PPR Ard
PPR Ard
Disusun Oleh :
Dani Y. Munarso
Intan Oktaviana A
Nugraheni Kusumaningtyas
Tjues Aryo Agung
Yanuar Ardani
interstisial dan edema intra alveolar, dan adanya membran hyalin. Perubahan
patologi tersebut disertai dengan perubahan fisiologi antara lain hipoksemia berat,
peningkatan mean fraksi dead-space pulmonal, dan penurunan komplians paru.
ARDS relatif sering terdiagnosis pada pasien-pasien yang memerlukan ventilator
mekanik lebih dari 24 jam. Pada penelitian kohort yang berbasis populasi pada 21
rumah sakit selama periode 16 bulan, 21% pasien yang memerlukan ventilator
mekanik lebih dari 24 jam memenuhi kriteria persyaratan diagnosis ARDS. Survei
yang dilakukan terhadap 132 unit perawatan intensif di Eropa menunjukkan hasil
yang serupa dimana 18% pasien yang terhubung ke ventilator mekanik
terdiagnosis ARDS.1
Ashbaugh dkk mendeskripsikan 12 pasien dengan gambaran tersebut pada tahun
1967, dengan menggunakan istilah adult respiratory distress syndrome untuk
mendeskripsikan kondisi tersebut. Namun, definisi yang jelas tentang sindroma
tersebut diperlukan agar memungkinkan dilakukan penelitian mengenai
patogenesis dan terapinya.
untuk ARDS. Kriteria diagnosis yang digunakan untuk menentukan ARDS telah
semakin berkembang.
Definisi
Penjelasan resmi mengenai ARDS dibuat pada tahun 1967 dan terdiri dari
kasus 12 pasien dengan onset akut dispneu, takipneu, hipoksemia berat, gambaran
abnormalitas radiografi thorax, dan penurunan komplians sistem pernapasan
statik. Dengan meningkatnya ketersediaan kateterisasi arteri pulmonal di ICU,
ARDS dapat diketahui sebagai bentuk non kardiogenik dari edem paru, yang
ditandai dengan akumulasi protein dan sel di alveolus dengan tekanan atrium kiri
tetap normal. Selanjutnya, beberapa definisi ARDS digunakan pada awal tahun
1980an yang memerlukan setidaknya empat gambaran klinik dasar, tiga
diantaranya dibuat berdasarkan kriteria fisiologi dan radiografi yang diambil dari
kasus awal: hipoksemia (berbagai derajat keparahan), penurunan komplians
sistem pernapasan, dan abnormalitas radiografi thorax (seringkali merupakan jenis
dan derajat yang ill-defined). Keempat kriteria diagnosis tersebut biasanya
merupakan dokumentasi dari tekanan oklusi arteri pulmonal sebesar 18 mmHg
atau kurang dengan menggunakan kateter arteri pulmonal.3
Satu hal bahwa kriteria diagnostik yang terlalu ketat tersebut yang memerlukan
pemasangan kateter arteri pulmonal hanya akan mengidentifikasi pasien-pasien
dengan ARDS berat dan dengan prognosis yang sangat buruk. Pemasangan kateter
arteri pulmonal juga dapat menunda diagnosis dari ARDS. Karena kurang lebih
50% pasien ARDS harus terdiagnosis dalam 24 jam pertama, penundaan terapi
untuk memasukkan kateter arteri pulmonal terlebih dahulu dapat menekan
keberhasilan intervensi terapi. Terlebih, sebuah uji klinik berskala besar telah
menunjukkan bahwa kateter arteri pulmonal tidak mempengaruhi perbaikan
kondisi pasien yang kritis termasuk pasien ARDS.3
3Moss, Marc. Thompson, B Taylor. Definitions and Clinical Risk Factors.
Hal. 2. Pada: Lung Biology in Health and Disease Volume 233 : Acute
respiratory Distress Syndrome, second edition. Ed: Choi, AMK. Informa
Healthcare, New York, AS. 2001
ETIOLOGI
Terdapat lebih dari 60 penyebab ARDS yang telah dilaporkan. ARDS
dapat disebabkan oleh proses inflamasi atau cedera pada paru. Kondisi tersebut
mengakibatkan tubuh memproduksi faktor-faktor inflamasi yang menyebabkan
proses inflamasi di paru. Sekali terjadi inflamasi, alveolus selanjutnya tidak dapat
melaksanakan proses oksigenasi yang normal.
