Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang
belakang.

2. Epidemiologi
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa jumlah
kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara global)
termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penderita acquired immunodefi ciency syndrome (AIDS) oleh infeksi
human immunodefi ciency virus (HIV). Satu hingga lima persen penderita TB, mengalami
TB osteoartikular. Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis TB.
Di negara berkembang, penderita TB usia muda diketahui lebih rentan terhadap
spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di negara maju, usia munculnya spondilitis TB
biasanya pada dekade kelima hingga keenam. TB osteoartikular banyak ditemukan pada
penderita dengan HIV positif, imigran dari negara dengan prevalensi TB yang tinggi, usia
tua, anak usia dibawah 15 tahun dan kondisi-kondisi defi siensi imun lainnya. Pada pasienpasien HIV positif, insiden TB diketahui 500 kali lebih tinggi dibanding populasi orang HIV
negatif. Di sisi lain, sekitar 25 50 persen kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV
positif.

3. Etiologi
Tuberkulosis

merupakan

penyakit

infeksi

yang

disebabkan

oleh

kuman

Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili


Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit
untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam,
sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman
bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam
lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora
serta memiliki panjang sekitar 2-4 m.

4. Patogenesis
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen melalui
nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang sebelumnya
2

sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di paru, sedangkan
pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Dari paru-paru,
kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral Batson.
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi paradiskus. Setelah
tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis
terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang, sehingga tulang
menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi dan tarikan otot torakolumbal.
Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli,
periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak
pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan
pada bagian anterior badan vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih
pipih daripada bagian posterior. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas
kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya ketinggian
dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang terlibat. Vertebra torakal
lebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra servikal dan lumbal, transmisi
beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra sehingga bila segmen ini
terinfeksi, maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan
akan menghilang dan mulai menjadi kifosis.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk
likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari leukosit,
materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi akibat
banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2) subluksasio
sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/ vena spinalis, 5)
kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara langsung. Selain itu, invasi
medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata
sebagai space occupying lesion.
Stadium Penyakit
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa dibagi dalam 5 stadium yaitu (Agrawal et
al., 2010):
1. Stadium implantasi

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya
pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sequestrum serta kerusakan discus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau
gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan
10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra Thorakalis mempunyai
kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada
daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas
atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
Derajat III:terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anestesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi
dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott`s paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak
aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh
4

pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa.


Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai
angulasi dan gangguan vaskular vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di
sebelah depan.

5. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, spondilitis tuberkulosa dibagi
menjadi 3 yaitu (Agrawal et al., 2010):
1. Peridiskal/paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior/area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa.
Dapat menimbulkan kommpresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di region
lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolpas
vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal
yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang besifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak
ditemukan di region torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan di
bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian
anterior dari sejumlah vertebra. Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortic yang
ditransmisikan melalui abses prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau
karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebra.
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Potts paraplegia menjadi:
1. Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
2. Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi
5

tiga tipe:
1. Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan
dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
2. Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen
bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.
Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :
(a) Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses,
material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau
dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan
alat gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya
spasme otot involunter dan reflek withdrawal.
(b) Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa.
Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot
involunter dan reflek withdrawal.
Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya kerusakan korda
spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris
dan paraplegia.
3. Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat
membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis
meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis,
peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi
vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).
Klasifikasi Potts paraplegia untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis,
dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat
digunakan klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale. Sistem
ini adalah pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA
impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula spinalis
komplit, B D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal).
6

6. Manifestasi klinis
Gejala Umum
Penderita memperlihatkan gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah, demam
subfebris terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan menurun, berkeringat pada
malam hari, takikardi dan anemia.
Gejala Lokal
Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul. Nyeri dapat
dirasakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf yang terangsang.
Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme pertahanan menghindari
pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot hilang dan memungkinkan
terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi. Gejala ini dikenal sebagai night cry,
umumnya terdapat pada anak.
Gejala lokal sesuai dengan lokasi vertebra yang terkena penyakit. Pada vertebra
servikal. dapat ditemukan gejala kaku leher , nyeri vertebra yang menjalar ke oksipital atau
lengan, yang dirasakan lebih hebat bila kepala ditekan kearah kaudal. Kemudian dapat terjadi
deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan anak menopang kepalanya dengan lengan,
abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan diikuti oleh paralisa tungkai. Gejala
neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar vertebra, penekanan medula spinalis atau
radiks saraf serta diskus oleh tulang, terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal,
terjadinya vaskulitis tuberkulosa.
Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal, misalnya
kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis. Abses
retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan saraf spinal.
Bila terjadi penekanan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku leher. Pada
daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai gibbus, nyeri pada daerah
7

tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya daerah lateral paha. Juga dapat
ditemukan abses iliaka atau abses psoas.
Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang
menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada sendi panggul.

