Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

TERAPI CAIRAN

Oleh

Muhammad Yogie Fadli, S. Ked


1118011082

Pembimbing:
dr. Imam Ghozali, Sp.An, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK
SMF ANASTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDOEL MOELOEK
2015

KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena atas rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul Terapi Cairan tepat pada
waktunya. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Anastesi Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Imam Ghozali, Sp.An, M.Kes yang telah
meluangkan waktunya untuk saya dalam menyelesaikan referat ini. Saya menyadari banyak
sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan. Semoga makalaht ini dapat bermanfaat bukan hanya
untuk saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.

Bandar Lampung, Desember 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume
sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering,
syok

hipovolemik

merupakan

akibat

kehilangan

darah

yang

cepat

(syok

hemoragik). Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok
hemoragik.
Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara
signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama kehilangan darah
dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta
abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang
signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan,
antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari artikel
ini adalah syok hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai
penanganannya.
Pengertian syok terdapat bermacam-macam sesuai dengan konteks klinis dan tingkat
kedalaman analisisnya. Secara patofisiologi syok merupakan gangguan sirkulasi yang
diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang
diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa
penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan
pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan demikian syok dapat terjadi
oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui berbagai proses. Pemeriksaan dan
penatalaksanaan yang cermat harus dilakukan untuk penatalaksanaan yang tepat, serta
penanggulangan segera kasus-kasus yang beresiko agar tidak jatuh kedalam kondisi syok.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. FISIOLOGI CAIRAN TUBUH

Tubuh manusia dewasa terdiri dari zat padat sebanyak 40% dari berat badan dan zat cair
sebanyak 60% dari berat badan. Zat padat dari tubuh manusia terdiri dari protein dan zat-zat
sejenisnya 18% berat badan, mineral 7% berat badan, lemak 15% berat badan. Zat cair tubuh
yang berupa air dan berjumlah 60% dari berat badan terdiri dalam ruang-ruang petak
(kompartemen) yang terdiri dari intrasel 40% berat badan dan cairan ekstrasel 20% berat
badan. Cairan ekstrasel terbagi dalam intravaskuler 5% berat badan, dan intersisial 15% berat
badan. Cairan intravaskuler yang berjumlah 5% berat badan adalah plasma dan bila ditambah
dengan volume sel arah merah sebesar 3% berat badan menjadi darah. Jadi volume darah
kira-kira sama dengan 8% berat badan. Membran yang memisahkan kompartemen tersebut
bersifat permeabel terhadap air. Pergerakan cairan antar kompartemen ditentukan oleh
tekanan osmosis dari cairan tersebut. Pergerakan terjadi sampai osmolalitas cairan pada
masing-masing kompartemen menjadi sama.
Kekurangan cairan pada ruang intravaskular mengakibatkan perfusi menjadi tidak baik dan
oksigenasi jaringan tidak cukup. Berkurangnya volume cairan tersebut mengakibatkan
tekanan pada pembuluh darah menjadi berkurang. Parameter fisik yang menunjukkan status
perfusi adalah denyut jantung, intensitas pulsus, capillary refill time (CRT), warna membran
mukosa, dan temperatur rektal. Kebanyakan hewan yang mengalami kekurangan cairan
intravaskular (perfusi jelek) juga mengalami kekurangan cairan ekstravaskular. Sehingga
cairan kristaloid harus diberikan secara simultan pada saat pemberian koloid yang digunakan
untuk memperbaiki kekurangan cairan intravaskular.
Regulasi Cairan Tubuh
Tubuh memiliki mekanisme pengaturan untuk mempertahankan komposisi cairan agar dalam
kondisiyang setimbang atau tetap. Banyak organ yang terlibat dalam proses mekanisme ini.
Normal kebutuhan cairan adalah 35 cc/KgBB/hr. Namun bila dirata-ratakan,

kebutuhan

intake(masukan) air pada orang dewasa adalah dari ingesti liquid 1500 cc, dari makanan 700
cc, air dari oksidasi 200cc sehingga totalnya 2400 cc/hari. Sedangkan untuk pengaturan kesei

mbangan cairan tubuh terdapatmekanisme pembuangan cairan tubuh yang melibatkan berbag
ai organ. Organ tersebut adalah melalui kulit 300-400 cc berupa keringat dan penguapan
namun tergantung pada aktivitas dan suhu. Dari paru-paru

300-400cc berupa uap air dari

ekspirasi. Dari GIT sekitar 200 cc/ hari dan akan meningkat pada kasus diare.

