Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus Tipe 1
Gamma
04011381419182
DIABETES MELLITUS TIPE I
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kerusakan sel- pankreas baik oleh proses autoimun
maupun idioptaik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.
Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ADA 1998).
Kriteria diagnostik
Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler <
126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga
perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat
badan yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/
dL (11.1 mmol/L).
2. Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi
dari normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih
dari satu kali pemeriksaan.
2.2.1. Tes Toleransi Glukosa
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan
untuk mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas.
Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu
ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan
kadar glukosa darah tidak menyakinkan.
Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum
75 g). Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200250mlair)dalamjangkawaktu5menit.Testoleransiglukosadilakukan setelah
anak mendapat diet tinggi karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga
hari berturut-turut dan anak puasa semalam menjelang TTG dilakukan.
Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi.
Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari- hari. Sampel glukosa darah
diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral), 60 dan 120.
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam melaksanakan TTG yaitu:
1. Anak tidak sedang menderita suatu penyakit.
2. Anak tidak sedang dalam pengobatan/minum obat-obatan yang
dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
3. Jangan melakukan pemeriksaan dengan glukometer/kapiler,
gunakanlah darah vena.
standar pada DM. Nilai HbA1c < 7% berarti kontrol metabolik baik; HbA1c
< 8% cukup dan HbA1c > 8% dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu
disesuaikan dengan usia karena semakin rendah HbA1c semakin tinggi
risiko terjadinya hipoglikemia.
Untuk mencapai kontrol metabolik yang baik pengelolaan DM tipe-1 pada
anak sebaiknya dilakukan secara terpadu oleh suatu tim yang terdiri dari
ahli endokrinologi anak/dokter anak/ahli gizi/ahli psikiatri/psikologi anak,
pekerja sosial, dan edukator. Kerjasama yang baik antara tim dan pihak
penderita akan lebih menjamin tercapainya kontrol metabolik yang baik.
Sasaran dan tujuan pengobatan pada DM tipe-1 perlu dijelaskan oleh tim
pelaksana dan dimengerti oleh penderita maupun keluarga (Tabel 2).
sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan
protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk
menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk
bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai
GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang terikat ke
antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua monoklonal antibodi yang
diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin
target antigen utama pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda
sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang
rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi
juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang
laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk
perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA. Kontribusi dari autoantigens
disebutkan di atas untuk induksi dan atau kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi.
Jelas, bahwa identifikasi dari autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan
diagnostik dan untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.
Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah dianalisis dalam model
hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan
tikus MLD STZ dengan diabetes yang diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk
memahami proses yang menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan
yang diambil dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia,
maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T CD4+ spesifik
menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di semua model hewan DM tipe 1.
Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke
tikus prediabetes atau nondiabetes, menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga
bahwa sel T CD4+ cukup untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T
CD8+ berkontribusi pada kerusakan yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti
bahwa insulitis di pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi
dengan tidak adanya sel T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel
imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya hanya satu
subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit. Penurunan regulasi
respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari hewan yang dirawat dengan
adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+ saling mempengaruhi. Hasil awal oleh
kelompok Lafferty (akan diterbitkan) menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan
tidak menghalangi respon autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin
Th-1 ke Th-2. Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma
ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun model
eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan mengaktifkan
makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan mikroskopis
elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang
menyerang islets.
Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan bahwa Interleukin 1
(IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-), dua sitokin terutama diproduksi oleh makrofag,
menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin. Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak
berkontribusi dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator
kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang
menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes
DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat
menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru
pada agen immunofarmakologi, dimana
mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan
DM tipe 1.
Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian untuk
DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar identik. Kesesuaiannya kurang
dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I telah memberikan kontribusi ke sebuah
penelusuran faktor lingkungan yang terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa
faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi
rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari
mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan bahwa urutan
asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope virus rubella yang akan
mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi dalam DM tipe I. Peran faktor
lingkungan juga disarankan oleh analisis respon imun terhadap protein susu sapi, dimana
hampir semua pasien DM tipe 1 memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan
menunjukkan respon sel T untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang
ada di permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari kontrol.
Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka
hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1) peningkatan glukoneogenesis
(pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan
glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.
GejalaKlinis
Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
Hiperglikemia ( 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria
Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam ketoasidosis diabetik yang disertai
atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik. Oleh
karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita harus segera dirawat inap.
Diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis
Laboratorium :
Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl dan 2 jam setelah makan > 200 mg/dl. Ketonemia,
ketonuria.
Glukosuria
Bila hasil meragukan atau asimtomatis, perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral (oral
glucosa tolerance test).
Kadar C-peptide.
Marker imunologis : ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin auto-antibody), Anti GAD
(Glutamic decarboxylase auto-antibody).
Penatalaksanaan
Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih.
Gejala hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase
honeymoon. Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai
kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.
Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia
pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut : 1000 + (usia dalam tahun x
100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15%
protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil
sebagai berikut :
Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati,
dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda end stage renal disease dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif untuk identifikasi
penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria mendahului
makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining
mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan
pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai
terjadinya nefropati diabetik.
Tindakan : pengobatan hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).
Pemantauan
Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis, baik
dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun secara mandiri di rumah, meliputi :
-keadaan umum, tanda vital.
-kemungkinan infeksi.
-kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan glukometer) setiap
sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.
-kadar HbA1C (setiap 3 bulan).
-pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl).mikroalbuminuria (setiap 1
tahun).
-fungsi ginjal.
-funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5 tahun
menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas).
-tumbuh kembang.
Analisis Masalah :
Pemeriksaan Spesifik
Kepala : Mulut dan bibir kering
1.Apa penyebab mulut dan bibir kering pada An. M?
jawab :
1. Efek Samping dari Obat : Mulut kering dapat disebabkan sebagai efek samping dari obatobatan yang sedang dikonsumsi untuk menjaga diabetes dibawah kontrol. Juga, beberapa
pasien mengambil obat-obatan untuk menjaga tekanan darah mereka dan untuk mencegah
penyakit jantung yang mungkin dipicu oleh diabetes. Ini juga diketahui menyebabkan mulut
kering pada pasien.
2. Dehidrasi : Penderita diabetes rentan terhadap dehidrasi, dan salah satu efek dari hal ini
adalah mulut kering.
3. Masalah Ginjal : Bahkan masalah ginjal mungkin akibat diabetes, sehingga menyebabkan
tingkat hidrasi dalam tubuh tidak seimbang. Mulut kering kemudian dapat menjadi pengaruh
kondisi ini.
4. Gula Darah Tinggi : Kadar gula darah tinggi atau hiperglikemia juga cenderung
mempengaruhi tubuh dalam banyak cara, salah satunya adalah mulut kering.
Sources :
http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/KONSENSUS-NASIONALPENGELOLAHAN-DM-1.pdf
http://aulanni.lecture.ub.ac.id/files/2012/04/MAKALAH-DIABETES-MELITUS-TIPE-I.pdf
KETOASIDOSIS
DEFINISI
KAD didefinisikan sebagai kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan
penurunan kadar insulin efektif di dalam tubuh, atau berkaitan dengan resistensi
insulin, dan peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni: glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormone.
PATOGENESA
Adanya defisiensi insulin baik secara relatif maupun absolut yang disertai
peningkatan hormon-hormon kontra regulator yakni: glukagon, katekolamin, kortisol,
Onset KAD pada IDDM lebih sering terjadi pada anak yang lebih muda (berusia < 4 tahun),
memiliki orang tua dengan IDDM, atau mereka yang berasal dari keluarga dengan status
sosial ekonomi rendah. Pemberian dosis tinggi obat-obatan seperti glukokortikoid,
antipsikotik atipik, diazoksida, dan sejumlah immunosuppresan dilaporkan mampu
menimbulkan KAD pada individu yang sebelumnya tidak mengalami IDDM.