Pancreatitis
Blood transfusion
Post-cardiopulmonary bypass
Neurogenic pulmonary oedema
Drugs:
Heroin; Paraquat; aspirin; protamine; heparin
2. Pneumonia
Bacterial
Viral
Legionella
Protozoa
3. Lung contusion
Trauma
4. Aspiration injury
Gastric juice
Smoke
Chemicals
Drowning
5. Embolization
Amniotic fluid
Fat embolization
Penyebab ARDS dapat juga dikelompokkan menjadi dua, yaitu cedera
paru langsung dan cedera paru tidak langsung. Cedera paru langsung disebabkan
oleh pneumonia, aspirasi, kontusio paru, penetrasi paru, emboli lemak, tenggelam,
trauma inhalasi, dan edema paru reperfusi akibat transplantasi paru sedangkan
cedera paru tidak langsung dapat disebabkan sepsis, trauma berat disertai syok
hipovolemi, overdosis obat, bypass kardiopulmoner, pankreatitis akut, dan
transfusi.
Insidensi ARDS berdasarkan penyebabnya adalah sebagai berikut:
1. sepsis syndrome
43%
2. multiple tranfusion
40%
3. near drowning
37,5 %
4. pulmonary contusion
30 %
5. aspiration
26 %
6. multiple fractures
23%
7. drug overdose
13%
Pelaksanaan:
1. Tentukan tempat yang akan dilakukan penusukan.
2. Siapkan spuit yang telah diisi heparin 0,1 cc heparin (pengisian dilakukan
dengan menghisap 2 cc heparin, kemudian keluarkan kembali dan
sisakan sebanyak 0,1 cc dalam spuit).
3. Lakukan desinfeksi pada area yang akan ditusuk dengan menggunakan
kapas alkohol.
4. Tusukkan jarum (450 untuk arteri radialis, 900 untuk arteri femoralis),
ketika jarum mengenai arteri, tidak diperlukan aspirasi karena darah akan
keluar dengan sendirinya.
5. Setelah sampel darah cukup, cabut jarum dan lakukan penekanan pada
tempat penusukan. Penekanan dilakukan selama 5 menit untuk arteri
radialis dan 10 menit untuk arteri femoralis.
6. Segera setelah dicabut, cek kemungkinan adanya
udara yang
tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan
tangan harus memerah dalam 15 detik, warna merah menunjukkan test allens
positif. Apabila tekanan dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allens
negatif. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan
yang lain.
Komplikasi :
-
3. Blood Test
Untuk melihat kondisi dari keadaan organ seperti ginjal dengan
pemeriksaan ureum, kreatinin. Hilangnya oksigen dari sindroma ini dapat
menyebabkan kerusakan pada organ seperti ginjal.
Untuk membantu menegakkan diagnosis dari ADRS, seringkali digunakan
penilaian secara kuantitatif berdasarkan score LSI ( Lung Score Injury).
Sebenarnya LSI merupakan penilaian untuk Acute Lung Injury (ALI) yang
merupakan suatu keadaan yang dapat mengawali Acute Distress Respiratory
Syndrome (ADRS).
