (penyakit
Hirschprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan
dengan hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium berhubungan dengan kadar
bilirubin serum yang lebih rendah.
6.

Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi

dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin.

Sel

retikuloendotel

menyerap

kompleks

haptoglobin

dengan

hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi,
indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi,
direk). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin
diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah
menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen
41

direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama
urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul
pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan
muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh
pembentukan

bilirubin

yang

melebihi

kemampuan

hati

normal

untuk

ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk


mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah
dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini
akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini
disebut ikterus atau jaundice.
a. Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika
feses tidak keluar dalam 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan waktu
yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan frekuensi
jarang.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, BAK, dan BAB
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang
pengeluaran produk ASI dengan cara memompa, dan menggunakan fototerapi
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI,
sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus
menetap lebih dari 6 hari atau meningkat >20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi
sebelumnya terkena kuning.

42

Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke


rumah sakit pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan
jaundice adalah menentukan penyebabnya. Selain itu, tujuan utama dalam
penatalakasannanya adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak
mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus. Jika fraksi bilirubin tak
terkonjugasi meningkat, langkah-langkah penangangan harus diambil adalah
mencegah pemberian zat-zat pengikat albumin. Pengendalian kadar bilirubin dapat
dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat
berlangsung. Hal ini dapat

dilakukan

dengan

merangsang

terbentuknya

glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal).


Obat-obatan seperti sulfonamid dan seftriakson diketahui dapat menggeser
bilirubin sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Untuk itu
pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain foto
terapi, exchange transfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim
(Martiza, 2012).
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang
induksi

enzim-enzim

hati

dan

protein

pembawa,

guna

mempengaruhi

penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga
reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain:
-

Immunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang


berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan

menurunkan tindakan transfusi ganti.


Fenobarbital memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas dan
konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat
ikatan bilirubin. Namun secara umum tidak direkomendasikan digunakan
setelah lahir.

43

Metalloprotoporphyrin untuk mencegah hiperbilirubinemia. Zat ini analog


sintesis heme. Protoporphyrin terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari
heme oksigenase. Enzim ini dibutuhkan untuk katabolisme heme menjadi
biliverdin. Dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan diekskresikan
secarah utuh dalam empedu.

Terapi Sinar(Fototerapi)
Fototerapi terdiri dari sinar radiasi bayi jaundice dengan lampu energi
foton yang akan merubah struktur molekul bilirubin. Pengaruh sinar terhadap
ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang
dikemukakan

mengenai

pengaruh

sinar

tersebut.

Teori

terbaru

mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi


bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin
menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk
isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah
diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer
dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke
dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat
meninggalkan usus halus. Terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan
kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis
yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Secara
umum fototerapi digunakan untuk mencegah agar bilirubin tidak mencapai
kadar yang memerlukan exchange transfusion. Pada penderita yang
direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah
transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah
lampu neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang
berventilasi. Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470
nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu
44

dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang
tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau
setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada
boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat
tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah
bayi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus
tampaknya lebih baik daripada sinar putih atau hijau. Saat ini tersedia fototerapi
dengan menggunakan woven fibrotic pads yang efektif (dibandingkan dengan
foto konvensional) dan aman.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar
dapat seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi
sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya
dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi,
selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171
mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam Penghentian
atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara
lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi
dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadangkadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya
diperbaiki.

45

46

BAB IV
PEMBAHASAN
Asfiksia adalah Suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksemia dan hiperkapnea
yang disertai dengan perkembangan progresif dari asidosis metabolik.
faktor risiko asfiksia yaitu ;
a. Antepartum: primiparitas, demam selama kehamilan, anemia, pendarahan
antepartum, riwayat kematian neonatus sebelumnya, hipertensi pada
kehamilan.
b. Intrapartum: Malpresentasi, partus lama, ketuban bercampur mekonium,
ruptur membran prematur, prolaps umbilikus.
c. Bayi/post natal: prematuritas, BBLR, restriksi pertumbuhan intrauterina.
Dapat diduga pada kasus ini, faktor risiko asfiksia terutama berkaitan dengan faktor
antepartum yaitu primiparitas, sedangkan faktor bayi berkaitan dengan prematuritas.
Menurut penyebabnya asfiksia dapat disebabkan oleh;
a. Faktor Ibu berupa hipoksia ibu atau gangguan aliran darah uterus,
b. Faktor plasenta gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio
plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain,
c. Faktor fetus yaitu kompresi umbilikus yang mengakibatkan terganggunya
aliran darah yang dapat ditemukan pada keadaan : tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin dan jalan lahir,
d. Faktor Neonatus pada pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada ibu
secara langsung, Trauma yang terjadi pada persalinan, Kelainan konginental pada
bayi.
Pada kasus ini etiologi asfiksia sulit dievaluasi dikarenakan informasi yang
kurang jelas dari pihak yang melakukan partus spontan.
Pada pemeriksaan fisik, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat berat
ringannya asfiksia Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi
adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk
kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan

47

refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah satu cara
menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar.

