2 Votes
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan
kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu guru harus
memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama dalam meningkatkan
kesempatan belajar bagi siswanya dan memperbaiki kualitas mengajarnya.
Pada hakekatnya guru dan orang tua dalam pendidikan yang mempunyai
tujuan yang sama, yakni mengasuh, mendidik, membimbing serta memimpin
anaknya menjadi orang dewasa dan dapat mmperoleh kahagiaan hidupnya
dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sebagai penunjang pencapaian visi
bangsa Indonesia bardasarkan ketetapn MPR RI No. IV/2004, tentang GBHN
(1996 : 66)
Pemerintah secara resmi telah mencanangkan bahwa profesi guru
disejajarkan dengan profesi lainnya sebagai tenaga profesional. Dengan ini
diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan karena guru sebagai agen pembelajaran
merupakan ujung tombak peningkatan proses pembelajaran di dalam kelas
mengajar yang disebut the teaching triad.26 Ini berarti antara profesi dan
kompetensi memilki hubungan yang erat: profesi tanpa kompetensi akan
kehilangan makna, dankopetensi tanpa profesi akan kehilanga guna.
Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mncapai guru yang professional?
Upaya ini dapat dilakukan dengan memperbaiki hasil pendidikan kita, tentu
kita perlu tahu tentang kondisi pendidikan kita. Kita sadari bahwa
profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditundatunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin
ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang
memang benar benar-benar ahli dibidangnya, sesuai dengan kapasitas yang
dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru
sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 .DEFINISI PROFESIONALISME GURU
Sudarwan Danim menegasakan bahwa tuntutan kehadiran guru yang
profesional tidak pernah surut, karena dalam latar proses kemanusiaan dan
pemanusiaan,ia hadir sebagai subjek paling diandalkan, yang sering kali
disebu sebagai Oemar bakri.22
Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama
dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh
melalui pendidikan atau latihan khusus..23 ada beberapa pengertian yang
berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan amatif.
Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan delitan.24 Maka
para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoelh
pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu
Bagi guru yang profesioanl, dia harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang
positif. Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus
memenuhi tujuh kriteria:
sifat positif dalam membimbing siswa
pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang
mampu menguasai metodologi pembelajaran
mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
mampu merekasi kebutuhan siswa
mampu menguasi manajemen kelas37
Disamping itu ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi
guru yang profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik
secara fisik maupun psikis. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 40 ayat 2 bagian 2 di muka menyebut dengan istilah menyenangkan.
Demikia juga E. Mulyasa menegaskan, bahwa tugas guru yang paling utama
adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan,
agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga
timbul minat dan nafsunya untuk belajar38. Adapun Bobbi Deporter dan
Mike Hernachi menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam
pengalama belajar siswa39. karena musik berhubungan dan mempengaruhi
kondisi fisiologis siswa40 yang diiringi musik membuat pikiran selalu siap
dan mampu berkonsentrasi.41 dalam situasi otak kiri sedang bekerja, masuk
akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga
masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses42.
Terkait dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang
profesional yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan
kesan hiburan. Mungkin semua siswa menyukai hiburan, tetapi mayoritas
mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan,
menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi
yang didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses
pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi
pekerjaan
2.2 CIRI-CIRI PROFESIONALISME GURU
Untuk memahami profesi, kita harus mengenali melaui Ciri-cirnya. Adapun
ciri-ciri dari suatu profesi adalah:
memiliki suatu keahlian khusus
merupakan suatu penggilan hidup
memiliki teori-teori yang baku secara universal
mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif
memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
mempunyai kode etik
mempunyai klien yang jelas
mempunyai organisasi profesin yang kuat
mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang alin.28
Ciri-ciri tersebut masih general, karena belum dikaitkan dengan bidang
keahlian tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi
dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di
dalam maupun di luar kelas.
