Anda di halaman 1dari 22

Widya Audisti

Gamma
04011381419182
DIABETES MELLITUS TIPE I
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kerusakan sel- pankreas baik oleh proses autoimun
maupun idioptaik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.
Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ADA 1998).

Kriteria diagnostik
Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler <
126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga
perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat
badan yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/
dL (11.1 mmol/L).
2. Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi
dari normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih
dari satu kali pemeriksaan.
2.2.1. Tes Toleransi Glukosa
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan
untuk mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas.
Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu
ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan
kadar glukosa darah tidak menyakinkan.
Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum
75 g). Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200250mlair)dalamjangkawaktu5menit.Testoleransiglukosadilakukan setelah
anak mendapat diet tinggi karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga
hari berturut-turut dan anak puasa semalam menjelang TTG dilakukan.
Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi.
Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari- hari. Sampel glukosa darah
diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral), 60 dan 120.
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam melaksanakan TTG yaitu:
1. Anak tidak sedang menderita suatu penyakit.
2. Anak tidak sedang dalam pengobatan/minum obat-obatan yang
dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
3. Jangan melakukan pemeriksaan dengan glukometer/kapiler,
gunakanlah darah vena.

4. Berhubung kadar glukosa darah dapat berkurang 5 % per jam


apabila dibiarkan dalam suhu kamar, maka setelah darah vena
diambil dengan pengawet EDTA/heparin harus segera disimpan di
lemari es.
5. Selain cara ad.4, maka sampel darah dapat harus segera disentrifus agar kadar glukosa darah tidak menurun.

Penilaian hasil tes toleransi glukosa


1. Anak menderita DM apabila:
Kadar glukosa darah puasa 140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau Kadar
glukosa darah pada jam ke 2 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila: Kadar
glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar glukosa
darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
3. Anak dikatakan normal apabila :
Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L) dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
2.3. Epidemiologi
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000
dan insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang
15 tahun. Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan
ras-ras lainnya.
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1
pada anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa
lebih dari 50 % penderita baru DM tipe-1 berusia > 20 tahun.
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe1. Walaupun hampir 80 % penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai
riwayat keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor genetik diakui
berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan
pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya
ataupun faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistim HLA berperan
sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan. Diperlukan
suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin dll)
untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan.
Gambaran klinis

Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis


yang akut. Biasanya gejala-gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan berat
badan yang cepat menurun terjadi antara 1 sampai 2 minggu sebelum
diagnosis ditegakkan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dengan
hiperglikemia maka diagnosis DM tidak diragukan lagi.
Insidens DM tipe-1 di Indonesia masih rendah sehingga tidak jarang
terjadi kesalahan diagnosis dan keterlambatan diagnosis. Akibat
keterlambatan diagnosis, penderita DM tipe-1 akan memasuki fase
ketoasidosis yang dapat berakibat fatal bagi penderita. Keterlambatan ini
dapat terjadi karena penderita disangka menderita bronkopneumonia
dengan asidosis atau syok berat akibat gastroenteritis.
Kata kunci untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah
kewaspadaan terhadap DM tipe-1. Diagnosis DM tipe-1 sebaiknya
dipikrkan sebagai diferensial diagnosis pada anak dengan enuresis
nokturnal (anak besar), atau pada anak dengan dehidrasi sedang sampai
berat tetapi masih ditemukan diuresis (poliuria), terlebih lagi jika disertai
dengan pernafasan Kussmaul dan bau keton.
Perjalanan alamiah penyakit DM tipe-1 ditandai dengan adanya fase
remisi (parsial/total) yang dikenal sebagai honeymoon periode. Fase ini
terjadi akibat berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga
pankreas mensekresikan kembali sisa insulin. Fase ini akan berakhir
apabila pankreas sudah menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis
ada tidaknya fase ini harus dicurigai apabila seorang penderita baru DM
tipe-1 sering mengalami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan
insulin harus dikurangi untuk menghindari hipoglikemia. Apabila dosis
insulin yang dibutuhkan sudah mencapai < 0,25 U/kgBB/hari maka dapat
dikatakan penderita berada pada fase remisi total. Di negara
berkembang yang masih diwarnai oleh pengobatan tradisional, fase ini
perlu dijelaskan kepada penderita sehingga anggapan bahwa penderita
telah sembuh dapat dihindari. Ingat, bahwa pada saat cadangan insulin
sudah habis, penderita akan membutuhkan kembali insulin dan apabila
tidak segera mendapat insulin, penderita akan jatuh kembali ke keadaan
ketoasidosis dengan segala konsekuensinya.
Perjalanan penyakit selanjutnya sangat tergantung dari kualitas
pengelolaan sehari-hari yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya.
Pengelolaan DM tipe-1
Hal pertama yang harus dipahami oleh semua pihak adalah bahwa DM
tipe-1 tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup penderita dapat
dipertahankan seoptimal mungkin dengan kontrol metabolik yang baik.
Yang dimaksud kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar
glukosa darah berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal,
tanpa menyebabkan hipoglikemia. Walaupun masih dianggap ada
kelemahan, parameter HbA1c merupakan parameter kontrol metabolik