Pengeluaran

air yang terbanyak terjadi di ginjal, sekitar 1200-1500 cc/hr. Ketika defisit volume cairan
ekstraseluler, maka akan terjadi beberapa mekanisme:

diproduksi ADH (anti diuretic hormone) yang berfungsi untuk mereabsorpsi air

aldosteron diproduksi oleh corteks adrenal, berfungsi untuk mereabsorpsi Na yang


berefek pada peningkatan air di ekstraseluler

renin yang dilepaskan sel jukstaglomerural ginjal, berfungsi untuk vasokontriksi dan
sekresi aldosteron.

Elektrolit Tubuh
Elektrolit tubuh, bisa terlarut dalam air atau dalam larutan lain. Elektrolit memiliki fungsi fisi
ologis yang khusus di dalam tubuh seperti misalnya dalam proses kerja neuromuskuler.
Elektrolit bermuatan listrikpositif (kation), biasanya berupa unsur logam, dan bermuatan nega
tif (anion), merupakan unsur non logam. Beberapa kation utama dalam tubuh adalah natrium
(Na+), kalium/potasium (K+), kalsium (Ca+), magnesium(Mg+). Sedangkan anion utama
dalam tubuh adalah klorida (Cl ), bikarbonat (HCO3), phospat (HPO4 ).
Komposisi elektrolit tubuh
Jenis elektrolit
Na

Intresel (mEq/L)
15-20

Ekstrasel (mEq/L)
135-154

150-155

3,5-5

Ca

1-2

4,5-5,5

Mg

27-29

4,5-5,5

Cl

1-4

98-106

HCO3

10-12

25-27

phosphat (HPO4)

100-104

1,7-1,4

sulfat (SO4)

a. Natrium / Sodium

Fungsi dasar dari natrium adalah mengatur volume CES, meningkatkan permeabilitas
membran, mengatur tekanan osmotik vaskuler, mengontrol distribusi cairan intraseluler dan
ekstraseluler, berperan dalam hantaran inpuls sarap, memelihara iritabilitas neuromuskuler.
b. Kalium / Potasium
Fungsi dasar kalium adalah mengatur CIS, membantu transmisi inpuls sarap,
berperan/membantu kontraksi otot skeletal dan otot polos, membantu reaksi enzimatik pada
proses metabolisme karbohidrat dan restrukturisasi asam amino menjadi protein, menhaut
keseimbangan asam-basa (bertukar tempat dengan ion hidrogen).
c. Calsium
Fungsi dasar dari kalsium adalah mendukung kekuatan dan penyusun tulang dan gigi,
membentukketebalan dan kekuatan membran sel, membantu transmisi impuls sarap, menurun
kan eksitabilitasneuromuskuler, bahan pentung pembekuan darah, membantu absorbsi dan pe
nggunaan vit B12, mengaktifkanreaksi enzim dan sekresi hormon.
d. Magnesium
Fungsi dasar magnesium adalah mengaktifkan sistem enzim, sebagian besar bersama
dengan metabolisme vit B dan penggunaan K, Ca dan protein. Membantu regulasi kadar
serum kalsium, pospor dan kalsium. Membantu aktivitas neuromuskuler.

