Bab Ii
Bab Ii
PENDAHULUAN
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.Asfiksia pada BBL
merupakan penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian BBL setiap tahun.Resusitasi
merupakan tindakan utama pada asfiksia.
Ikterus neonatorum adalah warna kuning yang terlihat pada kulit atau selaput
lendir oleh karena adanya penimbunan bilirubin di jaringan bawah kulit atau selaput
lendir sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila tidak
terkendali. Bayi dikatakan hiperbilirubinemia bila mengalami peningkatan kadar
bilirubin total >13 mg/dL. Penanganan pada bayi dengan ikterus yang fisiologis dapat
dilakukan rawat jalan, pemberian ASI/PASI yang lebih ditingkatkan dan pemberian
sinar matahari yang cukup pada bayi.Penangan hiperbilirubinemia dapat berupa terapi
sinar atau fototerapi untuk mengurangi kadar bilirubin yang ada di dalam sirkulasi.
Berikut akan dibahas laporan kasus mengenai Bayi Prematur dengan asfiksia
berat ,ikterus neonatorum, di ruangan Perinatal Resiko Tinggi (PERISTI) RSUD
Tugurejo Semarang.
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama anak
: By. Ny W
Umur
: 0 hari / 20 mei 2016
Jenis Kelamin
: laki laki
Alamat
: Cangkiran, bonroto
Agama
: Islam
No RM
: 504944
Tgl masuk bangsal : 20 Mei 2016
Orang tua / Wali
Nama bapak : Tn. S
Nama ibu
: Ny. K
Umur
: 25 tahun
Umur
: 23 tahun
Pendidikan
: Sarjana
Pendidikan
: Sarjana
Pekerjaan
: Swasta
Pekerjaan
: Swasta
Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien dan petugas Peristi
RSUD Tugurejo pada tanggal 23 Mei 2016 jam 13.00 WIB di Ruang Peristi RSUD
Tugurejo Semarang.
1. Keluhan Utama
: Bayi biru seluruh badan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien seorang bayi perempuan usia 0 hari, datang ke IGD RSUD
Tugurejo Semarang, dirujuk dari puskesmas boja dengan asfiksia.
Bayi lahir tanggal 20 Mei 2016 (1 jam SMRS) lahir secara spontan,
ibu G1P0A0 hamil 35 minggu, keadaan bayi saat lahir yaitu air ketuban
jernih, petugas mengatakan APGAR 5-6-7, dengan berat lahir 2500 gram dan
panjang badan 42 cm.
Saat datang keadaan bayi sesak, merintih, menangis tidak kuat,
gerakan tidak aktif, dan bayi berwarna biru seluruh tubuh.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pasien riwayat penyakit dahulu belum dapat dievaluasi
4.
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Imunisasi
0 bulan
1 bulan
2 bulam
3 bulan
4 bulan
9 bulan
Pertumbuhan
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 13.15 WIB di
Ruang Peristi RSUD Tugurejo Semarang
a. Keadaan Umum
Kesan Sakit
: menangis merintih, kurang aktif
b. Vital Sign
Heart rate
: 144 kali/menit
Laju Pernapasan
: 54 kali/menit
Suhu
: 36,6 oC (aksiler)
c. Status Generalis
1. Kepala
: kesan mesosefal
2. Mata
: konjungtiva anemis (-/-)
3. Hidung
: sekret (-), deformitas (-)
8. Thorax
Pulmo :
Sinistra