7. Diagnosa
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai
neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang dan defisit
neurologis.

a. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik


Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik

dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien TB paru
dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap spondilitis TB sebelum
terbukti sebaliknya.
Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru, atau riwayat
gejalagejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan berat
badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan keluhan
yang paling sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat hari) jika
diobati secara adekuat. Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama
yang membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang
mungkin: rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru atau di
tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak menunjukkan
tandatanda infeksi TB ekstraspinal. Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan
pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh
kuman TB. Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai
suara amforik atau bronkial dengan predileksi di apeks paru.Kesegarisan (alignment)
tulang belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB spinal dapat menyebar
membentuk abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar punggung
berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus diperiksa secara teliti untuk mencari
muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal (trigonum femorale). Tidak
tertutup kemungkinan abses terbentuk di anterior rongga dada atau abdomen.
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski
masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting untuk
menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan
gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper
8

motor neuron (UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis fl aksid,
baru setelahnya akan muncul spastisitas dan refl eks patologis yang positif. Kelumpuhan
lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis
anterior ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi , yang biasanya
bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis (raba, nyeri,
suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa
getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi
saraf autonom.

b. Pemeriksaan penunjang

1) Laboratorium
Darah Secara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya,sering
ditemukan anemia hipokrom. Hitung-jumlah lekosit dapat normal atau meningkat
sedikit, pada hitung jenis ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi
tidak dapat menjadi indikator aktivitas penyakit
2) Tes Tuberkulin
Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD 5 TU (0.1 ml) intrakutan. Reaksi pada
tubuh dibaca setelah 48-72 jam. Jika indurasi < 5 mm dikatakan tes Mantoux negatif.
Indurasi > 10 mm , tes Mantoux positif ; sedangkan indurasi 5 9 mm meragukan dan
perlu diulang.
3) Bakteriologi
Untuk pemeriksaan balteriologik dan histopatologik diperlukan pengambilan
bahan melalui biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan cara fine needle
aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted thoracoscopy.
Pemeriksaan terhadap bahan pemeriksaan yang diambil dengan biopsi dapat
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan.
Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen, Tan Thiam
Hok, Kinyoun-Gabbet atau denagn metoda fluorokrom yang memakai pewarnaan
auramine dan rhodamine. Pemeriksaan ini membutuhkan sedikitnya 5 x 103 kuman
per ml sputum.. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh jenis spesimen, ketebalan
sediaan apus yang dihasilkan, ketebalan pewarnaan, kemampuan dan keahlian
pemeriksa. Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas hasil
pemeriksaan sediaan apus secara mikroskopik, yaitu: cytocentrifugation dari bahan
pemeriksaan sputum, mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan
sedimentasi selama satu malam.

Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa lebih


rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada pewarnaan biasa hanya
sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya.
4) Kultur
Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi melalui
media kultur, karena kultur lebih sensitif dari pada pemeriksaan mikroskopis, dapat
mendeteksi hingga 10 bakteri per ml ; kultur dapat melihat perkembangan organisme
yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan dengan pembiakan kuman dapat
dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti tuberkulosa.
5) Histopatologi
Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid yang
khas dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas.
6) PCR
Prinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu yang
berbeda. Yaitu: denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah suatu proses
amplifikasi DNA yang dilakukan berulangkali. Produk yang dihasilkan bertindak
sebagai template untuk siklus berikutnya sehingga setiap siklus menghasilkan produk
secara eksponensial. Dengan kemampuan ini PCR dapat mendeteksi basil tuberkulosa
yang jumlahnya tidak cukup untuk bisa diperiksa secara mikroskopis atau
bakteriologis. Jumlah kuman 10 1000 sudah dapat dideteksi dengan pemeriksaan
ini.
Target yang paling sering digunakan pada pemeriksaan ini adalah IS6110.
Deteksi dengan menggunakan IS6110 ini dilakukan dari sputum (pada tuberkulosa
paru) dan darah (pada tuberkulosa diluar paru). Pemeriksaan PCR memberikan
sensitifitas 94.7% , spesifisitas 83.3% dan akurasi 92% terhadap bahan pemeriksaan
yang berasal dari spondilitis tuberkulosa.
Radiologi
Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak antar diskus
intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi, serta massa para
vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai
akordion (concertina), sehingga disebut juga concertina collapse.
Sinar-X Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis,
proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior
badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis
menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya
memberikan gambaran fusiformis.
10