standar pada DM. Nilai HbA1c < 7% berarti kontrol metabolik baik; HbA1c
< 8% cukup dan HbA1c > 8% dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu
disesuaikan dengan usia karena semakin rendah HbA1c semakin tinggi
risiko terjadinya hipoglikemia.
Untuk mencapai kontrol metabolik yang baik pengelolaan DM tipe-1 pada
anak sebaiknya dilakukan secara terpadu oleh suatu tim yang terdiri dari
ahli endokrinologi anak/dokter anak/ahli gizi/ahli psikiatri/psikologi anak,
pekerja sosial, dan edukator. Kerjasama yang baik antara tim dan pihak
penderita akan lebih menjamin tercapainya kontrol metabolik yang baik.
Sasaran dan tujuan pengobatan pada DM tipe-1 perlu dijelaskan oleh tim
pelaksana dan dimengerti oleh penderita maupun keluarga (Tabel 2).

Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM


tipe-1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga,
dan edukasi, yang didukung oleh pemantauan mandiri (home
monitoring). Keseluruhan komponen berjalan secara terintegrasi untuk
mendapatkan kontrol metabolik yang baik. Dari faktor penderita juga
terdapat beberapa kendala pencapaian kontrol metabolik yang baik.
Faktor pendidikan, sosioekonomi dan kepercayaan merupakan beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan penderita
terutama dari segi edukasi
Berhubung dengan beberapa kendala yang telah disebutkan sebelumnya,
mutu pengelolaan DM tipe-1 sangat bergantung pada proses dan hasil
konsultasi penderita/keluarga penderita dengan tim, antara lain dengan
dokter. Hubungan timbal balik dokter-pasien yang baik, jujur, terbuka, dan
tegas akan sangat membantu penderita menanamkan kepercayaan
kepada dokter sehingga memudahkan pengelolaan selanjutnya. Dokter
tidak saja berfungsi mengatur dosis insulin, tetapi juga menyesuaikan
komponen-komponen pengelolaan lainnya sehingga sejalan dengan
proses tumbuh kembang. Wawancara yang tidak bersifat interogatif akan
merangsang keterbukaan penderita sehingga memudahkan dokter untuk
mengerti gaya hidup dan cita-cita penderita. Dalam hal ini dokter akan
dengan mudah menjalankan peran sebagai kapten dari seluruh

komponen pelaksana sehingga secara bersama-sama mampu


mempertahankan kualitas hidup penderita.
Patogenesis
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kehancuran selektif
sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap
akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah
dipelajari untuk menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Pada awalnya diduga
bahwa antigen B8 dan B15 HLA kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada
frekuensi di penderita diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, baru-baru
fokus telah bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih
menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA DQ telah terlibat dalam
kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen panjang polimorfisme (RFLP) dan
disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) untuk
memperkuat urutan DNA spesifik, telah meningkatkan pemahaman kami tentang kompleks
HLA dan keterlibatan alel HLA dalam kerentanan penyakit. Bukti diajukan menunjukkan
bahwa kemampuan untuk memberikan kerentanan atau resistensi terhadap DM tipe 1 berada
dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-HLA-DQ. Penggunaan lokus spesifik
oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai b-HLA urutan DQ telah membantu
untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan jenis DM tipe 1 terkait DQ alel.
Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe yang membawa alel DQW8 pada
lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe 1. Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM
tipe 1 dan kontrol menunjukkan bahwa haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda
dengan yang secara negatif berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain
pertama rantai b-HLA-DQ. Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin pada
posisi 57,sedangkan haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan pada posisi 57, tapi
beberapa pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57". Yang terpenting adalah
ditemukan DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki asam aspartat pada posisi 57, di Jepang
pasien DM tipe 1 sangat berhubungan dengan DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa
mekanisme lain harus terlibat untuk menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di beberapa
kelompok. Hubungan yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan sebagai
konsekuensi dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1. Keterlibatan
rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat menunjukkan bahwa fungsi
presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan untuk kerentanan DM tipe 1.
Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena autoimun Nepons telah
menyarankan model dimana alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai
berikut: a). susunan dimer kelas II yang dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu,
bervariasi afinitasnya untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta;
b). hanya dimer kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan
autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu rentan jika produk dari gen
kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk gen tidak rentan yang ada dalam
individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA tertentu
yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus
untuk merangsang respon imun terhadap sel beta pankreas.
Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase
(GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen

sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan
protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk
menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk
bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai
GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang terikat ke
antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua monoklonal antibodi yang
diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin
target antigen utama pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda
sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang
rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi
juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang
laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk
perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA. Kontribusi dari autoantigens
disebutkan di atas untuk induksi dan atau kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi.
Jelas, bahwa identifikasi dari autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan
diagnostik dan untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.
Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah dianalisis dalam model
hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan
tikus MLD STZ dengan diabetes yang diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk
memahami proses yang menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan
yang diambil dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia,
maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T CD4+ spesifik
menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di semua model hewan DM tipe 1.
Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke
tikus prediabetes atau nondiabetes, menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga
bahwa sel T CD4+ cukup untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T
CD8+ berkontribusi pada kerusakan yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti
bahwa insulitis di pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi
dengan tidak adanya sel T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel
imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya hanya satu
subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit. Penurunan regulasi
respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari hewan yang dirawat dengan
adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+ saling mempengaruhi. Hasil awal oleh
kelompok Lafferty (akan diterbitkan) menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan
tidak menghalangi respon autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin
Th-1 ke Th-2. Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma
ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun model
eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan mengaktifkan
makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan mikroskopis
elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang
menyerang islets.
Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan bahwa Interleukin 1
(IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-), dua sitokin terutama diproduksi oleh makrofag,
menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin. Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak
berkontribusi dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator

kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang
menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes
DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat
menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru
pada agen immunofarmakologi, dimana
mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan
DM tipe 1.
Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian untuk
DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar identik. Kesesuaiannya kurang
dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I telah memberikan kontribusi ke sebuah
penelusuran faktor lingkungan yang terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa
faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi
rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari
mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan bahwa urutan
asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope virus rubella yang akan
mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi dalam DM tipe I. Peran faktor
lingkungan juga disarankan oleh analisis respon imun terhadap protein susu sapi, dimana
hampir semua pasien DM tipe 1 memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan
menunjukkan respon sel T untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang
ada di permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari kontrol.
Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka
hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1) peningkatan glukoneogenesis
(pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan
glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.
GejalaKlinis
Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
Hiperglikemia ( 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria
Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam ketoasidosis diabetik yang disertai
atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik. Oleh
karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita harus segera dirawat inap.
Diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis
Laboratorium :
Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl dan 2 jam setelah makan > 200 mg/dl. Ketonemia,
ketonuria.
Glukosuria
Bila hasil meragukan atau asimtomatis, perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral (oral
glucosa tolerance test).

Kadar C-peptide.
Marker imunologis : ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin auto-antibody), Anti GAD
(Glutamic decarboxylase auto-antibody).
Penatalaksanaan

Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.

Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih.
Gejala hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase
honeymoon. Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai
kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.

Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia
pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut : 1000 + (usia dalam tahun x
100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15%
protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil
sebagai berikut :

20% berupa makan pagi.

10% berupa makanan kecil.

25% berupa makan siang.

10% berupa makanan kecil.

25% berupa makan malam.

10% berupa makanan kecil.


Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain.

Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati,
dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda end stage renal disease dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif untuk identifikasi
penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria mendahului
makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining
mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan
pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai
terjadinya nefropati diabetik.
Tindakan : pengobatan hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).
Pemantauan
Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis, baik
dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun secara mandiri di rumah, meliputi :
-keadaan umum, tanda vital.
-kemungkinan infeksi.
-kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan glukometer) setiap
sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.
-kadar HbA1C (setiap 3 bulan).
-pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl).mikroalbuminuria (setiap 1
tahun).
-fungsi ginjal.
-funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5 tahun
menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas).
-tumbuh kembang.

Analisis Masalah :
Pemeriksaan Spesifik
Kepala : Mulut dan bibir kering
1.Apa penyebab mulut dan bibir kering pada An. M?
jawab :
1. Efek Samping dari Obat : Mulut kering dapat disebabkan sebagai efek samping dari obatobatan yang sedang dikonsumsi untuk menjaga diabetes dibawah kontrol. Juga, beberapa
pasien mengambil obat-obatan untuk menjaga tekanan darah mereka dan untuk mencegah
penyakit jantung yang mungkin dipicu oleh diabetes. Ini juga diketahui menyebabkan mulut
kering pada pasien.
2. Dehidrasi : Penderita diabetes rentan terhadap dehidrasi, dan salah satu efek dari hal ini
adalah mulut kering.
3. Masalah Ginjal : Bahkan masalah ginjal mungkin akibat diabetes, sehingga menyebabkan
tingkat hidrasi dalam tubuh tidak seimbang. Mulut kering kemudian dapat menjadi pengaruh
kondisi ini.
4. Gula Darah Tinggi : Kadar gula darah tinggi atau hiperglikemia juga cenderung
mempengaruhi tubuh dalam banyak cara, salah satunya adalah mulut kering.
Sources :
http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/KONSENSUS-NASIONALPENGELOLAHAN-DM-1.pdf
http://aulanni.lecture.ub.ac.id/files/2012/04/MAKALAH-DIABETES-MELITUS-TIPE-I.pdf