2.3.KOMPOTENSI KEPRIBADIAN GURU
Mengenai kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu: (1) memiliki
kepribadian ideal sebagai guru; (2) penguasaan landasan pendidikan;
(3)menguasai bahan pengajaran; (4)kemampuan menyusun program
pengajaran; (6) kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar;
(7)kemampuan menyelenggarakan program bimbingan; (8) kemampuan
menyelenggarakan administrasi sekolah; (9) kemampuan bekerja sama
dengan teman sejawat dan masyarakat; dan (10) kemampuan
menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.29
Dengan begitu, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses
mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan
fungis psikomotorik,karena di dalamnya terkandung finsi-funsi produksi.30
Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter productive
proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan universal
itu.31 dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figu guru
menjadi panutan di kalangan masyarakat setidaknya bagi para siswanya
sendiri. Disini predikat guru sebagai pendidikitu berkonotasi dengan
tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua
perilakunya.
Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-undang Sitem Pendiidkan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2;
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian
kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada pergurua tinggi.32
Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oeh
guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak
ada bedanya denganbebabn bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara
hierarchy melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya.
Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian
melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian
melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat
prestasi yang dicapai tersebut.
Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap gurui
dinamis sebagai seorang professional. seorang profesional adalah seorang
yang terus meneur berkembang atau trainable.33 Untuk mewujudkan keadaan
dinamis ini pendidikan guru harus mampu membeklai kemampuan
kreativitas, rasionalitas, ketrlatihan memecahkan masalah , dan kematangan
emosionalnya.34 Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru yang
berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan
tugasnya.
Hal ini merupakan gerakan dua arah, yaitu gerakan profesional dari guru dan
gerakan emosional dari siswa. Apabila yang bergerak hanya satu pihak tentu
tidak akan berhasil, yang dalam istilah sehari-hari disebut bertepuk sebelah
tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru selagi tidak direspons positif oleh
siswa, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi gerakan dua arah dalam mensukseskan
pembelajaran antara guru dan siswa itu sebagai gerakan sinergis.
Pendidikan dapat dipahami dari dua sisi yang meliputinya, yaitu pendidikan
sebagai sebuah produksi (education as product), dan pendidikan sebagai
sebuah proses (education as process). Dua sisi ini selalu berpengaruh dalam
memahami dan melakukan kegiatan pendidikan dalam kehidupan nyata
akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga
masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses42.
Terkait dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang
profesional yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan
kesan hiburan. Mungkin semua siswa menyukai hiburan, tetapi mayoritas
mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan,
menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi
yang didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses
pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi
pekerjaan.
2.5. Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi
pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik
institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah
maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan
peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat,
juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh
dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah
pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem
pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya. Guru sangat
mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya,
karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena
tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka caracara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata.
Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang
mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau
penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama
sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan
membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki
pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola
belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat
SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang
terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya. Akadum
(1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang
memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan
kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi
keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya
gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas
faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan
oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya
secara utuh.Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam
kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk
membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya
standar professional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3)
kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai
pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya
kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh
terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam
meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti
sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya
profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya
secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan
etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan
keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak
terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak
tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan
pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5)
masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara
makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI
bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi
pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun
demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan
profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor
yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya
untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.
2.6 Upaya Peningakatan Profesionalisme Guru
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru Pemerintah telah berupaya untuk
meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi
dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar
mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan
Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I
(sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak
bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya
untuk melakukan perubahan. Selain sertifikasi upaya lain yang telah
dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya
PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang
memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya.
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam
proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk
penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan
masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi,
sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama
Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat hal-hal yang tidak sesuai
dengan kaidah yang sebenarnya maka penyusun sangat mengharapkan
kritikan-saran,atau masukan demi tersusunnya makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
http://lpmpjogja.diknas.go.id Powered by Joomla! Generated: 6
December, 2009, 10:43
http://lpmpjogja.diknas.go.id Powered by Joomla! Generated: 6 December,
2009, 10:43
http://www.suara pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses
7 Juni 2001). Hlm. 1-2. Arifin,
Bobbi Deporter dan Mieke Hernachi, Quantum Learning Membiasakan
BelajarNyaman dan Menyenangkan,(Bandung:Kaifa, 2002) H.24
Paulo Freire, Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan, Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead, 2002) H.28
Aksara, S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi 1999), H.116
Tentang iklan-iklan ini