Saat sampai di IGD RSUD Tugurejo APGAR score didapatkan 3 yang dapat
bermakna Asfiksia Berat pada pasien .untuk kegawatan nafas digunakan Downe
score
0

Frekuensi
Napas

< 60 x/menit

60-80 x/menit

Retraksi

Tidak
ada Retraksi ringan
retraksi

Sianosis

Tidak
sianosis

Air Entry

Udara masuk Penurunan


udara masuk

Merintih

Tidak
merintih

2
> 80 x/menit
Retraksi berat

Sianosis hilang dengan Sianosis


menetap
O2
walaupun diberi O2
ringan Tidak ada udara masuk

Dapat didengar dengan Dapat didengar tanpa


stethoscope
alat bantu

Dimana pada pasien didapatkan score 7 (gawat napas).


Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan hidup
bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul dikemudian hari.
Tindakan yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.
48

Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,


sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. pada
neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL( >86mol/L).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Mula-mula ikterus tampak di kepala dan bergerak ke arah kaudal ke telapak
tangan dan telapak kaki. Hal ini ditentukan oleh kramer yang menentukan kadar
bilirubin indirek di dalam serum.

Kramer 1: kepala-leher = 4-8 mg/dl


Kramer 2: tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl
Kramer 3: tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl
Kramer 4: lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl
Kramer 5: telapak tangan dan telapak kaki = > 15 mg/dl
Pada kasus pasien didapatkan kramer III IV dimana kemungkinan kadar

bilirubin berkisar antara 8-18 mg/dl. Dimana kemudian dilakukan pemeriksaan


laboratorium dan didapatkan bilirubin total 23,20 mg/dl
Ikterus terbagi menjadi 2 yaitu :
a.

Ikterus fisiologis
Terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8
mg/dl biasanya tercapai pada hari ke-3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya
10-12 mg/dl bahkan sampai 15 mg/dl.

Peningkatan/akumulasi bilirubin

serum < 5 mg/dl/hari.


b. Ikterus patologis (non fisiologis)
Terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan . Peningkatan/akumulasi bilirubin
serum > 5 mg/dl/hari. Bilirubin total serum > 17 mg/dl pada bayi yang
mendapat ASI . Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk > 2 mg/dl.
Pada kasus ini, ikterus neonatorum yang terjadi masih tergolong fisiologis
terutama berkaitan dengan waktu munculnya yaitu pada hari ke-3. Penyebab
ikterus pada kasus ini adalah pada proses metabolisme dan ekskresi. Proses
49

metabolisme terganggu karena bayi tergolong prematur sehingga hati belum


sepenuhnya matur sehingga proses metabolisme masih kurang. Ekskresi juga
terganggu dikaitkan dengan peningkatan sirkulasi enterohepatik karena
rendahnya asupan enteral.
Untuk manajemen ikterus fisiologis dapat dilakukan pemberian ASI dini
dan ekslusif dan sering serta bayi dapat cukup sinar matahari pagi. Pada kasus ini
dikarenakan dilakukan rawat inap karena bayi mengalami masalah lain dan
diperlukan pemantauan dengan ketat terhadap masalah maupun ikterus yang
terjadi, maka dapat diberi ASI setelah neonates dianggap stabil dan dilakukan
fototerapi
Penanganan hiperbilirubinemia dapat berupa fototerapi, fototerapi yang
dilakukan pada pasien bertujuan untuk mengurangi kadar bilirubin yang terdapat
di dalam sirkulasi. Mekanisme fototerapi yang terjadi berupa fotoisomerasi dan
oksidasi fotosensitif. Fotoisomerasi mempertinggi ekskresi bilirubin dengan cara
mengubah konfigurasi bilirubin. Penyusunan kembali, secara internal dalam
molekul bilirubin mengakibatkan terganggunya pengikatan hidrogen dan
membuka sisi polar bilirubin untuk molekul air. Sehingga hasil perubahan
konfigurasi bilirubin menjadi larut dalam air dan dapat diekskresi melalui
empedu dan urin tanpa konjugasi sebelumnya. Sedangkan oksidasi fotosensitif
menyebabkan bilirubin terhidrolisis menjadi monopirol, dipirol, dan tripirol,
yang larut dalam air dan kemudian dieksresi ke dalam empedu atau urin.
Fototerapi menurunkan konsentrasi bilirubin dengan mempertinggi kelarutan air.

Daftar Pustaka

1. David. K, William E, Benitz, and Philip Sunshine. Fetal and Neonatal Brain
Injury : Mechanisms, Management and the Risks of Practice, Third Edition. 2012

50

2. Desfauza, Evi. Faktor faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia


Neonatorum Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi Medan.
2007. Medan :Universitas Sumatera Utara.
3. Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. 2008. Jakarta : Salemba Medika.
4. Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan
penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum.
5. Dr. Rusepno Hassan,dkk. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Info
Medika Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.
6. Utomo, Martono Tri. Asfiksia Neonatorum. Cited on : December 28th. 2011.
Updated on : 2006. Available on http://www.pediatrik.com
7. Prof. Dr. Hanifa Winkjosastro, Sp.OG. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 4. Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo.
8. Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1.
Jakarta : EGC.

51

Anda mungkin juga menyukai