Dextra
Normochest
Normochest,
Depan
1. Inspeksi
Simetris
statis-dinamis Simetris
sinistra = dextra
diameter
AP
statis-dinamis
sinistra = dextra
<
lateral, diameter
AP
<
lateral,
3. Perkusi
Pergerakan
4. Auskultasi
hemithorak Pergerakan
hemithorak
sinistra = dextra
sinistra = dextra
Belakang
1. Inspeksi
Normochest
Simetris
Normochest,
statis-dinamis Simetris
sinistra = dextra
statis-dinamis
sinistra = dextra
2. Auskultasi
Suara dasar bronkovesikuler Suara dasar bronkovesikuler
(+), Wheezing (-), ronki halus (+), Wheezing (-), ronki halus
(-) hantaran (+)
10. Vertebrae
11. Urogenital
: Anus (+)
Akral hangat
Superior
+/+
Inferior
+/+
6
Sianosis
Edema
Capillary Refill
-/-/<2 detik
-/-/<2 detik
: 2500
: 35 minggu
Tanda
Nilai O
Nilai 1
Nilai 2
Appearace
Seluruh tubuh biruBadan
atau putih
merah kaki biru
Seluruh tubuh merah
(warna kulit)
Pulse
(Denyut Nadi)
Grimece
(Refleks)
Activity
(Tonus Otot)
A
R
Tidak ada
< 100x/menit
> 100x/menit
Respiration effort
(Usaha bernafas)
Tidak ada
Lemah
Menangis kuat
Frekuensi
Napas
< 60 x/menit
Retraksi
Tidak
ada Retraksi ringan
retraksi
Sianosis
Tidak
sianosis
Air Entry
Merintih
Tidak
merintih
60-80 x/menit
> 80 x/menit
Retraksi berat
Skor Gupte
Prematuritas
:3
Riwayat air ketuban keruh
:0
Asfiksia
:2
Partus lama
:0
Riw pemeriksaan vagina tidak bersih : 0
Ketuban Pecah Dini
:0
Total skor
:5
Kesan : Screening neonatal infeksi
Hasil
Satuan
Leukosit
8,63
103/ul
Eritrosit
4,85
106/ul
Hemoglobin
16,8
g/dl
Hematokrit
49,40
RDW
15,40
MCV
101,90
MCH
34,60
Pcg
MCHC
34,0
g/dl
Trombosit
173
103/ul
17 ()
mg/dl
Glukosa Sewaktu
10
Elektrolit darah
Hasil
Satuan
Kalium
8,38 ()
mmol/L
Natrium
136,5
mmol/L
Chlorida
104,1
mmol/L
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Bilirubin total
23.20 (H)
mg/dL
Bilirubin direct
0,94 (H)
mg/dL
22,26 (H)
mg/dL
Bilirubin indirect
11
Interpretasi
D. RESUME
Bayi perempuan usia 0 hari dengan asfiksia., lahir secara spontan, ibu
G1P0A0 hamil 35 minggu, keadaan saat lahir ; air ketuban jernih skor APGAR 5-6-7,
dengan berat lahir 2500 gram dan panjang badan 42 cm. datang dengan nafas sesak,
merintih, menangis tidak kuat, gerakan tidak aktif, dan bayi berwarna biru seluruh
tubuh.
Penriksaan fisik didapatkan keadaan umum menangis merintih, kurang aktif
Heart rate 144 kali/menit, Laju Pernapasan 54 kali/menit, Suhu 36,6 oC (aksiler),
warna kulit kekuningan ikterik (+) kesan kramer IV, otot bantu nafas suprasternal (+),
retraksi substernal (+), retraksi intercostal (+), suara tambahan paru hantaran (+/+),
saat datang di IGD RSUD Tugurejo didapatkan APGAR score 3 (asfiksia berat),
Downe Score 7 (gawat napas), pemeriksaan laboratorium didapatkan GDS 17,
Kalium 8,38 (), bilirubin total 23,20 , bilirubin direct 0,94 , bilirubin indirect 22,26
12
kesan
foto
thorax
corakan
bronkovaskular
meningkat
dengan
kesan
bronkopneumonia.