The lung injury score (Murray score)
1. Skor dari X-Foto Dada
Tidak ada konsolidasi alveolar
Konsolidasi alveolar terbatas pada
Konsolidasi alveolar terbatas pada
Konsolidasi alveolar terbatas pada
Konsolidasi alveolar terbatas pada
2. Skor Hipoksemia
PaO2/FiO2
PaO2/FiO2
PaO2/FiO2
PaO2/FiO2
PaO2/FiO2
0
1
2
3
4
1 quadrant
2 quadrant
3 quadrant
4 quadrant
300
225-299
175-224
100-174
100
0
1
2
3
4
5 cm H2O
6-8 cm H2O
9-11 cm H2O
12-14 cm H2O
15 cm H2O
Score
0
0.1-2.5
2.5
Pengobatan
Hingga kini, belum ada pengobatan khusus yang benar-benar efektif untuk
melawan ARDS, semisal antibodi monoklonal terhadap endotoksin, antibodi
monoklonal terhadap tumor necrosis factor, antagonis reseptor interleukin-1,
profilaksis PEEP, oksigenasi membran ekstrakorporeal serta mengurangi CO 2
ekstrakorporeal, IV albumin, obat-obatan untuk ekspansi volume dan kardiotonik
untuk oksigenasi, kortikosteroid untk ARDS akut, ibuprofen parenteral untuk
menghambat siklooksigenase, prostaglandin E1, serta pentoxifylline.
Yang dilakukan sekarang ini adalah menempatkan pasien ARDS di ICU
dengan dukungan ventilator mekanik dan cairan. Pada ARDS, meskipun terjadi
edema alveolar, infus tetap diberikan agar mampu menjaga volume intravaskular.
Oleh karenanya, fokus pengobatan ARDS adalah menjaga agar pasien
10
0
1
2
3
4
0
1
2
3
4
Antibiotika
Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empirik antibiotik mesti dimulai
selagi kultur dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau
aspirasi trakhea. Kultur ini membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini
serta memantau terapi antibiotik. Setelah hasil kultur tersedia, terapi antibiotika
yang memadai harus segera diberikan. Untuk memperkuat imunitas pencernaan,
sebaiknya dalam 48 hingga 72 jam pasien sudah harus dibiasakan makan dengan
saluran pencernaan normal alias jalur enteral.
Kortikosteroid
Dikarenakan ARDS berhubungan dengan peradangan paru-paru, steroid
kadang digunakan. Kortikosteroid biasanya diberikan dalam dosis besar, lebih
disukai metilprednisolon 30mg/kg BB secara intravena setiap 6 jam. Steroid
dipergunakan dikarenakan beberapa manfaat seperti dosis moderat steroid yang
diberikan dalam 7 hari atau lebih setelah terjadinya ARDS dapat meningkatkan
fungsi paru-paru dan kelangsungan hidup meningkat. Selain itu pasien yang
diobati dengan steroid mampu menyapih dari ventilator mekanik lebih awal dari
peserta yang tidak menerima steroid (14 hari dibandingkan dengan 27 hari), dan
memiliki lebih sedikit hari perawatan intensif selama 28 hari pertama penelitian.
Namun dibalik semua manfaat tersebut, steroid diduga membuka peluang
terjadinya infeksi paru. Hal ini yang menjadikan kortikosteroid sebagai sebuah
kontroversi.
11
Manajemen Cairan
Beberapa studi telah menunjukkan hasil bahwa fungsi pulomer dan
hasilnya akan lebih baik bila pasien kehilangan berat badan atau terjadi penurunan
pulmonary wedge pressure dikarenakan diuresis atau restriksi cairan.
Prone Position
Pasien ARDS memiliki distribusi paru-paru yang tidak seragam. Oleh
karenanya, demi menjaga efektivitas pernapasan ARDS, telah terbukti bahwa
posisi pasien yang dibaringkan secara tengkurap akan mengalami perbaikan yang
berarti. Kemungkinan posisi ini memperbesar perfusi dan pertukaran gas seperti
pada keadaan normal, serta membebaskan atelektasis. Meski menelungkupkan
pasien juga tidak mudah dikerjakan, namun posisi seperti ini telah lama
diaplikasikan dan membawa hasil yang tidak buruk bagi pasien.
Inhalasi Nitric Oxide (NO)
Inhalasi NO menurunkan kemungkinan terjadi hipertensi pulmonal serta
memperbaiki oksigenasi arterial tanpa menyebabkan hipotensi sistemik. NO
sangat potensial berfungsi sebagai vasodilator selektif pulmoner. Namun sampai
sekarang masih dipertanyakan keamanan penggunaan senyawa NO untuk pasien
ARDS akut, mengingat NO bersifat toksik termasuk pada paru.