B. SYOK HEMORARGIK

Perubahan-perubahan setelah perdarahan daapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap
vasokontriksi, tahap hemodilusi dan tahap produksi eritrosit. Tahap vasokontriksi terjadi
setelah perdarahan. Pada tahap ini perfusi organ vital (otak dan jantung) dipertahankan
dengan mengorbankan perfusi organ-organ lain, dengan demikian kematian dihindarkan.
Tahap hemodilusi volume darah kembali normal sedangkan jumlah eritrosit belum.
Oksigenasi jaringan dicukupi dengan menikkan kardiak output dan menambah ekstraksi
oksigen. Tahap terakhir adalah produksi eritorosit, dengan demikian daya angkut oksigen
darah kembalimenjadi normal.

a. Tahap vasokontriki

Rentetan kejadian yang menimbulkan vasokontriksi adalah sebagai berikut : perdarahan


terjadi- volume darah turun- cardiac output turun- tensi turun- baroreseptor pada arteri dan
vena besar terangsang- terjadi refleks yang berakibat timbulnya pacuan pada susunan saraf
simpatik dan dikeluarkannya katekolamin (adrenalin dan nor adrenalin) oleh kelenjar
adrenalin- terjadilah vasokontriksi.
Vasokontriksi ini pada berbagai bagian pembuluh darah mempunyai akibat yang berbeda.
Pada sistem vena, vasokontriksi menyebabkan terjadinya penyesuaian yang paling besar
antara kapasitas pembuluh darah dengan volume darah yang tinggal. Seolah-olah darah
diperas dari vena ke jantung dengan demikian cardiac output tidak turun banyak. Hal itu
terjadi karena dalam keadaan normal 75% dari volume darah ada di sistem vena. Pada sistem
arteri, vasokontriksi tidak terjadi merata. Arteri untuk jantung dan otak kurang peka terhadap
pengaruh saraf simpatik dan katekolamin. Disitu tidak terjadi vasokontriksi. Arteri untuk
ginjal, otot, kulit, usus, dan hati sebaliknya sangat peka terhadap pengaruh saraf simpatik dan
katekolamin.
Terjadinya vasokontriksi dan naiknya kadar katekolamin menimbulkan tanda khas pada
shock karena perdarahan. Turunnya perfusi otot dan kulit menyebabkan kaki dan tangan
penderita dingin dan pucat. Pada kelenjar keringat menyebabkan penderita berkeringat.
Akibat lain adalah takikardi. Vasokontriksi pada vena menyebabkan vena kempis. Turunnya
perfusi ginjal menimbulkan oligouri sampai anuria. Hal lain yang perlu diketahui adalah pada
perdarahan akut, sebelum terjadi hemodilusi kadar hemoglobin tak dapat digunakan sebagai
ukuran jumlah darah yang hilang.
b. Tahap hemodilusi
Volume darah jadi normal kembali karena naiknya volume plasma, sedang jumlah eritrosit
pada waktu ini belum pulih asal. Dalam hal ini terjadi pengenceran darah dan kadar Hb akan
turun. Dua mekanisme menyebabkan vokume darah pulih asal. Pertama, pada tahan
vasokontriksi karena kontraksi sfinger ke kapiler, tekanan hidrostatik kapiler menurun.
Tekanan onkotik relatif menjadi lebih kuat, cairan intersisial diisap masuk ke kapiler.
Mekanisme kedua adalah karena kerja ginjal. Turunnya volume darah merangsang reseptor
pada atrium, ini kemudian menyebabkan dikeluarkannya ADH oleh hipofisis. Di samping itu
turunnya perfusi ginjal menimbulkan suatu rantai peristiwa yang berakhibat terangsangnya
sistem RAA, berakhir dengan dikeluarkannya aldosteron oleh kulit kelenjar adrenalin. ADH
menyebabkan pengeluaran air oleh ginjal dikurangi, aldosteron menyebabkan pengeluaran