KETOASIDOSIS
DEFINISI
KAD didefinisikan sebagai kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan
penurunan kadar insulin efektif di dalam tubuh, atau berkaitan dengan resistensi
insulin, dan peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni: glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormone.
PATOGENESA
Adanya defisiensi insulin baik secara relatif maupun absolut yang disertai
peningkatan hormon-hormon kontra regulator yakni: glukagon, katekolamin, kortisol,

dan growth hormone, menyebabkan hiperglikemia disertai peningkatan lipolisis dan


produksi keton. Defisiensi insulin absolut atau relatif menyebabkan hiperglikemia
melalui 3 proses: peningkatan glukoneogenesis yang terjadi di hati dan ginjal,
peningkatan glikogenolisis, dan gangguan utilisasi glukosa oleh jaringan perifer.
Adanya hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik, hal ini akan menyebabkan
dehidrasi dan kehilangan mineral dan elektrolit (Na, K, Ca, Mg, Cl, dan PO). Nilai
ambang ginjal terhadap kadar glukosa darah (+200 mg/dL) dan keton akan
terlampaui, sehingga terjadi ekskresi glukosa melalui ginjal yang mencapai 200
g/hari dan keton urine yang mencapai + 2030 g/hari, dengan total osmolaritas urine
+ 2000 mOsm. Efek osmotik dari glukosuria menyebabkan terganggunya reabsorbsi
NaCl dan HO tubulus proksimal dan loop of Henle.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator menyebabkan
aktifasi "hormone-sensitive lipase" pada jaringan lemak. Peningkatan aktifitas lipase
pada jaringan lemak ini menyebabkan pemecahan trigliserida menjadi gliserol dan
asam lemak bebas. Gliserol merupakan prekursor glukoneogenesis di jaringan hati,
sedangkan asam lemak bebas setelah mengalami oksidasi di hati dengan melalui
stimulasi glukagon akan diubah menjadi keton yang terdiri atas: asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton. -hidroksibutirat dan asetoasetat merupakan merupakan
asam kuat yang dapat menyebabkan asidosis metabolik. Secara lebih utuh
patogenesis terjadinya KAD dan SHH terlihat pada gambar 1.
Insulin sendiri pada kadar yang rendah lebih merupakan anti-lipolisis daripada untuk
uptake glukosa. Keberadaan insulin inilah yang merupakan salah satu faktor
penentu terjadinya KAD atau status hiperglikemi hiperosmolar (SHH) pada penderita
DM.
EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Kejadian ketoasidosis diabetik pada anak meliputi wilayah geografik yang luas dan bervariasi
bergantung onset diabetes dan sebanding dengan insidensi IDDM di suatu wilayah. Frekuensi
di Eropa dan Amerika Utara adalah 15% - 16%. Di Kanada dan Eropa, angka kejadian KAD
yang telah dihospitalisasi dan jumlah pasien baru dengan IDDM telah diteliti, yaitu sebanyak
10 dari 100.000 anak.

Onset KAD pada IDDM lebih sering terjadi pada anak yang lebih muda (berusia < 4 tahun),
memiliki orang tua dengan IDDM, atau mereka yang berasal dari keluarga dengan status
sosial ekonomi rendah. Pemberian dosis tinggi obat-obatan seperti glukokortikoid,
antipsikotik atipik, diazoksida, dan sejumlah immunosuppresan dilaporkan mampu
menimbulkan KAD pada individu yang sebelumnya tidak mengalami IDDM.
Risiko KAD pada IDDM adalah 1 10% per pasien per tahun. Risiko meningkat pada anak
dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah mengalami episode KAD, anak
perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan
makan), dan kondisi keluarga yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah
asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu
terjadinya KAD.

Anak yang mendapat terapi insulin secara teratur dan terkontrol jarang mengalami episode
KAD. Sekitar 75% episode KAD berkaitan dengan kelalaian pemberian insulin atau
pemberian yang salah. Angka mortalitas KAD di sejumlah negara relatif konstan, yaitu
0,15% di Amerika Serikat, 0,18% di Kanada, 0,31% di Inggris. Di tempat dengan fasilitas
medik yang kurang memadai, risiko kematian KAD relatif tinggi, dan sebagian penderita
mungkin meninggal sebelum mendapatkan terapi.
Edema serebri terjadi pada 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD. Insidensi edema
serebri relatif konstan pada sejumlah negara yang diteliti: Amerika Serikat 0,87%, Kanada
0,46%, Inggris 0,68%. Dari penderita yang bertahan, sekitar 10-26% mengalami morbiditas
yang signifikan. Meski demikian, sejumlah individu ternyata tidak mengalami peningkatan
morbiditas dan mortalitas bermakna setelah kejadian KAD dan edema serebri.
Selain edema serebri, penyebab peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada KAD
mencakup hipoglikemia, hipokalemia, hiperkalemia, komplikasi susunan saraf pusat,
hematom, trombosis, sepsis, infeksi, pneumonia aspirasi, edem pulmonar, RDS, dan
emfisema. Beberapa sekuele lanjut yang berkaitan dengan edema serebri dan komplikasi SSP
mencakup insufisiensi hipotalamopituitary, defisiensi growth hormone, dan defisiensi
thyroid-stimulating hormone.

GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSA


Gejala klinis KAD biasanya berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 24 jam.
Poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi beberapa
hari menjelang KAD, dan seringkali disertai gejala mual, muntah dan nyeri perut.
Adanya nyeri perut sering disalahartikan sebagai 'acute abdomen', dan dilaporkan
dijumpai pada 40-75% kasus KAD. Walaupun penyebabnya belum diketahui
secara pasti, asidosis metabolik diduga menjadi penyebab utama gejala nyeri
abdomen, gejala ini akan menghilang dengan sendirinya setelah asidosisnya
teratasi..
Pada pemeriksaan klinis sering dijumpai penurunan kesadaran, dan bahkan koma
(10% kasus), tanda-tanda dehidrasi dan syok hipovolemia (kulit/mukosa kering dan
penurunan turgor, hipotensi dan takikardi). Tanda klinis lain adalah napas cepat dan
dalam (Kussmaul) yang merupakan kompensasi hiperventilasi akibat asidosis
metabolik, disertai bau aseton pada napasnya.
Walaupun amat jarang terjadi, pada anak yang lebih besar (remaja) keadaan klinis di
atas harus dibedakan dengan status hiperglikemi hiperosmolar (SHH) atau yang
dahulu disebut sebagai hiperglikemi-hiperosmolar non-ketotik .
Pada SHH sering didapatkan tanda klinis antara lain: hiperglikemia (sering melebihi
600 mg/dL), tanpa ketosis atau hanya ringan, asidosis non-ketotik, dehidrasi yang
berat, gangguan kesadaran yang berat, kejang, hemiparesis, refleks Babinski positif,
hipertemia, dan sering disertai napas Kussmaul (asidosis laktat). Osmolaritas serum
sering melebihi 350 mOsm/kg.

Tabel1: Kriteria diagnostik KAD dan SHH.

KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, dan koma yang lain
termasuk: hipoglikemia, uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis
laktat, intoksikasi salisilat, ensefalitis, dan lesi intrakranial, seperti tampak pada
gambar 2.
Diagnosis KAD didasarkan atas adanya "trias biokimia" yakni: hiperglikemia,
ketonemia, dan asidosis.. Kriteria diagnosis yang telah disepakati luas adalah
sebagai berikut :

Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).

Asidosis, bila pH darah < 7,3,

kadar bikarbonat < 15 mmol/L).

Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut:

Ringan

Sedang

Berat

: bila pH darah 7,25 7,3, bikarbonat 10 15 mmol/L. : bila pH darah 7,1


7,24, bikarbonat 5 10 mmol/L. : bila pH darah < 7,1, bikarbonat < 5 mmol/L.

TATALAKSANA
Anak dengan ketosis dan hiperglikemia tanpa disertai gejala muntah dan
dehidrasi berat dapat diterapi di rumah atau pusat layanan kesehatan
terdekat. Namun, untuk mendapatkan perawatan yang baik, perlu
dilakukan reevaluasi berkala dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh
dokter ahli. Dokter anak yang telah mendapat pelatihan penanganan KAD
harus terlibat langsung. Anak juga dapat dimonitoring dan diterapi sesuai
standar baku, serta dilakukan berbagai pemeriksaan laboratoris secara
berkala untuk mengevaluasi sejumlah parameter biokimia.8 Anak dengan
tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau
penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema
serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan
dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima penanganan
prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan
pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik
intravena, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental.8 Penanganan
pasien anak dengan KAD, antara lain:
Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi
dasar, yaitu airway, breathing, dan circulation.
Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by
mouth, suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi,
diberikan antibiotik. Tujuan utama terapi pada satu jam pertama
resusitasi cairan dan pemeriksaan laboratorium adalah:
- Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam
atau kurang.
- Glukosa : Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum
mencapai 250 300 mg/dL selama rehidrasi.