Terapi surfaktan
Pemberian surfaktan sintetik tidak memberi hasil yang memuaskan,
sementara surfaktan alami terbukti memberi efek yang sangat baik meskipun
tergolong jarang digunakan. Sehingga dianjurkan untuk tidak diberikan secara
rutin.
Ventilasi Mekanik
Kebanyakan pasien memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan
dengan ventilator mekanis. Intubasi endotrakea dan PPV face mask mesti
12
dikerjakan jika frekuensi napas lebih dari 30 kpm atau jika FiO 2 lebih besar dari
60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2 arteri tetap berada sekitar 70 mmHg selama
lebih dari beberapa jam. Sebagai alternatif intubasi, continous positive airway
pressure (CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS sedang atau berat secara
efektif. Pemasangan masker napas ini mesti dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran karena berisiko aspirasi dan mesti digantikan
dengan ventilator jika pasien mengalami perburukan gejala ARDS.
Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran
volume tidal 10 hingga 15 mL/kg, PEEP 5-10 cm H 2O, FiO2 60%, dengan mode
pengontrolan yang dipicu oleh pasien (patient-triggered assisted-control mode).
Terdapat beberapa pendapat yang menyakan bahwa ventilator dengan
tekanan dan volumee yang tinggi dapat memperburuk keadaan paru pasien ARDS,
namun sampai sekarang pendapat ini belum bisa dibuktikan dengan baik
PEEP (Positive End-Expiratory Pressure)
Ventilasi dilakukan secara intermiten dengan irama awal sebesar 10 hingga
12 napas per menit tentunya dengan PEEP. Justru PEEP yang terlalu rendah yang
dapat merusak paru karena menyebabkan bagian distal paru yang tidak stabil
dipaksa untuk terbuka dan tertutup berulang-ulang.
Masalah ini dapat diatasi dengan penyetelan volume tidal yang rendah
(hanya 6 sampai 8 mL/kg) namun PEEP yang lebih tinggi (antara 10 hingga 18 cm
H2O). Tujuan penyetelan volume tidal yang kecil ialah mencegah pernapasan
berlebih yang dipaksa oleh ventilator akibat titik infleksi (defleksi) yang melebihi
batas kurva tekanan napas pasien tersebut, keadaan ini bisa juga menyebabkan
overdistensi paru. Akibatnya, paru-paru tetap akan bertambah kaku, serta terjadi
peningkatan tekanan plateau ventilator karena tekanan yang diperlukan untuk
menjaga paru dan inflasi dinding dada telah habis terpakai. Untuk alasan teknis,
titik infleksi atas paru sering tidak dihitung secara langsung. Taktiknya, dengan
menyetel tekanan plateau ventilator tidak lebih dari 25 hingga 30 cm H 2O, insya
Allah pasien tidak akan tersiksa akibat ventilator ini. Apalagi dengan penurunan
volume tidal paru, frekuensi napas dari ventilaor dapat ditingkatkan untuk
13
mengatur pH dan PCO2 yang cukup. Jika pH arteri turun di bawah 7.20, akan
terjadi infusi bikarbonat secara perlahan-lahan. Beberapa pasien mungkin akan
menunjukkan hiperkapina dan asidosis respiratorik, namun biasanya keadaan ini
dapat terkompensasi dengan baik. Daripada ambil risiko menyetel pernapasan
pasien terlalu tinggi dengan paksa, lebih baik menurunkan setelan namun tetap
dijaga dengan pemantauan yang intensif.
Secara teoretis, PEEP yang dipilih mesti beberapa cm H 2O di atas titik
infleksi bawah kurva tekanan napas pasien. Tindakan ini bertujuan agar makin
banyak alveolus yang bisa berfungsi lagi serta mencegah inflasi yang berlebihan.
Jika titik bawah infleksi masih tidak bisa ditentukan secara langsung, dibutuhkan
PEEP dengan nilai 10 hingga 15 cm H2O. Jika telah ditentukan nilai PEEP yang
tepat, FiO2 ventilator biasanya akan turun hingga ke batas yang normal <50 atau
60%. Artinya, akan tercapai PaO2 yang memuaskan, yakni 60% atau saturasi O 2
90%. Untuk perfusi O2 yang adekuat ke jaringan, indeks kardiak mesti 3
L/min/m2, bahkan kadang-kadang infusi volume atau obat-obatan kardiotonik
parenteral dibutuhkan.