natrium dikurangi. Ditahannya air dan natrium berasal dari makanan dan minuman didalam
tubuh oleh ginjal akhirnya mengembalikan volume darah menjadi seperti semula. Hemodilusi
ini tidak mengurangi perfusi dan oksigenasi jaringan.
c. Tahap produksi eritrosit
Produksi eritorist terjaid sangat lambat 3-4 minggu diperlukan sebelum jumlah eritrosit
menjadi normal.
Syok adalah suatu sindrom akut yang timbul karena disfungsi kardiovaskular dan
ketidakmampuan sistem sirkulasi memberi O2 dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme organ vital. Syok menyebabkan perfusi jaringan tidak adekuat / hipoksia selular,
metabolisme selular abnormal, dan kerusakan homeostatis mikrosirkulasi.
Pada syok terjadi penurunan perfusi jaringan, terhambatnya pengiriman oksigen, dan
kekacauan metabolisme sel sehingga produksi energi oleh sel tidak memadai. Penyebabnya
terkadang tidak saling berhubungan langsung, misalnya hipoperfusi menginduksi
ketidakseimbangan antara jumlah pengiriman dan kebutuhan oksigen atau substrat yang
dibutuhkan yang akan menyebabkan disfungsi selular. Kelemahan tingkat seluler ini akhirnya
menginduksi produksi dan pelepasan mediator inflamasi yang kemudian akan mempengaruhi
perfusi dengan cara lain seperti merubah fungsi dan struktur di tingkat mikrovaskular. Hal ini
akan menghasilkan suatu lingkaran setan pada proses perfusi yang akan berdampak pada
abnormalitas distribusi aliran darah, lebih lanjut dapat menyebabkan kegagalan multi organ,
dan apabila proses ini tidak diintervensi akan menyebabkan kematian. Manifestasi klinis dari
shock ini adalah suatu hasil, atau suatu bagian, dari respon neuroendokrin autonom terhadap
hipoperfusi seiring dengan kegagalan fungsi organ yang diinduksi oleh disfungsi selular tadi.
Syok dapat diklasifikasikan sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, distributif dan syok
obtruktif. Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok distributif
terjadi ketika volume darah secara abnormal berpindah tempat dalam vaskular seperti ketika
darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer. Syok Obtruktif merupakan ketidakmampuan
ventrikel untuk mengisi selama diastol sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup
dan rendahnya curah jantung. Syok hipovolemik terjadi apabila ada defisit volume darah
15%, sehingga menimbulkan ketidakcukupan pengiriman oksigen dan nutrisi ke jaringan

dan penumpukan sisa-sisa metabolisme sel. Berkurangnya volume intravaskular dapat


diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh secara akut atau kronik, misalnya karena oligemia,
hemoragi, atau kebakaran.
Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya
cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh
seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang
besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma
atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
1.

Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.

2.

Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.

3.

Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

Gejala dan Tanda Klinis


Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,
besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan
tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan
takhikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi
pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu
yang cepat atau singkat.
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan
darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting
untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:

1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu
berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis
penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi
mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan
curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan
tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun
tidak di bawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada
orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan
adanya tanda-tanda dehidrasi seperti:
(1) Turunnya turgor jaringan;
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan oleh
metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan celah ion
yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan
kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika
(hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi berat.
Patofisiologi dan Gambaran Klinis
Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang
dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh
dengan meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila
perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan
menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala
peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin

dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian kapiler yang
lambat.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang
mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan
oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan
menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam
piruvat, asam lemak, dan keton. Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa
fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu
diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan.
Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.
Syok hipovolemik disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan menurunnya
volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena
kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan
penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir sistol yang akibatnya juga menyebabkan
menurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya
mekanisme kompensasi dari pembuluh darah dimana terjadi vasokontriksi oleh katekolamin
sehingga perfusi makin memburuk. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan
melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga
dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada ileus obstruksi dapat
terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat,
dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat
ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah
mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap
perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume
intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organorgan vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati,
dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensinaldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi
hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan

demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali
volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi
dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tandatanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume
plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah,
plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang.

Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik tersebut
pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan
pada ujung-uung jari (refiling kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume
kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium.
Stadium syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah sama halnya dengan
perhitungan skor tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium syok
hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.

Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang.
Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata.

Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan
klasifikasi awal
a.

Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)


Pada stadium ini tubuh mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi
penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah,
namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, hanya terjadi takikardi minimal, frekuensi
nadi dan nafas masih dalam kedaan normal. Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik
sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%

b.

Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)


Vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi kardiosirkulasi. Gejala
klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi,
kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan. Penurunan tekanan
nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.

c.

Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)


Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,
oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.

Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan
frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat
menurun, refiling kapiler yang sangat lambat

Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk
pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.

d.

Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)


Gejala-gejalanya berupa takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian
lemah sampai tidak teraba, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau
tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status
mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.

Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi
tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi

respon sistim saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi
jantung. Dengan demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan.
Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuuh perifer sehingga telah terjadi
penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi penurunan tekanan nadi rata-rata.
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume sirkulasi tersebut maka
secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu tahapan
kompensasi, tahapan dekompensasi dan tahapan irevesrsibel.
Stadium Syok Hipovolemik
a.

Syok Reversibel dini dan kompensasi


Mekanisme autoregulasi tubuh masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan
meningkatkan respon simpatis. Mean arterial pressure turun 10 15 mmHg. Berkurangnya
volume darah sirkulasi (25 35%) 1000 ml. Sistem saraf pusat terangsang; keluarnya
katekolamin. Untuk menjaga tekanan darah : terjadi peningkatan denyut jantung dan
kontraktilitasnya; meningkatnya vasokontriksi perifer. Sirkulasi terjaga, tetapi hanya bisa
dipertahankan dalam waktu singkat tanpa membahayakan jaringan.

Penyebab yang

mendasari syok harus diketahui dan dikoreksi atau akan berlanjut ke stadium berikutnya
b.

Syok intermediat atau progresif

Tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya dengan baik untuk seluruh organ
dan sistim organ. Pada tahapan ini melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya
memberikan perfusi ke jaringan organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran
darah ke ekstremitas. Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa
dingin.

MAP selanjutnya turun (20%)

Bertambahnya kehilangan cairan tubuh (1800 2500 ml)

Vasokontriksi berlanjut dan menimbulkan defisiensi oksigen

Tubuh akan menjalani metabolisme anaerob yang membentuk asam laktat sebagai
produk buangan.

Tubuh meningkatkan denyut jantung dan vasokontriksi

Jantung dan otak menjadi hipoksia

Efek yang lebih berat terhadap jaringan lainnya yang menjadi : iskemia dan anoksia

Status asidosis dengan hiperkalemia terjadi

Memerlukan penanganan yang cepat

c.

Syok refrakter atau ireversibel

Jaringan anoksia, kematian sel tersebar luas

tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut sehingga


menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat diperbaiki. Kedaan klinis yang
paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistim filtrasi ginjal yang disebut sebagai gagal
ginjal akut

Bahkan dengan pengembalian tekanan darah dan volume cairan, terdapat sangat
banyak kerusakan untuk mengembalikan hemostasis jaringan.

Kematian seluler menimbulkan kematian jaringan, kegagalan organ vital dan


kematian terjadi

C. TERAPI CAIRAN PADA SYOK


Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda vital dan
hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan
dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang
utama terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika ditemukan
oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok harus dilakukan secara
komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan
atau rumah sakit.
Pemberian oksigen merupakan penanganan yang sangat umum, tanpa memperhatikan
penyebab syok. Terapi lainnya tergantung pada penyebab syok. Terapi cairan merupakan
terapi yang paling penting terhadap pasien yang mengalami syok hipovolemik dan distributif.
Pemberian cairan secara IV akan memperbaiki volume darah yang bersirkulai, menurunkan
viskositas darah, dan meningkatkan aliran darah vena, sehingga membantu memperbaiki