Risiko KAD pada IDDM adalah 1 10% per pasien per tahun. Risiko meningkat pada anak
dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah mengalami episode KAD, anak
perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan
makan), dan kondisi keluarga yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah
asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu
terjadinya KAD.
Anak yang mendapat terapi insulin secara teratur dan terkontrol jarang mengalami episode
KAD. Sekitar 75% episode KAD berkaitan dengan kelalaian pemberian insulin atau
pemberian yang salah. Angka mortalitas KAD di sejumlah negara relatif konstan, yaitu
0,15% di Amerika Serikat, 0,18% di Kanada, 0,31% di Inggris. Di tempat dengan fasilitas
medik yang kurang memadai, risiko kematian KAD relatif tinggi, dan sebagian penderita
mungkin meninggal sebelum mendapatkan terapi.
Edema serebri terjadi pada 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD. Insidensi edema
serebri relatif konstan pada sejumlah negara yang diteliti: Amerika Serikat 0,87%, Kanada
0,46%, Inggris 0,68%. Dari penderita yang bertahan, sekitar 10-26% mengalami morbiditas
yang signifikan. Meski demikian, sejumlah individu ternyata tidak mengalami peningkatan
morbiditas dan mortalitas bermakna setelah kejadian KAD dan edema serebri.
Selain edema serebri, penyebab peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada KAD
mencakup hipoglikemia, hipokalemia, hiperkalemia, komplikasi susunan saraf pusat,
hematom, trombosis, sepsis, infeksi, pneumonia aspirasi, edem pulmonar, RDS, dan
emfisema. Beberapa sekuele lanjut yang berkaitan dengan edema serebri dan komplikasi SSP
mencakup insufisiensi hipotalamopituitary, defisiensi growth hormone, dan defisiensi
thyroid-stimulating hormone.
KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, dan koma yang lain
termasuk: hipoglikemia, uremia, gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis
laktat, intoksikasi salisilat, ensefalitis, dan lesi intrakranial, seperti tampak pada
gambar 2.
Diagnosis KAD didasarkan atas adanya "trias biokimia" yakni: hiperglikemia,
ketonemia, dan asidosis.. Kriteria diagnosis yang telah disepakati luas adalah
sebagai berikut :
Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
Ringan
Sedang
Berat
TATALAKSANA
Anak dengan ketosis dan hiperglikemia tanpa disertai gejala muntah dan
dehidrasi berat dapat diterapi di rumah atau pusat layanan kesehatan
terdekat. Namun, untuk mendapatkan perawatan yang baik, perlu
dilakukan reevaluasi berkala dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh
dokter ahli. Dokter anak yang telah mendapat pelatihan penanganan KAD
harus terlibat langsung. Anak juga dapat dimonitoring dan diterapi sesuai
standar baku, serta dilakukan berbagai pemeriksaan laboratoris secara
berkala untuk mengevaluasi sejumlah parameter biokimia.8 Anak dengan
tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau
penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema
serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan
dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima penanganan
prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan
pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik
intravena, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental.8 Penanganan
pasien anak dengan KAD, antara lain:
Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi
dasar, yaitu airway, breathing, dan circulation.
Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by
mouth, suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi,
diberikan antibiotik. Tujuan utama terapi pada satu jam pertama
resusitasi cairan dan pemeriksaan laboratorium adalah:
- Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam
atau kurang.
- Glukosa : Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum
mencapai 250 300 mg/dL selama rehidrasi.