CT Scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan


vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis (gambar 4).
CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila tidak
tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi
lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi badan
vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat
dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya
dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah
terlewatkannya lesi noncontiguous.
Pencitraan lainnya Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada
daerah lumbar. Dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak dan volume abses/massa
iliopsoas yang mencurigakan suatu lesi tuberkulosis.

8. Tatalaksana
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan sesegera mungkin
untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott`s sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis (OAT).
2. Dekompresi medulla spinalis.
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft).
Pengobatan spondilitis tuberkulosa terdiri atas :

Terapi konservatif

a. Tirah baring (bed rest).


b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra/ membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan

Terapi Operatif

Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT saja hanya jika
diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan deformitas masih minimal.8,37,42
Seperti pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi spondilitis TB adalah multidrug therapy.
11

Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada TB paru dapat pula digunakan pada TB
ekstraparu, namun rekomendasi durasi pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini
masih belum konsisten antarahli.
World Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan setidaknya
selama 6 bulan. British Medical Research Council menyarankan bahwa spondilitis TB
torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6 9 bulan. Untuk pasien dengan lesi
vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defi sit neurologis belum dapat dievaluasi,
namun beberapa ahli menyarankan durasi kemoterapi selama 912 bulan.
Menurut WHO (1999), terdapat 3 kategori panduan penggunaan OAT berdasarkan berat
ringannya penyakit.
-Kategori I : Tuberkulosis berat, termasuk tuberkulosis paru yang luas, tuberkulosis milier,
tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes mellitus dan termasuk spondilitis tuberkulosa.
-Kategori II : Tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam pengobatan.
-Kategori III : Tuberkulosis paru tersangka aktif.
Jenis Obat
R-Rifampicin
H-INH
E-Ethambutol
Z-Pyrazinamide
S-Streptomycin

Tiap hari/mg

Tiap hari/mg

3xseminggu

Dosis per

BB<50 kg
450
300
1000
1500
750

BB>50 kg
600
400
1500
2000
1000

mg
600
600
1500
2000
-

Kg BB
10 (8-12)
5 (4-6)
15 (15-20)
25 (20-30)
15 (12-18)

Pembedahan
Dengan berkembangnya penggunaan OAT yang efektif, terapi pembedahan relatif
ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama pada spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang
belakang pada spondilitis sangat bervariasi, namun pendekatan tindakan bedah yang baku dan
empiris masih belum ada. Setiap kasus harus dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien
yang direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum
operasi OAT harus sudah diberikan. Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis
kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi drainase abses;
debridemen radikal; penyisipan tandur tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur tulang;
dengan atau tanpa instrumentasi/ fiksasi, baik secara anterior maupun posterior; dan
osteotomy,
Indikasi pembedahan pada spondilitis TB secara umum sebagai berikut: 1) defisit
neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia. 2) deformitas tulang belakang yang tidak stabil
atau disertai nyeri, dalam hal ini kifosis progresif (30 untuk dewasa, 15 untuk anakanak). 3)
12

tidakresponsif kemoterapi selama 4 minggu. 4) abses luas. 5) biopsi perkutan gagal untuk
memberikan diagnosis. 6) nyeri berat karena kompresi abses.

9. Prognosis
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: 1) usia, 2) deformitas kifotik, 3)
letak lesi, 4) defi sit neurologis, 5) diagnosis dini, 6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid,
9) tingkat edukasi dan sosioekonomi.
Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik.12 Namun, Parthasarathy
dkk41 menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah 15 tahun dan dengan kifosis lebih dari
30o cenderung tidak responsif terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain memperburuk
estetika, dapat mengurangi kemampuan bernafas. Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi
badan vertebra yang nyata dikombinasi dengan kemoterapi yang adekuat menjanjikan
pemulihan yang sempurna pada semua kasus. Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk
prognosis spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang
buruk. Penelitian lain di Nigeria22 mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien mempengaruhi
motivasi pasien untuk datang berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung
malas datang berobat sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti paraplegia.

13

Anda mungkin juga menyukai