curah jantung. Akibat selanjutnya adalah meningkatkan perfusi jaringan dan memberikan
pasokan oksigen kepada sel.
Ada dua tipe utama cairan yang dapat digunakan dalam terapi, yaitu kristaloid dan koloid
(plasma expander). Cairan kristaloid adalah larutan berbahan dasar air dengan molekul kecil
sehingga membran kapiler permeabel terhadap cairan tersebut. Cairan kristaloid dapat
mengganti dan mempertahankan volume cairan ekstraselular. Oleh karena 75-80% cairan
kristaloid yang diberikan secara IV menuju ruang ekstravaskular, maka cairan kristaloid
sangat diperlukan untuk rehidrasi interstisial. Cairan ini apabila diberikan dalam waktu yang
singkat sebagian besar daripadanya akan keluar dari ruang intravaskuler (pembuluh darah),
karena itu volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang
hilang. Konsentrasi natrium dan glukosa pada kristaloid menentukan osmolalitas dan tonisitas
larutan. Pada kebanyakan situasi kritis, cairan kristaloid isotonis pengganti elektrolit yang
seimbang, seperti cairan Ringer laktat, digunakan untuk mengganti elektrolit dan bufer pada
konsentrasi khas cairan ekstraselular. Garam normal (cairan natrium klorida 0,9%) juga
merupakan cairan pengganti yang isotonis tetapi tidak seimbang dalam hal elektrolit dan
bufer. Cairan kristaloid dalam volume besar yang diberikan dengan cepat secara IV
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular dan penurunan COP dengan
cepat. Hal tersebut mengakibatkan ekstravasasi ke interstisial.
Cairan koloid adalah larutan kristaloid yang mengandung molekul besar sehingga membran
kapiler tidak permeabel terhadap cairan tersebut, mengandung molekul-molekul besar yang
dimaksudkan untuk berfungsi seperti albumin di plasma. Cairan ini juga disebut plasma
expander. Larutan koloid merupakan pengganti cairan intravaskular. Darah total, plasma, dan
albumin pekat mengandung koloid alami dalam bentuk protein, terutama albumin. Dextran
dan hydroxyethyl starches (HES) adalah koloid sintetis yang dalam penggunaannya dapat
digabung dengan darah total atau plasma, tetapi tidak dianggap sebagai pengganti produk
darah ketika albumin, sel darah merah, antitrombin, atau protein koagulasi dibutuhkan.
Pemulihan dehidrasi dengan menggunakan kombinasi koloid dan kristaloid membutuhkan
volume yang lebih sedikit, dan waktu pemulihan dicapai lebih cepat. Apabila ditambah
koloid, jumlah infus kristaloid dapat berkurang 40-60% dibandingkan menggunakan
kristaloid saja. Kombinasi kristaloid, koloid sintetis, dan koloid alami sering diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pasien.

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi
kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan
demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.
Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang
memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis.
Sebelumnya, ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan
bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa.
Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis
Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi.
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan
darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan
kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi
alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut
dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis
yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam
jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai
cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat
terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada
hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer
Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati
berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan
cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian. Pertimbangan untuk transfusi
darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien akan menjalani operasi yang menyebabkan
banyak kehilangan darah serta adanya gejala dan tanda klinis dari gangguan transportasi
oksigen yang dapat diperberat oleh anemia.
Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan penggantian
volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan kadar Hb. Pemberian
cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma (plasma
expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan transfusi,
terutama bila perdarahan dapat diatasi.
Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya pertimbangan
dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah pasien mendapat koloid atau
cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat digunakan sebagai indikator apakah
transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak.
Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi oksigen, terutama bila
volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan volume
darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari transfusi darah menggunakan
darah simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping akibat
penyimpanan.2 Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi, pH
rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-diphosphoglycerate rendah.
Pilihan cairan didasarkan pada abnormalitas yang membutuhkah perbaikan. Secara umum,
cairan poliionik dan isotonik, misalnya Ringer laktat merupakan cairan yang paling serba
guna karena komposisinya mirip dengan cairan ekstraselular. Cairan Ringer laktat adalah
cairan alkalizer karena mengandung laktat yang merupakan prekursor bikarbonat. Cairan
Ringer meningkatkan jumlah klorida sehingga merupakan cairan acidifier. Cairan Ringer
laktat dan Ringer mengandung hanya sedikit kalium. Dibutuhkan penambahan kalium klorida
pada cairan tersebut apabila digunakan pada pasien yang banyak kehilangan kalium dari
tubuhnya (hipokalemia). Larutan natrium klorida isotonik (0,9%) atau garam, sering disebut
(salah kaprah) cairan fisiologis atau garam normal. Garam isotonik mengandung 154 mEq
natrium dan 154 mEq klorida. Konsentrasi natriumnya mendekati cairan ekstraselular, tetapi

konsentrasi kloridanya lebih tinggi. Peningkatan kandungan klorida dapat menyebabkan