Sebagai alternatif, daripada pusing-pusing mengatur tekanan ventilasi
mekanis, patok saja tekanan tetap terutama untuk pasien ARDS berat. Caranya,
dengan memilih durasi dan tekanan inspirasi, namun volume tidal diset fleksibel
sesuai hambatan inspirasi, hindari ventilasi mekanis dengan tekanan tinggi,
meskipun pasien kadang akan hiperkapnia. Intinya, sekali lagi paru yang sudah
rusak parah tidak boleh dipaksa untuk bekerja lebih keras lagi. pendekatan ini
sering dikombinasikan dengan rasio ventilasi yang terbalik, yakni durasi inspirasi
diset sesuai atau lebih besar dari ekshalasi. Teknik pemanjangan durasi ini lebih
baik dikerjakan pada paru yang tidak terlalu rusak daripada hanya mengandalkan
PEEP (sebagian dengan memproduksi PEEP intrinsik atau auto PEEP), dengan
demikian FiO2 mau tak mau akan otomatis menurun nantinya. Teknik ini
sebenarnya tidak nyaman dan membutuhkan sedasi pasien, kalau perlu dengan
pelumpuh otot.
Sebagaimana pasien membutuhkan pemasangan ventilator dengan cepat, ada
saatnya pula ventilator mekanis ini mesti dilepas. Ventilator dapat dilepas jika
14
fungsi paru sudah membaik (misalnya kebutuhan O 2 dan PEEP sudah berkurang),
hasil rntgen sudah menunjukkan perbaikan, serta sudah tidak ada takipnea.
Biasanya, pasien yang memang tidak memiliki riwayat penyakit paru yang parah
sebelumnya, akan lebih mudah dilepas. Kesulitan pelepasan alat bantu napas
biasanya akibat adanya infeksi yang baru atau infeksi lama yang tidak diterapi
dengan baik, overhidrasi, bronkospasme, anemia, gangguan elektrolit, disfungsi
kardiak, atau status gizi yang sangat jelek yang menyebabkan kelemahan otot.
Jika penyulit-penyulit tersebut berhasil diperbaiki, ventilator dapat dilepas
perlahan-lahan dengan penyetelan ventilator intermiten, frekuensi napas yang
diturunkan, sering pula dengan ventilasi yang didukung oleh pengaturan tekanan
napas, atau dilepas begitu saja dengan meletakkan pipa T pada pipa endotrakeal.
Pada proses ini disetel PEEP yang rendah (sekitar 5 cm H 2O) agar nantinya pasien
bisa bernapas kembali dengan normal. Untuk penanganan lebih detail serta rawat
jalan yang baik, setelah fase emergensi selesai, terapi difokuskan pada etiologi
yang menyebabkan pasien menjadi ARDS. Dengan demikian dapat mencegah
kemungkinan timbulnya episode ARDS serupa di kemudian hari.
Daftar Pustaka
1. University of Pittsburgh Medical Centre. Acute Respiratory Distress
Syndrome. 2006. USA : Pittsburgh, PA. Cited from : www. upmc.com
2. Ware LB et al.The Acute Respiratory Distress Syndrome. New Eng J Med
2000; 342 :1334-1339
3. Hamiwanto S. Analisa Gas Darah. 2008. Disalin dari
http://www.elearning.unej.ac.id.
4. Murray JF et al. An expanded definition of the adult respiratory distress
syndrome. Am Rev Respir Dis. 1988; 138: 720-723
5. Garrard, CS. Care of the Critically Ill Patient. In: Oxford textbook of surgery [
serial on CD-ROM] 2002 [cited on 2011 Apr 27];
6. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001164/
7. http://www.emedicinehealth.com/acute_respiratory_distress_syndrome/page2
_em.htm
8. http://www.ardsusa.org/facts.htm
9. Hudson LD, et al Am J Respir Crit Care Med. 1995;151:293-301
10. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=108
15
16