Tujuan berikutnya dilakukan pada jam-jam selanjutnya setelah


hiperglikemia, asidosis dan ketosis teratasi, yaitu monitoring, pemeriksaan
laboratorium ulang, stabilisasi glukosa darah pada level 150 - 250 mg/dL.
Monitoring
Perlu dilakukan observasi dan pencatatan per jam mengenai keadaan
pasien, mencakup medikasi oral dan intravena, cairan, hasil laboratorium,
selama periode penanganan. Monitoring yang dilakukan harus mencakup:
Pengukuran nadi, respirasi, dan tekanan darah per jam.
Pengukuran input dan output cairan setiap jam (atau lebih sering).
Apabila terdapat gangguan derajat kesadaran, maka pemasangan
kateterisasi urine perlu dilakukan.
Pada KAD berat, monitoring EKG akan membantu menggambarkan profil
hiperkalemia atau hipokalemia melalui ekspresi gelombang T.
Glukosa darah kapiler harus dimonitor per jam (dapat dibandingkan
dengan glukosa darah vena, mengingat metode kapiler dapat menjadi
inakurat pada kasus asidosis atau perfusi perifer yang buruk)
Tes laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah, dan gas
darah harus diulangi setiap 2 4 jam. Pada kasus berat, pemeriksaan
elektrolit dilakukan per jam. Peningkatan leukosit menunjukkan adanya
stress fisiologik dan bukan merupakan tanda infeksi.
Observasi status neurologik dilakukan per jam atau lebih sering, untuk
menentukan adanya tanda dan gejala edema serebri: Nyeri kepala, detak
jantung melambat, muntah berulang, peningkatan tekanan darah,
penurunan saturasi oksigen, perubahan status neurologik (gelisah,
iritable, mengantuk, atau lemah). Pemeriksaan spesifik neurologik dapat
ditemukan kelumpuhan saraf kranialis atau penurunan respons pupil.
Cairan dan Natrium
Osmolalitas cairan yang tinggi di dalam kompartemen ekstraselular akan
menyebabkan pergeseran gradien cairan dari intrasel ke ekstrasel.
Beberapa penelitian terhadap pasien dengan IDDM yang mendapat terapi
insulin menunjukkan defisit cairan sebanyak kurang lebih 5L bersamaan
dengan kehilangan 20% garam natrium dan kalium. Pada saat yang sama,
cairan ekstraselular mengalami penyusutan. Keadaan syok dengan
kegagalan hemodinamik jarang terjadi pada KAD. Pengukuran kadar
natrium serum bukan merupakan ukuran derajat penyusutan cairan
ekstrasel terkait efek dilusi cairan. Osmolalitas efektif (2[Na+ K+] +
glukosa) pada saat yang sama berkisar antara 300 350 mOsm/L.
Peningkatan ureum nitrogen serum dan hematokrit mungkin dapat
memprediksi derajat penyusutan cairan ekstraselular.
Onset dehidrasi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus,
yang menyebabkan penurunan regulasi kadar glukosa dan keton yang
tinggi di dalam darah. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa
pemberian cairan intravena saja akan menyebabkan penurunan kadar
glukosa darah dalam jumlah yang relatif besar akibat peningkatan laju
filtrasi glomerulus. Tujuan pemberian cairan dan natrium pada KAD,
antara lain:

Mengembalikan volume sirkulasi efektif.


Mengganti kehilangan natrium dan cairan intrasel maupun ekstrasel.
Mengembalikan laju filtrasi glomerulus dengan meningkatkan clearance
glukosa dan keton dari dalam darah.
Menghindari edema serebri.
Pada penelitian terhadap hewan dan manusia, terlihat bahwa ada
kemungkinan terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama pemberian
cairan intravena. Pada hewan coba yang dibuat ke dalam kondisi KAD,
tampak bahwa pemberian cairan hipotonik, bila dibandingkan cairan
hipertonik, berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pada
pemberian cairan isotonik atau yang mendekati isotonik dapat segera
mengatasi asidosis, bila diberikan sesuai standar. Namun, penggunaan
cairan isotonis 0,9% dalam jumlah besar juga memiliki risiko lain, yaitu
asidosis metabolik hiperkloremik.
Belum terdapat data yang mendukung penggunaan koloid dibandingkan
kristaloid dalam tatalaksana KAD. Juga belum terdapat data mengenai
pemberian cairan yang lebih encer dari larutan NaCl 0,45%. Penggunaan
cairan ini, yang mengandung sejumlah besar cairan dan elektrolit, dapat
menyebabkan perubahan osmolaritas dengan cepat dan memicu
perpindahan cairan ke dalam kompartemen intraselular.
Insulin Meskipun rehidrasi saja sudah cukup bermanfaat dalam
menurunkan konsentrasi glukosa darah, pemberian insulin juga tidak
kalah penting dalam normalisasi kadar glukosa darah dan mencegah
proses lipolisis dan ketogenesis. Meskipun diberikan dengan dosis dan
cara yang berbeda (subkutan, intramuskular, intravena), telah banyak
bukti yang menunjukkan pemberian insulin intravena dosis rendah
merupakan standar terapi efektif. Penelitian fisiologis menunjukkan bahwa
insulin pada dosis 0,1 unit/Kg/jam, yang akan mencapai kadar insulin
plasma 100 200 unit/mL dalam 60 menit, cukup efektif. Kadar ini cukup
potensial karena mampu mengimbangi kemungkinan resistensi insulin
dan yang paling penting menghambat proses lipolisis dan ketogenesis,
menekan produksi glukosa, dan menstimulasi peningkatan ambilan
glukosa di perifer. Pemulihan asidemia bervariasi bergantung normalisasi
kadar glukosa darah.2,3 Adapun pedoman pemberian insulin pada anak
dengan KAD, antara lain:5
Insulin tidak diberikan sampai hipokalemia terkoreksi.
Insulin diberikan 0,1 U/Kg secra bolus intravena, dilanjutkan dengan
pemberian 0,1 U/Kg/jam intravena secara konstan melalui jalur infus.
Untuk memberikan drip insulin, penambahan setiap unit regular insulin
setara dengan Kg berat badan pasien untuk setiap 100 mL salin.
Pengaturan kecepatan infus adalah 10 mL/jam, sehingga didapatkan dosis
0,1 U/Kg/jam.
Untuk menghindari keadaan hipoglikemia, dapat ditambahkan glukosa
secara intravena apabila glukosa plasma menurun hingga 250 300
mg/dL.