E. DIAGNOSIS BANDING
1) Asfiksia Berat
Faktor tali pusat
Faktor umur kehamilan
Faktor persalinan
Distress respiratory
2) Hiperbilirubinemia
Fisiologis / Patologis / Kombinasi
3) Neonatus Preterm
Bayi sesuai untuk masa kehamilan
Bayi kecil untuk masa kehamilan
Bayi besar untuk masa kehamilan
F. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Klinis
Diagnosis Tumbang
Diagnosis Gizi
Diagnosis Imunisasi
G. INITIAL PLAN
Initial Plan Terapi
1. Nonmedikamentosa
a. Oksigenasi
b. Rawat diruang PICU / Perinatal Risiko Tinggi
c. Hangatkan bayi + inkubator
d. Pasang OGT
e. Diet per oral ASI 8 x 5-10cc
f. Fototerapi
2. Medikamentosa
a. IVFD D10% 10tpm
b. Drip KCL
c. Injeksi IV Aminophilin 3 x 2,5 mg
d. Injeksi IV Cefotaxime 2 x 125 mg
13
e. Injeksi IV Ranitidine 2 x 3 mg
Initial Plan Monitor
1.
2.
3.
4.
: dubia ad Bonam
: dubia ad Bonam
: dubia ad Bonam
14
S
O
A
P
91%
Pulmo : retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+) retraksi
Suprasternal (+) Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-),
Hantaran (+/+)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi Ikterik
Fototerapi
Tx lain lanjut
24 Mei 2016
-
15
A
P
S
O
A
P
KU
Kulit
TTV
94%
Pulmo : retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+) retraksi
Suprasternal (+) Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-),
Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik
KCL drip
Tx lain lanjut
25 Mei 2016
KU
Kulit
TTV
94%
Pulmo : retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+) retraksi
Suprasternal (+) Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-),
Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik
CPAP diturunkan
Fototerapi Stop
Tx lain lanjut
26 Mei 2016
-
16
A
P
S
O
A
P
S
O
KU
Kulit
TTV
94%
Pulmo : retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+)
Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-), Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik
27 Mei 2016
KU
Kulit
TTV
97%
Pulmo : retraksi (-)
Bronkovesikuler (+/+), ronki (-/-), Hantaran (-/-)
Cor
:BJ 1-2 reguler
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas :sianosis -/- , CRT <2 detik
Ekstremitas bawah:sianosis -/- CRT <2 detik
Asfiksia Berat, Neonatus Preterm, Observasi neonatal Ikterik
Lepas CPAP
Tx lain lanjut
28 Mei 2016
KU
Kulit
TTV
A
P
O2 Nasal canul
Latihan menetek
Pemeriksaan Bilirubin
Fototerapi 1 x 24 jam
Tx lain lanjut
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asfiksia neonatorum
1. Definisi
Asfiksia adalah Suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksemia dan
hiperkapnea yang disertai dengan perkembangan progresif dari asidosis
metabolik.
2. Etiologi
a. Faktor Ibu
1) Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan
segala akibatnya
2) Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini sering
ditemukan pada (a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni,
hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b) Hipotensi
mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) Hipertensi pada penyakit
akiomsia dan lain-lain.
b. Faktor Plasenta
18
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
c.
Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara
ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan :
tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar
4. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir
21
22
aspirasi
mekonium.
Penghisapan
trakea
meliputi
langkah-langkah
24
maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak
kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. 4
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan,
sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan
menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada
telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga
dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil. 4
(2) ventilasi tekanan positif4
Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutan
bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi
jantungnya tetap kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP harus dipastikan
tidak ada kelainan congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan hernia
diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP. Bila bayi
diperkirakan akan mendapat VTP dalam waktu yang
cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan selang orogastrik
untuk menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan ventilasi tekanan
positif adalah hernia diafragma.4
(3) kompresi dada4
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac
massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung
ke arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki
sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika
paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi
dada yang efektifsatu orang menekan dada dan yang lainnya melanjutkan
ventilasi.Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan frekuensi jantung, dan suara
napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara
bergantian.4
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena akan
menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar. 4
(4) pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander) 4
25
26
(1) Epinefrin
27
Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin
tidak boleh diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin akan
meningkatkan beban dan konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan 0,10,3 ml/kgBB larutan1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau
melalui selang endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila
frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal diberikan jika pemberian
dilakukan melalui selang endotrakeal. 4
(2) Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru lahir yang
dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi,
hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai
adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil atau lemah, dan pada resusitasi tidak
memberikan respon yang adekuat. Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10
menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan yang diberikan
dapat berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi
golongan darah O negatif jika diduga kehilangan darah banyak. 4
(3) Bikarbonat
Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik pada bayi baru lahir yang
mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan
bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang digunakan adalah 2 mEq/kg
BB atau 4 ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya terdapat BicNat
dengan konsetrasi 7,4 % maka diencerkan dengan aquabides atau dekstrosa 5% sama
banyak. Pemberian secara intra vena dengan kecepatan tidak melebihi dari 1
mEq/kgBB/menit. 4
(4) Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan dengan indikasi
depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan
28
sebagai
hiperbilirubinemia
patologis
(Non
Physiological
Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut
Normogram Bhutani
29
2. Metabolisme bilirubin
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme,
yang sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim
sitokrom, katalase, dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak
efektif di sumsum tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan4:
a.