asidosis metabolik hiperkloremia. Garam isotonis tidak mengandung elektrolit yang lain.
Karena alasan tersebut, penggunaan garam 0,9% harus dibatasi pada pasien yang mengalami
kehilangan banyak natrium, misalnya insufisiensi adrenokortikal, yang juga dikenal sebagai
penyakit Addison. Garam 0,45% kadang-kadang digunakan untuk pasien yang mengalami
dehidrasi hipernatremia. Cairan kalium klorida tersedia untuk ditambahkan pada cairan
Ringer laktat dan Ringer. Untuk asidosis metabolik yang parah, natrium bikarbonat
hipertonik dapat ditambahkan ke dalam dekstrosa 5% atau garam 0,45%. Natrium bikarbonat
seharusnya tidak ditambahkan ke dalam cairan yang mengandung kalsium, misalnya Ringer
laktat, sebab akan menyebabkan presipitasi kalsium. Penambahan garam 0,9% dengan
natrium bikarbonat juga tidak disarankan, karena cairan yang dihasilkan akan mengandung
natrium dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Larutan glukosa 5% terutama digunakan
untuk mensuplai air untuk mengurangi dehidrasi yang diakibatkan oleh kehilangan air yang
mendekati murni (dehidrasi hipernatremia), misalnya terjadi pada panting yang kuat akibat
hipertermia. Air murni tidak dapat diberikan secara parenteral karena bersifat sangat
hipotonik dan akan menyebabkan eritrosit mengembang dan hemolisis. Oleh karena
dekstrosa 5% tidak mengandung elektrolit, maka tidak disarankan penggunaannya pada
pasien yang mengalami gangguan yang ditandai kehilangan banyak elektrolit.
Secara teoritis, larutan infus elektrolit penuh harus mengandung buffer fisiologis bikarbonat
pada konsentrasi 24 mmol/ml. Ringer asetat malat memiliki bikarbonat dalam bentuk anion
metabolisasi asetat dan malat yang akan melepaskan bikarbonat intravaskuler. Anion ini
selain dimetabolisme di hati juga dimetabolisme di hampir setiap sel jaringan dengan
mengambil H+ dan Oksigen dan membentuk bikarbonat.Asetat melepaskan satu mol
bikarbonat tiap satu mol asetat, sedangkan malat melepaskan dua mol bikarbonat tiap satu
mol malat. 17 Berbeda dengan laktat yang menghasilkan satu mol bikarbonat tiap satu mol
laktat
Ringer asetat malat mengandung asetat dan malat berbeda dengan laktat, laktat tidak selalu
disarankan untuk digunakan dalam larutan infus karena :
1. Laktat tidak boleh digunakan dalam kasus insufisiensi hati, karena laktat ini sebagian besar
dimetabolisme di hati dan administrasi dari laktat dapat menyebabkan terjadinya asidosis
metabolik.

2. Laktat tidak boleh digunakan dalam kasus syok dengan hiperlaktasidemia atau asidosis
laktat. Hiperlaktasidemia dan asidosis laktat adalah tanda tanda dari ratio diprosporsional
antara produksi asam laktat dan metabolime hepar yang terganggu. Konsumsi yang oksigen
dipicu oleh laktat cukup besar dan tidak harus meningkat lebih lanjut apabila ada jaringan
hipoksia.
3. Persediaan oksigen laktat meningkatkan risiko alkalosis rebound.
4. Konsentrasi serum laktat sering digunakan sebagai penanda hipoksia. Dengan demikian
administrasi laktat eksogen akan menyebabkan kesalahan pembacaan penanda. Ringer asetat
malat adalah larutan elektrolit penuh pertama mengandung kombinasi unik dari asetat dan
malat. Ringer asetat malat berisi 24 mmol/l asetat dan 5 mmol/l malat, dimana total asetat dan
malat melepaskan 34 mmol/l bikarbonat. Asetat dan malat lebih disukai daripada laktat,
karena metabolisme mereka tidak hanya terbatas pada hati tetapi juga dimetabolisme di
seluruh jaringan.

D. TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF


Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang kadang- kadang dapat
memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primernya, perdarahan,
manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau
translokasi cairan. Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra,
selama dan pasca bedah.
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada
pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.
Jumlah cairan tubuh berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin, dan banyak atau
sedikitnya lemak tubuh. Tubuh kita terdiri atas 60 % air, sementara 40 % sisanya merupakan
zat padat seperti protein, lemak, dan mineral. Kandungan air pada bayi lahir sekitar 75 %
berat badan, usia 1 bulan 65 %, dewasa pria 60 %, dan wanita 50 %.
Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan hormonal seperti :
1. Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca bedah atau
trauma.
2. Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat

3. Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami peningkatan yaitu
growth hormone dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Trauma atau stres
akan merangsang hipotalamus sehingga dikeluarkan corticotropin releasing
factor yang merangsang kelenjar pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH.
Peningkatan kadar ACTH dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid plasma
meningkat sehingga timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asam
lemak.
4. Kadar hormon antidiuretik (ADH) mengalami peningkatan yang berlangsung
sampai hari ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma ini akan mengganggu
pengaturan ADH yang dalam keadaan normal banyak dipengaruhi oleh
osmolalitas cairan ekstraseluler.
5. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap penurunan
volume darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan rangsangan untuk
pelepasan aldosteron.
6. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan lakilaki.

Meliputi pemberian cairan rumatan / pemeliharaan defisit cairan karena puasa, dan defisit
cairan saat operasi. Hal-hal yang perlu diperhitungkan untuk penggantian cairan ini adalah:
a. Terapi cairan rumatan
Saat pasien tidak makan terjadi penurunan jumlah cairan dan elektrolit dalam tubuh
sebagai akibat ekskresi urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan invisible lost dari
kulit dan saluran nafas. Kebutuhan ini disebut kebutuhan cairan rumatan.

Kebutuhan Cairan rumatan


Berat

Jumlah Cairan

10 kg pertama

4 ml/kgBB/jam

10 kg kedua

2 ml/kgBB/jam

kg selanjutnya

1 ml/kgBB/jam

b. Terapi cairan pengganti puasa


Pasien yang akan di operasi akan mengalami defisit cairan yang sebanding dengan
lamanya ia berpuasa. Cairan yang diperlukan dapat diperhitungkan dengan
mengalikan kebutuhan cairan rumatan dengan lamanya berpuasa. Cairan diberikan
bagian pada 1 jam pertama, bagian pada jam kedua, dan bagian pada jam ketiga.
. Terapi cairan pengganti evaporasi dan redistribusi
Saat operasi berlangsung terjadi hilangnya cairan tubuh pasien melalui darah yang
keluar atau hilangnya cairan akibat evaporasi atau redistribusi ke jaringan interstitial.
d. Terapi cairan pada saat pembedahan
Pembedahan akan menyebabkan pindahnya cairan keruang ketiga, keruang
peritonium, ke luar tubuh, untuk menggantinya tergantung pada besar kecilnya
pembedahan tersebut
6-8 ml/kgBB untuk operasi besar
4-6 ml?kgBB untuk operasi sedang
2-4 ml/kgBB untuk operasi kecil
Perdarahan pada pembedahan tidak selalu memerlukan tranfusi untuk penangananya
akan tetapi untuk perdarahan dibawah 20% dari olume toatl orang dewasa cukup
digantikan dengan infus yang memiliki kompisisi elektrolitnya kira-kira menyerupai
dengan elektrolit yang berada pada serum, misalnya dengan ringer laktat atau asetat.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton,C Arthur ,Hall, E John. Syok sirkulasi dan Fisiologi Pengobatannya. Dalam ;
Fisiologi Kedokteran ,textbook of medical physiology. Edisi 11. EGC. Jakarta. 2006.
Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)

Price, A Sylvia, Wilson, M Lorraine. Gangguan Volume,Osmolalitas, dan Elektrolit


Cairan.Dalam : Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 6
Vol.1.EGC.Jakarta.2006.
Wirjoatmodjo K. 1986. Dasar Terapi Cairan pada Penderita Gawat. Surabaya. Simposium
IDI

Anda mungkin juga menyukai