Kalium
Pada orang dewasa dengan KAD, terjadi penurunan kalium hingga 3 6
mmol/Kg. Namun, pada anak, data yang ada masih sedikit. Sebagian
besar kehilangan kalium dari intrasel adalah hipertonisitas, defisiensi
insulin, dan buffering ion hidrogen di dalam sel. Kadar kalium serum pada
awal kejadian dapat normal, meningkat, atau menurun. Hipokalemia yang
terjadi berkaitan dengan perjalanan penyakit yang lama, sedangkan
hiperkalemia terjadi akibat penurunan fungsi renal. Pemberian insulin dan
koreksi asidosis akan memfasilitasi kalium masuk ke intrasel sehingga
kadar dalam serum menurun.3,8
Adapun pedoman pemberian cairan dan kalium pada anak dengan KAD,
antara lain:3,7
Berikan larutan NaCl isotonik atau 0,45% dengan suplementasi kalium.
Penambahan kalium berupa kalium klorida, kalium fosfat, atau kalium
asetat.
Apabila kadar kalium serum berada pada nilai rendah yang
membahayakan, dipertimbangkan pemberian kalium oral (atau melalui
NGT) dalam formulasi cair. Apabila koreksi hipokalemia lebih cepat
daripada pemberian intravena, kecepatan pemberian harus dikurangi.
Apabila kadar kalium serum < 3,5, tambahkan 40 mEq/L kedalam cairan
intravena.
Apabila kadar kalium serum 3,5 5,0, tambahkan 30 mEq/L
Apabila kadar kalium serum 5,0 5,5, tambahkan 20 mEq/L
Apabila kadar kalium serum lebih besar dari 5,5, maka tidak perlu
dilakukan penambahan preparat kalium ke dalam cairan intravena.
Apabila kadar kalium serum tidak diketahui, evaluasi gambaran EKG
untuk menilai profil hiperkalemia pada EKG.
Fosfat
Penurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada
dewasa, penurunan berkisar antara 0,5 2,5 mmol/Kg, sedangkan pada
anak belum ada data yang lengkap. Penurunan kadar fosfat plasma
setelah terapi dimulai akan semakin memburuk dengan pemberian
insulin, karena sejumlah besar fosfat akan masuk ke kompartemen
intraselular. Kadar fosfat plasma yang rendah berhubungan dengan
gangguan metabolik dalam skala yang luas, yaitu penurunan kadar
eritrosit 2,3-difosfogliserat dan pengaruhnya terhadap oksigenasi jaringan.
Penurunan kadar fosfat plasma akan terjadi sampai beberapa hari setelah
KAD mengalami resolusi. Namun, beberapa penelitian prospektif
menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis yang bermakna pada terapi
penggantian fosfat. Meski demikian, dalam upaya menghindari keadaan
hipokalemia berat, kalium fosfat dapat diberikan secara aman yang
dikombinasikan dengan kalium klorida atau asetat untuk menghindari
hiperkloremia.
Asidosis
Asidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin.
Pemberian insulin akan menghentikan sintesis asam keton dan
Analisis Gas Darah : pH darah : 7,1 , pCO2 : 16,8 mmHg, pO2 : 107,2
mmHg, HCO3, base deficit : -21,8
1.Bagaimana Interpretasi Pemeriksaan AGD?(4)
jawab :
Rentang nilai normal
pH : 7, 35-7, 45 TCO2 : 23-27 mmol/L
PCO2 : 35-45 mmHg BE : 0 2 mEq/L
PO2 : 80-100 mmHg saturasi O2 : 95 % atau lebih
HCO3 : 22-26 mEq/L
2.Bagaimana mekanisme abnormalitas pada hasil pemeriksaan AGD?
1
2
4
5
6
7
8
9
10
1.
Bakta IM, Suastika IK. Gawat Darurat Di Bidang Penyakit Dalam,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1999.
2.
Mansjoer A, Setiowulan W, Wardhani W I, Savitri R, Triyanti K,
Suprohaita. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke III, Jilid I, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2000.
3.
PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.
Jakarta. 2002
4.
Simandibrata M, Setiati S, Alwi A, Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Di Bidang Penyakit Dalam, Pusat Informasi
Dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 2004
5.
Sjaifoellah, Noer., Waspadji S, Rahman AM. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, jilid 1, edisi III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2006