b.
c.
d.
e.
Transport bilirubin
Pengambilan bilirubin oleh sel hati
Konjugasi
Sekresi bilirubin terkonjugasi
Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar
terdapat dalam sel hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi
yang digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida
(CO) yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam
air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase.
Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen
30
serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari
katabolisme heme haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan
menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin
yang berasal dari pelepasan heamoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di
dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin,
sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. Bayi baru lahir akan
memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4
mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan
masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang
dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui
sirkulasi enterohepatik.1
Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi
baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin
karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang.
Bilirubin yang berikatan dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf
pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas tinggi
terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obatan
tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin
sehingga bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan
albumin. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara
menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
31
bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, -bilirubin tidak akan tampak.
Peningkatan kadar -bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada
bayi baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya
meningkat bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi
persisten karena berbagai kelainan pada hati.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma
kapasitas
pengambilan
hepatik
bilirubin
tak
32
mukosa
yang
tinggi
dan
ekskresi
monoglukoronida
terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang
aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin tinja
dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran
kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi pada bayi baru lahir
34
3.
35
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum
adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit
dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus lebih
mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan
hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice
akan timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk
membersihkan bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya,
hampir semua bayi mengalami peningkatan bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan
meningkatnya bilirubin serum kulit menjadi jaundice dengan urutan sefalokaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala dan bergerak ke arah kaudal ke
telapak tangan dan telapak kaki. Hal ini ditentukan oleh kramer yang menentukan
kadar bilirubin indirek di dalam serum.
36
Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hatihati dengan jari dibawah penerangan yang cukup.
4.
Klasifikasi
a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi
kurang bulan maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Pada
bayi cukup bulan yang mendapat susu formulakadar bilirubin akan mencapai
puncak sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar
1 mg/dL selama 1-2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI
kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL)
dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa sampai 2-4 minggu, bahkan
mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula
juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih
lama, begitu pula dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi
pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis,
bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin.
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin
Peningkatan
resirkulasi
Penyebab
37
enterohepatik shunt
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih
sering dan bayi dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih
awal cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus
fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula cenderung
mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan jika dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang
mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya
lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering
terjadi ikterus fisiologis.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice
yaitu early (berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan
dengan ASI). Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses
pemberian minum. Bentuk late onset diyakini dipengaruhi oleh kandungan
ASI ibu yang memperngaruhi proses konjugasi dan ekskresi. Penyebab late
onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor spesifik
dari ASI yaitu: 2-20-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT
atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas
lipoprotein lipase yang kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam
usus halus; penghambatan konjugasi akibat peningkatan asam lemak
unsaturated; atau -glukorunidase atau adanya faktor lain yang mungkin
menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
38
b. Ikterus Patologis
Ikterus patologis atau disebut juga ikterus non-fisiologis mempunyai
tanda-tanda sebagai berikut :
a) Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
b) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
c) Peningkatan kadar bilirubin total serum lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari seperti muntah, letargi,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau
suhu yang tidak stabil
e) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan.
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau
patologis atau kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat
pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan bayi mendekati cukup
bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau
penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; frekuensi menyusui yang tidak
adekuat, kehilangan berat badan/dehidrasi
Asupan cairan:
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor
39
5.