Kalium
Pada orang dewasa dengan KAD, terjadi penurunan kalium hingga 3 6
mmol/Kg. Namun, pada anak, data yang ada masih sedikit. Sebagian
besar kehilangan kalium dari intrasel adalah hipertonisitas, defisiensi
insulin, dan buffering ion hidrogen di dalam sel. Kadar kalium serum pada
awal kejadian dapat normal, meningkat, atau menurun. Hipokalemia yang
terjadi berkaitan dengan perjalanan penyakit yang lama, sedangkan
hiperkalemia terjadi akibat penurunan fungsi renal. Pemberian insulin dan
koreksi asidosis akan memfasilitasi kalium masuk ke intrasel sehingga
kadar dalam serum menurun.3,8
Adapun pedoman pemberian cairan dan kalium pada anak dengan KAD,
antara lain:3,7
Berikan larutan NaCl isotonik atau 0,45% dengan suplementasi kalium.
Penambahan kalium berupa kalium klorida, kalium fosfat, atau kalium
asetat.
Apabila kadar kalium serum berada pada nilai rendah yang
membahayakan, dipertimbangkan pemberian kalium oral (atau melalui
NGT) dalam formulasi cair. Apabila koreksi hipokalemia lebih cepat
daripada pemberian intravena, kecepatan pemberian harus dikurangi.
Apabila kadar kalium serum < 3,5, tambahkan 40 mEq/L kedalam cairan
intravena.
Apabila kadar kalium serum 3,5 5,0, tambahkan 30 mEq/L
Apabila kadar kalium serum 5,0 5,5, tambahkan 20 mEq/L
Apabila kadar kalium serum lebih besar dari 5,5, maka tidak perlu
dilakukan penambahan preparat kalium ke dalam cairan intravena.
Apabila kadar kalium serum tidak diketahui, evaluasi gambaran EKG
untuk menilai profil hiperkalemia pada EKG.
Fosfat
Penurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada
dewasa, penurunan berkisar antara 0,5 2,5 mmol/Kg, sedangkan pada
anak belum ada data yang lengkap. Penurunan kadar fosfat plasma
setelah terapi dimulai akan semakin memburuk dengan pemberian
insulin, karena sejumlah besar fosfat akan masuk ke kompartemen
intraselular. Kadar fosfat plasma yang rendah berhubungan dengan
gangguan metabolik dalam skala yang luas, yaitu penurunan kadar
eritrosit 2,3-difosfogliserat dan pengaruhnya terhadap oksigenasi jaringan.
Penurunan kadar fosfat plasma akan terjadi sampai beberapa hari setelah
KAD mengalami resolusi. Namun, beberapa penelitian prospektif
menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis yang bermakna pada terapi
penggantian fosfat. Meski demikian, dalam upaya menghindari keadaan
hipokalemia berat, kalium fosfat dapat diberikan secara aman yang
dikombinasikan dengan kalium klorida atau asetat untuk menghindari
hiperkloremia.
Asidosis
Asidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin.
Pemberian insulin akan menghentikan sintesis asam keton dan

memungkinkan asam keton dimetabolisme. Metabolisme keto-anion akan


menghasilkan bikarbonat (HCO3-) dan akan mengoreksi asidemia secara
spontan. Selain itu, penanganan hipovolemia akan memperbaiki perfusi
jaringan dan fungsi renal yang menurun, sehingga akan meningkatkan
ekskresi asam organik dan mencegah asidosis laktat.
Pada KAD, terjadi peningkatan anion gap. Anion utama dalam hal ini
adalah hidroksibutirat dan asetoasetat.
Anion gap = [Na+] [Cl-] + [HCO3-]
Nilai Normal: 12 2 mmol/L
Indikasi pemberian bikarbonat pada KAD masih belum jelas. Beberapa
penelitian menelaah pemberian natrium bikarbonat kepada sejumlah anak
dan dewasa, namun tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.
Sebaliknya, terdapat beberapa alasan untuk tidak menggunakan
bikarbonat. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa terapi bikarbonat
dapat menyebabkan asidosis SSP paradoksikal dan koreksi asidosis yang
terlalu cepat dengan bikarbonat akan menghasilkan keadaan hipokalemia
dan meningkatkan penimbunan natrium sehingga terjadi hipertonisitas
serum. Selain itu, terapi alkali dapat meningkatkan produksi badan keton
oleh hepar, sehingga memperlambat pemulihan keadaan ketosis.
Namun, pada pasien tertentu dan pada keadaan tertentu, pemberian
terapi alkali justru memberikan keuntungan, misalnya pada keadaan
asidemia sangat berat (pH < 6,9) yang disertai dengan penurunan
kontraktilitas jantung dan vasodilatasi perifer, maka pemberian terapi
alkali ditujukan untuk menangani gangguan perfusi dan hiperkalemia
yang mengancam jiwa.
Edema Serebri
Terapi edema serebri harus dilakukan sesegera mungkin setelah gejala
dan tanda muncul. Kecepatan pemberian cairan harus dibatasi dan
diturunkan. Meskipun manitol menunjukkan efek yang menguntungkan
pada banyak kasus, namun sering kali justru menimbulkan efek merusak
bila pemberian tidak tepat. Pemberian manitol harus dilakukan sesuai
keadaan dan setiap keterlambatan pemberian akan mengurangi
efektivitas. Manitol intravena diberikan 0,25 1,0 g/Kg selama 20 menit
pada pasien dengan tanda edema serebri sebelum terjadi kegagalan
respirasi. Pemberian ulang dilakukan setelah 2 jam apabila tidak terdapat
respons positif setelah pemberian awal. Saline hipertonik (3%), sebanyak
5 10 mL/Kg selama 30 menit dapat digunakan sebagai pengganti
manitol. Intubasi dan ventilasi mungkin perlu dilakukan sesuai kondisi.
Seringkali, hiperventilasi yang ekstrem terkait dengan edema serebri yang
terkait dengan KAD.
Analisis Masalah :