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum
dapat dibagi:
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase
(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam
hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke
sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan.
40
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain. Selain itu, neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin
intestinal
karena
empedu
neonatus
mengandung
kadar
bilirubin
Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin.
Sel
retikuloendotel
menyerap
kompleks
haptoglobin
dengan
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi,
indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi,
direk). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin
diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah
menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen
41
direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama
urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul
pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan
muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh
pembentukan
bilirubin
yang
melebihi
kemampuan
hati
normal
untuk
42
dilakukan
dengan
merangsang
terbentuknya
enzim-enzim
hati
dan
protein
pembawa,
guna
mempengaruhi
penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga
reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain:
-
43
Terapi Sinar(Fototerapi)
Fototerapi terdiri dari sinar radiasi bayi jaundice dengan lampu energi
foton yang akan merubah struktur molekul bilirubin. Pengaruh sinar terhadap
ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang
dikemukakan
mengenai
pengaruh
sinar
tersebut.
Teori
terbaru
dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang
tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau
setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada
boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat
tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah
bayi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus
tampaknya lebih baik daripada sinar putih atau hijau. Saat ini tersedia fototerapi
dengan menggunakan woven fibrotic pads yang efektif (dibandingkan dengan
foto konvensional) dan aman.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar
dapat seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi
sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya
dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi,
selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171
mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam Penghentian
atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara
lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi
dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadangkadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya
diperbaiki.
45
46
BAB IV
PEMBAHASAN
Asfiksia adalah Suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksemia dan hiperkapnea
yang disertai dengan perkembangan progresif dari asidosis metabolik.
faktor risiko asfiksia yaitu ;
a. Antepartum: primiparitas, demam selama kehamilan, anemia, pendarahan
antepartum, riwayat kematian neonatus sebelumnya, hipertensi pada
kehamilan.
b. Intrapartum: Malpresentasi, partus lama, ketuban bercampur mekonium,
ruptur membran prematur, prolaps umbilikus.
c. Bayi/post natal: prematuritas, BBLR, restriksi pertumbuhan intrauterina.
Dapat diduga pada kasus ini, faktor risiko asfiksia terutama berkaitan dengan faktor
antepartum yaitu primiparitas, sedangkan faktor bayi berkaitan dengan prematuritas.
Menurut penyebabnya asfiksia dapat disebabkan oleh;
a. Faktor Ibu berupa hipoksia ibu atau gangguan aliran darah uterus,
b. Faktor plasenta gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio
plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain,
c. Faktor fetus yaitu kompresi umbilikus yang mengakibatkan terganggunya
aliran darah yang dapat ditemukan pada keadaan : tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin dan jalan lahir,
d. Faktor Neonatus pada pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada ibu
secara langsung, Trauma yang terjadi pada persalinan, Kelainan konginental pada
bayi.
Pada kasus ini etiologi asfiksia sulit dievaluasi dikarenakan informasi yang
kurang jelas dari pihak yang melakukan partus spontan.
Pada pemeriksaan fisik, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat berat
ringannya asfiksia Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi
adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk
kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan
47
refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah satu cara
menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar.
Saat sampai di IGD RSUD Tugurejo APGAR score didapatkan 3 yang dapat
bermakna Asfiksia Berat pada pasien .untuk kegawatan nafas digunakan Downe
score
0
Frekuensi
Napas
< 60 x/menit
60-80 x/menit
Retraksi
Tidak
ada Retraksi ringan
retraksi
Sianosis
Tidak
sianosis
Air Entry
Merintih
Tidak
merintih
2
> 80 x/menit
Retraksi berat
Ikterus fisiologis
Terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8
mg/dl biasanya tercapai pada hari ke-3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya
10-12 mg/dl bahkan sampai 15 mg/dl.
Peningkatan/akumulasi bilirubin
Daftar Pustaka
1. David. K, William E, Benitz, and Philip Sunshine. Fetal and Neonatal Brain
Injury : Mechanisms, Management and the Risks of Practice, Third Edition. 2012
50
51