Analisis Gas Darah : pH darah : 7,1 , pCO2 : 16,8 mmHg, pO2 : 107,2
mmHg, HCO3, base deficit : -21,8
1.Bagaimana Interpretasi Pemeriksaan AGD?(4)
jawab :
Rentang nilai normal
pH : 7, 35-7, 45 TCO2 : 23-27 mmol/L
PCO2 : 35-45 mmHg BE : 0 2 mEq/L
PO2 : 80-100 mmHg saturasi O2 : 95 % atau lebih
HCO3 : 22-26 mEq/L
2.Bagaimana mekanisme abnormalitas pada hasil pemeriksaan AGD?
1
2

4
5
6
7
8
9
10

Klasifikasi gangguan asam basa primer dan terkompensasi:


Normal bila tekanan CO2 40 mmHg dan pH 7,4. Jumlah CO2 yang diproduksi dapat
dikeluarkan melalui ventilasi.
Alkalosis respiratorik. Bila tekanan CO2 kurang dari 30 mmHg dan perubahan pH,
seluruhnya tergantung pada penurunan tekanan CO2 di mana mekanisme kompensasi ginjal
belum terlibat, dan perubahan ventilasi baru terjadi. Bikarbonat dan base excess dalam batas
normal karena ginjal belum cukup waktu untuk melakukan kompensasi. Kesakitan dan
kelelahan merupakan penyebab terbanyak terjadinya alkalosis respiratorik pada anak sakit
kritis.
Asidosis respiratorik. Peningkatan tekanan CO2 lebih dari normal akibat hipoventilasi dan
dikatakan akut bila peninggian tekanan CO2 disertai penurunan pH. Misalnya, pada
intoksikasi obat, blokade neuromuskuler, atau gangguan SSP. Dikatakan kronis bila ventilasi
yang tidak adekuat disertai dengan nilai pH dalam batas normal, seperti pada
bronkopulmonari displasia, penyakit neuromuskuler, dan gangguan elektrolit berat.
Asidosis metabolik yang tak terkompensasi. Tekanan CO2 dalam batas normal dan pH di
bawah 7,30. Merupakan keadaan kritis yang memerlukan intervensi dengan perbaikan
ventilasi dan koreksi dengan bikarbonat.
Asidosis metabolik terkompensasi. Tekanan CO2 < 30 mmHg dan pH 7,30--7,40. Asidosis
metabolik telah terkompensasi dengan perbaikan ventilasi.
Alkalosis metabolik tak terkompensasi. Sistem ventilasi gagal melakukan kompensasi
terhadap alkalosis metabolik ditandai dengan tekanan CO2 dalam batas normal dan pH lebih
dari 7,50 misalnya pasien stenosis pilorik dengan muntah lama.
Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian. Ventilasi yang tidak adekuat serta pH lebih dari
7,50.
Hipoksemia yang tidak terkoreksi. Tekanan oksigen kurang dari 60 mmHg walau telah
diberikan oksigen yang adekuat
Hipoksemia terkoreksi. Pemberian O2 dapat mengoreksi hipoksemia yang ada sehingga
normal.
Hipoksemia dengan koreksi berlebihan. Jika pemberian oksigen dapat meningkatkan tekanan
oksigen melebihi normal. Keadaan ini berbahaya pada bayi karena dapat menimbulkan
retinopati of prematurity, peningkatan aliran darah paru, atau keracunan oksigen. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pemeriksaan yang lain seperti konsumsi dan distribusi oksigen.
Sources : http://old.pediatrik.com/pkb/20060220-57kf6s-pkb.pdf
Daftar Pustaka

1.
Bakta IM, Suastika IK. Gawat Darurat Di Bidang Penyakit Dalam,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1999.
2.
Mansjoer A, Setiowulan W, Wardhani W I, Savitri R, Triyanti K,
Suprohaita. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke III, Jilid I, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2000.
3.
PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.
Jakarta. 2002
4.
Simandibrata M, Setiati S, Alwi A, Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Di Bidang Penyakit Dalam, Pusat Informasi
Dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 2004
5.
Sjaifoellah, Noer., Waspadji S, Rahman AM. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, jilid 1, edisi III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2006

Anda mungkin juga menyukai